Anda di halaman 1dari 11

MANIFESTASI MADRASAH DINIYAH

DALAM SIMPUL TRADISI KEISLAMAN MASYARAKAT PEDESAAN

Oleh:
Muhammad Alfian Aruban Muzaqqi, S.Pd.1
Jl. Kyai Sya’dulloh No. 14 Dsn. Bagian Desa Wiyurejo Pujon Malang, 65391
e-mail: arubanmuzaqqi94@gmail.com

Madrasah Diniyah dalam Pusaran Tradisi dan Eksistensi


Tulisan ini akan dimulai dengan menyoal kedudukan, fungsi, dan peran Madrasah
Diniyah di masyarakat. Terkhusus, Madrasah Diniyah yang ada di kampung atau di desa.
Akan disinggung juga peranan Madin baik secara langsung sebagai lembaga pendidikan
maupun secara tidak langsung sebagai pewaris tradisi dan perawat nilai-nilai keislaman.
Dalam kedudukannya di dunia pendidikan dan di masyarakat, sebenarnya Madrasah
Diniyah (selanjutnya disebut Madin) memiliki posisi yang sangat fundamental, yaitu (1)
sebagai media tranformasi pengetahuan agama sekaligus (2) sebagai media pemelihara
tradisi Islam. Madin memiliki kedudukan sebagai media penghubung antara ilmu
pengetahuan yang berlandaskan nilai keislaman sekaligus sebagai lembaga pendidikan
yang berbasis dakwah dan pengembangan. Ranah yang disentuh sebagai bekal untuk
melandasi setiap pengetahuan mengharuskan Madin mampu untuk mengkonversi setiap
disiplin ilmu menjadi lebih aplikatif dan dengan sendirinya terhubung dengan pola perilaku
individu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Peran strategis Madin sebagai media transformasi pengetahuan, khususnya di bidang
keagamaan, memiliki tugas dalam membangun karakter peserta didik yang berlandaskan
nilai-nilai keislaman. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945, bahwa tujuan
pendidikan diselenggarakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Meskipun
peranannya sebagai media transformasi pengetahuan, Madin juga harus telibat lebih dalam
membangun kerangka berpikir peserta didik, yang dimaksudkan sebagai pondasi
pengetahuan sebelum menginjak ke disiplin ilmu pengetahuan yang lebih kompleks. Peran
ini tentu tidak serta-merta mengesampingkan disiplin ilmu yang ada di sekolah. Justru
Madin harus berusaha keras agar setiap pengetahuan dapat terhubung dengan baik
sekaligus menjadikannya dapat dikontekstualisasikan.
Lebih dalam, Madin juga memiliki peran dan fungsi yang lain, yaitu sebagai
pemelihara tradisi dan nilai-nilai keislaman di masyarakat. Dalam usahanya memelihara
tradisi yang bernafaskan keislaman setidaknya telah membantu menjaga pelestarian nilai-
nilai yang ada dan harus tetap hidup di masyarakat. Sinkretisasi antara nilai sosial sebagai
landasan hidup bermasyarakat dan nilai Islam sebagai landasan beragama dipahami sebagai
satu-kesatuan yang saling mengisi, mendukung, dan menggenapi dalam tatanan budaya
sosial kemasyarakatan. Nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk karakter masyarakat
yang berkepribadian dalam kebudayaan. Sebuah pola ideal yang tanpa disadari telah
menggenapi sisi lain dari manusia sebagai makhluk sosial dan manusia sebagai makhluk
Tuhan.
Di saat yang sama, Madin sebagai basis lembaga pendidikan Islam juga berperan
secara langsung dalam membangun komunitas intelektual akademis keagamaan. Untuk
1
Penulis adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya
Malang. Saat ini sedang bekerja di PT. Pos Indonesia Persero KCP Pujon sekaligus terlibat langsung dalam
pendirian Madrasah Diniyah Taklimiyah (MDT) di Dusun Bagian Desa Wiyurejo Kecamatan Pujon
Kabupaten Malang
menjaga kelangsungan nilai-nilai dan substansi keislaman, Madin secara aktif turut serta
dalam proses kaderisasi keilmuan dan pembinaan terhadap generasi muda Islam. Agar
nilai-nilai tersebut tetap konsisten dalam diri setiap peserta didik dan juga generasi
penerusnya, Madin telah menjelma sebagai muara sekaligus titik balik keberlanjutan
tradisi-tradisi keislaman di masyarakat. Dalam sistem yang lebih implisit, Madin juga
diharapkan mampu menjadi agen dalam memobilisasi ide-ide besar demi tercapainya
masyarakat yang bermartabat, berkarakter, dan berkperibadian, yang sejalan dengan nilai-
nilai keislaman.

