Anda di halaman 1dari 18

Filosofi Bahagia Menurut Ki Ageng Suryomentaram Berdasarkan Pandangan Budaya

Masyarakat Jawa

Yohan Kurniawan1, Koentjoro Soeparno2, Alexander Stark1


1
Fakulti Pengajian Bahasa dan Pembangunan Insan, Universiti Malaysia Kelantan
2
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
koresponden: alexander.s@umk.edu.my

ABSTRAK

Masyarakat Jawa memiliki budaya khusus yang membentuk karakteristik “Manusia


Jawa” yang membedakan dengan masyarakat lain di Indonesia. Masyarakat Jawa
memiliki banyak filsafat hidup, conthnya urip iku urup, becik kethitik ala ketara,
ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha,
aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman dan sebagainya. Falsafah
masyarakat Jawa memiliki berbagai tujuan, salah satunya sebagai panduan manusia
menuju hidup bahagia. Sifat dasar masyarakat Jawa yang membentuk gambaran
tentang orang Jawa adalah sikap nrima. Sikap nrima adalah sikap menerima apapun
yang terjadi dalam hidup, baik senang maupun susah dan mesyukuri sebagai karunia
Tuhan. Seorang tokoh filsafat Jawa ternama yang mengajarkan filsafat kebahagiaan
adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram dilahirkan di Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai putra ke-55 dari 79 putra dan putri Sri Sultan
Hamengku Buwono VII. Selama tinggal di keraton, beliau merasa tidak puas dengan
kehidupannya di dalam keraton. Ketidakpuasan terhadap hidupnya membuat beliau
sering keluar keraton untuk mengunjungi tempat-temapt tertentu dan berjumpa
dengan orang-orang bijak di sana. Dari hasil pengembaraan dan pembelajaran agama,
membuat beliau semakin meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menghambat
kebahagiaan. Konsep bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah perilaku aja
dumeh, jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, dan jangan
merendahkan orang lain. Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan bahwa kebahagiaan
manusia dapat tercapai kalau seseorang dapat memahami dan mengendalikan
keinginannya (karep), Pemahaman konsep pergantian bersilih ganti antara susah dan
senang dalam kehidupan, dan tidak mungkin seseorang susah atau bahagia selamanya.

Kata kunci: Ki Ageng Suryomentaram, Bahagia, Filsafat Jawa, nrima, Psikologi Jawa

1. Pendahuluan

Hasil survei tahun 2017 yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) terkait tingkat
kebahagiaan masyarakat Yogyakarta ternyata menempatkan dimensi makna hidup
(eudaimonia) sebagai dimensi dengan indeks tertinggi (73,49) dibandingkan dengan 2
dimensi lain yang diukur yaitu dimensi kepuasan hidup-life satisfaction (71,98) dan
dimensi perasaan-affect (73,38) (Candra, 2017).

Unsur yang ada dalam dimensi eudaimonia  ini sangat berkaitan dengan falsafah
hidup dan budaya masyarakat Yogyakarta dalam menjalani kehidupannya. Sebut saja
falsafah nerima ing pandum, yang artinya menerima segala pemberian. Falsafah ini
mengajarkan bahwa sebaiknya setiap manusia bisa ikhlas atas apa yang diterima
dalam kehidupan atau legowo dalam menghadapi setiap lika-liku kehidupan. Memang
tidak  mudah untuk mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. 

Nafsu, ambisi dan keinginan manusia yang tinggi untuk urusan duniawi terkadang
membuat manusia lupa bahwa segala sesuatu di alam ini sudah ada yang
mengaturnya. Begitu juga ketika pencapaian-pencapaian dalam kehidupannya baik
terkait kebendaan  dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya tidak sesuai dengan apa
yang sudah dipikirkannya. Falsafah nerima ing pandum terkait dengan unsur
penerimaaan diri dalam dimensi makna hidup.

Falsafah yang kedua yaitu Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti
mempercantik alam yang sudah cantik. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa
terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning
Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan
manusia. Kewaspadan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap degradasi
lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah. Sehingga dengan
adanya falsafah tersebut, diharapkan masyarakat Yogyakarta tidak menjadi
masyarakat yang serakah dalam mengelola kekayaan alam yang ada. Falsafah ini
sepertinya sejalan dengan unsur penguasaan lingkungan dalam dimensi makna hidup.

Falsafah hidup urip iku urup yang artinya kita diajak untuk membuat hidup kita
menyala dengan membantu orang-orang disekitar kita. Bahwa dalam kehidupan ini
kita harus bisa memberi manfaat baik itu hal yang kecil maupun besar bagi sesama,
itu adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga sejalan dengan unsur hubungan positif
dengan orang lain dalam dimensi eudaimonia.

Filosofi hidup bahagia rakyat Jawa (Safira, 2018):


o Alon-alon waton kelakon
Artinya pelan-pelan asal selamat. Kedengarannya simpel ya tetapi sebenarnya
filosofi ini memiliki makna yang mendalam. Disini kita diajak untuk selalu
berhati-hati, ulet, waspada, dan berusaha dalam menjalani hidup.

o Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman


Artinya kita jangan mudah heran, mudah menyesal, mudah terkejut, dan manja.
Filosofi ini mengajarkan kita untuk menjadi orang yang dapat menerima semua
keadaan. Sehingga kita tidak akan membuat masalah buat diri kita dan diri orang
lain.

o Sapa nandur, bakalan ngunduh


Ini soal karma. Bagi siapa yang mengumpulkan kebaikan maka suatu saat akan
mendapatkan hasilnya. Orang yang banyak membantu orang lain, dia akan
mendapatkan karma yang baik suatu hari nanti. Kita diajarkan untuk berlomba
menanam kebaikan dimanapun kita berada. Ini juga bermakna kerja keras kita
yang akan berhasil kelak.

o Nerima ing pandum


Filosofi tersebut artinya menerima segala pemberian. Kita sebaiknya bisa ikhlas
dalam menghadapi segala hal yang terjadi didalam hidup kita. Hal ini ditunjukkan
khususnya agar kita tidak menjadi orang yang serakah dan menginginkan hak milik
orang lain.

o Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka


Jangan merasa paling pintar biar kita tidak mau salah arah dan jangan suka
mencurangi biar kita tidak mau celaka

o Sak bejo-bejone wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspodo
Orang yang paling beruntung itu orang yang selalu ingat kepada yang Kuasa dan
berhati-hati dalam menjalani hidup.

