Anda di halaman 1dari 40

PENDIDIKAN PESANTREN ERA MILLENIEAL: STUDI

KARAKTERISTIK SANTRI DALAM MENGHADAPI PERKEMBANGAN


REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Imam Nur Aziz


imamnuraziz@gmail.com

Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang karakter santri era millenial dalam


menghadapi Revolusi Industri 4.0 (RI. 4.0). selain itu penulis juga
membahas tentang bagaimana respon pesantren dalam menghadapi
perkembangan global. Pesantren merupakan sistem pendidikan yang
ideal dalam merawat karakter kebangsaan, karena dipesantren santri
akan dilatih agar mempunyai etika moral, ritual, upacara
keagamaan, kesenian dan kebudayaan bangsa. Pesantren menjadi
salah satu lembaga pendidikan agama Islam yang akan mencetak
generasi Indonesia menjadi ulama’ besar, cendikiawa muslim dan
juga generasi yang mempunyai karakter kebangsaan dan berakhlakul
karimah. Di era perkembanagn teknologi informasi saat ini,
pendekatan pembelajaran telah mengalami perkembangan yang
sangat cepat sehingga dapat merubah pola pikir masyarakat.
Ketersediaan teknologi informasi yang tersambung internet membuat
semua orang dengan mudah untuk melakukan akses keilmuan.
Sehingga pesantrenpun juga harus bisa mengaktualisasikan
perkembangan tersebut yaitu dengan mengembangkan kurikulum
pesantren yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.
Lantas bagaimana peran pesantren dalam menghadapi
perkembangan globalisasi, strategi apa yang cocok dalam
menghadapi generasi era millenial.

Keyword: pesantren, karakter santri, karakter siswa era 4.0


Pendahuluan

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang berfokus pada


pendidikan agama untuk meningkatkan kualitas keilmuan agama santri. Sehingga
fokus pendidikan pesantren sebagai pusat transmisi ilmu-ilmu pengetahuan agama
(center of transmission of religious knowledge), memelihara tradisi Islam
(guardian of the Islamic tradition), serta pusat untuk melahirkan ulama (center of
ulama reproduction) (Azra & Afrianty, 2005). Pesantren atau biasa disebut
dengan pondok pesantren atau pondokan (jawa)/surau (sumatra) merupakan
pendidikan tradisional Islam yang secara historis berdiri sebelum Indonesia
merdeka (Azra & Afrianty, 2005; Lukens-Bull & Dhofier, 2000). Sebagai
pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren menjadi pusat produksi pemikiran
Islam dan penggerak peradaban Islam di Indonesai. Sehingga pesantren menjadi
salah satu pendidikan yang ideal untuk memelihara karakter kebangsaan kita.

Mengapa pesantren dianggap menjadi pendidikan ideal dalam memelihara


karakter kebangsaan Indonesia?. Hal itu dikarenakan, dalam sejarah pendidikan di
Indonesai, pesantren mempunyai ciri khas untuk memelihara sebuah tradisi dari
leluhur baik dari segi etika moral, ritual, upacara keagamaan, kesenian dan
kebudayaan Indonesia, agar meraka dapat terhubung dengan generasi selanjutnya,
dengan begitu maka komponen persatuan Bangsa akan terjaga. Selain itu,
pesantren juga menjadi wadah kaderisasi anak Bangsa yang akan menjadi
pemimpin Indonesia di masa depan dan melanjutkan perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Pahlawan Nasional “pangeran diponegoro” adalah seorang santri di
salah satu pesantren Mlagi Yogyakarta, yang pada saat itu dia tidak hanya diajari
ilmu-ilmu dasar keagamaan, akan tetapi juga dikenalkan dengan peradaban
leluhur bangsa mulai dari sriwijaya, majapahit dan juga kitab-kitab tentang
kebangsaan (Baso, 2012). Oleh sebab itu, dia sangat memahami akan keadaan
rakyat jelata dan bisa hidup berdampingan untuk memperjuangkan hak-hak
mereka.

Pesantren adalah sebuah pendidikan Islam yang pada dasarnya


mementingkan sumberdaya manusia, baik secara kualitas mereka yang bersifat
duniawi maupun ukhrawi secara integral (Gaus, 2017). Kualitas duniawi yaitu
mempunyai kualitas keilmuan pengetahuan yang luas baik teori dan praktiknya,
sedangkan ukhrawi yaitu merealisasikan muslim yang beriman, bertakwa, serta
mengabdi pada Tuhan yang maha Esa serta ahli dalam ilmu keagamaan (tafaqquh
fil-addin). Dengan seperti itu maka mereka (santri) akan menjadi manusia yang
cukup secara keseluruhan (kaffa).

Pesantren merupakan pendidikan Islam yang mempunyai elemen kyai,


santri, masjid/musolla, dan juga asrama buat santri (I. N. Aziz, 2017; Lukens-Bull
& Dhofier, 2000). Sehingga di pesantren seorang santri di didik oleh kyai, kyai
adalah seseorang yang mempunyai ilmu agama tinggi, di hormati serta di
sakralkan karena keilmuannya. Akan tetapi definisi tersebut berbeda dengan
statemennya Prof. Husain Aziz, dia menjelaskan bahwa yang dikatakan pesantren
adalah tempat yang terdapat pembelajaran ilmu syaria dan juga tasawwuf (H.
Aziz, 2017). Walaupun demikian, secara fenomenologis pesantren adalah tempat
bagi santri untuk membelajari ilmu-ilmu keagamaan baik syaria maupun
tasawwuf dan juga ilmu-ilmu grammatikal bahasa arab/kitab kining.

Dalam sejarahnya, perkembangan pesantren di Indonesia sangatlah pesat,


mereka mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tantangan-tantangan
yang dapat merubah ruang lingkup kemasyarakatan. Secara fundamental, era
globalisasi teknologi ini akan merubah cara hidup manusia baik dalam style dan
ataupun pola hidup mereka. Sehingga pesantren juga harus mampu beradaptasi
dengan dunia digital, dunia dimana manusia diidentikkan dengan teknologi
informasi. Perkembangan dan kemajuan dunia teknologi informasi juga akan
membawa perubahan radikal disemua dimensi kehidupan manusia. Era
perkembangan Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0) membawa kehidupan manusia dalam
kehidupan yang baru terutama dalam manufaktur dan teknologi industri.
Perkembangan RI 4.0 tersebut ditandai dengan pemanfaat teknologi informasi
berbasis internet. Perkembangan teknologi informasi berkembang sangat masif,
dimana manusia bisa menggunakan media informasi secara bebas.
Generasi gudget atau biasa disebut generasi millenial marupakan generasi
yang lahir di tahun 2000 an. Mark dalam tulisannya Gazali menyebutkan bahwa
generasi yang lahir di tahun tersebut adalah generasi Alfa (Gazali, 2018). Secara
karakteristik, generasi alfa adalah generasi yang ketika lahir sudah mengenal
dengan teknologi industri, dimana teknologi berada dalam kecerdasan yang tinggi.
Sehingga anak yang lahir di tahun tersebut mengakibatkan akan mempunyai dunia
baru, mereka akan lebih banyak bermain, belajar secara mandiri dan juga dapat
melakukan interaksi dengan dunia global melalui dunianya sendiri. Pada akhirnya
ketika mereka dewasa, teknologi informasi akan menjadi dari hidup mereka dan
bahkan menjadikan seperti halnya seorang kekasih. Generasi ini sangat berbeda
dengan generasi sebelumnya, karena dengan perkembangan teknologi informasi,
mereka akan dapat membentuk kepribadian dan sikap mereka.

Berdasarkan dari pernyataan diatas maka akan timbul pertanyaan besar;


apakah pendidikan pesantren di era millenial mampu menghadapi perubahan RI
4.0 dan bagaimana respon pesantren dalam menjawab tantangan perkembangan
teknologi informasi, apakah santri di era RI 4.0 mampu beradaptasi dengan dunia
luar yang serba digital, bagaimana karakteristik santri untuk mengembangkan
kompetensi mereka dalam menghadapi perkembangan RI 4.0.

