Anda di halaman 1dari 15

Makalah

PARADIGMA PSIKOANALISIS & PSIKOLOGI ANALITIK


( CARL GUSTAV JUNG)

Nama Anggota Kelompok 1 :


1. Annisa Rahmawati (A1E121068)
2. Rizka Rahmah Gita (A1E121079)
3. Shevia Fera Susika (A1E121107)
4. Mukti Lestari Setyaningsih (A1E121085)
5. Suci Rahmadia (A1E121050)
6. Vigo Elvrando (A1E121061)
7. Wawan Dwi Syahputra (A1E121076)
Dosen Pembimbing:
Drs. Nelyahardi, M.Pd.
Dr. Siti Amanah, S.Pd., M.Pd.

Bimbingan dan Konseling


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jambi
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "paradigma
psikoanalisis & psikologi analitik ( carl gustav jung)" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Kepribadian.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memperluas wawasan mengenai
psikologi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 24 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Struktur Kepribadian ................................................................ 2
2.2 Dinamika Kepribadian.............................................................. 3
2.3 Perkembangan Kepribadian...................................................... 5
2.4 Aplikasi dalam Keilmuan BK .................................................. 7
BAB III PENUTUP 11
3.1 Kesimpulan ............................................................................... 11
3.2 Saran ......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA 12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Carl gustay jung lahir pada tanggal 26 juli 1875 di keswil dan
meninggal pada 6 juni 1961 di kusnacht, swiss. Ia adalah seorang psikolog
yang berasal dari swis dan seorang yang merintis dan mengembangkan
konsep psikologi analitik atau psikoanalisi. Bagi Jung, kepribadian
merupakan kombinasi yang mencakup perasaan dan tingkah laku manusia,
baik di dalam keadaan sadar maupun tidak sadar sehingga kepribadian
seseorang dibentuk oleh banyak aspek.
Teori kepribadian Carl Gustav Jung yang terbagi menjadi tiga
bagian yaitu ego sadar, ketidaksadaran persona dan ketidaksadaran
kolektif. Jung melandasi teorinya pada gagasan bahwa terdapat dua level
dalam psyche, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Kesadaran merupakan
pengalaman yang bersifat personal sedangkan ketidaksadaran berkaitan
dengan keberadaan masa lalu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Struktur Kepribadian ?
2. Dinamika Kepribadian ?
3. Perkembangan Kepribadian ?
4. Aplikasi dalam Keilmuan BK?

1.3 Tujuan

1. Harapan penulis Makalah ini dapat menjadi sebuah ilmu yang nantinya
akan diturunkan kepada anak cucu dari si pembaca, dan nantinya
menjadi amal jariyah.
2. Supaya pembaca mengetahui betapa pentingnya memiliki sebuah
pengetahuan tentang psikologi kepribadian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Struktur Kepribadian

Pandangan Jung tentang manusia terfokus pada keberadaan totalitas


kepribadian yang disebut sebagai psyche, yang terdiri dari sejumlah sistem yang
berbeda tetapi saling memiliki keterkaitan. Melalui psyche, energi psikis yang
bersifat real mengalir secara kontinu dengan arah yang beragam dari
ketidaksadaran menuju ke kesadaran dan kembali lagi, serta dari dalam ke luar
realitas dan kembali lagi (Budiraharjo, 1997: 41).
Struktur kepribadian menurut Jung terdiri dari:
a. Ego
Ego adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran, dan
perasaan sadar (Lindzey, 1993: 182). Ego tersebut berkedudukan di kesadaran
yang menekankan adanya perasaan identitas dan kontinuitas seseorang. Ego
membantu menyesuaikan diri dengan realitas yang khususnya realitas luar. Ego
dapat dikatakan sebagai pusat dari bidang kesadaran, dan sejauh mencakup
kepribadian empiris (Jung, 1987: 93). Dalam hal ini ego tidak sama dengan
psyche, ego hanyalah merupakan satu aspek pemusatan dalam psyche yaitu
terletak pada kesadaran.
b. Personal Unconscious (Ketidaksadaran Personal)
Struktur psyche ini merupakan wilayah yang berdekatan dengan ego.
Terdiri dari pengalaman-pengalaman yang pernah disadari tetapi dilupakan dan
diabaikan dengan cara repression atau suppression (Lindzey, 1993: 183).
Pengalamanpengalaman yang kesannya lemah juga disimpan kedalam personal
unconscious. Penekanan kenangan pahit kedalam personal unconscious dapat
dilakukan oleh diri sendiri secara mekanik namun bisa juga karena desakan dari
pihak luar yang kuat dan lebih berkuasa.
c. Collective Unconscious (Ketidaksadaran Kolektif)
Merupakan gudang bekas ingatan yang diwariskan dari masa lampau
leluhur seseorang yang tidak hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai sebuah
spesies tersendiri tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang
binatangnya. Collective unconscious terdiri dari beberapa Archetype, yang
merupakan ingatan ras akan suatu bentuk pikiran universal yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran-gambaran yang
berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan, yang dianut oleh generasi terentu secara
hampir menyeluruh dan kemudian ditampilkan berulang-ulang pada beberapa
generasi berikutnya. Beberapa archetype yang dominan seakan terpisah dari