o Ngunduh wohing pakarti


Semua orang akan mendapatkan akibat dari segala perilakunya sendiri. Jadi, kita
tidak perlu menyalahkan dan mencari kesalahan orang lain karena bisa saja itu
adalah akibat dari apa yang kita lakukan sendiri. Jadi, kita harus ingat untuk
berhati-hati dalam betindak.

o Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa
bandha
Ungkapan di atas menunjukkan sikap kesatria, dimana kita menjadi pemberani
meski berjuang sendirian, selalu menjaga wibawa, martabat serta selalu bersyukur.

o Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana


Kehormatan diri berasal dari lisan dan kehormatan raga berasal dari pakaian. Bagi
orang Jawa cara berpakaian itu menentukan kehormatan raga dan cara berbicara
menunjukkan kehormatan diri seseorang. Penampilan dan ucapan kita
mempengaruhi bagaimana orang bereaksi dan menghargai kita.

o Becik kethitik ala ketara


Kebaikan akan terlihat dan kejahatan juga akan nampak. Semua perbuatan akan
nampak tidak peduli itu baik maupun buruk. Ini adalah ajaran untuk kita agar
memperbanyak perbuatan yang baik. Jika berbuat buruk dan disembunyikan, maka
suatu saat perbuatan itu juga akan terbongkar.

2. Riwayat Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram dilahirkan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pada


tanggal 20 Mei 1892 sebagai putra ke-55 dari 79 putra dan putri Sri Sultan Hamengku
Buwono VII, dan ibunya adalah B.R.A (Bendoro Raden Ayu) Retnomandoyo, sebagai
istri dari golongan kedua (garwo ampeyan) Sultan, putri Patih Danurejo VI. . Beliau
dilahirkan dengan nama Bendara Raden Mas Kudiarmaji (B.R.M Kudiarmaji). Beliau
mendapatkan pendidikan di Sekolah Srimanganti yang terletak di dalam lingkungan
Keraton, kemudian setelah tamat dari Sekolah Srimanganti beliau mengikuti kursus
Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab.

Setelah selesai kursus, B.R.M Kudiarmaji bekerja di kantor gubernuran selama lebih
kurang 2 tahun. Beliau memiliki kegemaran membaca buku dan aktif belajar
terutamanya Sejarah, Filsafat, Ilmu jiwa, dan Agama. Beliau mendapatkan pendidikan
agama Islam dari K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada tahun 1910,
saat beliau berusia 18 tahun, beliau diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendoro
Pangeran Haryo Suryomentaram. Kehidupan di lingkungan keraton tidak memberikan
perasaan tentram kepada Suryomentaram. Beliau merasa tidak puas karena merasa
belum pernah bertemu “orang”. Aktivitas di Keraton yang ditemuinya sejak kecil
sehingga memasuki masa remaja adalah interaksi ndoro-abdi, yang nampak darinya
hanyalah yang disembah, yang diperintah, sehingga aktivitas yang berlaku dan dilihat
sehari-hari adalah memerintah, marah, dan memohon. Hal ini menyebabkan beliau
merasa kecewa meskipun ia adalah pangeran yang kaya dan berkuasa.

Beliau merasa tidak puas dengan kehidupannya di keraton. Beliau merasa tidak
menjadi “manusia sebenarnya” ketika tinggal dalam lingkungan keraton. Kemewahan
yang diperoleh selama dalam keraton membuatnya merasa berbeda dengan orang di
luar keraton.

Ketidakpuasan terhadap hidupnya membuat beliau sering keluar keraton untuk


mengunjungi tempat-tempat yang dianggapnya mampu mendatangkan ketenangan.
Tempat-tempat yang sering didatangi beliau adalah gua Langse, Pantai Parangtritis,
dan makam-makam keramat. Beliau juga sering mendatangi para pemimpin agama
untuk belajar hakikat agama dan pengalaman mistik.

Dari hasil pengembaraan dan pembelajaran agama, membuat beliau semakin


meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menghambat kebahagiaan. Dia kemudian
memberikan semua kekayaan pribadinya secara cuma-cuma. Ia memberikan mobilnya
kepada sopirnya dan memberikan kudanya kepada tukang kudanya. Pada akhirnya
beliau meninggalkan keraton dan menggunakan nama samaran Notodongso, memakai
pakaian layaknya seorang pedagang dan beliau telah pergi ke Cilacap untuk berjualan
batik. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, mengutus orang untuk mencarinya.
Para utusan itu kemudian menemukan Suryomentaram di daerah Kroya dan berhasil
membujuknya untuk kembali ke Keraton. Hal ini terjadi ketika beliau berumur dua
puluh tahunan bersamaan ketika Residen Jonquiere mengirim surat resmi kepada
Gubernur Jenderal bersamaan dengan sebuah salinan untuk Suryomentaram segera
mengumumkan gelar pangerannya. Namun ia meminta ayahnya untuk membatalkan
pengangkatan tersebut, meski oleh sang ayah permintaan tersebut ditolak.
Kegelisahan dan kekecewaan beliau semakin besar menyusul peristiwa pemecatan
kakeknya, Patih Danurejo VI, ibunya diceraikan oleh Hamengku Buwono VII,
ditambah lagi peristiwa yang paling menyedihkan adalah ketika istrinya meninggal
dunia tepat setelah melahirkan anak laki-laki mereka. Kematian orang-orang yang
dicintai membuat beliau sedih dan terpukul.

Pada tahun 1921, Sultan Hamengku Buwana VII mangkat. Pangeran Suryomentaram
ikut mengantarkan jenazah ayahnya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian
yang lain daripada yang lain. Para pangeran mengenakan pakaian kebesaran
kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian sesuai dengan pangkatnya, akan
tetapi Pangeran Suryomentaram mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu
beliau memakai pakaian dan ikat kepala corak Begelen, mengenakan jas berwarna
putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas, menyempit payung Cina, dan
beliau turut memikul jenazah ayahnya sampai ke Imogiri. Penampilannya ini
menyebabkan beliau ditakuti karena orang-orang menganggapnya gila.

