Anda di halaman 1dari 5

Mahasiswa milenial berkarakter santri

1. Apa itu mahasiswa


2. Apa itu santri
3. Perilaku mahasiswa santri
4. Tantangan seorang mahasantri
5. Peran santri dalam menjawab era milenial
6. Mahasantri sebagai insan pelopor

Santri adalah sekelompok orang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan “Ulama”. Santri adalah siswa
atau mahasiswa yang dididik dan menjadi pengikut dan pelanjut perjuangan ulama yang setia. Di tengah
tantangan global dewasa ini santri hadir sebagai implementasi terhadap umat dan bangsa sebagaimana
ajaran Islam yang rahmatan lill ‘alamin, yaitu Islam yang wasatiyah dan Islam yang Ahlusunnah wal
Jamaah.

Hal ini dilakukan sebagaimana mewujudkan esensi dan eksitensi santri sebagai insan pelopor yang
bernafaskan Islam. Pesantren yang ada di Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu
salafiyah atau tradisional dan halafiyah atau modern. Kedua-duanya memiliki perbedaan dan persamaan
masing-masing. Ke dua duanya tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.

Namun pensantren salafiyah atau tradisional dan halafiyah atau modern memiliki perbedaan yang
sangat mendasar. Jika pesantren salafiyah adalah sebutan bagi pondok pesantren yang hanya mengkaji
kitab-kitab kuning. Pesantren salafiyah identik dengan pesantren tradisional (klasik) yang berbeda
dengan pesantren halafiyah atau modern dalam segi metode dan infastrukturnya.

Sementara pesantren khalafiyah atau modern merupakan pengembangan dari pesantren salafiyah
dimana di dalamnya dikorelasikan dengan kemajuan zaman seperti sekarang ini. Artinya, jelas kedua-
duanya pesantren salafiyah dan khalafiyah memiliki perbedaan yang mendasar, jika pesantren salafiyah
hanya berfokus terhadap pengembangakan kajian kitab-kitab kuning sementara pesantren khalafiyah
mengkombinasikan antara kajian-kajian kitab kuning dan ilmu sains pada umumnya.

Sementara persamaan dari keduanya adalah sama sama mengakaji kitab kuning atau ilmu agama.
Tentunya santri memang sangat diharapkan mampu menjadi tinta emas bagi kemajuan bangsa dan
agama. Apabila menelisik sejarah santri ke belakang sebelum kemerdekaan, peran santri sudah menjadi
lukisan sejarah yang tidak dapat dipisahkan untuk bangsa Indonesia.

Terlebih di zaman memasuki ke abad 21 dimana arus globalisasi memberikan dampak signifikan
terhadap perubahan sendi dari berbagai lini. Untuk itulah santri dituntut mampu beradaptasi dengan
pola perkembangan yang semakin pesat. Dan istilah pesantren khalfiyah atau modern sangat berirama
dengan adaptasi zaman abad 21 dimana santri tidak hanya mampu menguasai dalam ranah ilmu agama
melainkan mampu menjadi aktor-aktor kemajuan Islam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hal ini akan mampu diperoleh apabila menguasai segala perubahan perkembangan zaman di dalamnya
yang dapat dikorelasikan antara ilmu agama dan iptek untuk kemajuan bangsa dan agama islam.

Merefleksi terhadap kejayaan-kejayaan pada masa emas-emas islam pada abad-abad yang lalu (750 M-
1258 M) adalah ketika para filsuf, ilmuan, dan insinyur dari dunia islam menghasilkan banyak kontribusi
terhadap perkembangan tekhnologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada
ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka sendiri.

