Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

IDI/KEPENDIDIKAN ISLAM 1
Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin
Dosen : Rita Pranawati

Disusun oleh Kelompok 4:


Nama Anggota Kelompok
1. Yola Alfrida S
(1001125198)
2. Rachmatia Yudha Ningsih (1101125069)
3. Reni Herawati
(1101125070)
4. Sariningtyas Dwi Utami (1101125074)
5. Suci Ramadhani
(1101125078)
6. Vanny Teguh Avturida (1101125147)
Kelas/Prodi : 7G - Pendidikan Matematika
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2013

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, juga
diakui sebagai kekuatan yang dapat membantu masyarakat mencapai
kemegahan dan kemajuan peradaban, tidak ada suatu prestasi pun
tanpa peranan pendidikan. Kejayaan Islam di masa klasik telah
meninggalkan jejak kebesaran Islam di bidang ekonomi, politik,
intelektualisme, tradisi-tradisi, keagamaan, seni, dan sebagainya, tidak
terlepas dari dunia pendidikan, begitu pula dengan kemunduran
pendidikan Islam, telah membawa Islam berkubang dalam
kemundurannya.
Kajian tentang pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW amatlah
penting untuk ditelaah kembali sebagai rujukan dan pijakan dalam
melaksanakan pendidikan di masa kini dan masa yang akan datang,
agar norma-norma dan nilai-nilai ajaran Islam tetap utuh selamanya.
Profil Rasulullah SAW baik sebagai peserta didik atau murid maupun
sebagai pendidik atau guru, potret Rosulullah ini merupakan motivasi
dan panduan bagi umat Islam dalam melajutkan pendidikan. Proses
pendidikan tidak terlepas dari dua komponen dari pendidik dan peserta
didik, dalam hal pendidikan Islam Rasulullah SAW adalah pendidik
pertama dan utama dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi
ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan
emosional yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai mukjizat luar
biasa, yang manusia apapun dan dimanapun tidak dapat melakukan
hal yang sama.
Hasil pendidikan Islam periode Rasulullah SAW terlihat dari
kemampuan murid-muridnya (para sahabat) yang luar biasa. Misalnya,
Umar bin Khatthab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Abu
Hurairah ahli hadis, Salman Al-Farisi ahli perbandingan agama, dan Ali
bin Abi Thalib ahli hukum dan tafsir, dan kesinambungan pendidikan
Islam yang dirintis Rosulullah SAW berlanjut sampai pada periode
tabiin, dan terbukti ahli ilmuan bertambah banyak bermunculan.
Gambaran dan pola pendidikan Islam di periode Rasulullah SAW
pada fase Mekah dan Madinah merupakan sejarah masa lalu yang
perlu diungkapkan kembali, sebagai bahan pertimbangan, sumber
gagasan, gambaran strategi dalam menyukseskan pelaksanaan
pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah pendidikan Islam pada masa Rasulullah
SAW ?
2. Bagaimanakah sejarah pendidikan Islam pada masa Khulafaur
Rasyidin ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Pola pendidikan pada masa Rasulullah SAW tidak terlepas dari
metode, evaluasi, materi, kurikulum, pendidik, peserta didik, lembaga
dasar, tujuan dan sebagainya yang berkaitan dengan pelaksanaan
pendidikan Islam, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Pelaksanaan Pendidikan Islam pada fase Mekah
Sebelum Nabi Muhammad SAW memulai tugasnya sebagai Rasul,
yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah telah
mendidik lewat Malaikat Jibril dan mempersiapkannya untuk
melaksanakan
tugas
tersebut
secara
sempurna,
melalui
pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan
masyarakat lingkungannya, pada posisi ini Nabi Muhammad sebagai
murid yang diajari oleh Malaikat Jibril yang diutus oleh Allah SWT.
Dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, beliau mampu secara
sadar
mengadakan
penyesuaian
diri
dengan
masyarakat
lingkungannya, tetapi beliau tidak larut sama sekali kedalamnya.
Nabi Muhammmad SAW memulai melakukan pendidikan sebagai
murid, atau beliau menerima materi pelajaran dari Allah SAW lewat
malaikat Jibril AS sejak beliau menerima wahyu yang pertama pada
bulan Ramadhan di Gua Hira, hal ini sesuai dengan pernyataan
firman Allah SWT surah Al-Baqarah ayat 185 :


Artinya
: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil).
Adapun materi yang diterima pertama kali itu adalah surat
Al-Alaq ayat 1 s/d 5 ;




Artinya
: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Ayat ini merupakan peringatan dan pengetahuan bagi umat
manusia tentang awal penciptaan manusia dari segumpal darah dan
sesungguhnya di antara kemurahan Allah SWT adalah mengajarkan
kepada umat manusia sesuatu yang belum diketahui. Allah
mengangkat dan memuliakan manusia dengan ilmu, oleh karena itu
melalui ayat ini Allah SWT menganjurkan bahkan mewajibkan
supaya manusia agar melakukan membaca dan belajar tentang
segala permasalahan kehidupan di dunia dan di akhirat.
Perintah dan petunjuk tersebut pertama-tama tertuju kepada
Nabi Muhammad SAW tentang apa yang harus beliau lakukan, baik
terhadap dirinya maupun terhadap umatnya. Itulah petunjuk awal
kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau memberikan peringatan
kepada umatnya. Kemudian bahan atau materi pendidikan
selanjutnya diturunkan berangsur-angsur, sedikit-demi sedikit.
Semuanya itu disampaikan dan diajarkan oleh Nabi, mula-mula
kepada kerabatnya dan teman sejawatnya dengan sembunyisembunyi. Setelah banyak orang memeluk Islam, lalu Nabi
menyediakan rumah Al-Arqam bin Abil Arqam untuk tempat
pertemuan sahabat-sahabat dan pengikutnya. Di tempat itulah
pendidikan islam pertama dalam sejarah pendidikan Islam. Setiap
kali menerima wahyu, segera beliau sampaikan kepada umatnya,
diiringinya penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh bagaimana
pelaksanaannya. Intinya pendidikan dan pengajaran yang diberikan
Nabi selama di Mekah ialah pendidikan keagamaan dan akhlak serta
menganjurkan kepada manusia, agar mempergunakan akal
pikirannya untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan alam semesta sebagai anjuran pendidikan
aqliyah dan ilmiah.
Sejak itu peran Rasulullah SAW mulai bertambah, disamping
beliau sebagai murid yang sekali waktu beliau juga tetap belajar
kepada malaikat Jibril, selain itu beliau berperan sebagai guru atau
pendidik yang harus mengajar para sahabat. Sejarah menjelaskan

