Anda di halaman 1dari 4

MATERI INISIASI.

MANUSIA DAN BISNIS

Manusia
Siapa aku? Aku adalah manusia.
Apa itu manusia?
Mengapa aku hidup sebagai manusia?
Untuk apa?
Apa yang harus aku lakukan dalam hidup sebagai manusia?

Pernahkah Anda mempertanyakan semua pertanyaan di atas? Konsep diri sebagai


manusia perlu dijawab oleh seseorang. Mungkin jawabannya tidak akan pernah memuaskan.
Tapi sedikitnya, ketika seseorang memiliki konsep yang jelas tentang dirinya sendiri, maka ia
akan memiliki arahan apa yang harus dilakukannya dalam hidup sebagai manusia.
Misalnya, sepakatkah Anda dengan konsepsi manusia dari Thomas Hobbes tentang ‘Homo
Homini Lupus’? Bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya? Konsepsi ini
mendorong manusia masuk dalam kondisi bellum omnium contra omnes atau ‘perang semua
melawan semua’ (lihat dalam www.id.wikipedia.org). dengan konsepsi seperti ini, tidak
heran jika manusia selalu atau senang terlibat konflik dengan sesamanya. Manusia senantiasa
berupaya untuk menjadi kuat dan berkuasa. Ia pun hidup dalam ketakutan. Karena jika tidak
bisa menjadi serigala yang mampu memakan manusia lain, maka dirinyalah yang akan
ditindas oleh orang lain.
Zoon politikon bermakna bahwa manusia adalah binatang atau hewan yang berpolitik.
Manusia itu tidak berbeda dengan binatang. Urusan hidupnya hanyalah urusan mencari
makan dan bertahan hidup. Pembeda antara manusia dengan binatang hanyalah kegiatan
berpolitik. Manusia mengenal politik, sementara binatang tidak. Itu saja.
Tentu, konsepsi tentang manusia banyak dikemukakan oleh para filusuf. Namun, hanya
diri seseorang itulah yang mampu menjawab hakikat keberadaan dirinya. Disinilah seorang
manusia perlu memahami dirinya sebagai sebuah makhluk yang kompleks.

Makhluk Rasional
Menurut Max Weber (dalam Kalber, 1980), terdapat empat tipe rasional, yakni:
a. Zweckrational atau purposive rationality, yakni ekspektasi terhadap perilaku atau
objek lain dalam lingkungannya yang dianggap memiliki tujuan dan mampu
dikalkulasikan atau diperhitungkan;
b. Wertrational atau value/belief-oriented, yakni rasional atau masuk akal bagi
seseorang untuk memiliki keyakinan atas etika, estetika, agama atau motivasi lain
yang membuatnya bersikap independen dalam mengarahkan tujuannya menuju
keberhasilan hidup.
c. Affectual atau meaningfully oriented, yakni rasionalitas seseorang yang dipengaruhi
oleh perasaan atau emosi dalam memaknai sesuatu; dan
d. Traditional atau conventional, yakni rasionalitas yang dipengaruhi oleh habit atau
kebiasaan yang telah berurat akar.
Dalam kegiatan bisnis, manusia dipandang sebagai pelaku bisnis yang rasional. Misalnya,
ketika hendak berbisnis, seseorang memulainya dengan membuat business plan atau rencana
bisnis yang didalamnya berisi tentang produk apa, analisis kondisi yang mendukung atau
tidak mendukung bisnis yang hendak dilakukannya, strategi melaksanakan bisnisnya seperti
apa, hingga prediksi berapa keuntungan yang mungkin diraihnya. Membuat business plan
menunjukkan rasionalitas seseorang dalam melakukan kalkulasi atau perhitungan dalam
kegiatan bisnis.
Selanjutnya, seorang pebisnis juga harus memiliki keyakinan atas etika, estetika atau
agama, terutama dalam mengarahkan bisnisnya agar bermanfaat bukan hanya untuk dirinya
sendiri tapi juga orang-orang di sekitarnya. Bahwa berbisnis itu harus jujur, harus
bersemangat, pantang menyerah, tidak boleh menyakiti orang lain dan prinsip-prinsip
lainnya. Pebisnis yang rasional adalah pebisnis yang yakin atas nilai-nilai kebaikan.
Selanjutnya, tidak salah jika seorang pebisnis mengikuti perasaan atau emosi atau kata
hatinya, yang mungkin seringkali dianggap oleh orang lain sebagai sesuatu yang tidak
rasional. Kadang, perasaan atau emosi muncul begitu saja. Kadang, seseorang tidak
mempunyai alasan mengapa perasaan itu muncul. Misalnya, tiba-tiba saja seorang pebisnis
merasa dirinya harus mundur dari seleksi tender proyek tertentu. Tidak ada alasan yang logis
yang bisa dijelaskan kepada bawahan atau rekan-rekan kerja. Ia merasa perasaannya tidak
boleh ikut dalam tender proyek tersebut.
Rasionalitas seorang pebisnis juga dipengaruhi oleh kebiasaan, baik kebiasaan dirinya atau
kebiasaan orang lain yang mampu dijadikan lahan bisnis.
Hakikat manusia lainnya yang perlu dipahami dalam kegiatan bisnis adalah manusia
sebagai makhluk sosial. Yakni, makhluk yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya. Begitu pula dengan bisnis. Adakah bisnis yang bisa dikerjakan seorang diri?
Rasanya sulit menemukan bisnis apa itu. Dengan memahami hakikat manusia sebagai
makhluk sosial, seorang pebisnis dituntut untuk luwes dalam melakukan kegiatan bisnisnya,
mampu berempati dengan kebutuhan orang-orang yang ada di sekitarnya, serta senantiasa
berkeinginan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.
Berikut ini, konsekuensi dari konsepsi manusia sebagai makhluk rasional maupun
makhluk sosial dengan kegiatan bisnis adalah
1. Bisnis merupakan kegiatan rasional manusia untuk memupuk keuntungan. Tidak ada
seorang manusia pun yang melakukan bisnis dengan keinginan untuk rugi. Semuanya
ingin untuk. Kalaupun bisnisnya merugi, kemungkinan seseorang untuk menghentikan
bisnisnya sangat besar.
2. Bisnis merupakan kegiatan sosial untuk membantu sesama. Kesinambungan bisnis
seseorang sangat tergantung dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh orang-orang
sekitarnya dengan eksistensi bisnis yang digeluti seseorang.
3. Perpaduan dari kedua konsepsi ini melahirkan seorang pebisnis dengan jiwa yang
seimbang: antara mengejar keuntungan dan kepekaan serta kepedulian terhadap sesama.

