Anda di halaman 1dari 3

Jadi Sufi itu Mudah

Oleh Ali Romdhoni, MA.

Untuk menjadi sufi (pelaku ajaran tasawuf; ahli tasawuf),


seseorang tidak harus menyendiri di tempat sunyi. Sufi juga tidak berarti
asyik memikirkan diri sendiri, merasa menemukan Tuhan dalam ibadah dan
tidak mau peduli kepada lingkungan di sekitar. Tetapi sebaliknya, menjadi
sufi berarti terlibat dengan dinamika kehidupan, memberi perhatian
terhadap hal-hal (sepele sekalipun) yang ada di sekitar kita, aktif dan
progresif menyambut tantangan demi tantangan dalam hidup.
Menjadi sufi juga berarti tidak pernah putus asa mengharap
pertolongan (rahmat)-Nya. Orang sufi adalah mereka yang bersedia berbagi
untuk sesama dan tidak memiliki ketergantungan dengan kebendaan.
Seorang sufi selalu sadar, bahwa semua adalah titipan yang tidak kekal. Oleh
karena itu, menjadi sufi bisa dicapai oleh siapa pun. Termasuk orang awam
yang berbekal pengetahuan (agama) minim.
kita akan diajak untuk mengkaji, menghayati, merenungkan serta
mengambil pelajaran dari persoalan-persoalan riil/nyata, yang sebenarnya
sangat dekat dengan realitas kehidupan di sekitar kita. Judul seperti
“Menumbuhkan Spiritualitas Anak” merupakan keresahan dan kepedulian
orang tua, untuk menemukan metode terbaik dalam mendidik putera-
puterinya, sehingga menghasilkan anak-anak yang saleh, berkualitas, serta
menjadi sumber kebahagiaan di dalam keluarga. Hiruk-pikuk kehidupan
serta carut-marutnya kondisi perpolitikan di negeri ini, jangan lantas menjadi
alasan untuk melepaskan pengamatan dari pertumbuhan dan perkembangan
putera-puteri dan orang terdekat kita. Karena sekali saja lalai, kita akan
menemukan mereka (anak-anak kita) dalam “pelukan” budaya yang keliru.
Begitu juga dengan tema “Shalat dan Valentine Day”. Tema ini
berisi pertanyaan kritis dari pembaca dan solusi cerdas yang diberikan
pengasuh rubrik dalam menyikapi dan mengapresiasi “budaya impor” yang
banyak diganderungi (disenangi) para remaja kita. Budaya seperti merayakan
hari kasih sayang, yang kadang dilaksanakan dengan “berlebihan”, tidak
lantas kita potong, tetapi kita arahkan kepada praktik yang bermanfaat,
membawa nilai positif sesuai tuntunan budaya dan ajaran agama. Sebagai
orang tua, bagian dari masyarakat, dan intelektual, sudah sepantasnya kita
memberi perhatian terhadap kejadian-kejadian di lingkungan sekitar kita,
termasuk pada hal-hal yang sepele. Ada juga judul “Manunggaling Kawulo
Gusti”, “Bisikan Setan dan Malaikat”, dan “Kesehatan Nabi Muhammad”,
semuanya hasil dari kegelisahan masyarakat dengan fenomena yang terjadi di
sekelilingnya.
Dinamika kehidupan modern membawa manusia untuk
menapaki jalan spiritual (the spiritual path), terutama ketika mereka
membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensi dirinya. Ini
merupakan respon atas krisis berkepanjangan yang terjadi di negeri ini.
Juga dekadensi moralitas yang memengaruhi gaya hidup orang modern.
Kehidupan masyarakat modern memosisikan materialisme dan
intelektualisme sebagai puncak kebahagiaan. Akibatnya, penghayatan
terhadap nilai-nilai agama (Tuhan) dikesampingkan.
Namun ketika terjadi krisis ekonomi sementara intelektualisme
dan materialisme tidak bisa memberi solusi kebahagiaan, mereka mulai
gamang. Di sinilah masyarakat modern mulai merindukan untuk
berhubungan (secara pribadi) dengan Sang Khaliq melalui laku spiritual.
ini seolah ingin mengingatkan perlunya menghadirkan Tuhan
dalam setiap diri dan gerak-gerik manusia.
Menghadirkan Tuhan dalam setiap tindakan merupakan laku
spiritual. Penghayatan batiniah atas eksistensi Tuhan. Dengan
spiritualitas, diri (pribadi) manusia (inner self) mencapai dimensi ke-
Tuhan-an. Di sini, manusia naik satu tingkatan (derajat) dari ego menjadi
jiwa-jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah).
Nafs al-muthmainnah bisa dicapai dengan melakukan
