Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas dalam Mata Kuliah Ilmu
Pendidikan Islam

Oleh Kelompok 12
1. Istinganah 2000031224
2. Anisa Nur Rahmawati 2000031234
3. Fatihah Al Mutamaddinah 2000031237

Dosen Pendamping
Dr. Yusutria, S.Pd.I, M.A

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2021
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam ialah suatu sistem kependidikan mencakup seluruh
aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah
menjadi pedoman hidup manusia baik dunia dan akhirat. Sejak bangsa Indonesia
merdeka pendidikan Agama Islam menjadi pelajaran wajib peserta didik.
Pendidikan Islam ialah subsitem dari pendidikan nasional, oleh karena itu
pengembangan pemikiran dan aksi pendidikan Islam harus memperkokoh
pendidikan nasional, serta memperkuat ciri khas pendidikan Islam. (Ali, 2017)
Islam transformatif adalah Islam yang mengubah, membentuk, serta
menjadikan. Mengubah artinya memberikan perubahan kondisi masyarakat yang
termanginalkan oleh modernisasi dan pembangunan. Membentuk karakter
manusia agar lebih humanis serta menjadikan masyarakat berdasarkan cita-cita
Islam. (Pransiska, 2018)
Pendidikan Islam mempunyai cita-cita yaitu terbentuknya manusia
beriman, cerdas, kreatif, serta memiliki keluhuran budhi. Pendidikan Islam juga
mempunyai fugsi yaitu mengarahkan kehidupan dan keberagamaan manusia
kearah kehidupan Islam yang ideal. Jika upaya mengalami kegagalan dalam
mengantarkan manusia ke arah yang bersandar nilai-nilai keagamaan maka akan
munculnya prilaku negatif. (Pransiska, 2018)
Islam sangat mementingakan pendidikan, dengan adanya pendidikan yang
benar dan berkualitas akan menghasilkan output yang berakhlak serta mampu
menjadikan masyarakat yang beradab.
Pendidikan Islam transformatif muncul karena mengalami diferensiasi
serta pembelahan yang tajam yaitu adanya gerakan modern Islam yang
mengintroduksi sistem pendidikan modern serta disisi lain kaum tradisional
berupaya mempertahankan sistem pendidikan Islam tradisional. Makalah singkat
ini akan membahas tentang pengertian pendidikan Islam transformatif, latar
belakang berdirinya pendidikan Islam transpormatif, metode-motode,
karakteristik, tipologi, serta dimensi pendidikan Islam transformatif.
B. Pengertian Pendidikan Islam Transformatif
Menurut pandangan Abuddin Nata Islam transformatif adalah Islam yang
mengubah, membentuk, dan menjadikan. Mengubah artinya memberikan
perubahan kondisi masyarakat yang termanginalkan oleh modernisasi dan
pembangunan. Membentuk karakter manusia agar lebih humanis serta menjadikan
masyarakat berdasarkan cita-cita Islam. (Pransiska. 2018)
Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai gugusan, pemikiran konsep serta
serentetan aksi yang dilakukan oleh seseorang, komunitas, serta lembaga untuk
menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri peserta didik maupun satuan-satuan
sosial dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bertolak dari konsep Islam
transformatif dan pendidikan Islam, maka pendidikan transformatif dapat
dirumuskan sebagai gugusan pemikiran, konsep, serta serentetan aksi yang
dilakukan oleh seseorang, komunitas, serta lembaga untuk menanamkan nilai-nilai
Islam humanis dalam diri peserta didik maupun satu kesatuan sosial, sehingga
output mampu memecahkan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial
ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, dan
berorientasi keadilan sosial. (Ali. 2017)