Tantangan Madrasah Diniyah


Eksistensi Madrasah Diniyah (Madin) dalam pusaran tradisi maupun perkembangan
zaman telah berperan aktif dalam membangun corak pemikiran masyarakat secara kolektif.
Sumbangsihnya sebagai lembaga yang berorientasi nilai telah membawa Madin pada
kenyataan yang dinamis, yang harus mampu mengikuti selera dan kehendak zaman. Di sisi
lain, perannya sebagai media transformasi pengetahuan keagamaan juga menuntutnya
untuk mampu lebih adaptif dan kooperatif dalam menghadapi perubahan. Derasnya
informasi karena kemajuan teknologi dan juga perkembangan keilmuan yang begitu cepat
mengharuskan Madin mampu melihat setiap kekosongan dari setiap perubahan dengan
cepat dan tepat. Lalu mengisinya dengan nilai-nilai Islam yang komprehensif agar tercipta
kesinambungan kondisi masyarakat yang semakin harmonis dan koheren dengan
perubahan.
Setiap lembaga pendidikan apa pun levelnya tentu memiliki tantangannya sendiri.
Salah satunya adalah tantangan yang disebabkan oleh tuntutan zaman dan juga
modernisasi. Sebagaimana disampaikan oleh Azyumardi Azra (2012), beberapa kondisi
yang harus dihadapi oleh Madin di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Dunia tanpa batas (borderless world), yaitu kondisi di mana kemajuan teknologi
komunikasi dan digitalisasi (digital era) telah melahirkan suatu bentuk dunia yang
tanpa batas. Ruang komunikasi antar manusia menjadi begitu mudah, cepat, dan
sangat intens. Menghadapi hal ini tentu tidaklah mudah. Diperlukan segenap
pemikiran dan juga tawaran-tawaran alternatif untuk menjawab setiap kemungkinan
yang diakibatkan oleh kondisi ini.
b. Krisis moral dan etika (the crisis of moral and ethics). Kondisi ini telah mengikis
habis bagian-bagian penting dari sebuah nilai yang paling fundamental di
masyarakat. Norma sosial dan norma susila yang sebelumnya dipedomani sebagai
landasan dalam berpikir dan berpilaku telah dilibas oleh budaya baru yang dianggap
lebih tinggi nilainya, yang dalam kenyataannya justru semakin menjauhkan manusia
dari nilai-nilai etika dan moralitas.
c. Pudarnya identitas bangsa (the weakness of nation identity). Hadirnya pop-culture
sebagai pemain baru dalam dunia modern telah mengikis sebagian besar budaya lokal
Indonesia. Kebudayaan turun-temurun yang telah menjelma sebagai identitas bangsa
perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh kebudayaan baru yang justru
membuat jati diri asli bangsa ini kian pudar.
d. Mega-kompetisi (mega-competition). Gelombang globalisasi telah melahirkan dunia
baru yang terbuka dan mengobrak-abrik tatanan dari aspek kehidupan manusia, baik
dalam tatanan ekonomi, sosial, politik, maupun budaya bangsa. Kondisi ini telah
membawa sebagian besar manusia saling berkompetisi dan bersaing dalam tataran
global. Keterlibatan yang tanpa sepenuhnya disadari ini telah mengakibatkan kondisi
politik dan ekonomi di negara kita semakin carut-marut. Bukan kedamaian yang
diciptakan, justru persaingan ini mengakibatkan ketegangan yang terus-menerus
dirasakan.

