Anda di halaman 1dari 16

1.

IQ (Intellegence Qoutient)
Kecerdasan intelektual adalah syarat minimum kompetensi diartikan sebagai
keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta
mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Marthen Pali, 1993).
Konsep intelegensi yang pertama kali dirintis oleh Alfred Binet (1964), mempercayai
bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal dan dapat diukur dalam suatu satuan angka
yaitu intelengence qoutient (IQ).
Ini berdasarkan penelitian terbaru terungkap adanya multiple intellegence
(kecerdasan majemuk) Gardner (1994) menemukan dalam setiap anak tersimpan 8
kecerdasan yang siap berkembang, yaitu:
1.

Kecerdasan Linguistik (Word Smart : cerdas berbahasa)

2.

Kecerdasan Matematik-Logis (Number Smart : cerdas angka)

3.

Kecerdasan Spasial (cerdas gambar)

4.

Kecerdasan Kinestetik- Jasmaniah (Body Smart : cerdas tubuh)

5.

Kecerdasan Musikal (cerdas musik nada suara)

6.

Kecerdasan Interpersonal ( Self Smart : cerdas diri)

7.

Kecerdasan Intrapersonal (People Smart ; cerdas bergaul)

8.

Kecerdasan Naturalis (cerdas alam)

Yang menggembirakan dari paradigma baru tentang intelegensi ini adalah


pandangan bahwa TIDAK ADA SISWA YANG BODOH, setiap anak pasti punya
kecerdasan yang menonjol satu atau dua jenis dan siap berprestasi.
2. EQ (Emotional Qoutient)
Penelitian mutakhir menjelaskan bahwa IQ belumlah cukup. IQ hanya
menyumbangkan 20% dari keberhasilan, yang lebih banyak perannya dalam
keberhasilan seseorang adalah EQ (kecerdasan emosional).
Apakah kecerdasan emosional itu?
EQ adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik dan
dalam berhubungan dengan orang lain.
Jelaslah EQ sangat besar peranannya untuk meraih kesuksesan termasuk sukses
dibangku sekolah.
Daniel Goldman mengembangkan EQ menjadi 5 kategori dengan poin-poin:

1.

Kesadaran diri; kecerdasan emosi diri menilai pribadi dan percaya diri.

2.

Pengaturan diri; pengendalian diri, sikap dapat dipercaya, waspada,adaftif


dan inovatif.

3.

Motivasi; dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme.

4.

Empati; memahami orang lain, pelayanan, membantu pengembangan


orang lain, menyikapi perbedaan dan kesadaran politis.

5.

Keterampilan
sosial;
pengaruh
keterampilan
berkomunikasi,
kepemimpinan, manajemen konflik, keakraban, kerjasama dan kerja tim.

3. AQ (Adversity Qoutient)
Mengapa banyak orang yang jelas-kelas cerdas/berbakat tetapi gagal membuktikan
potensi dirinya?
Berapa banyak siswa yang memiliki IQ tinggi tetapi gagal dalam meraih prestasi
belajar? Sebaliknya tidak sedikit orang yang memiliki IQ rendah tetapi justru lebih
unggul dalam prestasi belajar. Pada umumnya ketika dihadapkan pada kesultian
dan tantangan hidup kebanyakan manusia menjadi loyo dan tidak berdaya, mereka
berhenti berusaha sebelum tenaga dan kemampuannya benar-benar teruji. Banyak
orang yang gampang menyerah sebelum berperang, mereka inilah yang
dimaksudkan dengan rendah Adversty Qoutientnya.
Adversty Qoutientnya (AQ) adalah kemampuan atau kecerdasan seseorang untuk
dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan
hidup.
Paul G. Stoltz adalah penemu teori AQ, berdasarkan penelitiannya ada tingkatan AQ
pada manusia, yaitu:
1.

Tingkat Quitters (orang-orang yang berhenti)

Quitters adalah orang yang paling lemah AQnya.


Ketika menghadapi kesulitan hidup, mereka berhenti dan langsung menyerah.
Mereka memilih untuk tidak mendaki, mereka keluar, mundur dan menghindar dari
kewajiban/tugas-tugas hidup. Mereka tidak memanfaatkan peluang, potensi dan
kesempatan dalam hidup.
Contoh: seorang individu yang tidak berkutik, hanya mengeluh ketika ditimpa
kondisi buruk seperti penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dll.
2.

Tingkat Campers (orang yang berkemah)

Campers adalah AQ tingkat sedang.


