Anda di halaman 1dari 28

2014

Tantangan, Peluang,
dan Harapan
Penghulu
di Masa Kini dan Masa Datang
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Uji Kompetensi Kepala KUA
Tingkat Provinsi Jawa Barat

Ali Aleh
KUA Kroya Indramayu
2/3/2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
1. Kepala KUA yang Bermasalah
Beberapa waktu silam, Kementerian Agama Sumatera Berat
digegerkan dengan sebuah berita yang sangat memalukan. Seorang Kepala
KUA tertangkap basah sedang melakukan tindakan asusila dengan seorang
gadis pelajar MAN di sebuah mobil. Penangkapan itu terjadi di malam saat
hari saat pihak kepolisian melakukan razia curanmor. Tentu saja berita ini
mencoreng-moreng nama baik Kementerian Agama, khususnya Kantor
Urusan Agama.1
Meski oknum kepala KUA tersebut mendapatkan sanksi atas
tindakannya, tak urung hal itu membuat warga Kementerian Agama harus
mengevaluasi terhadap integritas para pegawainya, termasuk kepala KUA.
Jika hal tersebut dibiarkan dan tidak dijadikan bahan evaluasi, kejadian
serupa bisa terulang kembali, dan membuat terpuruk image Kementerian
Agama di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat (public trust)
terhadap Kementerian Agama, dalam hal ini Kantor Urusan Agama, bisa
semakin tergerus oleh tingkah polah para oknum yang tidak bertanggung
jawab.
Berita-berita negatif demikian bisa dengan cepat dan mudah
tersebar ke tengah masyarakat, meskipun terjadi jauh dari tempat tinggal
kita. Hal ini terjadi karena semakin mudah dan luasnya akses informasi
saat ini, terutama setelah munculnya revolusi digital melalui komputer dan
internet. Dengan demikian, hal itu semakin membuat warga Kementerian
Agama sudah seyogianya untuk semakin berhati-hati dalam bertindak dan
bersikap.

2. KUA yang Bermasalah


1
http://hariansinggalang.co.id/tertangkap-saat-razia-lalulintas-pak-kua-indehoi-di-atas-mobil/
tanggal 23 Februari 2012.

2
Selain menyangkut individu kepala sebagaimana kasus di atas,
Kantor Urusan Agama juga sempat membuat berita nasional dengan
munculnya kasus pernikahan sesama lelaki di Bekasi.2 Pernikahan
terlarang tersebut tak semestinya terjadinya jika semua prosedur dilakukan
dengan baik dan cermat. Tak pelak hal ini bisa menimbulkan tudingan dari
masyarakat bahwa pihak KUA tidak profesional dalam menjalankan tugas.
Lebih jauh lagi, kasus pernikahan tersebut bisa membuat
kelompok homoseksual memiliki justifikasi untuk memperjuangkan tujuan
mereka dalam upaya legalisasi pernikahan sejenis. Padahal legalisasi
tersebut tentu merupakan sesuatu yang sangat melanggar syariat Islam dan
UU Perkawinan. Jika tidak diteliti dengan cermat, kasus pernikahan
sejenis tersebut bisa terulang kembali dan bisa semakin membuka pintu
untuk legalisasi pernikahan sejenis.
Namun, kasus tersebut memang menyangkut persoalan pidana,
karena adanya unsur penipuan dan pemalsuan data. Semua pihak yang
terlibat pun telah menjalani proses hukum yang semestinya. Meski
demikian, hal tersebut merupakan sebuah pembelajaran yang sangat
berharga bagi pihak-pihak yang bertugas di Kantor Urusan Agama agar
lebih berhati-hati lagi.

3. Tudingan Korupsi oleh KPK


Layanan pencatatan nikah sempat menjadi perhatian publik saat
Komisi Pemberantasan Korupsi melansir daftar skor layanan publik di
instansi pemerintahan. Hal itu terjadi karena layanan pencatatan nikah
yang diselenggarakan Kantor Urusan Agama yang notabene di bawah
Kementerian Agama ternyata berada di urutan terbawah dalam daftar skor
tersebut. Atas hasil penelitian tersebut, tak urung Menteri Agama pun
bahkan sempat menyambangi kantor KPK untuk melakukan klarifikasi.3

2
http://m.liputan6.com/read/327950/kasus_istri_umar_pasrah tanggal 5 April 2011.
3
http://m.vivanews.com/news/read/268844-sektor-rawan-korupsi-di-kementerian-agama, tanggal
1 Desember 2011.

3
Meski telah dilakukan klarifikasi, kesan yang berkembang di
masyarakat tetap tak mudah dihilangkan. Mereka masih menganggap
layanan pencatatan nikah di KUA adalah sesuatu yang mahal dan sulit.
Padahal ukuran “mahal” dan “sulit” sendiri adalah sesuatu yang sangat
relatif. Di sisi lain, ada kecenderungan masyarakat yang ingin mendapat
pelayanan yang mudah tanpa harus melewati prosedur yang semestinya.
Hal inilah pula yang membuat peluang munculnya tarif-tarif tidak resmi
yang melebihi dari aturan yang ada.
Memang sudah ada Instruksi Menteri Agama Nomor 2 Tahun
2004 agar tidak memungut tarif pencatatan pernikahan yang sesuai
prosedur melebihi Rp. 30.000. Namun tarif-tarif tidak resmi menjadi
sesuatu yang sulit terelakkan ketika tak semua kegiatan pelayanan
pernikahan dibiayai oleh negara. Pernikahan di luar kantor dan di luar jam
dinas masih sering terjadi di tengah masyarakat. Sementara dana
transportasinya harus ditanggung sendiri oleh petugas.