Bisnis sebagai Kebudayaan Manusia


Proses pembelajaran dalam bisnis dimulai sejak seseorang merintis bisnis dan terus
belajar tanpa henti. Seseorang yang dianggap pakar dalam bisnis bukan berarti ia akan
berhenti belajar. Justru sebaliknya, orang yang dianggap pakar akan merasa dirinya harus
terus mempelajari sesuatu. Kelebihannya adalah pengalaman. Dengan pengalamannya dalam
menggeluti bisnis, ia akan mempelajari dan terus mempelajari bisnisnya sehingga ide,
aktivitas dan hasil-hasil dari bisnis yang ia geluti menjadi semakin halus. Ia terus memoles
bisnisnya. Inilah seni berbisnis. Seni yang lahir dari pengalaman dan menunjukkan kehalusan
budaya dirinya.
Koentjaraningrat (2002: 186-188) menjelaskan bahwa kebudayaan manusia memiliki tiga
wujud, yakni ide, aktivitas dan artefak. Ide bersifat abstrak dan hanya ada di dalam benak
seseorang. Ide seseorang baru akan terlihat, diketahui dan dipahami oleh orang lain jika orang
tersebut mengutarakan dan mengomunikasikan ide-ide yang ada dalam benaknya tersebut.
Proses menyampaikan ide bukanlah hal yang mudah. Ada orang yang dengan gamblang
mampu menyampaikan ide-idenya, ada juga yang gagap atau kurang mampu menjelaskan.
Penyampaian ide bisa dilakukan secara verbal maupun non verbal.
Wujud kedua adalah aktivitas, yakni tindakan berpola dari seseorang. Aktifitas dapat
dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Tindakan seseorang tidak pernah ada yang sama persis.
Namun tindakan seseorang cenderung memiliki pola yang berulang. Misalnya, seseorang
biasa sarapan antara pukul enam sampai tujuh pagi, setelah itu ia pergi bekerja dan pulang
sekitar pukul lima sore. Oleh karena itu, dengan melihat pola aktivitas seseorang, seringkali
orang lain mampu menebak apa yang akan dilakukan seseorang.
Wujud ketiga adalah artefak atau hasil kebudayaan manusia. Artefak merupakan wujud
kebudayaan yang paling mudah untuk dilihat. Guna memahami bagaimana wujud
kebudayaan ini diaplikasikan dalam bisnis, simaklah salah satu iklan makanan inovatif
berikut ini!
Gambar 2.1.
NASUWA (Nasi Uduk Warna) dari CV. 1001

Sumber: www.produk1001.com, diakses 20 Juni 2013

Gambar di atas merupakan iklan NASUWA (Nasi Uduk Warna) dari salah satu produk
makanan inovatif dari CV. 1001 yang mengembangkan berbagai produk olahan instan
dengan bahan baku beras, khususnya beras Garut pilihan. Dalam proses produksinya,
NASUWA mengalami tiga kali proses penggilingan, pencucian dan penyaringan dalam
mesin yang menjadikan beras ini lebih praktis dengan tetap menjaga kualitasnya, sehingga
beras dapat langsung dimasak tanpa harus melakukan pencucuian lagi. Selain beras pilihan,
di dalam satu kotak NASUWA terdapat beberapa bumbu dan rempah-rempah pilihan.
NASUWA mirip mie instan yang sudah popular dalam masyarakat Indonesia. Sangat praktis.
Konsumen hanya perlu mencampurkan semua bahan yang ada dalam paket NASUWA dan
menambahkan air sesuai dengan takaran atau sesuai selera (www.produk1001.com).
Mengaitkan dengan wujud kebudayaan, NASUWA merupakan artefak budaya manusia. Ia
merupakan produk olahan dari aktivitas manusia. Namun bukan sembarang artefak. Ada yang
unik dari NASUWA. Yakni, sebuah innovasi yang memanfaatkan ‘kebiasaan’ masyarakat
setempat dalam mengonsumsi makanan pokok.

Materi Diskusi Inisiasi 2:


1. Sebutkan dan jelaskan konsekuensi dari konsepsi manusia sebagai makhluk rasional
maupun makhluk sosial dengan kegiatan bisnis!
2. Koentjaraningrat (2002: 186-188) menjelaskan bahwa kebudayaan manusia memiliki tiga
wujud, yakni ide, aktivitas dan artefak. Coba Anda jelaskan apakah bisnis memiliki ke
tiga wujud kebudayaan tersebut!

Anda mungkin juga menyukai