penghambaan (ibadah) kepada Allah dengan tulus, penuh kerendahan.
Bersikap menjauhi hal-hal keduniaan, bahkan secara spiritual menjauhi
keramaian agar hati dan fikiran terfokus haya kepada Allah. Dalam
pengertian ini spiritualitas juga disebut tasawuf.
Tasawuf mengajarkan penyerahan semua hasrat, harapan,
ketakutan dan angan-angan tanpa terkecuali kepada Allah, dan
mendapatkan diri yang hakiki. Spiritualitas menyadarkan manusia bahwa
dirinya adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai
ciptaan Tuhan.
Bertasawuf Tidak Sulit
Yang menarik, buku yang sebelumnya merupakan tulisan-
tulisan di rubrik Tasawuf Interaktif harian umum Suara Merdeka, ini
menyuguhkan cara bertasawuf yang sederhana, ringan, tidak harus
menyendiri di tempat sunyi. Bagi Amin Syukur, bertasawuf tidak harus
menghindari keramaian, tetapi secara aktif melibatkan diri dalam
dinamika kehidupan serta mau memberi perhatian terhadap hal-hal
(sepele sekalipun) di sekitarnya.
Sesuai judulnya, buku ini memberi garansi bahwa bertasawuf
bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang awam. Asalkan berniat
sungguh-sungguh dalam menggapai predikat sufi. Di sini, tasawuf
dimaknai sebagai ajaran (nilai dan amaliyah) yang mengarahkan manusia
untuk selalu menjaga kebersihan jiwa dan hati. Menggapai ketenteraman,
hidup terkontrol, serta menjaga dari segala tindak negatif.
Membaca tema-tema dalam buku ini, Anda ibarat mengkaji,
menghayati, merenungkan serta belajar dari persoalan riil. Karena setiap
tema diangkat dari persoalan nyata yang dilontarkan masyarakat yang
peduli dengan kondisi sekelilingnya. Tema-tema itu sebenarnya
menceritakan kejadian yang bisa menimpa siapa saja. Termasuk kita
semua.
Ada judul yang mengisahkan orang tua mencari metode
terbaik dalam mendidik putera-puterinya, dan berharap anak-anaknya
tumbuh sebagai putra-putri saleh, berkualitas, serta menjadi sumber
kebahagiaan di dalam keluarga (hlm. 201). Cerita ini seolah ingin
mengingatkan kita, hendaknya carut-marut perpolitikan dan krisis
ekonomi di negeri ini jangan menjadikan kita tidak sempat memantau
perkembangan putra-putri kita. Karena tanpa bimbingan dan pengawasan
kita, mereka akan mengikuti panutan yang keliru.
Tema lain yang dibahas adalah keutamaan bezakat (hlm. 101).
Dalam krisis ekonomi seperti ini, kesadaran berzakat (berbagi kelebihan
rizki dengan sesama) bisa dibilang langka, yang banyak terjadi adalah
menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan yang besar. Ini
tidak lain adalah akibat sulitnya mencari pekerjaan. Tetapi bagi orang
yang berimanan, seberat apa pun zakat tetap dilaksanakan ketika ada
kelebihan rizki. Karena hakekat berzakat adalah membersihkan jiwa dan
raga dengan cara membangun solidaritas dengan semama.
Tidak ketinggalan, cerita kesabaran anak muda yang sedang
diterpa gosip miring di masyarakat (hlm. 75), membagun rumah tangga
yang sakinah (hlm. 163), dan kesehatan Nabi Muhammad (hlm. 209) juga
menghiasi halam buku ini.
Salah satu kelebihan buku ini, semua bahasan berangkat dari
kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Karenanya, isinya tidak
bombastis dan diada-adakan, tetapi bersifat riil dan bisa menimpa pada
siapa saja. Dengan model setiap tema yang mengupas satu persoalan
secara tuntas, pembaca dapat dengan mudah memahami baik seluruh
tema maupun topic (kasus) tertentu saja.
Sedikit catatan untuk buku ini, tanggal pemuatan tulisan di
rubric asalnya (tasawuf interaktif) tidak dicantumkan. Sebenarnya dengan
disertakannya tanggal, bulan dan tahun, pembaca bisa dengan mudah
membawa ingatannya pada konteks yang melahirkan tulisan. Namun
demikian, tetap tidak mengurangi kualitas buku ini untuk tetap
membantu para peminat kajian tasawuf dan keislaman dalam
memperdalam wawasan dan kepekaan sosialnya.
Wallahu a’lam bish shawab.

Anda mungkin juga menyukai