4. Luasnya Bidang Kerja KUA


Kantor Urusan Agama adalah sebuah miniatur Kementerian
Agama di tingkat kecamatan. Nyaris semua hal yang terkait urusan agama,
khususnya Agama Islam, menjadi wewenang pekerjaan KUA. Sementara
kesan yang timbul di masyarakat, seolah KUA hanyalah mengurus
pernikahan saja.
Padahal sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama
(PMA) Nomor 11 Tahun 2007, tugas pokok dan fungsi Kantor Urusan
Agama adalah “melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah
kecamatan.”
Luasnya bidang kerja KUA bisa dilihat dari fungsi-fungsi
kegiatan berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 517
Tahun 2001, yaitu:
a. Statistik dan dokumentasi

4
b. Surat-menyurat
c. Pencatatan nikah dan rujuk
d. Pembinaan zakat, wakaf, dan ibadah sosial yang juga mencakup
pembinaan produk halal, kemasjidan, dan hisab rukyat.
e. Pembinaan kependudukan.
f. Pengembangan keluarga sakinah.
Semua bidang kerja tersebut tentu saja tidak mungkin bisa
ditangani oleh Kantor Urusan Agama (KUA) jika tidak dikepalai oleh
seorang sosok yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi. Tentu
saja, adalah tidak mudah menemukan sosok seperti itu. Sementara
ekspektasi masyarakat begitu tinggi terhadap kinerja Kantor Urusan
Agama. Meski demikian, paling tidak memang harus dirumuskan kriteria
ideal untuk menentukan seorang layak menjadi kepala. Adanya pemilihan
KUA Teladan yang selama ini sudah dilakukan sebenarnya merupakan
sebuah wahana yang baik untuk menjaring sosok yang qualified untuk
jabatan kepala KUA.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, penulis pun terdorong untuk
menyumbangkan saran dan pemikiran dalam rangka merumuskan: bagaimana
performance kepala KUA yang ideal? Apa saja kriteria-kriteria yang harus
dimiliki oleh seorang Kepala KUA?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. KAJIAN TEORI
1. Kepala KUA dalam Kajian Fikih
Dalam khazanah fikih, terdapat istilah qadhi. Istilah ini merujuk
kepada sebuah jabatan yang dipegang oleh seorang ulama yang memiliki
pengetahuan tentang hukum Islam dan diangkat oleh ulil amri untuk
memutuskan perkara-perkara hukum yang terjadi di tengah masyarakat.
Keputusan (qadha) seorang qadhi bersifat mengikat terhadap pihak-pihak
yang sedang mengadukan kasusnya ke lembaga peradilan.4
Selain qadhi, terdapat pula istilah mufti. Term mufti ini merujuk
kepada seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang luas yang menjadi
anggota lembaga pemberi fatwa terhadap masalah yang berkembang di
masyarakat atau ditanyakan langsung oleh masyarakat yang berkaitan
dengan masalah tersebut, sehingga perlu dicarikan ketentuan hukumnya.
Berbeda dengan qadhi, fatwa tidaklah bersifat mengikat, baik fatwa yang
dikeluarkan secara individual oleh seorang mufti maupun secara kolektif
oleh lembaga pemberi fatwa.5
Di beberapa negara Islam, seperti Mesir, terdapat lembaga khusus
pemberi fatwa yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat, yaitu Dar al-
Ifta al-Mishriyyah. Sementara di Indonesia, sepanjang pengetahuan
penulis, belum ada lembaga khusus pemberi fatwa. Yang ada adalah
lembaga keagamaan yang memiliki sub lembaga untuk memberikan fatwa,
seperti Komisi Fatwa di Majelis Ulama Indonesia, Lembaga Bahtsul
Masail di Nahdlatul Ulama, dan Majelis Tarjih di Muhammadiyah.
Di Indonesia, lembaga-lembaga yang memberi fatwa itu bukanlah
lembaga resmi negara, tapi merupakan lembaga independen yang tidak
diangkat oleh pemerintah, tapi oleh masyarakat itu sendiri. Namun di
4
Wizarah al-Syu’un wa al-Awqaf, al-Mausu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Dar al-
Salasil, 1427 H), juz 33, hal. 283.
5
Ibid.

6
beberapa negara Islam tertentu, seperti di Arab Saudi, lembaga fatwa
merupakan lembaga resmi negara yang diangkat oleh pemerintah. Di Arab
Saudi, ketua lembaga fatwa itu menjadi seorang mufti besar yang
fatwanya sangat diperhatikan oleh pihak Kerajaan.
Selain qadhi dan fatwa, terdapat istilah tahkim. Hampir sama
dengan qadha, tahkim adalah pengangkatan oleh dua orang yang sedang
berselisih terhadap seseorang untuk menjadi hakim atas perkara yang
mereka hadapi. Seorang yang menjadi hakim dari proses tahkim memiliki
cakupan kewenangan yang lebih sempit daripada seorang qadhi. Hal itu
karena seorang hakim hanya memutus perkara yang diadukan kepadanya
saja.6
Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, tugas seorang qadhi, mufti,
dan hakim terdapat dalam sosok seorang kepala KUA. Tugas seorang
qadhi bisa terjadi, misalnya, ketika seorang kepala KUA menjalankan
tugasnya untuk meneliti, mengawasi, dan memutuskan pernikahan antara
sepasang lelaki dan perempuan. Keputusan itu bisa berbentuk penetapan
sahnya sebuah pernikahan sehingga harus dicatat sebagai peristiwa hukum
yang memperoleh legalitas dari negara, lantas diberikan buku nikah
sebagai bukti legalitas perkawinannya.
Sedangkan tugas mufti dilakukan pula oleh seorang kepala KUA
misalnya saat ia menerima masyarakat yang bertanya bagaimana caranya
menghitung warisan. Tugas pemberian fatwa ini yang dilakukan oleh
seorang Kepala KUA tentu saja menuntut pengetahuan yang luas, sehingga
ia tidak sampai terjerumus dalam pemberian fatwa yang salah dan
merugikan masyarakat.
Sementara tugas tahkim dilakukan oleh Kepala KUA manakala ia
menjadi wali hakim terhadap sepasang pengantin yang hendak menikah
namun wali si perempuan tidak ada. Tugas tahkim juga bisa diwujudkan
oleh Kepala KUA ketika ia berperan sebagai seorang mediator yang
berupaya untuk mendamaikan sepasang suami istri yang sedang bertikai

6
Ibid.

7
dan di ambang pintu perceraian. Mediasi yang dilakukan tersebut
merupakan bagian dari tugas Kepala KUA yang juga seorang Ketua Badan
Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4).

