Anda di halaman 1dari 25

Landasan adalah sebagai pondasi atau sebuah dasar pijakan bagi siapapun manusia yang

hidup di dunia ini karena tanpa landasan, maka manusia hidupnya tidak punya arah yang jelas
untuk membawa kemana orientasi hidupnya. Orang yang hidupnya tidak punya landasan
perumpamaannya adalah ibarat bangunan yang berdiri diatas pasir yang sewaktu-waktu bisa
roboh jika gelombang datang. Oleh karena itu manusia harus sadar dan mempunyai landasan
hidup yang mereka pegang. Ada beberapa ciri orang yang memiliki landasan hidup

1. Manusia harus memahami dirinya dan tau kemana arah dan tujuan hidupnya.
2. Manusia harus menyadari tentang dirinya dan bagaimana memerankan dirinya.
3. Manusia harus mengenal dengan melihat tanda-tanda kekusaaanNya, sehingga
manusia sadar untuk lebihcondong untuk mengikuti perintahNya dan menjauhi semua
laranganNya.
4. Manusia harus bisa membaca kondisi lingkungan dengan petunjuk pedoman hidup
manusia, apakah sudah sesuai atau belum.

B. Agama (Religius)
Petunjuk tersebut dikenal dengan nama agama, yang berasal dari bahasa Sansekerta (bahasa
India kuno), yang berarti: a = tidak, dan gama = kacau. Jadi yang dimaksud dengan agama
adalah peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk mengatur manusia agar hidupnya di
dunia ini tidak kacau.
Menurut Rokeach dan Bank bahwasannya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang
berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak untuk
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas.
Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan keberagamaan
merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau
kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.
Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Ari Ginanjar, terdapat beberapa sikap
religius yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, di antaranya:

 Kejujuran

Seorang siswa yang selalu tidak jujur dalam ujian, hanya akan menghasilkan prestasi ‘semu’.
Sifat tercela itu akan terus terbawa ketika bekerja dan berinteraksi dalam lingkungan
berikutnya. Kebohongan yang pertama akan disusul kebohongan- kebohongan berikutnya.

 Keadilan

Keadilan adalah memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan haknya. keadilan itu
bersifat mutlak dan setiap manusia itu sulit untuk melakukan keadilan malah banyak manusia
melakukan hal sebaliknya tidak melakukan keadilan tetapi melakukan kecurangan, di zaman
sekarang ini sulit sekali menemukan manusia yang berlaku adil. Ciri – ciri keadilan itu
sendiri adalah tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai dengan proporsinya
baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Contoh: Guru memberikan
nilai kepada siswa sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

 Bermanfaat Bagi Orang Lain

Orang yang baik adalah orang yang bermanfaat kepada orang lain, tanpa bermanfaat kepada
orang lain kita tidak akan disebut dan dipandang baik. Bagaimana mungkin hanya dengan
diam, tidak bermanfaat, orang mengatakan baik kepada anda?
Bermanfaat kepada orang lain seperti membantu nenek yang sedang menyebrang
jalan,membantu orang tua yang mengakat barang bawaan yang berat,membantu orang tua
yang kesulitan,hingga membantu untuk memberikan bantuan baik berupa materiil dan non
materiil.

 Rendah Hati

Rendah hati bukan berarti kita selalu berkata merendah bila ditanya seseorang. Bila ditanya
selalu menjawab saya bukan apa-apa atau saya tidak bisa apa-apa. Untuk dipuji rasanya
sangat sulit sekali. Ini bukan rendah hati tetapi minder namanya. Rendah hati atau humble,
mencerminkan sikap tidak sombong, dan bersedia untuk mengakui kehebatan orang lain.
Dengan adanya sikap rendah hati, kita bisa mengikis rasa ego kita, dan mau belajar dari orang
lain. Ujung- ujungnya, semua itu menentukan seberapa besar jiwa kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melatih sikap rendah hati kita dengan cara menyapa
orang sebelum disapa, tersenyum sebelum orang senyum pada kita, sering mengucapkan dua
kata sakti “Terima Kasih”, dan “Tolong”. Rendah hati juga menyangkut kesediaan untuk
diajar, dan mengajar orang lain. Seberapa sering kita mempraktekkan sikap rendah hati,
itulah yang akan menentukan jiwa kita sesungguhnya.

 Bekerja Efisien

Kemampuan mengatur waktu sangat penting agar orang dapat bekerja secara cepat dan
efisien. Jika tidak pandai mengaturnya, bisa-bisa banyak energi terkuras, sementara pekerjaan
tidak satu pun terselesaikan.

 Visi ke Depan

Setiap pria dan wanita sukses adalah pemimpi-pemimpi besar. Mereka berimajinasi tentang
masa depan mereka, berbuat sebaik mungkin dalam setiap hal, dan bekerja setiap hari menuju
visi jauh ke depan yang menjadi tujuan mereka.

 Disiplin Tinggi

Disiplin diri adalah sebuah cara untuk membuat impian anda menjadi kenyataan. Disiplin diri
juga adalah cara untuk mengubah kelemahan anda menjadi kekuatan. Tanpa disiplin,
sekalipun anda tahu apa yang anda inginkan - anda tidak bisa mencapainya. Tanpa disiplin,
sekalipun anda tahu apa yang TIDAK anda inginkan, anda tidak mampu menghindarinya.
Disiplin diri adalah penting dalam mengisi hidup. Memang diperlukan usaha, kemauan, dan
juga pengorbanan - tapi ingat semua itu bukan hukuman. Melainkan jembatan bagi anda
untuk mencapai kemungkinan tertinggi dan terbaik.
Bagaimana membuat diri kita disiplin? Anda sudah memiliki segala yang diperlukan. Tidak
lebih dari mengendalikan tindakan anda sendiri, dan anda sudah belajar ini sejak kecil. Untuk
mendisiplinkan diri, kita harus MEMUTUSKAN untuk melakukan hal itu. Disiplin diri bisa
anda miliki dan gunakan saat anda siap untuk menghidupkan impian anda.

 Keseimbangan

Seseorang yang memiliki sifat religius sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khusunya
empat aspek inti dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan
spiritualitas.
Jadi hidup yang religius itu bukan hanya ketika seorang melakukan kegiatan ritual
(beribadah) tetapi harus di wujudkan dalam berbagai sisi kehidupan. Dan bukan hanya
melalui kegitaan yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga kegiatan yang tidak
tampak dan terjadi dalam hati seseorang.
C. Manfaat Hidup Religius
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan hidup di dunia ini dari dulu sampai sekarang
adalah ingin mencapai kebahagiaan hidup. Dan untuk itu manusia memiliki akal pikiran
dengan kemampuan yang sangat hebat. Dengan akal pikiran tersebutlah manusia dapat
memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi, mampu menciptakan alat-alat teknologi yang
sangat canggih, yang apabila hasil hasil penemuan manusia yang sekarang ini diceritakan
pada zaman dahulu kala, pasti akan dianggap sebagai hal yang irrasional (tidak masuk akal).
Akan tetapi seberapa jenius dan cerdasnya akal pikiran manusia, ternyata memiliki tiga
kelemahan yang tidak dapat dijawab oleh akal pikiran itu sendiri. Tiga kelemahan tersebut
adalah:

1. Akal pikiran itu tidak dapat mengetahui hakekat kebenaran. Buktinya banyak teori
kebenaran yang dikemukakan oleh para ahli yang berbeda-beda antara teori yang satu
dengan yang lain, padahal kita tahu dengan pasti bahwa kebenaran yang sejati
hanyalah satu.
2. Akal pikiran itu tidak dapat mengetahui letak pasti kebahagiaan hidup. Buktinya
seringkali sesuatu yang dibayangkan oleh seseorang akan dapat membahagiakan
hidupnya sehingga seluruh tenaga, waktu bahkan uang yang dia punya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tersebut, namun setelah tercapai, ternyata malah membawa
kesengsaraan hidup yang berkepanjangan.
3. Akal pikiran itu tidak dapat mengetahui asal muasal manusia. Artinya meskipun akal
pikiran itu sangat cerdas, jenius, brilian, ternyata tidak dapat menjawab tujuh macam
pertanyaan berikut:

 Dari mana manusia itu datang sebelum hidup di dunia ini?


 Mengapa manusia itu harus hidup di dunia ini? Siapa gerangan yang
menghendaki kehidupan manusia di dunia ini?
 Untuk apa manusia hidup di dunia ini?
 Mengapa setelah manusia terlanjur senang hidup di dunia dia harus mati;
padahal tidak ada seorangpun yang senang mati?
 Siapa gerangan yang menghendaki kematian manusia?
 Kemana nyawa manusia setelah mati dan bangkainya dikubur?

Ketiga macam kelemahan akal fikiran manusia tersebut di atas adalah bukti yang nyata
bahwa manusia mutlak memerlukan petunjuk yang dapat mengatasi ketiga kelemahan akal
tersebut dan yang dapat memberikan bimbingan kepada manusia agar hidupnya di dunia ini
dapat memiliki ketenangan dan ketentraman jiwa yang menjadi faktor penentu bagi
kebahagiaan hidup.
Anak yang Merasa Dihargai

TETAPI bagaikan pertumbuhan mutiara dalam kulit kerang, religiositas masih harus kita
rangsang, kita benihkan, dan kita tumbuhkan dalam jiwa si anak, sejak ia masih sebutir inti
dalam kandungan. Sejak dari kandungan? Ya, sejak dari kandungan. Sejak pembenihannya.
Dari kandungan, bahkan sudah sejak persiapan sebelum pengandungannyalah awal proses
pendidikan anak harus dimulai. Teristimewa pendidikan religiusnya. Sebab mendidik artinya
menghormati, menghargai. Guru dan orang tua yang paling berhasil ialah mereka yang
mampu dan memulai menghormati serta menghargai anak atau anak didiknya. Sebab dalam
pengetahuan bahwa dia dihargai, si anak memekar. Benih potensinya seperti disirami hujan
kesuburan, seolah-olah dia disadarkan: Kau hidup, kau akan lebih hidup lagi. Kau dapat dan
pasti memekar, dan karena itu kau berharga. Kau berharga karena kau indah; kau indah
karena kau setia pada yang benar. Kebenaran ialah ke-anak-anmu. Anak berarti calon, Sang
Akan, penuh janji dan harapan. Dan kau akan memenuhi janji dalam dirimu, yakni menjadi
semakin dewasa, semakin matang, semakin penuh, semakin subur, sehingga datang saatnya
kau sendiri memberi kehidupan. Sang penerima kehidupan menjadi sang pemberi kehidupan,
demi nama Allah Yang Mahakuasa, Mahaagung lagi Pengasih dan Penyayang.

Oleh karena itulah pembenihan rahim yang nanti akan menumbuhkan seorang anak manusia
tidak boleh dilakukan sembarangan. Di situlah dimulai proses penghargaan kepada si mungil.
Penghargaan yang bersinar dalam diri orang tuanya itulah modal pertama bagi proses
pendidikan selanjutnya. Demikian juga selama anak dikandung, ayah dan ibunya meneruskan
proses itu dalam bentuk sikap si ibu terhadap benih di rahim; namun juga dari pihak si ayah
maupun keluarga. Sehingga perkembangan si anak memperoleh segala unsur yang seindah
mungkin dari mereka yang paling dekat dengan si calon anak manusia itu.

2. Kemampuan Bertanggung Jawab Atas Hal-hal Sehari-hari

Tentulah proses pendidikan awal itu akan berlanjut terus sesudah bayi lahir, selama
pertumbuhannya menjadi kanak-kanak mungil, menjadi anak yang semakin besar dan
semoga semakin cerdas juga, berbudi dan berselera religius. Apakah anak kecil yang dulu
pernah terkandung secara serampangan, dilahirkan, dan mengalami masa kanak-kanak secara
keliru, masih dapat terbina baik dalam segi religius? Pasti bisa, sebab Allah Maha Penyayang
penuh kasih kepada anak macam itu juga. Dan lagi, yang mustahil bagi manusia, tidak
dengan sendirinya mustahil bagi Tuhan. Tetapi tentulah pertumbuhan anak senasib itu lebih
rumit karena keteledoran semasa awalnya.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan religius anak-anak tak bisa lain, harus
mulai dari orang tuanya, wali, atau mereka yang dalam pertumbuhannya paling dekat
dengan si anak itu. Itu tidak berarti bahwa orang tua harus bergaya kiai atau pendeta.
Cukuplah bila orang tua menjalani hidup yang normal, yang sehat, yang seimbang. Seimbang
artinya, tahu tempat dan waktu bekerja untuk kehidupan materlil sehari-hari, namun juga tahu
menempatkan dan mewaktukan kehidupan rohani secara selaras.

