Masyarakat Jawa
ABSTRAK
Kata kunci: Ki Ageng Suryomentaram, Bahagia, Filsafat Jawa, nrima, Psikologi Jawa
1. Pendahuluan
Hasil survei tahun 2017 yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) terkait tingkat
kebahagiaan masyarakat Yogyakarta ternyata menempatkan dimensi makna hidup
(eudaimonia) sebagai dimensi dengan indeks tertinggi (73,49) dibandingkan dengan 2
dimensi lain yang diukur yaitu dimensi kepuasan hidup-life satisfaction (71,98) dan
dimensi perasaan-affect (73,38) (Candra, 2017).
Unsur yang ada dalam dimensi eudaimonia ini sangat berkaitan dengan falsafah
hidup dan budaya masyarakat Yogyakarta dalam menjalani kehidupannya. Sebut saja
falsafah nerima ing pandum, yang artinya menerima segala pemberian. Falsafah ini
mengajarkan bahwa sebaiknya setiap manusia bisa ikhlas atas apa yang diterima
dalam kehidupan atau legowo dalam menghadapi setiap lika-liku kehidupan. Memang
tidak mudah untuk mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.
Nafsu, ambisi dan keinginan manusia yang tinggi untuk urusan duniawi terkadang
membuat manusia lupa bahwa segala sesuatu di alam ini sudah ada yang
mengaturnya. Begitu juga ketika pencapaian-pencapaian dalam kehidupannya baik
terkait kebendaan dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya tidak sesuai dengan apa
yang sudah dipikirkannya. Falsafah nerima ing pandum terkait dengan unsur
penerimaaan diri dalam dimensi makna hidup.
Falsafah yang kedua yaitu Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti
mempercantik alam yang sudah cantik. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa
terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning
Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan
manusia. Kewaspadan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap degradasi
lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah. Sehingga dengan
adanya falsafah tersebut, diharapkan masyarakat Yogyakarta tidak menjadi
masyarakat yang serakah dalam mengelola kekayaan alam yang ada. Falsafah ini
sepertinya sejalan dengan unsur penguasaan lingkungan dalam dimensi makna hidup.
Falsafah hidup urip iku urup yang artinya kita diajak untuk membuat hidup kita
menyala dengan membantu orang-orang disekitar kita. Bahwa dalam kehidupan ini
kita harus bisa memberi manfaat baik itu hal yang kecil maupun besar bagi sesama,
itu adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga sejalan dengan unsur hubungan positif
dengan orang lain dalam dimensi eudaimonia.
o Sak bejo-bejone wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspodo
Orang yang paling beruntung itu orang yang selalu ingat kepada yang Kuasa dan
berhati-hati dalam menjalani hidup.
o Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa
bandha
Ungkapan di atas menunjukkan sikap kesatria, dimana kita menjadi pemberani
meski berjuang sendirian, selalu menjaga wibawa, martabat serta selalu bersyukur.
Setelah selesai kursus, B.R.M Kudiarmaji bekerja di kantor gubernuran selama lebih
kurang 2 tahun. Beliau memiliki kegemaran membaca buku dan aktif belajar
terutamanya Sejarah, Filsafat, Ilmu jiwa, dan Agama. Beliau mendapatkan pendidikan
agama Islam dari K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada tahun 1910,
saat beliau berusia 18 tahun, beliau diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendoro
Pangeran Haryo Suryomentaram. Kehidupan di lingkungan keraton tidak memberikan
perasaan tentram kepada Suryomentaram. Beliau merasa tidak puas karena merasa
belum pernah bertemu “orang”. Aktivitas di Keraton yang ditemuinya sejak kecil
sehingga memasuki masa remaja adalah interaksi ndoro-abdi, yang nampak darinya
hanyalah yang disembah, yang diperintah, sehingga aktivitas yang berlaku dan dilihat
sehari-hari adalah memerintah, marah, dan memohon. Hal ini menyebabkan beliau
merasa kecewa meskipun ia adalah pangeran yang kaya dan berkuasa.
Beliau merasa tidak puas dengan kehidupannya di keraton. Beliau merasa tidak
menjadi “manusia sebenarnya” ketika tinggal dalam lingkungan keraton. Kemewahan
yang diperoleh selama dalam keraton membuatnya merasa berbeda dengan orang di
luar keraton.