2. Kepala KUA dalam Lintasan Sejarah Hukum Islam di Indonesia


Meski jabatan Kepala KUA diadakan setelah zaman kemerdekaan,
namun cikal bakalnya sudah ada sejak dulu. Hal ini bisa dilacak dari
institusi penghulu yang sudah ada sejak dulu. Institusi penghulu muncul
dalam sejarah hukum Islam di Indonesia seiring dengan munculnya
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang diperkirakan muncul sejak
Abad 16.7
Kerajaan-kerajaan Islam itu biasanya memiliki institusi tertentu
yang bertugas mengurus hal-hal keagamaan. Hal itu lumrah karena adanya
karena kerajaan-kerajaan itu memang menerapkan syariat Islam di
samping hukum adat sebagai hukum negara. Di antara kerajaan yang
dikenal ketat menerapkan syariat Islam adalah Kerajaan Islam Banten dan
Kerajaan Islam Aceh Darussalam.8
Dalam rangka penerapan syariat Islam itu pula, kerajaan-kerajaan
Islam itu membentuk beberapa jabatan tertentu. Di antara jabatan itu
adalah penghulu. Di Kerajaan Islam Mataram, misalnya, terdapat birokrasi
keagamaan yang disebut reb-penghulon yang sudah ada sejak abad ke-17.
Terdapat jenjang tertentu dalam lembaga kepenghuluan tersebut. Di
tingkat desa, disebut kaum, amil, modin, kayim, dan lebai (lebe). Di
tingkat kawedanan, disebut penghulu naib; di tingkat kabupaten disebut
penghulu kabupaten; dan di pusat Kerajaan Mataram, disebut kanjeng
penghulu atau penghulu agung.9

7
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Islam.
8
Wahdah Luwu Utara, "Jejak Penerapan Syariat Islam di Nusantara" dalam
http://wahdahluwuutara.blogspot.com/2011/02/jejak-penerapan-syariat-islam-di.html
9
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu Bundo Kanduang, (Bandung: Rosdakarya,
2001), hal. 7, seperti dikutip oleh Aos Sutisna, "Peran Penghulu dalam Menjalankan Hukum Islam
di Indonesia", (makalah) dalam Jaih Mubarok (ed), Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 30.

8
Seiring masuknya penjajahan Belanda, penghulu menjadi jabatan
resmi di lingkungan pemerintah kolonial Belanda. Pengangkatannya
dilakukan ditetapkan oleh Gubernur Jenderal melalui pencalonan dari
Bupati dengan persetujuan Residen. Sebagai pejabat resmi, penghulu
memperoleh gaji langsung dari Batavia. Di samping itu, kewenangannya
pun semakin luas, tidak hanya memegang tugas keagamaan, seperti
pernikahan, peradilan agama, kemasjidan, dan zakat. Bahkan penghulu
terkadang ditugaskan untuk menyelenggarakan suntik wajib untuk
mencegah wabah penyakit tertentu.10
Memasuki era kemerdekaan, jabatan penghulu banyak mengalami
perubahan. Jika sebelumnya Penghulu Landraad, diangkat oleh Bupati,
namun sekarang ia diangkat oleh Kementerian Agama. Selanjutnya, ketika
munculnya UU Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, Kementerian
Agama tidak lagi membawahi Peradilan Agama. Mahkamah Agung (MA)
menarik Peradilan Agama ke dalam satu atap bersama dengan jenis
peradilan yang lain. Pada gilirannya, hal itu menyebabkan hilangnya
kewenangan Kantor Urusan Agama untuk memproses perceraian.

3. Kepala KUA dan Teori Manajemen Modern


Dalam melaksanakan kepemimpinannya, seorang kepala KUA juga
perlu menggunakan analisis SWOT yang dikembangkan oleh Albert
Humprey. Analisis SWOT merupakan metode perencanaan strategis untuk
mengevaluasi Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity
(peluang), dan Threath (ancaman).11 Meski awalnya diterapkan dalam
dunia bisnis, analisis SWOT juga bisa diterapkan di Kantor Urusan
Agama. Hal itu karena keempat faktor tersebut tentu ada dalam setiap
KUA sehingga perlu analisis yang tajam agar tercapai pelaksanaan tugas
bisa berjalan dengan baik.
Selain analisis SWOT di atas, kepala KUA yang ideal juga bisa
menerapkan prinsip manajemen modern POAC. Akronim POAC berarti
10
Ibid., hal. 31.
11
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Analisis-SWOT.

9
Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating
(pelaksanaan), dan Controlling (pengawasan).12 Perencanaan berarti kepala
KUA harus memiliki perencanaan yang jelas. Ada rencana program yang
hendak dicapai, baik jangka pendek (harian, mingguan, bulanan), jangka
menengah (triwulan, semester), atau jangka panjang (tahunan).
Sedangkan pengorganisasian berarti menghendaki adanya
pemberian tugas (job description) yang jelas. Ada struktur organisasi yang
jelas, dan setiap orang dalam organisasi itu memiliki tanggung jawab dan
wewenang yang jelas pula. Dalam pengorganisasian yang baik, tidak
terdapat duplikasi jabatan atau tugas yang bisa menimbulkan friksi di
dalam organisasi.
Pelaksanaan berarti rencana program yang sudah dibuat harus
dipastikan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang telah ditunjuk sesuai
dengan jabatan dan job description masing-masing. Sang kepala sebagai
seorang manajer berkewajiban untuk membangkitkan semangat kerja para
bawahannya agar program-program mau dilaksanakan. Dalam rangka
memberikan semangat itu pula, reward and punishment juga perlu
diterapkan dengan cara yang baik dan bijaksana.
Terakhir, selama pelaksanaan tugas dan pekerjaan serta setiap
periode tertentu harus ada pengawasan, audit, inspeksi, dan evaluasi untuk
memecahkan masalah-masalah yang timbul di lapangan, serta memastikan
pelaksanaan tugas tidak melenceng dari program yang sudah
direncanakan.