Pembahasan

Sejarah Peantren

Pesantren merupakan model sistem pendidikan pertama dan tertua di


Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan
saat ini. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik
Pesantren sebagai bahan kajian. Pendidikan Pesatren merupakan Lembaga
Pendidikan Islam yang keunikannya serta simbol – simbol yang dipergunakannya
tidak akan pernah ditemukan di Lembaga Islam mananapun didunia, sebuah
lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda dari pakem induknya, yang
denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah dalam upaya
penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban
nyawa, agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini,
dengan ketelitian dan penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam pada masa
awal penyebaran ajaran islam di Indonesia telah mengantarkan pada keberhasilan
penyebaran islam di bumi jawa (Sunyoto, 2005).
Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di
Indonesia dengan sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus
Sunyoto ada dua hal yang dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai
Lembaga Pendidikan; (1) Proses Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren
melakukan Pembentukan karakter dan, (2) Proses Pengajaran; dengan Proses
Pengajaran Pondok Pesatren melakukan pengembangan nalar (Wahid,
1999). Abdurrahman Wahid menyamakannya dengan sistem yang dipergunakan
Akademi Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda yang
disitu ada seseorang dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya
ada tiga elemen yang mampu membentuk Pondok Pesatren; (1) Pola
Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak pernah terkooptasi oleh
negara, (2) Kita – kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad
dan, (3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah bagian dari
masyarakat luas. Inilah yang menurut Abdurrahman Wahid kemudian disebut ciri
Pondok Pesatren sebagai Sub Kultur. Dengan demikian Pendidikan Pesantren
merupakan pola pendidikan integral antara religius dengan Pendidikan sosial yang
merupakan pusat pengembangan ilmu yang bernafaskan islam dengan spesifikasi
untuk mempertahankan ajaran al-sunnah dengan mengembangkan kajian
keilmuan melalui khazanah kitab kuning yang belakangan mengalami
perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab kuning juga sudah
merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak pakar, baik
lokal maupun internasional melirik Pesantren sebagai bahan kajian
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini
adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi
dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan
manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik
yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi
magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat
manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah
membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang
satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa
kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Dengan demikian Pendidikan Pesantren perlu dibaca sebagai warisan
sekaligus kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam
sejumlah aspek tertentu, pesantren juga harus dipahami sebagai benteng
pertahanan kebudayaan itu sendiri karena peran sejarah yang dimainkanya
(Syafe’i, 2017). maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman Wahid
menyebutnya sebagai Sub Kultur disebabkan kemampuan untuk melakukan
transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya.
.
Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah
Pesantren itu mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya
sehingga kita sulit untuk menentukan Pesantren mana yang pertama kali didirikan,
Menurut Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu
bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya
pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang
berjalan dalam jangka waktu panjang (Dhofier, 1982) menurut Wahjoetomo,
model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan
zaman wali songo. Menurutnya Pesantren yang pertama kali ada adalah Pesantren
yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi
(Riyadi, Retnadi, & Supriatna, 2012).
Sehingga, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren pertama ia
menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat.
Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi
kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia
pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai
oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-
amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu
mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari
dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat dalam
sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai.
Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk
penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid.
Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan
agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang
dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian.
Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang
menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini pada
mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh
orang-orang Hindu di Nusantara (Sunyoto, 2005). 
Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang
proses munculnya Pendidikan Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren
tidak lepas dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan
merupak anti tesis dari penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap
ajaran Islam yang semula merupakan pusat keagamaan Hindu-Bhuda, Menurutnya
orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa kholifah
Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama
sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi
bahasa_karna kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka
kata Yamani dalam Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut
nyawa yang ada di neraka jadi Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada
perpindahan suku – suku di negri persia menuju kenegri jawa, yang juga tidak ada
sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386 M. terjadi imigrasi besaran –
besaran penduduk muslim Cina ke selatan (Sunyoto, 2012). Ini dapat dilihat dari
penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perak pada abad 12 M ia
menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi
penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa
dilihat dari  catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang
masuk ke Aceh pada tahun 1405 M. Ia  menyebutkan ada tiga kelopok penduduk,
sama seperti pernyataan marcopolo dan ia menyebutkan Laksamana Cheng Ho
pernah berlabuh dipelabuhan tuban dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa
peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas Cina Muslim (Velasufah &
Setiawan, 2019). Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah
dari Negeri campa menuju jawa, waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau
menerima Ajaran Islam. Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel delta
mendirikan padepokan untuk dijadikan pusat belajar agama islam, wilayah ini
kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan Ampel Delta.  Raden Sayid
Rahmat (Sunan Ampel) datang dari Campa menuju Jawa untuk menemui saudara
ibunya Putri Dwarawati, istri dari Angkawijaya (Raja Majapahit), Raden Sayid
Rahmad diterima baik oleh Prabu Angkawijaya yang kemudian diizinkan menetap
di Daerah Ngampel. 
Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi
datang dari daratan cina menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon
mendiami daerah Giri Amparan Jati mendirikan sebuah padepokan yang
kemudian juga dikenal dengan sebutan padepokan Giri Amparan Jati pada saat itu
penduduk lokal jawa mayoritas masih menganut agama Hindu-Budha, dan
anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan, karna
disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam. Dalam
perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi
ratusan murid yang berasal dari daerah dermayu, tegal, semarang, dan demak.
Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana
agar ajaran islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan
penelitian tentang bagaimana cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus
ada darah yang mengalir dalam proses islamisasi yang akan dilakukan nanti
menurut Agus Sunyoto orang yang banyak meneliti tentang kultur masyarakat
jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).
Nama Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah
dewan guru yang dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat,
dewan guru tersebut adalah Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng
Pasambangan, Ki Gedeng Babatan, Ki Gedeng Surantaka, Haji Musa bin
Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin Hasanuddin, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim
Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan Raden Qosim. kemudian forum
musyawarah ini mempercayakan atau mengangkat Raden Syarif Hidayatullah
sebagai ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan jati. Dan
dalam sidang yang sama kemudian Syarif Hidatullah mengusulkan agar nama
padepokan di rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid nama
pondok di tambah dengan pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang
hindu belajar agamanya dengan orang islam yang mencari ilmu. Terlepas benar
dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang dilakukan
oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang
teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran
Islam yang ada dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi
budaya Islam terhadap budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah
pembaharuan budaya, apa yang dilakukan oleh para penyiar Islam masa itu suatu
langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford Geertz yang dikutip dari Ward
Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–pikiran dan hati manusia,
jadi suatu kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus diketahui dan
dipercayai seseorang  supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat
diterima oleh anggota-anggotanya. Tidak heran kalau kemudian proses islamisasi
yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna
memang apa yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang masuk dalah
roh budaya penduduk lokal.
Dalam pesantren, siswa disebut dengan Santri (orang yang belajar kitab
teks–teks keagamaan). Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang
pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilaman memiliki pesantren dan
santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam
klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga
pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren, terdapat dua kelompok
santri:
a. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap
paling lama tingGal di pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu
kelompgk tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi
kepentingan pesantren sehari-hari;mereka juga memikul tanggung
jawab mengajar santRi-santri m5da tentang kitab-kitab dasar $an
menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di
sekeliling pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren
(nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil
dan pesantren besar dapat dilihat d!ri komposisi santri kalong.
Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah
mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih
banyak santri kalong  dari pada santri mukim.
c. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam
dunia pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah
dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam
ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki
ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang di jadikan tempat belajar
atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau ulama’ di jawayang
memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan
memperluas penguasaan ilmuagamanya dengan cara me.gembara
dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren
mengadopsi system pendidikan modern seperti sekolah atau
madrasah, tradisi kelana ini mulai di tinggalkan.
d. Pengajaran Kitab Kuning; berdasarkan catatan sejarah, pesantren
telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan
madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab tanpa
harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya
methode yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di Indonesia.
Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman
dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik
kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain sebagainya.
Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa
Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik
teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe Pesantren misalnya,
Pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh
jadi lembaga, lembaga Pesantren mempunyai dasar-dasar ideology
keagamaan yang sama dengan Pesantren yang lain, namun
kedudukan masing-masing Pesantren yang bersifat personal dan
sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang
kyai. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren
dapat di golongkan ke dalam delapan kelompok yaitu, 1).
Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih;
4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang
lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks
yang sangat pendek sampai teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal
mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf. Agar bisa
menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna
dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai
tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang
pengetahuan agama islam yang lain.
Pendidikan Karakter
Secara etimologi: Karakter berasal dari sebuah kata “charassein” dalam
Bahasa Yunani dan “character” dalam Bahasa Inggris yang berarti tabit, sfat,
watak. Dalam Bahasa Indonesia karakter diartikan dengan watak, yaitu sifat batin
yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti,dan tabiat yang
dimiliki manusia yang menonjol sehingga dapat dikenali dalam berbagai situasi.

