4) Sistim Nyaya
Simtim Nyaya adalah ilmu logika, memperlengkapi suatu metode falsafat yang benar untuk
menyelidiki obyek dan subyek penngetahuan manusia. Tujuan sistim Nyaya ialah untuk
memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kehidupan tertinggi, kesentosaan,
penbebasan kemerdekaan dan sebagainya. Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara
para ahli pikir didalam mereka berusaha mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk
dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara korban. Dari hal itu timbullah kemudian
patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis. Sistim Nyaya
dipelopori Gotama, yang hidup pada abad keempat sebelum masehi dengan hasil karya
disebut Nyaya-sutra. Nyaya merupakan suatu sistim logika untuk memperoleh pengetahuan
yang benar. Sistim ini disebut juga Tarkavidya (pengetahuan debat) atau Vadavidya
(pengetahuan diskusi). Aliran filsafat Nyaya tergolong pula kedalam kelompok filsafat astika
(ortodok) yakni filsafat yang mengakui kedaulatan dan kebenaran ajaran Weda.Nyaya
mengajarkan bahwa dunia diluar diri manusia benar-benar ada dan terlepas dari pikiran
manusia sehingga Nyaya disebut pula sistim yang realistis.
Manusia dapat dapat memiliki pengetahuan tentang dunia diluar dirinya dengan perantaraan
indra-indranya serta fikirannya. Sejauh mana kebenaran dari alat dan cara yang
dipergunakannya dalam mencari kebenaran obyeknya. Cara atau alat untuk mendapatkan
pengetahuan disebut premana dan pengetahuan yang benar disebutprama. Nyaya
mengajarkan ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan pengetahuan yang
benar yaitu[6]:
1. Sabda pramana (cara kesaksian);
2. Upamana pramana (cara pembandingan);
3. Anumana pramana (cara penyimpulan yang logis);
4. Pratyaksa pramana (cara pengamatan langsung).
Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan
bahwa obyek yang yang tidak ada maupun yang tidak nyata pun dapat diamati.
Contoh: adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau.
Jika kita mengamati daun yamg tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak adanya
warna hijau. Jadi, ketidak adaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini
menunjukkan bahwa tidak adapun dapat diamati pula.
Tuhan
Nyaya meyakini kebenaran Weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya
Tuhan dan Tuhan disamakan dengan Siwa. Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya
mengemukakan dua macam pembuktian tentang Tuhan yaitu[7]:
a. Bukti Kosmologi:
Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu
tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab pertama
kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang
terbatas selain Tuhan. Tidak ada sesuatu sebagai penciptaannya sendiri kecuali Tuhan.
b. Pembuktian Teologis:
Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu
sehingga dunia menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu.
Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan.
Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat
kekal abadi, berada dimana-mana, memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. Tuhan
menjadi sebab pertama adanya alam semesta. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama
dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, dan
melebur alam dengan segala isinya sesuai dengan pengaruh karma dari alam dan isinya.
Tuhan pula menjadi pengatur dan mengodratkan hukum kepada alam semesta sehingga
berlakunya hukum alam (rta) yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan
harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup menikmati suka-duka dalam usaha menuju
kelepasan.
Tuhan menciptakan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Walaupun demikian,
dunia ini diciptakan lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka
ragam. Dapat tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari
benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi hidupnya.
Atma
Nyaya juga mengakui adanya atma (jiwatma) yang menjadi penghidup semua makhluk
hidup. Makhluk hidup (manusia) terdiri dari badan, fikiran (manas) dan jiwa (atma). Jiwa itu
merupakan tenaga penggerak dan hidupnya makhluk hidup. Jumlah jiwatma tidak terbatas
serta bersifat kekal abadi, walaupun jiwa itu karena pengaruh karma sering mengalami suka
dan duka serta kelahiran kembali. Jiwātma menjadi mengalami penderitaan ataupun
kesenangan karena dilayani oleh manas (fikiran) yang melalui panca-indra senantiasa
menikmati panas-dinginnya, suka-dukanya maupun berbagai keadaan di dunia ini.
Nyaya juga meyakini kebenaran hukum karma sehingga menyatakan bahwa makhluk-
makhluk di dunia terikat akan hasil usahanya (karmanya). Karena keterikatan itu
menyebabkan jiwatma menjadi terbelenggu oleh hasil karmanya yang akhirnya
mengakibatkan makhluk mengalami suka dan duka (derita), jiwa mengalami kelahiran.