B. ANALISIS MASALAH
1. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Kepala KUA
a. Minimnya Ketersediaan SDM yang Berkualitas
Kantor Urusan Agama yang dipimpin oleh seorang kepala
merupakan unit lembaga terkecil dari rangkaian lembaga vertikal yang
12
Bambang Qomaruzzaman, “POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling” dalam
http://syaddad.wordpress.com/2008/08/15/poac-p-lanning-o-rganizing-a-ctuating-c-ontrolling/
tanggal 15 September 2008.

10
mengerucut hingga ke Kementerian Agama Pusat yang dipimpin oleh
seorang Menteri Agama. Jumlah KUA berkaitan erat dengan jumlah
kecamatan yang ribuan yang tersebar di seantero negeri. Hal itu karena
KUA memang unit lembaga terkecil Kementerian Agama yang berada
di tingkat kecamatan.
Dari data Tahun 2011 yang dikeluarkan Kanwil Kementerian
Agama Provinsi Jawa Barat dalam situs resminya, jumlah KUA
sebanyak 616 kantor. Sementara jumlah kepala dan penghulu sebanyak
1.377 orang.13 Angka itu menunjukkan bahwa rata-rata satu KUA
memiliki dua penghulu, baik yang sedang menjabat kepala maupun
yang tidak menjabat. Angka 1:2 tersebut menunjukkan pula bahwa
jumlah ketersediaan pegawai yang bisa diangkat kepala KUA sangat
minim. Jika rata-rata hanya 2 orang pegawai yang tersedia untuk bisa
diangkat kepala KUA, berarti tak banyak pilihan untuk mencari sosok
kepala yang betul-betul berkualitas.
Dalam contoh kasus Jawa Barat, dari data yang diperoleh,
penyebaran penghulu juga tidak merata pada setiap kabupaten/kota.
Ada kabupaten yang begitu berlebihan jumlah penghulunya daripada
jumlah KUA, seperti di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung.
Namun ada juga kabupaten/kota yang jumlah penghulu sangat minim
seperti Kabupaten Kuningan. Tak ayal, hal ini ikut mempengaruhi
kualitas kepala KUA yang dipilih.
Bagi daerah yang jumlah penghulunya banyak, maka pilihan
untuk mencari kepala menjadi lebih banyak sehingga bisa dicari mana
sosok yang betul-betul terbaik. Namun bagi daerah yang jumlah
penghulunya jauh lebih sedikit daripada jumlah KUA-nya, maka akan
kesulitan untuk memilih sosok yang betul-betul terbaik. Alih-alih
mencari SDM yang terbaik, KUA punya kepala saja sudah merupakan
solusi.

13
http://jabar.kemenag.go.id

11
b. Pola Rekrutmen yang Tidak Jelas
Karena luasnya wewenang dan bidang pekerjaan yang
ditangani serta latar belakang sejarahnya yang panjang, Kepala KUA
sudah semestinya merupakan sosok yang betul-betul dianggap
memiliki kapabilitas dan integritas. Karena itulah, rekrutmennya pun
sudah semestinya harus memiliki pola dan standar yang jelas serta
transparan.
Kalaupun memang ada pola dan standar yang jelas dan
transparan, mungkin hal itu tidak diterapkan atau tidak disosialisasikan
dengan baik di lapangan. Karena tidak disosialisasikan dengan baik,
akhirnya para calon kontestan tidak mengetahui alat ukur atau
parameter untuk menilai dirinya dengan baik apakah sudah memenuhi
kriteria atau belum untuk menduduki jabatan Kepala KUA.
Kasus-kasus asusila yang dilakukan oleh oknum kepala KUA
seperti yang diungkapkan sebelumnya, menunjukkan pola penyaringan
yang kurang ketat. Andaikata pola penyaringannya ketat, semestinya
sejak awal sudah dideteksi adanya integritas moral yang lemah dalam
diri seorang calon Kepala KUA. Sudah semestinya, rekam jejak (track
record) seseorang calon Kepala KUA benar-benar ditelusuri dengan
cermat dan dijadikan bahan pertimbangan.
Keberadaan institusi Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (Baperjakat) sudah semestinya melaksanakan tugas
dengan seobyektif dan senetral mungkin. Namun objektivitas dan
netralitas menjadi sesuatu yang utopis manakala anggota tim
Baperjakat memiliki kepentingan dan calon masing-masing. Hal inilah
yang kemudian hari bisa menjadi bumerang manakala calon pejabat
yang sudah berhasil dilantik ternyata melakukan tindakan-tindakan
yang mencoreng-moreng institusi Kementerian Agama.
Prosedur rekrutmen dengan melewati tahap uji kompetensi (fit
and proper test) merupakan sesuatu kemajuan yang perlu diapresiasi.
Meski demikian, uji kompetensi harus betul-betul dikawal agar tidak

12
terjebak pada formalitas belaka. Hasil uji kompetensi betul-betul
semestinya diumumkan secara transparan, dan betul-betul menjadi
faktor penentu untuk kelulusan seorang calon pejabat guna menduduki
jabatannya.

c. Kompetisi yang Tidak Sehat


Kondisi kerja yang sehat merupakan sesuatu yang penting
untuk menghasilkan pekerjaan dan layanan publik yang baik. Hasil
tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lain yang cukup penting, yaitu
kepala KUA. Jika pengangkatan kepala KUA dihasilkan dalam sebuah
kondisi persaingan yang tidak sehat, maka sulit diharapkan untuk
diperoleh sosok kepala ideal yang diharapkan mampu menjalankan
tugas dengan baik.
Aksi saling jegal, mencuri start, lobbying, dan suap sangat
rentan terjadi dalam sebuah atmosfer kompetisi yang tidak sehat.
Tindakan-tindakan demikian tampaknya didorong oleh ambisi jabatan
yang tinggi, sehingga menghalalkan segala cara. Padahal hal itu jelas
bertolak belakang dengan moto Kementerian Agama yaitu ikhlas
beramal. Di sisi lain, kesan bahwa para aparatur negara di bawah
Kementerian Agama adalah orang-orang yang relatif mengetahui
hukum dan norma agama lebih baik daripada di kementerian lain.
Suasana kompetisi yang tidak sehat juga akan memakan korban
orang-orang yang memiliki kapabilitas dan integritas namun tidak bisa
“bermain”. Dalam kompetisi demikian, koneksi dan budget menjadi
faktor yang sangat penting dan determinan. Mereka yang memiliki
kedua faktor tersebut bisa mengalahkan mereka yang memiliki
kapabilitas dan integritas namun tidak memiliki keduanya. Di samping
itu, dalam kompetisi yang tidak sehat pula, sangat mungkin terjadi
mereka yang memiliki kapabilitas dan integritas sengaja
“ditenggelamkan” dan tak masuk ke dalam bursa pencalonan.