Tingkah laku Pangeran Suryomentaram inni memiliki kemiripan dengan salah


seorang tokoh sufi yaitu Ibrahim bin ‘Adham. Beliau juga memiliki asal-usul seorang
pangeran. Ibrahim bin ‘Adham mengalami kegelisahan dengan kehidupan istana, dan
memilih keluar dari istana, dan menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa. Demikian
juga dengan Pangeran Suryomentaram, kehidupan istana tidak dapat memberikan
ketentraman jiwanya sehingga Pangeran Suryomentaram memilih berhenti menjadi
pangeran, keluar dari istana, dan menjalani kehidupan sebagai rakyat jelata. Pada
masa itu terdapat kesenjangan besar antara kehidupan di dalam istana dan di luar
istana. Kesenjangan yang besar ini telah mengusik hati nurani dan kemanusiaan
seorang Pangeran Suryomentaram sehingga beliau memilih jalan hidup yang benar-
benar berbeda dengan jalan hidup seorang pangeran istana.

Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran


Suryomentaram kembali mengajukan permohonan untuk melepaskan gelar
kepangeranannya dan kali ini dikabulkan oleh Sri Sultan. Beliau juga menolak
menerima tunjangan hidup yang ditawarkan oleh Belanda, malahan beliau menerima
tunjangan pensiun yang jumlahnya jauh lebih kecil yang diberikan oleh keraton
kepadanya sebagai tanda hubungan kekerabatan.

Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, Suryomentaram merasa lebih


bebas, tidak terikat lagi. Meskipun demikian, ia masih tetap tidak puas hati karena
merasa belum pernah bertemu orang selepas keluar dari istana. Beliau kemudian
pindah ke desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah, dan hidup sebagai petani. Tahun1921,
Ki Ageng Suryomentaram dan Ki Hajar Dewantara beserta beberapa orang
mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon sehingga kelompok ini dikenal
dengan nama “Sarasehan Selasa Kliwon”. Yang hadir dalam sarasehan itu sebanyak 9
orang yaitu: Ki Ageng Suryomentaram, Ki Hajar Dewantara, Ki Sutopo Wonoboyo,
Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, B.R.M. Subono (adik Ki Ageng
Suryomentaram), Ki Suryodirjo, Ki Sutatmo, dan Ki Suryoputro.
Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara bersama Ki Ageng Suryomentaram mendirikan
Taman Siswa yang ditujukan bagi generasi muda pada waktu itu. Pada tahun yang
sama, 1922, didirikanlah pendidikan kebangsaan pertama dengan nama Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara dipilih menjadi pemimpinnya dan Ki Ageng Suryomentaram
diberi tugas mendidik orang-orang tua.

Tanggal 18 Maret 1962, hari minggu Pon, jam 16.45 Ki Ageng Suryomentaram wafat,
dirumahnya di Jl. Rotowijayan No. 24 Yogyakarta. Beliau dimakamkan di makam
keluarga di desa Kanggotan, Pleret, Bantul, Yogyakarta.

3. Konsep Manusia Menurut Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram menggambarkan manusia terdiri dari tiga hal utama yaitu
jasad, karep, dan aku. Ketiga hal tersebut merupakan bagian yang disebut Ki Ageng
Suryomentaram sebagai barang asal yang memiliki sifat langgeng (abadi). Dalam
uraian tentang makna langgeng (abadi ), Ki Ageng Suryomentaram menyebut sebagai
sesuatu yang dulu sudah ada, sekarang ada, hingga besok pun masih ada, yang tidak
bermula serta tidak memiliki akhir (Sapto, 2015).

Karep menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah ke-kuatan yang secara sadar


digunakan untuk melakukan suatu usaha-usaha tertentu yang merupakan hasil
dorongan dari dalam diri seseorang. Karep mampu merasakan senang ataupun sedih
sedangkan karep itu tidak merasakan keberadaan dirinya (Sapto, 2015). Dalam diri
seseorang pasti memiliki karep gesang atau dorongan hidup. Karep gesang
merupakan sesuatu yang paling utama, segala sesuatu tindakan yang dilakukan
manusia, meskipun hal sepele merupakan bagian dari memelihara keberlangsungan
hidup manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua tindakan yang dilakukan
manusia merupakan perintah dari dorongan (karep) (Sapto, 2015).

Wujud karep gesang merupakan bagian dari upaya manusia untuk bertahan hidup.
Upaya untuk bertahan hidup (survival) ini kemudian yang melahirkan perilaku baik
dan buruk dari manusia, contohnya seorang manusia dalam upayanya untuk survive
memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak dengan merampok serta melakukan
pembunuhan terhadap orang lain. Namun di sisi yang lain terdapat sifat manusia yang
justru sebaliknya, mampu survive dengan tidak merugikan orang lain. Karakter
semacam itu menurut Ki Ageng Suryamentaram bersumber dari sikap bahwa
seseorang tersebut tidak takut apabila tubuhnya akan rusak ataupun kehilangan
raganya (raos wani). Selain itu perilaku ini juga didasari adanya keyakinan yang
tumbuh pada diri seseorang apabila raga itu tidak dapat rusak namun hanya berganti
rupa saja (Sapto, 2015).
Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa manusia atau tiyang adalah jasad. Jasad
adalah asal dari barang dumadi, yang menjadikan nyata atau melahirkan barang
dumadi. Mustahil ada barang dumadi yang tidak berasal dari jasad. Jasad tidak dapat
merasakan apa–apa dan tidak merasakan ada. Artinya jasad tidak pernah merasakan
nyaman dan tidak nyaman, tidak merasakan sedih dan lain sebagainya (Sapto, 2015).
Konsep bahwa tiyang punika jasad mengarahkan bahwa manusia merupakan bagian
dari elemen semesta alam. Sebagai bagian dari semesta alam yang terbentuk dari
elemen (jasad) yang memang sebelumnya sudah ada dalam jumlah yang akan
tetap,dulu, saat ini, hingga di masa depan. Elemen (jasad) hanya akan berganti rupa,
namun materi elemen tersebut akan tetap ada (Sapto, 2015).

Menurut Ki Ageng Suryamentaram selain jasad, di dalam diri manusia terdapat


sesuatu yang merupakan sumber kesadaran atau “rasa ada” sebagai eksitensi sebagai
seorang manusia. Hal ini bukan merupakan karep (dorongan) ataupun jasad (elemen),
namun hal ini disebut sebagai Aku (Sapto, 2015).