Pada tahun 1921, Sultan Hamengku Buwana VII mangkat. Pangeran Suryomentaram
ikut mengantarkan jenazah ayahnya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian
yang lain daripada yang lain. Para pangeran mengenakan pakaian kebesaran
kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian sesuai dengan pangkatnya, akan
tetapi Pangeran Suryomentaram mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu
beliau memakai pakaian dan ikat kepala corak Begelen, mengenakan jas berwarna
putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas, menyempit payung Cina, dan
beliau turut memikul jenazah ayahnya sampai ke Imogiri. Penampilannya ini
menyebabkan beliau ditakuti karena orang-orang menganggapnya gila.
Tanggal 18 Maret 1962, hari minggu Pon, jam 16.45 Ki Ageng Suryomentaram wafat,
dirumahnya di Jl. Rotowijayan No. 24 Yogyakarta. Beliau dimakamkan di makam
keluarga di desa Kanggotan, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Ki Ageng Suryomentaram menggambarkan manusia terdiri dari tiga hal utama yaitu
jasad, karep, dan aku. Ketiga hal tersebut merupakan bagian yang disebut Ki Ageng
Suryomentaram sebagai barang asal yang memiliki sifat langgeng (abadi). Dalam
uraian tentang makna langgeng (abadi ), Ki Ageng Suryomentaram menyebut sebagai
sesuatu yang dulu sudah ada, sekarang ada, hingga besok pun masih ada, yang tidak
bermula serta tidak memiliki akhir (Sapto, 2015).
Wujud karep gesang merupakan bagian dari upaya manusia untuk bertahan hidup.
Upaya untuk bertahan hidup (survival) ini kemudian yang melahirkan perilaku baik
dan buruk dari manusia, contohnya seorang manusia dalam upayanya untuk survive
memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak dengan merampok serta melakukan
pembunuhan terhadap orang lain. Namun di sisi yang lain terdapat sifat manusia yang
justru sebaliknya, mampu survive dengan tidak merugikan orang lain. Karakter
semacam itu menurut Ki Ageng Suryamentaram bersumber dari sikap bahwa
seseorang tersebut tidak takut apabila tubuhnya akan rusak ataupun kehilangan
raganya (raos wani). Selain itu perilaku ini juga didasari adanya keyakinan yang
tumbuh pada diri seseorang apabila raga itu tidak dapat rusak namun hanya berganti
rupa saja (Sapto, 2015).
Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa manusia atau tiyang adalah jasad. Jasad
adalah asal dari barang dumadi, yang menjadikan nyata atau melahirkan barang
dumadi. Mustahil ada barang dumadi yang tidak berasal dari jasad. Jasad tidak dapat
merasakan apa–apa dan tidak merasakan ada. Artinya jasad tidak pernah merasakan
nyaman dan tidak nyaman, tidak merasakan sedih dan lain sebagainya (Sapto, 2015).
Konsep bahwa tiyang punika jasad mengarahkan bahwa manusia merupakan bagian
dari elemen semesta alam. Sebagai bagian dari semesta alam yang terbentuk dari
elemen (jasad) yang memang sebelumnya sudah ada dalam jumlah yang akan
tetap,dulu, saat ini, hingga di masa depan. Elemen (jasad) hanya akan berganti rupa,
namun materi elemen tersebut akan tetap ada (Sapto, 2015).
Aku dalam bahasa Belanda disebut sebagai Ik, dalam kosakata kata Jerman Ich, dan
dalam bahasa Inggris disebut I. Ki Ageng Suryamentaram membagi makna Aku
menjadi dua kategori, yaitu Aku dengan karep jasad dan Aku tanpa jasad dan karep.
Pengertian Aku dengan jasad dan karep adalah Aku sebagai identitas orang yang
membedakan dengan lainnya. Dalam hal ini Aku bermakna sama dengan I, Ich, dan
Ik. Oleh Ki Ageng Suryamentaram, Aku dalam pengertian ini disebut juga sebagai
Aku Kramadangsai (Sapto, 2015).
Makna Aku tanpa jasad dan karep yaitu sebagai sumber dari kesadaran eksistensi
seseorang, yang memiliki karakter tahu dan sadar (weruh), murni dan tanpa pamrih
(Sih), selalu bahagia (begja). Selain itu Aku tanpa jasad dan karep juga satu dan abadi
(satunggal lan abadi), berbentuk dan tanpa bentuk (wangun lan tanpa rupi) serta
agung, adil, dan berkuasa atas diri. Aku dalam pengertian ini disebut juga sebagai
Aku sejati yang senantiasa obyektif, berlawanan dengan Aku Kramadangsa (Sapto,
2015). Berdasarkan penjelasan di atas, manusia menurut Ki Ageng Suryamentaram
memiliki tiga hal pokok yang menjadi unsur pembentuk dalam diri sehingga bisa
disebut sebagai tiyang (manusia), yaitu jasad, karep dan aku (Sapto, 2015).