13
2. Kriteria Kepala yang Ideal
a. Memiliki Kemampuan untuk Memimpin (Leadership)
Kepala KUA adalah pemimpin lembaga pemerintahan yang
tentu terdapat bawahan yang harus dipimpinnya, seperti penghulu, staf
administrasi, dan pembantu penghulu dari berbagai desa. Jika mereka
tidak dipimpin dengan baik oleh seorang kepala, pelayanan masyarakat
akan terganggu. Bagi seorang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang
baik, berbagai tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh orang-orang
yang menjadi bawahannya bisa berjalan dengan baik. Tapi jika
sebaliknya, mereka yang menjadi bawahannya akan bertindak sendiri-
sendiri dan keluar jalur dari tugas dan kewenangan mereka yang
semestinya.
Sepanjang pengamatan penulis di lapangan, kepemimpinan
seorang Kepala KUA akan teruji manakala berbagai masalah dan
kepentingan yang timbul di kantor bisa diatasi dan dikendalikan secara
baik sesuai dengan aturan yang semestinya. Tapi bagi seorang Kepala
KUA yang jiwa kepemimpinannya kurang, maka ia pun kesulitan
mengendalikan berbagai kepentingan yang berkembang di antara
bawahannya. Pada gilirannya, sang Kepala KUA menjadi kehilangan
kewibawaan dan kepercayaan di mata para bawahannya.
Di antara masalah krusial yang sering menjadi batu sandungan
bagi para kepala KUA adalah pengelolaan keuangan. Hal itu terjadi
ketika keuangan yang bersumber dari pendaftaran pernikahan dan
berbagai dana bantuan dari APBN tidak dikelola dengan baik secara
transparan dan akuntabel. Apalagi jika semua sumber keuangan itu
dikelola secara pribadi oleh sang kepala tanpa melibatkan bawahannya
sesuai tugas mereka masing-masing. Pada titik inilah, akhirnya muncul
akronim yang bersifat insinuatif, yaitu BUMN, Badan Usaha Milik
Naib.
Selain masalah pengelolaan keuangan, masalah pengawasan
pernikahan juga merupakan sesuatu yang acap kali menjadi batu

14
sandungan bagi para Kepala KUA. Hal itu terjadi, misalnya, ketika
pembantu penghulu mengajukan berkas persyaratan pernikahan,
namun tidak diteliti dan dicermati dengan baik. Ketika pernikahan
sudah terjadi dan buku nikah (Model NA) sudah diberikan kepada
pengantin, ternyata baru ketahuan adanya masalah, seperti akta cerai
yang digunakan adalah palsu.
Pengawasan terhadap seluruh rangkaian proses pernikahan bisa
dengan baik jika sang kepala KUA betul-betul bersikap cermat dan
tegas. Setiap kali diendus adanya potensi masalah yang terdapat dalam
permohonan pernikahan, segera dieksekusi dengan tegas, seperti
berupa penolakan. Selanjutnya, pihak yang terlibat, baik penghulu,
pembantu penghulu, maupun staf diberi teguran yang tegas dan diberi
bimbingan agar lebih berhati-hati. Dengan adanya teguran dan
bimbingan, maka akan terjadi proses pembelajaran, baik terhadap si
kepala itu sendiri maupun bagi bawahannya. Hal ini juga sesuai
dengan fungsi utama seorang pemimpin sebagaimana dikatakan oleh
Rupert Eales-White, yaitu sebagai penggagas perkembangan dan
pembelajaran (Creators of Growth and Learning/COGAL).14

b. Memiliki Kemampuan Intelektual


Sebagaimana dalam latar belakang sejarahnya, seorang Kepala
KUA yang notabene juga seorang penghulu adalah seorang mufti yang
berwenang menganalisis dan memberikan fatwa hukum atas masalah
yang berkembang di masyarakat. Kewenangan ini pun sudah diatur
dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
Per/62/M.PAN/6/2005.15
Kemampuan menganalisis suatu hukum tentu mempersyaratkan
kemampuan intelektual dan wawasan yang luas. Salah satu faktor yang
14
Rupert Eales-White, Leadership Intelligence, terj. Dwi Ratnasari, (Jogjakarta: Think, 2003), hal.
22.
15
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agam Republik Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya, (Jakarta: 2010), hal. 56-66