C. Latar Belakang Lahirnya Pendidikan Islam Transformatif


Pergulatan pendidikan Islam di bumi Indonesia sudah amat panjang,
sehingga diperlukan periodisasi, pembabakan waktu tertentu, untuk menjawab
secara akurat. Secara historis, arus pendidikan Islam Indonesia pada awal abad ke-
20 mengalami diferensiasi dan pembelahan yang tajam, yaitu dengan kehadiran
gerakan modern Islam yang mengintroduksi sistem pendidikan Islam modern baik
dalam bentuk madrasah maupun sekolah umum di satu sisi, dan di sisi lain kaum
tradisional terus berupaya mempertahankan sistem pendidikan Islam tradisional
pesantren. Dialektika, pergumulan, dan saling belajar antar dua mazhab/golongan
pendidikan Islam, modernis vs tradisionalis terus berlangsung setidaknya hingga
dekade 1970, saat pemerintah Orde Baru mulai mengkonsolidasikan kekuasaan
untuk menggencarkan ideologi pembangunan atau pembangunanisme. (Ali, 2017)
Paska dekade 1970-an penggolongan antara pendidikan Islam modern
versus pendidikan Islam tradisional sudah tidak relevan lagi. Kedua golongan
sudah saling belajar dan saling mengakomodasi. Kalangan tradisionalis bisa
menerima dan mengadopsi sistem persekolahan yang diintegrasikan dengan
sistem pesantren. Situasi yang tidak jauh berbeda juga dialami kaum modernis
yang tidak sungkan-sungkan melirik dan mengadopsi pesantren untuk
memperkuat sistem madrasah ataupun sekolah umum yang diselenggarakannya.
Ringkasnya, pembelahan modernis-tradisionalis untuk melihat peta pendidikan
Islam kontemporer sudah tidak sesuai lagi, karena situasinya sudah berubah. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu pemetaan baru atas situasi pendidikan Islam. (Ali,
2017)
Amin Abdullah, mantan rektor UIN Sunan Kalijaga menggolongkan arus
pemikiran pendidikan (Islam) Muhammadiyah menjadi 4 kategori, yaitu:
paradigma kritis-hermenuitis, paradigma esensialis, paradigma
rekonstruksionisme, dan paradigma progresif. Meski tidak secara eksplisit
menyebut pendidikan Islam transformatif, tetapi ada titik-titik kesamaan dengan
kategori pendidikan kritis-hermeneuitis. (Ali, 2017)