Selama jiwatma itu terikat akan phala karma, selama itu pula jiwatma akan mengalami
kelahiran. Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan (awidya) terhadap kebenaran sejati.
Kelepasan
Kelepasan merupakan tujuan dari makhluk (manusia). Kelepasan akan dapat dicapai dengan
melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan akan didapat dari tuntunan
Tuhan melalui ajaranNya. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari
kelahiran, kesenangan maupun penderitaan. Wujud dari kelepasan yaitu suatu keadaan yang
tidak terikat akan karma ataupun phala karma.
5) Sistim Mimamsa
Istilah “Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memperhatikan,
menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin
berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran pemeriksaan atau penyelidikan daripada Weda,
lantaran ia memperoleh suatu pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka
digolongkan sebagai Darsana (Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya
pandangan Kebenaran.
Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini. Mimamsa dibagi menjadi dua sistim, yakni
Purvamimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka Weda.
Sistim ini juga disebut Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam Weda memimpin
ke jurusan kebebasan roh/soul; Uttaramimamsa, berurusan dengan bagian akhir dari pustaka
Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan
dalam/ pustaka Weda.
Tujuan Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah
perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah syarat mutlak
kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau akibat; satu yang luar
(external) dan satu yang dalam (internal); yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu
kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”;
sedangkan pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan
untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang.
Berlandaskan pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang dalam
pustaka Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma.
Perhatian utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation).
Mimāmsā menjiwai kehidupan bangunan bagian atas (superstructure) dari pada kebudayaan
India.
Falsafat
Pangkal fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh
Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah dasar
interprestasi seluruh Weda.
Definisi ‘dharma’ dalam teks tersebut berbunyi;”Kewajiban (dharma) adalah suatu obyek
terkenal melalui suatu perintah”. Istilah ‘dharma’ berasal dari kata ‘dhar’, artinya memegang,
menunjang, memelihara, atau mengawetkan. Kata ini bermakna sesuatu untuk dipegang,
dipelihara atau diawetkan. Apabila bila dipakai dalam arti metafisika, ia berarti hukum Alam
universil yang dapat diteruskan/dipertahankan operasi alam semesta dan manifestasi segala
benda/hal; dan berarti pula bahwa tanpa ini (dharma) barang apapun tak akan terjadi.
Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan
bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha
keras untuk membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi kebaikan manusia,
dan menafsir pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui
pelaksanaan rituil kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian
bahwa kebajikan dikumpul lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang.
Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian
Kata-kata (Sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut
Jaimini kurang sempurna apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan;
maka ia hanya menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya
(argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan:
1. Setiap Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal abadi.
2. Pengetahuan yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran).
3. Dalam alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak.
4. Pada hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5. Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika
tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar.
Alam
Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal
pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran
Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat
unsur di alam ini yaitu: Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum.
Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu:
1. Bumi 6. Akal
2. Air 7. Pribadi
3. Api 8. Ruang
4. Hawa 9. Waktu
5. Akasa
Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu sembilan yang diajarkan
oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan (tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah
sesuatu yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi,
kwalitas, dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak
walaupun ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan
yang bulat.
Weda
Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai
sumber pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia
tidak sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada
yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya sertabersifat kekal abadi. Kebenaran
Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh
manusia.
Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan
Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[8]:
I. Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah,merupakan koleksi
dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1. Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan
koleksi sajak-sajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya.
2. Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban.
3. Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya.
b. Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam.
II. Brahmana
1. Hetu – akal budi
2. Nirvacanam – penjelasan
3. Ninda – gugatan; kritik
4. Prasansa – pujian
5. Samsaya – kesangsian
6. Vidhi – perintah
7. Parakirya – perbuatan suatu individu
8. Purakalpa – perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau
para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’.
9. Vyavadharanakalpara – interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya
10. Upamana – perbandingan
Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang
diperintahkan untuk kebaikan umat manusia.
Hukum Karma
Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum Mimamsa yakin akan
adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan. Hukum karma merupakan hukum moril
yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat
dari karma terdahulu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari
dari kenyataan yang dia alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma
yang baik itu ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu:
dharma (korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi,
penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengahrapkan imbalan berupa buahnya.
Jiwa dan kelepasan
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh
Mimamsa. Atas dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia ini. Atma (jiwa)
berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang
hidup memiliki satu jiwa. Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9].
Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan. Sebagai
obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia)
itu sendiri. Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan
tubuh manusia untuk mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat
erat karena indra merupakan alat untuk mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh
jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra, jiwa pun mengetahui.
Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma
yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan
sedapat mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan
Weda. Bila jiwa itu kekal dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka
jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah
mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat
memebersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan
upacara korban keagamaan ini berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan
tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan ditempati
oleh jiwanya kelak.
6) Sistim Vaisesika
Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua dibandingkan
dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya
ialah Kananda (ulaka). Buah karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari
ajaran Vaisesika. Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang
memberikan kesejahteraan di dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang
terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam
ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang menjadikan alam ini yaitu:
1. Subtansi (drawya)
Subtansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain.
Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab
yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa
yang dihasilkannya.
Contoh: tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah
itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi
tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi.
Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[10]:
1. Bumi (tanah) 6. Waktu (kala)
2. Api (panas) 7. Ruang (tempat)
3. Air (zat cair) 8. Akal (manas)
4. Udara (hawa) 9. Pribadi (jiwa(atma)
5. Akasa (ether)
Semua subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa
bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta
beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di ala
mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah.
Pandangan Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu benar-benar ada
dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika menyatakan bahwa dunia
dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom yang riil dan tetap.
2. Kwalitas (guna)
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari
benda (subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat.
Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba, dan rasa.
Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas yakni:
1. Kesenangan 7. Rasa 13. Perbedaan 19. Kepekatan
2. Kesediha 8. Bau 14. Hubungan 20. Pengetahuan
3. Keinginan 9. Sentulan 15. Kejauhan 21. Perjuangan
4. Dharma 10. Bunyi 16. Kedekatan/ pertemuan 22. Kecenderungan
5. Adharma 11. Bilangan 17. Tak berhubungan 23. Kesegaran
6. Warna 12. Besar 18. Kecairan 24. Kebahagiaan
Hubungan kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena
keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan.
3. Aktivitas (karma)
Vaisesika meyakini bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu,
menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam
ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber
gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala
ini termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
4. Sifat umum (samanya)
Sifat umum (samaya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-
beda dengan sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat
kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan
adanya kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat
umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang kekal, yang
membedakan satu atom dengan atom lain.
6. Pelekatan (samawaya)
Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan
dikatakan kekal karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda
(zat) dengan kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat
kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi.
Sad darsana artinya enam pemikiran filsafat yang diterima dan diakui sebagai
bagian yang tidak dapat dilepaskan dari system kepercayaan agama hindu.
1. Filsafat samkhya
Pendiri ajaran ini bernama Maharsi Kapila, yang menulis samkhyasutra. Kitab-
kitab tattwa seperti Wrhaspatitattwa Jnana, Ganapati tattwa berbahasa jawa kuno
dalam Saiwapaksa banyak mendapat pengaruh dan bahkan merupakan ajaran
samkhya dan yoga. Menurut filsafat samkhya, hakikat manusia dan alam semesta
terdiri dari dua unsure, yaitu purusa, asas kejiwaan (rohani) dan prakrti, asas badani
(materi/jasmani). Kedua asas ini, terutama setelah purusa bertemu dengan prakrti,
akan menyebabkan prakrti berkembang sebagai unsure penyusun tubuh manusia
maupun alam semesta.[1]
Jadi ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) disini dipergunakan untuk
membukyikan adanya prakrti.[2] Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan
sesuatu, yang telah termuat didalam sebabnya.
Selanjutnya didalam prakrti terdapat tiga bagian yang membentuk semesta
yakni: sattwa, unsure-asali dari segala yang terang, sesuatu yang memberi kepuasan,
ketentraman, yang mengkan hati manusia. Rayas, nafsu yang berkobar, sesuatu yang
menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram. Tamas, kegelapan, yang berat, yang
tidak bernafsu, yang muram, yang sedih, merasa hancur dan duka cita.
Jika prakrti dan purusa saling mendekati terjadilah proses yang banyak seluk
beluknya sebagai berikut:
1. Lahirlah budi, kesadaran.
2. Unsure kedua adalah ahamkara, kesadaran akan adanya sesuatu “aku” (subjek)
3. Manas: kekuasaan untuk mengamati dan untuk member reaksi terhadap apa yang
diamati.
4-13. manas terbagi menjadi 10 daya kekuatan yang bermacam-macam,
- Lima budi-indria - karma-indria
Perasaan berkata
Pendengaran memegang
Penglihatan berjalan
Pengecap mengosongkan
Pencium bersalin
14-18. kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi: kelima tanmatra. Kecuali daya
penglihatan ada juga kesan-kesan penglihatan; selain perasaanada juga pengindraan
perasaan atau kesan perasaan.