15
bisa membuktikan hal itu adalah kemampuan membaca kitab kuning.
Sebenarnya persyaratan kemampuan membaca kitab kuning bagi para
calon penghulu dan kepala KUA sudah sejak lama diatur oleh
Kementerian Agama, yaitu sejak tahun 1961. Aturan itu muncul
melalui Instruksi Kepala Jawatan Urusan Agama Islam Nomor 5 Tahun
1961 tentang Penyelenggaraan Testing Jabatan Naib dan Penghulu
Muda. Dalam instruksi tersebut, kitab yang dibaca untuk menguji
kemampuan calon Naib adalah Fathul Qarib, dan Fathul Muin untuk
calon Penghulu Muda.16
Termasuk dalam kemampuan intelektual ini adalah kemampuan
berbahasa asing, seperti Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini
diperlukan untuk mempermudah pelayanan dan tugas bagi seorang
Kepala KUA. Seiring dengan semakin mengglobalnya kehidupan
modern, terdapat orang-orang asing, seperti dari Timur Tengah, Asia
Timur, dan Barat yang memerlukan pelayanan karena hendak menikah
dengan orang Indonesia. Banyaknya para TKW di luar negeri menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan semakin tingginya permintaan
layanan pernikahan dengan orang-orang luar negeri. Tentu saja hal ini
menjadi kendala jika komunikasi bahasa asing tidak dilakukan oleh
seorang kepala KUA.
Selanjutnya, meski tidak terkait langsung dengan kemampuan
intelektual, namun kemampuan dalam penguasaan Information
Technology (IT) juga merupakan sesuatu yang perlu dimiliki oleh
seorang kepala KUA yang ideal. Apalagi di tengah kemajuan teknologi
informasi tersebut, banyak pengetahuan dan informasi yang bisa
diakses oleh seorang Kepala KUA. Sering kali aturan perundangan
yang terkait langsung dengan tugas seorang Kepala KUA belum
diperoleh versi cetaknya dalam bentuk buku. Hal ini bisa diatasi
dengan adanya kemajuan teknologi informasi melalui dunia internet.

16
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji,
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: 1997/1998), hal. 454-455.

16
Terkait dengan teknologi informasi, penguasaan program
komputer untuk perkantoran, seperti Microsoft Word dan Microsoft
Excel menjadi sesuatu yang sangat menunjang pelaksanaan tugas
seorang kepala KUA. Data-data pernikahan, misalnya, bisa disimpan
dan diakses dengan mudah dalam bentuk digital, di samping data
manualnya tetap harus dikerjakan. Kemampuan penguasaan program
komputer ini menjadi salah kriteria penilaian dalam Pemilihan Kepala
KUA Teladan Tingkat Nasional, sebagaimana yang diatur dalam
Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/254 Tahun 2011.

c. Memiliki Integritas Moral


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas adalah
“mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh
sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan; kejujuran.”17 Sedangkan moral adalah di antaranya
berarti: “ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti;
susila”18
Dari pengertian tersebut, bisa dipahami bahwa integritas moral
adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang
utuh sehingga seseorang memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan dan kejujuran dalam menjalankan ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya.
Integritas moral inilah yang menjadi sistem kendali perilaku
bagi sang Kepala KUA. Sebagaimana lazimnya setiap jabatan yang
menyediakan berbagai fasilitas, kewenangan, dan kesempatan, maka
jabatan kepala KUA pun rentan untuk diselewengkan. Jika integritas

17
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,
2002), hal. 437.
18
Ibid., hal. 754.

17
moralnya rendah, maka yang terjadi adalah seperti kasus asusila yang
dilakukan oleh oknum Kepala KUA di Sumatera Barat di atas.
Intelektualitas dan latar belakang pendidikan yang tinggi
ternyata tidak menjamin seorang memiliki integritas moral yang tinggi,
sehingga seorang pejabat, termasuk Kepala KUA, bisa terjerumus
dalam tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan tata susila.
Integritas moral merupakan sebuah pencapaian yang diperoleh dari
proses panjang yang diawali dari penanaman nilai dan karakter sejak
dini di lingkungan keluarga.
Di samping itu, integritas moral juga bisa terbangun dalam
lingkungan sosial yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, kehormatan
diri, dan ketaatan kepada aturan. Adalah sulit diperoleh sosok Kepala
KUA yang memiliki integritas moral jika lingkungan sosial yang
digelutinya adalah lingkungan yang tidak sehat dan suka melanggar
aturan.

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara umum, performance Kepala KUA yang ideal memiliki kriteria-
kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki kemampuan untuk memimpin (leadership capablity)
2. Memiliki kemampuan intelektual (intellectual capability)
3. Memiliki integritas moral (moral integrity)

B. SARAN
1. Perlu diadakan sebuah aturan dan persyaratan seleksi yang jelas, terukur,
dan transparan agar diperoleh Kepala KUA yang memiliki perfomance
ideal. Aturan tersebut hendaknya dibakukan secara resmi, baik dalam
bentuk Surat Edaran Dirjen, Peraturan Menteri, atau Peraturan Pemerintah.
2. Lembaga Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat)
hendaknya tak hanya diisi dari pihak internal lembaga terkait, tapi juga
bisa dimasukkan unsur-unsur dari luar untuk menjaga independensi dan
objektivitas dalam penilaian.
3. Tata cara pelaksanaan uji kompetensi hendaknya diatur secara resmi dalam
bentuk Surat Edaran Dirjen, Peraturan Menteri, atau Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian, diharapkan uji kompetensi tidak terjebak dalam
kepentingan formalitas belaka.
4. Perlu dibuat pemetaan yang jelas tentang kebutuhan tenaga penghulu
sehingga penyebaran tenaga penghulu betul-betul merata dan sesuai
dengan rasio jumlah KUA yang ada dan jumlah penduduknya. Jika tenaga
penghulu yang kelak bisa menjadi kepala KUA tersebar dengan merata
dan sesuai rasio jumlah KUA dan jumlah penduduk, maka hal itu akan
lebih memudahkan untuk menjaring kepala KUA yang ideal.

19
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan


Urusan Haji, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta:
1997/1998).

Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal


Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agam Republik Indonesia,
Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka
Kreditnya, (Jakarta: 2010).

Jaih Mubarok (ed), Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani


Quraisy, 2004.

Rupert Eales-White, Leadership Intelligence, terj. Dwi Ratnasari, (Jogjakarta:


Think, 2003).

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(Jakarta, Balai Pustaka, 2002).

Wizarah al-Syu’un wa al-Awqaf, al-Mausu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,


(Kuwait: Dar al-Salasil, 1427 H).

B. Internet

http://hariansinggalang.co.id.

http://id.wikipedia.org

http://jabar.kemenag.go.id

http://m.liputan6.com/

http://m.vivanews.com.

http://syaddad.wordpress.com.

http://wahdahluwuutara.blogspot.com

20
Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin di kawasan Melayu.
Penghulu dalam bahasa Melayu Kuna, sama dengan paˆhulu[1], dalam Bahasa
Minang, sama dengan panghulu, dimana secara maknanya orang yang disebut
dengan penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama juga dengan datuk.