Diantara pencapaian para ilmuan pada periode ini antara lain perkembangan trigonometri ke dalam
bentuk moderennya, kemajuan pada bidang optik, kemajuan di bidang astronomi, yang tokoh-tokoh
didalamnya seperti Al-Biruni, Ibnu Al-Haitham, Al-Farghani, dan masih banyak lagi menjadi inpirasi buat
santri pada generasi di abad 21. Termasuk peran santri pra kemerdekaan Indonesia tidak akan terlepas
dalam buku sejarah Indonesia.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pangeran Dipenogoro yang notabenya berasal dari kaum santri,
berani memandu perang melawan imperialis Belanda. Tentunya paradigma santri yang berpegang teguh
terhadap Al-Quran dan Hadist menjadi landasan moral untuk bergerak dalam bentuk implementasi
keummatan dan kebangsaan.

Dalam menjawab arus perkembangan zaman di tengah cengkeraman digital saat ini yang jelas
paradigma santri dalam penguasaan ilmu agama dan iptek menjadi power penting yang harus dimiliki
dalam menjawab tantangan zaman di dalamnya. Karena pengaruh akibat perkembangan zaman yang
menghasilkan produk seperti tekhnologi, kebudayaan, hingga bergesernya sendi-sendi kehidupan dalam
segala aspek menuntut santri untuk matang secara intelektual, keterampilan dan karakter untuk
menyongsong di kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.

Makanya tidak menjadi berlebihan apabila ada rekontruksi dalam mereflek sejauh mana peran santri
hari ini untuk menghasilkan paradigma konsep dalam berfikir dan implementasi. Kehidupan dari
berbagai aspek dengan dinamika berbagai problem di dalamnya tentu sangat membutuhkan kontribusi
santri yang pro aktif sebagai insan pelopor perkembangan zaman.

Kemampuan segudang ilmu baik agama dan iptek akan menjadi nilai power untuk menjawab persoalan
hidup. Berbicara karakter yang kental dengan didikan hidup dalam pengabdian yang tulus dan ikhlas,
tentunya santri tidak diragukan lagi.

Kehidupan santri yang juga kental dengan pola hidup istiqomah dalam mencari ilmu hingga menjalankan
Sunnah-Sunnah Nabi sudah menjadi konstruk kebiasaan di pesantren sehingga karakter yang kuat pasti
dimiliki oleh santri. Hal tersebutlah yang menjadi pondasi kuat dalam memiliki peran yang sangat
penting dalam membangun insan yang tidak hanya maju dalam ilmu iptek namun mampu membangun
masyarakat yang memiliki nilai budi pekerti yang terintegritasi dalam akhlak yang mulia sesuai syariat
Islam.
Model pendidikan santri sudah beralih atas tranformasi yang mengkombinasikan ilmu agama dengan
digital. Tinggal bagaimana kemudian merevitalisasi hingga merekontruksi dengan melakukan
pembenahan-pembenahan di dalamnya. Paradigma santri yang sistemik turut atas Al-Qur’an dan Hadist
di era globalisasi harus menjadi nafas perjuangan. Penguasaan iptek tanpa dilandasi dengan ilmu agama
maka tentu akan menjadi potensi yang menyimpang dan rawan disalahgunkan oleh manusia.

Maka perlu penguasaan iptek diimbangi dengan dasar ilmu agama yang bersumber terhadap Al-Qur’an
dan Hadist sebagai landasan implementasi. Laju kompetisi yang sangat cepat dan kompetisi yang ketat
menjadi tantangan sendiri bagi santri dan pesantren.

Menjadi santri bukan berarti menjauhkan diri dari perkembangan zaman. Justru santri harus produktif
dalam mengahdapi tantangan zaman. Karena santri sebagai insan pelopor sangat diharapkan kontribusi
yang nyata oleh masyarakat. Peran santri dimulai dalam menciptakan produktifitas spiritual terhadap
dirinya sangat dibutuhkan untuk menghasilkan energi positif.

