Anda di halaman 1dari 5

Seperti yang pernah kami tulis pada artikel sebelumnya tentang berbagai jenis barong yang ada

di Bali, dari sekian jenis barong yang ada, salah satu yang unik adalah Barong Brutuk.
Barong Brutuk ini salah satunya ada di Desa Trunyan, Kabupaten Bangli, khususnya yang sering
ditarikan di Pura Pancering Jagat.

Pura Pancering Jagat merupakan salah satu pura yang terdapat di Desa Trunyan, Kabupaten
Bangli. Bila anda mengunjungi pura ini, akan terdapat sebuah patung dengan ukuran yang besar
dan cukup tinggi yang bernama Bhatara Datonta atau Bhatara Ratu Pancering
Jagat.

Patung Bhatara Datonta ini merupakan salah satu peninggalan pada jaman batu besar. Patung
ini menggambarkan ekspresi seorang bhatara dengan ekspresi yang sangat dashyat, tangan
kirinya bergantung longgar pada sisi kiri tubuhnya; tangan kanannya tertekuk di atas bahu
mengarah ke belakang, posisi membawa kapak; alat vitalnya mencolok ke bawah, tetapi lembut.
Tepat di bawah alat vital itu ada sebuah lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita.
Keduanya dianggap simbol vital kekuatan laki dan perempuan. Simbol ini diduga bentuk awal
dari lingga dan yoni, kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam tradisi Hindu.

Bhatara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 buah unen-unen dalam bentuk topeng yang
dinamakan Barong Brutuk. Konon tarian sakral Barong Brutuk yang kita kenal saat ini
berasal dari sejarah ini. Tarian Barong Brutuk merupakan tarian sakral yang biasa ditarikan
ketika Hari Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Tarian ini ditarikan oleh penari pria yang
biasanya diambil dari anggota sekaa teruna.

Sebelum menarikan barong-barong sakral itu para taruna harus melewati proses sakralisasi
selama 42 hari. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para
wanita di kampungnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu
mengumpulkan daun-daun pisang dari Desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian
Brutuk. Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon
pisang) dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing
penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian
digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Bahkan yang tak kalah
uniknya, penari yang akan menarikan tarian ini diharuskan untuk menggunakan daleman (celana
dalam) yang dibuat dengan menggunakan tali pisang.

Para penari Brutuk yang menggunakan busana daun pisang kering itu dan hiasan kepala dari
janur; seorang berfungsi melakoni peran Raja Brutuk, seorang sebagai Sang Ratu, seorang
sebagai Patih, seorang sebagai kakak Sang Ratu, dan selebihnya menjadi anggota biasa.
Tarian Brutuk ini menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu
dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.

Tarian Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi
tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton dan peserta
upacara. Cemetinya membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut penonton.
Mereka takut disambar dan kena cemeti Sang Brutuk.

Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang
pemangku berpakaian putih mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen,
seperangkat sesaji penyambutan dan diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan.
Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali, melambaikan cemeti
mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain.

Penonton dan peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk itu, mengambil daun-daun
pisang yang lepas, digunakan sebagai sarana kesuburan. Para penonton yang berhasil
memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian
baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Tujuan dari penyebaran daun
pisang dari busana Brutuk itu ada karena mereka mengharapkan keberhasilan panen.

Di sini tarian mencapai klimaksnya, ayunan cemeti diperkeras, memecuti para penonton yang
mencuri bagian dari busananya. Ritual tarian ini berlangsung satu hari penuh. Dimana pada
tahapan terakhir diadakan pertunjukan ritual yang dipimpin oleh pemangku dengan beberapa
sesajen. Setelah diberikan sesajen para penari brutuk kembali menari dengan gerakan-gerakan
kunonya seperti menari dengan meniru tingkak laku ayam hutan liar dan lain-lain.
Barong Brutuk adalah tradisi tari langka dari desa trunyan yang sampai saat ini
masih dapat kita lihat di desa unik yang terletak di bibir Danau Batur kabupaten
Bangli ini.Tradisi ini sudah diwarisi turun-temurun kira-kira lebih dari 100 tahun yang
lalu.Menurut warga sekitar ,ratusan tahun yang lalu hidup seorang Ratu Sakti
Pancering Jagat (dia laki-laki) dengan istrinya Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar,dan
barong brutuk sendiri adalah anak buah dari sang raja dan ratu.