Fakta-fakta di atas tentu saja harus disikapi dengan serius dan penuh perhitungan.
Apalagi jika hal itu bersinggungan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan.
Pemahaman akan kenyataan ini tentu mutlak diperlukan agar setiap keputusan yang
diambil berikut kebijakan yang dibuat dapat menghasilkan solusi yang akurat dan tepat
sasaran. Tidak hanya itu, penyikapan terhadap tantangan-tantangan yang ada juga harus
diberikan perlakuan yang berbeda yang sejalan dengan arah dan tujuan dari perubahan itu
sendiri. Dengan demikian, Madin sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat akan
mampu membimbing nilai-nilai yang paling fundamental sekali pun untuk terus sejalan
dengan selera perubahan.

Madrasah Diniyah di Persimpangan Cita-cita Pendidikan


Madrasah Diniyah Taklimiyah (MDT) merupakan lembaga pendidikan yang hidup di
tengah masyarakat, di luar pengaruh pondok pesantren. Pendidikan ini juga berkedudukan
sebagai wadah kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang
menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Berbeda dengan
pendidikan diniyah yang ada di pesantren, kurikulum MDT lebih bersifat fleksibel dan
akomodatif. Artinya, kurikulum yang dilaksanakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan
yang ada di masyarakat dan lebih bersifat aplikatif karena sengaja didekatkan dengan corak
kehidupan mayarakat setempat.
Fenomena ini memberikan MDT kebebasan dalam mengatur skema penerapan
kurikulum sekaligus strategi pendidikan yang ingin diimplementasikan. Karena sifatnya
yang akomodatif, MDT harus lebih luwes dalam menerapkan pendekatan. Hal ini
dimaksudkan agar penyelenggaraan pendidikan tidak sampai tercabut dari masyarakat. Dan
dengan sendirinya, MDT mampu menjadi jembatan penghubung antara pengetahuan yang
berorientasi nilai keagamaan dengan dinamika sosial kemasyarakatan.
Lebih jauh, dalam penyelenggaraan pendidikan juga terdapat skema yang lebih luas.
Ada beberapa bagian dari cita-cita pendidikan yang jarang disentuh oleh lembaga formal
maupun non-formal. Di antaranya adalah usaha pendidikan dalam menjadikan belajar
sebagai laku hidup (life style), belajar sebagai cara untuk memecahkan masalah (problem
sloving). Tidak tersentuhnya bagian ini tentu bukan karena hal ini tidaklah penting.
Melainkan model pendidikan yang diterapkan di Indonesia selalu berangkat dari asumsi.
Atau dalam istilah lain disebut dengan pendidikan objektif, yaitu pendidikan untuk
membangun banyak data (pengetahuan). Setiap mata pelajaran harus ditempuh dan harus
tuntas. Para peserta didik tidak diberikan ruang bagaimana setiap informasi atau
pengetahuan tersebut dapat saling terhubung dan menjadi satu-kesatuan yang lebih besar.
Penyeragaman yang terjadi di setiap jenjang pendidikan, yang berakar dari kurikulum
satuan pendidikan, telah mengantarkan pendidikan Indonesia lalai akan kemampuan yang
lain atau kompetensi setiap peserta didik. Aturan tersebut telah memisahkan pengetahuan
yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan yang ada di luar sekolah. Akibatnya, ilmu
pengetahuan yang diajarkan menjadi tidak aplikatif dan tidak kontekstual.
Pendidikan model ini selalu mengedepankan cara pendiktean dari pada pendidikan
itu sendiri. Banyak dari penyelenggara pendidikan yang abai bahwa kecenderungan setiap
individu adalah berbeda. Begitu juga dengan kompetensi yang mereka miliki. Asumsi
inilah yang kemudian mendorong setiap penyelenggara pendidikan selalu berangkat dari
kebutuhan (necessity), bukan berdasarkan keingintahuan (curiosity) peserta didik.
Penegasian dari pendidikan objektif adalah pendidikan subjektif. Pendidikan model
ini berangkat dari apa yang ingin diketahui oleh peserta didik sebagai sisi substansial
dalam membangun kerangka pengetahuan. Mereka mau belajar karena ilmu yang dipelajari
sangat dekat dengan kehidupan mereka (kontekstual learning). Ketika mereka sudah
terbiasa mengerahkan pengetahuannya untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada,
dengan sendirinya mereka juga akan belajar memecahkan masalah (problem solving). Pada
akhirnya mereka akan terdorong untuk belajar lebih giat dan lebih cepat. Mereka akan
mengekplorasi ilmu dan pengetahuannya lebih jauh karena merasa memerlukannya.
Dengan begitu, usaha pendididikan dalam rangka membangun laku belajar akan dapat
lebih cepat tercapai.
Pada akhirnya, kesadaran semacam ini tentu tidak akan menghasilkan apa-apa jika
kita tidak berusaha mewujudkannya. Dibutuhkan segenap keberanian demi terciptanya
konsep pendidikan yang mampu menjadikan ilmu pengetahuan sebagai intrumen penting
dalam kehidupan dan melihat kehidupan sebagai ruang yang tak pernah habis untuk belajar
ilmu pengetahuan.