Produktifitas spiritual adalah berhubungan dengan dimensi vertikal seperti menjaga ketaatan dalam
ibadah shalat, zakat, puasa, dan lainnya. Karena hal ini akan memberikan implikasi terhadap rasa sosial
santri secara kolektif. Selain itu, penguasaan ilmu agama yang dipadukan dengan ilmu umum seperti
sains dan iptek menjadi suatu keniscayaan yang harus dimiliki oleh santri.

Santri sebagai insan pelopor perlu membaca realitas dinamika perubahan akibat digitalisasi yang
memberikan efek yang besar dalam mempengaruhi moral masyarakat menjadi hal penting bagi santri
untuk tetap berdakwah yang berkemajuan dengan nilai-nilai Islam.

Terlebih pula selain dampak dari digital, Isu-isu aktual yang hari ini muncul terutama narasi yang
dihubungkan dengan keagamaan garis-garis tentu, katakanlah ekstremisme, radikal, dan lain-lain sangat
dibutuhkan kepekaan oleh santri sebagai pencerah yang moderat untuk agama dan bangsa, karena
santri berperan ke segala dimensi kehidupan.

………………………………………………………………………………………………………………………………

Kuliah oke, nyantri oke, prestasi oke, bermartabat. Kalau melihat “santri mahasiswa” timbullah suatu
pertanyaan, apakah santri mahasiswa kuliah dengan memakai sarung? Ataukah mahasiswi yang
mengenakan cadar? Mari kita berfikir relative sejenak, melihat makna, dan syarat sebagai santri dan
bagaimana seseorang disebut mahasiswa, jika disatukan memang akan ada perbedaan.

Menyandang gelar mahasiswa adalah kebanggaan tersendiri sekaligus menjadi sebuah tantangan yang
sangat besar. Mahasiswa merupakan seseorang yang sedang berproses mencari ilmu seluas mungkin,
mahasiswa adalah calon pemimpin generasi masa depan. Menjadi mahasiswa harus merubah mindset
lebih baik, jiwa, kepribadian, serta kesehatan mental yang kuat. Kedudukan mahasiswa memiliki posisi
teristimewa di masyarakat terutama dalam perannya menjadi agen perubahan (agent of change) dalam
berbagai bidang. Ciri khas mahasiswa adalah berfikir secara kritis dan berfikir analisa sebelum
melangkah.
Santri adalah siswa yang terdidik, terpelajar, dan penggerak serta melanjutkan perjuangan ulama. Santri
merupakan gelar kemuliaan, kebanggaan, kehormatan karena orang memperoleh gelar santri bukan
karena sebagai pelajar/ mahasiswa melainkan memiliki akhlak atau budi pekerti yang tidak dimiliki oleh
orang awam pada umumnya.

Mahasiswa yang santri atau santri yang mahasiswa mengusahakan semua mahasiswa harus
mengamalkan dan mempertahankan amaliyah-amaliyah serta menjunjung tinggi ajaran Ahlusunnah Wal
Jama’ah dalam kehidupan sehari-hari kapan pun dan dimana pun mereka berada.

Sebagian besar dari mahasiswa Universitas Islam di Indonesia memiliki latar belakang pendidikan
pesantren, kampus perlu mewadahi amaliyah-amaliyah tersebut yang meliputi; tahlilan, sholawatan,
maulidan, khotmil Qur’an, pembacaan rotib, manaqib yang sudah membudaya di lingkungan kampus.

Apabila mahasiswa dan santri dikombinasi menjadi santri mahasiswa bukankah suatu yang luar biasa?
Dimana santri mahasiswa yang tetap menjadi mahasiswa dengan tanpa meninggalkan ekstensi
kesantriannya juga menjadi santri tanpa mengabaikan kodratnya sebagai mahasiswa.

Penguasaan dimensi profane yang terwakili dengan penguasaan iptek, dan dimensi sakral yang diwakili
iman dan taqwa adalah suatu tindakan yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, keberadaan
pesantren menjadi partner yang ideal bagi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan kualitas
pendidikan sebagai basis pelaksanaan transformasi social melalui penyediaan sumber daya manusia
yang qualified dan berakhlakul karimah yang menekankan nilai-nilai religious moderat yang
mencerminkan nilai Islam Rahmatal Lil Alamin.