Id akan menghasilkan ego dan superego. Ego memiliki fungsi sebagai mediator atau
perantara antara id dan keadaan lingkungannya dengan orientasi kepada realitas (Eka,
2015). Ego berfungsi untuk memenuhi keinginan id dengan tetap memperhatikan
realitas di lingkungannya.
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi
menggunakan prinsip idealistik sebagai lawan prinsip kepuasan id dan realistic ego
(Eka, 2015). Terdapat tiga fungsi superego yaitu 1. Merintangi dorongan-dorongan id,
terutamanya hasrat seksual dan perilaku agresif; 2. Mendorong ego untuk
menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan hal-hal yang bersifat moralistic; 3.
Mengejar kesempurnaan.
Ada dua tingkatan untuk mempelajari psikologi raos atau kawruh jiwa. Menurut Ki
Ageng Suryomentaram dua tingkatan tersebut bertujuan untuk mampu mencapai
tingkat atau ukuran keempat dan hidup bahagia (Fikriono, 2012).
b. Proses Pemahaman, yaitu belajar kawruh jiwa secara tekun, fokus, dan dengan
kesungguhan (rewa nggeleng). Untuk mencapai kawruh jiwa diperlukan kemauan
berpikir yang mendalam, pikiran yang terbebas dari catatan-catatan dan pengaruh
dari orang lain.
Sifat dasar masyarakat Jawa yang paling terkenal dan membentuk gambaran tentang
orang Jawa adalah sikap nrima (Suwardi, 2012). Sikap nrima adalah menerima segala
sesuatu dengan kesadaran spiritual Psikologis dan tanpa menggerutu karena kecewa di
belakang (Suwardi, 2012). Sikap nrima adalah sikap menerima apapun yang terjadi
dalam hidup, baik senang maupun susah dan mesyukuri sebagai karunia Tuhan.
Orang Jawa ini lamun kelangan ora gegetun, trima mawi pasrah maksudnya dalam
hal apa saja mereka terima dengan kesungguhan hati nrima (Suwardi, 2012).
Walaupun konsep nrima terkesan pasrah tetapi kenyataannya tidak demikian. Nrima
tidak berarti mandeg, tanpa upaya gigih, dan disebaliknya terkandung pedoman ana
dina ana upa, obah mamah artinya jika masih ada hari, rejeki tentu ada, dan setiap
orang yang mau bekerja tentu akan meraih rejeki (Suwardi, 2012). Orang jawa
memiliki keyakinan golek pangan sewu dalane, yang artinya banyak jalan untuk
mencari rezeki halal (Suwardi, 2012).
Jadi dapat disimpulkan bahwa nrima dan usaha (kupiya) maka keberuntungan
(kebegjan) akan datang. Apabila nrima tersebut diikuti pasrah sumarah, maka sangat
mungkin kabegjan dan kebahagiaan akan datang dalam kehidupan mereka (Suwardi,
2012).
Kesembilan lubang ini merupakan simbol kenikmatan ragawi atau hawa nafsu
manusia (Asti, 2018). Lubang-lubang ini yang menyebabkan manusia terjatuh ke
dalam penderitaan. Manusia yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya akan
terjerumus ke dalam lubang-lubang tersebut, sedangkan manusia yang mampu
mengendalikan kesembilan lubang tersebut adalah mereka adalah individu unggul dan
istimewah.
Kesembilan lubang atau hawa nafsu tersebut adalah sebagai berikut (Asti, 2018):
A. Hawa nafsu ke-1 dan ke-2: Mata kanan dan kiri
Mata merupakan bagian penting dari sistem informasi yang dimiliki oleh manusia.
Mata berfungsi menerima berbagai informasi dan menyalurkan ke otak sebagai
pusat untuk memproses dan filter informasi yang diberikan oleh kelima panca
indera manusia. Kalau mata melihat hal-hal yang positif atau negatif maka otak
akan memprosesnya mengikuti stimulus yang diterimanya. Semua informasi yang
dihasilkan oleh otak akan disampaikan ke hati, dan hati akan merespon dengan
macam-macam sikap seperti sombong, iri hati, dengki, dan sebagainya. Oleh
karena itu penting bagi manusia untuk menjaga kedua matanya supaya lebih
banyak menyerap informasi-informasi yang positif.