Aku dalam bahasa Belanda disebut sebagai Ik, dalam kosakata kata Jerman Ich, dan
dalam bahasa Inggris disebut I. Ki Ageng Suryamentaram membagi makna Aku
menjadi dua kategori, yaitu Aku dengan karep jasad dan Aku tanpa jasad dan karep.
Pengertian Aku dengan jasad dan karep adalah Aku sebagai identitas orang yang
membedakan dengan lainnya. Dalam hal ini Aku bermakna sama dengan I, Ich, dan
Ik. Oleh Ki Ageng Suryamentaram, Aku dalam pengertian ini disebut juga sebagai
Aku Kramadangsai (Sapto, 2015).

Makna Aku tanpa jasad dan karep yaitu sebagai sumber dari kesadaran eksistensi
seseorang, yang memiliki karakter tahu dan sadar (weruh), murni dan tanpa pamrih
(Sih), selalu bahagia (begja). Selain itu Aku tanpa jasad dan karep juga satu dan abadi
(satunggal lan abadi), berbentuk dan tanpa bentuk (wangun lan tanpa rupi) serta
agung, adil, dan berkuasa atas diri. Aku dalam pengertian ini disebut juga sebagai
Aku sejati yang senantiasa obyektif, berlawanan dengan Aku Kramadangsa (Sapto,
2015). Berdasarkan penjelasan di atas, manusia menurut Ki Ageng Suryamentaram
memiliki tiga hal pokok yang menjadi unsur pembentuk dalam diri sehingga bisa
disebut sebagai tiyang (manusia), yaitu jasad, karep dan aku (Sapto, 2015).

4. Teori Psikoanalisa dan Konsep Kebahagiaan

Konsep manusia dan kebahagiaan dari Ki Ageng Suryomentaram dapat dijelaskan


dengan Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud, jiwa
manusia memiliki tiga daerah kesadaran yaitu daerah sadar (conscious), daerah pra-
sadar (preconscious), dan daerah tak sadar (unconscious) (Eka, 2015). Pada tahun
1923, Sigmund Freud memperkenalkan tiga model struktural jiwa baru yang
membentuk , yakni id, ego, dan superego (Eka, 2015).
Ki Ageng Suryomentaram menggambarkan manusia terdiri dari tiga hal utama yaitu
jasad, karep, dan aku. Konsep ini selaras dengan struktural jiwa yang membentuk
perilaku manusia dari Sigmund Freud. Id adalah adalah sistem kepribadian yang
dibawa sejak lahir dan id bekerja berdasarkan prinsip kepuasan, kenikmatan, dan
kesenangan, di mana id berusaha untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari
rasa sakit (Eka, 2015).

Id akan menghasilkan ego dan superego. Ego memiliki fungsi sebagai mediator atau
perantara antara id dan keadaan lingkungannya dengan orientasi kepada realitas (Eka,
2015). Ego berfungsi untuk memenuhi keinginan id dengan tetap memperhatikan
realitas di lingkungannya.

Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi
menggunakan prinsip idealistik sebagai lawan prinsip kepuasan id dan realistic ego
(Eka, 2015). Terdapat tiga fungsi superego yaitu 1. Merintangi dorongan-dorongan id,
terutamanya hasrat seksual dan perilaku agresif; 2. Mendorong ego untuk
menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan hal-hal yang bersifat moralistic; 3.
Mengejar kesempurnaan.

Kesinambungan antara id – ego – superego dalam kehidupan manusia selaras dengan


kesinambungan Aku mengendalikan karep bagi mencapai kebahagiaan dalam hidup
seseorang.
5. Psikologi Raos (Kawruh Jiwa) dalam Kehidupan Manusia

Ada dua tingkatan untuk mempelajari psikologi raos atau kawruh jiwa. Menurut Ki
Ageng Suryomentaram dua tingkatan tersebut bertujuan untuk mampu mencapai
tingkat atau ukuran keempat dan hidup bahagia (Fikriono, 2012).

Pertama, sebatas mempelajari kawruh jiwa, yaitu mempelajari pengetahuan (kawruh)


atau wejangan Ki Ageng yang berupa catatan-catatan, rekaman, ilmu pengetahuan,
baik dari junggringan, kuliah, buku-buku dan drama seni. Terdapat dua cara untuk
mendapatkan kawruh jiawa:
a. Proses pembandingan, yaitu memunculkan perbandingan, pemaduan, dan
penafsiran atas catatan-catatan sehingga menimbulkan beragam pendapat yang
berbeda. Namun perbedaan pendapat itu dibatasi agar tidak mengklaim dirinya
sendiri yang paling benar sehingga tidak terjerumus pada salah kedaden.

b. Proses Pemahaman, yaitu belajar kawruh jiwa secara tekun, fokus, dan dengan
kesungguhan (rewa nggeleng). Untuk mencapai kawruh jiwa diperlukan kemauan
berpikir yang mendalam, pikiran yang terbebas dari catatan-catatan dan pengaruh
dari orang lain.

Kedua, meruhi kawruh jiwa, yaitu meneliti, merasakan, dan mengalami


(mempraktikan) kawruh jiwa sehingga menghasilkan weruh raos (Kawruh Jiwa).
Langkah yang harus dilakukan bagi mendapatkan kawruh jiwa adalah menyelami
perasaannya sendiri untuk mengoreksi tindakan, pikiran, gagasan pribadi, kemudian
meneliti perasaan orang lain sebagai cerminan perilaku kita, dan langkah terakhir
adalah mempraktikkan sikap kawruh jiwa.

Berhubung dengan ajaran kawruh jiwa dan kebahagiaan hidup, Ki Ageng


Suryomentaram juga memperkenalkan konsep pembangunan jiwa yang dikenal
sebagai bungah sajroning susah, yaitu konsep yang mengajarkan ketika manusia
sedang dilanda kesedihan hendaknya diterima dengan senang hati (Suwardi, 2012).
Penerimaan perasaan tersebut hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki
perkembangan emosi ptelah matang. Seseorang yang memiliki kematangan emosi
akan dapat memahami perasaan bungah dan susah hanya sementara, kedua perasaan
tersebut akan mengalami perputaran atau silih berganti sehingga manusia diharapkan
dapat menerima dua perasaan tersebut secara sadar dan ikhlas (Suwardi, 2012).
Contohnya ketika orang tercinta atau terdekat meninggal dunia, Keluarga yang
ditinggalkan pastinya bersedih, akan tetapi mereka tidak boleh hanyut dalam
kesedihan mendalam. Keluarga yang ditinggalkan perlu mengikhlaskan dan
“bersyukur” orang yang meninggal telah dibebaskan dari penderitaan di dunia dan
menuju kesempurnaan.

Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan juga bahwa kawruh begja sawetah


menunjukkan konsep hidup yang didasarkan kepada sabutuhe, saperlune, sacukupe,
sakepenake, samesthine, lan sabener (Suwardi, 2012). Pernyataan tersebut
menjelaskan bahwa hidup seseorang itu sebaiknya apa adanya, tidak bergaya atau
berlebihan, dan hidup apa adanya. Gaya hidup yang demikian merupakan hakikat
hidup menurut budaya Jawa, dimana konsep hidup Jawa adalah hidup tidak perlu
mengada-adakan yang tidak mungkin, dan hidup sesuai realita hidup serta apa adanya
karena hidup yang terlalu banyak tuntutan akan menjadi beban psikologis dan
membuat hidup mereka tidak tenteram (Suwardi, 2012).

6. Sikap Nrima dan Perasaan Bahagia Menurut Budaya Jawa

Sifat dasar masyarakat Jawa yang paling terkenal dan membentuk gambaran tentang
orang Jawa adalah sikap nrima (Suwardi, 2012). Sikap nrima adalah menerima segala
sesuatu dengan kesadaran spiritual Psikologis dan tanpa menggerutu karena kecewa di
belakang (Suwardi, 2012). Sikap nrima adalah sikap menerima apapun yang terjadi
dalam hidup, baik senang maupun susah dan mesyukuri sebagai karunia Tuhan.
Orang Jawa ini lamun kelangan ora gegetun, trima mawi pasrah maksudnya dalam
hal apa saja mereka terima dengan kesungguhan hati nrima (Suwardi, 2012).

Walaupun konsep nrima terkesan pasrah tetapi kenyataannya tidak demikian. Nrima
tidak berarti mandeg, tanpa upaya gigih, dan disebaliknya terkandung pedoman ana
dina ana upa, obah mamah artinya jika masih ada hari, rejeki tentu ada, dan setiap
orang yang mau bekerja tentu akan meraih rejeki (Suwardi, 2012). Orang jawa
memiliki keyakinan golek pangan sewu dalane, yang artinya banyak jalan untuk
mencari rezeki halal (Suwardi, 2012).

Jadi dapat disimpulkan bahwa nrima dan usaha (kupiya) maka keberuntungan
(kebegjan) akan datang. Apabila nrima tersebut diikuti pasrah sumarah, maka sangat
mungkin kabegjan dan kebahagiaan akan datang dalam kehidupan mereka (Suwardi,
2012).

7. Ngunjara setanI (Mengendalikan Hawa Nafsu ala Orang Jawa)


Manusia terdiri daripada dua elemen yaitu rohani (badan halus) dan jasmani (badan
kasar atau wadhag) (Asti, 2018). Kedua elemen ini saling berkaitan dan
mempengaruhi tingkah laku manusia termasuk usahanya mencapai kebahagiaan.
Salah satu penghalang manusia dalam mencapai kebahagiaan adalah kegagalannya
mengendalikan hawa nafsunya. Seringkali hawa nafsu menjerumuskan manusia
kedalam penderitaan, contohnya nafsu untuk memiliki kekayaan tanpa memikirkan
kemampuan dirinya, perasaan dengki dengan kesuksesan yang dicapai oleh orang
lain, iri hati dengan harta benda yang dimiliki oleh tetangganya, dan sebagainya.

Mengendalikan hawa nafsu adalah bagaikan ngunjara setan (memenjarakan setan).


Kemampuan setiap manusia untuk meredam hawa nafsunya adalah tidak sama
sehingga seseorang yang mampu menaklukkan hawa nafsu dalam dirinya ibaratnya
seperti orang yang mampu ngunjara setan (Asti, 2018). Dalam budaya masyarakat
Jawa, hawa nafsu dalam diri manusia disimbolkan sebagai lubang. Babahan hawa
sanga (lubang Sembilan) merupakan salah satu titik kelemahan manusia, karena tidak
dapat ditutupi atau dilindungi ole haji jaya kawijayan yang paling unggul sekali pun
(Asti, 2018).

Kesembilan lubang ini merupakan simbol kenikmatan ragawi atau hawa nafsu
manusia (Asti, 2018). Lubang-lubang ini yang menyebabkan manusia terjatuh ke
dalam penderitaan. Manusia yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya akan
terjerumus ke dalam lubang-lubang tersebut, sedangkan manusia yang mampu
mengendalikan kesembilan lubang tersebut adalah mereka adalah individu unggul dan
istimewah.

Kesembilan lubang atau hawa nafsu tersebut adalah sebagai berikut (Asti, 2018):
A. Hawa nafsu ke-1 dan ke-2: Mata kanan dan kiri
Mata merupakan bagian penting dari sistem informasi yang dimiliki oleh manusia.
Mata berfungsi menerima berbagai informasi dan menyalurkan ke otak sebagai
pusat untuk memproses dan filter informasi yang diberikan oleh kelima panca
indera manusia. Kalau mata melihat hal-hal yang positif atau negatif maka otak
akan memprosesnya mengikuti stimulus yang diterimanya. Semua informasi yang
dihasilkan oleh otak akan disampaikan ke hati, dan hati akan merespon dengan
macam-macam sikap seperti sombong, iri hati, dengki, dan sebagainya. Oleh
karena itu penting bagi manusia untuk menjaga kedua matanya supaya lebih
banyak menyerap informasi-informasi yang positif.

B. Hawa nafsu ke-3 dan ke-4: Telinga kanan dan telinga kiri
Masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan bahwa kedudukan nafsu amarah
manusia terletak di telinga. Seperti halnya dengan mata, telinga adalah jalan
masuknya suara ke dalam hati, oleh karena itu telinga ini menjadi sumber emosi
atau kemarahan sekiranya mendengar suara yang bersifat negatif. Oleh karena itu,
manusia dituntut untuk pandai-pandai menyeleksi suara yang masuk ke telinga.