Karakter seseoarang atau individu itu muncul dan lahir dari hasil olah
pemikiran, hati, perasaan, yang mengandung sebuah nilai dan kapasitas moral
dalam menghadapi segala permasalahan dalam hidup. Sedangkan makna dari
Pendidikan karakter sendiri adalah upaya membangun kesadaran melakukan
berbagai kebijakan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dengan berorientasi
pada karakter individu. Karena semakin baik karakter seseorang, akan semakin
baik pula dia mengatasi permasalahan dalam kehidupannya. Pendidikan karakter
di sini tidak hanya menyiapkan diri untuk menyelesaikan permasalahan dengan
diri, namun juga permasalahan dengan masyarakat luas. Agar individu siap dalam
menghadapi segala sesuatu yang mungkin bisa terjadi kapanpun.

Menurut Thomas Lickona Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang


disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti (Lickona, 2009).
Sedangkan menurut John W. Santrock, character education adalah pendidikan
yang dilakukan dengan pendekatan langsung kepada peserta didik untuk
menanamkan nilai moral dan memberi kan pelajaran kepada murid mengenai
pengetahuan moral dalam upaya mencegah perilaku yang yang dilarang (John W
Santrock, 2011). Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa pendidikan karakter adalah suatu metode pendidikan yang dilakukan oleh
tenaga pendidik untuk mempengaruhi karakter murid. Dalam hal ini terlihat
bahwa guru bukan hanya mengajarkan materi pelajaran tetapi juga mampu
menjadi seorang teladan.

Sehingga, secara umum pendidikan karakter mempunyai fungsi tersendiri


dan fungsi pendidikan adalah untuk membentuk karakter seorang peserta didik
sehingga menjadi pribadi yang bermoral, berakhlak mulia, bertoleran, tangguh,
dan berperilaku baik. Selain beberapa fungsi tersebut, pendidikan karakter juga
dapat mengembangkan potensi dasar dalam diri manusia sehingga menjadi
individu yang berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik, membangun dan
memperkuat perilaku masyarakat yang multikultur, dan dapat meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam hubungan internasional. Seperti
mengeetahui bahwa proses globalisasi secara terus-menerus akan berdampak pada
perubahan karakter masyarakat manusia. Kurangnya pendidikan karakter akan
menimbulkan krisis moral yang berakibat pada perilaku negatif di masyarakat, misalnya
pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pencurian, kekerasan terhadap
anak, dan lain sebagainya. Menurut Thomas Lickona, setidaknya ada tujuh alasan
mengapa character education harus diberikan kepada warga negara sejak dini, yaitu;
1. Ini merupakan cara paling baik untuk memastikan para murid memiliki
kepribadian dan karakter yang baik dalam hidupnya.

2. Pendidikan ini dapat membantu meningkatkan prestasi akademik anak


didik.
3. Sebagian anak tidak bisa membentuk karakter yang kuat untuk dirinya di
tempat lain.
4. Dapat membentuk individu yang menghargai dan menghormati orang lain
dan dapat hidup di dalam masyarakat yang majemuk.
5. Sebagai upaya mengatasi akar masalah moral-sosial, seperti
ketidakjujuran, ketidaksopanan, kekerasan, etos kerja rendah, dan lain-
lain.
6. Merupakan cara terbaik untuk membentuk perilaku individu sebelum
masuk ke dunia kerja/ usaha.
7. Sebagai cara untuk mengajarkan nilai-nilai budaya yang merupakan
bagian dari kerja suatu peradaban.
Dari penjelasan tersebut kita menyadari bahwa pendidikan karakter sangat
penting bagi setiap orang. Dengan begitu, maka para guru, dosen, dan orang tua, sudah
seharusnya senantiasa menanamkan nilai-nilai karakter yang baik kepada anak didiknya.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi


dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional,
logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung
jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya,
jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati
lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif,
disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri,
produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu
juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu
juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik
adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional,
sosial, etika, dan perilaku). Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya
dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada


peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster
optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-
komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam
menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet, pendidikan karakter dimaknai


sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the
kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able
to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they
believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from
within” (Elkind & Sweet, 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya. Karena, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat,
dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri,
dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber


dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga
disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta
damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar
manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur,
tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner,
adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus
berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan
menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut
atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu
sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas


pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut
telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan
dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik
melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Para pakar
pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus
pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain
menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-
nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan, secara psikologis dan


sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik)
dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat)
dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah
Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara
diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Dalam teori Kofigurasi karakter pada pendidikan mensyaratkan;


pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan
klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan
perilaku social (Hersh, 1980). Selain itu, Elias (1989) mengklasifikasikan
berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif,
pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga
unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku,
kognisi, dan afeksi. Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-
nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Konsep Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0

Pendidikan adalah fondasi utama dalam pembangunan serta menentukan


kemajuan sebuah Bangsa, karena Bangsa yang maju dan berkembang dapat
ditandai dengan mutu sumberdaya manusianya. Selain itu, pendidikan juga
dituntut untuk mendidik peserta didiknya agar mempunyai karakter moral serta
sikap dan mental yang tangguh dalam menghadapi perkembangan zaman yang
sangat masif ini. Perkembangan moral manusia itu berhubungan dengan peraturan
dan nilai seseorang dalam interaksi dengan orang lain (J.W Santrock, 2004).
Santrock juga menjelaskan bahwa perkembangan moral adalah perubahan
penalaran, perasaan serta prilaku standar manusia mengenahi benar atau salah
(John W Santrock, 2011). Sedangkan menurut Miscle dalam bukunya (J.W
Santrock, 2004) menjelaskan bahwa perkembangan moral dalam pandangan
pembelajaran sosial kognitif memberikan penekanan pada adanya perbedaan
antara kompetensi (kemampuan untuk melakukan tingkah laku) dan performa
moral (tingkah laku yang muncul pada situasi spesifik). Sehingga menurut Piaget
yang juga dalam bukunya (J.W Santrock, 2004) menjelaskan bahwa ada hubungan
antara perkembangan kognitif siswa dengan moral. Penjelasan tersebut
menerangkan bahwa pekembangan moral dilihat dari prilaku manusia mengenai
standarisasi antara benar dan salah.

Perkembangan industri 4.0 adalah sebuah tantangan bagi dunia pendidikan


untuk mengembangkan nilai-nilai kependidikan dan juga menumbuhkan karakter
yang sesuai dengan budaya Indonesia, pribadi yang dinamis, percaya diri, berani,
tanggung jawab serta mandiri (Gazali, 2018). Dari sini dapat dipahami bahwa
pendidikan adalah tempat untuk merubah sikap dan memperbaiki moral anak
Bangsa yang baik. Dengan begitu penulis juga berpandangan bahwa pendidikan
yang berbasis adalah nilai salah satu cara yang dapat menentukan nilai baik dan
buruknya peserta didik dalam kehidupan ber-Bangsa serta dapat meningkatkan
kualitas kehidupan mereka dalam bermasyarakat. Dengan demikian, maka konsep
pendidikan yang berkualitas dapat memberikan berbagai ilustrasi kesulitan dalam
mengimplementasikan kualitas pembelajaran, penilaian dan juga perencanaan
pmebelajaran jangka panjang (Adams, 1993). Sehingga dalam menata pendidikan
yang berkualitas, para guru harus dapat membelajarkan tentang keberagaman,
konflik dan juga pemecahan masalah dalam bermsyarakat.

