Anda di halaman 1dari 16

KLIPING

TEKS HIKAYAT

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

NAMA : SARIPA JULI TRI DINANTI


KELAS : X.IPS 1

GURU MAPEL : MEGAWATI,S.Pd

DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 1 TANJUNG RAJA
TAHUN PELAJARAN 2018/2019
HIKAYAT PATANI

Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri
Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda
itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan
maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya
Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu.

Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala
menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar
khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri:
"Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian
juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari
kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri hulubalangnya: "Daulat
Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian setelah datanglah pada
keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya
diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat
pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas
gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian.
Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang
menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu
banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok pagi-pagi kita berburu"

Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala
rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-pagi
hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat
hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu. Maka
anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah
suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah
baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala
orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing itu?" Maka
sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada seekor
pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang
dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai ini."

Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan
kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk
merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana
datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun
menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat Tuanku,
adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di
Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka
patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah Paduka
Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun
ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?". Maka sembah
orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu,
maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara
dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih itu.

Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke
Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah sudah
segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan ketumbukannya, maka
baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri
itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan
negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang
di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan
Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat itu.
Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang merawa itulah.
Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu.
Demikianlah hikayatnya.
HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada
Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan
selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga
terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap
mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa
berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan
tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki
yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

"Kek," panggil ular itu benar-benar memelas, "kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya
itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika
mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan
demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."

"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu
masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat,
jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular
itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan


keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang
ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang
dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: "Hmm, kamu mengira sudah
mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik,
mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu
bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."

"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah
kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya
sama-sama membuatmu sekarat." Kontan ular itu mengancam.

"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali
bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah
Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian kakek itu
tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya
berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada
sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke
suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati
di sana supaya jauh dari keluargaku."

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, "Oh,
andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan
menyelamatkanku."

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti
yang kamu inginkan."

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:


"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya,
ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam
tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau
pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa
membantumu."

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah
menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam
hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, "Suara siapakah yang tadi saya dengar
sehingga saya dapat selamat?"

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan
berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup
dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:

"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti
dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena
berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari
lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya
kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai
menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku
menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada
kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku.
Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak,
tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya
mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan
kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu
tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada
isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda
yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan
kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya
Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia,
selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang
setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah
menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah
pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah
berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai
ternyata dari contoh yang di bawah ini :

Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-
tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.
Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada
dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada
lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula
adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua,
lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya,
"Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"

Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu,
"Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat
berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata
orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu
pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"

Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga
lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu,
"Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3)
hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena
air ini dalam."

Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah
perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, "Berilah
barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi oleh
perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu
diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4)
oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata
Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya.
Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan
orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba." Maka
berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.

Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."

Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah
sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya
dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.

Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah
keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun
berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati."

Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya
sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu.
Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka
disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan
perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan;
sudah besar dinikahkan dengan hamba."

Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka
orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk
kepada perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"

Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."

Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya


berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."

Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan
siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"

Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata
benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"

Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula
perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."

Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu
perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung
tempat ia duduk?"

Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan
laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata
Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"

Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya

Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi
itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu.
Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera
oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian
maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.


HIKAYAT HANG TUAH
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud.
Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung
mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang
Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang
Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin.
Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya,
Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.

Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh
Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan
mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun
langsung memandikan dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu
kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit
dan telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk
Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada
istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan
harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan.

Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-
luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong.
Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang
melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau
masuk ke kampung.?”Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit
dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya
melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya.

Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang
Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya
menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu
menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu.
Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan
mati. Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah
Melayu ini.”Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang
Lekir, dan Hang Lekui.

Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi
bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah
pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan
dengan kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri
adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja.
Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang
Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.

Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya,
Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja,
“Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang
sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai
saya.”Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai
kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab,
“Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah
yang melakukan hal ini.”Maka Baginda bertitah, “Hai Tumenggung, katakan saja, kita akan
membalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat,
untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, Ra
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda
bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi
yang berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan
hal ini pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang
berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.

Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal
datang untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai
mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,
“Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di
dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi
wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia
duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan
seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai
istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.”
HIKAYAT JAYA LENGKARA

Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saeful Muluk
namanya, Ajam Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini telah berkawin dengan Putri
Sukanda Rum. Tetapi oleh karena permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri
Sukanda baying-bayang. Hatta berapa lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun
beranak anak kembar yang diberi nama Makdam dan Makdim. Permaisuri takut
kehilangan kasih sayang raja sama sekali, lalu berdoa meminta anak. Doanya dikabulkan.
Hatta berapa lamanya, ia pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik
rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara. Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri
pun terlalu makmur, makanan murah dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala
ahli nujum, hulubalang dan rakyat sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.

Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi
bertanyakan nasib Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya
Langkara akan menjadi raja besar yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar
tiada yang dapat melawannya dan segala margastua juga tunduk kepadanya dengan
khidmat. Mendengar ramalan yang demikian, Makdam dan Makdim menjadi sakit
hatinya. Mereka berdusta kepada ayahanda mereka dengan mengatakan, jikalau Jaya
Langkara ada dalam negeri, negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja
termakan fitnah ini dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.

Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke


negeri Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk
islam. Dengan bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan
Makdim dari penjara. Ratna Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga
Kumkuma putih juga sudah diperolehnya.

Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan.
Jaya Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan
bunga itu. Jaya Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi
dikawinkan dengan Makdim. Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir.
Bersama –sama dengan Ratna Kasina, Jaya Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat
dan menyembuhkan penyakit raja yang tak lain adalah ayahnya. Selang berapa lamanya,
Jaya Langkara kembali ke hutan untuk mencari bundanya.Ratna Kasina menyusul tidak
lama kemudian, karena tidak tahan di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah ke
negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan
Makdim coba membunuh Jaya Langkara. Naga guna menyelamatkan dan membawanya
bersama-sama dengan Puteri Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat
bergembira. Jaya Langkara dikawinkan dengan puteri Ratna Kasina. Raja Madinah
sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta berapa lamanya. Jaya Langkara
pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar kerajaannya. Segala raja
besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.
“Si Miskin”

Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya


bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal
sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari
rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke
mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai
penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan
menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di
hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada
di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi
istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan
menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan
kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan
yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si
Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga,
pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga
itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki
bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,
didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai
kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet
perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan
Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya
yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan
Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya,
dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan
bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi
orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa.
Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya
itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon
beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena
disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila
Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada
akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di
pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan
dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam
keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya
Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi
nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang
seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya.
Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah
perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai
Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya
berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga
Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara
suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang
puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa
puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali.
Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala
perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh
Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di
Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di
Palinggam Cahaya.
“IBNU HASAN”

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta
banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri
Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,
menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik,
walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan,
pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun
demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak
kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua orang tuanya
sangat menyayanginya.
Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan,
bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik
anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil
dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir,
tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak,
siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua
orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah
dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena
jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan
diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu
perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau
menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan
mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat
dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah,
pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan
Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian,
sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu berhari-
hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat do’a Ayah
dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh,
yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu
apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama,
harus sesuai dengan aturan.”
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera pulang,
menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang
katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu
atau hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba
besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun
banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada,
sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah.
Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat
saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan
orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

Nilai Nilai :
Ø Agama : Menganut agama Islam
Ø Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
Ø Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
Ø Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.

Anda mungkin juga menyukai