Awalnya mereka giat mendaki, berjuang menyelesaikan tantangan hidup, namun di
tengah perjalanan mereka berhenti juga. Mereka telah jenuh dan bosan, merasa
sudah cukup, mengakhiri pendakian dengan mencari tempat yang datar dan
nyaman.
Contoh: seorang yang mengira bahwa sukses itu adalah yang penting sudah naik
kelas/lulus, meskipun pas-pasan saja. Sudah punya harta/jabatan bagus sudah
cukup, sukses di dunia sudah cukup!.
3.

Tingkat Climbers (orang yang mendaki)

Climbers adalah pendaki sejati.


Orang yang seumur hidup mencurahkan diri kepada pendakian hidup. Mereka
paham dan sadar bahwa sukses itu bukan hanya dimensi fisik material, tetapi
seluruh dimensi fisik, moral, sosial, spiritual, dstnya.
Mereka adalah orang yang selalu mencari hakikat hidup, hakikat manusia yang
diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dan akan kembali kepada Sang
Maha Pencipta. Mendaki hidup abadi yang jauh lebih panjang.
4. SQ (Spritual Qoutient)
Hasil penelitian di ratusan perusahaan dan kalangan eksekutif bisnis dunia
menunjukkan bahwa spirit itu sungguh penting.Spirit menjadi salah satu faktor
penentu sukses. Salah satu contoh spirit mereka adalah keyakinan bahwa bisnis itu
bermakna besar bagi diri, keluarga dan masa depan umat manusia. Sebaliknya
keringnya spirit akan meruntuhkan seseorang atau perusahaan.
Spiritual adalah inti dan pusat diri sendiri.
Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, melambungkan semangat
dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu (Agus
Nggermanto, 2001)
Lalu M. Zuhri menambahkan bahwa SQ merupakan kecerdasan yang digunakan
untuk berhubungan dengan Tuhan Sang Maha Kuasa.
Ciri-ciri SQ tinggi;
Menurut Dimitri Mahayana, ciri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah:
1.

Memiliki prinsip dan visi yang kuat.

Prinsipadalah suatu kebenaran yang hakiki dan fundamental, berlaku secara


universal bagi seluruh umat.
Prinsip merupakan pedoman berperilaku, yang berupa nilai-nilai yang permanen
dan mendasar.
Ada 3 prinsip utama bagi orang yang tinggi spiritualnya, yaitu;
a. Prinsip kebenaran

Suatu yang paling nyata dalam kehidupan ini adalah kebenaran. Sesuatu yang tidak
benar, tunggulah saatnya nanti pasti akan sirna.
Contoh: Hukum alamiah, jika kita menyemai benih pada tempat yang salah,
waktunya tidak tepat,pengairannya keliru, pemupukannya salah, maka apa yang
terjadi? Benih membusuk dan sirna.
Pelanggaran atas nilai kebenaran membuat kita kehilangan jati diri dan hati nurani
yang tidak jernih.
b. Prinsip keadilan
Keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dengan hak yang seharusnya diterima,
tidak mengabaikan, tidak mengurang-ngurangi.
c. Prinsip kebaikan
Kebaikan adalah memberikan sesuatu lebih dari hak yang seharusnya.
Contoh: ketika kita naik becak membayar Rp. 5.000,- sesuai kesepakatan, tetapi
kita lebihkan membayar Rp. 6.000,- inilah yang disebut kebaikan.

Visi yang kuat


Setelah prinsip, kita harus mempunyai visi.
Visi adalah cara pandang, bagaimana memandang sesuatu dengan visi yang benar.
Dengan visi kita bisa melihat bagaimana sesuatu dengan apa adanya, jernih dari
sumber cahaya kebenaran.
Contoh; Belajat itu tidak sekedar mencari angka raport, ijazah atau bisa mencari
kerja yang bergaji pantas.
2.

Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.

Para siswa menuntut suasana belajar yang menyenangkan. Guru menginginkan


semangat dan hasil belajar yang optimal. Semua pihak berbeda tetapi sama-sama
menginginkan kebaikan.
3.

Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.

Semua yang terjadi di alam raya ini ada maknanya.Semua kejadian pada diri kita
dan lingkungan ada hikmahnya, semua yang diciptakan ada tujuannya.
Dalam sakit, gagal, jatuh, kekurangan dan penderitaan lainnya banyak pelajaran
yang mempertajam kecerdasan spiritual kita. Demikian juga ketika berhasil, kita
bersyukur dan tidak lupa diri.
4.

Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.

Sejarah telah membuktikan, semua orang besar atau sukses telah melewati liku-liku
dan ujian yang besar juga.
Contoh: Thomas Edison menjadi sukses dan cemerlang dengan berbagai
temuannya setelah melalui caci maki dan kegagalan-kegagalan.