Sedangkan dalam teori Paulo Freire, konsep pendidikan harus di rancang


menarik, menantang bagi perkembangan peserta didik (Beckett, 2013). Dalam
artian peserta didik harus bisa berubah dalam aspek karakter mereka. Selain itu
pendidikan juga harus dirancang se-ideal mungkin menjadi tempat peserta didik
dapat belajar mandiri dan sesuai dengan misi pendidikan orang dewasa dengan
mencakup fungsi, lingkungan, kondisi yang mempengaruhi kondisi internal dan
eksternal peserta didik.

Dalam perspektif pendidikan pesantren, santri dan kehidupannya


merupakan sebuah konsiliasi antara pikiran, akal serta keyakinan beragama
sebagai fundamental dalam kehidupan. Oleh karena itu pendidikan pesantren
harus bisa mendorong berfikir kritis sebagai metode pengembangan ilmu
pengetahuan (Rayan, 2012). Karena berfikir kritis merupakan sebuah alat untuk
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan kehidupan untuk
mencapai nilai-nilai dalam realitas. Dalam penjelasana ini penulis berasumsi,
bahwa konsep pendidikan islam yang ideal adalah; pendidikan bisa
mengeksplorasi tentang filosofis keislaman, pendidikan harus dapat memberikan
pengembangan pada santri terhadap pengembangan individu mereka sesuai minat
serta bakat santri, harus mendahulukan pendidikan sosial dan moral serta
memberikan pemahaman terhadap santri tentang kemajemukan.

Peluang dan Tantangan Pendidikan Indonesia di Era RI 4.0


Transaksi jual beli secara online, memanfaatkan teknologi sebagai sarana
kegiatan belajar dan pembelajaran, layanan publik yang sudah menggunakan
model digital serta adanya sarana transportasi yang berbasis online adalah
beberapa bukti bahwa Indonesia sudah masuk dalam era Revolusi Industri 4.0
(Yahya, 2018). kondisi tersebut tidak bisa dipungkiri oleh masyarakat Indonesia
dan khususnya dunia pendidikan. Akan tetapi kondisi tersebut juga harus
diantisipasi agar masyarakat tidak salah dalam penggunaan media digital. Dengan
begitu, dunia pendidikan seharusnya mampu menjawab agar kehidupan
masyarakat dan juga peserta didik bisa hidup dengan aman serta nyaman, tidak
ada lagi melakukan penyimpangan etika sosial. Selain itu, dunia pendidikan juga
harus menjadikan hal tersebut menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik baik dalam akademik dan atau non-akademik mereka.

Menurut (Effendi, Matore, Soh, Norman, & Yunus, 2018) dalam


tulisannya menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 (lima) hal yang harus dilakukan
oleh stakeholder dalam pendidikan untuk mengembangkan pendidikannya sesuai
dengan RI 4.0. yang pertama adalah seorang stakeholder harus melakukan
perubahan dalam paradigma pendidikan, dari pedagogic menuju houtagogic
(Effendi et al., 2018). Sehingga paradigma pendidikan yang diterapkan sesuai
dengan RI 4.0. Heutagogic adalah sebuah paradigma pendidikan yang
menekankan pada pembelajaran mandiri (self-learning/learner centered)
(Hiryanto, 2017). Dengan begitu peserta didik akan lebih matang dalam
memahami pelajaran, selain itu peserta didik juga dituntut untuk bertanggung
jawab atas pelajaran mereka sehinga hal ini dapat mengurangi mereka untuk tidak
selalu ketergantungan pada seorang guru.

Selanjutnya adalah re-orientasi kurikulum pendidikan, yaitu dengan


memasukkan materi keterampilan dalam pengembangan kurikulumnya, maksud
dari keterampilan disini adalah sebuah keterampilan yang sesuai dengan
perkembangan teknologi (berfikir kritis, inovatif, komunikatif, kreatif dan juga
dapat melakukan kolaboratif) (Dell, Dell, & Blackwell, 2015). Selain itu, peserta
didik juga harus dibekali dengan etika dan moral yang sesuai dengan budaya
Indonesia serta literasi digital yang cukup (Subekti, Susilo, Taufiq, & Suwono,
2018). Dari keterangan tersebut penulis berpandangan bahwa desain kurikulum
yang digunakan harus bisa memacu siswa untuk bisa berkembang sesuai dengan
minat dan bakat mereka. yang ketiga adalah merubah peran dari pendidik. Dalam
hal ini seorang pendidik harus dikuatkan dalam inovasi pembelajarannya, yaitu
bisa menjadi seorang teknolog pendidikan, ilmuan dan juga agen pembelajaran
bagi peserta didik (Preis & Sternberg, 2017; Scoppio & Covell, 2016).

Stakeholer juga harus menguatkan kegiatan inovasi untuk meningkatkan


pembejalaran yang sesuai dengan RI 4.0. penguatan tersebut dalam bidang
kecerdasan artifisial (artificle intelligence), robotic, 3D dimension dan juga
bioteknologi serta nanoteknologi (Rowe, Ha, & Lester, 2008). Yang kelima
adalah malakukan percepatan internalisasi lembaga pendidikan. Hal ini dilakukan
agar lembaga pendidikan bisa berkembang dan mendapatkan pengakuan dalam
mutu pendidikan dan juga penyelenggaraannya baik secara Nasional maupun
Internasional. Sampai sekarang ini masih ada beberapa lembaga pendidikan kita
yang belum dapat akreditasi Nasional dan sedikit pula pendidikan kita yang
mendapatkan pengakuan serta akreditasi Intersional.

Kemampuan Intelektual Siswa di Era RI 4.0

Beberapa ahli psikologi telah mengembangkan konsep tentang


kemampuan intelektual, kemampuan ini menjadi dasar dalam memprediksi
kemampuan peserta didik (Herlina & Suwanto, 2018). Mereka juga menjelaskan
bahwa peserta didik yang mempunyai kemampuan intelektual tinggi maka tingkat
keberhasilannya semakin besar dan apabila peserta didik mempunyai kemampuan
intelektual rendah maka tingkat keberhasilannya pun terbatas (Herlina &
Suwanto, 2018), karena mereka kurang mampu memecahkan masalah
pembelajaran yang akhirnya mempunyai dampak pada keberhasilannya.

Kecerdasan intellektual merupakan kecerdasan manusia secara umum,


yang membedakan kualitas kecerdasan manusia (Benjamin, Brown, & Shapiro,
2006). Kecerdasan ini menjadi sebuah fenomena dalam kapasitas manusia baik
dalam analisa, observasi dan juga menafsirkan sebuah keadaan (Mayer, Salovey,
& Caruso, 2010). Kecerdasan intellektual sering disebut dengan inteligensi,
intelligensi menurut Winkel (2000) dalam jurnalnya (Herlina & Suwanto, 2018)
diterangkan bahwa inteligensi adalah sebuah kemampuan kognitif yang dimiliki
oleh organisme untuk menyesuaikan diri pada lingkungannya secara efektif dan
dapat berubah apabilah dipengaruhi oleh faktor genetik.

Intelligensi merupakan kemampuan manusia dalam bertindak, berfikir


rasional serta dapat menjalani kehidupan dilingkungan mereka secara efektif
(Goleman, 2006). Dari keterangan tersebut penulis berpendapat bahwa kecerdasan
intellektual merupakan kemampuan mental yang dimiliki manusia melalui subuah
proses berfikir secara rasional. Berikut adalah indikator manusia yang mempunyai
kecerdasan intellektual; mempunyai kemampuan daya tangkap yang jeli,
kemampuan daya ingat, kemampuan verbal, kemampuan numerik, kemampuan
abstrak, dan juga kemampuan dalam analisis dan sintesis (Herlina & Suwanto,
2018). Nilai kecerdasan intellektual tersebut apabila di jelaskan secara prognostik
adalah kemampuan intellektual peserta didik ketika diterapkan dalam
kesehariannya maka IQ menjelaskan secara konstan sehingga mereka mampu
mencapai pekerjaan mereka (Busyairi, 2017).