D. Tipologi Pemikiran Islam Kontemporer


Jika ditinjau dari segi karakteristik pemikirannya, aliran pendidikan Islam
dapat di derivasikan menjadi lima macam tipologi pemikiran sebagai berikut:
1) Tipologi Perenial-Esensialis Salafi (tekstualis-salafi)
Tipologi pemikiran ini bersumber dari Al Qur’an dan as Sunnah,
yang lebih menonjolkan wawasan Islam era salaf (berorientasi
masa silam), sehingga lebih bersifat regresif-konservatif yakni
mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai era salafi. Aliran ini
berupaya memahami ajaran dan nilai mendasar yang terkandung di
dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi dengan melepaskan diri, kurang
begitu mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan
masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang
mengitarinya.
2) Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi (tradisionalis-madzhaby)
Tipologi pemikiran ini bersumber dari Al-Qur’an dan as Sunnah,
yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang
tradisional dan cenderung untuk mengikuti aliran, pemahaman atau
doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya atau pendahulunya
yang dianggap sudah relatif mapan (establist) dan tepat atau sesuai.
3) Tipologi Modernis
Tipologi pemikiran modernis lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif, dan dinamis
dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari
lingkungannya, dalam arti bagaimana pendidikan Islam mampu
menyiapkan peserta didik yang mampu melakukan rekontruksi
pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang
inteligen dan mampu melakukan penyesuaian kembali sesuai
tuntutan dan kebutuhan lingkungan pada masa sekarang.
4) Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Tipologi pemikiran ini bersumber dari Al Qur’an dan as Sunnah,
yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu
dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan
mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa
sekarang yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan
kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan
pemikiran pendidikan Islam dalam merespon tuntutan
perkembangan IPTEK dan perubahan sosial yang ada.
5) Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi pemikiran ini juga bersumber dari Al Qur’an dan as
Sunnah yang progresif dan dinamis, lebih menonjolkan sikap yang
proaktif dan antisipatif dalam menghadapi perkembangan IPTEK,
tuntutan perubahan, dan berorientasi pada masa depan dan
menuntut kreativitas.
Tipologi pemikiran dan aksi Islam Indonesia pada dekade 1980-an yang
disusun M. Syafii Anwar menyebut secara langsung keberadaan Islam
transformatif (transfomatik) sebagai salah satu tipe pemikiran yang hidup di alam
pemikiran Islam Indonesia. Penjelasan Syafii Anwar tentang Islam transformatif
yaitu, pemikiran transformatif bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam
yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang
dapat memotivasi secara terus-menerus, dan mentransformasikan masyarakat
dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis
maupun teoritis. Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para
pemikir transfomatif bukanlah pada aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam,
tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial ekonomi,
pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan
sosial dan sebagainya. (Ali, 2017)
Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai gugusan pemikiran, konsep, dan
serentetan aksi yang dilakukan oleh seseorang, komunitas, dan lembaga untuk
menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri peserta didik maupun satuan satuan
sosial dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Bertolak dari konsep
Islam transformatif dan pendidikan Islam, maka PIT dapat dirumuskan sebagai
gugusan pemikiran, konsep, dan serentetan aksi yang dilakukan oleh seseorang,
komunitas, dan lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang humanis dalam
diri peserta didik maupun satuan satuan sosial, sehingga out put mampu
memecahkan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial ekonomi,
pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, dan berorientasi
keadilan sosial. (Ali, 2017)
Apabila merujuk pada pemahaman Pendidikan Islam Transformatif
sebagai usaha sadar untuk mentransformasikan masyarakat secara menyeluruh
melalui pendidikan semesta dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya yang bercirikan keadilan sosial dan partisipasi rakyat, maka kita
dapat mengidentifikasi sejumlah tokoh atau orang-orang yang bisa digolongkan
dan dimasukkan dalam tipologi Pendidikan Islam Transformatif. Orang-orang
yang dimaksud adalah: Moeslim Abdurraman, M. Dawam Rahardjo,
Kuntowijoyo, Mansour Fakih, Adi Sasono, M. Amin Azis, dan Masdar F. Masudi.
Nama-nama inilah yang telah meletakkan fondasi PIT di Indonesia. Bila harus
menyebut satu tokoh yang paling jelas warna pendidikan Islam dan
transformatifnya, dia adalah Moeslim Abdurrahman. (Tirta, 2021)
Secara kultural religius hanya Masdar yang berasal dari lingkungan
tradisional NU, selebihnya berasal dari lingkungan modernis Muhammadiyah.
Meskipun demikian, pesantren menjadi wacana paling seksi bagi pegiat PIT. Hal
ini tidak terlepas dari isu global yang kemudian merembes ke tingkat nasional,
yaitu wacana pendidikan alternatif, di tengah semakin dominannya sistem
persekolahan18. Menguatnya wacana pendidikan alternatif ini menemukan kaki
berpijak yang kokoh di dunia pesantren. Pesantren dinilai dapat memberi harapan
sebagai pendidikan alternatif yang otentik, karena mencerminkan Islam sekaligus
keaslian pribumi (indigenous). Tercatat ada dua LSM yang mencurahkan
perhatian pada riset dan publikasi pesantren, baik melalui buku maupun majalah,
yaitu LP3ES dan P3M. (Tirta, 2021)
Pesantren menjadi tema seksi dan menarik perhatian peneliti, pemerintah,
dan publik pada dekade 1980-an bukan hanya karena dinilai sebagai pendidikan
alternatif, tetapi karena pada saat sama orientasi pembangunan Orde Baru mulai
bergeser dari semata-mata mengejar pertumbuhan kepada orientasi yang lebih
holistik dengan mempertimbangkan pemerataan. Pesantren yang mewakili dunia
pedesaan dan rakyat kecil dianggap sebagai lembaga yang perlu ditangani serius
agar bisa menjadi wahana untuk menumbuhkan partisipasi rakyat dan
memberdayakan lingkungan sekitar. Ringkas, pesantren dinilai mewakili rakyat
pedesaan yang dalam orientasi pembangunan holistik harus dilibatkan. (Ali, 2017)
Tema-tema penting yang menjadi perhatian utama kalangan Pendidikan
Islam Transformatif antara lain adalah pesantren sebagai pendidikan alternatif
sekaligus model pembangunan dari bawah, Islam dan transformasi sosial,
penguatan hak-hak rakyat, kemandirian rakyat, pengurus utamaan hak-hak
perempuan, pemberdayaan ekonomi umat dan keadilan sosial. (Ali, 2017)