kepada kita bahwa pendidik khususnya pada Rasulullah SAW dan


para sahabat bukan merupakan profesi atau pekerjaan untuk
menghasilkan uang atau sesuatu yang dibutuhkan bagi
kehidupannya, melainkan ia mengajar karena panggilan agama,
yaitu sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT,
mengharap keridlaan-Nya, menghidupkan agama, mengembangkan
seruannya, dan menggantikan peranan Rasulullah SAW setelah
tiada dalam memperbaiki umat.
2. Pelaksanaan Pendidikan Islam Pada Fase Madinah
Hijrah dari Mekah ke Madinah bukan hanya sekedar berpindah
dan menghindarkan diri dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy
dan penduduk Mekah yang tidak menghendaki pembaharuan
terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung
maksud untuk mengatur potensi dan menyusun kekuatan dalam
menghadapi tantangan-tantangan lebih lanjut, sehingga akhirnya
nanti terbentuk masyarakat baru yang didalamnya bersinar kembali
mutiara tauhid warisan Nabi Ibrahim AS yang akan disempurnakan
oleh Nabi Muhaammad SAW melalui wahyu Allah SWT.
Kalau pembinaan pendidikan Islam di Mekah titik beratnya
adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu
Muslim, agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin
dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan pembinaan pendidikan Islam di Madinah pada
hakekatnya adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di
Mekah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar
dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial
politiknya merupakan cerminan dan pantulan sinar tauhid tersebut.
Cara Nabi dalam melakukan pembinaan dan pengajaran pendidikan
agama Islam di Madinah sebagai berikut :
a) Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu
kesatuan sosial dan politik.
Nabi Muhammad SAW mulai meletakkan dasar-dasar
terbentuknya masyarakat yang bersatu padu secara intern (ke
dalam), dan ke luar diakui dan disegani oleh masyarakat lainnya
(sebagai satu kesatuan politik). Dasar-dasar tersebut adalah :
1) Nabi Muhammad SAW mengikis habis sisa-sisa permusuhan
dan pertentangan antar suku, dengan jalan mengikat tali
persaudaraan diantara mereka. Nabi mempersaudarakan duadua orang, mula-mula diantara sesama Muhajirin, kemudian

diantara Muhajirin dan Anshar. Dengan lahirnya persaudaraan


itu bertambah kokohlah persatuan kaum muslimin.
2) Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nabi Muhammad
menganjurkan kepada kaum Muhajirin untuk berusaha dan
bekerja sesuai dengan kemampuan dan pekerjaan masingmasing seperti waktu di Mekah.
3) Untuk menjalin kerjasama dan saling menolong dalam rangka
membentuk tata kehidupan masyarakat yang adil dan
makmur, turunlah syariat zakat dan puasa, yang merupakan
pendidikan bagi warga masyarakat dalam tanggung jawab
sosial, baik secara materil maupun moral.
4) Suatu kebijaksanaan yang sangat efektif dalam pembinaan
dan pengembangan masyarakat baru di Madinah, adalah
disyariatkannya media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu
shalat jumat yang dilaksanakan secara berjamaah dan
adzan. Dengan sholat jumat tersebut hampir seluruh warga
masyarakat berkumpul untuk secara langsung mendengar
khutbah dari Nabi Muhammad SAW dan shalat jamaah jumat.
Rasa harga diri dan kebanggaan sosial tersebut lebih
mendalam lagi setelah Nabi Muhammad SAW mendapat
wahyu dari Allah untuk memindahkan kiblat dalam shalat dari
Baitul Maqdis ke Baitul Haram Mekah, karena dengan
demikian mereka merasa sebagai umat yang memiliki
identitas. Setelah selesai Nabi Muhammad mempersatukan
kaum muslimin, sehingga menjadi bersaudara, lalu Nabi
mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi, penduduk
Madinah. Dalam perjanjian itu ditegaskan, bahwa kaum Yahudi
bersahabat dengan kaum muslimin, tolong- menolong, bantumembantu, terutama bila ada serangan musuh terhadap
Madinah. Mereka harus memperhatikan negeri bersama-sama
kaum muslimin, disamping itu kaum Yahudi merdeka memeluk
agamanya dan bebas beribadat menurut kepercayaannya.
Inilah salah satu perjanjian persahabatan yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW.
b) Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan.
Materi pendidikan sosial dan kewarganegaraan Islam pada
masa itu adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
konstitusi Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjut
dan di sempurnakan dengan ayat-ayat yang turun selama
periode Madinah. Tujuan pembinaan adalah agar secara

berangsur-angsur, pokok-pokok pikiran konstitusi Madinah diakui


dan berlaku bukan hanya di Madinah saja, tetapi luas, baik dalam
kehidupan bangsa Arab maupun kehidupan bangsa-bangsa di
seluruh dunia.
c) Pendidikan anak dalam Islam.
Dalam Islam, anak merupakan pewaris ajaran Islam yang
dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW dan generasi muda
muslimlah yang akan melanjutkan misi menyampaikan Islam ke
seluruh penjuru alam. Oleh karenanya banyak peringatanperingatan dalam al-Quran berkaitan dengan itu. Diantara
peringatan-peringatan tersebut antara lain :

Pada surat At-Tahrim ayat 6 terdapat peringatan agar kita


menjaga diri dan anggota keluarga (termasuk anak-anak) dari
kehancuran (api neraka).

Pada surat An-Nisa ayat 9, terdapat agar jangan meninggalkan


anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya
menghadapi tantangan hidup.

Pada surat Al-Furqan ayat 74, Allah SWT memperingatkan


bahwa orang yang mendapatkan kemuliaan antara lain adalah
orang-orang yang berdoa dan memohon kepada Allah SWT,
agar dikaruniai keluarga dan anak keturunan yang
menyenangkan hati.

3. Lembaga Pendidikan dan Sistem Pembelajaran


Lembaga pendidikan Islam pada fase Mekah ada dua tempat,
yaitu : Darul Arqam/rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttab. Dalam
Sejarah Pendidikan Islam, istilah Kuttab telah dikenal dikalangan
bangsa Arab pra-Islam. Ahmad Syalaby mengatakan bahwa Kuttab
sebagai lembaga pendidikan terbagi dua, yaitu ;
Pertama, Kuttab berfungsi mengajarkan baca tulis dengan teks
dasar puisi-puisi Arab, dan sebagian besar gurunya adalah non
muslim Kuttab jenis pertama ini merupakan lembaga pendidikan
dasar yang hanya mengajarkan baca tulis. Pada mulanya pendidikan
Kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru atau di pekarangan
sekitar Masjid. Materi yang diajarkan dalam pelajaran baca tulis ini
adalah puisi atau pepatah-pepatah arab yang mengandung nilainilai tradisi yang baik. Adapun penggunaan Al-Quran sebagai teks
dalam Kuttab baru terjadi kemudian, ketika jumlah kaum Muslim
yang menguasai al-Quran telah banyak, dan terutama setelah

kegiatan kodifikasi pada masa kehalifahan Utsman bin Affan.