J. J. Rouseu menjelaskan; jika tubuh banyak berada dalam kemudahan dan


kesenangan, maka aspek jiwa akan rusak. Orang yang tidak pernah mengalami
kesulitan atau sakit, jiwanya tidak pernah tersentuh.
Penderitaan dan kesulitanlah yang menumbuhkan dan mengembangkan dimensi
spiritual seseorang.

IQ, EQ, SQ, CQ DAN AQ


Menurut Daniel Goleman (Emotional Intelligence 1996) : orang yang mempunyai IQ
tinggi tapi EQ rendah cenderung mengalami kegagalan yang lebih besar dibanding
dengan orang yang IQ-nya rata-rata tetapi EQ-nya tinggi, artinya bahwa penggunaan
EQ atau olahrasa justru menjadi hal yang sangat penting, dimana menurut
Goleman dalam dunia kerja, yang berperan dalam kesuksesan karir seseorang adalah
85% EQ dan 15% IQ. Jadi, peran EQ sangat signifikan
MACAM-MACAM KECERDASAN TERSEBUT ADALAH :
* IQ (INTELLEGENCE QOUTIENT)
Kapasitas umum seseorang untuk engerjakan atau melakukan sesuatu.
Berhubungan dengan penalaran / berfikir.
Intellegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak
secara logis, terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif
(Marten Pali, 1993).
Kesimpulan IQ:
a.Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
b. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan.
c. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan memunculkan penghargaan
dalam budaya seorang individu.
CIRI-CIRI PRILAKU INTELLEGEN / CERDAS :
-

Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru


bagi yang bersangkutan.
- Serasi tujuan dan ekonomis (efesien).
- Masalah mengandung tingkat kesulitan.
- Keterangan pemecahannya dapat diterima.
- Sering menggunakan abstraksi.
- Bercirikan kecepatan.
- Memerlukan pemusatan perhatian
* EQ (EMOTIONAL QOUTIENT)

PENGERTIAN EQ(Emotional Quotient) / kecerdasan emosi :


Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri
sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain (DANIEL
GOLDMAN).
Kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi (PETER SALOVELY & JOHN MAYER).
Kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan
kekuatan,ketajaman, emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh (COOPER
&SAWAF).
Bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial
(SEAGEL).
ASPEK EQ (SALOVELY & GOLDMAN) ADA LIMA :
1. Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
2. Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
3. Kemampuan memotivasi diri.
4. Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
5. Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).
PRILAKU CERDAS EMOSI :
- Menghargai emosi negative orang lain.
- Sabar menghadapi emosi negative orang lain.
- Sadar dan menghargai emosi diri sendiri.
- Emosi negative untuk membina hubungan.
- Peka terhadap emosi orang lain.
- Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
- Tidak menganggap lucu emosi orang lain.
- Tidak memaksa apa yang harus dirasakan.
- Tidak harus membereskan emosi orang lain.
- Saat emosional adalah saat mendengarkan
SIFAT EQ TINGGI :
- Berempati.
- Mengungkapkan dan memahami perasaan.
- Mengendalikan amarah.
- Kemandirian.
- Kemampuan menyesuaikan diri.
- Disukai.
- Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
- Ketekunan.
- Kesetiakawanan.
- Keramahan.

- Sikap hormat.
* CQ (CREATIVITY QOUTIENT)
CREATIVITY / KREATIVITAS adalah potensi seseorang untuk memunculkan sesuatu yang
merupakan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua
bidang dalam usaha lainnya
GUIL FORD mendiskripsikan 5 ciri kreativitas :
1.

KELANCARAN/KEFASIHAN :
Kemampuan memproduksi banyak ide.

b. KELUWESAN :
Kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam
pendekatan jalan pemecahan masalah.
c. KEASLIAN :
Kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinal
sebagai hasil pemikiran sendiri.
d. PENGURAIAN :
Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci.
e. PERUMUSAN KEMBALI :
Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan
melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim.
BEBERAPA CARA MEMUNCULKAN GAGASAN KREATIFITAS
1.

KUANTITAS GAGASAN
Gagasan pertama sebagai cara untuk mendapatkan gagasan yang lebih baik.