Setelah masuknya pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk


seseorang yang bertugas atau berwenang dalam legalitas suatu pernikahan dalam
agama Islam atau Penghulu Nikah sebutan lainnya Tuan Kadhi[2].

Penghulu di Minang
Pada awalnya sebutan penghulu, digunakan dalam susunan struktur pemerintahan
nagari di wilayah Minangkabau, dimana seorang penghulu juga merupakan
pemangku adat dan bergelar Datuak, selanjutnya dalam susunan sebuah nagari
terdapat struktur kekuasaan, yang dimulai dari Panghulu, Malin, Manti dan
Dubalang[3]. Selanjutnya dari struktur tersebut, kemudian disatukan dengan
istilah Urang Ampek Jinih (Empat orang dengan fungsi masing-masing).

Dalam suatu nagari, malin atau kadangkala disebut juga dengan imam, merupakan
seseorang bertugas dalam urusan agama di dalam suatu suku, dan bertanggung
jawab dalam permasalahan adat yang terkait dengan agama (Islam). Manti
berhubungan dengan fungsi adat di antaranya menangani keluhan-keluhan atas
pelanggaran adat, bertindak dalam urusan pengadilan serta menjadi juru tulis.
Dubalang (hulubalang) berfungsi sama dengan fungsi polisi, bertugas menangani
masalah-masalah keamanan atau semacam polisi penghulu, dan juga bertugas
mengamankan nagari dari serangan luar nagari ataupun konflik intern yang terjadi
antar kaum-keluarga di dalam satu nagari[4][2].

Setiap suku-suku Minang memiliki struktur penghulu dengan gelar masing-


masing. Tinggi rendahnya kedudukan seorang Penghulu dalam adat Minang
sangat dipengaruhi oleh kaumnya, dan hal ini sangat memengaruhi status seorang
penghulu untuk dapat mengatur dan mengelola sebuah nagari nantinya. Umumnya

21
pada sebuah nagari, suku-suku awal pada nagari tersebut memiliki dominasi atas
suku-suku yang datang kemudian. Selain memiliki tanah atau sawah yang luas,
para penghulu dari suku-suku awal ini juga ditempatkan pada posisi terhormat
dibanding penghulu dari suku-suku yang datang kemudian.

Jabatan penghulu dalam sistem matrilineal Minangkabau terdiri dari tingkatan


sebagai berikut[5]:

Penghulu suku, penghulu yang menjadi pemimpin suku dan merupakan


penghulu andiko (utama), serta disebut juga penghulu pucuk (Koto-Piliang) dan
penghulu tuo (Bodi-Caniago).
Penghulu payung, penghulu yang menjadi pemimpin warga suku yang telah
membelah diri dari kaum sukunya karena perkembangan jumlah warga suku
tersebut.
Penghulu indu (turunan), penghulu yang menjadi pemimpin warga suku yang
telah membelah diri dari kaum sepayungnya.

Persyaratan penghulu

Sesuai dengan pepatah masyarakat Minangkabau: dari niniak ka mamak, dari


mamak ke kamanakan, jabatan penghulu diwariskan sesuai dengan garis
matrilineal. Semua lelaki di Minangkabau dapat menjadi penghulu berdasarkan
hubungan pertalian kemenakan. Ada empat jenis kemenakan dalam struktur
kebudayaan Minangkabau[5]:

Kamanakan di bawah daguak, merupakan kemenakan yang ada hubungan


pertalian darah.
Kamanakan di bawah dado, merupakan kemenakan yang ada hubungan karena
sukunya sama, walaupun penghulunya berbeda.
Kamanakan di bawah pusek, merupakan kemenakan yang ada hubungan karena
sukunya sama tetapi nagarinya berbeda.

22
Kamanakan di bawah lutuik, merupakan kemenakan yang sebelumnya berbeda
suku dan nagari tetapi telah meminta perlindungan dan menjadi warga suku
tersebut.

Mekanisme pengangkatan penghulu

Dalam budaya Minangkabau pendirian penghulu baru dikenal dengan nama


Batagak penghulu (mendirikan penghulu), dengan beberapa macam mekanisme
sebagai berikut[5]:

Mati batungkek budi, mendirikan penghulu baru karena penghulu yang lama
meninggal dunia.
Mambangkik batang tarandam, mendirikan penghulu baru setelah bertahun-
tahun tidak dapat dilaksanakan karena belum adanya biaya yang cukup untuk
mengadakan Malewa gala (perjamuaan).
Mangambangkan nan talipek, mendirikan penghulu baru karena sebelumnya
tertunda karena belum adanya kesepakatan dalam kaum tersebut.
Manurunkan nan tagantuang, mendirikan penghulu baru karena calon
sebelumnya belum cukup umur.
Baju sahalai dibagi duo, mendirikan penghulu baru karena pembelahan suku
akibat perkembangan warganya sehingga diperlukan seorang penghulu lain
disamping penghulu yang telah ada.
Mangguntiang siba baju, mendirikan penghulu baru karena terjadinya
persengketaan dalam suku tersebut sehingga suku tersebut dibelah dan
mempunyai penghulu masing-masing.
Gadang mayimpang, mendirikan penghulu baru oleh suatu kaum yang ingin
memisahkan diri dari pimpinan penghulu yang telah ada.
Bungo bakarang, pemberian status penghulu yang membawa gelaran datuk
kepada seseorang oleh kesepakatan para penghulu yang ada di nagari tempat dia
tinggal. Gelar ini tidak dapat diwariskan karena gelar ini semacam pemberian
gelar kehormatan kepada yang bersangkutan saja.

23
Penghulu di Malaysia
Penghulu di Malaysia digunakan untuk sebutan ketua tertinggi dari suatu kawasan
mukim, dimana sebuah mukim terdapat beberapa kampung, dan kampung akan
diketuai pula oleh ketua kampung. Penghulu dilantik dan bertanggung jawab
kepada kerajaan negeri.

http://id.wikipedia.org/wiki/Penghulu

Penghulu di antara kearifan lokal dan pidana

Rabu, 1 Januari 2014 11:07 WIB | 4556 Views

Oleh Edy Supriatna Sjafei


Jadi, daripada terus-menerus penghulu dianggap sebagai penerima suap,
bagaimana jika pelayanan publik itu diserahkan kepada masyarakat?"

Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Jika para penghulu tidak melayani pernikahan di luar
jam kantor dan pada hari libur terhitung 1 Januari 2014, bisa jadi peristiwa ini
merupakan sejarah baru bahwa pelayanan publik di bidang keagamaan tidak lagi
bisa diandalkan kepada birokrat.
Seandainya profesi penghulu disamakan dengan modin, pemandi mayat, juru
azan, muazin, pegawai masjid, ataupun lebai di kampung tentu pegawai Kantor
Urusan Agama (KUA) itu tak bakal dituduh sebagai penerima dana gratifikasi.

Namun, penghulu dengan kedudukannya sebagai pengawai negeri sipil (PNS)


tidak dibenarkan menerima imbalan sebagai profesinya menjadi penghulu.

Para penghulu menolak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau
pada hari libur merupakan bentuk solidaritas terhadap rekannya Romli, pegawai

24
KUA Kediri yang diseret ke meja hijau lantaran dituduh menerima dana
gratifikasi.

Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan tidak bisa menghalangi para


petugas KUA ataupun penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di luar
jam kantor ataupun hari libur, yaitu mulai 1 Januari 2014 tidak ada lagi pelayanan
di luar balai nikah guna menghindari praktik menerima gratifikasi.

Tindakan para penghulu itu memang bukan dalam bentuk pemogokan, melainkan
hanya membatasi pelayanan kepada warga yang hendak menikahkan anggota
keluarganya di luar jam kantor ataupun pada hari libur, kata Menag ketika
menerima Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) di kantor kementerian
tersebut di Jakarta, Jumat (27/12).

"Saya tidak melarang juga tidak menganjurkan," ujar Menag kepada pers.

Pembatasan pelayanan itu diarahkan sebagai menjaga kehormatan dan martabat


penghulu guna menghindari penilaian bahwa mereka menerima dana gratifikasi
dari keluarga shahibul bait atau tuan rumah ketika menikahkan pasangan
pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.

Sisi lain, sebagai dampak dari itu merupakan wujud dari makin tingginya
kesadaran hukum para penghulu.

Budaya pemberian amplop dari tuan rumah kepada penghulu sudah berlangsung
lama di negeri ini.

Bahkan, itu sudah menjadi "kearifan lokal".

Persoalan itu mencuat tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan


survei kepada publik tentang pelayanan di sejumlah kementerian. KPK memberi

25
nilai pada Kementerian Agama (Kemenag) di bawah rata-rata layanan publik
nasional.

Kemenag mendapat nilai di atas 6 untuk layanan KUA. Akan tetapi, di bawah
rata-rata nasional karena rata-rata nasional kan 6,35, sedangkan KUA itu 6,07,"
kata Irjen Kemenag Muhammad Jasin, beberapa waktu lalu.

Upah penghulu KUA per acara pernikahan sebesar Rp30 ribu. Di atas tarif itu,
oleh KPK dinilai sebagai perbuatan menerima suap atau gratifikasi.

Pemerintah melalui APBN sejak 2008 mengucurkan dana operasional untuk KUA
sebesar Rp2,5 juta per tahun.

Uang sebesar itu diperuntukkan untuk membayar listrik kantor, peralatan kantor
atau ATK, air PAM, dan sebagainya. Jauh dari cukup. Jelas saja dana operasional
seperti itu sangat jauh dari memadai.

Kewajiban seorang penghulu sebetulnya saat jam kerja. Di luar jam kedinasan,
para penghulu tak pernah menerima dana operasional.

Jadi, sekalipun Kemenag sudah mengimbau agar umat Islam menikah di KUA,
hingga saat ini tak dipatuhi.

Perlu dipahami bahwa posisi penghulu di tengah masyarakat adalah sebagai


pelayan.

Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan pernikahan, dia harus memperhatikan
unsur agama, budaya, tradisi, gengsi, dan klenik. Jadi, bukan urusan administrasi
semata.

26
Oleh karena itu, Suryadharma Ali menilai bahwa dana gratifikasi yang diterima
penghulu selama ini erat kaitan dengan kearifan lokal di tiap daerah.

Aspek pidana
Menurut M. Jasin, hasil survei menunjukkan bahwa pelayanan publik dari KUA
telah menempatkan Kementerian Agama sebagai lembaga terkorup. Itu harus
diperbaiki.

Ia mengakui bahwa biaya administrasi pernikahan sesuai dengan aturan hanya


Rp30 ribu. Akan tetapi, penghulu memungut biaya pernikahan lebih dari itu.

Diperhitungkan jika ada 2,5 juta hajatan pernikahan setiap tahun dengan rata-rata
Rp500 ribu setiap hajatan, total pungutan tersebut mencapai Rp1,2 triliun.

Atas tuduhan seperti itulah lantas penghulu membatasi pelayanan kepada publik.

Jika hal itu masih tetap dikategorikan sebagai gratifikasi, penghulu dan tuan
rumah adalah sebagai pelakunya.

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wagimun


menilai Pemerintah tidak tegas dengan membiarkan penghulu diposisikan sebagai
penerima dana gratifikasi sehingga beberapa penghulu di Jatim kini menjadi
incaran pihak kejaksaan.

Jadi, daripada terus-menerus penghulu dianggap sebagai penerima suap,


bagaimana jika pelayanan publik itu diserahkan kepada masyarakat?

Terkait dengan hal itu, staf ahli Menteri Agama Abdul Fatah mengusulkan agar
pelayanan nikah ke depan diserahkan saja kepada publik.

27
Dalam hal ini, masyarakat bersama ulama setempat menentukan siapa yang pantas
menjadi penghulu, sementara Pemerintah membuat regulasinya. Sebab, hingga
kini solusi mengatasi hal itu belum juga konkret.

28

Anda mungkin juga menyukai