Namun pantas kita sadari bahwa hal-hal materiil dan perkara-perkara dunia fana maupun
baka bukanlah dua daerah yang terpisah. Di dalam pengolahan kehidupan fana, kita sudah
menanamkan pahala maupun kutukan untuk dunia baka. Apa yang kita kerjakan dalam dunia
bisnis atau di sekolah, di bengkel, di dapur, semua itu tidak "cuma" bernilai duniawi belaka
yang akan musnah tanpa buah.
Di dalam pengelolaan perkara-perkara materiil secara bertanggung jawab, kita sudah mulai
menimba zat-zat penghidupan surgawi. Maka pendidikan religius anak-anak harus dimulai
dengan pendidikan menghargai serta bertanggung jawab terhadap hal-hal sehari-hari yang
seakan-akan tak berarti atau tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan rohani. Dengan
mental apa kita main sepak bola, dengan cara apa kita meminjamkan uang kepada tetangga
yang harus membayar rekening rumah sakit, dengan kata-kata apa kita memberi sedekah bagi
orang miskin, dengan lika-liku apa kita berpolitik, dengan jiwa apa kita meriset perilaku
masyarakat, itu semua sangat relevan untuk kehidupan dan pendidikan religius. Pertama-tama
untuk diri kita sendiri, orang tua. Namun secara langsung itu akan berdampak juga kepada si
anak. Sebab betul, anak belum dapat berlogika sekolah, dan banyak hal belum dipahami
otaknya. Akan tetapi dia punya antena-antena radar dan sensor yang sangat peka merasa apa
yang terjadi antara orang tuanya, apa yang mereka bicarakan, hal-hal mana yang dianggap
penting dan remeh bagi orang tuanya, soal-soal apa yang menyedihkan dan menggembirakan
ayah-ibu, ambisi-ambisi apa, nafsu-nafsu apa yang merajai orang tua, semua itu belum
dimengerti (meng-arti) oleh si anak. Tetapi ia me-RASA-kannya secara intuitif spontan.
Binatang kuda pun mempunyai intuisi dan sensor spontan bila merasa akan bersua
kemungkinan bahaya yang mengancam. Naluri anak pun begitu. Banyak kesan tersimpan
dalam ingatan bawah sadar anak. Maka dalam psikoterapi banyak konflik serta penyakit saraf
kaum dewasa dapat diterangkan dari "perbendaharaan" pengalaman orang semasa kanak-
kanak.

3. Kemampuan untuk Kagum dan Bertanya

Semoga sekarang semakin teranglah bagi kita bahwa pertama dan terutama pendidikan sikap
religius pada dasarnya tidak berbentuk pengAJARan, tetapi TELADAN atau peragaan
HIDUP secara riil. Si anak belajar tidak dari semacam kurikulum, akan tetapi dengan cara
meniru-niru, menyesuaikan, dan mengintegrasi diri dalam suatu suasana, sesuatu yang ia
hayati sebagai permainan, yang "aturan-aturan" permainannya sedikit demi sedikit ia ketahui.
Terutama aspek meniru-niru itulah gejala umum yang kita lihat terdapat di mana-mana.
Tetapi bagi si anak ulah meniru-niru, walaupun belum disadari maksud atau makna
sesungguhnya, SUDAH merupakan penghayatan hidupnya.

Si anak selalu belajar dengan mengHAYATI sesuatu. Kita tahu bahwa walaupun sudah tujuh
kali si anak mendengar cerita "Si Bawang Putih dan Bawang Merah", "Cinderella", atau
"Kancil Mencuri Mentimun", toh ia selalu akan merengek-rengek agar ibu atau kakak
mengulang lagi cerita yang sama itu kepadanya. Dia sudah tahu plot bahkan akhir ceritanya.
Tetapi bukan itu yang penting baginya. Ia mengHAYATi cerita, itulah yang terpenting. Si
anak sendirilah si Bawang Putih atau si Kancil. Di dalam penghayatan suatu cerita, suatu
lakon, dia belajar bersentuhan dan berkenalan dengan dunia luar dirinya.

Bahkan dia mengidentifikasi diri selaku Cinderella, misalnya. Dia menghayati bahwa ada
yang disebut jahat dan ada yang baik. Ada sesuatu dalam kehidupan ini ternyata disebut
nakal, pantas dikasihani, pantas dibela. Dia mulai tahu bahwa ada sesuatu yang pantas
didambakan dan ada sesuatu yang pantas dihindari atau dilawan. Dan yang penting, si anak
belajar bahwa ada sesuatu yang disebut indah, luhur, mulia, benar, palsu, memberikan damai,
dan sebagainya.

Begitulah si anak belajar dan menghayati rasa haru, kagum, bertanya penuh dambaan dan
melamun. Dan bila ibu atau kakaknya berkata bahwa bulan purnama mengajak si adik
tersenyum dan pohon-pohon saling membisikkan riwayat-riwayat bagus dari wilayah-wilayah
yang jauh, si anak sangat paham hal itu. Bahkan dia yakin bahwa bulan itu benar-benar
tersenyum dan bahwa yang terdengar di dedaunan sebetulnya adalah bisikan-bisikan riwayat
yang mengasyikkan. Si anak adalah penyair yang paling asli. Tidak dalam kata atau tulisan,
tetapi dalam penghayatan.

Oleh karena itu, berkali-kali kita melihat seorang anak berjalan di kaki-lima sendirian sambil
meloncat-loncat, atau asyik sendiri memandang ke tanah sambil menyanyi lirih lagu entah
apa tanpa kata. Si anak adalah penyanyi yang paling asli. Ia penari yang otentik. Ia pengarang
yang kreatif. Dia penuh imajinasi dan spontan menjadi penyambung dunia riil dan dunia
fantasi. Tanpa kejenjangan atau konflik. Dengan enak tanpa problem si anak dapat saja
bercerita kepada ibunya bahwa tadi di jalanan sesudah pulang dari sekolah dia berjumpa
dengan Malin Kundang himself atau putri Cinderella herself.

Benarlah, si anak memiliki bakat untuk kagum, untuk bertanya, berimajinasi. Setiap anak
berbakat puisi, dan kemahiran main dalang bukanlah sesuatu yang asing baginya. Tanpa jera
dia bertanya tentang mengapa langit itu biru dan mengapa kuda punya ekor panjang
sedangkan ayam tidak. Tak jemu ia bertanya dari mana kereta api itu datang, dan pergi ke
mana burung-burung yang terbang itu. Sikap suka bertanya tentang sebab-musabab segala
kejadian, tentang hal-hal dari mana ke mana, kepekaan terhadap sesuatu yang penuh misteri,
dan kemampuan untuk kagum murni, menghayati dunia lambang atau puisi, itulah persis
modal vital bagi cita rasa religius. Sebab bagi si anak dan bagi manusia religius, yang penting
bukanlah gejala atau kulit luar, tetapi yang terselubung penuh misteri, yang mengagumkan,
dan yang mengajaknya menghayati alam, yang biar jauh seolah-olah, tetapi fantastis; tidak
"fana" atau teknis belaka, tetapi yang penuh makna "di balik semu". Bagi dia hal-hal yang
wadaq atau teknis belaka tidak ada. Selalu ada sesuatu plus di balik semua yang ia lihat dan
alami. Dan justru itulah landasan yang diperlukan bagi jiwa yang religius. Manusia religius
adalah manusia yang selalu bertanya tentang apa yang ada sebenarnya di balik permukaan
segala ini. Yang tidak kelihatan, ia duga lebih sejati dari yang kelihatan.

4. Pembudayaan Budi Hati

Manusia religius bukan pengkhayal yang ingin lari dari realita. Tetapi dia sadar dan tidak
sadar mencari MAKNA di balik segala wadaq yang ia lihat. Dia tidak puas dengan hanya
berbiduk-biduk senang di atas permukaan laut. Tetapi ia ingin menyelam dalam keheningan
di bawah permukaan, mengagumi keindahan koral-koral dan tari ikan-ikan serba warna-
warni. Bagi orang yang tidak religius, ibaratnya, laut hanyalah biru berbuih-buih belaka,
bahari untuk kapal-kapal dagangnya. Manusia religius tahu dan memanfaatkan juga kapal-
kapal untuk berdagang atau menangkap ikan, tetapi ia ibarat pendamba keindahan-keindahan
tersembunyi di dasar lautan. Atau ia laksana seorang astronaut, yang melihat bumi tidak
cuma sebagai kumpulan tanah dan kota-kota beton, tetapi planet permata biru putih indah,
yang membuatnya takjub dan bersyukur kepada Allah Sang Pencipta Segala. Penyelam
pengagum keindahan taman-taman koral dan astronaut, yang menghayati betapa mulia planet
bumi yang, lain dari yang lain, penuh kehidupan itu, pastilah pukan sejenis orang yang suka
membuat bom nuklir dan peledak racun kimia untuk menghancurkan segala yang indah itu.
Demikian pun jiwa religius tidak akan berselera ingin rrierusak. Merusak dalam arti fisik
maupun moral spiritual. Manusia yang religius pasti bercita rasa pemelihara dan kesukaannya
memperindah sesuatu. Justru sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan seperti itulah
yang harus kita pupuk dalam hati si anak. Agar menjadi seorang penakjub, manusia yang
peka pada yang indah dan mulia, yang suka menyatukan, suka membangun dan
memperbarui, yang selaras, yang mempermulia serta mendamaikan.
Jiwa yang peka pada keindahan belum tentu otomatis peka juga terhadap yang religius, akan
tetapi kepekaan seperti itu dapat berfungsi selaku landasan dasar, sarana pemersiap. Maka
hanya jiwa yang suka pada yang mulia dapat mempermudah pembentukan hati nurarti yang
benar serta religius. Sebaliknya mental yang dangkal, jiwa yang kasar, selera yang ngawur
sangat mempersulit pemekaran bakat-bakat religius; walaupun kita tidak boleh
berkesimpulan, bahwa orang-orang kasar dengan sendirinya orang-orang yang tidak berkenan
pada Tuhan. Namun jiwa religius pun bukan sesuatu yang amort, yang serba lepas tanpa
integrasi. Jiwa religius pun memiliki struktur yang teratur, sekaligus penuh kemerdekaan
kreatif. Dari pihak satu ia perwujudan suatu organisme yang menghendaki keutuhan
berdisiplin, namun sekaligus berunsur spontanitas yang serba ria bermain-main. Memiliki
struktur di sini artinya: bukan anarki, bukan kengawuran yang mudah terhanyut oleh
ketidakpastian. Oleh karena itu, pendidikan religius pun tidak sepantasnya bagaikan
onggokan perilaku serta kejadian yang tanpa struktur, tanpa kerangka. Itu bila si anak ingin
kita didik menjadi manusia yang bersikap serta bercita rasa religius secara kokoh utuh dan
dewasa.

# posted by mbin : 4:50 PM

Bab III
SUASANA KEPERCAYAAN DALAM DIALOG 

Bab III
SUASANA KEPERCAYAAN DALAM DIALOG

1. Hubungan Dialog Jangan Sampai Putus

KERANGKA dasar pendidikan sikap religius anak-anak adalah kerangka SUASANA


KEPERCAYAAN DALAM DIALOG antara orang tua dan si anak. Itulah struktur
petulangan seluruh usaha pendidikan religius terhadap anak. Tentu saja sesudah diandaikan
bahwa si orang tua sendiri adalah orang normal yang tahu tentang penempatan serta
pemberian waktu demi kepentingan aspek religius dalam kehidupan sehari-hari. Si anak
belajar dan memperoleh banyak kesan pertama dari orang tua atau dari wali, ataupun mereka
yang dalam masa kanak-kanaknya faktual paling dekat dengan si mungil. Maka hubungan
anak-orang tua sangatlah vital. Dan hubungan itu selalu terkerangka dalam situasi serta
proses dialog, wawancara, artinya: bertanya dan menjawab, beromong disusul reaksi
omongan tadi yang menanggapi. Dalam bentuk gurauan, sanjungan, nasihat, cerita. Bahkan
juga bila anak membantah, membual, dan seterusnya. Hubungan dialog itu mati-matian
harus dipertahankan dan ditingkatkan oleh orang tua, karena ini mutlak menentukan jalan
atau tidak jalannya pendidikan.