Oleh karena itu, seorang peserta didik yang mempunyai kemampuan


kecerdasan intellektual tinggi berarti secara tidak langsung dapat memecahkan
masalah dengan cepat karena mempunyai tingkat saraf yang efisien. Intelligensi
juga dapat diartikan sebagai kemampuan global siswa agar dapat bekerja secara
terarah, berfikir tepat serda dapat melakukan interaksi dengan lingkungan mereka.

Pendidikan Pesantren di Era Revolusi Industri 4.0

‫المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬

(memelihara tradisi lama yang baik dan bertransformasi dengan tradisi baru
yang lebih baik)
Kutipan kalimat diatas adalah semboyan yang selalu diucapkan dan
dijadikan pegangan oleh pesantren di Indonesia. Kalimat tersebut memberi
pemahaman bahwa pesantren selalu melestarikan budaya atau metogologi lama
yang masih relevan akan tetapi juga melakukan terobosan/langkah/metodologi
baru yang inovatif. Pendidikan pesantren sangatlah berbeda dengan pendidikan
formal yang ada diluar pesantren, baik dalam kurikulum dan program-progam
pesantren. Sebagai contoh “sorogan”, dimana santri melakukan pembelajaran
secara langsung dan individu dengan guru/kyai mereka, sehingga seorang kyai
dapat melakukan evaluasi perkembangan santri secara langsung.

Pesantren adalah sebuah pendidikan Islam tertua di Indonesia, dalam


beberapa dekade ini, perkembangan pesantren dinilai sangatlah pesat. Menurut
pangkalan data dari Direktorat Pesantren Indonesai, sampai saat ini ada sekitar
28.961 jumlah pesantren yang ada di Indonesia (Kemenag, 2019). Data tersebut
menunjukkan bahwa Lembaga Pendidikan Pesantren di Indonesia sangatlah
banyak yang mana orientasi pendidikannya itu independensi dari seorang kiyai.
Sehingga penjelasan tersebut dapat membuktikan bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan swasta yang mandiri dan model pendidikannya berbasis
masyarakat.

Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang mempunyai


beragam karakteristik. Sehingga sesederhana keadaan dan kondisi pesantren
tersebut hampir dipastikan dapat mengikuti perkembangan zaman. Ada dua
macam pesantren di Indonesia “Salafi” dan “Modern”. Pesantren Salafi yaitu
sebuah pesantren yang memang secara karakteristik memelihara tradisi klasik
Pendidikan Salafi juga merupakan salah satu cabang pendidikan yang seluruh
kurikulumnya untuk mendalami ilmu keagamaan “Nahwu, Shorof, Syaria,
Tasawwuf, Fiqh, Tauhid”, sedangkan pesantren Modern merupakan kombinasi
antara Salaf dan juga sekolah formal seperti umumnya sekolah (I. N. Aziz, 2017).

Berkembangnya pesantren dari Salaf ke Modern diharapkan pesantren


tersebut bisa mengikuti trend perkembangan zaman. Hal itu dikarenakan,
pesantren modern mencoba untuk melakukan perpaduan antara tradisionalis dan
modernitas, sehingga sistem pengajan formalnya ala-ala klasikal (Wekke, 2012).
Hingga saat ini, pesantren Modern telah melakukan transformasiyang signifikan
terhadap perkembangan zaman. Karena mereka diharapkan mampu untuk
mengatasi permasalahan krisis multidimensial yang dihadapi oleh Bangsa ini
(Gaus, 2017). Krisis yang menyangkut aspek etika, moral, kebudayaan dan
kegotong royongan merupakan penjabaran atas kurang suksesnya pendidikan
Nasional dalam mengembangkan kemampuan dan membangun watak anak
bangsa agar bermartabat.

Pendidikan merupakan proses multidimensional yang secara langsung


bertujuan untuk mengembangkan diri manusia, baik dalam keimanan, intellektual,
moral, tanggung jawab dan juga kemampuan peserta didik (Abbas, Hassan, &
Bahru, 2014). Sehingga apabila para peserta didik mendapatkan yang berkualitas
maka mereka akan merasa yakin untuk meghadapi keadaan sosial dihari itu dan
juga pede untuk masa depan mereka. Menurut (Wyse & Jones, 2005) pendidikan
bukanlah tempat yang hanya untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan dan
kemampuan saja, akan tetapi tugas pendidikan adalah mengembangkan etika,
moral dan juga kehidupan mereka. Jadi, tujuan dari pendidikan adalah bukan
hanya untuk mendidik siswa , tapi juga menyiapkan meraka agar mempunyai
kemampuan di era globalisasi.

Di dalam bukunya (Slavin, 2012) menjelaskan bagaimana seorang guru


writing memberikan motivasi terhadap siswanya sebelum melakukan kegiatan
pembelajaran, selain itu dia juga memberikan kebebasan pada mereka untuk
memilih topik yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Dari dari cerita tersebut dapat
disimpulkan bagaimana proses belajar dan pembelajaran di dalam kelas, seorang
guru seharusnya memberikan mitotivasi terhadap siswa mereka dan juga memberi
pelajaran sesuai dengan bakat serta minat siswa. Dengan demikian siswa akan
mampu melakukan pekerjaan mereka secara baik, selain itu mereka juga akan
dapat mengembangkan kemampuan mereka serta bisa menjaadi manusia yang
bertanggung jawab pada diri mereka sendiri. Sesuai dengan tujuan pendidikan
maka, secara tidak langsung siswa akan belajar bagaimana mereka bisa
mengembangkan kemampuan mereka baik dalam intellektual dan ataupun rasa
tanggung jawabnya, sehingga mereka dapat menyiapkan diri untuk masa depan
mereka.

Hadrotus Syeikh KH. Hasyim Asyari dalam kitabnya adabul alim


walmutalim juga menjelaskan bahwa tugas dari guru dalam kelas bukanlah
menjadikan siswa pintar, akan tetapi lebih pada bagaimana siswa mempunyai
perubahan sifat/moral (akhlaqul karimah) yang lebih baik dari sebelumnya
(Asyari, 2010). Dari penjelasan diatas penulis berpandangan bahwa pendidikan
yang baik adalah mereka yang menonjolkan pendidikan karakter pada siswanya
agar mampu menjadi diri yang siap untuk mengahadapi perkembangan zaman
akan tetapi tidak mengenyampingkan moral/etika dan jati diri mereka dalam ber-
Bangsa.

Pendidikan adalah fondasi utama dalam pembangunan serta menentukan


kemajuan sebuah Bangsa, karena Bangsa yang maju dan berkembang dapat
ditandai dengan mutu sumberdaya manusianya. Selain itu, pendidikan juga
dituntut untuk mendidik siswanya agar mempunyai karakter moral serta sikap dan
mental yang tangguh dalam menghadapi perkembangan zaman yang sangat masif
ini. Perkembangan moral manusia itu berhubungan dengan peraturan dan nilai
seseorang dalam interaksi dengan orang lain (J.W Santrock, 2004). Santrock juga
menjelaskan bahwa perkembangan moral (moral development) adalah perubahan
penalaran, perasaan serta prilaku standar manusia mengenahi benar atau salah
(John W Santrock, 2011). Sedangkan menurut Miscle dalam bukunya (J.W
Santrock, 2004) menjelaskan bahwa perkembangan moral dalam pandangan
pembelajaran sosial kognitif memberikan penekanan pada adanya perbedaan
antara kompetensi moral (moral competation) (kemampuan untuk melakukan
tingkah laku) dan performa moral (moral perform) (tingkah laku yang muncul
pada situasi spesifik). Sehingga menurut Piaget yang juga dalam bukunya (J.W
Santrock, 2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara perkembangan kognitif
siswa dengan moral. Penjelasan tersebut menerangkan bahwa pekembangan moral
dilihat dari prilaku manusia mengenai standarisasi antara benar dan salah.
Era RI 4.0 merupakan era yang serba digital, perkembangan ini ditandai
dengan digitalisasi dalam manufaktur (Lee, 2013). Dia juga menjelaskan bahwa
ada empat faktor yang mendorong perkmbangan RI 4.0; 1) meningkatnya volume
data, kekuatan komputasi dan konektivitas, 2) munculnya kecerdasan berbisnis, 3)
terjadi interaksi antara manusia dan mesin, dan 4) transfer ilmu digital seperti
robotika dan 3D printing. Prinsipnya perkembanagn RI 4.0 merupakan
penggabungan antara sistem, mesin dan juga alur kerja sehingga akan
memunculkan jaringan cerdas. (Mario, Tobias, & Boris, 2015) menambahkan
bahwa prinsip dasar dari Ri 4.0 adalah; pertama, interkoneksi antara mesin,
perangkat, sensor dan orang untuk dapat melakukan komunikasi melalui Internet
of Things (IoT) dan atau Internet of People (IoP). Kedua, transparasi informasi
dengan menciptakan salinan virtual untuk memperkaya sata sensor. ketiga,
bantuan teknis agar mempermudah manusia untuk melakukan evaluasi keputusan
dan memberikan pemecahannya sevara mendadak, mempermudah manusia dalam
melakukan berbagai tugas, membantu manusia dalam virtual dan fisik, kemudain
yang keempat, memberikan keputusan yang tersentralisasi agar dapat melakukan
tugas se-efektif mungkin.
Prinsip Revolusi Industri 4.0 ((Mario et al., 2015)