C. Hawa nafsu ke-5 dan ke-6: Lubang hidung kanan dan lubang hidung kiri
Hidung merupakan indra penciuman yang dapat memberikan informasi kimiawi ke
otak yang dapat memicu reaksi hormonal jika menicum suatu bau tertentu. Bau
tertentu dapat memicu perilaku positif maupun negatif.

D. Hawa nafsu ke-7: Mulut


Mulut dapat menghasilkan hal-hal yang positif maupun negatif. Lewat mulut dapat
memicu banyak hawa nafsu seperti memuji, memberi semangat, mengumpat atau
mengeluarkan kata-kata jorok atau kasar, mengucapkan kebenaran, tetapi melalui
mulut juga dapat berbohong, fitnah dan sebagainya. Oleh karena itu, manusia harus
pandai-pandai mengatur dan menggunakan mulutnya supaya tidak menyebabkan
penderitaan bagi mereka.

E. Hawa nafsu ke-8: Alat kelamin


Alat kelamin di sini maksudnya adalah menggunakan alat kelamin sewajarnya. Hal
ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengendalikan diri dan hawa nafsu serta
hasrat untuk bersetubuh. Kegagalan mengendalikan hawa nafsu dapat
menyebabkan terjadinya kebobrokan moral seperti perselingkuhan, pelacuran dan
sebagainya.

F. Hawa nafsu ke-9: Anus


Anus atau dubur adalah organ tubuh manusia yang berfungsi untuk mengeluarkan
kotoran. Seperti halnya dengan alat kelamin, anus perlu digunakan sewajarnya.
Kegagalan mengendalikan hawa nafsu menyebabkan penyimpangan dalam
perilaku seksual manusia, contohnya perilaku homoseksual dan aktiviti hubungan
seksual melalui anus dapat menyebabkan terjadinya penyakit HIV dan penyakit
kelamin lainnya yang membawa kepada penderitaan.

Untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, manusia perlu menjaga dan


mengendalikan kesembilan lubang tersebut. Masyarakat Jawa memiliki berbagai cara
untuk mengendalikan hawa nafsu, salah satunya adalah dengan puasa dan semedi.

8. Konsep Bahagia (Kawruh Begja) Menurut Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram


Salah satu indikasi tercapainya jiwa merdeka atau ke-bahagiaan adalah kemampuan
individu dalam beradaptasi dengan lingkungan, baik adaptasi autoplastis (mengubah
lingkungan) maupun adaptasi aloplastis (menyesuaikan diri dengan lingkungan).
Akan tetapi kemampuan adaptasi tersebut sangat ditentukan oleh pemahaman
individu tentang berbagai unsur yang membentuk diri atau kepribadiannya (Sapto,
2015).

Manusia memiliki 3 unsur yang membentuk keperibadiannya, yakni raga, pikir, dan
rasa. Untuk mencapai kondisi kepribadian yang ideal yakni kesejahteraan jasmani dan
rohani, maka setiap individu harus memiliki kemampuan untuk mengolah 3 unsur
kepribadian tersebut (Sapto, 2015). Tanpa kemampuan mengolah rasa, hanya ada 3
tipe manusia di dunia yaitu:
1. Manusia yang sehat fisik dan pintar, namun tidak bahagia.
2. Manusia yang pintar, namun tidak sehat fisik dan tidak bahagia .
3. Manusia yang sehat fisik, namun tidak pintar dan tidak bahagia.

Ilmu bahagia menjadi akar dari seluruh pemikiran-pemikiran Ki Ageng


Suryomentaram. Ajaran moral ilmu begja Ki Ageng suryomentaram yang popular
adalah (Muhammad, 2016):
o Aja dumeh (jangan sok)
o jangan menyombongkan diri
o jangan membusungkan dada
o Jangan mengecilkan orang lain karena merasa diri sendiri lebih berpangkat
tinggi,berkuasa, atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.

Pemahaman Ki Ageng tentang manusia berdasarkan hasil pengamatannya terhadap


dirinya sendiri. Kajian yang dijalankan kepada dirinya menggunakan metode empiris
yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri,
dengan cara merasakan, menggagas, dan menginginkan sesuatu.

Kebahagiaan diperoleh dengan menjadi pengawas dari keinginannya sendiri.


benih konsepsinya mengenai kebahagiaan.

“Salumahing bumi, sakurebing langit punika boten wonten barang ingkang pantes
dipun padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik kanti mati-
matian.” (Di atas bumi, di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari
secara mati-matian, ataupun dihindari atau ditolak secara mati-matian).
Pernyataan tersebut memberikan arti bahwa manusia tidak sepantasnya mengejar
sesuatu atau menolak sesuatu secara berlebihan atau diluar batas kewajaran.

pada umumnya manusia mengejar sesuatu secara berlebihan, sekaligus menolak


sesuatu juga secara berlebihan.
yang bekerja pagi, siang, sore untuk mendapatkan kekayaan, sekaligus untuk menolak
secara mati-matian kemiskinan;
berpenampilan mewah, dengan baju dan asesoris bermerk, mengendarai mobil sport,
demi mengusahakan kehormatan dan harga diri sekaligus penolakan mati-matian
untuk direndahkan atau dilecehkan.

Secara sistematis pokok ilmu bahagia Ki Ageng Suryomentaram dapat diuraikan


sebagai berikut (Muhammad, 2016):

1. Pertama, keinginan (karep).

Pokok ilmu bahagia dimulai dengan pembahasan mengenai keinginan (karep).


Keinginan merupakan hulu (pangkal) dari munculnya masalah-masalah dan problem
ketidakbahagiaan.

Tercapainya keinginan tidak menjamin munculnya rasa bahagia. Hal ini karena
keinginan bersifat mulur, atau mengembang. Setelah satu keinginan terpenuhi, maka
akan muncul turunan atau pengembangan keinginan yang lain. Ketika seseorang
belum sempat merasakan kebahagiaan, sudah tertutup oleh pikirannya dalam meraih
keinginan berikutnya.

Begitu pun dengan tidak tercapainya keinginan, juga tidak lantas membuat seseorang
merasakan kesusahan selama-lamanya.
Hal ini karena, keinginan juga bersifat mungkret, atau menyusut.Ketika sebuah
keinginan gagal terpenuhi, lantas akan menyusut menjadi keinginan yang lebih kecil.