E. Karakteristik Pendidikan Islam Transformatif


Pendidikan Islam transformatif, yaitu pendidikan Islam yang mengakses
perubahan dengan pertimbangan prinsip-prinsip liberalisasi, humanisasi dan
transendensi yang bersifat profetik. Pendidikan Islam transformatif mengharuskan
adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam faktor-faktor
pendidikan, baik dari orientasi, peserta didik, pendidikan, kurikulum, strategi,
evaluasi, lingkungan, dan sumber belajar. Dalam hal tujuan, pendidikan harus
diorientasikan untuk menjadikan individu yang berkesadaran kenabian (Profetik),
yang mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan
dianggap berhasil jika mampu menghasilkan individu yang kritis terhadap
persoalan lingkungan dengan spiritualitas Islam.
Beberapa karakteristik Islam transformatif antara lain: (Tirta, 2021)
1) Bertujuan kepada upaya dan usaha dalam rangka merealisasikan
cita-cita Islam yaitu membawa kerahmatan kepada seluruh alam.
2) Adanya keseimbangan antara ajaran Islam yang bersifat ritual
dengan misi Islam.
3) Menegaskan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai demokratis.
4) Fokus pada problematika kehidupan sosial masyarakat yang aktual.
Ciri-ciri atau karakteristik Pendidikan Islam Transformatif antara lain:
1) Pembelajaran sepanjang hayat.
2) Pendidikan yang menekankan pada transformasi sosial.
3) Manusia sebagai subjek perubahan.
4) Berorientasi pada komunitas dan budaya.
5) Menggunakan metode dialog dengan tujuan memancing kesadaran
kritis.
Kelima hal ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga
apabila salah satu tertinggal maka konsep pendidikan Islam transformatif akan
pincang.