Melihat dari prinsip perkembangan industri yang diterangkan diatas maka


dunia pendidikan harus mampu untuk menyiapkan sumberdaya yag mempunyai
kompetensi (knowledge, skill, experience). Pendidikan Indonesia harus
melakukan revolusi besar-besaran baik dari kurikulum ataupun kualitas
pendidikan dan pendidiknya. Sebagai negara yang mayoritas muslim dan juga
tempat mayoritas santri mendapatkan pembelajaran ilmu agama dan iptek maka
pesantren harus mau terbuka dengan perkembangan zaman. Perubahan pendidikan
pesantren bisa dimulai dengan model kurikulum dan juga memberikan fasilitas
yang memadai agar bisa bersaing di dubia global. Seperti contoh, apabila dulu
pesantren di kenal dengan kekolotannya sehingga sistem pendidikan dipesantren
selalu diadakan dengan cara tradisional. Maka saat ini pesantren harus sudah bisa
mengkombinasi antara pembelajaran ilmu-ilmu agama akan tetapi memanfaatkan
teknologi informasi. Selain itu pesantren juga harus mengembangkan unit
pendidikannya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan juga industri
di Indonesia.

Salah satu contoh yang sudah mengikuti perkembangan zaman di saat ini
adalah pesantren Mambaus Sholihin Gresik. Seperti pedoman yang sudah
dituliskan oleh penulis diatas, pesantren ini tetap melestarikan hal-hal yang klasik,
akan tetapi selalu berinovasi untuk melakukan perkembangan dan perubahan
sesuai perkembangan zaman. Sehingga banyak santri dan juga alumni yang bisa
mengikuti perkembangan RI 4,0, seperti mahbub junaidi, dia adalah salah satu
alumni yang sudah mengembangkan dunia industri secara online. Selain itu dia
juga bisa melakukan pengembangan dirinya dalam dunia teknologi, seperti contoh
dia menjadi satu-satunya santri di gresik yang bisa mencipkan drone dan pesawat
aeromodeling yang terbuat dari kayu teriplek dan ataupun sterofome, lihat
(Akmal, Khumaini, & Mukhlis, 2017). Saat ini pesantren Mambaus Sholihin telah
mempunyai 8 cabang yang tersebar di beberapa provinsi Indonesia dan pada tahun
lalu salah satu santrinya juga menjadi juara Robotic di jepang, lihat (Rofiq, 2017).
Dari penjelasan dan contoh diatas dapat disimpulakn bahwa pendidikan di
pesantren selain tempat untuk memperoleh ilmu-ilmu agama, pesantren juga bisa
melakukan inivasi agar bisa bersaing di dunia global yaitu Revolusi Industri 4.0.
pesantren Mambaus Sholihin yang mempunyai visi Alim Sholeh dan Kafi telah
membuktikan bahwa pesantren adalah tempat yang ideal untuk meningkatan
sumberdaya manusia yang mempunyai etika, moral, inovatif, intellektual tinggi
dan juga mampu bertanggung jawab.

Respon Pesantren di Era Revolusi Industri 4.0

Alim Saleh Kafi


Penulis mengawali sub bab ini dengan sebuah visi dari salah satu
pesantren terbesar di Gresik Jawa Timur dalam mendirikan lembaga pendidikan.
Alim berasal dari bahasa arab" ‫ "عالم‬, kata ini merupakan isim fail dari madhi
‘ilmun ( ‫“ )علم‬ilmu” yang kemudian berartikan “orang yang berilmu”. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) alim merupakan orang yang mempunyai
ilmu tiggi terutama dalam hal agama (Departement Pendidikan dan Kebudayaan,
2016). Apabila di lihat dari segi istilahnya maka orang yang alim adalah mereka
yang mempunyai keilmuan luas baik secara agama maupun keilmuan lainnya.

Kemudian kata saleh juga berasal dari bahasa arab yang berartikan orang
yang mempunyai ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga apabila
manusai mempunyai rasa taqwa maka secara tidak langsung mereka juga
mempunya akhlaq mulia yang meliputi etika,sikap, moral, tanggung jawab.
Menurut Kamus Besar Bahaa Indonesia (KBBI) kata saleh adalah orang yang
sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah. Akan tetapi secara garis beras orang
saleh adalah mereka yang mempunyai cinta kepada Tuhan, Nabi dan juga
Makluknya.

Kafi ( ‫ )كاف‬merupakan isim fail dari madhi kafa ((‫“ كف‬cukup”, sehingga
setelah mengalami perubahan kata tersebut “kafi” berartikan orang yang cukup,
cukup dalam mendalami ilmu agada dan ilmu-ilmu yang lainnya. Apabilah
manusia sudah dikatakan kafi maka mereka sudah dekat dengan pencipta sehingga
akan mudah dalam menjalani kehidupan dunia. Selain itu dia juga akan bisa
melakukan terobosan-terobosan baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Pendidikan pesantren bertujuan untuk mencetak kader-kader bangsa yang


alim, saleh dan kafi, kader bangsa yang mempunyai keilmuan tinggi yang utuh,
unggul dan juga berkemajuan. Alim berarti mereka mempunyai knowledge yang
mumpuni baik dari keilmuan umum yang dberkembang dan juga ilmu agaman
untuk membentengi mereka agar tidak terjebak dalam perkembangan teknologi
informasi saat ini. agar kader bangsa bisa kuat dalam baik lahir dan batin mereka
maka mereka juga harus bisa menjadi orang saleh, orang yang mempunyai
kekuatan bathiniyah yang kuat dengan penciptanya agar terjaga dari hal-hal yang
negatif menurut kalayak umum. Kemudian keder Bangsa akan menjadi manusia
yang berkecukupan baik secara ekonomi, hubungan sosial dan juga kedekatan diri
mereka dengan pencipta. Akhirnya apabila hal tersebut bisa dilaksanakan dengan
baik maka bangsa Indonesai akan mempunyai sumberdaya yang kompeten dan
berdaya saing global, tidak akan ada lagi yang namanya kesenjangan sosial
diantara mereka.

Di sub-bab sebelumnya penulis telah menjelaskan bagaimana pesan


pesantren dalam menghadapi perkembangan industri 4.0. lantas bagaimana respon
pesantren dalam menghadapi RI 4.0. kalau melihat pengaruh perkembangan
industi 4.0, pesantren mau tidak mau juga harus lebih serius lagi dalam mengatasi
persolalan Bangsa dalam mencetak sumberdaya manusia yang kompeten. Manusia
yang kompeten adalah mereka yang mempunyai keilmuan luas, kemampuan serta
pengalaman yang cukup dalam bidangnya.