Maka hendaklah kita berikhtiar dan melestarikan arus dialog dengan si anak. Dari pihak anak
selalu ada kebutuhan dialog, dan nyatanya mereka selalu juga mengajak orang tua untuk
saling berbicara. Arus olak-alik omong antara orang tua dan anak sejak dini harus
diperhatikan sungguh-sungguh. Janganlah hendaknya terjadi, anak merasa terhalang atau
terpotong untuk menyatakan sesuatu. Jika ia bertanya ini atau itu, jika si anak mengobrol
macam-macam, bahkan berkhayal maupun membual, hendaklah dia tetap kita tanggapi
serius. Tanggapilah dia seolah-olah kita tidak tahu dia sedang berkhayal. Walaupun sering
kita wajib memperingatkannya agar membatasi khayalan omongannya, sambil memperbaiki
bahasanya. Atau biasa saja, membantah hal-hal yang memang perlu dikoreksi agar benar.
Namun toh, anak harus merasa bahwa dia ditanggapi, bahwa dia diperhatikan. Itu sering
bentrokan dengan adat-istiadat pribumi kita yang serba harus bagus rapi, tetapi tidak kena
untuk masa kini. Misalnya orang tua sedang berbincang-bincang dengan tetangga atau tamu
terhormat. Tiba-tiba si mungil datang dan bertanya ini-itu, ingin bercerita sesuatu. Menurut
kesopanan adat mestinya anak itu harus "diusir", disuruh diam. Memang penghormatan
kepada tamu menghendaki dia "diusir", sedangkan si anak perlu diajari sopan-santun. Tetapi
cara yang paling baik untuk semua pihak ialah, bila orang tua satu-dua menit menghadap
kepada si anak dulu, mendengarkan cerita celotehnya; menanggapi celotehnya dengan serius;
kemudian mengajaknya untuk kasih tangan dulu kepada tamu dan memperkenalkan dirinya.
Baru mengatakan kepada si anak bahwa ayah sedang bicara penting dengan tamu. Maka si
anak diminta dengan ramah agar manis pergi ke belakang. Nanti soalnya dapat diteruskan
seusai tamu pergi. Pasti si anak mengangguk-angguk serius bangga, seolah-olah dia paham
dan mengizinkan para dewasa itu untuk meneruskan percakapannya; lalu pergilah ia dengan
ria. Sebab sering itu tadi hanya demonstrasi minta perhatian. Semacam ungkapan kekuatiran
bahwa dia akan dikalahkan dan orang tuanya lebih mementingkan orang lain daripadanya.
Yang paling vital di sini ialah si anak selalu diyakinkan bahwa dia penting; bahwa
percakapannya dan omongannya selalu diperhatikan. Kendatipun ibu tahu bahwa sepulang
dari sekolah, anaknya bercerita macam-macam, bahkan jelas bualan. Tetapi si ibu harus
cukup bijak untuk "mengambil serius bualan" si anak. Bolehlah dia dikoreksi sedikit bila
memang keterlaluan. Namun hendaklah kita ingat bahwa bualan anak bukan bualan orang
dewasa punya. Itu tadi lebih merupakan imajinasi yang menggairahkan fantasi serta daya
kreasinya. Dan sungguhlah vital diperlukan memang dunia fantasi anak-anak.

Demikianlah si anak tidak pernah akan takut mengatakan apa pun, yang penting atau tidak
penting, yang baik maupun yang buruk. Semua itu modal untuk kelak. Si anak harus belajar
bahwa bolehlah terhadap orang luar ia punya rahasia, akan tetapi terhadap orang tua, paling
sedikit kepada salah seorang dari orang tua, ayah atau ibunya, dia tidak pernah akan malu
atau takut memperbincangkan apa pun. Termasuk perkara-perkara yang sama sekali tidak
mudah seperti soal-soal yang menyangkut Tuhan, agama, moral, religiositas, dan sebagainya.
Bila mengenai soal-soal pelik itu ia tetap dapat terbuka sepanjang masa anak-anaknya, dan
bila selanjutnya di masa puber yang sulit itu dia toh masih dapat terbuka jujur terhadap orang
tuanya, maka berbahagialah orang tua dan anak demikian. Si anak akan lebih kuat. Banyak
benturan yang tidak perlu akan terhindari atau diolah bersama. Sampai pada soal calon suami
atau istri pun, atau tentang soal-soal keagamaan yang tidak begitu saja dapat diterima oleh
generasi muda masa kini, si anak harus dapat berterus terang. Walaupun yang dipertanyakan
si anak itu hal-hal yang tidak enak didengar oleh orang tua. Walaupun mencemaskan atau
sangat mudah menimbulkan amarah. Akan tetapi toh lebih baik si anak terbuka apa adanya,
dengan segala borok-boroknya di muka orang tua daripada terbuka total kepada orang lain,
yang barangkali tidak begitu mengenal si anak, relatif kurang cintanya kepada si anak.
Tentulah si anak, bila sudah tumbuh besar berhak punya rahasia pribadi, akan tetapi akan
lainlah situasi hubungan orang tua-anak yang serba jujur terbuka daripada bila itu tertutup
atau terputus. Hanya karena si anak sejak kecil merasa tidak diperhatikan orang tuanya, atau
yang merasa: toh orang tuaku tidak mau memahamiku.

Anak membutuhkan dialog terus-menerus dengan orang tua. Baik itu mengenai uang sekolah,
pakaian, rencana piknik, maupun mengenai hal-hal yang lebih pelik dan rumit: soal calon
jodoh misalnya, soal pandangan serta perubahan zaman. Termasuklah juga, soal-soal yang
langsung atau tak langsung mengenai Tuhan, makhluk, semesta, agama, religiositas, dan
sebagainya. Anak perlu dididik mencintai orang tua, kakak, adik, tetangga, sesama manusia
terutama yang miskin, lemah. Namun juga dan itu last but not least, mencintai Tuhan,
mencintai tata-semesti-Nya, kehendak-Nya. Dan bila si anak sudah terbiasa berdialog dengan
orang tua, kakak-adik dan semua yang paling dekat dengannya, maka si anak tidak akan
menemukan kesulitan parah untuk berdialog dengan Tuhan, pengemban hidupnya dan
seluruh semesta. Tentulah berdialog dengan Tuhan yang tidak kelihatan lain cara dan
bahasanya dibanding dengan dialog dengan manusia fana. Akan tetapi, paling sedikit si anak
sudah punya modal untuk membuka hati, untuk berani mendobrak ketertutupan dirinya. Dia
sudah belajar untuk percaya kepada partner dialog. Dia telah terlatih dalam kesadarannya
bahwa manusia membutuhkan pihak lain. Membutuhkan kasih. Dan siapa pihak lain yang
tertinggi dan terdalam selain Tuhan? Tuhan yang penuh misteri. Tuhan yang tidak teraba,
namun hidup dan menghidupi. Tuhan yang tidak acuh-tak-acuh terhadap si anak, sekarang
dan kelak bila sudah menjadi dewasa. Tuhan yang memperhatikan hal-ihwal hidup si anak.
Tuhan yang suka menawarkan pertolongan-Nya. Tuhan Yang Maha Agung, Mahakuasa,
namun juga Yang Mahakasih lagi Penyayang.

2. Dialog Penghayatan Bersama dan Dialog Kata

Dari mana anak mendapat pelajaran pertama tentang segala yang mengenai kasih sayang?
Dari dialog sejak dini pagi dengan orang tuanya.

Bagaimana berdialog dengan anak?

Pertama perlu diperhatikan bahwa pengertian dialog di sini tidak hanya mencakup dialog
dalam bentuk saling berbicara mulut, tetapi dalam arti keseluruhan, sikap dan perilaku hidup
secara total. Bila seorang janda mengajak anaknya memetik bunga-bunga ladang untuk
menghias foto ayah almarhum, maka itu tergolong dialog juga yang menyinggung tema berat:
kematian. Apakah si anak perlu diajak bicara tentang gejala kematian? Tentu, yaitu dengan
cara dan pada tingkat anak jangan dihindari! Jika si anak yang masih kecil diajak ayah-ibu
pergi ke gereja atau takbiran, itu dialog juga. Jika seorang ayah memberikan sekeping duit
kepada si anak agar itu diberikan kepada seorang miskin, itu termasuk dialog juga. Dan bila
si ayah memberi petuah, agar cara memberikan duit itu jangan serampangan, tetapi penuh
hormat dan kasih sayang, maka itu dialog mengenai religiositas yang berkualitas tinggi.
Apalagi jika orang tua memberi contoh kepada anak, bagaimana sikap yang tepat bila ingin
berdoa atau bersholat. Dan mengapa begitu, serta dengan sikap hati yang bagaimana serta
mengapa. Biarlah kata-kata sedikit, sederhana tetapi meyakinkan, karena disertai perbuatan.
Maka semua itu dialog yang asli tentang religiositas yang benar. Masih setingkat anak, akan
tetapi benih-benih mulia demi pertumbuhan pohon kehidupan yang kokoh bagi si anak.

Dialog bukan khotbah, tetapi penghantaran iman yang alami, penyampaian keyakinan
secara spontan, penguatan sendi-sendi moral yang sederhana melalui perkara-perkara yang
biasa dan sehari-hari. Sering keterangan-keterangan yang istimewa perlu dikemukakan juga.
Akan tetapi melalui teladan dan pelaksanaan kehidupan yang riil, si anak harus mengalami,
betapa satu tunggal dunia religius dan dunia sehari-hari. Sehingga akhirnya ia ditanami
suatu spontanitas keutuhan hidup yang tanpa dualisme aneh-aneh. Keutuhan antara segi-segi
rohani dan jasmani itulah yang penting. Agar jangan sampai si anak kelak menjadi orang
agamawan yang dengan hebat menyumbangkan uang banyak untuk pembangunan masjid
atau gereja, tetapi tanpa malu menjadi koruptor besar, penjudi, penganiaya istri dan anak.

Dialog bukan juga instruksi atau perintah. Perintah yang bersifat keharusan punya tempatnya
sendiri, dan memang sering anak mendapat perintah. Akan tetapi perintah kepada si anak
harus selalu diimbangi dengan dialog yang benar. Betapapun kecil si anak dan tiada
pengalaman, akan tetapi setiap anak penuh pertanyaan dan kekaguman. Bagi dia banyak hal
mengandung kehidupan dan penuh misteri. Pertanyaan anak tidak mungkin dijawab dengan
perintah. Namun sebaliknya jangan juga jawaban terlalu rasional, sehingga justru
membingungkan si anak yang masih belum saatnya meninggalkan dunia fantasi, suasana
perasaan yang peka puisi serta citra keutuhan seluruh semesta. Tidak perlu bulan yang ramah
tersenyum dan bisikan angin di dalam dedaunan "dikoreksi" drastis dengan keterangan-
keterangan "ilmiah" tentang planet-planet dan satelit-satelit, atau gejala perbedaan tekanan
udara di wilayah satu dan lain sehingga angin menghembus, dan sebagainya.

3. Dialog Melalui lmajinasi Dunia lndah

Anak tidak dungu dan dia tahu juga bahwa cerita dongeng itu khayalan yang tidak perlu
segala-galanya harus ada sungguh-sungguh. Tetapi ia membutuhkan kreasi dunia serba baru,
dunia imajinasi anak-anak, yang lain sama sekali daripada dunia kaum dewasa. Dan itu
mutlak perlu, sebab dunia dewasa sering terlalu keji dan tak terpahami untuk si mungil;
terlalu kotor penuh polusi macam-macam yang dapat merusak alam cita rasa si anak pada
umur sehijau itu. Oleh karena itu dialog orang tua-anak, khususnya yang menyentuh masalah-
masalah Tuhan jangan pula hanya didasarkan nalar logis ataupun rasionalisasi teknis belaka
(yang absurd sebetulnya). Akan tetapi lebih baiklah itu semua diterjemahkan melalui
pelambangan puisi, musik, drama, cerita, permainan, serta ikhtiar-ikhtiar lain yang lebih
cocok dengan dunia anak-anak. Memang bijaksanalah Tuhan yang menganugerahkan
kemampuan besar untuk berfantasi dan berkhayal dalam diri anak-anak yang masih murni itu.
Sehingga ia mendapat kesempatan untuk tumbuh kuat dulu, fisik dan mental, sebelum
menghadapi kehidupan yang riil. Riil artinya tidak selalu bagus, bahkan sering kotor, kejam.
Dunia anak-anak harus bagus, mengharukan, indah, dan berwarna-warni ideal. Anak yang
tumbuh dalam suasana yang terlalu miskin, jorok, dan hina sudah terlalu pagi kebilangan
kesempatan untuk membentuk akar-akar yang kuat, sebelum menghadapi badai: Anak
malang seperti itu mudah tumbang dan jiwa religiusnya terlalu cepat tercekik. Anak yang
tidak mendapat kesempatan dialog sejak kecil dan terpaksa segala-galanya harus dipikir
sendiri dan dicari penyelesaiannya sendiri, anak semalang semacam ini akan membatu,
tertutup dan bakat-bakat religiusnya pun tertindas terlalu pagi.