2
kumpulan archetype lainnya dan membentuk satu sistem sendiri. Empat archetype
yang penting dalam membentuk kepribadian sescorang adalah
1. Persona yang merupakan topeng yang dipakai manusia sebagai respon
terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat serta terhadap
kebutuhan archetypal sendiri.
2. Anima & Animus merupakan elemen kepribadian yang secara psikologis
berpengaruh terhadap sifat bisexual manusia. Anima adalah archetype sifat
kewanitaan / feminine pada laki-laki, sedangkan Animus adalah archetype
sifat kelelakian / maskulin pada perempuan.
3. Shadow adalah archetype yang terdiri dari insting-insting binatang yang
diwarisi manusia dalam evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang
lebih rendah kebentuk yang lebih tinggi.
4. Self, yang secara bertahap menjadi titik pusat dari kepribadian yang secara
psikologis didefinisikan sebagai totalitas psikis individual dimana semua
elemen kepribadian terkonstelasi disekitarnya. Self membimbing manusia
kearah self-actualization, merupakan tujuan hidup yang terusmenerus
diperjuangkan manusia tetapi jarang tercapai

2.2 Dinamika Kepribadian

Dinamika kepribadian menurut Carl Gustav Jung

Carl Gustav Jung menggabungkan pandangan teleology dan kasualitas.


Dia memandang bahwa tingkah laku manusia itu ditentukan tidak hanya oleh
sejarah individu rasi (kausalitas), tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi individu
(teleologi). Menurut Jung, masa lampau individu sebagai akualitas maupun masa
depan individu sebagai potensialitas sama-sama membimbing tingkah laku
individu.

Pandangan Jung tentang kepribadian adalah prospektif dan retrospektif.


Prospektif dalam arti bahwa ia melihat kepribadian itu ke masa depan ke arah
garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan restrospektif dalam arti
bahwa ia memperhatikan masa lampau sang pribadi. Orang hidup dibimbing oleh
tujuan maupun sebab. Jung menekankan pada peranan tujuan dalam
perkembangan manusia. Pandangan inilah yang membedakan Jung dengan Freud.
Bagi Freud, dalam hidup ini hanya pada pengulangan yang tak habis-habisnya

3
atas tema-tema insting sampai ajal menjelang. Bagi Jung, dalam hidup ini ada
perkembangan yang konstan dan sering kali kreatif, pencarian ke arah yang lebih
sempurna serta kerinduan untuk lahir kembali.

Jung menyelidiki sejarah manusia untuk mengungkap tentang asal ras dan
evolusi kepribadian. Ia meneliti mitologi, agama, lambing, upacara kuno, adat
istiadat, kepercayaan manusia primitive, mimpi, penglihatan, simtom orang
neurotic, halusinasi dan delusi para penderita psikosis dalam mencari akar dan
perkembangan kepribadian manusia.

1. Kausalitas dan Teleologi

Motivasi berasal dari masa lalu dan tujuan teleologis. Kausalitas berisi
keyakinan bahwa peristiwa masa kini memiliki asal usul pengalaman
sebelumnya. Freud sangat meyakini dan berpegang pada kausalitas, namun
Jung tidak sependapat pada Freud, karena Jung berpendapat bahwa
teleologis juga mengambil tempat dalam mempengaruhi motivasi.
Teleologis berisi keyakinan bahwa peristiwa masa kini dimotivasikan oleh
tujuan dan aspirasi kedepan yang mengarahkan tujuan seseorang.

