Anda di halaman 1dari 3

Filosofi Jawa

Author : Mohammad Syafii


Publish : 31-07-2011 06:49:00

Dulu petuah orang tua atau orang bijak selalu teringat waktu ngumpul atau kita berhadapan dengan orang tua,
baik orang berkelas atau orang biasa, dalam situasi resmi atau pun dalam keadaan biasa. Kita dulu selalu
pasrah mendengar karena kita masih anak-anak / muda dan itu cerita akan menjadi berkembang dan semakin
lama. Kita akan tahu banyak arti dari kalimat – kalimat itu yang semakin mendalam dan kalau
mendengar itu terbuka hatinya dia akan menemukan manfaat yang banyak. Di bawah ini mungkin bisa
mengingatkan saya kembali kalimat kalimat dulu saya sering dengar sekarang hal itu jarang lagi terdengar,
mungkin juga bisa bermanfaat bagi yang lain.
Saat ini kebudayaan Jawa, terutama Filsafat Jawa hampir hilang dari kehidupan masyarakat. Kehidupan kita
yang cenderung “western” telah mengabaikan filsafat- filsafat Jawa tersebut. Padahal dalam
filsafat-filsafat tersebut mengandung ajaran “adiluhung” yang sangat berguna bagi kehidupan
masyarakat.
Filsafat Jawa pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat
Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Beberapa filsafat jawa yang biasa :
Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso
Ketika kita memperoleh suatu pengetahuan, ilmu, atau pengalaman terkadang muncul sifat sombong dari diri
kita. Bahwa kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan ilmu atau pengalaman yang kita peroleh. Padahal
banyak faktor yang menentukan penyelesaian suatu masalah dan bukan hanya dari sudut pandang yang kita
pahami. Di sini orang lantas merasa bisa, sifat ego manusia yang muncul tanpa menghiraukan pendapat orang
lain.
Dalam filosofi Jawa, sifat ini yang dinamakan Rumongso Biso (merasa bisa). Ajaran masyarakat Jawa
menekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam, sehingga tidak terdorong untuk menghujat atau
merendahkan orang lain. Cobalah untuk memahami pendapat yang lain, walau hal itu mungkin sangat
bertentangan dengan yang kita yakini. Dengan Biso Rumongso (bisa merasa) atau melatih empati kita untuk
memahami orang lain akan mendorong untuk berkompromi mencapai suatu keseimbangan. Hal ini akan
membuat semua perselisihan atau konflik yang ada di dunia ini dapat teratasi. Janganlah menjadi orang yang
merasa bisa, melainkan yang bisa merasa.
MigunanuTumraping Liyan
“Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat bisa bermakna besar bagi orang lain. Berguna bagi sesama
membuat hidup lebih berarti”. Itulah tulisan yang terdapat di iklan poster koran Kedaulatan Rakyat.
Koran lokal Jogja ini mengambil filosofi Jawa yang maknanya mendalam. Berguna bagi sesama, itulah
kurang lebih artinya.
Terkadang kita merasa belum siap untuk berbuat baik, karena kita berpikiran bahwa kita belum mampu secara
materi atau merasa perbuatan kita itu tidak berdampak banyak bagi orang yang membutuhkan. Atau ketika
kita sudah terjerumus dalam ego kita, yang mempertimbangkan untung rugi setiap perbuatan, melupakan
kenyataan bahwa semua ciptaan dunia ini merupakan suatu kesatuan, sehingga kesetiaan kita berpindah ke
kelompok yang lebih kecil, seperti komunitas lingkungan, keluarga, gender, ras. Di luar itu kita tidak peduli.
Memberi dari kekurangan kita, lebih bermakna daripada memberi dari kelebihan kita.. Sekecil apapun
kebaikan yang kita perbuat bisa bermakna besar bagi orang lain.
Eling Sangkan Paraning Dumadhi.
Tinggal di Jawa, terutama di Solo paling tidak kita berusaha untuk mengerti budaya dan kearifan lokal yang
ada. Hal ini sebagai proses penempatan diri dalam komunitas yang ada. Salah satunya yaitu tentang filosofi
orang Jawa. Ada banyak filosofi yang digali dalam budaya Jawa. Salah satunya adalah ungkapan Eling
Sangkan Paraning Dumadhi.
Dalam pergaulan masyarakat Jawa terutama kalangan generasi tua, ungkapan yang arif ini sangat terkenal.
Secara bebas diartikan sebagai ingat akan asal dan tujuan hidup. Ungkapan ini mengandung nasihat agar
seseorang selalu waspada dan eling (ingat, sadar) terhadap sangkan (asal) manusia dan paran (tujuan akhir).

Page 1
Filosofi Jawa

Dengan sadar dan waspada dalam perjalanan hidupnya, ia akan mampu meredam emosi, nafsu, ikatan ikatan
duniawi dan berupaya untuk bertindak lebih baik, karena ia memiliki tujuan akhir yang jelas, yaitu sowan
ngarsaning Gusti (menghadap ke hadirat Tuhan)
Ungkapan Eling Sangkan Paraning Dumadhi dijadikan sebagai pengendali sewaktu seseorang melakukan
perbuatan negatif. Selain itu dapat juga dimanfaatkan untuk meluruskan dan membesarkan hati ketika
terkena beban hidup, sakit, kekecewaan, patah hati, ketidakbahagiaan. Upaya pelurusan ini untuk penyadaran
akan sangkan (asal) dan paran (tujuan) hidupnya.

Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita,
semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang
dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan
keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya
bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang
tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa
mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)
Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala
musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah
menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi atau terkungkung
oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah
arah; jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak
mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).
Alon-alon waton klakon Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety. Padahal kandungan
maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan,
dan yang jelas tentang safety.
Nrimo ing pandum Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam
bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari
usaha yang sudah dia kerjakan.
Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo. Hanya orang yang ingat
kepada Allah (disini saja juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa
datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang berkepanjangan.
Mangan ora mangan sing penting ngumpul’ ‘Makan tidak makan yang penting
kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan
secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita
mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan
sejahtera.’Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak
mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo.
‘Sing penting ngumpul’ melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya
bersatu untuk tujuan bersama. Saya pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’
adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini

Page 2
Filosofi Jawa

tercapai.
Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk. Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa
Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan
fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level
manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan
selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita-citanya.

- Memayu hayuning bawana (melindungi bagi kehidupan dunia) - Sukeng tyas yen den hita (suka/bersedia
menerima nasihat, kritik, tegoran) - Jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan
pengorbanan) - Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi (nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya)
- Ajining sarira dumunung ing busana (nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya) - Amemangun
karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain) - Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning
pasthi (Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian) - Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang
Kuwasa (Budi daya manusia tidak bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa) - Sura dira jayaningrat lebur
dening pangastuti (kemarahan dan kebencian akan terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut) - Tan ngendhak
gunaning janma (tidak merendahkan kepandaian manusia)
Masih banyak filsafat-filsafat jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu
daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai
wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan
kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung
jawab kita semua.. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..) Bangsa yang
besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa
meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.

Page 3

Anda mungkin juga menyukai