B. Hawa nafsu ke-3 dan ke-4: Telinga kanan dan telinga kiri
Masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan bahwa kedudukan nafsu amarah
manusia terletak di telinga. Seperti halnya dengan mata, telinga adalah jalan
masuknya suara ke dalam hati, oleh karena itu telinga ini menjadi sumber emosi
atau kemarahan sekiranya mendengar suara yang bersifat negatif. Oleh karena itu,
manusia dituntut untuk pandai-pandai menyeleksi suara yang masuk ke telinga.
C. Hawa nafsu ke-5 dan ke-6: Lubang hidung kanan dan lubang hidung kiri
Hidung merupakan indra penciuman yang dapat memberikan informasi kimiawi ke
otak yang dapat memicu reaksi hormonal jika menicum suatu bau tertentu. Bau
tertentu dapat memicu perilaku positif maupun negatif.
Manusia memiliki 3 unsur yang membentuk keperibadiannya, yakni raga, pikir, dan
rasa. Untuk mencapai kondisi kepribadian yang ideal yakni kesejahteraan jasmani dan
rohani, maka setiap individu harus memiliki kemampuan untuk mengolah 3 unsur
kepribadian tersebut (Sapto, 2015). Tanpa kemampuan mengolah rasa, hanya ada 3
tipe manusia di dunia yaitu:
1. Manusia yang sehat fisik dan pintar, namun tidak bahagia.
2. Manusia yang pintar, namun tidak sehat fisik dan tidak bahagia .
3. Manusia yang sehat fisik, namun tidak pintar dan tidak bahagia.
“Salumahing bumi, sakurebing langit punika boten wonten barang ingkang pantes
dipun padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik kanti mati-
matian.” (Di atas bumi, di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari
secara mati-matian, ataupun dihindari atau ditolak secara mati-matian).
Pernyataan tersebut memberikan arti bahwa manusia tidak sepantasnya mengejar
sesuatu atau menolak sesuatu secara berlebihan atau diluar batas kewajaran.
Tercapainya keinginan tidak menjamin munculnya rasa bahagia. Hal ini karena
keinginan bersifat mulur, atau mengembang. Setelah satu keinginan terpenuhi, maka
akan muncul turunan atau pengembangan keinginan yang lain. Ketika seseorang
belum sempat merasakan kebahagiaan, sudah tertutup oleh pikirannya dalam meraih
keinginan berikutnya.
Begitu pun dengan tidak tercapainya keinginan, juga tidak lantas membuat seseorang
merasakan kesusahan selama-lamanya.
Hal ini karena, keinginan juga bersifat mungkret, atau menyusut.Ketika sebuah
keinginan gagal terpenuhi, lantas akan menyusut menjadi keinginan yang lebih kecil.
Ki Ageng memberikan wejangan, bahwa tidak mungkin seseorang susah selama lebih
dari tiga hari ataupun senang lebih dari tiga hari. Manusia dalam kehidupannya, akan
selalu mengalami susah, kemudian senang, lalu berganti susah, selanjutnya berganti
senang, demikian seterusnya.
Hukum pergantian susah dan senang, merupakan sesuatu yang dialami semua
orang. Semua manusia, tanpa melihat suku bangsa, warna kulit, status sosial,
agama, dan usia, pasti merasakan hukum pergantian susah dan senang.
Hukum pergantian susah senang, berlaku pada semua manusia, karena setiap
manusia memiliki keinginan. Inilah yang dalam istilah Ki Ageng, sebagai “raos
sami”, bahwa semua manusia sama-sama akan mengalami pergantian susah dan
senang.
Seseorang menyadari adanya jarak antara aku yang mengalami susah dan senang,
dengan aku yang sebenarnya. Gambarannya adalah seperti melihat diri sendiri dari
luar diri. Inilah yang disebut aku si pengawas. Seseorang bisa melihat jelas dirinya
yang sedang menangis, dirinya yang sedang tertawa terbahak-bahak, dan kesadaran
sublimnya bisa mengenali bahwa yang sedang menangis dan tertawa itu bukan
aku. Saat itulah, seseorang bisa merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang
lepas dari aku (yang selalu susah dan senang). Kebahagiaan inilah yang disebut
kebahagiaan yang sebenarnya, yang tidak terkait lagi dengan keinginan.
Gambar 1.7 menunjukkan inilah ilmu bahagia (kawruh begja), konsep pokok
pemikiran Ki Ageng Suryomentaram mengenai kebahagiaan yang menjadi dasar bagi
konsepnya mengenai manusia. Jadi, nasihat pokok Ilmu Bahagia Ki Ageng
suryomentaram membahas tentang bagaimana seseorang mencapai kondisi
kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang tidak terikat kepada hukum pergantian senang
dan susah, karena dirinya sudah berhasil menjadi pengawas dari keinginannya sendiri.