Dalam merespon tantangan perkembangan teknologi industri dan


informasi saat ini, pesantren harus melakukan evaluasi dan juga pengembangan
yang secara implisit dapat mengakomodir harapan masyarakat. Ambisi
masyarakat terhadap putra-putinya adalah mempunyai moral yang baik (Nucci,
Narvaez, & Krettenauer, 2013). Masyarakat menginginkan agar putra-putinya
mempunyai personaliti dan juga etika serta moral yang baik. Menutut (Azra &
Afrianty, 2005), harapan masyarakat terhadap pesantren yaitu; pertama, secara
keseluruhan pesantren harus tetap menjalankan peran mereka dalam transmisi
ilmu pengetauan, menjaga tradisi dan juga mencetak calon-calon ulamak dunia.
Kedua, santri tidak hanya dibekali ilmu-ilmu agama, akan tetapi jgaa ilmu umum
tentang perkembangan pendidikan dunia. Ketiga, santri dibekali ilmu pengetahuan
dan keterampilan sesuai dengan minat serta bakat mereka. Agar santri juga
mempunyai keahlian dalam bidang teknologi dan sains, yang saat ini menjadi
karakter dan ciri perkembangan teknologi, suapaya mereka nantinya dapat bekerja
atau membuka lapangan pekerjaan sesuai dengan tuntutan dunia.

Pesantren saat in harus dapat menghadapi tantangan global yaitu dengan


menghadirkan program-program yang realistis bagi masyarakat. Ada beberapa
prinsip stratgis dalam mengembangkan pendidikan pesantren, antara lain;
pertama, pesantren harus lebih serius dalam berorientasi untuk pengembangan
sumber daya manusia, sehingga pesantren berfungsi sebagai anticipatory learning
institution dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang tangguh, manusia yang
unggul dan utuh, agar mereka bisa menjadi generasi Bangsa yang cerdas, disiplin,
jujur, tekun, ulet dan juga inovatif. Kedua pesantren harus mengarahkan
perkembangannya dalam wujud pendidikan yang multikulturalisme. Karena
bangsa Indonesia adalah Bangsa yang majemuk, maka pesantren bisa mengemas
sistem pendidikannya dalam watak multikultural yaitu pendidikan yang ramah
dengan sesama dalam perbedaan budaya, sosial dan juga agama.

Sampai saat ini, menurut pengamatan penulis, sudah banyak pesantren


yang merespon perkembanagn teknologi saat ini, seperti Mambaus Sholihin
Gresik, Pesantren Bumi Solawat Sidoarjo, Amanatul Ummah Surabaya,
Tebuireng Jombang dan juga berbagai pesantren yang sudah menstransformasi
pendidikan agama dengan dunia teknologi, baik dalam pembukaan kelas
internasional, progessive, trans science dan ataupun yang lainnya. Pembukaan
program tersebut tidak lain inging mencetak kader Bangsa yang mempunyai daya
saing global. Salah satu contoh dari beberapa pesantren tersebut adalah Bumi
Sholawat Sidoarjo. Pesantren yang terbilag sudah separoh abad ini, bisa
melakukan transformasi pendidikan pesantren dengan pendidikan nasional, yaitu
di bukanya kelas Progressive. di pesantren ini pembelajarannya sudah
memanfaatkan teknologi informasi berbasis online. Selain itu, santri juga diajari
tentang perkembanagn teknologi sehingga banyak dari santri sana yang mendapat
juara robotik baik Nasional maupun Internasional.

Selama ini pesantren telah banyak mendapat kritikan dari pengamat


pendidikan karena masih melakukan proses pendidikan yang eksklusif, domatik
dan kurang menyentuh dalam aspek pekembangan teknologi. Akan tetapi kritikan
tersebut telah dijawab oleh pendidikan pesantren dalam mencetak kader bangsa
yang berwawasan luas dan juga mempunyai moralitas. Hal itu dikarenakan
pesantren akan tetap berpegang teguh pada karakter pesantren yaitu ”menjaga
tradisi yang klasik dan mampu bertranformasi dengan hal baru yang bermanfaat”

Karakteristik Santri di Era Revolusi Industri 4.0


“‫”أنا عب ُد َمنْ علَّمني حرفا واحدا‬

Kalimat diatas merupakan ucapan yang pernah dikeluarkan sayidina Ali


ra. Saat beliau di belajari mengaji oleh gurunya, dan kata tersebut diambil dari
kitab nashoihul ibad yang mempunya arti “Saya adalah hamba sahaya dari orang
yang telah mengajariku (meskipun) satu huruf saja”. Menurut pandangan penulis,
kalimat tersebut mempunyai arti yang sangat dalam karena sayidina siap menjadi
budak dari orang yang mengajari dia satu huruf saja. Melihat dari intisari kalimat
tersebut, karakter santri yang pertama adalah mempunyai rasa “kepatuhan”, yaitu
patuh pada kyai dan juga guru mereka. Bahkan mereka menganggap bahwa kyai
dan guru mereka adalah murobbi ruhi (orang yang membina jiwa santri).
Sehingga kedudukan dari kyai dan guru lebih tinggi dari pada kedua orang tua
mereka, karena orangtua adalah orang yang hanya melahirkan, membiayai serta
membina dalam segi kebutuhan mereka dalam hal dunia atau hanya bersifat
biologis saja, akan tetapi kyai dan guru lebih pada ruh dan juga spiritual santri.
Oleh karena itu, tugas dari seorang kyai dan guru bukan hanya sebagai pengajar
atau transferring knowledge saja, akan tetapi lebih pada membimbing jiwa serta
memberikan bimbingan, keteladanan dalam semua aspekkehidupan hingga
mereka benar-benar menjadi manusia yang kafa dan mempunyai keimanan tinggi
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Rassulnya.

Menurut (Baso, 2012) dalam jurnalnya, menjelaskan bahwa karakter santri


yang kedua adalah kemandirian, mandiri adalah karakter utama seorang santri,
karena di pesantren mereka di belajari untuk bisa mengatur dirinya masing-
masing sesuai dengan selera mereka. Kemandirian adalah aspek penting dalam
kehidupan agar para santri bisa berlaku jujur, terampil, cerdas, kreatif dan disiplin.
Yang ketiga adalah sederhana, kesederhanaan juga menjadi aspek penting yang
harus dipunyai oleh seorang santri, karena dengan sederhana maka santri akan
mempunyai sifat yang qona’ah (nerimo ing pandum) , sehingga mereka tidak
berlebihan. Dengan keserhanaan, santri juga di belajari agar tidak memandang
status sosial diantara mereka. Memiliki sifat kesederhanaan dan kekeluargaan
merupakan karakter santri yang keempat, karakter ini yang menjadi pembeda
antara santri dan siswa yang diluar pesantren. Munculnya karakter ini
dikarenankan santri diharuskan untuk selalu bergaul dan berinteraksi dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Perbedaan antara santri merupakan sebuah warna
agar mereka bisa memperkuat ukhuwwah diantara mereka. Pada akhirnya santri
akan mempunyai sifat persatuan, kebersamaan, toleransi, kesetiakawanan, gotong
royong dan saling tolong menolong dalam segala urusan meraka. Dengan
berbagai karakter tersebut maka santri akan mempunyai karakter yang kuat dan
siap dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan karakter kehidupan ber-
Bangsa.

Santri adalah salah satu ciri yang dimiliki oleh pesantren, santri yang bisa
mengaji, alim serta mempunyai etika keislaman kuat. Selain itu, ciri santri adalah
memiliki rasa kebangsaan yang kental (Baso, 2012). Akan tetapi hal tersebut
masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa santri adalah kaum yang
termarjinalkan, tradisional, kumuh dan juga terbelakang, hal itu dikarenakan
karena penampilan santri yang suka berpakaian secara sederhana (bersarung,
koko, dan berpeci).
Karakter yang menjadi ciri khas seorang santri adalah mempunyai sikap
mandiri, ihlas, dan juga sederhana, dan ketiga hal tersebut yang akan membuat
santri akan terus bisa mengikuti perkembangan zaman. Menurut az-Zanurji dalam
kitabnya ta’lim muta’alim menjelaskan bahwa karakter santri adalah memiliki
tanggung jawab tingggi dalam tugas dan kewajiban mereka untuk menjalankan
kewajibannya sebagai manusia, kedua, santri memiliki akhlaq yang mulia baik
pada sesama manusia ataupun pada mahluk cintaan tuhan yang lain, dan yang
ketiga, santri mempunya karakter pribadi yang kuat yang ditunjukkan dalam
kesehariaannya untuk menjalankan ibadah (Az-Zanurji, 2001).