Tanpa dialog yang baik dan membangun dengan kaum dewasa, khususnya dengan ayah-
ibunya, kakaknya maupun neneknya, si anak terlalu pagi harus memikul beban pertanyaan
hidup dan konflik batin sendirian. Dia bagaikan buruh anak-anak yang lekas kering, layu, dan
hancur pada usia terlalu muda. Selain itu kita tahu bahwa hukum alam menempatkan si anak
dikandungkan dulu dalam rahim ibunya, berkat benih ayahnya, sebelum masuk ke dalam
gelanggang hidup. Begitulah Tuhan telah menggariskan bahwa demi si anak (namun juga
demi orang tuanya) si manusia mungil yang lemah dalam segala hal itu benar-penar
dipercayakan kepada orang tuanya. Artinya, Tuhan mewahyukan diri-Nya pertama-tama
MELALUI orang tuanya. Dan baru sesudah itulah kepada para guru; guru ketrampilan segi
materiil, mental, dan spiritual yang dibutuhkan setiap orang untuk bertahan hidup biologis
maupun sosial. Termasuk segi religiositas serta keagamaan, kebaktiannya terhadap Tuhan,
namun juga kerukunan selarasnya dengan sesama manusia. Melalui dialog yang
berkesinambung terus. Jadi dialog dengan orang tua, wali, kakak atau mereka yang paling
dekat sehari-hari dengan si anak inilah yang primer. Dan bukan pengajaran kurikulum agama,
mata pelajaran agama di sekolah atau di fakultas kelak.
# posted by mbin : 4:48 PM

Bab IV
MEMBINA PENCITRAAN TUHAN YANG BENAR 

Bab IV
MEMBINA PENCITRAAN TUHAN YANG BENAR

1. Tuhan Bukan Mandor Pencari Kesalahan

APA yang harus didialogkan dengan anak, agar si anak memiliki cita rasa religius yang benar
lagi kokoh? Pertama-tama kita harus berikhtiar agar hal-hal di bawah ini tertanam dalam cita
rasa anak:

Tuhan bukan semacam polisi atau jaksa tinggi yang tugas utama-Nya mencari kesalahan
orang; yang memeluit langsung marah-marah bila ada pelanggaran. Kita sering terlalu mudah
mengancam anak dengan hukuman Tuhan, dengan neraka dan siksaan-siksaan yang akan kita
terima bila kita berdosa, dan sebagainya. Kita lekas cenderung memakai senjata menakut-
nakuti anak agar sasaran kita cepat dan mudah tercapai. Dalam banyak hal orang-orang kita
terbiasa selalu ingin mencari jalan pintas yang gampang. Lupa bahwa banyak perkara
kemanusiaan tidak mungkin tercapai dengan cara-cara gegabah. Seorang tani pun harus
punya kesabaran dan ketekunan untuk menunggu agar padi dapat dipetik. Ancaman-ancaman
dalam bidang religius sangat merusak anak. Anak lalu teracuni gambaran keliru, seolah-olah
Tuhan itu polisi atau jaksa yang sukanya cuma membuat neraka untuk menyiksa orang-orang
yang bersalah. Dan karena si anak mengalami sendiri bahwa ia sering dimarahi (artinya
dianggap salah) oleh orang-orang dewasa, maka dia mengira bahwa neraka itu penuh anak-
anak yang dianggap nakal dan bersalah oleh dunia dewasa. Apalagi bila masih dibumbui
cerita-cerita hantu, kuntilanak, jin-jin, iblis-iblis, danyang pohon, peri-peri kuburan, dan
macam-macam khayalan kaum tua korup yang serba takut. Maka dalam bayangan anak,
Tuhan menjadi semacam superhantu yang tiada terkira ngerinya. Bila si anak sejak kecil
diracuni oleh cara-cara menakut-nakuti semacam itu, tidak mungkinlah kehidupan religiusnya
akan bertumbuh secara benar dan baik. Kehidupan religius baginya lalu berkisar pada usaha-
usaha lihai, bagaimana dapat membuat Tuhan tidak marah; bagaimana Sang Polisi Agung itu
dapat disuap dengan sesaji-sesaji. Si anak lalu main korupsi dengan Tuhan. Bukan Tuhan
yang sebenarnya, melainkan Tuhan buatan orang-orang tua yang tidak pernah dewasa.

Anak harus diyakinkan, dari awal mula, bahwa Tuhan bukan mandor pencari kesalahan,
melainkan Tuhan yang selalu mencari kebaikan dalam diri si anak. Bahwa Tuhan memang
benar Mahabesar dan Mahakuasa, akan tetapi Mahabaik juga, Pemurah, dan Penyayang. Jika
Tuhan selalu digambarkan sebagai tukang pencari kesalahan dan suka menghukum, maka
sebenarnya itu menandakan bahwa dunia orang tua ternyata suka mencari kesalahan dan
senang kalau orang lain dihukum. Sebab, pohon kelapa menghasilkan buah kelapa, dan
pohon durian membuahkan durian. Apakah kaum dewasa begitu sering berbuat dosa,sampai
begitu kacau dan timbul ketakutan dalam benaknya? Ketakutan yang sering membuat hantu-
hantu?

Celakanya, bila hantu-hantu kaum tua itu dilimpahkan kepada anak. Padahal kesalahan para
anak-anak sama sekali lain dari dosa kaum dewasa. Sebenarnya anak-anak seumur SD ke
bawah dapat dikatakan, tidak pernah berbuat dosa. Dosa dalam arti yang benar-benar
perbuatan jahat. Sebab dosa dilakukan, bila orang tahu sungguh-sungguh, perkara apa yang ia
lakukan, dengan sadar dan kemauan yang matang. Padahal sang anak belum tabu banyak
tentang banyak hal. Kesadarannya masih kuncup belum terbentuk, sedangkan kemauannya
barulah kemauan tingkat anak. Artinya, belum matang. Kalau seorang anak memecahkan
genting dengan batu yang ia tembakkan dari katapelnya, maka sungguh, dia sama sekali tidak
bermaksud jahat memecahkan genting tetangga. Dia tadi melihat burung di ranting, dan tanpa
pikir panjang dia tembakkan pelurunya. Tentulah dia harus dimarahi, bahwa perbuatannya
merugikan tetangga dan dia salah. Tetapi kesalahannya secara subyektif tidaklah seberapa.
Lain bila yang menembakkan batu itu orang dewasa.

Oleh karena itu, kita janganlah hendaknya lekas-lekas menakut-nakuti anak dengan hantu-
hantu yang enak saja kita proyeksikan pada Tuhan (Tuhan buatan kita sendiri), hanya agar
larangan-larangan kaum tua (yang belum tentu larangan Tuhan sendiri) dipatuhi secara
efektif. Itu jalan pintas yang terlalu kita cari gampangnya. Akan tetapi, akhirnya pasti
menjadi senjata makan tuan. Dari pihak lain, seperti yang telah kita bicarakan dalam pasal
sebelumnya, kita kaum tua sendiri pun jangan berlagak polisi atau jaksa terhadap anak. Kita
pun haruss menjadi sesinar citra Tuhan Yang Maha Pemurah dan Penyayang, yang lebih suka
mencari kebaikan anak-anak kita sendiri daripada kesalahan-kesalahannya. Kita harus lebih
mudah memuji hasil prestasi si anak yang kecil sekalipun daripada mencari kesalahannya
yang biasanya dilakukan tanpa sadar sungguh-sungguh mengenai duduk perkaranya maupun
akibat-akibatnya. Namun, tentulah kita tahu bahwa itu tidak berarti kita dianjurkan untuk
memanja si anak dan pura-pura tidak mau tahu tentang hal-hal yang keliru padanya. Pastilah
anak harus kita marahi dan kita perbaiki kelakuannya kalau dia keliru. Akan tetapi anak
sungguh dapat merasa, apakah kemarahan orang tuanya itu datang dari hati yang penuh
tanggung jawab demi kebaikannya, ataukah hanya luapan-luapan emosi kejengkelan saja
karena merasa terganggu oleh anak. Jika demikian, maka anak akan merasa diri sebagai
gangguan atau beban. Akibatnya, ia akan menjauh sesering mungkin dari orang tuanya.
Dengan segala akibat buruk suatu dialog yang terputus.

Dari sikap orang tuanya si anak belajar membarui, apakah Tuhan itu tukang jengkel karena
terganggu oleh anak, ataukah Tuhan Maha Penyayang dan Penjaga yang penuh cinta terhadap
si anak. Dan dia belajar itu tadi primer dari SIKAP serta PERILAKU orang tuanya, dan baru
pada tahap kemudian dari ajaran atau petuah yang terungkap dari kata-kata. Jika anak
menghayati dari sikap dan kata orang tuanya, bahwa Tuhan itu Mahamurah dan Pengasih,
maka dengan mudah si anak pun akan bersikap pemurah, pengasih terhadap kawan, dan kelak
terhadap tetangga serta dunia kelilingnya. Ia akan mudah berkembang menjadi manusia yang
bersifat sosial dari penolong sesama kawan. Paling tidak ia tidak akan mudah menjadi orang
yang selalu menggaruk-garuk kesalahan-kesalahan orang lain sambil menghakiminya tanpa
alasan.

Demikianlah sikap serta cita rasa religius anak menghadap Tuhan Al Khalik Yang Mahabesar
dan Mahakuasa akan terarah lebih benar dan dewasa. Kehidupan rellgiusnya tidak akan
digenangi oleh serba rasa takut tetapi oleh rasa kagum hormat yang penuh cinta kepada
Tuhan. Demikian pun dia juga tidak akan mudah (secara tidak sadar tetapi riil) berbuat yang
aneh-aneh, seolah-olah Tuhan dapat diberi uang semir untuk menghilangkan ketakutannya
itu. Maka sikapnya kepada Penciptanya lalu bukan sikap orang yang cuma formal
menghaturkan sesaji (selaku bentuk suapan) kepada-Nya, tetapi dalam suasana jiwa yang
benar.
2. Tuhan Bukan Maharaja Sewenang-wenang

Selain itu anak kita harus disadarkan, bahwa Tuhan bukanlah semacam diktator atau sultan
sewenang- wenang yang kegemarannya main kuasa dan memperbudak manusia-manusia
dengan undang-undang serta peraturan-peraturan macam-macam yang hanya merepotkan
saja. lni masalah yang tidak mudah, sebab kesan pertama dari agama mana pun ialah gugusan
peraturan- peraturannya, kelembagaan hukum-hukumnya. lni tidak boleh, itu terlarang. lni
najis, itu haram. lni maksiat, itu terkutuk. Seolah-olah orang yang beragama itu orang tolol
yang mau dikurung dalam pagar-pagar larangan dan peraturan belaka; dan dia terpaksa mau
begitu karena takut neraka atau pembalasan tak terduga dari suatu Tuhan yang kejam dan
cemburu. Gambaran Tuhan sedemikian sebenarnya merendahkan Tuhan yang sebenarnya.

Tuhan Mahabesar dan tidak membutuhkan permainan adu gladiator atau adu jangkrik untuk
gembira seperti tiran yang sempit jiwanya atau anak yang tidak terdidik. Tuhan menciptakan
manusia dan seluruh semesta ini karena kasih sayang, karena meluaplah keagungan serta
kecintaan-Nya. Bukan karena membutuhkan permainan keji. Bukan juga karena
membutuhkan budak-budak seperti kaisar-kaisar yang hanya dapat kaya dan agung karena
memperbudak jutaan kaula pekerja rodi untuk pembangunan istana baginya; dengan cambuk
dan kebengisan mandor-mandor sadis. Tetapi di sini pun kita, manusia, sering terhela hanyut
oleh egoisme kita sendiri, melalui jalan pintas peraturan-peraturan yang dikatakan datang dari
Tuhan, akan tetapi bila diteliti lebih saksama secara obyektif, ternyata hanya bikinan manusia
belaka. Apakah peraturan-peraturan dan hukum agama tidak perlu dan buruk? Tentulah tidak.
Hukum-hukum agama berguna karena manusia sering tak tahu batas, lupa daratan, dan rabun
pandangan. Karena itu ia membutuhkan semacam pagar tepi jurang atau rambu-rambu lalu
lintas yang memberi peringatan dan mempermudah perjalanannya.