Kedelapanbelas pokok ini semuanya masih berupa setengah jiwa, termasuk dalm
tingkatan badan yang halus yang bersama sama mewujudkan ” badan linga” yang
artinya cirri jiwa perseorangan.
19-23. Benda yang kasar, “Zat” didalam pengretian filsafat barat terdapat lima buah
anasir: Eter (Mahabhuta), hawa, api, air, bumi.
Jika pada tiga buah pokok ini kita tambahkan lagi prakerti dan kurusa
terdapatlah jumlah 25. Ini adlah bilangan yang paling kramat pada system samkhya.
Menurut ajaran samkhya, ada 3 sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar, yaitu :
a. Pratyaksa pramana adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan dengan
cara pengenalan terhadap obyek itu pasti dan benar melalui penentuan buddhi.
b. Anumana pramana yaitu pengetahuan yang didapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal
ini apa yang diamati akan menghantarkan seseorang pada pengetahuan yang tidak
diamati langsung melalui hubungan universal.
c. Sabda pramana adalah pernyataan dari yang kuasa dan memerikan pengetahuan
mengenai suatu obyek yang tidak dapat diketahui atas dasar pengetahuan pengamatan
dan penarikan kesimpulan.
Ajaran tentang moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat
samkhya. Dalam ajaran samkhya, kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna
dari semua penderitaan.
2. Filsafat yoga
Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris),
yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan
sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga
diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni:
penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan
pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang biasa dipakai adalah
‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti).
Pembangun ajaran ini adalah maharsi patanjali. Bila kitab weda merupakan
pengetahuan suci yang sifatnya teoritis, maka yoga merupakan ilmu yang sifatnya
praktis dari ajaran weda.
Tulisan pertama tentang ajaran weda adalah kitab yoga sutra karya maharsi
patanjali. Seluruh kitab yoga sutra terbagi atas empat bagian yang terdiri dari 194
sutra. Bagian pertama disebut samadhipada yang berisi ajaran yoga. Bagian ke
dua, sadhanapada memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti mencapai Samadhi,
tentang kedukaan, karmaphala dan sebagainya. Bagian ke tiga disebut wibhutipada
berisi segi batiniyah ajaran yoga tentang kekuatan ghaib yang diperoleh dalam
melaksanakan yoga. Bagian ke empat disebut kaiwalyapada melukiskan tentang alam
kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Patanjali mengartikan
yoga sebagai berhentinya kegoncangan pikiran. Keadaan ini ditentukan oleh intensitas
sattva, rajas dan tamas.
Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai
hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini
Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan
berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian
Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan
dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan
objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau
menderita.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga
yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan
sebagai tangga yang membimbing kehidupan biasa menuju realisasi Diri dan
melampaui personalitas ego.
Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga
Tujuan Yoga ialah untuk mengembalikan Citta itu dalam keadaannya yang semula,
yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan demikian purusa itu dibebaskan dari
kesengsaraannya. Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah
mencapai kebebasan melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian
ini adalah ‘pembebasan’ (kaivalya).
Mahārși Patañjali dalam kitab Yoga Sutras menyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-
yoga) sebagai sebuah metode spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras
Agar purusa itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti, orang harus dapat
menindas wrtti itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan
satu fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau
ketidak-tahuan. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang terus-
menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat melepaskan diri dari
nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat membedakan antara
pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.
3. Filsafat mimamsa
Pendiri ajaran ini adalah maharsi jaimini. Sumber utamanya adalah keyakinan
akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab weda (brahmana kalpasutra).
Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia adalah muksa, dan jalan
untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan upacara keagamaan seperti
tersebut dalam weda.
Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa
Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan
Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara
Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa
Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga
Jnana Mimamsa.
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM
dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman
kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti :
Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta
yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam
perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak
pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran
ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-
masing ada perbedaan.
4. Filsafat nyaya
Secara harfiah, kata “Nyaya” berarti sarana yang membimbing pikiran untuk
mencapai suatu kesimpulan. Kata Nyaya lantas menjadi setara dengan
‘Argumen”,karena itu system filsafat yang menggunakan argument secara menyeluruh
disebut filsafat nyaya. Secara popular, nyaya berarti ‘benar’ atau ‘lurus’,sehingga
nyaya menjadi sains tentang penalaran yang benar. Dalam arti sempit, ‘nyaya’ berarti
penalaran silogistis,sedangkan dalam arti yang luas , ‘nyaya berarti peme-riksaan
objek melalui bukti-bukti dan menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan
yang benar.Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi :
1. Subjek pengenal (pramatr)
2. Objek (prameya)
3. Kondisi hasil dari pengenalan (pramiti)
4. Sarana pengetahuan (pramana)
Pendiri ajaran ini adalah maharsi gautama (gotama), yang menulis nyaya sutra.