2. Kedua, mengenai hukum pergantian.

Sifat keinginan yang mengembang dan menyusut menjadikan kesenangan dan


kesusahan bersifat bergantian. Susah dan senang akan dialami oleh manusia secara
silih berganti. Tidak mungkin seseorang susah selamanya, juga mustahil seseorang
akan terus-menerus bahagia. Inilah yang disebut hukum pergantian susah dan senang
(susah bungah).

Ki Ageng memberikan wejangan, bahwa tidak mungkin seseorang susah selama lebih
dari tiga hari ataupun senang lebih dari tiga hari. Manusia dalam kehidupannya, akan
selalu mengalami susah, kemudian senang, lalu berganti susah, selanjutnya berganti
senang, demikian seterusnya.

3. Ketiga, mengenai rasa sama (raos sami).

Hukum pergantian susah dan senang, merupakan sesuatu yang dialami semua
orang. Semua manusia, tanpa melihat suku bangsa, warna kulit, status sosial,
agama, dan usia, pasti merasakan hukum pergantian susah dan senang.
Hukum pergantian susah senang, berlaku pada semua manusia, karena setiap
manusia memiliki keinginan. Inilah yang dalam istilah Ki Ageng, sebagai “raos
sami”, bahwa semua manusia sama-sama akan mengalami pergantian susah dan
senang.

4. Keempat, mengenai rasa abadi (raos langgeng).


Inilah yang disebut rasa abadi (raos langgeng), bahwa pergantian susah dan senang
bersifat abadi, karena keinginan manusia juga sifatnya abadi.

5. Kelima, mengenai rasa tentram (raos tentrem).


Pemahaman terhadap rasa sama (raos sami), dan penerimaan terhadapnya, akan
membuahkan rasa tentram (raos tentrem). Ketentraman ini juga mengikis rasa iri,
karena bagaimanapun setiap orang memiliki kesamaan nasib bahwa mereka sama-
sama mengalami susah dan senang.

6. Keenam, mengenai rasa tabah (raos tatag).


Pemahaman terhadap rasa abadi, menjadikan manusia tabah dalam menjalani hari-
harinya. Manusia zaman dahulu yang sudah meninggal, kehidupan mereka juga
pasti berisi kesusahan dan kesenangan. Terbukti manusia zaman dahulu bisa
menjalaninya. Manusia masa kini pun sebaiknya tidak terlalu khawatir, karena
sama seperti manusia zaman dahulu, kehidupan masa kini juga pasti berisi susah
dan senang. Jika orang-orang zaman dahulu bisa menjalani kehidupan, maka
orang-orang masa kini pun pasti bisa menjalani kehidupan. Pemahaman semacam
inilah yang menghasilkan sikap tabah (tatag).

7. Ketujuh, mengenai mengawasi keinginan (nyawang karep).

Seseorang menyadari adanya jarak antara aku yang mengalami susah dan senang,
dengan aku yang sebenarnya. Gambarannya adalah seperti melihat diri sendiri dari
luar diri. Inilah yang disebut aku si pengawas. Seseorang bisa melihat jelas dirinya
yang sedang menangis, dirinya yang sedang tertawa terbahak-bahak, dan kesadaran
sublimnya bisa mengenali bahwa yang sedang menangis dan tertawa itu bukan
aku. Saat itulah, seseorang bisa merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang
lepas dari aku (yang selalu susah dan senang). Kebahagiaan inilah yang disebut
kebahagiaan yang sebenarnya, yang tidak terkait lagi dengan keinginan.

Keinginan Hukum Rasa sama


(karep) pergantian (raos sami)

Keinginan manusia Hukum pergantian berlaku pada Semua manusia sama-


sifatnya mengembang semua manusia, karena setiap sama akan mengalami
manusia memiliki keinginan. pergantian susah dan
senang (raos sami)
Rasa tabah Rasa tentram Rasa Abadi
(raos tatag) (raos tentrem)
Pergantian keinginan bersifat
Pemahaman terhadap rasa abadi, Pemahaman dan penerimaan abadi, karena keinginan
menjadikan manusia tabah dalam terhadap rasa sama (raos sami)
manusia sendiri sifatnya abadi
menjalani hari-harinya. akan menghasilkan rasa tentram
(raos tentrem)

mengawasi keinginan BAHAGIA


(nyawang karep)

Melihat diri sendiri dari luar diri.


Inilah yang disebut diri kita sebagai “si
pengawas”

Gambar 1. 7 Konsep Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram

Gambar 1.7 menunjukkan inilah ilmu bahagia (kawruh begja), konsep pokok
pemikiran Ki Ageng Suryomentaram mengenai kebahagiaan yang menjadi dasar bagi
konsepnya mengenai manusia. Jadi, nasihat pokok Ilmu Bahagia Ki Ageng
suryomentaram membahas tentang bagaimana seseorang mencapai kondisi
kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang tidak terikat kepada hukum pergantian senang
dan susah, karena dirinya sudah berhasil menjadi pengawas dari keinginannya sendiri.

Rumusan kebahagiaan versi Ki Ageng Suryomentaram adalah rumusan paling sulit.


Karena rumusan kebahagiaan menurut beliau sama sekali tidak mensyaratkan
kepemilikan harta yang berlimpah dan jabatan yang tinggi atau jaman sekarang
dikenal dengan crazy rich. Ki Ageng Suryomentaram berpandangan bahwa
kebahagiaan tidak berdasarkan kepada harta benda, seperti yang beliau katakana
"Nyinau raos punika nyinau tiyang. Mangka awakipun piyambak, punika tiyang,
dados nyinau tiyang punika nyinau awakipun piyambak utawi meruhi awakipun
piyambak, inggih punika pangwikan pribadi" (Mempelajari rasa itu berati
mempelajari manusia, dan diri sendiri itu adalah manusia juga. Maka mempelajari
manusia itu sebenernya mempelajari atau mengetahui diri sendiri) (Ahmad, 2020).