F. Metode Pendidikan Islam Transformatif


Yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam ialah semua cara yang
digunakan dalam upaya mendidikan. Kata “metode” disini diartikan secara
luas.Karena mengajar adalah salah satu bentuk upaya mendidik maka metode
yang dimaksud disini mencakup juga metode mengajar.Dalam literatur ilmu
pendidikan khususnya ilmu pengajaran, dapat ditemukanbanyak metode
mengajar.Adapun metode mendidik selain dengan cara mengajar tidak terlalu
banyak dibahas oleh para ahli. Sebabnya mungkin metode mengajar lebih jelas,
lebih tegas, objektif, bahkan universal. Sedangkan metode mendidik selain
mengajar lebih subjektif, kurang jelas, kurang tegas, lebih bersifat seni dari pada
sebagai sains. Jadi sebenarnya untuk kepentingan pengembangan teori-teori
pendidikan Islam. (Juliansyah, 2021)
Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana dalam
menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Tanpa metode,
suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efesien dan efektif dalam
kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.Metode atau metoda dari
bahasa Yunani, yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui atau melewati dan
hodosberarti jalan atau cara. Metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui
untuk mencapai tujuan tertentu. (Juliansyah, 2021)
Jika dahulu pendidikan Islam memakali metode konvensional dalam
pembelajaran, maka era digital ini pendidik merasa senang karena dalam
pembelajaran pendidik mampu berinovasi dan banyak menghasilkan variasi
metode dan media yang bisa dipakai. Para pendidik juga berpendapat bahwa; jika
para pendidik mampu dan bijak dalam menggunakan teknologi yang ada pada era
digital ini, secara otomatis akan membantu pendidik dalam mempermudah kerja
atau aksi dalam melakukan sesuatu untuk menghidupkan proses pembelajaran,
khususnya menerapkan metode pendidikan Islami di era digital ini. (Amalia,
2020)
Jika dahulu pendidikan Islam cenderung teacher center (seperti halnya
metode ceramah dan halaqah dan sorogan) maka dengan adanya transformasi
pendidikan Islam ini pembelajaran menjadi student center (seperti metode
kooperatif atau kerjasama, CTL dan lain sebagainya). Pendidik dalam penelitian
ini mampu berinovasi dengan metode pebelajaran baru seperti information search
dari berbaga media sosial kemudian mengemukakan pendapat masing-masing
melalui informasi yang diperoleh. Tranformasi pendidikan Islam dalam ranah ini
membuka kesempatan kepada pendidik untuk berkreasi dan berinovasi dalam
proses pembelajarannya. Pendidik juga harus aktif dan aktual secara terus
menerus dengan informasi yang ada di media sosial dan memperluas wawasan
supaya mampu memberikan solusi dan kebijakan dalam pengambilan kesimpulan
dalam proses pembelajaran. (Amalia, 2020)
G. Dimensi Pendidikan Islam Transformatif
Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa “al-umur bi maqashidiha”
bahwa setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana
yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukan bahwa pendidikan seharusnya
berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada
sederetan materi. Karena itulah, tujuan pendidikan Islam menjadi komponen
pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan
komponen-komponen pendidikan yang lain. (Masykur, 2020)
Abd al-Rahman Shaleh menyebutkan tujuan pendidikan Islam dapat
diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu dimensi pendidikan jasmani (al
ahdaf al-jismiyah), dimensi pendidikan ruhani (al-ahdaf al-ruhaniyah), dimensi
pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah), dimensi pendidikan sosial (al-ahdaf al-
ijtimaiyah). Penulis menganggap penting untuk menambahkan dua dimensi
pendidikan lagi, yaitu pendidikan akhlak (moral), dan pendidikan estetika
(keindahan). (Masykur, 2020)
1. Dimensi pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)
Pertama, yang perlu diperhatikan adalah aspek jasmani (kesehatan badan).
Tanpa ditunjang oleh kesehatan badan tidak mungkin pembentukan pribadi dapat
terwujud secara sempurna. Hadis Nabi Muhammad saw pun menyatakan:

‫يف‬ َّ ‫ْال ُم ْؤ ِمنُ ْالقَ ِويُّ َخ ْي ٌر َوأَ َحبُّ إِل هللاِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ِن ال‬
ِ ‫ض ِع‬
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
daripada orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing (dari keduanya)
ada kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang berguna bagimu, mohonlah
pertolongan kepada Allah, dan jangan menjadi lemah.” (HR. Muslim)
2. Dimensi Pendidikan Ruhani (kejiwaan) (al-ahdaf al-ruhaniyah)
Kematangan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh kondisi
kejiwaannya. Kondisi kejiwaan yang stabil, tidak mudah terpancing oleh emosi
dan amarahnya, merupakan faktor utama yang sangat menunjang. Rasulullah saw
bersabda:

) ‫ب (رواه البخاري و مسلم‬ َ ‫ك نَ ْف َسهُ ِع ْن َد ْال َغ‬


ِ ‫ض‬ ُ ِ‫د الَّ ِذي يَ ْمل‬sُ ‫ إِنَّ َما ال َّش ِدي‬،‫د بِالصُّ رْ َع ِة‬sُ ‫ْس ال َّش ِدي‬
َ ‫لَي‬
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang
kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
3. Dimensi pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah)
Yang dimaksud dengan pendidikan akal disini adalah upaya
mengembangkan potensi kognitif. Menurut fitrahnya, manusia memiliki
intelligence. Intelligence adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah. Allah swt sering memperingatkan manusia
untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat afala ta’qilun,
afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tadabbarun, dan sebagainya, karena daya
dan fitrah intelek ini lah yang dapat membedakan antara manusia dan hewan. Oleh
karenanya pendidikan akal adalah merupakan aspek penting dalam pembentukan
kepribadian manusia.
Tahapan pendidikan akal ini adalah; (i) pencapaian kebenaran ilmiah (ilm
al-yaqin) (al-Takatsur: 5); (ii) pencapaian kebenaran empiris (ain al yaqin) (al-
Takatsur: 7); (iii) pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya
sebagai kebenaran filosofis (haqq al-yaqin) (al-Waqiah: 95).
4. Dimensi Pendidikan Sosial (al-ahdaf al-ijtimaiyah)
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang
menjadi bagian dari komunitas sosial. Identitas individu di sini tercermin sebagai
”al-nas” yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Pendidikan sosial
kemasyarakatan sebagai kelanjutan dari upaya pembentukan kepribadian, tidak
lain dimaksudkan juga sebagai pencerminan tujuan yang hendak dicapai oleh
ajaran Islam. Manusia adalah makhluk sosial atau anggota dari suatu masyarakat.
Rasulullah telah menanamkan rasa tanggungjawab manusia terhadap
masyarakatnya dengan sabdanya dalam haditsnya yang diriwayatkan dari Jabir
berikut:

ِ َّ‫اس أَ ْنفَ ُعهُ ْم لِلن‬


‫اس‬ ِ َّ‫َخ ْي ُر الن‬
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
(lainnya).”
Secara Fitrahnya manusia memiliki fitrah sosial, kecenderungan manusia
untuk hidup berkelompok yang didalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas
yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan
masyarakatnya. Islam dapat disebut sebagai ide, sedangkan kebudayaan disebut
sebagai realita. Realita yang ideal adalah realita yang terdekat dengan ide,
sehingga membentuk kebudayaan masyarakat yang seratus persen islami.
Walaupun wujud kebudayaan bermacam-macam dan bervariasi substansinya tidak
menyalahi ide Islam. Macam-macam budaya ini harus menjadikan umat Islam
untuk saling menghormati dan menghargai. Karena perbedaan kebudayaan dalam
wilayah sosial kemasyarakat merupakan hal yang niscaya dan tidak mungkin
dapat ditolak oleh umat Islam.
5. Dimensi Pendidikan Akhlak (moralitas)
Akhlak merupakan fondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan
pribadi manusia seutuhnya. Pendidikan yang mengarah pada terbentuknya pribadi
berakhlak, merupakan hal pertama yang harus dilakukan, sebab akan melandasi
kestabilan kepribadian manusia secara keseluruhan. Bahkan Nabi saw
mengatakan: keimanan seseorang tidak akan sempurna, bila tidak disertai dengan
akhlak yang baik:

‫أَ ْك َم ُل ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ إِ ْي َمانًا أَحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا َو ِخيَا ُر ُك ْم ِخيَا ُر ُك ْم لِنِ َسائِ ِه ْم ُخلُقًا‬
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang
paling baik kepada isteri-isterinya”. (HR. at-Tirmidzi, no.1162)
6. Dimensi Pendidikan Estetika (keindahan)
Keindahan adalah faktor yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Ia
adalah perlambang kesenangan perasaan dan kepuasan batin manusia.
Berdasarkan firman Allah SWT:

ِ ‫ْرفُوا ۚ ِإنَّهُ اَل ي ُِحبُّ ْال ُمس‬


َ‫ْرفِين‬ ِ ‫يَا بَنِي آ َد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َواَل تُس‬
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. al-A‘raf [7]: 31)
Sekarang bagaimana konsep Islam mengenai estetika? Estetika itu sendiri
adalah suatu konsep, pandangan, atau teori mengenai keindahan. Tentu saja
kaitannya dengan kreativitas seni. Seni bisa dimasukkan sebagai hal-hal ghair al-
ibâdah. Karena itu seni pada dasarnya boleh, kecuali yang jelas dilarang. Umat
Islam sudah lama melupakan prinsip ini, karena itu instinknya selalu saja
"dilarang atau tidak dilarang". Padahal, asalkan bukan ibadah, mestinya boleh
dulu, baru dicari dalilnya dilarang atau tidak. Begitu juga seni. Kalau ditarik ke al-
Qur'an, di sana dikatakan bahwa memang makhluk yang paling tinggi itu ialah
manusia dengan sebutan ahsan-u taqwîm, yang bisa diterjemahkan sebagai “dalam
bentuk yang paling indah”. Oleh karena itu nilai estetika sesungguhnya adalah
nilai-nilai yang sudah melekat pada diri setiap manusia, yang harus ditumbuh
kembangkan agar mencapai bentuknya yang sempurna.

H. Kesimpulan
Pendidikan Islam transformatif lahir pada abad ke-20 karena mengalami
diferensiasi dan pembelahan yang tajam, yaitu dengan adanya gerakan modern
Islam yang mengintroduksi sistem pendidikan modern, dan sisi lain kaum
tradisonal berupaya mempertahankan sistem pendidikan Islam tradisonal.
Pendidikan Islam Transformatif ialah gugusan pemikiran, konsep, serta
serentetan aksi yang dilakungan seseorang, komunitas, serta lembaga untuk
menanamkan nilai-nilai Islam humanis dalam diri peserta didik, maupun sosial.
Dimensi yang digunakan dalam pendidikan Islam transformatif seperti dimensi
pendidikan jasmani, dimensi pendidikan ruhanai, dimensi pendidikan akal,
dimensi pendidikan sosial, dimensi pendidikan akhlak, serta dimensi estetika.
Karakteristrik pendidikan Islam transformatif ialah bertujuan kepada
upaya serta usaha dalam rangka merealisasikan cita-cita Islam yaitu membawa
kerahmatan kepada seluruh alam, adanya keseimbangan antara ajaran Islam yang
bersifat ritual dengan misi Islam, menegaskan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-
nilai demokratis, fakus pada problem kehidupan sosial masyarakat yang aktual.

Daftar Pustaka
Ali, M. (2017). Arus Pendidikan Islam Transformatif Di Indonesia:Sebuah
Penjajagan Awal. SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an Dan Budaya, 29(1),
1–14.
http://journals.ums.ac.id/index.php/suhuf/article/download/4930/3264

Amalia, R. (2020). Transformasi Pendidikan Islam Era Milenial. Jurnal


Pendidikan Islam 1 (2). 46-47
https://ejurnal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/ziryab/article/view/639

Juliansyah. (2021). Pemikiran Zakiah Darajat Tentang Metode Pendidikan Islam.


Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung.
http://repository.radenintan.ac.id/15691/

Masykur, F. (2020). Dimensi Dimensi Pendidikan Dalam Islam. Tarbawi (3). 45-
49
https://123dok.com/document/zllo98rz-dimensi-dimensi-pendidikan-dalam-islam-
oleh-fuad-masykur-sekolah-tinggi-agama-islam-binamadani-tangerang.html

Rofiq, M. N. (2019). Aliran, Tipologi dan Teori Pendidikan Islam. FALASIFA :


Jurnal Studi Keislaman, 10(1), 153–188.
https://eprints.walisongo.ac.id/807/2/083111095_BAB1.pdf

Tirta, D. (2021). Tarbiyah, F., Keguruan, D. A. N., Islam, U., & Raden, N.
http://repository.radenintan.ac.id/15434/1/PERPUS%20PUSAT%20BAB
%201%20DAN%202.pdf

Toni Pransiska, (2018). Pendidikan Islam Transformatif Syeikh Nawawi Al-


Batani: Upaya Mewujudkan Generasi Religius-Saitifik, Jurnal Ilmiah
Didaktika 18(2), 13
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/didaktika/article/view/3241

Anda mungkin juga menyukai