Kata nyaya berarti suatu penelitian yang analisis dan kritis, disebut realistis karena
mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Dalam memecahkan ilmu
pengetahuan filsafat ini mempergunakan empat metode (catur Pramana), sebagai
berikut:
o Pratyaksa, yaitu pengamatan langsung melaui panca indra.
o Anumana, pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek dengan menarik pengertian
dari tanda-tanda yang diperoleh.
o Upamana, ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan.
o Sabda, pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui penjelasan dari
sumber-sumber yang patut dipercaya.
sistem nyaya-vaishenhika mewakili tipe filasafat analisis serta menjungjung tinggi
akal sehat dan sains. Ciri khas system nyaya adalah penggunaan metode sebagai
sains,yakni pemeriksaan logis dan kritis, mereka mencoba untuk mengembalikan
subtansi-subtansi tradisional, jiwa di dalam diri dan alam (nature) di luar diri, tanpa
semata-mata berdasarkan otoritas. Kaum nyaya mengakui kebenaran segala sesuatu
berdasarkan akal-budi (reason). Yang membedakan system nyaya dari system lainnya
adalah perlakuan kritis terhadap masalah metafisika. Vacaspati mendefinisikan tujuan
nyaya sebagai pemeriksaan kritis atas objek pengetahuan melalui pembuktian logis.
Sistem nyaya sebenarnya juga menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail
serta beragumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti.
Filsafat nyaya bukan hanya mempertanyakan cara serta sarana yang dipakai oleh
pikiran manusia untuk mengerti dan mengembangkan pengetahuan,tetapi juga
menafsirkan fakta-fakta logis dan mengungkapkannya dalam rumusan yang logis.
5. Filsafat waisesika
Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, System ajaran filsafat ini dipelopori oleh
Maharsi Kanada. Adapun sebagai sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan
Maharsi Kanada Sendiri yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak
para filosof menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok filsafat waisesika bersifat
metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang
memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan kelepasan yang
menentukan.
Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang,
waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi
pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta.
sistem waisesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman.
Sistem filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang
artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok
permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah kekhususan Padartha.
padartha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat.
Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi
nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek
pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya
sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.
7 katagori (padartha), yaitu :
1. Substansi (drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-
unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : Tanah (prthivi); Air
(apah, jala); Api (tejas); Udara (vayu); Ether (akasha); Waktu (kala); ruang (dik); diri
(atman); pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel, tetap dan kekal. Namun
hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah
membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku
terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat
rohaniah.
2. Kualitas (guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan
terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari
substansi yang diberi sifat.
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu :
1) warna (rupa); 13) kecairan/keenceran (dravatva)
2) rasa (rasa); 14) kekentalan (sneha);
3) bau (gandha); 15) suara (sabda);
4) sentuhan/raba (sparsa); 16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana);
5) jumlah (samkhya); 17) kesenangan (sukha);
6) ukuran (parimana); 18) penderitaan (dukha);
7) keaneragaman (prthaktva); 19) kehendak (iccha);
8) persekutuan (samyoga); 20) kebencian/keengganan (dvesa);
9) keterpisahan (vibhaga); 21) usaha (prayatna);
10) keterpencilan (paratva); 22) kebajikan/manfaat (dharma);
11) kedekatan (aparatva); 23) kekurangan/cacat (adharma);
12) bobot (gurutva); 24) sifat pembiakan sendiri (samskara).
8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha, dukha, dharma,
adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan
milik dari substansi material.
3. Aktifitas (karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan
unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat
terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak
terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi
segala yang ada.
Ada 5 macam gerak, yaitu : Utksepana (gerakan ke atas); Avaksepana (gerakan ke
bawah); A-kuncana (gerakan membengkok); Prasarana (gerakan
mengembang); Gamana (gerakan menjauh atau mendekat)
4. Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu :
o sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah
o jenis kelamin dan spesies.
5. Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari
objek lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek
objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf Vaishesika.