Kebanyakan guru Kuttab pada masa awal Islam adalah non muslim,
sebab Muslim yang dapat membaca dan menulis yang jumlahnya
masih sedikit sibuk dengan pencatatan wahyu.
Kedua, sebagai pengajaran Al-Quran dan dasar-dasar agama
Islam. Pengajaran teks Al-Quran pada jenis Kuttab yang kedua ini,
setelah qurra dan huffadh (ahli bacaan dan penhafal Al-Quran
telah banyak). Guru yang mengajarkan adalah dari umat Islam
sendiri. Jenis institusi kedua ini merupakan lanjutan dari Kuttab
tingkat pertama, setelah siswa memiliki kemampuan baca tulis.
Pada jenis yang kedua ini siswa diajari pemahaman Al-Quran,
dasar-dasar agama Islam, juga diajarkan ilmu gramatika bahasa
Arab, dan aritmetika. Sementara Kuttab yang dimiliki oleh orangorang yang lebih mapan kehidupannya, materi tambahannya adalah
menunggang kuda dan berenang.
Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat hijrah ke Madinah, salah
saatu program pertama yang beliau lakukan adalah pembangunan
sebuah masjid. Meslipun demikian, eksistensi Kuttab sebagai
lembaga pendidikan di Madinah, tetap dimanfaatkan setelah hijrah
ke Madianah. Bahkan materi dan penyajiannya lebih dikembangkan
seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang diterima Rasulullah
SAW, misalnya materi jual beli, materi keluarga, materi sosiopolitik,
tanpa meninggalkan materi yang sudah biasa dipakai di Mekah
seperti materi tauhid dan akidah.
Dalam sejarah Islam, masjid yang pertama kali dibangun Nabi
adalah Masjid At-Taqwa di Quba pada jarak perjalanan kurang lebih
2 mil dari kota Madinah ketika Nabi hijrah dari Mekah (QS. Al-Taubah
108). Rasulullah SAW membangun sebelah utara Masjid Madinah
dan Masjidil Haram yang disebut As-Suffah, untuk tempat tinggal
orang-orang fakir miskin yang tekun menuntut ilmu. Mereka dikenal
dengan Ahli Suffah. Pembangunan masjid tersebut bertujuan
untuk memajukan dan menyejahterakan kehidupan umat Islam. Di
samping itu, masjid juga memiliki multifungsi, di antaranya sebagai
tempat ibadah, kegiatan sosial-politik, bahkan lebih dari itu, masjid
dijadikan sebagai pusat dan lembaga pendidikan Islam.
Nakoesteen sebagaimana yang dikutip Hasan Asari mengatakan
bahwa pendidikan Islam yang berlangsung di masjid adalah
pendidikan yang unik karena memakai sistem halaqah (lingkaran).
Sang syekh biasanya duduk di dekat dinding atau pilar masjid,
sementara siswanya duduk di depannya membentuk lingkaran dan

lutut para siswa saling bersentuhan. Bila ditinjau lebiih lanjut, bahwa
sistem halaqah seperti demikian, adalah bentuk pendidikan yang
tidak hanya menyentuh perkembangan dimensi intelektual, akan
tetapi lebih menyentuh dimensi emosional dan spiritual peserta
didik. Adalah merupakan kebiasaan dalam halaqah bahwa murid
yang lebih tinggi pengetahuannya duduk di dekat Syekh, murid
yang level pengetahuannya lebih rendah dengan sendirinya akan
duduk lebih jauh, sementara berjuang belajar keras agar dapat
mengubah posisinya dalam konfigurasi halaqah-nya, sebab dengan
sendirinya posisi dalam halaqah menjadi sangat signifikan.
Meskipun tidak ada batasan resmi, sebuah halaqah biasanya teridiri
dari 20 orang siswa atau murid.
Metode diskusi dan dialog kebanyakan dipakai dalam berbagai
halaqah. Dikte (imla) biasanya memainkan peranan pentingnya,
tergantung kepada kajian dan topik bahasan. Kemudian dilanjutkan
dengan penjelasan oleh syekh atas materi yang lebih didiktekan.
Uraian disesuaikan dengan kemampuan peserta halaqah. Menjelang
akhir kelas, waktu akan dimanfaatkan oleh syekh untuk
mengevaluasi kemampuan peserta halaqah. Evaluasi bisa
berbentuk tanya jawab, dan terkadang syekh menyempatkan untuk
memeriksa catatan murid-muridnya, mengoreksi dan menambah
seperlunya. Kemajuan suatu halaqah ini tergantung kepada
kemampuan syekh dalam pengelolaan sistem pendidikan. Biasanya
apabila suatu halaqah telah maju, maka akan banyak dikunjungi
para peserta didik dari berbagai penjuru.
4. Materi dan Kurikulum Pendidikan Islam
Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah
kurikulum, ia mengandung materi yang diajarkan secara sistematis
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya antara
materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu bahanbahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam
suatu sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan
membuat lesson plan tidak cukup hanya mempunyai kemampuan
membuat rumusan tujuan pengajaran. Ia juga harus menguasai
materi pengajaran. Bahkan rumusan tujuan pengajaran itu diilhami
oleh antara lain materi pengajaran. Oleh karena itu, guru harus
menguasai materi pengajaran.
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah SAW baik di
Mekah maupun Madinah adalah Al-Quran, yang Allah wahyukan

sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang


dialami umat Islam saat itu. Karena itu dalam praktinya tidak saja
logis dan rasional tetapi juga secara fitrah dan pragmatis. Hasil dari
cara yang demikian itu dapat dilihat dari sikap rohani dan mental
para pengikutnya yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang
bermental dan semangat yang tangguh, tabah dan sabar, tetapi
aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam
perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini merupakan
kadar inti mubaligh dan pendidik pewaris Nabi yang brilian dan
militan dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.
Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan kepada
dua macam, yaitu materi pendidikan yang diberikan di Mekah dan
materi pendidikan yang diberikan di Madinah. Pada fase Mekah
terdapat tiga macam intisari materi yang diberikan di Mekah, yaitu :
Keimanan, Ibadah dan Akhlak. Intisari pendidikan agama yang
diterapkan Nabi di Madinah dapat diklasifikasikan yaitu
:
Pendidikan keimanan, Pendidikan ibadah, Pendidikan akhlak,
Pendidikan kesehatan (jasmani), Pendidikan kemasyarakatan
(sosial).
5. Metode Pengajaran Rasulullah SAW
Metode pengajaran ialah cara yang digunakan guru dalam
mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya
pengajaran. Oleh karena itu, peranan metode mengajar sebagai alat
untuk menciptakan proses mengajar dan belajar. Dengan metode
diharapkan tumbuh dengan berbagai kegiatan belajar siswa
sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain
terciptalah interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru-guru berperan
sebagai penerima atau pembimbing, sedangkan siswa berperan
sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses ini akan berjalan baik
kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Oleh
karenanya metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat
menumbuhkan kegiatan belajar siswa.
Untuk menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan dalam
mengajar para sahabatnya, Rasulullah SAW menggunakan
bermacam-macam metode. Hal itu dilakukan untuk menghindari
kebosanan dan kejenuhan siswa. Di antara metode yang diterapkan
Rasulullah SAW adalah :
1) Metode Keteladanan