Makna hidup di sini berati menikmati hidup yang sedang dijalani. Kalau sekarang ini
anda bekerja sebagai seorang guru di sekolah dan mengajar anak-anak, maka nikmati
profesi tersebut. Tidak mengeluh karena gajinya sedikit, atau anak-anak yang
dididiknya nakal dan tidak mau mendengar perkataan guru. Apa yang harus
dilakukan? Nikmati saja, maksudnya mensyukuri keadaan yang sedang dijalani, baik
ketika senang dan susah, tetap disyukuri (Ahmad, 2020). Mengenal diri sendiri seperti
ajaran Ki Ageng Suryomentaram kelihatannya mudah, tetapi dalam praktiknya sangat
susah, tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya (Ahmad, 2020).
Seorang filsuf barat, Arthur Schopenhauer menyatakan bahwa, “manusia yang
paling bahagia adalah mereka yang dirinya berkecukupan, dan tidak
membutuhkan apapun dari luar untuk kelangsungan hidupnya. Kebahagiaan
kita banyak bergantung pada diri kita sendiri atau individualitas kita
(Muhammad, 2021). Pendapat ini sesuai dengan konsep bahagia dari Ki Ageng
Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram mendasarkan pemikiran bahagianya
kepada Pangawikan Pribadi (pengertian diri sendiri), Menurut beliau dengan
mempelajari dan memahami tentang dirinya sendiri, seseorang dapat memaknai
hidupnya dan memahami tentang manusia. Dengan demikian mereka memiliki
konsep Kaweruh Bejga (Pengetahuan tentang Jiwa) atau (pengetahuan tentang
bahagia ) (Muhammad, 2020). Konsep Kaweruh Bejga ini merupakan aliran
kebatinan Jawa yang mengutamakan kepada konsep Sumareh  mareng
Gusti (pasrah kepada Tuhan ) (Muhammad, 2020).

Ki Ageng Suryomentaram selaku pengamal tarekat kebatinan Kaweruh Bejga.


Konsep dasar dari aliran kebatinan Kaweruh Bejga adalah mengutamakan
pengalaman daripada keyakinan, maknanya setiap pengalaman yang dialami oleh
pengikut aliran ini penting untuk menjadi bahan intropeksi diri atau komunikasi batin
yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu ajaran yang
paling menonjol dalam tarekat kebatinan Kaweruh Bejga adalah aspek etika. Aspek
etika dalam tarekat kebatinan Kaweruh Bejga sangat penting untuk diperhatikan
kerana tingkah laku, keramah-tamahan, dan pengolahan perasaan menjadi hal yang
penting supaya manusia tidak jatuh dalam prasangka buruk yang berimbas pada suatu
prilaku yang dilarang oleh agama.

9. Kesimpulan

Konsep bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram dapat disimpulkan sebagai


berikut: manusia jika ingin berbahagia aja dumeh (jangan sok), jangan
menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, dan jangan mengecilkan orang
lain. Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan bahwa kebahagiaan manusia dapat
tercapai kalau mereka dapat memahami tentang keinginan (karep), dimana
tercapainya keinginan tidak menjamin munculnya rasa bahagia. Begitu pun dengan
tidak tercapainya keinginan, juga tidak membuat seseorang merasakan kesusahan
selamanya.

Seseorang perlu memahami bahwa susah dan senang akan dialami oleh manusia
adalah silih berganti, dan tidak mungkin seseorang susah atau bahagia selamanya. Hal
ini sifatnya abadi. Pemahaman konsep pergantian susah dan senang dalam kehidupan
semua manusia akan menyebabkan perasaan tentram dan tabah dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya. Untuk dapat memahami konsep pergantian dalam
kehidupan, seseorang perlu mengendalikan keinginannya (nyawang karep).
Pada akhirnya, untuk mencapai kebahagiaan diperlukan sikap nrima yaitu sikap
menerima apapun yang terjadi dalam hidup, baik senang maupun susah dan
mesyukuri sebagai karunia Tuhan. Seseorang yang nrima apa pun yang terjadi dalam
kehidupannya akan mencapai tahap bahagia dalam hidupanya.

Daftar Pustaka

Ahmad Sugeng Riady. (2020). Rumus Kebahagiaan Ki Ageng Suryomentaram.


Dibuka pada: 28 April 2022, diunduh dari:
https://www.kompasiana.com/sugengriady/5edf6390d541df3296288ad2/rumus-
kebahagiaan-ki-ageng-suryomentaram.

Asti Musman. (2018). Bahagia ala Orang Jawa. Yogyakarta: Pustaka Jawi.

Candra Wahyu. (2017). Indeks Kebahagiaan dan Falsafah Hidup Masyarakat Jawa.
Dibuka pada: 28 April 2022, diunduh dari:
https://www.kompasiana.com/chandrawahyu/5a0b0ddc63b24802f1008402/indek
s-kebahagiaan-dan-falsafah-hidup-masyarakat-jawa.

Eka Nova Irawan. (2015). Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi Dari Klasik
Sampai Modern. Yogyakarta: IRCiSoD

Fikriono, M (2012). Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng


Suryomentaram. Jakarta: Noura Books.

Muhammad Dani Habibi. (2020). Mengenal Konsep Tarekat Kebatinan Kawruh


Begja Ki Ageng Suryomentaram. Dibuka pada: 1 Mei 2022, diunduh dari:
https://pecihitam.org/mengenal-konsep-tarekat-kebatinan-kawruh-begja-ki-
ageng-suryomentaram/

Muhammad Hazmi Fauzan. (2021). Kawruh Begja, Pedoman Hidup Bahagia Ala Ki
Ageng Suryomentaram. Dibuka pada: 1 Mei 2022, diunduh dari:
https://hidayatuna.com/kawruh-begja-pedoman-hidup-bahagia-ala-ki-ageng-
suryomentaram/

Muhammad Nur Khosim. (2016). Konsep Kebahagiaan Ki Ageng Suryomentaram


dan Relevansinya dengan Kehidupan Moden. Skripsi, Program Studi Filsafat
Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Safira Aulia. (2018). 11 Filosofi Hidup Orang Jawa yang bisa Bikin Kamu Lebih
Bahagia. Dibuka pada: 28 April 2022, diunduh dari:
https://www.idntimes.com/life/inspiration/aulia-ratna-safira/11-filosofi-hidup-
orang-jawa-yang-bikin-hidup-lebih-bermakna-dan-bahagia/11

Sapto Widi Wusana dan kawan-kawan. (2015). Handbook Ilmu Kawruh Jiwa. Suryo
Mentaram, Riwayat, dan jalan Menuju Bahagia. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan
DIY.
Suwardi endraswara.(2012). Falsafah Hidup Jawa. Menggali Mutiara Kebijakan dari
Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala.

Anda mungkin juga menyukai