kira-kira sejarahnya seperti ini

Di Desa trunyan ini ada suatu Pura yang begitu ternama yaitu Pura
Pancering jagat. Bila anda mengunjungi pura ini, akan terdapat sebuah
patung dengan ukuran yang besar dan cukup tinggi yang bernamaBhatara
Datonta atau Bhatara Ratu Pancering Jagat. Patung Bhatara Datonta ini
merupakan salah satu peninggalan pada jaman batu besar. Patung ini
menggambarkan ekspresi seorang bhatara dengan ekspresi yang sangat
dashyat, tangan kirinya bergantung longgar pada sisi kiri tubuhnya; tangan
kanannya tertekuk di atas bahu mengarah ke belakang, posisi membawa
kapak; alat vitalnya mencolok ke bawah, tetapi lembut. Tepat di bawah alat
vital itu ada sebuah lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita.
Keduanya dianggap simbol vital kekuatan laki dan perempuan. Simbol ini
diduga bentuk awal dari lingga dan yoni, kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma
dalam tradisi Hindu. Bhatara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21
orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan Barong Brutuk.
Konon tarian sakral barong brutuk yang kita kenal saat ini berasal dari
sejarah ini. Tarian barong brutuk merupakan tarian sakral yang biasa
ditarikan ketika Hari Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Tarian ini ditarikan
oleh peari pria yang biasanya diambil dari anggota sekaa teruna.
Sekilas Barong Brutuk ini terlihat seperti Suku Pedalaman tapi sebenarnya tidak
begitu,yang membedakan Barong Brutuk dengan Barong-barong lain di bali tidak lain
adalah Topeng atau Tapelnya yang sangat sederhana tapi terkesan sangat tegas
berbeda dengan Tapel tarian bali lain yang penuh motif dan ukiran ,yang digunakan
hanyalah Daun kraras (pisang kering) untuk menghiasi tubuh sang penari dan
tapel /topengnya terbuat dari janur .

Mengenai sang penari , tidak sembarang orang dapat menggunakan kostum dan
menarikan tarian yg begitu sarat akan spiritual ini .Hanya Pria yang bisa menarikan
tarian Barong Brutuk ini , dan itupun haruslah seorang pemuda seke truna truni atau
karang taruna desa tersebut .Selain syarat sebagai penari harus seorang pemuda
setempat , adalagi syarat dan beberapa persiapan yang dibutuhkan.

15 hari Sebelum menarikan tarian ini para pemuda tersebut dilarang untuk:

Main wanita , maksud saya adalah ya begitulah (anda pasti mengerti hehe )
Tidak merokok,minum,jauh dari obat-obatan terlarang ,dan sejenisnya.
Dilarang Berjudi seperti Sabung Ayam (metajen) , meceki , medom
,mespirit ,dll.
Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota.
Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil
melambaikan cemeti/pecut kepada penonton, peserta upacara. Cemetinya
membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut penonton.Tak
jarang ada penonton atau penduduk desa yang diperbolehkan masuk ke
rumahnya ,ada juga yang bersembunyi di balik pagar-pagar sederhana dekat
rumahnya karena mereka takut disambar dan kena cemeti Sang Brutuk.

Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam
pementasan, seorang pemangku berpakaian putih mendekati keempat penari
itu dan langsung menyajikan sesajen, seperangkat sesaji penyambutan dan
diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan. Keempat ningrat
Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali, melambaikan cemeti
mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain.

Disaat para Brutuk yang berjumlah 19 orang ini sudah berkumpul dan mulai
berkeliling -keliling di halaman dan jeroan pura sambil melambai
cambuk/cemetinya keberbagai arah sambil menarikan tarian kuno yang khas
(meniru gerakan binatang liar di hutan ) .
Yang perlu anda ketahui ,cara mereka melayangkan cambuknya itu benar-
benar agresive dan tidak main-main tapi beberapa warga malah ada yang
mendekati Si Brutuk dan mencuri daun kerarasnya,kenapa mereka bisa nekat
seperti itu ? Hal itu adalah salah satu skenario dari tradisi itu
sendiri.Masyarakat percaya bahwa daun keraras dari tubuh Barong Brutuk itu
membawakan kesejahtraan dan berkah sementara cambuknya itu berfungsi
sebagai pembawa tamba /obat .

Anda mungkin juga menyukai