Menurut Harun, salah satu tokoh pendidikan Islam Indonesia,


kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki empat kriteria
sebagai seorang pendidik, diantaranya
:
a) Sanggup member contoh keteladanan yang baik.
b) Menguasai ilmu-ilmu pengetahuan.
c) Menguasai pengetahuan tentang agama.
d) Menguasai pengetahuan umum.
Sebagai seorang guru (pendidik dan pengajar) harus dapat
memberikan keteladanan yang baik kepada peserta didiknya.
Dalam tercapainya kualitas yang baik dalam pengajaran harus
didasarkan pada akhlak dan tingkah laku dari seorang guru.
Dasar kaedah ini adalah bahwa pengajaran yang dilakukan
melalui keteladanan yang didapatkan oleh peserta didik dari
gurunya lebih baik dari pada sekadar menyampaikan pemikiran
melalui lisan kepada peserta didiknya. Begitu pula bila seorang
guru yang hanya memberikan nasehat-nasehat berupa akhlak
yang mulia, tetapi tingkah laku guru tersebut sangat berlawan
dengan yang disampaikannya, dapat menimbulkan kegagalan
dalam memberikan keteladanan terhadap peserta didik.
Sehingga untuk dapat dijadikan sebagai sebuah keteladan,
seorang guru harus dapat memberikan pemikiran-pemikiran
berupa
nasehat-nasehat
akhlak
serta
mampu
untuk
mengaplikasikannya pada kepribadiannya.
Melirik pada kata-kata berikut, Nabi Muhammad saw sebagai
seorang pribadi adalah contoh terbaik bagaimana Al-Quran
berjalan, bagaimana Al-Quran hidup dan dihidupkan dalam
kehidupan keseharian diharapkan seorang pendidik dan
pengajar mencontoh dari pribadi agung, Nabi Muhammad saw,
yang merupakan cerminan akhlak dari Al-Quran yang mulia.
Sehingga setiap peserta didik memeiliki sosok teladan yang baik
dan pantas untuk ditiru, yaitu gurunya sendiri, yang akan lebih
terkesan (menyentuh jiwa) pada jiwa peserta didik.
Dalam setiap penyampain materi-materi ilmu pengetahuan
perlu dihiasi dengan nilai-nilai akhlak. Dengan seorang guru yang
menjadi teladan bagi peserta didiknya dan perhatian seorang
guru dalam mendidik ahklak peserta didiknya maka generasi
yang terbentuk yaitu selain menguasai bidang-bidang tertentu
dalam ilmu pengetahuan, memiliki nilai-nilai akhlak (moralitas
yang baik) pula.

Perlu untuk ditekankan bahwa belajar dan mengajar dalam


kaca mata Rasulullah adalah mengubah prilaku dan mendidik
jiwa dan kepribadian manusia. Sehingga peserta didik memilki
tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.
Sebagai seorang guru (pendidik dan pengajar) untuk
menstransfer ilmu-ilmu pengetahuan, sepatutnya memiliki modal
dasar yaitu berupa ilmu pengetahuan yang akan diajarkan
kepada peserta didik. Hal ini adalah sebuah poin yang amat
penting dalam kelancaran sebuah proses belajar mengajar dan
merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya
tujuan pendidikan itu. Bila seorang guru tidak menguasai bahan
yang akan diajarkan, tidak mempunyai pemahaman tentang
sebuah ilmu pengetahuan, maka dikawatirkan akan terjadi
pembodohan (kesalahan pentransferan ilmu pengetahuan)
kepada peserta didik. Efeknya, peserta didik mendapat ilmu
pengetahuan yang salah (tidak sesuai dengan fakta atau
kebenaran).
Bahwasnya Nabi Muhammad saw mengecam pada seseorang
yang memberikan atau memberitakan sesuatau yang tidak
benar, yang tidak secara pasti ia ketahui tentang kebenarannya.
Oleh karena pentingnya faktor ini, maka diaharapkan, bahkan
diharuskan setiap guru untuk mempelajari (belajar) ilmu-ilmu
pengetahuan yang kelak akan ditransfer (diajarkan) kepada
peserta didik. Sehingga terciptalah generasi yang berilmu yang
akan tetap mewariskan dan terus mengembangkan ilmu
pengetahuan pada setiap generasi. Sehingga terbentuk generasi
yang memiliki tingkat kecerdasan rasio yang tinggi.
Ilmu agama adalah sebuah kebutuhan bagi setiap individu.
Agama Islam ditujukan pada setiap insan, mengenalkan
kepadanya siapa Tuhan mereka, apa hakekat hidup mereka, apa
dosa dan pahala itu, dan lain sebagainya. Dengan dimilikinya
(memahami) ilmu agama maka akan terciptalah ketenangan
batin pada diri seorang pribadi tersebut. Sehingga ilmu agama
tidak dapat dipisahkan dari setiap penyampaian ilmu
pengetahuan. Jadi seorang guru harus paham terhadap ilmu
agama Islam. Sehingga diharapkan akan dapat memberikan efek
positif terhadap peserta didik yang berupa pengetahuan ilmu
agama yang dapat diaplikasikan dengan amal berbuatan yang
baik dan benar. Dalam hal ini, maka diharapkan tercipta generasi
yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.