Jelaslah, rambu-rambu dan pagar jalan bukan tujuan, bukan yang menentukan segala-
galanya. Rambu-rambu dan pagar berguna selama dipasang pada tempat- tempat yang tepat.
Bukan di sembarang lokasi. Pagar yang berlebih-lebihan dan keliru penempatannya, dan yang
tidak cocok fungsinya justru mengganggu bahkan membahayakan pemandangan. Bahkan
mungkin sekali menjerumuskan. Oleh karena itu, anak-anak kita harus kita didik agar
semakin mampu menempatkan peraturan serta hukum-hukum agama tepat pada fungsi serta
nilainya. Tentulah secara bertahap bijaksana, tetapi tidak kurang tidak lebih. Sebab
bagaimanapun agama bukanlah Tuhan. Agama dan Tuhan sama sekali tidak identik. Dan
siapa menilai agama seperti Tuhan, dia pun menyeleweng dari pengakuannya: hanyalah Esa
Tuhan, satu tunggal, tiada yang ada di samping-Nya. Agama hanyalah abdi atau sarana
penolong, bukan tujuan. Maka di sinilah cita rasa religiositas kita berbicara. Sebab
religiositas tetap mengakui agama selaku sarana dan abdi dan menghargainya. Namun
religiositas lebih mengajak si anak (maupun orang tua) untuk lebih asli lebih sejati bersikap
dan bertingkah laku di hadapan Tuhan. Religiositas menyentuh esensi, inti perkara,
kedalaman jiwa, kendari tidak kelihatan langsung seperti pagar atau rambu-rambu. Akan
tetapi dinamika perjalanan, energi yang mendorong kita mengarah secara benar ke arah
tujuan ialah pengabdian dan kebaktian kepada Tuhan, amal jasa kepada sesama manusia,
pembersihan diri dan perujukan seluruh semesta. Jelaslah lagi, betapa pentingnya kedua-
duanya, agama dan religiositas, walaupun lain kedudukan serta fungsinya. Anak-anak
langsung paham bila kita menanam gambaran Tuhan dan cita rasa religiositas yang bersendi
pada kebaikan Tuhan, kepada keramahan dan kedekatan Tuhan; Tuhan Maha Pelindung,
Tuhan Mahasetia. Tuhan yang menghendaki dan mendorong kesempurnaan diri kita.

Demikianlah anak menemukan kegembiraan yang mendalam, tanpa rasa terpaksa atau dibuat-
buat, merdeka karena damai. Begitu kita mendidik bukan manusia budak, melainkan manusia
merdeka sejati yang berkenan pada Tuhan. Sebab Tuhan bukan diktator atau majikan kejam.
Kemerdekaan yang dimaksud bukanlah yang palsu seperti kebebasan liberal yang egoistis,
individualis dasarnya, mau cuma yang disukai. Kemerdekaan yang benar datang dari
keselarasan semesta raya; yang terberkati dan karenanya penuh syukur, ikhlas, beriman, dan
pasrah sumarah kepada kerahiman Tuhan. Jadi tidak egoistis, tetapi terbuka terhadap orang
lain, merangkul masyarakat; karena sadar bahwa kebahagiaan sejati harus meluap ke tengah
masyarakat.

Sebaliknya juga kita pun hanya dapat berkembang dan bahagia berkat jasa sekian banyak
orang dalam masyarakat kita. Dengan kata lain, anak-anak kita juga harus kita bina, agar
mereka belajar merdeka dalam arti yang benar dan sejati. Biarlah mereka berkreasi dan
mencari pengalaman. Janganlah kita menyuap mereka dengan indoktrinasi, tetapi bimbinglah
mereka menemukan mana yang baik dan mana yang buruk; mengapa ini dilarang dan
mengapa itu dianjurkan. Peraturan dan larangan bagi anak harus punya makna, punya alasan.
Mereka harus dibantu menemukan motivasi mengapanya. Perlu pula dibina usaha
menemukan batas-batas kemampuan suatu peraturan, sehingga orang akhirnya semakin
sadar, bahwa manusia beruntung apabila ia berbuat baik, dan rugi sendiri bila berbuat jahat.
Sehingga anak didik kita semakin yakin, bahwa kesukarelaan jauh lebih berharga daripada
ketaatan buta, dan bahwa keikhlasan jauh lebih membahagiakan daripada kepatuhan yang
mutlak tetapi tidak tahu apa alasannya.

Demikianlah mereka akan semakin memiliki jiwa religius yang jauh lebih membuat hati
berdendang ria. Tidak akan lagi si anak merasa HARUS berbuat kebajikan atau DILARANG
berbuat kejahatan. Taraf manusia religiusnya akan semakin tahu, bahwa berbuat baik adalah
anugerah serta rahmat yang datang dari kesayangan Tuhan. Pastilah masih selalu perlu anak
dilarang berbuat jahat, dianjurkan bersikap sopan, jangan nakal, dan sebagainya. Tetapi
seandainya ada kesempatan tanpa rugi pun untuk berbuat jahat, anak-anak yang sekarang
terlatih dan terdidik dalam sikap religius nanti tidak akan berselera lagi untuk mencuri atau
bohong. Tidak akan dia kelak mau memperkosa gadis walaupun punya kesempatan. Bukan
karena dia berjiwa baja, akan tetapi karena dalam dirinya sudah tertanam "logika", seorang
gadis ada, tidak untuk dirusak, tetapi untuk disayangi, dihormati, dilindungi. Dan
kebahagiaannya justru ada pada kegemaran menghormati, menyayangi, dan melindungi
gadis-gadis. Dia kelak pasti masih tetap terangsang oleh gadis, tetapi rangsangan itu sudah
terkerangka selaras dalam suatu sikap yang utuh tentang seks, kesatriaan, dan pandangan
menyeluruh tentang macam-macam aspek kehidupan. Ia sudah "terlanjur" berpandangan luas
dan utuh, tidak terkeping-keping kacau. Pendek kata, sehat.

Demikianlah anak yang terdidik religius secara benar akan menempatkan hukum agama dan
peraturan- peraturan masyarakat dalam tempat dan fungsinya yang terintegrasi, utuh. Maka
semakinlah ia berselera untuk lebih berbuat baik daripada mengawur dalam nafsu-nafsu tak
teratur. Lebih tepat dikatakan nafsu-nafsunya sudah ia budayakan dalam kerangka fungsi-
fungsinya yang sejati. Artinya: sesuai selaras dengan tata laksana kehidupan yang telah
dibenihkan langsung oleh Tuhan sendiri ke dalam setiap manusia dan seluruh tata semesta
sejak awal mula. Baginya nafsu lalu bukan lagi hanya sesuatu yang jahat, yang perlu dibekuk
dan dikuasai, akan tetapi sebagian dari keseluruhan tata semesta yang baik dan indah karena
berasal dari kearifan Allah al Khalik. Namun nafsu-nafsu harus didudukkan pada tempatnya
yang asli, integrated, tepat dalam tata keseluruhan kerangka hidup manusia dan semesta
alamo Dengan kata lain: anak sudah belajar semakin manusiawi. Tentulah si anak masih
membutuhkan binaan untuk semua di atas itu secara bertahap dan pada tingkat pemahaman
anak-anak. Akan tetapi di saat kanak-kanaklah awal pendidikan keutuhan diri manusia,
keseimbangannya, dan keselarasannya.

3. Tuhan Bukan Pedagang Serakah

Dalam membina sikap religius anak, kita harus waspada juga, agar janganlah hendaknya kita,
tanpa sadar tetapi ternyata faktual, memasukkan ide pada anak, bahwa Tuhan itu semacam
pedagang yang serakah; yang seperti orang bisnis, minta jasa dulu sebelum membayar uang,
minta prestasi dulu sebelum memberi pahala. Tuhan bukan tukang pembagi pahala seperti
suatu panitia perlombaan memberi pahala. Tuhan dan manusia tidak berkedudukan dalam
hubungan to give and to take. Kita tidak dalam posisi tawar-menawar seperti di pasar bila
menghadapi Tuhan. Tuhan bukan pula sebentuk Lintah Darat Agung yang minta syarat bunga
banyak dulu dari pemberian-pemberlan-Nya. Memanglah Tuhan menghukum orang yang
jahat dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Tetapi tidak seperti dalam
kalangan manusia. Semua itu kiasan, sebab di hadapan Tuhan kita tidak berarti apa-apa. Bila
Tuhan memberi pahala, itu karena Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang. Dan bukan karena
kita dan Tuhan joint venture secara hukum dagang. Dan bila kita mendapat pahala karena
pernah berbuat baik, kita tidak boleh lupa, bahwa kebaikan kita pun sudahlah rahmat Tuhan.
Bukan karena kita dari diri kita juara atau macam itu. Di hadapan Tuhan kita hanya dapat
bersikap rendah diri, sederhana, dan tidak pada tempatnya kita menyombongkan kebaikan
kita.

Oleh karena itu, sejak umur dini pagi anak-anak harus dididik, agar jangan bersikap dagang
di hadapan Tuhan. Seperti misalnya, saya berpuasa begini dan beramal begitu, tetapi dengan
syarat walau tak dikatakan: Tuhan harus membuat saya lulus ujian. Saya berdoa ini dan
bersesaji itu, tetapi Tuhan harus memberikan gadis cantik atau lelaki kaya itu sebagai istri
atau suami saya. Sudah sepantasnyalah dan sewajamyalah bila kita dan anak-anak diajari
berdoa, dan apa jeleknya memohon sesuatu dari kemurahan Tuhan. Sebab memohon artinya
mengakui kedinaan dan kemiskinan kita di hadapan Tuhan; memuja Tuhan sebagai Maha
Pemilik semesta dan segala diriku. Akan tetapi memohon dan memohon banyak cara,
motivasi dan sikapnya. Orang dapat memohon seperti pengemis yang memaksa-maksa.
Orang dapat memohon cuma formal saja, akan tetapi pada dasarnya menuntut hak. Dan orang
dapat memohon seperti kekasih memohonkan sesuatu dari yang dicintainya. Tanpa nada
paksaan, tanpa diembel-embeli syarat-syarat, tanpa ancaman terselubung untuk membalas
dendam atau lari bila tidak dipenuhi, dan sebagainya. Permohonan kita harus bening, murni
dan jangan terdorong egoisme, atau karena malas lalu cari jalan pintas. Tidak sepantasnya
kita memohon kepada Tuhan seperti pengemis, lebih jelek lagi seperti pengacara penuntut
hak.

Sebelum kita mengungkapkan kebutuhan dan memohonnya, Tuhan Yang Mahabijaksana


sudah tahu apa yang kita butuhkan. Bahkan Tuhan lebih tahu persis yang kita butuhkan.
Tidak jarang nafsu ingin gengsi murah-murahan atau jalan pintas gampang-gampangan
mencemari hati kita dalam doa permohonan, sehingga yang kita minta bukan yang benar-
benar kita perlukan. Tuhan jauh lebih arif tiada bandingan mengenai apa yang sebenamya
kita butuhkan. Oleh karena itu, bila kita berdoa dan memohon, hendaklah itu kita lakukan
dengan segala kerendahan diri, dengan segala pengakuan kekurangan kita, kekeruhan kita.
Kita mohon karena kita menghargai Tuhan, dan karena kita ingin menyatakan ketergantungan
serta hormat sayang kita kepada Tuhan.

Hal-hal itulah yang harus kita tanamkan pada anak-anak kita. Sebab anak-anak kita kelak
akan mengalami banyak peristiwa hidup yang membutuhkan pengisian formulir permohonan
ini-itu, permohonan anggaran biaya suatu proyek atau permohonan macam-macam kredit,
dan sebagainya. Dalam iklim bisnis dan birokrasi semacam itu, hendaklah anak-anak kita
sudah terdidik matang untuk memandang kepada Tuhan tidak selaku The Greatest Big
Businessman, bahkan sebagai Birokrat Agung, tetapi selaku Tuhan Yang Mahaarif, Yang
Maha Memperhatikan suka-duka si anak dan manusia dewasa. Si anak kelak boleh tumbuh
sebagai manajer bisnis yang ulung, akan tetapi dia harus tahu, terhadap siapa dia tidak boleh
bersikap bisnis dagang. Misalnya menghadapi kaum miskin, atau yang lemah modal
kepandaiannya, menghadapi yang buta huruf, pendeknya yang sangat terbatas kesempatan-
kesempatan mencari nafkahnya, menghadapi para penderita sakit, kaum sederhana yang
mudah sekali terjerat oleh pasal-pasal persyaratan perdagangan, dan sebagainya.