Pemilihan dari bernagai gagasan


b. BRAINSTORMING
untuk menambah gagasan yang telah ada, untuk
mendapat gagasana yang orisinil
c. SINEKTIK :
Membuat yang asing menjadi akrab menggunakan
analogi dan metafora
d. MEMFOKUSKAN TUJUAN :
Membuat seolah-olah apa yang diinginkan akan terjadi
besok

* SQ (SPIRITUAL QOUTIENT)

Spiritual Quotient yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan


agama.
percaya bahwa Tuhan itu ada, Maha Melihat, Maha Mendengar dan
Maha. Mengetahui apa-apa yang diucapkan, diperbuat bahkan isi hati atau
niat manusia.
Dalambuku yang berjudul Seratus Tokoh yang paling berpengaruh dalam
sejarah, si penulisnya Michael H. Hart membuat peringkat enam teratas
adalah :
1)Nabi Muhammad SAW;
2) Isaac Newton;
3) Nabi Isa (Yesus);
4) Budha (Sidharta Gautama);
5) Kong Hu Chu; 6) St Paul.
Hampir semua tokoh tersebut ternyata adalah tokoh-tokoh agama,pemimpin/penggerak
spiritual. Jadi manusia yang menentukan arah sejarah adalah mereka yang memiliki
kualitas spiritual.
CIRI-CIRI SQ TINGGI
MEMILIKI PRINSIP DAN VISI YANG KUAT
PRINSIP KEBENARAN
PRINSIP KEADILAN
PRINSIP KEBAIKAN
MEMANDANG SESUATU DENGAN YANG BENAR
MAMPU MELIHAT KERSATUAN DALAM KEANEKARAGAMAN
CONTOH: GURU INGIN HASIL LULUSAN OPTIMAL, MAKA SEMUA YANG TERKAIT AKAN
KERJA SESUAI KEPASITAS DLM TUJUAN YG SAMA
MAMPU MEMAKNAI SETIAP SISI KEHIDUPAN
SEMUA YANG TERJADI ADA MAKNANYA, BERBAGAI PENDERITAAN AKAN PEMPERTEBAL
SQ, JIKA BERHASIL AKAN BERSYUKUR
MAMPU MENGELOLA & BERTAHAN DLM KESULITAN & PENDERITAAN
ORANG SUKSES TELAH MELEWATI LIKU, CACIAN & UJIAN YANG BESAR
* AQ (ADVERSITY QOUTIENT)
Adversity Qountient adalah kemampuan / kecerdasan seseorang untuk dapat
bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan
hidup

contoh kasus :
Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 1931) berhasil menemukan baterai yang
ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20
tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali,
lalu apa yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil ? Secara
spontan Edison langsung menjawab, Berhasil ? Bukan hanya berhasil, saya telah
mendapatkan banyak hasil. Kini saya tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi.
Paul G. Stoltz, merinci AQ:
1.

AQ Tingkat Quitters (Orang-orang yang Berhenti)


langsung menyerah ketika menghadapi kesulitan hidup, tidak berikhtiar dan hanya

berkeluh kesah menghadapi penderitaan


b. AQ Tingkat Campers (Orang yang Berkemah)
Awalnya giat mendaki / berusaha menghadapi kesulitan
hidup, ditengah perjalanan mudah merasa cukup dan
mengakhiri pendakian atau usahanya. Contoh : orang yang
sudah merasa cukup dengan menjadi sarjana, merasa sukses
bila memiliki jabatan dan materi.
c. AQ Tingkat Climbers (Orang yang Mendaki)
seumur hidupnya mendaki mencari hakikat kehidupan
menuju kemuliaan manusia dunia dan akhirat.
Analisis SWOT merupakan suatu teknik yang dapat digunakan
untuk menelaah tingkat keberhasilan pencapaian cita-cita/karier.
S Strenght (Kekuatan), adalah sebuah potensi yang ada pada diri sendiri yang
mendukung cita-cita / karier.
W Weakness (Kelemahan), adalah seluruh kekurangan yang ada pada diri sendiri dan
kurang mendukung cita-cita/ karier.
O Opportunity, (Peluang), adalah segala sesuatu yang dapat menunjangkeb erhasilan
cita-cita/karier.
T Traits (Ancaman), adalah segala sesuatu yang dapat menggagalkan rencana
citacita/karier yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan.

PERAN IQ,EQ,SQ,ESQ DAN AQ


IQ (Intelectual Quotient) atau pengalaman, skill, pengetahuan, dan berbagai hal
yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual dan dapat meningkatkan derajat

kita ke tempat yang lebih tinggi dari orang lain. Dengan begitu kesuksesan akan
dapat lebih mudah dicapai. Apakah benar begitu?

