Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan anugrahnya, maka kelompok kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
”DAMPAK SOSIAL DAN LEGAL DARI IKLAN KESEHATAN” dengan baik.
Makalah ini di buat bertujuan agar dapat memahami dan mengembangkan materi
yang disajikan, kami sadar makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi
materi maupun penyusunannya, maka kami para penyusun secara terbuka
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah selanjutnya
menjadi lebih baik.
Dengan terselesaikanya makalah ini, kami berharap semoga bermanfaat bagi
pembaca dan rekan-rekan sekalian. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih
juga kepada semua pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi para pembacanya.
Terimakasih.

Bandar lampung , 20 desember 2018


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada sesuatu yang paling penting dalam setiap aktivitas “iklan kesehatan”,
yakni memasarkan informasi tentang barang atau jasa mengenai ikhwal kesehatan,
dan aktivitas ini merupakan pekerjaan komunikasi. Iklan merupakan kunci sukses
dalam komunikasi kesehatan, termasuk bisnis kesehatan dengan audiens yang
mungkin juga para pelanggan sebuah produk. Mengapa demikian ? para pengiklan
yakin bahwa hanya audiens dan para pelanggan yang mengetahui apa yang mereka
butuhkan, hanya audiens dan para pelanggan yang mempunyai uang, oleh karena
itu minat mereka harus di isi dengan informasi tentang yang di tampilkan
pengiklan.

1.2 Rumusan masalah


Apa Dampak Sosial Dan Legal Iklan Kesehatan ?

1..3 Tujuan
Untuk mengetahui iklan dalam komunikasi kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Dampak sosial

1.1.1 Iklan membuat bahasa kita menjadi bias.

Bahasa dipahami sebagai satu-satunya sarana interaksi antarmanusia.


Sebagai simbol penyampaian pesan atau pikiran, baik secara lisan maupun tertulis,
bahasa sering dipakai untuk merepresentasikan realitas sebuah gambaran murni
dari sesuatu secara apa adanya kepada pembaca.

Akan tetapi pada perkembangannya, kita sering menjumpai bahasa yang


tidak lagi menjadi cerminan murni dari suatu realitas. Terkadang perasaan,
kepentingan, atau motif-motif tertentu dari penggunanya juga terlibat. Oleh karena
itu, penerimaan dan penyampaian bahasa amat memerlukan kepekaan agar kita
dapat menilai makna yang tersembunyi di belakangnya, yang bisa saja bersifat
bias, menipu, dan bahkan menyesatkan.

Fenomena Bias dalam Tulisan

Bias atau distorsi dalam sebuah tulisan merupakan sesuatu yang hendaknya
harus kita hindari manakala kita menulis. Terkadang tulisan yang bias, memuat
unsur subjektivitas dari penulisnya. Tak jarang pula terdapat beberapa kepentingan
tersembunyi atau kurangnya pemahaman tentang realitas yang disampaikannya.
Berkaitan masalah tersebut, Mochtar Pabottingi mengemukakan empat sisi distortif
(penyimpangan) penggunaan bahasa sebagai alat politik yang membantu kita untuk
mengetahui apa maksud dari adanya bias di dalam sebuah tulisan.

 Distorsi bahasa sebagai topeng.


Disebut topeng karena bahasa di sini telah dimanipulasi untuk
menggambarkan sesuatu yang lain dari representasi aslinya, dengan tujuan untuk
menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam konteks ini, bahasa yang
disampaikan oleh pelaku mungkin tak lagi jujur dan tidak sesuai rujukan
realitasnya sehingga dapat mengecoh atau menipu orang yang menerimanya.
Misalnya, ungkapan pemerintah seperti "tarif dasar listrik perlu disesuaikan",
padahal sebenarnya yang dimaksud adalah "tarif dasar listrik perlu dinaikkan".

 Distorsi bahasa sebagai proyek lupa.