Si anak harus mulai belajar sangat pagi bahwa sikapnya kepada orang-orang tidak boleh
secara pukul rata. Dia harus tabu, kapan ia berhadapan dengan orang yang seimbang
kekuatannya, kepandaiannya, kemampuan, dan kesempatannya, dan ia harus tahu
melunakkan sikap bila sedang berhadapan dengan orang yang tidak sepantasnya ia
perlakukan sebagai lawan yang seimbang. Ia harus belajar bersua secara benar terhadap
kawan lemah yang perlu ditolong dan dilindungi. Sebab Tuhan pun juga tidak bersikap
seperti orang komunis fanatik, sama rata sama rasa. Tuhan sangat mengindahkan skala
kemampuan dan keterbatasan manusia satu per satu. Dan tidak pernah Tuhan bersikap seperti
seorang pedagang kepada manusia. Ia Maha Pemurah dan Pengasih.

Apakah itu berarti bahwa kita harus mendidik anak agar ia tidak perlu lagi memusingkan
prestasi? Cita-cita tinggi dan perencanaan hati mulia untuk meraih sebentuk kejuaraan dalam
bidang-bidang tertentu? Di kampus ilmu misalnya? Atau di gelanggang politik atau
perdagangan? Tentulah, si anak harus kita bimbing agar mendapatkan keunggulan untuk
bercita-cita setinggi mungkin. Namun melatihnya juga untuk melihat keterbatasan khasnya.
Anak harus dilatih untuk berjasa, untuk bangga berprestasi, tetapi sportif. Dalam sport pun si
anak harus tahu, bahwa yang penting dalam sport bukan kemenangannya itulah, tetapi
CARA-nya sampai ia bisa menang dengan halal, secara ksatria, elegan, dan indah.
Keindahan permainan itulah yang jauh Lebih berharga daripada angka-angka kemenangan.
Maka pendidikan untuk dapat bersikap sportif, bersikap ksatria sangat penting bagi cita rasa
religius. Sportif artinya, berusaha mati-matian untuk menang, tetapi menang tidak dengan
menghalalkan segala cara sampai yang buruk pun, tetapi halal sesuai dengan aturan
permainan, tidak curang dan karena itu membanggakan.

Tetapi sportif berarti juga rela dalam kekalahan. Sebab, dalam sport rela kalah berarti
menghargai lawan sebagai kawan, menghargai yang pantas dihargai. Berikhtiar sekuat tenaga
untuk menang pun adalah sebentuk penghargaan kepada lawan: memberi kesempatan untuk
menunjukkan keunggulan lawan. Demikianlah dalam sport pada hakikatnya tidak ada pihak
yang menang ataupun kalah dalam arti dangkal, tetapi semua pihak menang. Yang satu
menang karena unggul, dan pihak yang lain menang karena menunjukkan jiwa mulia yang
senang kawannya maju. Anak-anak harus sangat pagi dibina untuk menghayati sikap sportif
yang baik. Jiwa religius sangat erat hubungannya dengan jiwa sportif, jiwa ksatria, jiwa
penaung kepada si lemah, pelindung kehidupan, pemberantas kecurangan, dan sebagainya.
Sebab Tuhan tidak berkenan pada segala yang bersifat merusak dan ourang. Tuhan adalah
Tuhan kehidupan, keadilan, kedamaian.

4. Tuhan Bukan Pemimpin Partai atau Golongan


Sejak umur dini pagi pula anak-anak harus kita ingatkan, bahwa Tuhan bukan semacam ketua
partai politik atau pemimpin golongan yang ngotot menghela orang-orang sebanyak mungkin
untuk masuk partainya. Seolah-olah Tuhan sangat tergantung pada jumlah penganutnya untuk
dapat menang. Tuhan tidak sangat mabuk kuantitas seperti seorang pemimpin golongan atau
partai. Sebab kemenangan dan kejayaan SUDAH dalam tangan Tuhan. Kamus kalah-menang
tidak terdapat dalam Tuhan dan jiwa religius juga tidak sangat terpukau oleh jumlah dan
massa besar yang hanya dapat ikut-ikutan dan berkaok-kaok.

Manusia religius sangat bahagia bila pematuh perintah Tuhan berjumlah banyak, dan ia ikut
prihatin bila hanya sedikit yang setia dan takwa. Akan tetapi manusia religius lebih percaya
pada kualitas. Non multa sed multum, begitu petuah antik bangsa Romawi dan Yunani.
Artinya: bukan yang banyak, tetapi yang berbobot. Dan memanglah kita melihat bahwa
semua gerakan besar bangsa manusia selalu dirintis oleh kelompok kecil orang yang
berkualitas. Pemberantasan sakit tifus atau malaria dimulai oleh satu orang peneliti atau tim
yang terdiri dari hanya beberapa orang yang menyelidiki dan menemukan obatnya yang tepat.
Begitulah pemberantasan wahab penyakit hanya mungkin diatasi secara massal apabila ada
satu atau beberapa manusia perintis yang berkualitas tinggi memulai suatu gerakan
penyembuhan atau pembaruan. Kita tidak perlu meremehkan segi kuantitas. Tetapi dinamika
yang menghidupkan dan kreativitas yang menyegarkan segala-gala selalu datang dari unsur
kualitas. Maka hendaklah anak-anak kita latih pagi-pagi untuk lebih menghargai kualitas
daripada kuantitas. Bukan jumlah cetakan gol yang penting, tetapi keindahan tendangan dan
kerja sama yang rapi dan luweslah yang menentukan kebagusan permainan serta kebanggaan
suatu kesebelasan. Kemenangan yang dicapai dengan main kasar dan curang bukan sport
tetapi pengulangan hukum-hukum rimba belaka. Anak-anak pantas diberi tahu misalnya
bahwa yang penting bukanlah banyaknya buku yang dibaca, tetapi kedalaman membaca buku
yang berkualitaslah. Itu yang mencerdaskan anak. Dan akhirnyalah nanti si anak akan
berselera menghargai kualitas hidup, lebih daripaqa kekayaan materiil atau penghormatan
fana. Maka pada pondasi selera mencari serta menghargai kualitas itulah, hidup religius
menemukan sendi-sendinya yang kuat.

Begitulah ia dengan sendirinya tidak akan suka menjadi manusia massa yang dungu serba
ikut-ikutan dan membeo. Ia akan lebih mudah mencari dan menemukan kepribadiannya
sendiri. Maka akan lebih dekatlah ia kepada wilayah-wilayah kehidupan yang lebih bersifat
religius, sebab religiositas mempunyai ciri, berdiri di atas keyakinan pribadi. Manusia massa
serba ikut-ikutan dan yang bisanya hanya menyontek dan membeo tidak akan mungkin
menemukan religiositasnya. Barangkali dia menjadi pemeluk agama yang fanatik, tetapi
mendalam religiositasnya tidaklah mungkin. Sebab salah satu ciri dari manusia religius
justrulah, dia bukan orang fanatik. Fanatisme menunjukkan kesempitan cakrawala dan
kebodohan. Manusia fanatik mengira bahwa dunia hanya bagus bila hanya ada satu jenis
pohon, yakni pohon yang ia sukai. Orang fanatik paling suka pada pakaian seragam dan
langkah-langkah barisan yang seirama di bawah satu komando. Dia nekad mati, demi cita-
cita yang baik tetapi juga yang jahat.

Manusia religius tidak fanatik, karena sadar tentang keterbatasan manusia. Karena dia tahu
bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang selalu benar serta menguasai semua sudut galaksi.
Manusia religius mencari kebenaran dan mengajak kawan menikmati kebenaran yang ia
temukan secara yakin dan jujur. Tetapi ia menghargai kawan dalam kemerdekaannya untuk
memilih dan menentukan sendiri jalan hidupnya. Sebab ia sendiri sadar, betapa indah dan
berharga kemerdekaan sejati manusia. Anak-anak kita pun harus kita ajak jangan fanatik.
Untuk toleran dan menghargai kenyataan, bahwa kawannya lain dari dia. Anak-anak dapat
mulai belajar, betapa indahnya dunia yang memiliki sekian warna bunga dan jenis pohon
serta perdu.

Ia dapat dilatih menghargai kombinasi warna, harmoni nada-nada yang berlainan, saling
menyumbang membentuk melodi yang indah, tanpa kebilangan identitas diri. Dari musik
merdu, dari apresiasi lukisan yang bagus, dari tamasya di ladang pegunungan, si anak dapat
belajar bahwa berwujud lain tidak harus berarti berwujud jelek, bahwa suara dan lagu lain
tidak harus berarti lagu tidak bagus, dan bahwa pendapat lain tidak harus dinilai sebagai
pendapat yang bermusuhan. Dengan demikian ia semakin menghayati, bahwa kerukunan dan
saling menghargai perihal agama merupakan kualitas kehidupan juga yang bernilai tinggi.
Maka kelak, sesudah masa puber ia akan lebih mudah untuk mengatasi egoisme kelompok,
egoisme golongan atau partai. Baik juga ia sering merenungkan, betapa arif semboyan bangsa
Indonesia: "Bhinneka Tunggal Ika".

Maka pendidikan ke arah religiositas akan merupakan pendidikan menuju ke kedamaian,


kerukunan, dan kegembiraan batin yang benar-benar awet. Maka sikap religius anak akan
tumbuh menjadi dewasa yang semakin hari semakin arif. Maka bila kelak ia sudah tumbuh
dewasa, tak terasa akan mendalamlah keharuan hatinya, betapa Mahaagung, Mahakuasa, dan
betapa Mabamurah lagi Pengasih Tuhan itu. Maka secara tak terasa pula, tetapi spontan dan
riil, si anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang berpemandangan luas juga, laras, dan
perintis perdamaian bangsa serta perdamaian dunia yang saat ini masih dicemari kebencian
dan persaingan kotor. Dan semogalah anak-anak kita kelak lalu merasa terpanggil untuk
menyumbang hal positif bagi pembaruan perilaku dan hubungan antara bangsa yang lebih
baik. Jika hal-hal di atas kita tanamkan sejak dini pada si anak, maka harapan mengenai dunia
baru yang lebih baik bukanlah suatu impian belaka, tetapi realisme sehat. Sebab kenang-
kenangan indah di masa kanak-kanak biasanya sangat sulit terhapus dan secara sadar atau
tidak sadar memberi dampak yang tidak sedikit pada kehidupan si anak untuk menjadi
dewasa.

5. Tuban Bukan Tukang Sulap Agung

Kita janganlah mendidik anak untuk menganggap Tuhan sebagai semacam Tukang Sulap
Agung atau Mahatukang Tambal yang dengan honorarium secukupnya diharapkan membuat
pertunjukan mukjijat-mukjijat yang gegap-gempita. Seperti misalnya dianggap sebagai
Penyembuhan ajaib, Penolong ulung memperoleh keuntungan perdagangan, Calo yang paling
kuasa untuk meraih calon suami atau istri yang rewel tidak mau diajak asmara; Mahatukang
Tambal untuk kekurangan-kekurangan prestasi belajar anak malas dalam menghadapi ujian,
Maha Penyihir di lapangan badminton yang dimohon berat sebelah memenangkan regu
Indonesia dalam pertandingan internasional; Maha Politikus lihai yang diharapkan
memenangkan partai atau golongan politik yang kita sukai dalam pemilu; dan macam-macam
harapan cengeng yang sebenarnya merendahkan derajat Tuhan.

Tuhan Mahaagung! Mahakuasa! Mahaadil! Mahabijaksana! Bagaimana mungkin Tuhan kita


harapkan menjadi wasit yang curang, atau calo yang memperkosa kehendak gadis, disuruh
menjadi tukang tambal kemalasan anak manja. Tidak sepantasnya Tuhan kita rendahkan
sampai sekian. Jiwa religius kita memberontak melihat perlakuan terhadap Tuhan yang
serendah itu. Tuhan kasih sayang kepada semua pihak manusia, dan bukanlah sifat Tuhan
untuk memanjakan orang yang hanya suka jalan pintas karena malasnya yang tak ketolongan,
tahayul. Apakah sebenarnya arti TAHAYUL? MAGIS? SIHIR? Dalam tahayul, magis, atau
sihir, secara sengaja atau tidak sengaja diandaikan bahwa Tuhan dan kekuatan-kekuatan Ilahi
dapat kita setir, bahkan boleh kita peralat. Dalam praktek magis-tahayul, Tuhan ingin kita
programkan menurut model yang kita senangi. Sangat dini si anak harus kita jauhkan dari
pengaruh mental tahayul, sihir, magis, guna-guna, dan sebagainya. Memanglah, anak-anak
suka pada dongeng-dongeng fantastis dan lakon-lakon di mana kekuatan sihir berbuat hal-hal
yang mengherankan, apa lagi bila sihir mengalahkan yang buruk dan memenangkan pihak
yang baik. Hampir semua dongeng kanak-kanak memiliki unsur daya sihir. Akan tetapi di
sini kita harus membedakan lakon berunsur sihir yang sehat, artinya yang memang sesuai
dengan psikologi normal setiap anak, dan di pihak lain, cerita sihir yang merusak, yang
mengajak anak untuk suka jalan pintas tanpa usaha yang memadai. Sihir dalam dongeng
yang sehat pada intinya berfungsi menggugah daya imajinasi si anak. Selain itu ia menjawab
dambaan anak-anak untuk menghayati dunia secara puisi. Artinya penuh pukauan, perasaan
halus yang mengiringi anak dalam rasa kagumnya pada segala yang ia jumpai. Anak
menghendaki jawaban atas banyak pertanyaannya, dan imajinasinya adalah modal
kemampuan untuk berabstraksi dari segala yang riil bugil tidak menyedapkan dan merugikan
perkembangannya.