Jung mempunyai pandangan yang sama terhadap mimpi yang berasal dari
pengalaman masa lalu. Namun Jung juga menambahkan bahwa mimpi
dapat membantu orang dalam menentukan masa depan seseorang.

2. Progresi dan Regresi

Progresi adalah bagaimana cara seseorang beradaptasi kepada dunia yang


melibatkan aliran maju energi psikis. Sedangkan Regresi adalah cara
seseorang beradaptasi yang menggunakan aliran maju energi psikis.
Regresi menggunakan psike yang tidak disadari. Jika dipergunakan
sendiri-sendiri maka tidak mampu menyelesaikan masalah, namun jika
keduanya digunakan bersama-sama dan dioptimalkan, maka akan
mengaktifkan proses perkembangan pribadi yang sehat. Dalam hidup
Jung pada masa paruh baya, regresi mendominasi hidupnya ketika progresi
hampir berhenti. Ia lebih menghabiskan energi yang dimiliki untuk

4
mengenali psikenya yang tidak disadari. Jung meyakini bahwa langkah
regresif dibutuhkan untuk menciptakan sebuah kepribadian yang seimbang
dan tumbuh menuju perealisasian diri.

2.3 Perkembangan Kepribadian

Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih


lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa
disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian
sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose).
Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara
oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana
karena masa lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang
mempunyai perasan penuh harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang
dan bekerja.
Dari keduanya dapat diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan
dijadikan beban tapi dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai
stimuli untuk belajar lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan
seseorang harus memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian
mengarahkan pada tujuan yang akan diraih di masa mendatang. Tahap-tahap
perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1. Masa Kanak-kanak
Subtahapan masa kanak-kanak:
a. Fase Anarkis (0 sampai 6 tahun), mempunyai ciri-ciri kesadaran yang khaos dan
sporadif. Pengalaman fase anarkis kadang masuk kedalam kesadaran sebagai
gambaran primitif dan tidak dapat diungkapkan verbal secara akurat.
b. Fase Monarkis (6 sampai 8 tahun), memiliki ciri-ciri perkembangan ego dan oleh
permulaan pemikiran logis dan verbal. Anak mulai melihat dirinya secara objektif
dan menyebut diri mereka sebagai orang ketiga. Meskipun ego dipahami sebagai
sebuah objek namun anak belum menyadari dirinya sebagai aktor yang
memahami.
c. Fase Dualistik (8 sampai 12 tahun), cirinya yaitu ego yang mulai muncul terbagi
menjadi subjektif dan objektif. Anak mulai menyebut dirinya dengan kata ganti
orang pertama, dan menyadari bahwa ia berbeda dengan orang lain.
2. Masa Muda
Masa muda mempunyai periode yaitu mulai dari pubertas sampai paruh baya.
Jung berpendapat bahwa masa muda merupakan sebuah periode dimana seseorang
seharusnya meningkatkan aktivitas, mengalami kematangan seksual, dan dapat

5
menempatkan diri di lingkungannya. Kesulitan pada fase ini adalah dalam
mengurangi kecenderungan alamiah untuk mengandalkan kesadaran sempit
kanak-kanak agar terhindar dari masalah yang terus mengganggu seumur hidup.
Terkadang seseorang mengalami suatu keadaan dimana ia merasa bahwa ia ingin
kembali ke masa lalu saat masalah tidak datang menghampirinya, ini disebut
prinsip konservatif.
3. Paruh Baya
Carl Gustav Jung mengatakan bahwa masa paruh baya adalah seseorang yang
berumur sekitar 35 sampai 40 tahun. Jika orang paruh baya mempertahankan
moral dan nilai sosial hidup mereka yang sebelumnya maka ia akan sulit dalam
mempertahankan daya tarik fisik dan ketangkasan mereka. Orang yang menjalani
masa muda mereka tanpa nilai kanak-kanak ataupun nilai masa muda akan siap
menghadapi dan mengembangkan kehidupan pada masa paruh baya. Mereka
sanggup menyerahkan tujuan ekstraversi masa muda dan bergerak kearah
perluasan kesadaran secara introversi.
4. Usia Senja
Pada tahap ini manusia mengalami penyusutan kesadaran, mereka cenderung
merasa takut akan kematian. Pada tahap ini menggunakan interpretasi mimpi,
mimpi orang-orang tua biasanya dipenuhi simbol kelahiran kembali, seperti
perjalanan panjang atau perubahan dalam lokasi. Simbol yang muncul pada
mimpi tersebut digunakan oleh Jung untuk menentukan sikap bawah sadar
terhadap kematian.
5. Realisasi Diri
Realisasi diri (individuasi) atau kelahiran kembali secara psikologis adalah
proses untuk menjadi seorang individu atau pribadi seutuhnya. Realisasi diri
menginterpretasikan kutub-kutub yang berlawanan pada individu yang homogen
yang dipelajari pada psikologi analitik. Orang yang telah melalui proses menjadi
diri sendiri, sudah mencapai realisasi diri, mengurangi persona, mengetahui anima
dan animusnya, serta mampu menyeimbangkan introversi dan ekstraversi.
Menguasai alam bawah sadar adalah proses yang sangat sulit terutama dalam
menghadapi shadow untuk menerima sifat-sifat pada dirinya. Proses ini tidak akan
bisa sempurna apabila seseorang masih mengedepankan ego yang dominan
terhadap kepribadiannya. Orang yang berhasil sampai pada tahap realisasi diri
tidak didominasi oleh proses bawah sadar atau ego alam sadarnya, namun ia
sudah bisa menyeimbangkan semua aspek kepribadian dalam dirinya.
Manusia yang berhasil memasuki tahap ini sanggup mengembangkan dunia
eksternal maupun internal. Mereka dapat menyambut gambaran-gambaran bawah