Selanjutnya EQ (Emotional Quotient). Dengan kecerdasan emosional, kita justru


akan lebih mendalami kecerdasan intelektual kita dalam berbuat dan berperilaku.
Karena hanya dengan IQ saja, tentu sangat mustahil orang bisa meraih kesuksesan.
Tergantung kesuksesannya seperti apa dulu, kalo suksesnya membunuh orangorang nggak berdosa dengan membantainya satu persatu, dengan kemampuan
menembak, merakit bom, memilih senjata, berkelahi, membuat virus komputer,
melakukan aktifitas hacking dll.
Sebuah penelitian di Amerika dan Jepang menyatakan bahwa dari 100% orang
sukses, hanya 10-20 persen aja yang berpendidikan tinggi, berijazah lengkap, dan
tentunya dengan IQ yang di atas rata-rata, selebihnya, 80-90 persen hanya lulusan
SMA, SMP, atau bahkan tidak punya latar belakang pendidikan, kebanyakan dari
mereka mengawali karir dari berdagang. Hal ini membuktikan bahwa IQ bukanlah
segala-galanya. Dari beberapa penelitian juga dikatakan bahwa justru orang-oarang
yang ber IQ tinggi malah memiliki kesulitan dalam bergaul, berinteraksi,
mengembangkan diri, dan ber-attitute baik.
Ternyata, kecerdasan IQ dan EQ aja belum cukup untuk menjadi tolak ukur
kesuksesan seseorang, masih ada satu hal lagi yang selama ini kita lupakan.
Memang, kedua hal tersebut sudah cukup memberikan peranan dalam meraih
kesuksesan, tapi, apakah kita akan puas dengan kesuksesan-kesuksesan kita?
tentunya nggak. kita akan terus meraih apa yang kita inginkan. terus dan terus
menerus Tapi pernah nggak sih kita menyadari bahwa segala hal yang kita raih
dalam kesuksesan itu justru malah akan menjerumuskan kita dalam-dalam?
Berbagai pengalaman yang pernah gue baca, masalahnya sama, yaitu nggak
adanya kepuasan dalam hidup meski kita berada dalam kesuksesan tertinggi.
Ambil aja contoh Fulan, Fulan adalah seorang pelajar yang pintar, nilainya bagus
terus dan meraih peringkat pertama di sekolahnya, hingga pada akhirnya dia
disekolahkan ke luar negeri, setelah lulus, ia mengambil S2 di negeri belahan lain
lagi. lalu ia kerja, mendapat posisi yang paling tinggi, dan terus begitu hingga pada
akhirnya ia sadar kalau selama ini memiliki kesulitan untuk menghadapi hidup dan
menganggap kesuksesan bukanlah segala2nya masih ada lagi yang mesti ia
cari tapi apakah itu???
Ada yang bilang ketenangan sejati?
Terus bagaimana caranya agar kita dapat meraih ketenangan sejati tersebut?
sebuah pertanyaan besar,bukan?

Beberapa pakar kecerdasan telah menemukan tiga tingkatan alam dalam otak
manusia, yaitu alam sadar (IQ), alam pra sadar (EQ), dan sebuah unsur terdalam
otak manusia yang disebut GOD SPOT, sebuah titik terang yang berada di alam
bawah sadar manusia. Hal itulah yang ternyata dapat meningkatkan potensi
kecerdasan spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) kita.

Landasan EQ dan SQ Dalam Kepemimpinan


Seorang pemimpin yang hanya berlandaskan pada IQ saja, maka visi dan misi serta
orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan
pragmatis, dengan mengenyampingkan hal-hal yang berbau spirituallits dan
sentuhan hati nurani. Pencapain visi dan misi oleh pemimpin yang hanya
mengandalkan IQ, dilakukan dengan prinsip just do it, sehingga segala bentuk
kegagalan ataupun keberhasilan, disikapi sebagai prinsip just a game. bahkan
ultimate goal nya juga masih sebatas mancari kepuasan materiil atau duniawi.

Pemimpin yang menerapkan nilai-nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam


memimpin, tidak semata-mata logika sebagaimana pendekatan IQ di atas.
Penerapan EQ ini ditunjukan dengan sifat sidik (jujur), Tabligh (berani
menyampaikan kebenaran), Amanah (terpercaya), dan Fatonah (berpendirian kuat)
dalam memimpin. namun pendekatan EQ ini sasaran akhirnya cenderung masih
tetap sama dengan pendekatan IQ yakni sebatas mengejar kepuasan materiil atau
duniawi. Konon di dalam dunia pendidikan negara maju seperti Jepang, Inggris dan
Amerika ada materi tambahan yang berkaitan erat dengan life skill dan leadership.
Disitu aspekkejujuran, pemahaman akan individu dan masyarakat, ditambah basic
technology diberikan sebagai menu sehari-hari. Namun konsep itu nampaknya
masih terlepas dari nilai-nilai luhur ajaran agama, hanya sebatas pada hubungan
antar sesama manusia dengan mengabaikan hubungan dengan Tuhan Pencipta
Semesta Alam.