Daftar Rujukan
Azyumardi Azra. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Melenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Fauzi, Anis & Nikmatullah, Cecep. 2016. Pelaksanaan Pendidikan Madrasah Diniyah di
Kota Serang. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 1 (2). 159-160.
Panuluh, Sabrang MD & Tejo, Sujiwo. 2022. Masa Depan Uang, Masa Depan Sabrang.
Youtube: Sujiwo Tejo. Diakses pada tanggal 11 Juni 2022 (tersedia di
https://www.youtube.com/watch?v=pu6CcWd2XGs).
Raharjo, Amrih Setyo. 2012. Proses Pendidikan Madrasah Diniyah Pondok Pesantren An-
Nawawi Purworejo. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Drivennya adalah
1. Kebutuhan (necessity)
2. Keingintahuan (curiosity)

Pengetahuan datang dari ketidaktahuan.


Pingin tahu, dan belajar lebih cepat.

Egaliter keilmuan  Semua orang adalah guru. Semua rumah adalah sekolah. Semua
orang bisa belajar dari apa saja dan dari mana saja.

Fungsi dasar Madrasah Diniyah setidaknya terdiri atas dua hal, yaitu
1. Sebagai media tranformasi pengetahuan agama
2. Sebagai media pemelihara tradisi Islam

Skenario tahapan
1. Pengaturan Madrasah Diniyah
1. Pembuatan Kurikulum Pendidikan
2. Ketersediaan Sarana
3. Penentuan Kualifikasi Guru
2. Tolak Ukur Madrasah Diniyah
Penentuan Pembelajaran melalui indikator pembelajaran yang telah ditetapkan oleh
satuan pendidikan Madrasah Diniyah
3. Pengawasan Manajemen Madrasah Diniyah
Pengawasan dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh Yayasan, baik secara
administratif, finansial, maupun akademik.