Anak selalu hidup dalam ruang antara realita dan impian. Sebab dia belum berpikir teknis dan
fungsional. Pohon baginya bukan nomor satu benda yang membuahkan kelapa, untuk
dimasak di dapur, tetapi putri-putri ramping yang terkena sihir dan kini tak jera melambai-
lambai ingin ikut perahu-perahu layar menuju ke negeri-negeri yang jauh. Sebab si anak
sendiri ingin juga melihat dan menyelidiki daerah-daerah yang jauh baginya penuh pesona
pertanyaan, tetapi terlarang oleh ayah-ibu. Daya sihir dalam dongeng yang baik pada
hakikatnya suatu ekspresi dambaan anak-anak untuk memperoleh jawaban yang
menggembirakan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terlalu sulit baginya. Daya sihir
baginya bukan suatu gerakan akrobat yang aneh dan mustahil, bukan suatu jalan pintas
seperti yang ada pada kaum dewasa, tetapi sesuatu yang sangat normal. Sebab bagi anak,
seluruh semesta ini adalah perkara tunggal dan saling membaur. Kancil dapat berbicara
dengan buaya, dan ikan dapat saja mempunyai tubuh gadis cantik. Burung-burung bagi si
anak dapat ditunggangi untuk mengantarkannya ke negeri antah berantah. Seorang raksasa
yang kejam dapat saja diselesaikan kelalimannya menjadi seonggokan cadas di lereng
gunung. Dunia di angkasa, di bawah tanah, di tengah ladang, dan di sungai, semua itu masih
merupakan totalitas yang bersatu padu. Maka gerak sihir hanyalah gerak biasa saja dalam
alam setengah riil setengah impian dari anak-anak.

Tetapi ada komik-komik seperti superman, batman, spiderman, dan sebagainya yang
sebetulnya tidak, diperuntukkan bagi anak-anak, tetapi pemuasan nafsu-nafsu rendah kaum
tua yang haus iseng. Di situ bukan imajinasi sehat dan fantasi kreatif yang berbicara, tetapi
pemuasan nafsu sadis dan seks; bukan ibarat danau beriak-riak murni yang mengajak si anak
untuk mencari dan bertanya penuh takjub, akan tetapi keranjang sampah kebak mental
penguasa. Soal-soal tetek-bengek yang tanpa arti diselesaikan dengan mekanisme jalan pintas
oleh kaum super, orang kelelawar yang secara gampang-gampangan menguasai situasi hanya
karena dia berotot kuat,jagoan, dan sebagainya. Di dalam dunia wayang, ketoprak, dan
komik-komik picisan pun kita melihat banyak lakon yang berkisar pada suatu jimat atau
pusaka gaib yang serba jaya. Lakon-lakon itu kurang menguntungkan bagi pendidikan anak-
anak kita. Sebab yang dipertaruhkan di situ biasanya hanya soal perebutan kekuasaan
kerajaan, perebutan putri ayu, dan paling pol sebentuk patriotisme murah yang tidak
mendidik si anak untuk berjuang dengan tekun, rajin, penuh dedikasi, selangkah demi
selangkah, yang diandalkan ialah pertolongan jimat atau keris pusaka dan sebagainya. Lagi
jalan pintas dan mental: siapa punya otot dan jimat magis dialah jago yang kuasa. Tetapi
memang, dari awal mulanya, wayang dan ketoprak diperuntukkan primer untuk kaum tua.
Anak hendaklah dididik jangan mencari kekuasaan, tetapi kebaikan.

Kita harus berhati-hati dalam goal dongeng anak-anak, karena banyak buku dikomersialkan
tidak atas dasar pendidikan, tetapi atas dasar kejutan-kejutan gegap-gempita yang secara
gampang ingin mengeruk uang. Bacaan semacam itu tidak mendukung jiwa religius yang
wajar. Religiositas tidak mengandalkan diri atas dasar senjata ampuh atau kekuasaan politik
belaka. Apalagi bila semangat yang tercitra di situ bukanlah suatu pendidikan untuk mencari
kualitas, kejujuran, dan kedalaman jiwa, tetapi hanya menghasut agar anak dibiarkan bekerja
acak-acakan, main kuasa. Tuhan bukan Tukang Sihir Agung. Tuhan adalah Tuhan Yang
Mahaarif, yang memberi kesempatan dan bakat pada anak sebagai modal belajar, bermain,
bekerja dengan baik. Segala sesuatu telah ditata oleh Tuhan sebaik mungkin. Tinggal kita
sendirilah mau apa. Merusak tata semesta Tuhan itu, ataukah memakainya secara baik, sesuai
dengan keselarasan asli yang sudah ditanamkan Tuhan dalam dunia dan hidup manusia.

Untuk itu kita harus berani melatih diri, bertanya, membuka hati. Anak sepantasnya kerap
kagum dan bertanya. Janganlah hendaknya rasa kagum dan dorongan bertanya itu kita
kecewakan. Sebab anak yang bertanya artinya anak yang terbuka jiwanya, yang senang bila
diisi pengertian dan pengartian. Dan justru itulah prasyarat serta ciri-ciri jiwa yang religius.

6. Citra Anak tentang Tuhan Datang dari Orang yang Ia Percayai

Dari yang telah kita pertimbangkan di halaman-halaman terdahulu, semakin jelaslah bahwa
pendidikan religius anak-anak melangkah dari dua fase yang pokok. Pertama, fase
mematangkan cita rasa religiositas si orang tua, kakak, wali, guru, atau mereka yang
mendidik anak secara dekat. Dan fase kedua, bagaimana kepenuhan religius si pendidik itu
ditanamkan pada anak. Jalannya kita sudah tahu. Melalui dialog dalam arti seluas-luasnya
dan dalam kesinambungan terus-menerus melalui peristiwa-peristiwa sehari-hari. Baik secara
implisit dalam penghayatan spontan kehidupan itu, maupun eksplisit berupa kata-kata petuah,
nasihat, informasi, dan percakapan-percakapan pembinaan lain. Tidaklah sulit dipahami
bahwa jalan eksplisit bagi anak jatuh pada nomor dua, karena anak belum sampai pada fase
pemahaman rasional abstrak. Jalan-jalan, perasaan, intuisi, perabaan, dugaan, dan
penghayatan emosional lebih ia pahami. Namun itu tidak berarti, segi rasional asing bagi si
anak. Hanya belum berkembang penuh.

Si anak belum sadar tentang subyek-obyek dan keseluruhan semesta, dan kehidupan bagi dia
ibarat laut tanpa batas. Pada suatu ketika si anak dapat menghayati diri sebagai ikan dan pada
saat lain ia sebatang pohon mangga. Boneka baginya sungguh-sungguh anak yang hidup, dan
bila anjingnya tergilas mobil si anak benar-benar dapat menangis tersedu-sedu seperti
kehilangan adiknya. Tuhan dalam bayangan si anak pasti digambarkan seperti manusia
(antropomorfisme) yang pintar dan tabu apa saja, kaya, baik hati, pelindung; barangkali
seperti nenek yang ramah atau kepala sekolah yang sering memberinya gula-gula. Dan jangan
terkejut bila tiba-tiba si anak menggambarkan Tuhan sebagai awan-awan putih, hanya karena
ia sedang gandrung terpesona pada awan-awan putih itu yang lucu dan menanam rasa damai.
Jika iabertanya, "siapa yang memasang bintang-bintang cemerlang itu di langit?" dan ibunya
menjawab: "Tuhan", maka jawaban itu biasanya memuaskan, sebab pasti ada seseORANG
yang menggantungkan lampu-lampu kecil itu di angkasa. Dan bila ia masih bertanya terus:
"Tuhan rumahnya di mana?" Lalu ibunya menjawab tenang: "di surga", maka barangkali si
anak masih bertanya terus, "surga itu di mana?" Akan tetapi selanjutnya dia toh akan puas
dengan jawaban: “Oh, jauh di atas sana". Yang penting bagi anak hanyalah: segala-gala pasti
ada keterangannya. Tinggal tanya pada ibu atau ayah; Cukuplah sementara.
Tetapi bila kita teliti lebih lanjut, kepuasan si anak bukan terletak pada "teori". Tuhan atau
bukan Tuhan yang menyalakan bintang-bintang di langit, tetapi pada fakta bahwa si ibulah
yang mengatakannya. Jadi benar. Sebab secara langsung dan praktis ia mengalami dan
menghayati siapa si ibu itu. Sebab, siapa yang memberinya makan? Ibunya! Siapa yang
memandikannya dan mengenakannya pakaian yang manis? Ibu! Siapa yang
menggendongnya dan membawakan oleh- oleh? Ibu! Apakah si anak begitu saja akan
percaya, seandainya yang memberi keterangan tadi bukan ibunya tetapi kawannya, seorang
anak kecil juga di rumah tetangga? Atau Pak Lurah? Pasti tidak. Maka teranglah, bahwa si
anak akan percaya pada apa saja yang dikatakan orang tentang Tuhan, asal orang itu baginya
benar-benar orang terpercaya. Seperti si ibunya tadi.

7. Memurnikan Citra Tuhan

Maka baiklah kita menaruh perhatian pada fase pertama tadi, membuat matang dan dewasa
cita rasa religius sang orang tua atau mereka yang paling dekat dan dipercaya oleh si anak.
Bagaimana orang tua semakin mendalam dalam penghayatan religiusnya? Sehingga semakin
murnilah citranya tentang Tuhan? Pastilah banyak faktor dan unsur yang ikut mempengaruhi
dan membentuk cita rasa religius orang tua. Namun beberapa hal yang paling penting ingin
kita kemukakan di bawah ini.

7.1 Usahakanlah agar kita semakin cinta kepada yang benar

Kecintaan pada yang benar, ketidaksukaan pada yang bohong, semu, dan munafik, itu semua
akan membersihkan diri kita, memurnikan dan memerdekakan kita. lni penting, sebab jika
ada sesuatu yang paling menusuk si anak, ialah, apabila kita membohongi dia. Kalau si anak
dituduh sesuatu yang tidak ia lakukan, kalau kita mengingkari janji yang pernah kita berikan
kepada si anak, kebohongan itu sangat menusuk hati si anak. Yang benar tidak selalu yang
nikmat. Intan yang tidak palsu selalu sangat keras dan kebenaran biasanya terasa keras.
Tetapi kebenaranlah yang memerdekakan kita dari segala beban kepalsuan dan gengsi yang
tidak sehat. Kebenaran akan membeningkan pandangan, teristimewa terhadap anak didik kita.

Khususnya mengenai Tuhan, kita pun harus berusaha agar semakin benar juga. Artinya jujur.
Benar dan jujur mengakui di muka anak kita sendiri bahwa kaum tua pun sering menjumpai
hal-hal mengenai keTuhanan yang penuh misteri, yang tidak dapat kita ketahui. Tidak
perlulah kita di muka anak sok berlagak tahu semuanya tentang Tuhan. Pengakuan semacam
itu kelak akan vital untuk kebiasaan hari depan mereka. Juga nanti dia akan belajar bahwa
tidak segala-galanya dapat diketahui manusia. Namun di dalam kegelapan ketidaktahuan itu
kita masih dapat beriman, percaya bahwa Tuhan menuntun kita melalui kelemahan dan
ketidaktahuan kita. Dengan begitu si anak akan ikut belajar juga menjadi manusia yang
beriman, yang bahagia percaya kepada tuntunan Tuhan, walaupun sering kita tidak melihai
secara rasional cara Tuhan menuntun kita. Sebab bagaimanapun, religiositas mengandaikan
hati yang rendah hati, suasana jiwa yang tidak merasa sok tahu segala-galanya.