Pada zaman sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan


dan tekhnologi, sangat cepat dalam pencarian dan penyebaran
informasi, sehingga sebuah informasi itu dapat diakses oleh
siapaun dengan cepat dan mudah. Oleh sebab itu, maka seorang
guru harus senantiasa menambah wawasannya dengan
senantiasa menguasai dan menambah wawasan tentang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi.
Jadi, menjadi seorang guru adalah seseorang yang menjadi
keteladanan bagi setiap peserta didiknya, baik dari segi
akhlaknya dan keilmuannya.
2) Metode Pentahapan dan Pengulangan
Dalam menyampaikan ilmu-ilmu pengetahuan kepada peserta
didik, Nabi Muhammad saw tidak serta merta langsung
memberikan semua bahan materi yang ada. Namun, beliau
memberikan (menstransfer) ilmu tersebut melalui sistem
pentahapan. Sehingga peserta didik tidak mengalami kesulitan
dalam memahami ilmu yang diberikan. Melalui metode
pentahapan ini, peserta didik lebih dapat memahami materi yang
disampaikan secara maksimal daripada langsung tanpa sebuah
pentahapan. Beliau menyampaikan secara bertahap (sedikit
demi sedikit) hingga semua materi yang beliau ajarkan dapat
diterima dan dipahami dengan mudah dan lebih kuat dalam
ingatan peserta didik.
Rasulullah sangat memperhatikan urut-urutan pentahapan
dalam penyampaian bahan materi. Pada materi dasar, beliau
ajarkan pada penyampaian pada tahap awal. Setelah
tersampaikan, beliau menyampaikan materi yang berikutnya,
yang sesuai dengan urutan-urutan materi yang akan diberikan
oleh beliau. Bila peserta didik belum paham akan sebuah materi
maka Rasulullah tidak melanjutkan ke materi berikutnya sebelum
materi itu sudah peserta kuasai.
Diantara ilmu-ilmu pengetahuan yang disampaikan pada
setiap tahapan, beliau memerhatikan kesinambungan antar
materi pada tahap sebelumnya ke tahap berikutnya. Sehingga
ada hubungannya antara materi yang sebelumnya dengan
materi yang sesudahnya. Hal tersebut menjadi tidak
membingungkan peserta didik dalam memahami materi yang
sangat banyak dari Rasulullah.

Agar materi-materi yang telah diberikan tidak cepat hilang


dari ingatan para peserta didik, Nabi Muhammad saw sering kali
mengulang-ulang materi-materi yang sudah beliau sampaikan.
Hal tersebut sangat berguna untuk membantu agar tetap dapat
mengingat dan mengulang kembali apa-apa yang telah
diberikan. Karena pentingnya materi-materi yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad saw tersebut, maka beliau sering mengulangulang materi yang telah disampaikan agar peserta didik beliau
tidak lupa dan senantiasa dapat memahami materi-materi yang
diberikan oleh beliau.
3) Metode Tanya-Jawab dan Diskusi
Metode ini diterapkan oleh Nabi Muhammad saw dalam
rangka memberikan kesan perhatian kepada peserta didik,
memberikan motivasi, dan mengetahui potensi akal peserta didik
untuk dapat menjelaskan lagi apa yang telah peserta didik
ketahui. Dan metode ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur akan
pemahaman yang dikuasai peserta didik terhadap materi-materi
yang telah diberikan oleh Rasulullah (menyelami sejauh mana
tingkat kecerdasan dan pemahaman peserta didik).
Nabi Muhammad saw selalu membuka lebar atas pengajuan
pertanyaan dari peserta didik beliau dan Rasulullah senantiasa
memberikan jawaban kepada peserta didik beliau secara
proposional (ringkas) atas pertanyaan-pertanyaan yang peserta
didik ajukan. Terkadang pula Rasulullah memberikan jawaban
kepada peserta didik secara panjang lebar. Hal ini beliau lakukan
bila hal tersebut dianggap penting, agar peserta didik beliau
dapat mengetahui beberapa penjelasan tambahan atas jawaban
dari pertanyaan peserta didik, dimana jawaban tambahan
tersebut sangat berhubungan dengan jawaban yang ditanyakan
dan sangat bermanfaat bagi peserta didik beliau.
Metode tanya jawab berusaha menghubungkan pemikiran
seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi
pelaku dan pendengarnya, melalui dialog, perasaan dan emosi
pembaca akan terbangkitkan, jika topik pembicaraan disajikan
bersifat realistik dan manusiawi.
Dalam beberapa kesempatan, Nabi Muhammad SAW tak
jarang melontarkan kepada peserta didik beliau yang lain untuk
menjawab pertanyaan atas pertanyaan salah seorang peserta
didik beliau. Hal ini beliau lakukan untuk melatih peserta didik

beliau dalam menjawab beberapa masalah keilmuan. Dan yang


diharapkan oleh beliau adalah peserta didik ikut mengungkapkan
pandangan dan argumennya untuk menyelesaikan masalahmasalah ilmu pengetahuan. Setelah itu, barulah beliau
menjelaskannya secara lebih detail dan sensitif, supaya
penjelasan tersebut lebih kuat tertanam pada pemahaman dan
ingatan peserta didik beliau.
4) Metode Alat Peraga dan Eksperimen
Metode pengajaran Rasulullah ini adalah dengan cara
mendemonstrasikan sesuatu (alat peraga) oleh beliau ketika
hendak mengajarkan sesuatu. Dalam metode ini, cara yang
beliau
terapkan
adalah
dengan
menunjukkan
atau
mendemonstrasikan sesuatu yang menjadi objek pembahasan ke
hadapan peserta didik beliau. Dengan metode ini, dapat menarik
perhatian
peserta
didik
untuk
lebih
tergugah
dalam
memperhatikan apa yang sedang beliau ajarkan. Dan metode ini
dapat lebih mempermudah peserta didik untuk memahami
materi-materi yang sedang diajarkan oleh beliau.
Metode demonstrasi dimaksudkan sebagai suatu kegiatan
memperlihatkan suatu gerakan atau proses kerja sesuatu.
Pekerjaannya dapat saja dilakukan oleh pendidik atau peserta
didik yang diminta mempraktekkan sesuatu pekerjaan. Metode
demonstrasi bertujuan agar pesan yang disampaikan dapat
dikerjakan dengan baik dan benar. Metode demonstrasi dapat
dipergunakan dalam organisasi pelajaran yang bertujuan
memudahkan informasi dari model (model hidup, model simbolik,
deskripsi verbal) kepada peserta didik sebagai pengamat.
Dalam penerapan metode ini, Rasulullah terkadang
menggunakan alat-alat atau benda-benda yang ada di
lingkungan sekitar, dan terkadang pula beliau memanfaatkan
anggota-anggota tubuh beliau.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada peserta didik
beliau tentang suatu kaedah yang besar yaitu tentang ilmu
pengetahuan, dan menanamkan metode umum dalam penelitian
ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal tersebut merupakan
hasil perubahan dan pengalaman, pengamatan dan penelitian.
Oleh karena itu, diperlukan metode eksperimen untuk
mendapatkan hakekat ilmu pengetahuan.