Dalam fungsi pokok pendidikan di masyarakat, Madrasah Diniyah memiliki peran yang
antara lain sebagai berikut.
1. Fungsi Sosialisasi: Madrasah Diniyah berusaha memahamkan pada peserta didik
tentang bagaimana memahami sekaligus mempraktikkan nilai-nilai moral yang
hidup di masyarakat, nilai-nilai keagamaan, dam nilai-nilai budaya bangsa.
2. Fungsi Penyekolahan (schooling): Madrasah Diniyah memiliki peran untuk
memberikan bekal pengetahuan khususnya di bidang keagamaan, agar peserta didik
memiliki kompetensi tertentu untuk kehidupan yang akan datang.
3. Fungsi Pendidikan (education): Madrasah Diniyah memiliki peran dalam
menciptakan sekaligus membangun kelompok terpelajar khususnya dalam bidang
keagamaan, yang berakhlaqul karimah, yang memiliki kontribusi dalam
perkembangan kebudayaan dan tuntutan modernisasi.

Tujuan Pendidikan
Sistem pendidikan (sekolah) mendidik calon anggota masyarakat yang produktif
Sekarang, sudah saatnya menjadi lebih baik

Etos pendidikan Finlandia  diajari untuk bahagia

Sedangkan, paradigma tentang bagaimana memandang hidup adalah tugas orang tua.
Pendidikan memandang segala murid dengan asumsi
Pendidikan Objektif: membangun banyak data
Pendidikan Subjektif: membangun laku belajar, dia mau belajar karena konteks
(kontekstual learning), karena keingintahuannya, karena dia ingin mengekplorasi

Sekolah memiliki tugas membangun pengetahuan (data) yang terstruktur.


Adapun yang diperlukan anak adalah ketahanan menghadapi kegagalan.
Pendidikan Tematik sudah selangkah lebih maju, karena mulai terkoneksi.

Paradigma Korban: saya adalah akibat, saya adalah korban dari..


Paradigma Agen: apa yang bisa saya lakukan?

Menyelesaikan sesuatu adalah habbit dari kecil, segala sesuatu yang sudah dimulai harus
dirampungkan.
Snap Desicion: keputusan cepat,
Logical Desicion: keputusan disertai alasan dan argumentasi

Cara belajar paling buruk adalah diajari


Cara belajar paling baik adalah mengajari

Kalau kamu mau menyampaikan sesuatu, minimal kamu

Revolusi Prancis  Pertumbuhan Science: Paradigma Reduksionis, komponen e opo wae


yo?

Metakognitif  pengetahuan adalah bagian dari sistem yang lebih besar, dan dibangun
dari subjective learning, belajar adalah laku, perilaku, gaya hidup, cari tahu

Yang bisa dilakukan di sekolah, anak itu dari SD sampai kuliah itu adalah mencatat,
Ilmu baru itu dikontekskan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya.
Dalam setiap informasi selalu hubungkan 5W+1H

Perubahan terjadi karena mobilisasi ide

=======================================
Rincian Pekan Efektif
1 Jam Pelajaran (JP) : 20 menit
1 Hari : 3 JP
1 Pekan : 6 Hari
1 Semester : 18 Pekan Efektif (PE)
1 Tahun Ajaran : 2 Semester
=======================================
1 Tahun Ajaran : 2 Semester
1 Semester : 18 Pekan Efektif (PE)
1 Pekan : 6 Hari
1 Hari : 1 Pertemuan
1 Pertemuan : 3 JP
1 Jam Pelajaran (JP) : 20 menit
=======================================
1 Semester : 18 PE + 2 PU + 2 PL + 2 PS
PE : Pekan Efektif
PU : Pekan Ujian
PL : Pekan Liburan
PS : Pekan Sunyi
Pengasuh : KH. Muh. Muhdi
Dewan Pelindung : Moh. Siroj, S (Ketua Yayasan Islahuddin)
Dewan Penasihat : Ketua Komite