6. Hubungan Niscaya (samavaya).
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-
kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga)
atau permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara
sebuah buku dan tangan yang memegangnya. samavaya adalah sebuah hubungan yang
tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan.
7. Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam
partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam
ketiadaan (nothingness).
6. Filsafat wedanta
System filsafat Wedanta juga disebut uttara mimamsa. Kata “wedanta” berarti
‘akhir dari weda”. Sumber ajarannya adalah kitab-kitab uppanisad. Maharsi vyasa
menyusun kitab yang bernama wedantasutra. Kitab ini dalam bhagavad Gita disebut
brahmasutra, oleh karena kitab wedanta bersumber pada kitab-kitab upanisad,
Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme.
Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa tuhan yang maha Esa
adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan
Tuhan yang berpribadi (personal God).
Wedanta artinya adalah akhir dari Weda, sumber kitabnya adalah Upanishad.
Filsafat wedanta lahir untk merespon zaman Upanishad. Pokok ajarannya adalah
membicarakan tentang Tuhan, Roh dan Dunia (Brahman , atman dan Alam). Filsafat
wedanta terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Adwaita
Pendirinya adalah Shankara (abad ke-8), menurut Shankara Brahman dan alam
berbeda, tidak ada yang ada kecuali Brahman yang lain yentang alam hanyalah ilusi
karena keadaannya dapat berubah. Shankara membagi pengetahuan kedaam dua
macam:
a. Pengetahuan tinggi, kebenaran yang memang benar (Brahman).
b. Pengetahuan rendah, kebenaran yang tidak membawa kenyataan yang sebenarnya
(alam)
Tentang moksa, Shankara berpendapat bahwa orang akan mencapai moksa, jika sudah
tidak tertarik dengan kehidupan dunia, karena dunia hanyalah semu. Semakin orang
mengikat dengan kehidupan dunia maka akan semakin jauh dengan moksa.
2. Wasistadwaita
Pendirinya adalah Ramanuja (abad ke-11), menurut Ramanuja bahwa ada dua yang
tampak namun tak dapat dipisahkan yaitu adanya substansi dan sifat, seperti mawar
merah, mawar=substansi, merah=sifat (antara mawar dan merah adalah dua hal yang
berbeda namun tak dapat dipisahkan), sama halnya tidak bisa menjelaskan Brahman
tanpa adanya manifes dari Atman (ada yang dijelaskan dan ditentukan), artinya bahwa
Brahman berbeda dengan Atman namun tak dapat dipisahkan, kehidupan hanyalah
manifes dari Brahman.
3. Dwaita
Pendirinya adalah Madhva (abad ke-13), konsepnya adalah “beda” ada banyak yang
“ada”, disini terdapat lima perbedaan, yaitu:
a. Tuhan berbeda dengan jiwa
b. Jiwa berbeda dengan jiwa lainnya
c. Tuhan berbeda dengan Benda
d. Jiwa berbeda dengan benda
e. Benda berbeda dengan benda lainnya
Perbedaan tentang tiga sekolah utama dalam filsafat Wedanta:
Adwaita (Non-dualisme) Wasistadwaita (non- Dwaita (dualism)
dualisme)
- Brahman : ada/realitas - Brahman : kesatuan dari - Dunia dan Brahman
- Alam : semu/hanya ilusi semua perrbedaan yang berbeda
membentuk dunia
- Dunia: nyata
A. Filsafat Samkya
Dewasa ini agama Hindu telah menjadi agama besar dunia yang tidak hanya
menghasilkan seorang Dayananda dan Tilak tetapi juga seorang Gandhi dan Sarvepalli
Radhakrishnan, seorang Aurobindo Ghose dan Krishnamurti, warga dunia yang
sesungguhnya dan nabi-nabi bagi sebuah agama universal. Apa yang telah terjadi atas
agama Hindu ini tidak terlepas dari ajaran agamanya juga tentang kefilsafatannya
yaitu filsafat India.
Dalam konteks keilmuan bahasa Sanskerta, filsafat India ini dikenal dengan
istilah Sad Darshana yang merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang
harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai
kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi (moksa).
Kata Darshana sendiri berarti “melihat”, “pengelihatan” atau
“pandangan”. Dalam ajaran Filsafat Hindhu darshanaberarti “pandangan
tentang kebenaran”
Sad darshana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana merupakan
dasar dari filsafat Hindu. Adapun pokok-pokok ajaran Sad darshana antara
lain: Samkhya, Yoga, Mimasa, Nyaya, Waisiseka, Dan Wedanta.
