Anda di halaman 1dari 4

Latar belakang

Manusia adalah makhluk hidup yang luar biasa. Secara etimologis, manusia berasal dari kata
“manu” dalam bahasa Sanskerta dan “mans” dalam bahasa Latin yang berarti berpikir, berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebagai sebuah
konsep atau fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok atau individu.

Manusia merupakan sebuah makhluk yang unik. Tiap manusia memiliki cirinya sendiri diantara
manusia lainnya. Bahkan sekalipun mereka kembar, tidak ada manusia yang memiki ciri fisik
dan psikis yang sama persis. Ia merupakan makhluk individu tetap juga makhluk sosial. Ia butuh
kesendirian tetapi juga butuh manusia lain untuk hidup. Menurut Paula J. Christensen & Janet
W. Kenney (2009), manusia merupakan makhluk yang terbuka, bebas memilih makna di dalam
setiap situasi, mengemban tanggung jawab atas setiap keputusan, yang hidup secara
berkelanjutan, serta turut menyusun pola hubungan antar sesama dan unggul multidimensional
dengan berbagai kemungkinan.

Dalam makalah ini, penulis berusaha menjabarkan tentang hakikat dan paradok manusia.
Termasuk didalamnya menjelaskan tentang “Manusia Sebagai Makhluk Bio dan Psiko Sosial”;
Keterkaitan komunikasi dengan dorongan manusia untuk beradaptasi dengan masyarakatnya;
Keterkaitan antara identitas dan interaksi antar manusia; Paradoks yang menggambarkan
manusia sebagai makhluk individu dan anggota masyarakat; Konsep status dan peran manusia
sebagai individu maupun anggota masyarakat; Konsep mentalitas manusia Indonesia.

Konsep mentalitas manusia Indonesia


Konsep manusia
Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik, dalam arti
merupakan satu kesatuan utuh dari aspek jasmani dan rohani dan unik karena mempunyai
berbagai macam kebutuhan sesuai dengan tingkat perkembangannya (Konsorsium Ilmu
Kesehatan, 1992).
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis,
unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu ketika unsur-unsur tersebut
menyatu dalam dirinya. Jika unsur-unsur tersebut tidak menyatu lagi, maka seseorang tidak dapat
dikatakan lagi sebagai individu [ CITATION Set12 \l 14345 ].
Manusia pada dasarnya terdiri dari beberapa unsur yang menjadikannya manusia seutuhnya.
Unsur-unsur tersebut antara lain, fisik, intelektual, emosi, spiritual, sosial-budaya, dan
lingkungan. Selain itu, menurut Abraham Maslow (1943), terdapat hierarki mengenai kebutuhan
dasar manusia. Hierarki tersebut adalah sebagai berikut (diurutkan dari yang teratas): 1.
Aktualisasi diri; 2. Penghargaan/harga diri; 3. Kasih sayang; 4. Rasa aman; 5. Kebutuhan
fisiologis. Ia berendapat bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi dahulu
atau setidaknya cukup terpenuhi sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat tinggi menjadi hal
yang memotivasi. Menurut Maslow (1943), pemuasan berbagai kebutuhan tersebut merupakan
didorong oleh dua hal, yakni motivasi kekuarangan (deficiency motivation) dan motivasi
pertumbuhan (growth motivation).

Manusia Indonesia
Menurut Koentjaraningrat (2004), manusia Indonesia mengidap mentalitas lemah, yaitu konsepsi
atau pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan yang sudah lama mengendap dalam alam
pikiran masyarakat, karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya sejak
beberapa generasi lalu, dan yang baru timbul sejak zaman revolusi yang tidak bersmuber dari
sistem nilai budaya pribumi.

Mentalitas Manusia Indonesia


Mentalitas dalam KBBI (2021), adalah keadaan dan akitivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan
berperasaan. Mentalitas menurut pandangan penulis dapat diartikan sebagai suatu sifat alami
yang muncul ketika dalam suatu keadaan alami ataupun keadaan luar biasa. Koentjaraningrat
(1971) membagi mentalitas manusia Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu mental Indonesia
asli sejak berabad-abad lalu (petani), mental sejak zaman kolonial atau penjajahan
(pegawai/priyayi), dan mental berkembang baru yang muncul sejak Perang Dunia ke-2.
Mentalitas manusia Indonesia tersebut kemudian oleh Koentjaraningrat dimasukkan ke dalam
kerangka Kluckhohn mengenai nilai budaya dan kebudayaan dunia yang tercakup dalam lima
hal.
1. Mental Manusia Indonesia Asli
Mayoritas masyarakat Indonesia pada masa itu adalah petani. Mereka hidup di pedesaan
dengan bertani. Sistem ekonomi masyarakat petani adalah berdasarkan pertanian
(bercocok tanam, peternakan atau pertanian), yang menghasilkan pangan dengan
teknologi yang sederhana dan dengan kesatuan produksi yang tidak berspesialisasi.
Hakikat HIdup, mentalitas yang beranggapan bahwa hidup pada hakikatny adalah
buruk, tetapi harus diperjuangkan menjadi suatu hal yang baik dan menyenangkan.
Hakikat Karya, manusia itu kerja untuk hidup saja. Orang yang memiliki mentalitas
seperti itu akan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja, sedangkan
kerja untuk menghasilkan sesuatu yang lebih, tidak akan ada.
Hakikat Kedudukan Manusia dalam Ruang Waktu, mentalitas yang hanya
berorientasi pada hari ini saja dan tidak berpikir jauh ke depan.
Hakikat Hubungan Manusia dengan Alam, mentalitas yang berusaha mencari
keselaran dengan alam. Dalam hal ini dapat diartikan juga mentalitas yang tidak mau
merusak alam yang sudah ada atau membiarkannya selalu dalam keadaan asli.
Hakikat Hubungan Manusia dengan Sesamanya, manusia Indonesia menghadapi
sesamanya dengan gotong-royong. Manusia Indonesia gemar membantu sesamanya dan
bergotong-royong.