Pemimpin yang mendalami dan menerapkan nilai-nilai SQ dipadukan dengan nilainilai EQ, ultimate goal nya semata-mata mendapat ridha Allah SWT. Visi dan
misinya sangat jauh kedepan karena dihasilkan dari proses memahami masa lalu
(sejarah) yang sangat jauh ke belakang. Mulai dari upaya memahami penciptaan
alam dan manusia sampai meyakini bahwa tujuan akhirnya tidak lain adalah
akhirat. dengan demikian visinya tidak sebatas sampai akhir kehidupan dunia saja,
tapi sampai pada kehidupan akhirat, dimana semua perilaku kita di dunia akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT dan kita yakin bahwa pengadilan
akhirat akan kita hadapi. Oleh karena itu prinsip just do it nya adalah mengerjakan
segala sesuatu dengan penuh keikhlasan karena melaksanakan tugas dan

kewajiban sebagai seorang pemimpin, semata-mata mengharap ridha Allah SWT,


sehingga ukuran yang digunakannya bukan lagi ukuran manusia tapi sudah
menggunakan ukuran Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Demikian juga dalam hal pengukuran kinerja karyawannya, tidak seamta-mata


hanya berorientasi pada hasil seperti yang populer dikembangkan di Barat, tetapi
kriteria proses untuk mencapai hasil tersebut juga sangat diperhatikan. Kriteria
berdasarkan hasil hanya berfokus pada apa yang telah dicapai atau dihasilkan
ketimbang bagaimana sesuatu itu dicapai atau dihasilkan . Salah satu contoh
definisi kinerja yang dikemukakan seorang ahli barat John Whitmore, Kinerja
diartikan sebagai kualitas
dan Kuantitas output dari suatu proses manajemen . Hal ini berarti, kriteria
berdasarkan hasil hanya tepat diberlakukan bagi organisasi yang tidak peduli
bagaimana hasil ini dicapai. Justru inilah banyak menyebabkan timbulnya
kemerosotan moral dan etika karena mereka dapat melakukan dengan berbagai
cara untuk mencapai hasil yang diharapkan. Padahal definisi kinerja yang
berlandaskan ESQ adalah Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. dengan mengacu pada
definisi ini, maka kinerja itu dapat berupa produk akhir (barang dan jasa) dan atau
berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang
dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kriteria berdasarkan perilaku ini
sangat penting karena mampu mengindentifikasikan bagaiaman pekerjaan itu
dilaksanakan. Kriteri ini sangat penting khusunya bagi pekerjaan yang
membutuhkan hubungan antar personal, sebagai contoh dalam toko swalayan,
apakah kasir-kasirnya dean pelayannya ramah atau menyenangkan pelanggan ?
Toko itu harus membuat daftar perilaku tertentu yang harus diikuti karyawan,
perilaku-perilaku itu dapat diukur langsung oleh pelanggan/pembeli.

Konsep Kesimbangan AQ, IQ, EQ dan SQ dalam Kurikulum Pendidikan.

Di lingkungan dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ, SQ dan AQ)
perlu mendapat bobot perhatian yang seimbang. Hal ini penting mengingat IQ saja
tidak menjamin keberhasilan hidupseseorang, demikian jugab kalau haya sekedar
SQ dan EQ tidak akan mampu mendukung keberhasilan hidup seseorang secara
utuh, material dan spritual.Penerapan keseluruhan aspek kecerdasan ini sangat
efektif kalau dilakukan dalam kegiatan bimbingan konseling disetiap lembaga
pendidikan. Pemahaman EQ dan SQ akan lebih mudah dilakukan melalui kegiatan

tatap muka secara langsung dengan menggugah hati nurani setiap peserta didik
untuk berperilaku baik dan mampu negendalikan diri serta berinteraksi dengan
orang lain secara baik pula. Kalau bimbingan konseling ini sudah dilakukan secara
efektif dengan memesukan semua aspek kecerdasan yang diperlukan, maka sudah
saatnya penilaian keberhasilan siswa/peserta didik tidak sekedar pada tataran
output (produk), tapi bagaimana proses untuk mencapai output tersebut . Penilaian
keberhasilan peserta didik bukan hanya dilihat dari ketepatapan waktu
menyelesaikan seluruh program studi, tapi bagaimana perilaku siswa saat
mengikuti evaluasi/ujian, apakh dengan cara -cara yang jujur, tidak mencontek atau
tidak menjiplak makalah orang lain, tidak berupaya mencari bocoran soal dari lainlain.