Artinya, menurut konteks ini, bahasa digunakan untuk membuat orang lain
beralih perhatian dari fokus tertentu. Di sini ihwal "lupa" tidak lagi dilihat sebagai
kodrat manusia, tapi sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi secara sadar. Dengan
memahami arti "lupa" sendiri sebagai tidak ingat sesuatu atau ingat yang lain,
dapat ditangkap pengertian bahwa ternyata "lupa" bukanlah suatu hal yang bersifat
alami pada manusia, namun juga sebagai suatu keadaan yang dapat direkayasa.
Dengan mengalihkan perhatian orang dari suatu fokus tertentu ke fokus yang lain,
berarti kita berusaha menciptakan kondisi lupa padanya.

 Distorsi bahasa sebagai representasi.

Di sini, fungsi bahasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu tidak


sebagaimana mestinya, dengan mewakilkannya melalui penggunaan "labeling"
atau simbol-simbol tertentu.

 Distorsi bahasa sebagai ideologi.

Dalam distorsi ini, masyarakat cenderung dipaksa untuk mengakui


kebenaran bahasa yang digunakan pelaku bersangkutan.
1.1.2 iklan membuat kita menjadi materialistik
Pengertian materialistik adalah hidup yang hanya memandang dengan materi
atau kebendaan semata. Jadi, masyarakat akan merasa bahagia, senang dan ceria
ketika kita baru saja membeli sebuah barang baru, mencoba barang-barang baru.
Dengan adanya banyak sekali iklan membuat masyarakat menjadi konsumen yang
tergila-gila belanja diakibatkan banyaknya promo dan potongan harga yang hadir,
belum lagi dengan fitur gratis ongkos kirim yang terkadang disematkan di iklan-
iklan yang beredar, entah itu di media massa, di TV, di media sosial lainnya,
membuat kita menjadi materialistik.

1.1.3 Iklan melakukan manipulasi pesan sehingga kita membeli sesuatu yang
sebenarnya tidak kita butuhkan
Karena banyaknya iklan bertebaran terkadang kita sangat konsumtif,
membeli barang-barang yang sebenarnya kita sudah punya, atau barang yang tidak
perlu, dan produsenlah yang merasa diuntungkan dari kegiatan iklan-iklan ini,
karena penjualannya semakin meningkat. Namun kitalah yang harus terbebani
dengan cicilan atau uang yang tiba-tiba habis dengan membeli yang tidak perlu.

1.1.4 Iklan itu excessive (melebih-lebihkan sesuatu).


Contohnya saja iklan pemutih wajah, dengan pemakaian tujuh hari maka
wajah akan putih bak kilau mutiara, namun iklan itu berlebih-lebihan, karena
mungkin butuh waktu 30 -60 hari untuk melihat kerja hasil dari sebuah produk
kecantikan.
Ada pula iklan deterjen pakaian dengan kata-kata mencuci sendiri, padahal
bukanlah deterjen yang mencuci semua pakaian itu sendiri melainkan kita yang
mencuci dengan tangan atau mesin cuci. Dengan semua jargon itu, maka membuat
konsumen tertarik membeli produk dari iklan-iklan yang melebih-lebihkan
produknya tersebut.

1.1.5 Iklan itu bersifat ofensif atau membangun rasa buruk.


Contohnya sebagian besar iklan produk sabun kecantikan selalu memakai
model wanita putih pucat seperti warna tembok, sedangkan di bumi ini banyak
sekali jenis warna warna kulit. Terutama masyarakat Indonesia yang kebanyakan
berkulit sawo matang atau kuning langsat, ketika kita melihat iklan dengan kata-
kata kecantikan alami adalah kulit putih bersinar, maka kita akan merasa buruk
terhadap diri kita sendiri, minder, dan akhirnya tidak percaya diri. Semua itu bisa
membangun rasa buruk di diri kita.

1.1.6 Iklan membangun stereotip.

Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi


terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.[1] Stereotipe
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia
untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam
pengambilan keputusan secara cepat.[1] Namun, stereotipe dapat
berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranganggapan bahwa segala
bentuk stereotipe adalah negatif.

Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang
benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki
pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada
pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut,
dan konflik antarkelompok. Sosiologmenekankan pada hubungan di antara
kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis
berorientasi psikoanalisis, semisal Sander Gilman) menekankan bahwa
stereotipe secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan
ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang
sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun
beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe
sesuai dengan fakta terukur.

Contohnya iklan kalung kesehatan harga jutaan dapat menyembuhkan


berbagai penyakit, itu bisa membangun stereotip negatif orang-orang bahwa tidak
perlu ke tenaga kesehatan namun hanya perlu menggunakan kalung tersebut saja
maka segala penyakit akan sembuh. Ini termasuk tindakan yang salah, karena
masyarakat harus melakukan cek kesehatan secara berkala ke fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.

1.1.7 Iklan itu deceptive.

Deceptive artinya yang memperdayakan, bersifat menipu, yang tak dapat


dipercaya. Contohnya Iklan mi instan dengan gambar penuh paha ayam, telur,
dengan irisan sayur, namun ketika kita membuat mi instan hanya kita temukan mi
dan bumbu saja, jadi bisa dikatakan banyak sekali iklan yang bersifat menipu dan
tidak dapat dipercaya.

1. 2 DAMPAK LEGAL DARI IKLAN

Dewasa ini, banyak iklan-iklan yang beredar di masyarakat, entah iklan yang
ada di televisi ataupun yang ada di papan reklame, yang pada hakikatya bersifat
manusiawi dan memberikan informasi serta representasi sebuah produk,
dimanfaatkan untuk tujuan bisnis semata dan berlebihan dengan mengesampingkan
unsur - unsur budaya dan etika. Terkadang, demi keuntungan pasar, tak jarang
iklan yang menampilkan pemahaman yang keliru soal produk yang akan
dipasarkan. Berikut ini adalah contoh iklan - iklan yang dapat dibilang melanggar
etika - etika dalam berbisnis dan juga melanggar norma serta etika.

1. 2.1 Pelanggaran etika

IKLAN POMPA AIR SHI*IZU

Analisis:

Iklan pompa air sarat dengan unsur SARA yang melanggar norma kesopanan,
karena dalam iklan tersebut terdapat adegan seorang wanita yang mencari obat
kuat, namun dia ditawari pompa air. Kemudian dengan wajah yang menggoda si
wanita tadi disirami air oleh pasangannya. Dikhawatirkan iklan tersebut akan
berdampak kepada para penonton khususnya anak-anak dan remaja yang akan
berpikiran kotor setelah melihat tayangan ini.
Untuk iklan ini, tidak seharusnya menampilkan kesan vulgar dan unsur "sensual".
Karna dikhawatirkan jika iklan ini dilihat oleh anak - anak yang masih dibawah
umur, akan berdampak pada psikologis dan khayalan mereka tentang iklan ini.
Seharusnya, iklan ini hanya cukup menampilkan produk pompa air Shim*zu
dengan berbagai kelebihannya, bukan justru seorang wanita yang sedang disirami
air sehingga membuat kesan tak layak untuk iklan pompa air Shim*zu ini.

1. 2. 2 Pelanggaran HAM

Komisi Nasional Perlindungan anak minta pemerintah untuk melarang iklan


rokok karena dinilai telah memberi dampak negatif bagi generasi muda Indonesia.
Menurut Komnas PA, iklan rokok telah melanggar hak-hak anak.

Iklan rokok itu sebenarnya sudah masuk ranah pelanggaran terhadap hak
anak Indonesia karena mempengaruhi para anak dan remaja untuk menjadi
perokok pemula. Maka iklan rokok itu bukan hanya harus dibatasi, tetapi
seharusnya dilarang.

Menurut Arist Merdeka Sirait, strategi jitu perusahaan rokok dalam


memasarkan produknya adalah menampilkan iklan yang bersifat menggiring para
anak muda menjadi perokok pemula dengan menggunakan jargon-jargon yang ada
dalam dunia remaja dan generasi muda.

Dia juga mengatakan hasil survei cepat yang dilakukan Komnas


Perlindungan Anak menunjukkan bahwa dari 10.000 anak remaja di Indonesia, 93
persen mulai merokok karena terpengaruh iklan rokok di televisi, 50 persen anak
remaja mulai merokok akibat promosi rokok di ruang luar, sedangkan 33 persen
lainnya menjadi perokok setelah mendapat pengaruh dari acara-acara musik yang
disponsori oleh perusahaan rokok.
Citra yang dibentuk iklan rokok itu seolah-seolah merokok itu hal yang
normal dan rokok adalah barang biasa. Hal itu juga bisa dikuatkan dengan
pernyataan beberapa perusahaan rokok yang menyatakan bahwa remaja saat ini
adalah target konsumen mereka.

Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak pada 2007, prevalensi


perokok akibat kebiasaan merokok terus meningkat, dan hal itu tidak terlepas dari
pengaruh iklan dan promosi rokok yang terus gencar dilakukan oleh industri rokok.
Dalam kurun waktu Januari hingga Oktober 2007 terdapat 1350 acara yang
disponsori industri rokok dengan rata-rata 135 acara setiap bulan.

Untuk itu harus dilakukan upaya pengendalian rokok secara komprehensif


termasuk pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Ketua Komnas
Perlindungan Anak itu menyoroti kasus anak balita yang merokok atas
sepengetahuan orang tuanya. Dia menilai fenomena itu menjadi bukti bahwa
ancaman rokok sudah menjadi suatu bentuk pelanggaran HAM terhadap anak,
khususnya dari sisi kesehatan.

Selain itu, hampir 45 juta keluarga di Indonesia mempunyai balita yang


'terkepung' asap rokok karena ada anggota keluarganya yang merokok. Oleh karena
itu, Komnas Perlindungan Anak akan menjalankan misinya untuk menyelamatkan
generasi muda Indonesia agar bebas dari asap rokok dengan meminta pemerintah
melakukan beberapa revisi pada Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu tentang
perlindungan anak dari zat adiktif.

Dalam undang-undang itu harus dinyatakan bahwa rokok juga termasuk zat
adiktif yang harus dijauhkan dari anak.

KPA mengajak seluruh masyarakat berkomitmen untuk membuat lingkungan


keluarga yang bebas tembakau dan rokok. Bagi Komnas Perlindungan Anak tidak
ada lagi kompromi. Iklan rokok harus dilarang secara total. Anak Indonesia sehat
bebas tembakau itu kalau tidak sekarang kapan lagi.

1. 2.3 Menghina orang, kelompok, suku bangsa, agama dan golongan lain.
(menghina profesi guru)