Sebagaimana dawuh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah yang selalu diutarakan dalam berbagai
kegiatan yakni: “Jadilah kalian santri yang intelektual dan intelektual yang santri, berfikir modernis dan
berhati sufistik.” Menjadi pelajar, menjadi cendekiawan, menjadi ilmuwan, konsultan, guru, dokter yang
ala santri, dll. Setiap kegiatan diorentasikan untuk mewujudkan mahasiswa yang beretika ala santri
supaya bisa menjadi key person agar mempunyai keberagaman inklusif dan penyejuk dunia, rahmatal lil
alamin.

Persatuan santri dengan kejelasan jati dirinya diharapkan memberikan nuansa baru dalam dunia aktifis
mahasiswa, memberikan warna dan nuansa tersendiri dalam wahana yang ada. Forum seperti ini
seharusnya menjadi momentum guyub bersama para santri untuk meneguhkan jati diri dan peran
sertanya untuk membuat acara-acara yang bermanfaat dilingkup dunia perkuliahan.

Banyak sekali para santri ketika memasuki dunia perkuliahan sering kali membuat mereka lupa akan jati
diri seorang santri. Semestinya, menjadi mahasiswa bukan berarti melunturkan jati diri santri, akan
tetapi jati diri santri pada diri mahasiswa akan mengembangkan potensinya dalam masyarakat.
Dengan hadirnya mahasiswa dari dasar jurusan berbagai perguruan tinggi yang berbeda-beda telah
melahirkan berbagai macam konsep pemikiran, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri
yang sekarang telah menjadi mahasiswa atau yang telah dikenal sebagai mahasantri.

Kata “santri” harus senantiasa melekat pada diri santri mahasiswa, karena dengan mengingat kata
“santri” akan menjadikan santri mahasiswa selalu berfikir kritis, tidak lagi beroreantasi bedonisme
(berhura-hura, foya-foya, kesenangan belaka), tidak lagi terjerumus dalam kerugian yang besar, tidak
akan pula tertarik mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutinitas pacaran saja (dating routine),
nongkrong (hangout), nge-gosip tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang selalu up to date
dan meng-up grade di negeri ini, maka seyogyanya santri mahasiswa tidak merupakan generasi “gagal
product” yaitu generasi yang telah terbuai, tenggelam, dan mengabaikan terhadap tugas serta tanggung
jawab sebagai mahasiswa yang menyandang gelar “santri.”

Nursolichis Majdid berpendapat mengenai kata “santri” yaitu “sastri” bahasa sanskerta yaitu melek
huruf (membaca dan menulis), “cantrik” berarti orang yang selalu aktif mengikuti aktifitas mendampingi
dan tinggal bersama guru, karena budaya pesantren masih memelihara system hubungan antara guru
dan murid yang berlangsung seumur hidup bagi kyai maupun santri. Perasaan hormat dan kepatuhan
murid kepada gurunya berlaku sangat mutlak dan tidak akan putus, karena apabila santri memutus
hubungan dengan gurunya sendiri dianggap sebagai aib paling besar, dan berakibat hilangnya
kebarokahan dari guru dan ilmu pengetahuan yang tidak manfaat. Bagi santri adalah “tabu” bahwa ia
“bekas santri”.Semua santri harus menanamkan sikap tawadlu’ terhadap sang kyai, begitu pula ketika
kita sudah menjadi mahasiswa sikap tawadlu’ terhadap dosen pun wajib hukumnya. Begitulah
seharusnya mahasiswa milenial berkarakter santri. Sebagaimana dawuh KH. Ahmad Yasir “ojo dadi
santri meri, ojo dadi santri trayoli, dadio santri sejati!”.

Anda mungkin juga menyukai