Untuk menguatkan kaedah ini dan mengajarkannya serta agar


senantiasa terekam kuat dalam ingatan peserta didik, Nabi
Muhammad SAW membimbing peserta didik beliau untuk
melakukan suatu percobaan dan pengamatan, bukan hanya
sekedar menyampaikan teori.
5) Metode Situasional dan Kondisional
Ketika memberikan pengajaran kepada peserta didik,
Rasulullah senantiasa memperhatikan waktu dan kondisi yang
tepat, disesuaikan dengan waktu dan kondisi yang tepat bagi
peserta didik beliau. Hal ini bermanfaat agar peserta didik tidak
merasakan sebuah rasa kejenuhan. Bila timbul rasa kejenuhan
maka kelangsungan proses belajar mengajar menjadi tidak
maksimal, bahkan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, perlu
diantisipasi akan munculnya rasa kejenuhan tersebut.
Rasulullah
senantiasa
memanfaatkan
kesempatan
(momentum) yang sesuai atas hal yang hendak beliau ajarkan.
Beliau berusaha memadukan antara kesesuaian momentum dan
ilmu pengetahuan yang hendak diajarkan secara kondusif,
dengan harapan agar lebih jelas dalam memberikan sebuah
kepahaman keilmuan.
Dalam sudut pandang keseragaman kemampuan peserta didik
dalam memahami suatu transfer ilmu pengetahuan, Nabi
Muhammad saw sangat memperhatikan kondisi kompetensi yang
dimiliki oleh masing-masing peserta didik dalam setiap aktivitas
pengajaran. Beliau senantiasa memberikan pengajaran kepada
peserta didik beliau sesuai dengan kadar pemahaman peserta
didik. Beliau tidak mengajarkan kepada peserta didik pemula
sesuatu hal yang beliau ajarkan kepada peserta didik senior.
Beliau juga tidak mengucilkan peserta didik yang masih junior
terhadap peserta didik yang sudah senior.
6) Metode Membangkitkan Perhatian, Pujian dan Hukuman, dan
Nasehat dan Motivasi, serta Hadiah.
Dalam membangkitkan perhatian peserta didik, Rasulullah
menggunakan beberapa cara yaitu dengann cara mengulangi
penjelasan dan menunda jawaban, memanggil peserta didik,
memegang tangan atau bahu peserta ddidik, dan merubah
posisi. Hal ini dimaksudkan agar perhatian peserta didik menjadi
bertambah, serta demi mengarahkan pendengaran penglihatan,

dan hati peserta didik agar secara fisik dan psikologis lebih siap
dan lebih memperhatikan apa yang beliau ajarkan.
Ketika didapati ada peserta didik beliau yang menampilkan
sikap atau berbuatan yang tak semestinya ia lakukan, maka
dengan segera Rasulullah memperingatkannya. Namun bila sikap
dan berbuatan tersebut sudah terlampau batas kewajaran
(keterlaluan) maka Rasulullah pun mulai menampakkan
kemarahannya. Kemarahan disini bukanlah luapan emosi yang
tak terkendali, namun adalah sebuah sikap yang berupa jalan
untuk mendidik atau mengarahkan ke jalan yang benar.
Mendidik dengan Targhib dan Tarhib, kata targhib berasal dari
kata kerja ragghaba yang berarti; menyenangi, menyukai dan
mencintai, kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib
yang mengandung makna, suatu harapan untuk memperoleh
kesenangan,
kecintaan,
dan
kebahagiaan.
Semua
itu
dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan
kebahagiaan yang dapat merangsang atau mendorong
seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk
memperolehnya. Metode pengajaran ini memberikan dorongan
(motivasi) kepada peserta didik melakukan sesuatu kebajikan.
Dalam memberikan motivasi, beliau senantiasa mengupayakan
secara optimal dan totalitas agar motivasi tersebut dapat
terealisasi secara maksimal. Secara psikologi, cara itu akan
menimbulkan daya tarik yang kuat untuk menggapainya.
Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti;
menakut nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi
kata benda tarhib yang berarti; ancaman hukuman. Dalam
memberikan ancaman, beliu senantiasa mengupayakan agar
peringatan atau ancaman terebut senantiasa dihindarkan dan
menjadikan peserta didik terhindar dari perbuatan yang tak
berguna.
Dengan berdalil pada Al-Quran dan Al-hadits, bahwa setiap
insan yang mencari ilmu (belajar) akan mendapatkan balasan
yang berlipat-lipat dari Allah SWT dan mendapatkan kedudukan
yang mulia. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi pesrta didik
untuk senantiasa giat dalam menuntut ilmu.
B. Sejarah Pendidikan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Pola Pendidikan Masa Khulafaur Rasyidin

Di masa hayat Rasulullah seluruh Jazirah Arab telah masuk dalam


wilayah Islam. Tugas pemeliharaan, pembinaan, dan perluasan
selanjutnya menjadi kewajiban kafilah dan umat Islam pada
umumnya, termasuk urusan pendidikan umat. Prinsip-prinsip pokok
dan idealisme Islam, diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat,
hingga memberikan kesan mendalam yang hidup dalam jiwa dan
pribadinya masing-masing. Meskipun masih banyak pesoalanpersoalan yang belum terselesaikan oleh Nabi terutama ketika
wilayah Islam telah meluas keluar Jazirah Arab. Masalah-masalah
baru banyak bermunculan. Pada masa ini tempat bertanya sudah
tiada, jika mereka menjumpai masalah yang tidak ditemukan
jawabannya dalam Al-Quran dan Sunnah, mereka berusaha
berijtihad, sehingga memperoleh jawaban yang paling benar, tapi
meskipun berijtihad diperbolehkan oleh Rasulullah, mereka
senantiasa berhati-hati melakukannya dan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip pokok dan idealisme Islam. Terutama masalah
pendidikan yang merupakan usaha pewarisan ajaran Islam pada
generasi penerusnya, maka jika terdapat penyimpangan berarti
telah menaburkan benih-benih yang tidak dikehendaki akidah Islam
sendiri.
a) Masa Khalifah Abu Bakar (11 13 H)
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi masalah
umat cukup serius yang harus disegera diselesaikan dengan
tegas dan pasti. Kesulitan yang harus dihadapinya adalah kaum
murtad, orang yang mengaku dirinya sebagai nabi beserta
pendukungnya dan kaum yang tidak mau lagi membayar Zakat.
Selain menghadapi kaum pemberontak juga didorong oleh
rasa kewajiban melaksanakan amanah Rasulullah maka Abu
Bakar, memberangkatkan pasukannya ke Syiria yang telah
dipersiap sesaat sebelum Nabi wafat. Dalam menghadapi kaum
pemberontak, terlebih dahulu mereka dikirimi surat dengan
maksud untuk menginsafkan dan menyadarkan kembali kepada
jalan yang benar. Tetapi karena pemberontak itu tetap
membangkang maka tindakan kekerasan dari Khalifah Abu Bakar
tidak dapat dihindarkan lagi. Setelah kaum pemberontak berhasil
ditumpas maka tugas pendidikan memegang peranan penting.
Sebab penyelesayannya merupakan tugas dan wewenang
pendidikan.

Keberhasilan Abu Bakar menumpas pemberontak dan


pengiriman
ekspedisi
tentaranya
ke
Persia,
membuka
kemungkinan ekspedisi dakwah dan pendidikan Islam. Setelah
kemenangan operasi militer, dilanjutkan dengan konsolidasi dan
operasi teritorial terhadap penduduk yang baru dikalahkan.
Operasi teritorial ini sangat menguntungkan kepentingan
pengamanan wilayah dan dakwah serta pelaksanaan pendidikan
Islam.
Masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar tidak lama, tapi beliau
berhasil memberikan dasar-dasar kekuatan bagi perjuangan
perluasan dakwah dan pendidikan Islam.
b) Masa Khalifah Umar bin Al-Khattab (13 23 H)
Ketika Abu Bakar menjabat Khalifah Umar senantiasa
memberikan bantuan dan dukungan terhadap kebijakan yang
dijalankan Abu Bakar. Sesaat sebelum Abu Bakar meninggal,
beliau
menunjuk
Umar
sebagai
penggantinya
setelah
dimusyawarahkan dengan sahabat yang lainnya.
Meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluas pula
kebutuhan disegala bidang, untuk memenuhi kebutuhan itu
diperlukan tenaga manusia yang memiliki keterampilan dan
keahlian. Hal itu berarti butuh peranan pendidikan.
Pada masa khalifah Umar pendidikan Islam lebih maju dan
lebih luas serta lengkap dari keadaan sebelumnya. Sebelum
lahirnya agama Islam di Arab telah ada semacam sekolah yang
mengajarkan menulis dan membaca. Untuk mencegah
kesimpangsiuran pemahaman agama, baik yang menyangkut
dasar-dasar pokok iman, ibadah dan muamalah sudah mulai
dirintis. Al-Quran sudah dikumpulkan sejak Abu Bakar masih
hidup, usaha mengumpulkan hadis makin meningkat, meskipun
masih bersifat riwayat (oalis). Orang banyak berdatangan ke
Madinah untuk belajar hadis langsug dari para sahabat. Khalifah
Umar melarang para sahabat besar yang sangat dekat kepada
Rasulullah dan yang paling berpengaruh untuk meninggalkan
Madinah. Terkecuali atas izin khalifah dan dalam waktu yang
terbatas. Dengan demikian, penyebaran ilmu dan pengetahuan
para sahabat itu terpusatkan di Madinah. Tetapi tidak berarti,
bahwa penyebaran dan pendidikan Islam ke luar daerah
Madinah, kurang memiliki pengaruhnya. Melakukan dakwah dan

tablig serta mengajarkan agama Islam dengan giat. Larangan


Umar itu sebenarnya lebih bersifat politik.
Sejak zaman Rasulullah saw, para sahabat mempelajari isi
kandungan Al-Quran juga menghafalkannya dengan baik. Isi AlQuran itu benar-benar dihayatinya. Setelah kaum Muslim hijrah
ke Madinah, mereka yang telah hafal Al-Quran pergi mendatangi
kabilah-kabilah yang telah Islam untuk mengajarkan Al-Quran.
Langkah para sahabat ini didorong oleh rasa kewajiban untuk
menyebarluaskan ilmu yang telah dimilikinya, di samping
mendapat dorongan moril dari Rasulullah dengan sabda-Nya:
Sampaikanlah apa-apa yang telah kalian terima dari padaku,
meskipun satu ayat.
c) Masa Khalifah Usman Ibnu Affan (23 35 H)
Kegiatan pendidikan masih berjalan seperti yang dilakukan
khalifah sebelumnya. Hasil pendidikan yang dilaksanakan oleh
para sahabat Rasul, menghasilkan ulama tabiin. Pada masa
pemerintahan Khalifah Umar para sahabat Rasul tidak
diperkenankan keluar dari Madinah, sedang pada masa Khalifah
Usman larangan tersebut tidak berlaku lagi. Para sahabat Rasul
diperbolehkan pergi ke luar Madinah, menurut kesukaannya dan
menetap di mana saja yang mereka inginkan. Sikap Usman ini
dalam segi politik sebenarnya merugikan, sebab akan
menimbulkan hal-hal yang merugikan seperti yang dialami,
Usman sendiri. Di antara para sahabat yang tinggal diluar
Madinah mendapatkan kehormatan dan dimuliakan oleh
penduduk setempat. Selanjutnya menghidupkan rasa simpatik
yang
berlebihan
akhirnya,
menimbulkan
fanatisme
kepemimpinan. Dari segi pendidikan sikap Usman itu
menguntungkan. Di daerah mereka memberikan pelajaran ilmuilmu yang mereka miliki dari Rasulullah. Dan ini berarti bahwa
murid-murid yang berasal dari daerah itu, tidak perlu pergi ke
Madinah untuk menuntut ilmu.
Perluasan dan pengembangan materi pelajaran, memperoleh
pengaruh yang cukup kuat dari kondisi budaya daerah. Pengaruh
ini sangat bermanfaat untuk memperkuat argumentasi aqidah
agama dan untuk menghapus hal-hal yang menyimpang dari
ajaran agama Islam. Tetapi, kerugiannya bila pengaruh budaya
daerah itu dominan, justru akan memberikan jalan untuk
masuknya khufarat dan cerita-cerita israiliyah ke dalam ajaran

Islam, sehingga akhirnya akan dijadikan pegangan kepercayaan.


Dengan demikian, aqidah islamiyah pun mulai tercemar.
Usaha konkrit yang dilakukan Usman terhadap kegiatan
pendidikan Islam, dapat dikatakan tidak ada. Mungkin Usman
menganggap, bahwa usaha dan kegiatan pendidikan yang sudah
berjalan sebelumnya sudah memadai dan memenuhi kebutuhan
umat. Jika umat merasa kurang puas terhadap pendidikan
agama, pasti mereka akan memintanya. Hal ini nyata terjadi dan
dilaksanakan Usman, tatkala Hudzaifah Ibnul Yaman melaporkan
bahwa ia telah menyaksikan adanya perselisihan mengenai
kitabnya.
Ada pun obyek pendidikan pada masa itu terdiri dari :

Orang dewasa dan atau orang tua yang baru masuk Islam.

Anak-anak, baik orang tuanya telah lama memeluk Islam


maupun yang baru memeluk Islam.

Orang dewasa dan atau orang tua yang telah lama memeluk
Islam.

Orang yang mengkhususkan dirinya menuntut ilmu agama

secara luas dan mendalam.


Dalam fase pendidikan, lebih ditekankan pada ilmu-ilmu
praktis dengan maksud agar mereka dapat mengamalkan ajaran
dan tuntutan agama dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan
sehari-hari.
Tempat belajar masih seperti keadaan sebelumnya, mereka
belajar di kuttab, di masjid atau rumah-rumah yang disediakan
mereka sendiri atau rumah para gurunya. Masjid-masjid telah
bertebaran di seluruh wilayah Islam, baik di kota-kota maupun di
desa-desa. Masalah pendidikan pada masa Usman ini lebih
banyak diserahkan kepada Umat.

d) Masa Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib (35 40 H)


Setelah wafatnya Usman, untuk sementara Ali mendapatkan
dukungan masyarakat dan terpilih menjadi Khalifah. Perluasan
wilayah Islam ke luar Jazirah Arab mengakibatkan masuknya
alam pikiran dan pandangan hidup agama Yahudi, Kristen,
Zoroster dan Mazdak. Dalam perkembangan selanjutnya, alam
pikiran dan pandangan hidup agama Hindu dan Budha pun turut
mengambil bagian, mempengaruhi jalan pikiran umat Islam yang

masih dangkal dan urusan pendidikan pun terbengalai begitu


saja.
Prof. Dr. Ahmad Syalabi mengatakan, Sebetulnya tidak sehari
pun, keadaan setabil selama pemerintahan Ali. Tak ubahnya
beliau sebagai seorang menambal kain sarung, jangankan
menjadi baik malah bertambah sobek. Sudah demikianlah
rupanya nasib beliau. Karena itu dapat diduga, bahwa kegiatan
pendidikan pun pada saat itu mengalami hambatan perang
saudara, meskipun tidak terhenti sama sekali. Stabilitas dan
keamanan sosial merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya
perkembangan itu sendiri; baik ekonomi, politik, sosial, budaya,
maupun pengembangan intelektual dan agama. Ali sendiri pada
saat itu tidak sempat memikirkan masalah pendidikan karena
seluruh perhatatianya tumpah pada masalah yang lebih penting
dan sangat mendesak untuk memberikan jaminan keamanan,
ketertiban dan ketentraman dalam segala kegiatan kehidupan,
yakni mempersatukan kembali kesatupaduan umat, tetapi Ali
tidak sempat meraihnya.

2. Pusat-pusat Pendidikan Pada Masa Khulafaur Rasyidin


Secara umum pusat Pendidikan Islam pada Masa Khulafaur
Rasyidin terbagi dibeberapa wliayah antara lain :
1) Mekah
Guru pertama di Mekah adalah Muadz bin Jabal yang
mengajarkan Al-Quran dan Hadist.
2) Madinah
Sahabat yang terkenal antara lain : Abu bakar, Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, dan sahabat-sahabat lainnya.
3) Bashrah
Sahabat yang termasyhur antara lain : Abu Musa al-Asyari, dia
adalah seorang ahli fikih dan al-Quran.
4) Kuffah
Sahabat-sahabat yang termasyhur adalah Ali bin Abi Thalib dan
Abdullah bin Masud, Abdullah bin Masud mengjarkan Al-Quran,
tafsir, hadist, dan fikih.
5) Damsyik (Syam)
Setelah Syam menjadi bagian Negara Islam dan penduduknya
banyak beragama Islam. Maka khalifah Umar mengirim tiga
orang guru ke negara itu. Yang dikirin adalah Muaz bin Jabal,

Ubaidah, dan Abu Darda. Ketiga sahabat itu mengajar di Syam


pada tempat yang berbeda. Abu Darda di Damsyik, Muaz bin
Jabal di Palestina, Ubaidah di Hims.
6) Mesir
Sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi guru
di Mesir adalah Abdullah bin Amru bin Ash, ia adalah seorang ahli
hadist.
Sedangkan Sistem pendidikan Islam secara umum pada masa
Khulafaur Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh
pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar bin Khattab yang
turut campur dalam menambahkan materi kurikulum pada lembaga
kuttab. Materi pendidikan Islam yang diajarkan pada masa khalifah
al-Rasyidin sebelum masa Umar bin Khattab, untuk pendidikan
dasar :
a. Membaca dan menulis.
b. Membaca dan menghafal al-Quran.
c. Pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, shaum
dan sebagainya.
Ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah, ia
menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajari :
a. Berenang.
b. Mengendarai unta.
c. Memanah.
d. Membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan
peribahasa.
Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi
terdiri dari :
a. Al-Quran dan tafsirnya.
b. Hadits dan pengumpulannya.
c. Fiqh (tasyri).
Pusat dan sistem pendidikan ini terus berlanjut sampai pada
khalifah terakhir Ali bin Abi Thalib.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW amatlah penting
untuk ditelaah kembali sebagai rujukan dan pijakan dalam
melaksanakan pendidikan di masa kini dan masa yang akan datang,
agar norma-norma dan nilai-nilai ajaran Islam tetap utuh selamanya.
Proses pendidikan tidak terlepas dari dua komponen dari pendidik dan
peserta didik, dalam hal pendidikan Islam Rasulullah SAW adalah
pendidik pertama dan utama dalam dunia pendidikan Islam. Pola
pendidikan pada masa Rasulullah SAW pada fase Mekkah dan Madinah
tidak terlepas dari metode, evaluasi, materi, kurikulum, pendidik,
peserta didik, lembaga dasar, tujuan dan sebagainya yang berkaitan
dengan pelaksanaan pendidikan Islam, baik secara teoritis maupun
praktis.
Di masa Khulafaur Rasyidin, tugas pemeliharaan, pembinaan, dan
perluasan selanjutnya menjadi kewajiban kafilah dan umat Islam pada
umumnya, termasuk urusan pendidikan umat. Pada masa ini, jika
mereka menjumpai masalah yang tidak ditemukan jawabannya dalam
Al-Quran dan Sunnah, mereka berusaha berijtihad, sehingga
memperoleh jawaban yang paling benar, tapi meskipun berijtihad
diperbolehkan oleh Rasulullah, mereka senantiasa berhati-hati
melakukannya dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pokok dan
idealisme Islam. Terutama masalah pendidikan yang merupakan usaha
pewarisan ajaran Islam pada generasi penerusnya, maka jika terdapat
penyimpangan berarti telah menaburkan benih-benih yang tidak
dikehendaki akidah Islam sendiri.
B. Saran
a. Pendidikan Islam masa kini dan masa yang akan mendatang
sebaiknya melihat pendidikan Islam pada masa Rasulullah agar
norma-norma dan nilai-nilai ajaran Islam tetap utuh selamanya.
b. Generasi Islam saat ini perlu mengembangkan dakwah Islam di
tengah-tengah masyarakat kaum muslimin dan muslimat untuk
mengembalikan kejayaan Islam kembali.

DAFTAR PUSTAKA
http://infodiknas.net/pendidikan-islam-pada-masa-khulafaur-rasyidin.html
http://www.bisosial.com/2012/06/makalah-pendidikan-islam-padamasa.html

Anda mungkin juga menyukai