Namun dalam makalah ini kami hanya mencantumkan pengertian dari filsafat
sankhya saja karena pembahasan mengenai filsafat lainnya akan dibahas dalam
pembahasan lain. Adapun pengertian dari kata Sankya berarti ”Pemantulan”, yaitu
pemantulan falsafati. Oleh karena itu aliran ini mengemukakan bahwa orang dapat
merealisasikan kenyataan terakhir dari filsafat ini dengan pengetahuan. Pembangun
konsep dari filsafat ini adalah Rsi Kapila yang diperkirakan hidup pada zaman
sebelum Buddha.Sistem filsafat Samkhya kadangkala dinamakan pula dengan
istilah Nir Iswara Samkhya tidak menyebut nama Tuhan. Salah satu alasan yang
dikemukakan oleh Kapila adalah karenaTuhan itu sulit untuk dibuktikan. Inilah suatu
pernyataan yang menarik untuk diperbincangkan karena Samkhya mengakui adanya
Purusa (roh) sebagai asas tertinggi. Cukup banyak penulis yang menyinggung
tentang Samkhya dan dapat kita nikmati sampai detik ini, salah satunya
adalah Samkhya Karika yang ditulis oleh Iswarakresna.
B. Filsafat Wedanta
1. Wasistadwaita
Pemecahan sangkara terhadap persoalan yang di timbulkan Upanisad yaitu
bahwa Brahman, di satu pihak di anggap sama dengan jiwa perorangan dan dengan
dunia, akan tetapi di lain pihak di bedakanya, ternyata belum memuaskan segala
pihak. Pembedaan sangkara antar Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang
bersifat (Nirguna dan Saguna Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan.
Setelah jaman sankara timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah
Brahman harus di pandang sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).
Pemecahan yang lain diberikan oleh Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha
mempersatukan ajaran sekte Wisnu dengan filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku
berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Aliranya di sebut
dengan Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan dwaita. Wasista
berarti “yang di terangkan” atau “yang di tentukan” yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi
Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya.
Cara Ramanuja menjelaskan pandanganya itu adalah dengan mempergunakan
“cara orang memakai bahasa” pada umumnya. Di dalam kenyataan sehari-hari kita
sering mengidentikkan hal-hal yang sebenarnya berbeda; umpamanya Mawar adalah
merah. Mawar adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat. Jadi keduanya
tidaklah sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah keduanya itu sama:
“mawar adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita menyamakan dua hal
yang berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”. Aku adalah jiwa yang
hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana. Oleh karena itu keduanya
tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan seperti yang terdapat pada
kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan kepada orang dan pakaian atau orang
dan tongkat sebagainya. Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan
sebagainya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau
orang itu memiliki tongkat.
Dengan demikian jelaslah bahwa:
a) Hubungaan antara “Mawar” dan “Merah” serta “Aku” dan “Seorang laki-laki”
berbeda dengan hubungan antara “orang dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh
yangpertama hubungan kedua unsur itu lebih erat antara mawar dan merah
dibandingkan dengan orang dan pakaian atau orang dengan tongkat.
b) Bahwa hubungan yang terdapat pada orang dan pakaian atau tongkat itu hanya
mewujudkan suatu penggabungan belaka.
Hubungan yang terdapat antara “Mawar dan Merah” antara “aku dan orang
laki-laki” adalah merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada
“Mawar dan merah” merupakan hubungan subtansi dan sifat, sedangkan hubungan
antara ”aku dengan orang laki-laki” adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi
badaniah (jiwa dan tubuh = aku dan laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang
pertama dinyatakan oleh kata yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa
diterangkan oleh laki-laki). Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak
siddhi). Dengan demikian pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan
Brahman dengan dunia, hubungan antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan
yang satu lagi badani. Baik jiwa maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari
pada Brahman. Hubungan antara Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara
jiwa dengan badan manusia. Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia.
Brahman adalah jiwanya dunia, yang sekaligus menjiwao jiwa manusia. Ketiganya
dapat di gambarkan sebagai dua lingkaran yang berpusat satu. Pusatnya adalah
Brahman, sedangkan jiwa adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran
yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau
demikian, maka dapat dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah
sama-sama nyata (riil) namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran yang
sama, seperti halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata (riil)
namun tidak identik.
Kesimpulanya adalah bahwa Brahman, jiwa dan manusia memang berbeda, tetapi
tidak dapat dipisah-pisahkan, sekalian tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan
pada: berbeda tetapi berhubungan yang erat sekali.