6
sadar mereka tersebut ketika muncul dalam mimpi dan refleksi introspektif
mereka.
Carl Gustav Jung menyatakan bahwa manusia selalu maju atau mengejar
kemajuan, dari taraf perkembangan yang kurang sempurna ke taraf yang lebih
sempurna. Manusia juga selalu berusaha mencapai taraf diferensiasi yang lebih
tinggi.
a. Tujuan perkembangan : aktualisasi diri
Menurut Jung, tujuan perkembangan kepribadian adalah aktuali-sasi diri, yaitu
diferensiasi sempurna dan saling hubungan yang selaras antara seluruh aspek
kepribadian.
b. Jalan perkembangan
Progresi dan regresi Dalam prose perkembangan kepribadian dapat terjadi
gerak maju (progresi) atau gerak mundur (regresi). Progresi adalah terjadinya
penyesuaian diri secara memuaskan oleh aku sadar baik terhadap tuntutan dunia
luar mapun kebutuhan-kebutuhan alam tak sadar. Apabila progesi terganggu oleh
sesuatu sehingga libido terha-langi untuk digunakan secara progresi maka libido
membuat regresi, kembali ke fase yang telah dilewati atau masuk ke alam tak
sadar.
c. Proses individuasi
Untuk mencapai kepribadian yang sehat dan terintegrasi secara kuat maka
setiap aspek kepribadian harus mencapai taraf diferensiasi dan perkembangan
yang optimal. Proses untuk sampai ke arah tersebut oleh Jung dinamakan proses
individuasi atau proses penemuan diri.
Tahap Perkembangan Kepribadian Jung Tahap perkembangan kepribadian
Jung terdiri dari 4 tahap, yaitu childhood, youth dan young adulthood, middle age
dan old age. Pada tahap kedua menekankan akan adaptasi terhadap kehidupan
social dan ekonomi. Jung memperlihatkan ketertarikannya pada tahap
perkembangan kepribadian ketiga yaitu middle age, karena disini terdapat proses
yang penting dari puncak dari individuation dan orang mulai merubah kepedulian
terhadap materi menjadi kepedulian spiritual.

2.4 Aplikasi dalam Keilmuan BK

Implementasi Teori Jung dalam BK MBTI atau Myers-Briggs Type Indicator


mengidentifikasikan manusia ke dalam tipe kepribadian berdasarkan teori Jung,
dan setiap manusia masuk ke dalam salah satu tipe yang ada (Naissaban, 2005:
77). Tipe-tipe kepribadian di atas mengandung banyak informasi mengenai
kecenderungan, perilaku dan kebiasaan manusia, yang di dalamnya mengandung