IKLAN "MIE SED*P" MELECEHKAN PROFESI GURU

KPI Pusat mengimbau semua stasiun televisi untuk memperbaiki adegan


dalam tayangan iklan “Mie Sed*p” sebelum tayang kembali. Menurut KPI
tayangan yang terdapat dalam iklan tersebut tidak memperhatikan norma dan nilai
yang berlaku dalam lingkungan sekolah, memperolok tenaga pendidik (guru) dan
merendahkan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Teguran dan penjelasan
tersebut tertuang dalam surat imbauan KPI Pusat yang ditandatangani Ketua KPI
Pusat, Dadang Rahmat Hidayat, kepada semua stasiun televise.
Adapun adegan pelanggaran yang dimaksud dalam iklan “Mie Sed*p” yakni
adegan seorang guru yang memegang sebuah produk mie dan di kepalanya
bertengger seekor ayam. Dalam surat imbauan itu, KPI meminta kepada semua
stasiun televisi untuk menjadikan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar
Program Siaran (SPS) KPI tahun 2009 sebagai acuan utama dalam menayangkan
sebuah program siaran. KPI akan terus melakukan pemantauan terhadap iklan
tersebut. Bila ditemukan adanya pelanggaran, KPI akan memberikan sanksi
administratif.
Untuk iklan "Mie Sed*p sendiri saya rasa juga tidak layak untuk
ditayangkan karena melecehkan dunia pendidikan khususnya tenaga pendidik
yakni Guru. Guru yang semestinya memiliki wibawa dan berjasa memberikan ilmu
di iklan tersebut malah ditampilkan dengan di atas kepalanya bertengger seekor
ayam. Selain itu, iklan tersebut menampilkan contoh sekolah yang terkesan kotor
dan tidak terjaga hingga hewan unggas seperti ayam bisa leluasa berada di dalam
kelas, padahal semestinya sekolah dan kelas haruslah bersih dan nyaman untuk
kelancaran proses belajar mengajar.
Seharusnya iklan produk aman untuk disaksikan oleh seluruh kalangan usia
tak terkecuali anak-anak. Apalagi usia anak anak sangat rentan untuk menirukan
segala apa yang dilihatnya, bukan tidak mungkin dengan adanya iklan seperti ini
dapat mengubah cara pandang anak-anak sekolah bahwa sosok guru bukanlah
sosok yang patut dihormati atau sekolah kotor bukanlah masalah.

1. 2.4 Menghina produk lain


Iklan Samsung yang Terang-terangan Menyindir Apple
Sukses booming iPhone X di hampir seluruh penjuru dunia membuat Samsung
tidak tinggal diam. Pasalnya, lewat iklan terbaru berjudul "Samsung Galaxy:
Growing Up" menyindir hampir seluruh lini smartphone Apple. Bahkan mulai dari
generasi pertama di tahun 2007.
Pada iklan tersebut kita akan menemukan beberapa kelemahan iPhone, seperti
memori terbatas, layar kecil, fitur tahan air, dan hilangnya lubang jack audio
3.5mm. Sampai di akhir video, kamu juga akan menemukan lelucon mengenai
“notch” pada iPhone X loh.
1. 2.5 Membentuk stereotip negatif terhadap produk lain atau SARA.

IKLAN KLINIK TO*G F*NG

Iklan Klinik To*g F*ng, menawarkan pengobatan alternatif yang berasal dari
Cina, namun materi iklan yang menayangkan testimoni pasien telah melanggar
peraturan menteri kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien
Emmawati mengatakan, pihaknya sudah menyatakan pelarangan terhadap iklan
tersebut. Beberapa waktu lalu, hasil rapat dari beberapa asosiasi klinik kesehatan,
iklan (Klinik T*ng F*ng) itu sudah tidak boleh diiklankan, sudah dipanggil oleh
Kementerian Kesehatan untuk melakukan pembinaan kepada Klinik To*g F*n
Kementerian Kesehatan mengakui pernah menegur Klinik To*g F*ng atas
iklannya di televisi yang memuat testimoni pasien. Hal ini karena pengakuan
pasien dalam iklan melanggar Peraturan Menteri kesehatan Nomor 1787 Tahun
2012 mengenai Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan. Melihat iklan To*g F*ng
yang masih terus tayang di televisi, Kemenkes segera memikirkan tindakan
lanjutan agar iklan yang melanggar itu disetop. Selain itu, pihaknya juga akan
mempelajari bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menegur lembaga
penyiaran yang menayangkan iklan tersebut.
Untuk iklan testimoni Klinik "To*g F*ng", seharusnya para pasien dalam
testimoni tersebut tidaklah membandingkan pengobatan di kilinik tersebut dengan
pengobatan alternatif ataupun obat konvensional lainnya. Karena dapat membuat
kesalahpahaman bagi orang yang melihat dan menyaksikan iklan Klinik "To*ng
F*ng", terhadap cara pengobatan selain klinik tersebut.
Iklan pengobatan tradisional China, Klinik Tong Fang, dinilai telah
melanggar peraturan menteri kesehatan karena memuat testimoni pasien. Larangan
testimoni pasien ini hanya satu dari 15 larangan bagi iklan atau publikasi
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan.

Berikut 15 poin larangan yang diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan
1787/MENKES/PER/XII/2010:
Iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan tidak diperbolehkan apabila bersifat:
1. Menyerang dan/atau pamer yang bercita rasa buruk seperti merendahkan
kehormatan dan derajat profesi tenaga kesehatan;
2. Memberikan informasi atau pernyataan yang tidak benar, palsu bersifat menipu
dan menyesatkan;
3. Memuat informasi yang menyiratkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut dapat memperoleh keuntungan dari pelayanan kesehatan yang tidak
dapat dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan lainnya atau
menciptakan pengharapan yang tidak tepat dari pelayanan kesehatan yang
diberikan;
4. Membandingkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan fasilitas kesehatan
tersebut dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, atau mencela mutu
pelayanan kesehatan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya;
5. Memuji diri sendiri secara berlebihan, termasuk pernyataan yang bersifat
superlatif dan menyiratkan kata "satu-satunya" atau yang bermakna sama
mengenai keunggulan, keunikan, kecanggihan, sehingga cenderung bersifat
menyesatkan;
6. Mempublikasikan metode, obat, alat dan/atau teknologi pelayanan kesehatan
baru atau non-konvensional yang belum diterima oleh masyarakat kedokteran
dan/atau kesehatan karena manfaat dan keamanannya masih diragukan atau
belum terbukti;
7. Mengiklankan pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang fasilitas
pelayanan kesehatannya tidak berlokasi di negara Indonesia.
8. Mengiklankan pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang fasilitas
pelayanan kesehatannya tidak memiliki izin.
9. Mengiklankan obat, makanan suplemen dan alat kesehatan yang tidak memiliki
izin edar/tidak memenuhi standar mutu dan keamanan;
10. Mengiklankan susu formula dan zat adiktif;
11. Mengiklankan obat keras, psikotropika dan narkotika kecuali dalam majalah
atau forum ilmiah kedokteran;
12. Memberi informasi kepada masyarakat dengan cara yang bersifat mendorong
penggunaan jasa tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut;
13. Mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apa pun termasuk pemberian
potongan harga (diskon), imbalan atas pelayanan kesehatan dan/atau
menggunakan metode penjualan multi-level marketing;
14. Memberi testimoni dalam bentuk iklan dan publikasi di media massa; dan
15. Menggunakan gelar akademis dan/atau sebutan profesi di bidang kesehatan.
16.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

DAMPAK SOSIAL DAN LEGAL IKLAN KESEHATAN


1. Dampak sosial
a. Iklan membuat bahasa kita menjadi bias.
b. Iklan membuat kita menjadi materialistik.
c. Iklan melakukan manipulasi pesan sehingga kita membeli sesuatu yang
sebenarnya tidak kita butukan.
d. Iklan itu excessive (melebih-lebihkan sesuatu).
e. Iklan itu bersifat ofensif atau membangun rasa buruk.
f. Iklan membangun stereotip.
g. Iklan itu deceptive.
h. Iklan membangun daya tahun.
2. Dampak ilegal
a. Pelanggaran etika
b. Pelanggaran HAM
c. Menghina orang, kelompok, suku bangsa, agama dan golongan lain.
d. Menghina produk lain.
e. Membentuk stereotip negatif terhadap produk lain atau SARA.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber : ( http://rararheyna.blogspot.co.id/2016/02/ada-tulisan-iklan-dan-gambar-
yang.html )
Sumber : ( http://calistafredlina.blogspot.co.id/2014/03/kasus-pelanggaran-etika-
pemasaran.html )
https://www.merdeka.com/peristiwa/komnas-perlindungan-anak-minta-iklan-
rokok-dihilangkan.html

Anda mungkin juga menyukai