2. Mental Manusia Indonesia Sejaka Zaman Kolonial


Manusia Indonesia yang bukan petani sebagian besar adalah pegawai pemerintah atau
keturunan bangsawan yang sejak zaman kolonial dijadikan sebagai pegawai. Golongan
pegawai ini dalam bahasa Jawa disebut sebagai ‘Priyayi’.
Hakikat HIdup, golongan ini menggap hidup itu pada dasarnya buruk, dan karena itu
harus diingkari. Ketika kesulitan hidup memuncak, mereka suka ke alam kebatinan, dan
menyembunyikan diri dalam impian-impian mengenai masyarakat yang sempurna dan
hidup bahagia.
Hakikat Karya, mentalitas pegawai Indonesia menganggap kerja itu semata-mata hanya
untuk mencapai kedudukan beserta simbol-simbolnya. Sebagai contoh dari mentalitas ini
adalah kebiasaan kaum priyayi memperbaiki rumah dibagian depan atau pendoponya
saja, padahal kamar mandinya kotor, berlumut, dan bagian belakang rumahnya rusak. Hal
ini karena bagian depan atau pendopo adalah tempat menerima tamu, maka ia
mempercantik bagian depan agar dipandang baik oleh tamu yang datang.
Hakikat Kedudukan Manusia dalam Ruang Waktu, mentalitas pegawai di Indonesia
menyukai hal-hal masa lampau. Dalam golongan priyayi di Jawa, menganggap bahawa
manusia yang beradab ialah yang menaruh perhatian besar terhadap sejarah, baik yang
nyata maupun yang fiksi seperti dongeng, mitologi, dll.
Hakikat Hubungan Manusia dengan Alam. Mentalitas priyayi Indonesia beranggapan
bahwa manusia itu sebaiknya menyelaraskan dirinya dengan alam. Dalam hal ini
mentalitas priyayi dan petani memiliki kesamaan. Terdapat tiga konsep kehidupan yang
amat penting bagi priyayi di Jawa. Konsep ini adalah nerima, sabar, dan ikhlas. Nerima,
ini dapat kita artikan sebagai tahap mengakui/mengiyakan ketika tertimpa suatu masalah
atau musibah. Sabar, bisa kita artikan sebagai tahap menerima dan menahan segala
bencana yang hadir. Dan terakhir ikhlas, ikhlas adalah tahap di mana kita bisa merelakan
segala sesuatu yang telah terjadi.
Hakikat Hubungan Manusia dengan Sesamanya. Mentalitas priyayi di Indonesia
terkait dengan sesama manusia menganggap bahwa sebaiknya tindakan-tindakan manusia
itu diarahkan atau diorientasikan ke pada kelakukan sang pemimpin atau penguasa atau
yang kedudukannya lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat ketika terdapat suatu acara
kunjungan dari pemimpin atau dari pemerintah pusat ke daerah, hal yang paling ditunggu
adalahpada bagian wejangan, nasihat, atau amanatnya.

3. Ciri Mental Manusia Indonesia Sejak Zaman Perang Dunia Ke-2


Ciri mental ini menurut Koentjananingrat sejatinya belum begitu melekat dalam alam
pikiran manusia Indonesia. Karena mentalitas ini dapat terbilang baru dibanding dua
mentalitas yang dijelaskan di atas. Terdapat banyak kerusakan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat akibat dari perang dan revolusi yang terjadi. Kerusakan tadi
terwujud dalam kehidupan masyarakat Indonesia, antara lain dalam bentuk krisis
kepemimpinan, kemacetan administrasi, korupsi menyeluruh. Ciri-ciri yang berkembang
juga secara kebetulan semuanya adalah ciri-ciri yang negatif. Hal ini dimungkinkan
karena ciri mentalitas ini berkembang pada zaman revolusi yang pada masa itu
masyarakat penuh akan keragu-raguan, kesulitan , dan penderitaan. Berikut adalah ciri
mentalitas tersebut: (a) meremehkan arti dari kualitas. (b) berhasrat mencapai tujuan
secepat-cepatnya tanpa rela berusaha selangkah demi selangkah (mentalitas menerabas) .
(c) sering menunjukan sikap tidak bertanggung jawab. (d) sering menunjukan sikap tidak
percaya diri. (e) memiliki jiwa yang apatis dan lesu/tidak memiliki semangat.

Bibliography
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2020, Oktober). Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Retrieved from KBBI Daring: http://www.kbbi.kemdikbud.go.id

Kenney, P. J. (2009). Proses Keperawatan: Aplikasi Model Konseptual (4 ed.). (E. K. Yudha, N. B. Subekti,
Eds., Y. Yuningsih, & Y. Asih, Trans.) Jakarta: EGC.

Keperawatan, K. K. (1992). Konsep Model Praktik Keperawatan. Jakarta.

Koentjaraningrat. (1971). Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia (Vol.


1). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review(50), 370-396.

Setiadi, E. M. (2012). Manusia Sebagai Makhluk Individu. In E. M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Dasar (Vol. 4).

Anda mungkin juga menyukai