Makna hidup di sini berati menikmati hidup yang sedang dijalani. Kalau sekarang ini
anda bekerja sebagai seorang guru di sekolah dan mengajar anak-anak, maka nikmati
profesi tersebut. Tidak mengeluh karena gajinya sedikit, atau anak-anak yang
dididiknya nakal dan tidak mau mendengar perkataan guru. Apa yang harus
dilakukan? Nikmati saja, maksudnya mensyukuri keadaan yang sedang dijalani, baik
ketika senang dan susah, tetap disyukuri (Ahmad, 2020). Mengenal diri sendiri seperti
ajaran Ki Ageng Suryomentaram kelihatannya mudah, tetapi dalam praktiknya sangat
susah, tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya (Ahmad, 2020).
Seorang filsuf barat, Arthur Schopenhauer menyatakan bahwa, “manusia yang
paling bahagia adalah mereka yang dirinya berkecukupan, dan tidak
membutuhkan apapun dari luar untuk kelangsungan hidupnya. Kebahagiaan
kita banyak bergantung pada diri kita sendiri atau individualitas kita
(Muhammad, 2021). Pendapat ini sesuai dengan konsep bahagia dari Ki Ageng
Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram mendasarkan pemikiran bahagianya
kepada Pangawikan Pribadi (pengertian diri sendiri), Menurut beliau dengan
mempelajari dan memahami tentang dirinya sendiri, seseorang dapat memaknai
hidupnya dan memahami tentang manusia. Dengan demikian mereka memiliki
konsep Kaweruh Bejga (Pengetahuan tentang Jiwa) atau (pengetahuan tentang
bahagia ) (Muhammad, 2020). Konsep Kaweruh Bejga ini merupakan aliran
kebatinan Jawa yang mengutamakan kepada konsep Sumareh mareng
Gusti (pasrah kepada Tuhan ) (Muhammad, 2020).
9. Kesimpulan
Seseorang perlu memahami bahwa susah dan senang akan dialami oleh manusia
adalah silih berganti, dan tidak mungkin seseorang susah atau bahagia selamanya. Hal
ini sifatnya abadi. Pemahaman konsep pergantian susah dan senang dalam kehidupan
semua manusia akan menyebabkan perasaan tentram dan tabah dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya. Untuk dapat memahami konsep pergantian dalam
kehidupan, seseorang perlu mengendalikan keinginannya (nyawang karep).
Pada akhirnya, untuk mencapai kebahagiaan diperlukan sikap nrima yaitu sikap
menerima apapun yang terjadi dalam hidup, baik senang maupun susah dan
mesyukuri sebagai karunia Tuhan. Seseorang yang nrima apa pun yang terjadi dalam
kehidupannya akan mencapai tahap bahagia dalam hidupanya.
Daftar Pustaka
Asti Musman. (2018). Bahagia ala Orang Jawa. Yogyakarta: Pustaka Jawi.
Candra Wahyu. (2017). Indeks Kebahagiaan dan Falsafah Hidup Masyarakat Jawa.
Dibuka pada: 28 April 2022, diunduh dari:
https://www.kompasiana.com/chandrawahyu/5a0b0ddc63b24802f1008402/indek
s-kebahagiaan-dan-falsafah-hidup-masyarakat-jawa.
Eka Nova Irawan. (2015). Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi Dari Klasik
Sampai Modern. Yogyakarta: IRCiSoD
Muhammad Hazmi Fauzan. (2021). Kawruh Begja, Pedoman Hidup Bahagia Ala Ki
Ageng Suryomentaram. Dibuka pada: 1 Mei 2022, diunduh dari:
https://hidayatuna.com/kawruh-begja-pedoman-hidup-bahagia-ala-ki-ageng-
suryomentaram/
Safira Aulia. (2018). 11 Filosofi Hidup Orang Jawa yang bisa Bikin Kamu Lebih
Bahagia. Dibuka pada: 28 April 2022, diunduh dari:
https://www.idntimes.com/life/inspiration/aulia-ratna-safira/11-filosofi-hidup-
orang-jawa-yang-bikin-hidup-lebih-bermakna-dan-bahagia/11
Sapto Widi Wusana dan kawan-kawan. (2015). Handbook Ilmu Kawruh Jiwa. Suryo
Mentaram, Riwayat, dan jalan Menuju Bahagia. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan
DIY.
Suwardi endraswara.(2012). Falsafah Hidup Jawa. Menggali Mutiara Kebijakan dari
Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala.