Untuk menjadi sufi (pelaku ajaran tasawuf; ahli tasawuf),
seseorang tidak harus menyendiri di tempat sunyi. Sufi juga tidak berarti asyik memikirkan diri sendiri, merasa menemukan Tuhan dalam ibadah dan tidak mau peduli kepada lingkungan di sekitar. Tetapi sebaliknya, menjadi sufi berarti terlibat dengan dinamika kehidupan, memberi perhatian terhadap hal-hal (sepele sekalipun) yang ada di sekitar kita, aktif dan progresif menyambut tantangan demi tantangan dalam hidup. Menjadi sufi juga berarti tidak pernah putus asa mengharap pertolongan (rahmat)-Nya. Orang sufi adalah mereka yang bersedia berbagi untuk sesama dan tidak memiliki ketergantungan dengan kebendaan. Seorang sufi selalu sadar, bahwa semua adalah titipan yang tidak kekal. Oleh karena itu, menjadi sufi bisa dicapai oleh siapa pun. Termasuk orang awam yang berbekal pengetahuan (agama) minim. kita akan diajak untuk mengkaji, menghayati, merenungkan serta mengambil pelajaran dari persoalan-persoalan riil/nyata, yang sebenarnya sangat dekat dengan realitas kehidupan di sekitar kita. Judul seperti “Menumbuhkan Spiritualitas Anak” merupakan keresahan dan kepedulian orang tua, untuk menemukan metode terbaik dalam mendidik putera- puterinya, sehingga menghasilkan anak-anak yang saleh, berkualitas, serta menjadi sumber kebahagiaan di dalam keluarga. Hiruk-pikuk kehidupan serta carut-marutnya kondisi perpolitikan di negeri ini, jangan lantas menjadi alasan untuk melepaskan pengamatan dari pertumbuhan dan perkembangan putera-puteri dan orang terdekat kita. Karena sekali saja lalai, kita akan menemukan mereka (anak-anak kita) dalam “pelukan” budaya yang keliru. Begitu juga dengan tema “Shalat dan Valentine Day”. Tema ini berisi pertanyaan kritis dari pembaca dan solusi cerdas yang diberikan pengasuh rubrik dalam menyikapi dan mengapresiasi “budaya impor” yang banyak diganderungi (disenangi) para remaja kita. Budaya seperti merayakan hari kasih sayang, yang kadang dilaksanakan dengan “berlebihan”, tidak lantas kita potong, tetapi kita arahkan kepada praktik yang bermanfaat, membawa nilai positif sesuai tuntunan budaya dan ajaran agama. Sebagai orang tua, bagian dari masyarakat, dan intelektual, sudah sepantasnya kita memberi perhatian terhadap kejadian-kejadian di lingkungan sekitar kita, termasuk pada hal-hal yang sepele. Ada juga judul “Manunggaling Kawulo Gusti”, “Bisikan Setan dan Malaikat”, dan “Kesehatan Nabi Muhammad”, semuanya hasil dari kegelisahan masyarakat dengan fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Dinamika kehidupan modern membawa manusia untuk menapaki jalan spiritual (the spiritual path), terutama ketika mereka membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensi dirinya. Ini merupakan respon atas krisis berkepanjangan yang terjadi di negeri ini. Juga dekadensi moralitas yang memengaruhi gaya hidup orang modern. Kehidupan masyarakat modern memosisikan materialisme dan intelektualisme sebagai puncak kebahagiaan. Akibatnya, penghayatan terhadap nilai-nilai agama (Tuhan) dikesampingkan. Namun ketika terjadi krisis ekonomi sementara intelektualisme dan materialisme tidak bisa memberi solusi kebahagiaan, mereka mulai gamang. Di sinilah masyarakat modern mulai merindukan untuk berhubungan (secara pribadi) dengan Sang Khaliq melalui laku spiritual. ini seolah ingin mengingatkan perlunya menghadirkan Tuhan dalam setiap diri dan gerak-gerik manusia. Menghadirkan Tuhan dalam setiap tindakan merupakan laku spiritual. Penghayatan batiniah atas eksistensi Tuhan. Dengan spiritualitas, diri (pribadi) manusia (inner self) mencapai dimensi ke- Tuhan-an. Di sini, manusia naik satu tingkatan (derajat) dari ego menjadi jiwa-jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah). Nafs al-muthmainnah bisa dicapai dengan melakukan penghambaan (ibadah) kepada Allah dengan tulus, penuh kerendahan. Bersikap menjauhi hal-hal keduniaan, bahkan secara spiritual menjauhi keramaian agar hati dan fikiran terfokus haya kepada Allah. Dalam pengertian ini spiritualitas juga disebut tasawuf. Tasawuf mengajarkan penyerahan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan-angan tanpa terkecuali kepada Allah, dan mendapatkan diri yang hakiki. Spiritualitas menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai ciptaan Tuhan. Bertasawuf Tidak Sulit Yang menarik, buku yang sebelumnya merupakan tulisan- tulisan di rubrik Tasawuf Interaktif harian umum Suara Merdeka, ini menyuguhkan cara bertasawuf yang sederhana, ringan, tidak harus menyendiri di tempat sunyi. Bagi Amin Syukur, bertasawuf tidak harus menghindari keramaian, tetapi secara aktif melibatkan diri dalam dinamika kehidupan serta mau memberi perhatian terhadap hal-hal (sepele sekalipun) di sekitarnya. Sesuai judulnya, buku ini memberi garansi bahwa bertasawuf bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang awam. Asalkan berniat sungguh-sungguh dalam menggapai predikat sufi. Di sini, tasawuf dimaknai sebagai ajaran (nilai dan amaliyah) yang mengarahkan manusia untuk selalu menjaga kebersihan jiwa dan hati. Menggapai ketenteraman, hidup terkontrol, serta menjaga dari segala tindak negatif. Membaca tema-tema dalam buku ini, Anda ibarat mengkaji, menghayati, merenungkan serta belajar dari persoalan riil. Karena setiap tema diangkat dari persoalan nyata yang dilontarkan masyarakat yang peduli dengan kondisi sekelilingnya. Tema-tema itu sebenarnya menceritakan kejadian yang bisa menimpa siapa saja. Termasuk kita semua. Ada judul yang mengisahkan orang tua mencari metode terbaik dalam mendidik putera-puterinya, dan berharap anak-anaknya tumbuh sebagai putra-putri saleh, berkualitas, serta menjadi sumber kebahagiaan di dalam keluarga (hlm. 201). Cerita ini seolah ingin mengingatkan kita, hendaknya carut-marut perpolitikan dan krisis ekonomi di negeri ini jangan menjadikan kita tidak sempat memantau perkembangan putra-putri kita. Karena tanpa bimbingan dan pengawasan kita, mereka akan mengikuti panutan yang keliru. Tema lain yang dibahas adalah keutamaan bezakat (hlm. 101). Dalam krisis ekonomi seperti ini, kesadaran berzakat (berbagi kelebihan rizki dengan sesama) bisa dibilang langka, yang banyak terjadi adalah menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan yang besar. Ini tidak lain adalah akibat sulitnya mencari pekerjaan. Tetapi bagi orang yang berimanan, seberat apa pun zakat tetap dilaksanakan ketika ada kelebihan rizki. Karena hakekat berzakat adalah membersihkan jiwa dan raga dengan cara membangun solidaritas dengan semama. Tidak ketinggalan, cerita kesabaran anak muda yang sedang diterpa gosip miring di masyarakat (hlm. 75), membagun rumah tangga yang sakinah (hlm. 163), dan kesehatan Nabi Muhammad (hlm. 209) juga menghiasi halam buku ini. Salah satu kelebihan buku ini, semua bahasan berangkat dari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Karenanya, isinya tidak bombastis dan diada-adakan, tetapi bersifat riil dan bisa menimpa pada siapa saja. Dengan model setiap tema yang mengupas satu persoalan secara tuntas, pembaca dapat dengan mudah memahami baik seluruh tema maupun topic (kasus) tertentu saja. Sedikit catatan untuk buku ini, tanggal pemuatan tulisan di rubric asalnya (tasawuf interaktif) tidak dicantumkan. Sebenarnya dengan disertakannya tanggal, bulan dan tahun, pembaca bisa dengan mudah membawa ingatannya pada konteks yang melahirkan tulisan. Namun demikian, tetap tidak mengurangi kualitas buku ini untuk tetap membantu para peminat kajian tasawuf dan keislaman dalam memperdalam wawasan dan kepekaan sosialnya. Wallahu a’lam bish shawab.