Kalau kriteria tidak secara cermat dipantau dan diperhitungkan, maka hasilnya akan
nampak takala lulusan ini mengabdikan ilmunya ditempat kerja, ia akan terbiasa
berperilaku tidak jujur, korupsi, kolusi, dan perilaku amoral lainnya ia akan selalu
mencari jalan pintas yang mudah ia lakukan untuk mencapai tujuannya walaupun
harus menyikut orang lain, menginjak kepala orang, melanggar norma dan autran
yang ada, dan lain-lain. Padahal kalau seseorang memiliki kecerdasan adversitas
( Adversity Intelligence) akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang
menghadang dalam mencapai tujuan. Menurut Stoltz(2000) indikator-indikatornya
dapat dikelompokkan menjadi empat dimensi, yakni dimensi kendali, dimensi asal
usul dan pengakuan, dimensi jangkauan serta dimensi daya tahan . Dimensi kendali
terkait dengan EQ yakni sejauh mana seseorang mampu mengelola kesulitan yang
akan datang. Dimensi kedua tentang tentang asal usul sangat terkait erat dengan
SQ, yakni sejauhmana seseorang mempersalahkan dirinya ketika ia mendapati
bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang
mempersalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan dan
kegagalannya. Dan yang lebih penting lagi adalah, sejauh mana kesediaan untuk
bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut.

Makin tinggi kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kegagalan atau
kesulitan yang menghadang, makin tinggi usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kendala tersebut. Dimensi jangkauan yang menyatakan sejauhmana kesulitan ini
akan merambah kehidupan seseorang menunjukkan, bagaimana suatu masalah
mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang
sedang dihadapi. Dalam teori kecerdasan emosional, menurut Goleman kata
jangkauan ini berhubungan dengan lamanya seseorang terlarut dala suasana hati
yang tidak menentu. Dimensi daya tahan dimaksudkan bahwa makin tinggi daya
tahan seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang
dihadapinya. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa AQ sangat berhubungan erat

dengan IQ, EQ dan SQ. Pengukuran kecerdasan adversitas yang dinyatakan dengan
AQ (Adversity Quotient) yaitu nilai yang diperoleh dengan pembagian tertentu.

Memahami Potensi Qalbu Dalam Kepemimpinan

Setiap manusia akan dipengaruhi oleh dua bisikan ke dalam qalbunya yakni bisikan
baik dari malaikat dan bisikan buruk/jahat dari iblis/syetan. Sementara itu akal kita
akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada disekitarnya melalui penglihatan
dan pendengaran yakni fenomena alam, tata nilai, adat, budaya dll. Dalam
menyaring input-input ini terjadi interaksiantara akal dan kalbu. Kalbu dengan
dimensi Shadr nya akan mengolah hal-hal yang menyangkut aspek emosional.
Shadr adalah potensi kalbu untuk menangkap seluruh nuansa alam dan manusia
dari kacamata rasa, yang mencakup kepekaan atas keindahan, kesopanan, dan
kelembutan. Shadr ini juga mempunyai potensi untuk mampu memberikan
penghargaan atau apresiasi terhadap nilai-nilai keindahan, budaya dan
menghormati orang lain.

Dimensi fuad memberikan ruang untuk akal, berfikir, bertafakur, memilih dan
mengolah seluruh data yang masuk dalam qalbu dan aqal manusia. Fuad melihat
berbagai alamat (tanda) yang kemudian menjadi ilmu untuk mewujudkannya dalam
bentuk amal/perilaku. Pengawal setia Fuad ini adalah akal, zikir, pikir,
pendengaran, dan penglihatan. Fungsi akal membantu fua`ad untuk menangkap
seluruh fenomena yang bersifat lahir, wujud, dan nyata dengan mendayagunakan
fungsi nazhar indra penglihatan sedangkan hal-hal yang bersifat perenungan.
pemahaman mendalam terhadap hakikat yang bersifat ghalib tidak nyata, dan tidak
tampak dalam penglihatan diserahkan kepada potensi pikir dengan
mendayagunakan fungsi sam`a pendengaran. Akal berkaitan dengan keadaan
untuk menangkap seluruh gejala alam yang tampak nyata.

Seseorang yang IQ nya tinggi belum tentu termasuk katagori orang yang
mendayagunakan fu`ad untuk mengenal hakikat dari penciptaan langit dan bumi
serta segala yang tampak. Fu`ad dengan kandungan akal, zikir dan pikir mampu
mengetuk nurani untuk mengambil keputusan secara kritis, berani bertindak, dan
bertanggung jawab. Dalam mengambil sikap atau keputusan, peranan fu`ad
merupakan pasukan qalbu yang paling aterdepan. Fu`ad tampil sebagai assabiqunal
awwalun dari pendayagunaan potensi qalbu. Fu`ad yang berfungsi akan
menyebabkan diri kita selalu terlibat dalam tanya jawab, apakah dirinya berpihak
kepada kebenaran ataukah sedang berada dalam posisi yang salah.

