Anda di halaman 1dari 3

Santri Sejati sebagai Agen Penerus Nabi

Dunia pendidikan kita dihadapkan pada kenyataan banyaknya indikasi runtuhnya karakter anak bangsa
sebagai dampak dari globalisasi. Hal yang paling memusingkan kita adalah dekadensi moral anak bangsa
yang semakin masif, menggurita dan sangat memprihatinkan.

Persoalan mewabahnya gejala kemerosotan moral pada perkembangannya terasa semakin


mengkhawatirkan karena wabah dekadensi moral tersebut tidak hanya menimpa orang dewasa dalam
berbagai profesinya, melainkan juga telah menimpa para pelajar dalam berbagai jenjang pendidikan
yang notabenenya merupakan generasi penerus bangsa Indonesia.

Salah satu tantangan globalisasi yang mendasar adalah munculnya sikap individualisme dalam diri
seseorang yang kemudian secara beruntun menyebabkan kemerosotan moral itu sendiri. Sikap yang
cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan bersama, memudarkan
solidaritas dan kesetiakawanan sosial, musyawarah, mufakat, gotong royong dan sebagainya.

Keadaan ini dalam pandangan Azyumardi Azra, sebagaimana dikutip oleh Mujammi’ Abdul Musyfi
(2014), mengantarkan dunia pendidikan Islam di era globalisasi pada minimalnya dua tantangan pokok,
yaitu penanaman pemahaman dan pengamalan ajaran Islam serta penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang dalam hal ini pondok pesantren menduduki posisi yang paling banyak dilirik dengan
beberapa alasan mendasar. Pertama, karena selama ini pondok pesantren dikenal sebagai lembaga yang
membentuk pemahaman agama Islam. Kedua, dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum
yang menarik untuk diresapi sebagai bentuk respon positif terhadap perubahan zaman, yaitu al-
muhafadzah ala al-qadimis-shalih, wal akhdzu bil-jadiidi al-ashlah (melestarikan nilai lama yang baik dan
mengambil nilai baru yang lebih baik).

Menurut KH. Muhammad Idris Jauhari (2008), kehidupan sehari-hari di pesantren sengaja dibuat sebagai
miniatur dari kehidupan para santri di rumah dan di masyarakat kelak. Ini dimaksudkan sebagai salah
satu bentuk latihan dan pendidikan yang langsung dipraktekkan dalam keseharian para santri dan
sengaja diciptakan dalam suasana yang Islami, Tarbawi dan Ma’hadi serta tetap ditekankan pada aspek
kemandirian pada satu sisi, sekaligus pada aspek kebersamaan pada sisi yang lain. Suasana yang Islami,
Tarbawi dan Ma’hadi itu dibiasakan dan dibudayakan secara terus menerus di dalam kehidupan para
santri sehari-hari, sehingga lama-kelamaan bisa menjadi tradisi, sunnah, habit atau watak yang melekat
kuat dalam jiwa mereka, dan sewaktu-waktu bisa muncul secara spontan—kapan dan di mana pun—
tanpa harus lewat proses pemikiran dan pertimbangan.

Bagi seorang santri, yang menjadi ukuran belajar di pesantren bukanlah tentang seberapa banyak ilmu
yang didapat, melainkan nilai-nilai  kehidupan yang menjadi bekal dalam mengarungi hidup yang perlu
dipertimbangkan. Segala aktivitas dan kehidupan santri, mulai dari tidur hingga tidur lagi, diatur dan
tidak lepas dari nilai-nilai pendidikan. 24 jam hidup dalam pondok selalu mendapati setiap sudut dengan
kegiatan-kegiatan positif yang mengarah pada pembentukan mental dan semangat juang para santri.

Kita lihat pada hubungan antara kiai dengan santri, misalnya. Kiai dan guru-guru menyediakan hampir
seluruh waktu, tenaga, pikiran bahkan harta dan jiwanya demi kepentingan para santrinya. Hubungan
yang terjalin antara kiai dan santri-santrinya bukan lagi sekedar hubungan antara guru dan murid, tetapi
seperti hubungan antara seorang ayah dengan anak-anaknya. (Muhammad Idris Jauhari, 2008)

Di sini, para santri menjadi terlatih untuk tidak ceroboh dalam bertindak, tidak semaunya sendiri. Segala
masalah yang mereka hadapi dapat dirundingkan dengan kiai dan guru-guru. Mereka dapat dengan
secara terbuka dan bebas berkonsultasi perihal kehidupan mereka sehari-hari. Meminta nasehat dan
saran kepada kiai tentang apa yang harus dilakukan ke depannya. Hubungan akrab antara kiai dan
santri-santrinya ini melahirkan tradisi kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat positif dan konstruktif
bagi dunia pendidikan dan kehidupan bermasyarakat. Sebab, hubungan ini tidak saja terjalin secara
harmonis ketika santri masih di pondok, tapi terus berlangsung sampai di masyarakat.

Selanjutnya, hidup di pesantren adalah hidup dalam suasana kebersamaan dan kemandirian. Jelas,
sebagai seorang santri yang jauh dari orang tua dan keluarga, secara otomatis, sadar atau tidak sadar,
menuntut mereka untuk hidup mandiri. Di samping itu, sebagai seorang santri pula, yang juga tinggal
satu atap dengan santri-santri yang lain, tentu mereka tidak bisa hidup sendiri-sendiri (individualisme).
Keadaan ini kemudian menuntut dan membentuk sikap mereka untuk selalu hidup berbagi, setia kawan,
gotong royong, dan semacamnya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para santri urunan bersama,
kemudian diurus dan diatur bersama. Bila timbul masalah yang pelik, mereka berusaha untuk
menyelesaikan dan memecahkannya bersama.

Dalam pergaulan antar santri sehari-hari diciptakan tradisi tenggang rasa, tepo seliro, tolong menolong,
saling menghargai dan saling menyayangi. Para santri tidak kenal hidup sendiri, maju sendiri, untung
sendiri, menang sendiri, dan segala macam sifat yang mengarah pada individualisme yang sempit. Suka
dan duka dirasakan bersama. Yang berat sama-sama dipikul, dan yang ringan sama-sama dijinjing. Di
sinilah letak karakter dan mental santri itu benar-benar dibentuk. Sehingga kemudian, ketika mereka
terjun di kehidupan luar, di masyarakat, mereka sudah sangat paham arti kebersamaan, kepedulian, arti
tolong-menolong. Untuk ruang lingkup yang lebih luas, dalam urusan kenegaraan, misalnya, mereka
tidak akan bersikap acuh tak acuh terhadap ideologi dan falsafah negaranya.

Suasana hidup antar santri selalu diliputi oleh jiwa ukhuwah islamiyah yang kokoh. Segala hal yang bisa
menimbulkan keretakan dan perpecahan selalu dihindari sejauh mungkin, tidak dibicarakan apalagi
dilakukan. Di kalangan santri, tidak ada fanatisme daerah atau suku, apalagi fanatisme partai atau
golongan. Semua baju dan atribut golongan sengaja ditanggalkan, yang dipakai hanyalah baju dan
atribut Islam. Bahkan, lebih luas lagi, saat permasalahan yang datang adalah lebih kepada urusan agama
(kalau sekiranya tidak melanggar syariat dan hukum), maka santri yang sejati tidak akan lagi
menggunakan atribut keagamaannya, ia akan mengedepankan rasa kemanusiaan demi terbentuknya
persaudaraan.

Selain itu, setiap santri selalu berusaha untuk mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya masing-
masing, sehingga tidak seenaknya meninggalkan tugas dan kewajiban serta melanggar hak-hak orang
lain. Bahkan dalam banyak hal (Muhammad Idris Jauhari, 2008), para santri diarahkan untuk selalu
mendahulukan pelaksanaan kewajiban dari pada menuntut hak. Mereka selalu diyakinkan bahwa
apabila kewajiban telah dilaksanakan dengan baik dan benar, maka hak-haknya insya Allah akan datang
dengan sendirinya.

Maka, jarang sekali kita temukan santri atau mahasiswa yang santri berdemo di jalanan atau di depan
kantor-kantor pemerintahan untuk menuntut hak. Sebab, mereka paham, bisa jadi yang menjadi
kewajiban mereka selama ini belum mereka tunaikan.

Seiring perkembangan zaman, di pesantren tidak ada lagi dikotomi antara ilmu Islam dan ilmu “umum.”
Itulah salah satu bentuk dari kaidah al-muhafadzah ala al-qadimis-shalih, wal akhdzu bil-jadiidi al-
ashlah. Dengan demikian, pesantren tidak saja menggunakan sistem klasikal dan kurikulum yang
terencana, melainkan juga membangun tradisi-tradisi baru di pesantren, yang tentu saja
memproyeksikan suatu visi tentang Islam. Ini sebagai salah satu pondasi yang kuat bagi santri dalam
menghadapi tantangan zaman di masa-masa mendatang, termasuk tantangan globalisasi.

Dari sini kemudian, santri tidak hanya melulu belajar ilmu agama dan kitab-kitab klasik, mereka juga
melek teknologi dan komputer, bahkan terampil dalam komunikasi bahasa Inggris (lisan atau tulisan).
Berbagai macam ragam program intra dan ekstra yang digelar dalam kurikulum hidup dalam pesantren,
jauh dari yang dibayangkan sebelumnya, membayangkan pesantren hanya belajar ilmu agama semata.
Nah, wajar, kalau kemudian para santri ketika di luar telah memiliki kecakapan multi sebagai bekal
beraktualisasi diri dan berkembang di masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai agen penerus nabi, sebagai calon-calon ulama dan para da’i serta mundzirul
qaum, dengan kecakapan multi itu para santri mampu berkiprah dan melakukan pembinaan umat
secara kompak dan terpadu di tengah-tengah masyarakat. Mereka dapat melakukan dakwah ilal-khoir
dengan berbagai hal, di antaranya melalui tulisan (dakwah bil-kitabah), ceramah (dakwah bil lisan), atau
praktisi (dakwah bil hal) sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Biodata:

Mohammad Rifa’i, Santri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Alumni Pascasarjana
Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. CP: 081803146897, Instagram:
@kangrifairasyid

Anda mungkin juga menyukai