7
potensi, kemampuankemampuan sekaligus kelemahannya. MBTI menyediakan
informasi yang lengkap mengenai manusia. Jung dan para pengikutnya percaya
bahwa pengetahuan yang lengkap tentang diri akan membantu manusia untuk
keluar dari masalah-masalah psikologis yang dihadapi setiap hari dan sekaligus
mendorong orang untuk mencapai individuasi. Tipe kepribadian Jung dalam
MBTI digunakan dalam konseling, ditempuh dengan memberikan tes MBTI
kepada peserta didik sebagai bagian atau salah satu dari asesmen tes yang ada
dalam dunia Bimbingan dan Konseling.
Meski banyak menuai kritik serta banyak polesan, teori Jung ini punya
kontribusi besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Teorinya merupakan gerbang
pembuka bagi para ilmuwan untuk membedah lebih dalam tentang sisi
kepribadian manusia, teorinya ini bahkan berimplikasi hingga sekarang dimana
ada lagi versi barunya dari McCrae dan Costa yang terkenal dengan nama Five
Factor Trait Theory. Pada praktiknya, teori ini banyak digunakan oleh pebisnis
untuk pendekatan brainstorming buat tim yang cenderung introvert atau
ekstrovert; terus pendidik untuk menyadari keunikan siswanya, hingga perusahaan
untuk membuat tes/asesmen kepribadian yang menyeleksi calon karyawannya.
Pada perkembangannya teori psikoanalisis banyak diimplementasikan dalam
dunia pendidikan. Beberapa di antaranya diurai pada jabaran berikut ini.

Pertama,berbicara tentang konsep kecemasan yang dikemukakan


oleh Freud, tentu saja berkaitan pula dengan proses pendidikan. Kecemasan
merupakan fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan
suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Dalam
pendidikan, konsep kecemasan pada tiap individu dapat diolah dan dikembangkan
oleh para pengajar/konselor demi kebaikan peserta didik. Dengan kosep ini pula,
peserta didik dibantu untuk menghargai diri dan oran lain serta lingkungannya.
Dengan kata lain, konsep kecemasan diarahkan ke pendidikan ranah afektif
atau karakternya.

Kedua, dalam ranah yang lebih luas, teori psikoanalisis juga digunakan pada
proses pendidikan yang berbasis kecerdasan majemuk. Setiap individu memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda. Tidak akan ada dua pribadi berbeda walaupun
anak kembar memiliki kecerdasan yang sama. Kecerdasan bukanlah berpatokan
pada angka-angka yang berkaitan dengan IQ. Menurut Garner, ada beberapa
kecerdasan yang ada pada manusia, yaitu kecerdasan matematik, linguistik,
kinestetik, visual-spasial, musik, intra-personal, inter-personal, naturalistik, dan
eksistensial. Sebuah pendidikan seharusnya menjembatani setiap kecerdasan yang
dimiliki oleh peserta didik. Mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan
kebutuhannya tentu sejalan dengan teori Freud yang menyebut bahwa manusia
sebagai makhluk yang memiliki keinginan dan kebutuhan dasar.

8
Ketiga, konsep psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan dasar. Dengan konsep ini,
pengajar dapat mengimplementasikannya ke dunia pendidikan. Berbagai elemen
dalam pendidikan dapat dikembangkan dengan berbasis pada konsep ini.
Kurikulum atau perangkat pembelajaran misalnya, pendidik harus melakukan
berbagai analisis kebutuhan dan tujuan agar apa yang diajarkannya nanti sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik. Hal ini sudah lumrah
digunakan dalam berbagai proses pendidikan dan penelitian pengembangan.

Keempat, berkaitan dengan agresivitas siswa, seorang pendidik harus


mampu mengontrol dan mengatur sikap ini agar terarah menjadi lebih positif.
Agresivitas dalam ilmu psikologi merupakan wahana bagi siswa untuk
memuaskan keinginannya yang cenderung ke arah merusak, mengganggu, atau
menyakiti orang lain. Dengan kata lain agresivitas merupakan ungkapan perasaan
frustasi yang tidak tepat. Dalam hal ini, penyebab munculnya tindakan agresivitas
dapat berupa penilaian negatif atau kata-kata yang menyakitkan. Jika siswa
melakukan kesalahan, tidak selayaknya dihukum dengan kata-kata kasar atau
hukuman lain yang justru akan melukai secara psikologis. Treatment-nya terhadap
kasus ini dapat dilakukan dengan penjajakan secara personal, memberi sugesti dan
wejangan, tidak memberi hukuman tetapi memberi semacam kebebasan dalam
bertanggung jawab, dan membantunya dalam berinteraksi dengan lingkungan
sekitar.

Kelima, perlunya pendidikan inklusif di semua strata pendidikan.


Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang tidak boleh membeda-bedakan
terhadap peserta didik. Dalam hal ini, sekolah harus mau menampung dan
menerima siswa-siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Secara psikologis, anak
yang memiliki kekurangan semacam ini akan mengalami krisis kepercayaan diri
atau minder. Untuk mengurangi dan menghilangkan rasa minder tersebut, sekolah
harus menerima ketunaan tersebut tanpa merasa sebagai bagian yang terpisah dari
masyarakat. Dengan pendidikan inklusif, permasalahan ini diharapkan dapat
membantu bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan.

Terakhir, konsep psikoanalisis yang diterapkan dalam pendidikan adalah


pendidikan yang bermuara pada penciptaan kreativitas peserta didik. Saat ini kita
berada pada era revolusi teknologi informasi. Pada era ini, setiap manusia dituntut
memiliki kreativitas yang orisinil dan terbaik. Orang-orang yang sukses pada
masa ini adalah orang-orang yang memiliki kreativitas tanpa batas. Tengoklah
seperti pendiri facebook, android, samsung, dan lain-lain. Mereka eksis dan
sukses mencapai puncak kejayaan karena memiliki inovasi dan kreativitas yang
mumpuni. Menurut Freud, kreativitas merupakan bagian dari kepribadian yang
didorong untuk menjadi kreatif jika memang mereka tidak dapat memenuhi

9
kebutuhansekssual secara langsung. Berhubung kebutuhannya tidak terpenuhi
maka terjadilah sublimasi dan akhirnya muncullah imajinasi.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Psikoanalisis adalah teori yang menegaskan bahwa seluruh aspek


kepribadian individu mengalami perkembangan yang holistik.
Sederhananya, kepribadian setiap orang sejatinya mengalami proses
evolusi. Jung melandasi teorinya pada gagasan bahwa terdapat dua level
dalam psyche, yakni kesadaran dan ketidaksadaran.

Jung menyebutkan adanya kepribadian kolektif yang di bentuk


sebelumya oleh dasar ras dan secara selektif menjangkau dunia
pengalaman dan diubah serta diperkaya oleh pengalaman – pengalaman
yang diterimanya.

3.2 Saran

Harapan saya makalah ini dapat memberikan ilmu kepada para


pembaca dan bermanfaat. Sebagaimana kita mempunyai ilmu, kita ada
baiknya berbagi dengan sesama, supaya ilmu itu bermanfaat. Dan in syaa
Allah menjadi amal jariyah kita nantinya.

Makalah ini mungkin kurang sempurna, namun dalam


penyusunannya saya dan teman – teman telah berusaha semaksimal
mungkin agar isi dari makalah ini dapat dipahami oleh pembaca. Dan juga
penulis meminta maaf apabila dalam penulisan Makalah terdapat
kesalahan. Karna di rasa kurang itulah, di harapkan kritikan dan masukan
dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Budiraharjo, Paulus. 1997. Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Kanisius:


Yogyakarta
Hadi, Hardono. 1996. Jati Diri Manusia: Berdasar Filsafat Organisme Whitehead.
Kanisius: Yogyakarta
Hall, Calvin S. 2000. Sigmund Freud: Libido Kekuasaan. Tarawang: Yogyakarta
Jung, Carl Gustav. 1945. The Relation Between The Ego and The Unconscious.
Vol.7. Priceton Univ.Press: Pricenton
Jung, Carl Gustav. 1987. Menjadi Diri Sendiri. Gramedia: Jakarta
Lindzey,s Gardner dan Hall, Calvin S. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).
Kanisius: Yogyakarta
Nimpoeno, John S. 2003. Konsep Arketipe C. G. Jung dalam Psikoanalisis dan
Sastra. Lembaga Penelitian UI: Jakarta
Jati rinatki atmaja.2017.dinamika kepribadian Carl Gustav Jung.
http://jati-rinakriatmaja.blogspot.com/2017/01/dinamika-kepribadian-carl-gustav-
jung.html?m=1 Diakses pada tanggal 23 Februari 2022

Jati Rinakri Atmaja, "Perkembangan kepribadian carl gustav jung", 2017, jati-
rinakriatmaja.blogspot.com
http://jatirinakriatmaja.blogspot.com/2017/01/perkembangan-kepribadian-carl-
gustav.html?m=1 Diakses pada tanggal 23 februari 2022

Bertens, K. 2016. Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta: Gramedia

12

Anda mungkin juga menyukai