7.2 Hal yang kedua ialah, bahwa religiositas membutuhkan kepekaan terhadap
pelambangan dan cita rasa puisi

Kepekaan lambang menyegarkan cita rasa dapat tersentuh lalu bertanya mendalam, kemudian
mampu untuk kagum penuh syukur. Misalnya lautan. Laut secara obyektif fisik cuma air asin
saja yang luas permukaannya. Tidak lebih dari itu. Tetapi manusia yang peka puisi dan yang
(sederhana saja, normal) manusiawi akan terharu melihat lautan, melihat pemandangan yang
luas dan indah. Laut baginya tidak hanya air asin yang banyak sekali, tetapi benar-benar
mewahyukan suatu warta. Seolah-olah laut itu berbicara, menderu, dan memperingatkan
manusia tentang sesuatu lain yang luas, yang tiada batasnya, yang abadi; yang menyimpan
sesuatu yang belum tampak di balik cakrawala, namun yang akan tampak bagi mereka yang
berani mengarungi ombak-ombaknya. Dan bila kita melihat perahu nelayan kecil yang
terombang-ambing oleh ombak-ombak itu, namun toh selamat, maka manusia normal yang
peka-lambang akan langsung terkena peringatan, bahwa semacam biduk kecil itulah
perjalanan hidup manusia; harus mengarungi gelombang-gelombang bahaya. Namun selamat
bila pengemudinya mahir; melaju pesat, bila layar-layarnya menerima rahmat angin. Apa
yang mendorong biduk itu maju melaju? Sesuatu yang tidak kelihatan tetapi rill. Seperti
rahmat Tuhan yang tak kelihatan juga, tetapi riil. Begitulah, melalui kepekaan terhadap
lambang-lambang kita diperingatkan secara terselubung tetapi menyentuh, bahwa yang tidak
tampak dan tidak dapat diukur secara fisik teknis belum tentulah tidak nyata. Dan sebagainya.

Semua benda dan peristiwa yang kita jumpai bagi jiwa yang religius selalu mengandung daya
lambang. Gunung, sungai, pabon, bunga, kijang, padi di sawah, jalan raya, jembatan, kuali,
pelita, gerobak, matahari; awan-awan, kupu-kupu, sepasang kakek-nenek, dari seterusnya.

Seluruh bahasa kita pun penuh lambang-lambang. Bukankah kita berkata: "Restuilah kami
dalam perJALANan hidup kami. Kita harus menJEMBATANI PANDANGAN generasi tua
dan ANGKATAN muda. Orang itu tahunya cuma berebutan KURSI belaka. Marilah kita
meRANGKUL semua bangsa di dunia ini dalam persahabatan. Mengapa kau hanya
TEROMBANG-AMBING saja MENGHAMBUR-HAMBURKAN waktu? Sayang hidupmu
tanpa PEGANGAN, tanpa KOMPAS. Gerakan liar itu sudah saatnya diREM? Perusahaan
tanpa KENDALl yang kuat akan berKEPING-KEPING hancur. Susah memang kalau orang
sedang linglung terBAKAR asmara. Barangkali karena dia masih kurang MAKAN GARAM.
Ah, jangan meLONCAT-LONCAT omonganmu. Peganglah GARIS pengarahan agar jangan
SESAT dan kebilangan BENANG MERAHNYA."

Sesungguhnya, percakapan sehari-hari kita penuh dengan lambang-lambang, penuh dengan


bahasa puisi.

Kepekaan terhadap lambang-lambang dan jiwa puisi itu janganlah hilang. Artinya, latihlah
diri kita agar selalu mampu membaca warta terselubung dalam setiap benda atau peristiwa.
Orang Jawa berkata, kita hendaknya tanggap ing sasmito (mampu menangkap tanda-tanda
yang terselubung). Maka kita tetap akan peka terhadap keharuan berkat keindahan yang
menggenangi kita dengan rasa syukur, tetapi juga yang membuat kita peka terhadap
penderitaan serta macam-macam tragedi hidup manusia yang memanggil belas kasih kita.
Sehingga melalui itu kita semakin manusiawi. Alat pemotret melihat dan merekam saat
melalui lensa-lensanya dalam pita film seluloid. Mata manusia melihat juga, tetapi bukan
mata yang sebenamya melihat, tetapi hati manusia. Lensa alat pemotret menangkap peristiwa
hanya melulu secara teknis. Semua yang melewati lensa direkam, tanpa disaring subyektif.
Asal masuk pasti direkam. Begitu juga mikrofon merekam semua bunyi yang masuk ke
dalam pita. Teknis, dingin. Tetapi pada manusia, hati manusialah yang mendengarkan. Tidak
semua bunyi didengarnya, tetapi hanya yang sudah diseleksi oleh suka dan tidak suka, oleh
tafsiran. Secara manusiawi. Baginya laut bukan hanya laut. Sebuah foto bukan hanya
rekaman gambar, tetapi kenangan kepada kekasih. Sebuah warung atau pohon tua dapat
menghidupkan kembali riwayat-riwayat lama dalam nostalgia yang mencucurkan air mata.
Sebuah lagu dapat membuatnya sedih dan sepucuk surat dapat memulihkan lagi daya
hidupnya. Jiwa religius mampu membaca pewartaan dalam benda-benda dan peristiwa-
peristiwa. Maka kemampuan tanggap ing sasmito dari kekayaan rohani para orang tua inilah
yang perlu ditanamkan dalam hati si anak.

Perhatikan sajak-sajak kecil di bawah ini yang dikutip di sini tanpa seleksi saksama. Serba
kebetulan saja terserak, ditemukan di meja penulis. Digubah oleh seorang siswa SD.

TUKANG BECAK
Setiap hari kau keliling kota
Tak mengenal lelah
Untuk mengantarkan seseorang
Yang mau bepergian

Terik matahari
Tak kau hiraukan sama sekali

Oh ... tukang becak


Kau bekerja untuk anak dan istrimu
Untuk memenuhi kebutuhanmu
Dan untuk hidup masa depan anakmu.

Dwi Astuti Kelas VI SD K Pugeran YOGYAKARTA


(Gatotkaca, no. 2, Th ke-15 20 Januari 1984)

Dwi Astuti melihat tukang becak. Tetapi bagi dia tukang becak bukan hanya tukang becak.
Dia lebih dari itu, seorang ayah. Perhatikan loncatan dari gejala tukang becak biasa ke
gagasan tingkat lebih tinggi, dia seorang ayah. Ayah yang bekerja. untuk istri dan anak-
anaknya. Lebih jauh lagi: untuk masa depan anaknya. Walaupun tidak disebut jelas, tetapi
jelas tersirat, Dwi Astuti melihat DI BALIK LAMBANG TUKANG BECAK ITU,
AYAHNYA SENDIRI. Sebab siapa bilang tukang becak itu punya istri dan anak? Teranglah,
dia mengidentifikasi tukang becak dengan ayahnya. Dan ia tersentuh haru. Secara implisit
sajak sederhana yang tidak berpretensi seni sastra ini pada hakikatnya suatu doa. Paling tidak
suatu percikan gagasan religius. Oh ... tukang becak! Dalam lubuk hatinya Dwi Astuti
mengucapkan terima kasih kepada tukang becak yang bersusah-payah itu, bahwa dia begitu
bertanggung jawab. Di tengah terik matahari, tukang becak (atau lebih tepat: ayah Dwi Astuti
sendiri) berkorban untuk anaknya.

Kemampuan untuk iba hati bila melihat sesuatu benda atau peristiwa, kepekaan ikut
merasakan jasa berkorban dari orang lain, kendati belum dikenalnya, kendati bukan ayahnya
sendiri, bukankah itu keharuan yang berkadar religius? Sangat mungkin belum langsung
menyentuh agama, tetapi jelas menyangkut kehidupan, perjuangan berat demi manusia-
manusia tercinta, pengorbanan, ketekunan, kesetiaan dalam pemenuhan tanggung jawab,
demi pelangsungan kehidupan, bukankah itu tema-tema religius yang asli? Kemauan dan
kemampuan untuk dapat belarasa, ikut suka-duka dan solider dengan penderitaan orang lain
walaupun masih dalam kalbu, itulah yang perlu kita lestarikan dan kita kembangkan dalam
anak-anak. Religiositas yang telah mengejawantah dalam peristiwa sehari-hari, yang tidak
spektakuler, yang sangat biasa, itulah yang membuat hidup di dunia ini berharga.
Sajak berikut ditulis oleh seorang siswa yang lebih tua sedikit, kelas I SMP.

KEHIDUPAN
Di malam hening tertegun merenung
Berteman bintang-bintang malam
Menghayati pahitnya kehidupan
Mengapa dunia penuh kepalsuan
Sedang derita yang selalu mencekam tiada berlalu
Mengapa kehidupan manusia beraneka ragam
Mungkin demikianlah raga, kehidupan

Robertus AM Kelas Ia SMP N Grabag MAGELANG


(Gatotkaca, no.2 Th. ke-15 20 Januari 1984)

Tema Robertus adalah tema anak dalam masa mulai puber. Yang masih anak, tetapi mulai
dikonfrontasi dengan tema-tema kehidupan yang datang dari dunia dewasa. Malam hening,
bintang-bintang di angkasa, kegelapan yang tidak gelap penuh, yang masih ada cahaya
sedikit, tetapi toh kegelapan. Dan terlonjaklah pertanyaan yang jelas berkadar religius: betapa
pahit kehidupan, mengapa dunia penuh kepalsuan? Mengapa derita mencekam dan tiada
berlalu?

Barangkali Robertus sedang mengalami kesulitan di rumah, barangkali ada sesuatu yang
terasa mengecewakan sekali dalam hatinya.

Robertus tidak menjawab pertanyaannya sendiri. Memang bukan itu sasarannya. Dan jelas,
dia belum sanggup menemukan jawabannya. Tetapi sesuatu yang paling vital dan paling
religius sudah ia lakukan: ia bertanya. Bukan bertanya pertanyaan matematika atau ilmu
bumi, tetapi pertanyaan dasar kehidupan: mengapa harus ada hidup yang pahit?
Penderitaan ... mengapa? Mengapa pula orang-orang itu berlainan? Beraneka ragam?
Mungkin Robertus tidak berani mengatakan terang-terangan, akan tetapi siapa tahu dalam
lubuk hatinya ia bertanya, mengapa ada orang yang bahagia, dilahirkan dalam situasi
bahagia, sedangkan dia, ya beginilah nasibnya, pahit selagi masih anak? Dan ini: mengapa
dunia penuh kepalsuan? Mengapa tidak dapat polos sederhana saja? Menjawab pertanyaan
merupakan kepuasan yang tersendiri. Akan tetapi dalam kehidupan, khususnya hidup
religius, pertanyaan-pertanyaan jauh lebih vital dan menentukan daripada jawaban-
jawaban. Sebab kualitas manusia diukur dari pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.

Pendidikan anak-anak dalam segi religius akhirnya berkisar pada satu ini: sanggupkah kita
membina anak, sehingga si anak mampu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan hidup
yang benar dan secara benar? Paling tidak, dapatkah kita membina anak, sehingga si anak
itu MAU untuk bertanya pertanyaan yang dalam?

Seorang anak yang lebih kecil tentulah masih suiit mengungkapkan diri dalam sajak atau
kalimat-kalimat yang teratur. Akan tetapi si anak pun bergulat dengan banyak pertanyaan
yang betul-betul mendalam. Yang paling ditanyakan anak pada tingkat awal ialah permintaan
merasa aman, terlindung atau tidak. Apakah ada yang dapat ia andalkan? Kalau ia lapar, ia
akan minta makan siapa? Kalau ke sekolah, minta uang sekolah dari siapa? Bagi si anak
belum jelas hubungan antara uang sekolah dan hari depannya, selain dimarahi guru kalau
tidak membayar. Tetapi bagi Dwi Astuti dan Robertus tadi pengertian itu sudah timbul.
Tahap demi tahap anak-anak belajar menghadapi tantangan-tantangan hidup. Tidak hanya
pada segi fisik materiilnya saja, tetapi juga yang lebih menyentuh serat-serat yang lebih rumit
dalam masalah mencari jalan kehidupan yang bermakna. Arti hidup, makna mengapa orang
hidup, arti penderitaan, nilai kebebasan, makna kerja demi masa depan anak, tema-tema
religius yang bermuara pada pertanyaan paling mendasar: hidupku dari mana dan ke mana?
Melalui jalan mana? Siapa Tuhan? Tuhan dan aku, bagaimana itu hubungannya? Tuhan
dalam kegelapan diriku? Tuhan yang tidak kelihatan, namun toh kelihatan bayangannya
dalam lambang-lambang yang di mana pun terjumpai si anak yang semakin berkembang?
Tuhan yang benar atau Tuhan bayanganku dan hantuku sendiri? Dan, seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai