ABSTRAK
Catur Asrama sebagai empat jenjang kehidupan yang berlandasakan petunjuk kerohanian
Hindu mengajarkan tentang program hidup sesuai dengan fase dalam kurun waktu tertentu. Dalam
fase kehidupan Catur Asrama hidup dipolakan, sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya
orang berada pada fase pertama, tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase
kedua, ketiga ataupun keempat. Masing-masing jenjang memiliki warna tersendiri dan semua
jenjang itu harus dilewati hingga akhir hayat dikandang badan. Ajaran Catur Asrama pada jaman
sekarang mendidik manusia agar melaksanakan swadharma sesuai dengan jenjang umur yang
dimilikinya. Oleh karena itu, maka penting sekali manusia dijaman sekarang selalu bercermin pada
ajaran Catur Asrama sehingga tidak menjalankan dua asrama dalam satu fase kehidupan.
Konsekuensi atas penyimpangan pada ajaran Catur Asrama akan menyebabkan manusia lebih
terbebani dalam menjalankan hidup.
I. Pendahuluan
Pendidikan umumnya dipahami sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung
kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Akan tetapi, para praktisi pendidikan di lembaga
pendidikan ataupun sekolah formal banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam
suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Pendidikan bagaikan sepotong
ranting rapuh terombang-ambing mengapung di atas samudera kebudayaan yang mahaluas.
Kadang-kadang ditarik oleh gelombang idiologi dibawa ke tengah samudera dan kembali lagi
didorong ke luar menuju pantai harapan bersama gulungan-gulungan ombak kepentingan yang
memang tidak pernah surut dari masa ke masa. Ambivalensi dan ambigusitas menjadi karakternya
sehingga eguana pendidikan hidup dalam beraneka warna aliran, paham, idiologi, bahkan
kepentingan. Oleh karena itu Fakih (dalam O’neil, 2002) memberikan pemetaan aliran paradigma
pendidikan yang digunakan oleh Henry Giroux and Aronowitz (1985) yang membagi ideologi
pendidikan menjadi tiga aliran, yaitu konservative, liberal, dan kritis.
Pertama, paradigma konservative memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat
merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari, dan sudah
merupakan ketentuan sejarah, bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah hal
yang harus diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja.
Dalam bentuknya yang klasik paradigma konservative dibangun berdasarkan keyakinan bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan
sosial. Menurutnya hanya Tuhan-lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang
tahu makna di balik itu semua. Artinya, kaum konservative klasik menganggap masyarakat tidak
memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Jadi, pendidikan hanya menjadi
hamba kekuasaan.
Kedua, paradigma liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di
masyarakat, terutama persoalan politik dan ekonomi, tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan
persolan tersebut. Artinya, tugas pendidikan tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan politik
dan ekonomi. Walaupun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan
dengan keadaan politik dan ekonomi di luar dunia pendidikan, yaitu dengan jalan memecahkan
masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang
dilakukan seperti perlunya membangun ruang belajar dan fasilitas baru, laboratorium dengan
peralatan dan perlengkapan yang canggih, dan berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-
murid. Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yaitu suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan melindungi hak, kebebasan, dan mengidentifikasi problem, serta
upaya perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Model tipe
ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti bahwa manusia memiliki potensi sama
dalam intelektual; baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal; dan
individualis yang menganggap bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.
Ketiga, paradigma kritis memandang bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan
politik. Paradigma ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi
masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam
masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif ini, urusan pendidikan
adalah melakukan refleksi terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas
utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta melakukan dekontruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Dalam hal ini pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan
menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama
pendidikan adalah ‘memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem
dan struktur yang tidak adil.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi paradigma konservative pendidikan
bertujuan untuk menjaga status quo, sedangkan bagi paradigma liberal pendidikan bertujuan untuk
perubahan moderat, tetapi paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental
dalam politik dan ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, pada hakikatnya pendidikan yang
diperlukan manusia adalah pendidikan yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih
manusiawi. Seperti banyak dijelaskan dalam filsafat pendidikan bahwa pendidikan pada
hakikatnya memberikan wawasan agar manusia mengerti dan memahami dirinya sebagai manusia
yang berkesadaran, bermoral, dan berkemanusiaan. Dengan demikian manusia dapat menjadi
dirinya, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya sehingga mampu hidup
berdampingan secara harmonis dengan sesamanya, bahkan dengan segala makhluk. Inilah yang
disebut manusia matang dan dewasa yang mampu bertanggung jawab, baik bagi dirinya sendiri
maupun terhadap orang lain dan lingkungannya. Seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan
nasional agar peserta didik menjadi manusia mandiri dalam mewujudkan masyarakat madani.
Inilah hakikat tujuan pendidikan dan bukan sekadar hanya menciptakan manusia pekerja bagi
pengembangan industri dan memperkuat kapitalisme serta membangun mental borjuis. Oleh
karena itu dalam Hindu diajarkan catur asrama sebagai tahapan perkembangan kehidupan dan
catur purusa artha sebagai tujuan kehidupan manusia.
Keterpaduan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan dapat diamati dari sistem sosial
kemasyarakatan orang Bali dan tujuan hidupnya. Seperti ditegaskan oleh Takwin (2003) bahwa
kebudayaan dan agama Hindu di Bali tampak begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat
sebagai adat istiadat atau tradisi sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama
dan kebudayaan. Dalam hal ini tampak dalam jalinan antara catur asrama sebagai tahapan
kehidupan dan tri hita karana sebagai landasan sistem sosial kemasyarakatan serta tujuan hidup
yang berdasarkan pada catur purusa artha. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan
masyarakat Hindu di Bali telah terwujud keselarasan antara harmoni catur asrama dan tri hita
karana dengan realisasi catur purusa artha, baik dalam pikiran dan perkataan maupun tindakan.
Keharmonisan ini tampak mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai yadnya.
Dengan demikian pada prinsipnya terdapat keselarasan antara hakikat tujuan pendidikan nasional
dan ajaran catur asrama. Akan tetapi, masyarakat Hindu dan khususnya masyarakat Hindu di Bali
belum memahami jalinan dan keselarasan tersebut sehingga cenderung diabaikan.
Asisten I Direktur Program S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia
(UNHI) Denpasar Drs. Wayan Budi Utama, M.Si. mengatakan pada usia belajar, pikiran anak-
anak seperti tajamnya tunas ilalang. Pada saat tajamnya pikiran itulah berbagai ilmu dengan mudah
dikuasai. Demikian mestinya umat Hindu menjalankan sistem sosialnya yang telah diwarisi
konsep catur asrama yang demikian bagusnya. Spirit nilai yang terkandung dalam konsep itu masih
sangat strategis dimaknai dalam konteks kekinian. ''Ketika pengaruh global melanda semua sisi
kehidupan, tampaknya spirit itu masih sangat relevan digunakan sebagai pegangan. Misalnya,
ketika kemajuan teknologi sangat deras mempengaruhi kehidupan generasi muda, benteng yang
bisa diandalkan adalah nilai-nilai pendidikan, terutama budi pakerti,'' katanya. Masa brahmacari
inilah kesempatan emas bagi generasi muda untuk menimba ilmu pengetahuan setinggi-tingginya,
termasuk dalam bidang agama. Jika benteng pertahanan itu sudah kuat, sederas apa pun arus global
menerjang, anak-anak akan selamat. Anak-anak tidak akan mudah terperosok pada pemakaian
obat-obatan terlarang, pergaulan atau seks bebas dan sebagainya.
Hindu telah mewariskan pembabakan atau termin tingkat hidup disesuaikan dengan
perkembangan psikologis dan intelektual umat yang dikenal dengan catur asrama --brahmacari,
grehasta, wanaprasta dan biksuka. Terutama dalam tahapan brahmacari, dunia pendidikan mesti
menjadi perhatian utama. Sebab, ilmu pengetahuan merupakan lentera dalam menerangi gelapnya
kehidupan,'' ujarnya.
Sementara pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi peningkatan mutu SDM.
Bagaimana bisa bersaing jika SDM Hindu tidak berkualitas. Melalui pendidikanlah kualitas diri
bisa ditingkatkan. Pada saat brahmacari-lah ilmu pengetahuan mesti digali sebanyak-banyaknya.
Tetapi bukan berarti belajar berhenti pada masa brahmacari. Belajar tetap sepanjang hayat.
Pendidikan menjadi sesuatu yang penting dalam Hindu, sehingga anak yang dilahirkan menjadi
generasi yang suputra. Bahkan, proses pendidikan (pendidikan prenatal) itu sudah berlangsung
saat terjadi pembuahan. Maka, dalam ritual Hindu dikenal istilah magedong-gedongan. Selama
masa kehamilan, dalam teologi Hindu ada sesuatu yang bisa dipedomani, misalnya si ibu tidak
boleh dibuat terkejut dan sebagainya. Ketika lahir, ada tahapan-tahapan perlakukan terhadap anak-
anak. Kapan ia diperlakukan sebagai raja semua kemauannya dituruti. Kapan ia diperlakukan
sebagai ''budak'', bisa disuruh untuk mengerjakan sesuatu, dan kapan ia dijadikan sebagai teman.
Umumnya, ketika anak-anak menginjak usia remaja orangtua memperlakukannya sebagai teman.
Berbagai kesulitan yang dialami, dicarikan jalan pemecahannya.
Jadi pada masa brahmacari itulah, kata Budi Utama, kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) saatnya dikembangkan. Dalam hal ini
orangtua sangat besar perannya dalam pengembangan semua kecerdasan itu. Terutama kecerdasan
spiritual, orangtua memiliki peran yang strategis dalam mengembangkannya. Karena itu, di rumah,
anak-anak mesti dilibatkan pada hal-hal yang bersifat spiritual seperti dalam pembuatan bahan-
bahan ritual sehingga SQ-nya berkembang dengan baik. Dalam masa brahmacari, semua
kecerdasan hendaknya dikembangkan secara seimbang, sehingga anak-anak menjadi generasi
yang utuh. Lagi pula, keberhasilan anak-anak dalam melakoni hidupnya kemudian (masa grehasta)
tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Dua kecerdasan lainnya yakni EQ dan SQ,
juga besar perannya. Sementara pada masa brahmacari, umat lebih fokus pada pencarian artha dan
kama. Namun, dalam pencarian artha dan kama itu dasarnya tetap dharma. Pencarian artha itu
selain untuk melangsungkan kehidupan, juga untuk membiayai pendidikan anak-anak, selain
didana-puniakan dan disisihkan untuk kepentingan yadnya.
Sementara pada saat menapaki kehidupan wanaprasta, umat sesungguhnya dituntun untuk
mengasingkan diri dari hal-hal yang berbau keduniawian. Dulu, menapaki hidup wanaprasta umat
pergi ke hutan untuk menyepikan diri. Tetapi dalam konteks sekarang, ''hutan belantara'' itu berada
di tengah-tengah kita. Agar umat mampu menghindari diri dari kobaran api hawa nafsu, memang
memerlukan pengendalian diri. Pada usia yang sudah lanjutlah, umat cocok sekali mendalami hal-
hal yang berbau spiritual.
Sementara pada masa brahmacari, umat mesti lebih banyak mengejar ilmu mempelajari
buku-buku. Sebab, buku itu merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca, belajar dan
berguru, niscaya generasi muda Hindu mampu menjadi anak yang suputra -- yakni anak yang
berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan berbekalkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai,
umat tidak akan mengalami kesulitan dalam persaingan global. ''Dulu, saya ingat waktu sekolah
anak-anak di-drill intelektualnya dengan aksara dan wariga. Hal itu strategis untuk
membangkitkan logika berpikir,'' kata IB Jelantik yang Asdir III Program S2 Ilmu Agama dan
Kebudayaan Unhi itu.
II. Pembahasan
1. Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang
harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan
pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah. Dalam kegiatan belajar mengajar ini
siswa/ Snataka harus mengikuti segala peraturan yang telah ditetapkan bahkan kebiasaan
untuk mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan belajar serta
mempermudah pengawasan. Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang
tidak terikat/ dapat mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala
tenaga dan pikirannya benar- benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta upaya
pengembangan ketrampilan sebagai bekal hidupnya kelak. Dalam kehidupan sekarang,
seorang brahmacari boleh mengikuti fase grahasta asrama(membina rumah tangga), hal
ini disebabkan karna adanya konsep yaitu belajar seumur hidup, dimana belajar seumur
hidup mutlak dilakukan kapan saja dan tidak memandang umur. Menurut pandangan
agama hindu catur asrama merupakan suatu pedoman hidup untuk menompang suatu
kehidupan, gunanya tidak lain adalah untuk memantapkan fase-fase yang telah dibagi
diatas.
2. Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini
adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa
Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan)
yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan
berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial
lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam
membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
3. Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari
nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran
Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia
mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh
kelepasan/ moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
4. Sanyasin (bhiksuka) Asrama adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh
dunia sama sekali lepas. Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan
hakekat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra,
Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada
Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.
III. Penutup
Sebagai pedoman tatanan hidup masyarakat Hindu, Catur Asrama memegang peranan
sangat penting yaitu mengatur segala tingkah laku dari keempat jenjang kehidupan dan
menunjukkan tugas serta kewajiban yang harus dilaksanakan dalam masing-masing jenjang atau
tingkat kehidupan umat manusia. Dan apabila manusia tersebut dapat menjalankan keempat
masa itu dengan baik maka akan mewujudkan keharmonisan antar umat manusia, kebahagiaan,
kedamaian dan ketentraman hidup serta tujuan terakhir dari pada umat Hindu yaitu moksa akan
tercapai atas asungkertawaranugraha Ida Sang hyang Widhi Wasa. Implementasi ajaran catura
asrama dalam pendidikan jaman sekarang tidak relevan atau tidak monetun karena pendidikan
tidak memandang usia untuk mencari ilmu pengetahuan.