Keseluruhan interaksi dari ketiga potensi qalbu ini kemudian akan dirangkum dalam
nafs (ego) nafs inilah yang akan mengambil keputusan akhir yang akan
ditindaklanjuti secara fisiologis. Hidup manusia diwarnai oleh pertarungan sengit
antara malaikat dan iblis untukmemperebutkan posisi strategis di dalam nafs. Oleh
karena itu semua perbuatan manusia selalu didahului pro-kontra, terutama jika
perbuatan itu belum menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh yang bersangkutan,
kalau yang menang adalah iblis/syetan, perbuatannya sudah dapat dipastikan
perbautan buruk yang akan merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Sedangkan jika yang menang adalah malaikat, maka akan terjadi sebaliknya.

Seluruh potensi qalbu harus selalu disinari cahaya illahi (Ruh kebenaran), sehingga
ia akan tetap berada didalam jalan kebenaran, mengingat peranan iblis yang
dengan gigih berusaha untuk memadamkan cahaya illahi dan menggantinya
dengan nyala api yang bernuatan elemen-elemen rendah dan fana yang penuh
dengan nafsu hewaniah, maka seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk
bertanya kepada hati nurani dan menggugah hati nurani masyarakat yang
dipimpinnya, sehingga dapat melaksankan berbagai kebijakan pimpinannya dengan
baik. inilah inti dari pelaksanaan manajemen sialturahmi, yang mendayagunakan
peran hati nurani, sehingga implementasi dari silaturahmi ini bukan hanya sekedar
perbuatan lahir/fisik/jasad, tapi sudah melibatkan peran hati nurani, yang
ditunjukkan dengan ketulusan untuk saling mencintai dan menyayangi sehingga
timbul saling percaya, saling hormat menghormati antara pemimpin dan
bawahannya.

Kesimpulan dan Saran

Faktor keberhasilan seseorang didalam memimpin ternyata bukan semata-mata


ditentukan oleh faktor pendidikan formal atau bahkan bukan ditentukan oleh
kemampuan dan kecerdasan inteltual, tapi kontribusi terbesar yang mendukung
keberhasilan seseorang adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam
wujud siltarturahmi basa-basi atau seremonial, tapi silaturahmi yang ikhlas sematamata untuk mewujudkan dan mempererat tali kasih sayang. Tidak ada artinya
tangan bersalaman dan saling tegus sapa antara pimpinan dan bawahannya, tapi
hatinya tidak ikut bersalaman. Tidak ada gunanya kalau seorang pemimpin
menggembar -gemborkan perlunya silturahmi tapi ia tidak memberikan contoh
yang baik dalam melaksanakan siltaturahmi yang berkualitas. Kadang-kadang ada
pemimpin yangmampu bersilaturahmi dengan sebagian kecil kelompok, sementara
kelompok yang lain diabaikan bahkan luput dari perhatiannya. Hal ini berarti

manajemen silaturahmi belum dijalankan dengan baik, sehingga tidak dapat


menyelesaikan berbagai persoalan di lingkungan dan leadership dalam setiap
jenjang pendidikan.

Kurikulum pendidikan harus mengarah pada peningkatan kompetensi berkenaan


dengan keterampilan hidup. Keterampilan hidup yang dimaksud bukan hanya
kompetensi untuk memperoleh pengetahuan dan untuk memperoleh pengetahuan
dan untuk tumbuh berkembang bagi diri sendiri, seperti kemampuan membaca,
menulis, berhitung, hidup sehat dan lain-lain, tetapi perlu diberikan kompetensi
organisasi dengan baik. Konsep manajemen silaturahmi (Masil) menghendaki agar
semua persoalan dapat diselesaikan melalui pendekatan hati nurani, dengan prinsip
saling menyayangi diantara sesama manusia. Keterampilan hidup yang lebih luas,
baik di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat, sehingga anak
didik mampu menghayati kehidupan dan lingkungannya. Dalam hal ini kemampuan
intra personal dan inter personal sangat mendukung untuk maksud tersebut, agar
dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara baik dan efektif.

Dalam upaya mewujudkan gagasan itu program jangka penjangnya perlu ada upaya
penyempurnaan system pendidikan nasional kita sebagaimana diterapkan di negara
maju yakni memberikan muatan-muatan life skill.

Anda mungkin juga menyukai