Anda di halaman 1dari 2

ANOTASI DARI SEBUAH KOMPETISI

Sejak awal, aku memang kurang berminat mengikuti kompetisi tahun ini. Setelah dua kali tidak
lulus, aku pun jadi enggan untuk kembali mendaftar. Namun ibu dari kedua anakku terus mendorong
untuk ikut mendaftarkan diri. Akhirnya, aku pun mengalah dan mengikuti sarannya.

Kenangan kegagalan dua kali masih tercetak jelas dalam ingatanku. Pertama kali ikut, pihak
penguji bercerita kepadaku bahwa aku tidak lulus bukan karena nilai yang rendah, tapi karena dianggap
kesehatanku kurang fit. Kuakui, aku memang baru saja sembuh setelah terbaring sakit sekitar satu
bulan lebih. Saat itu aku mendaftar dengan keyakinan kuat bahwa aku sudah sembuh. Tapi faktanya aku
memang tidak lulus. Aku pun berusaha menerima kegagalan itu dengan lapang dada.

Tahun berikutnya, aku tidak mendaftar karena masa pendaftaran yang sempit. Aku tidak sempat
mempersiapkan diri dan persyaratan administrasi. Tahun berikutnya lagi, aku kembali mengadu
peruntungan. Ternyata aku kembali dinyatakan tidak lulus pada tahap seleksi di tingkat kabupaten.

Aku berusaha menghibur diri bahwa kegagalan itu karena memang nilaiku jelek. Tapi betapa
terkejutnya aku ketika suatu hari bertemu seorang penguji. Ia membongkar rahasia dapur proses seleksi
tersebut. Aku sengaja tidak diluluskan karena dianggap tidak loyal. Padahal pada saat itu nilaiku
termasuk yang tertinggi di antara peserta yang lain. Sang penguji itu pun berpesan padaku, tahun depan
tidak perlu ikut tes lagi. Percuma saja! Nilai bagus pun tetap tidak akan lulus jika tidak loyal.

Aku pun bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan loyal itu? Akhirnya pertanyaan itu
terjawab. Ternyata yang dimaksud loyal itu adalah bahwa aku harus menyerahkan sesuatu untuk
mengamankan kelulusanku. Oalaaa. Pantesan saja. Selama ini, aku memang berusaha berkompetisi
dengan wajar tanpa neko-neko.

Ya, sudahlah. Aku pun bertekad untuk tidak lagi mengikuti kompetisi ini selama polanya masih
seperti itu. Aku tidak perlu menggadaikan harga diri untuk meraih suatu jabatan. Apalagi jika jabatan itu
adalah sebuah jabatan mulia yang berkaitan erat dengan ibadah. Toh bagiku, jabatan bukanlah sesuatu
yang harus diperebutkan dengan susah payah hingga mengorbankan nama baik. Jabatan mulia
semestinya diraih pula dengan cara mulia. Apatah ada kemuliaan hakiki jika diraih dengan cara tidak
mulia.

Waktu terus berjalan hingga tibalah tahun ini. Aku kembali mendaftarkan diri untuk ketiga kali.
Meski sekarang sedikit ada perbedaan. Pada seleksi tingkat kabupaten, aku lulus. Tapi pada seleksi
kedua tingkat provinsi, namaku tidak tercantum dalam daftar peserta yang lulus. Pada seleksi di tingkat
provinsi, panitia menggunakan sistem CAT (Computer Assisted Test) dan tes wawancara. Sistem CAT
menggunakan telepon seluler yang berbasis Android. Usai menjawab seluruh soal, nilai pun bisa
langsung diketahui oleh para peserta di gadget masing-masing.

Nilai yang kudapat ternyata lumayan. Nilaiku berada di peringkat kedua dari seluruh peserta yang
berasal dari daerahku. Sementara tes wawancara tidak terlalu sulit. Penguji hanya menguji kemampuan
membaca Kalam-Nya dan problem solving. Aku pun merasa optimis dengan nilai yang kuperoleh. Hingga
tiba saat pengumuman, ternyata namaku kembali tidak tercantum sebagai pemenang dalam kompetisi
ini. Kenyataan ini tentu saja menyisakan kekecewaan di sudut hatiku. Sungguh sebuah potret kompetisi
yang sangat tidak indah!

Tapi baiklah. Semua sudah terjadi. Piala sudah diserahkan kepada pemenang. Meski skor
pertandingan menunjukkan bahwa si penerima piala bukanlah pemenang yang sebenarnya. Hidup
harus terus berjalan. Kebahagiaan hati tidak boleh dirusak oleh kekecewaan yang berlarut-larut. Kini
tekadku sudah bulat, tahun depan aku tak akan mengikuti lagi kompetisi yang penuh sandiwara ini. Ya,
dunia memang hanyalah panggung sandiwara, seperti petikan lagu yang disenandungkan oleh Ahmad
Albar.

Apa hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa ini? Meniti jalan lurus pasti tidak akan sepi dari onak
dan duri. Menjunjung tinggi integritas dan idealisme pasti penuh risiko dan bahaya. Adanya onak dan
duri serta risiko dan bahaya merupakan ujian seberapa teguh seseorang meniti jalan lurus yang telah ia
pilih. Jika integritas dan idealisme hanya bersifat artifisial dan pencitraan semata, ia akan sirna dan
kalah saat bertemu dengan risiko dan bahaya.

Namun jika integritas dan idealisme telah menjadi pilihan hidup yang telah berurat berakar di
dalam jiwa, ia tetap akan ada mesti banyak rintangan melintang di depan mata. Integritas bukanlah
kegenitan yang mengharap pujian dan sanjungan. Integritas dan idealisme bukanlah suatu pajangan
yang harus dipamerkan dan dibanggakan. Biarlah ia menjadi perhiasan hati yang kilaunya hanya bisa
dilihat oleh Tuhan dan orang-orang yang memiliki mata hati.

Anda mungkin juga menyukai