Kepala Diniyah : Muhammad Alfian Aruban Muzaqqi


Sekretaris : Asnal Muna
Bendahara : Vina Ainul Basyiroh

Dewan Astidz : Syamsul Maarif


Abdulloh Abbas
M. Nur Salim
M. Aris Shodiqin
Chusnul Athor

Kelas 1 Diniyah
1. Pegon -
2. Tauhid - Aqoid 50
3. Tarikh - Lentera Kegelapan
4. Akhlak - Birulwalidain
5. Fiqih - Fasholatan Lengkap
6. Tajwid - Jet Tempur

Kelas 2 Diniyah
1. Fiqih - Mabadi' Fiqih
2. Tauhid - Aqidatul Awam
3. Tarikh - Lentera Kegelapan
4. Akhlak - Akhlaqul Banin
5. Fiqih - Mabadi' Fiqih
6. Tajwid - Hidayatus Sibyan, Tuhfatul Athfal
PERANGKAT PENDIDIKAN

1. Kalender Pendidikan
2. Rincian Pekan Efektif (RPE)
3. Program Tahunan
4. Program Semester
5. Silabus
6. Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP)
7. Evaluasi Pembelajaran

Rincian Pekan Efektif


1 Jam Pelajaran (JP) : 20 menit
1 Hari : 3 JP
1 Pekan : 6 Hari
1 Semester : 18 Pekan Efektif (PE)
1 Tahun Ajaran : 2 Semester
=======================================
1 Tahun Ajaran : 2 Semester
1 Semester : 18 Pekan Efektif (PE)
1 Pekan : 6 Hari
1 Hari : 1 Pertemuan
1 Pertemuan : 3 JP
1 Jam Pelajaran (JP) : 20 menit
=======================================
1 Semester : 18 PE + 2 PU + 2 PL + 2 PS
PE : Pekan Efektif
PU : Pekan Ujian
PL : Pekan Liburan
PS : Pekan Sunyi
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : Madrasah Diniyah Taklimiyah


Kelas/ Semester : Diniyah 1/Ganjil
Fan Ilmu : Fiqih
Kitab : Mabadi’ Fiqih
Tema :
Jumlah Pertemuan/JP :
Metode Pembelajaran : Ceramah dan Diskusi

Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
Pendahuluan Orientasi : Guru memulai kegiatan pembelajaran 15 Menit
dengan berdoa dan bertawasul
Apersepsi : Guru memberikan pemahaman kepada
peserta didik tentang materi yang akan
disampaikan, sekaligus mengaitkan dengan
pemahaman atau pengalaman yang dimiliki
peserta didik.
Motivasi : Guru memberikan motivasi akan pentingnya
menguasai materi ini dengan baik, agar
peserta didik dapat menerapkannya di
kehidupan sehari-hari
Inti Penyampaian Materi Pembelajaran 30 Menit
Eksplorasi
 Guru menyampaikan materi pembelajaran dengan
metode ceramah (sorogan/halaqoh), sedangkan
peserta didik menyimak.
 Guru menjelaskan materi sekaligus mengaitkannya
dengan beberapa contoh yang dekat dengan
kehidupan peserta didik
Elaborasi
 Guru mengajak peserta didik untuk memahami setiap
materi yang diajarkan secara kontekstual (contextual
learning)
 Guru meminta peserta didik untuk menjelaskan materi
yang diajarkan sekaligus
 Guru meminta peserta didik untuk memberikan
contoh atau pengalaman yang pernah dijumpai
 Guru menjadi fasilitator dalam membantu peserta
didik memecahkan masalah yang sedang dihadapi
berikut solusi alternatifnya lengkap dengan
argumentasinya.
Konfirmasi
 Guru menanyakan tentang sesuatu yang belum
dipahami oleh peserta didik
 Bersama dengan peserta didik, guru memberikan
pelurusan pemahaman, penguatan, dan menarik
kesimpulan
Penutup  Peserta didik dan guru bersama-sama melakukan 15 Menit
refleksi
 Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada
pertemuan berikutnya

Anda mungkin juga menyukai