Ajaran Adwaita menekankan bahwa tidak dualisme, sebab Brahman adalah
satu. Di dalam Wasistadwaita di tekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau di
tentukan oleh sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan
manusia serta menjiwai kedua-duanya. Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada
segala ucapan, umpamanya disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan
satu kesatuan, yabg terdiri dari;
a) Subtansi benda yaitu bunga.
b) Penguraiannya dengan kedua kualitas yang berbeda keadaannya dengan subtansi tadi,
yaitu kualitas, “kebiruan” dan “keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur
yang kedua bergantung kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga
unsur itu berada secara simultan atau pada waktu bersamaan.
Suatu contoh yang lain, jika melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang
tersebut dua puluh tahun yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi sekarang
sudah jejaka, tetapi orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang semula menjelma
pada bayi itu sekarang menjelma pada jejaka. Jiwanya adalah satu. Disini ketiga
unsur; jiwa, bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan bahkan berada pada waktu
yang bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.
Kesimpulanya ialah baik yang dijelmakan maupun yang dikwalifisir adalah
sama, sedangkan unsur yang menjelmakan atau yang mengkwalisir berbeda, sekalipun
tidak dapat dipisahkan. Dasar pemikir Ramanuja banyak yang memberi pujian dalam
hal pemecahan masalah Wasistadwaita ini, sebab secara formal memang memecahkan
kesukaran-kesukaran yang di timbulkan upanisad, yaitu bahwa disatu pihak Brahman
dibedakan dengan jiwa dan dunia tetapi di lain pihak disamakan juga.
Ramanuja berpendapat; “Memang benar Brahman berbeda dengan jiwa dan
berbeda dengan dunia” tetapi dia juga mengatakan “Memang benar Brahman sama
dengan jiwa dan sama dengan dunia ketigannya tidak dapat dipisahkan. sekalipun
demikian perlu dipersoalkan apakah pemisahan ini sehat? sekalipun ada unsure-unsur
kebenaran dalam pandangan Ramanuja ini akan tetapi sukar untuk di anggap sebagai
sosok dengan keseluruhan ajaran Upanisad. Unsur-unsur kebenarannya adalah:
a) Tuhan atau Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia.
b) Tuhan adalah pengawas dan tidak ada akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan
didalam dunia ini.
Semua itu berbeda berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti
bahwa semua itu tidak saling bergantungan umpamannya; tubuh bergantung dari pada
jiwa, sekalipun keduannya sangat berbeda sekali. Hanya ada satu hal yang tidak
bergantung pada hal yang lain yaitu adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya
bergantung pada Tuhan.
Tuhan, jiwa dan benda ketigannya sama-sama kekal adannya, sekalipun
demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, yang bergantung pada siapapun dan
apapun. Tuhan adalah kenyataan yang tertinggi dan memiliki sifat-sifat yang kaya
sekali. Walaupun tuhan dapat di mengerti, akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh
umat secara menyeluruh dan secara sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan
pengetahuan dan kegirangan itu adalah suatu pribadi, yang memiliki suatu
kepribadian yang mutlak.
Menurut Madhwa bahwa didunia ini ada banyak jiwa yang tidak terhingga
jumlahnya. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa yang lain. Itulah sebabnya tiap orang
memiliki pengalaman sendiri-sendiri, memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri,
dan seterusnya. Jiwa-jiwa itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi oleh
ikatan duniawi (nafsu) maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal sebenarnya
jiwa itu kekal dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus oleh karma
wesana maka jiwa-jiwa itu ikut menderita, sengsara dan pada saatnya akan kembali
numitis ke dunia ini.
Secara umum dijelaskan bahwa jiwa yang ada didunia ini mempunyai
tingkatan-tingkatan yaitu:
a) Jiwa-jiwa yang bebas secara kekal (nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau
sakti Wisnu,
b) Jiwa-jiwa yang telah mencapai kelepasan dari sengsara (mukta) yaitu para Dewata,
para Rsi dan nenek moyang yang telah mendapat kelepasan,
c) Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha), oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini
ada dua kelompok yaitu:
1) Jiwa-jiwa yang masih dibebaskan (mukti yogya),
2) Jiwa-jiwa yang tidak dapat dilepaskan lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
Jiwa yang untuk selamanya terikat akan hukum samsara.
Jiwa-jiwa yang terus diikat oleh hukum samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang
dilahirkan menjadi jenis yang lebih rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan
dosa yang dideritanya.