Di era perkembangan teknologi informasi saat ini, karakter yang sudah


menjadi ciri khas santri diatas sedikit terkikis karana banyaknya santri yang secara
generasi mereka lahir digenerasi alfa. Generasi adalah sekelompok manusia yang
dapat di identifikasi dari usia, tahun kelahiran dan peristiwa yang memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan mereka (Tolbize, 2008). Setiap
generasi akan mempunyai kepribadian yang berbeda, hal itu dipengaruhi oleh
pengalaman, fikiran dan perilaku mereka. Selain itu mereka juga mempunyai latar
belakang yang berbeda mulai dari kelas sosial, jenis kelamin, wilayah, ras dan
agama. Sehingga setiap generasi akan mempunyai karakteristik yang berbeda,
karakter penulis dan pembaca juga pasti berbeda karana kita mempunyai latar
belakang yang berbeda pula. Beberapa ahli mempunyai perbedaan dalam
menerangkan generasi baik dalam hal pengelompokan ataupun kategori waktu
(Andrea, Gabriella, & Tímea, 2016; Catsoupes, Costa, & Besen Elyssa, 2009;
Johnstone, 2001). (Andrea et al., 2016) mengklasifikasikan generasi menjadi
enam kelompok;

No Generasi Tahun
1 Generasi Veteran 1925 – 1946
2 Generasi Baby boom 1946 – 1960
3 Generasi X 1960 – 1980
4 Generasi Y 1980 – 1995
5 Generasi Z 1995 – 2010
6 Generasi Alfa 2010 +
Klasifikasi generasi menurut (Andrea et al., 2016)
Generasi yang lahir di tahun 2010 keatas adalah generasi alfa kemudia
Augusto menyebutnya dengan generasi Gen A (Augusto et al., 2018). Generasi
Alfa merupakan penerus dari generasi Z (Theko, 2018; Tootell, Freeman, &
Freeman, 2014; Turk & Bergin, 2018). Sehingga anak-anak yang lahir di generasi
tersebut juga dengan generasi millenial (Johnstone, 2001), mereka tumbuh dan
berinteraksi dengan perkembangan teknologi informasi, robot canggih dan juga
artificial intelligence (kecerdasan buatan). Sehingga mereka akan merespon
sebuah perintah dan juga memiliki mainan yang akan mampu menunjukkan
kecerdasan emosional (Theko, 2018).

Generasi millenial merupakan generasi abad 21 yang pertama lahir dalam


jumlah besar, yang di tahun 2025 akan membengkak sekitar 2 miliar (Theko,
2018). Jumalah tersebut menunjukkan peningkatan yang besar dari generasi
sebelumnya. Melihat dari kondisi tersebut maka bisa disimpulkan bahwa generasi
alfa akan mempunyai pengetahuan teknologi yang lebih luas dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Sehingga untuk menjadi seorang pendidik di generasi
tersebut juga harus lebih akrab dengan perkembangan teknologi informasi. Oleh
karena itu seorang guru juga betul-betul manyiapkan materi pembelajarannya
sesuai dengan perkembangan teknologi. Untuk menghadapi generasi alfa maka
seorang guru harus menyiapkan beberapa hal berikut; pertama guru harus lebih
mengutamakan perkembangan keterampilan siswa, bukan lagi pada isi materi,
kedua, bemberikan pembelajaran yang lebih fleksibel, tiga, meningkatkan
kemampuan kolaboratif siswa dan yang terakhir guru harus mengembangkan soft
skill siswa (Theko, 2018; Turk & Bergin, 2018; Zmuda, lAlcock, & Fisher, 2018).

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan juga klasifikasi


generasi manusai tersebut maka setiap generasi akan mempunyai generasi yang
berbeda, bagaimana karakteristik siswa yang lahir di generasi alfa/generasi
millenial di perkembangan Revolusi Industri 4.0.

Karakteristik siswa adalah sebuah bagian dari pengelaman mereka yang


dapat berpengaruh terhadap keefektifan belajar (Seel, 2010). (Dianti, 2014)
Menjelaskan bahwa karakteristik adalah salah satu dalam domain desain
pembelajaran, yang mana berisikan tentang latar belakang yang dimiliki oleh
siswa dan juga aspek lain yang ada pada diri peserta didik, seperti; kemampuan
umum, ekspektasi, tahap pengajaran, ciri jasmani dan emosional, yang mana
semua itu bisa berpengaruh terhadap keefektifan belajar. Salah satu karakter yang
harus dimiliki siswa di era RI 4.0 adalah mempunyai keterampilan belajar yang
inovatif (Dianti, 2014). Siswa dituntut untuk berfikir kritis dengan kebebasan
berfikir dalam proses pembelajaran. Sehingga untuk meningkatkan daya kritis
siswa dan juga daya interpretasi mereka, maka pendekatan learner centered
merupakan pendekatan yang paling cocok bagi siswa.

Pendekatan learner centered bukanlah sebuah pendekatan yang berprinsip


pada benar atau salah, akan tetapi berprinsip pada bagaimana seorang guru dapat
mengembangkan kemampuan bernalar peserta didik (Byrne, 2016). Sehingga
model pembelajaran kontrustivistik seperti kooperatif, metode diskusi, curah
pendapat dan debat adalah metode yang dianggap paling cocok (Ozgul, Kangalgi,
Diker, & Yamen, 2018), karena model pembelajaran tersebut berfungsi untuk
melatih peserta didik agar memiliki kemampuan bertanya serta mengembangkan
berfikir kritis mereka (Zhao, Pandian, & Mehar Singh, 2016).

Setelah melihat dari penjelasan tentang karakter santri dan juga karakter
siswa yang diharapkan di perkembangan industri 4.0 maka penulis berpendapat
bahwa selama ini hal yang di inginkan oleh dunia pendidikan dan juga pemerintah
dalam menangani degradasi moral bangsa ada di pesantren. Kareka di pesantren
santri akan benar-benar di didik agar menjadi manusia yang alim saleh dan kafi,
manusia yang unggul, utuh dan berkemajuan.

Kesimpulan

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan agama Islam yang


menjadi tempat bagi generasi Indonesia untuk mencetak ulama’ besar, cendikiawa
muslim dan juga generasi yang mempunyai karakter kebangsaan dan berakhlakul
karimah. Di era perkembanagn teknologi informasi saat ini, pendekatan
pembelajaran telah mengalami perkembangan yang sangat cepat sehingga dapat
merubah pola pikir masyarakat. Ketersediaan teknologi informasi yang
tersambung internet membuat semua orang dengan mudah untuk melakukan akses
keilmuan. Sehingga pesantrenpun juga harus bisa mengaktualisasikan
perkembangan tersebut yaitu dengan mengembangkan kurikulum pesantren yang
sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman. Sesuai dengan visinya yaitu tetap
menjada tradisi klasik akan tetapi bisa bertransformasi dengan tradisi baru yang
baik dan bermanfaat.

Saat ini pendekatan pembelajaran yang sudah dilakukan oleh pesantren


sudah sesuai dengan tuntutan zaman yaitu menjadikan santri untuk berfikir kritis,
akan tetapi pesantren juga harus lebih kreatif lagi dalam mengembangkan kualitas
santri. Untuk menghadapi generasi alfa/millenial maka pesantren juga bisa
mengembangkan model pembelajarannya dengan memanfaatkan dunia teknologi
informasi agar tetap bisa bersaing dengan dunia global. Seiring dengan
perkembangan teknologi informasi dan hadirnya sosial media (facebook, twiter,
instagram, youtube dll) telah banayk digunakan untuk media yang bertentangan
dengan nilai-nilai kebinekaan dan juga menjaga kerukunan antar bangsa. dengan
begitu pesantren harus bisa hadir agar dapat mengimbangi literatur keislaman
yang mengandung ideologi radikal dan konservatif yaitu dengan memproduksi
literatur Islam yang lebih moderat. Selain itu pesantren juga harus membuka diri
dengan perkembanagn teknologi dan membekali santri-santrinya untuk
memahami dunia digital agar mereka tidak mudah termakan isu-isu hoax dan
menyebarkan berita bohong.

Daftar Pustaka

Abbas, K., Hassan, Z. Bin, & Bahru, J. (2014). Integrated Learning Model
Cultural-Art and Character, 2, 1–6.
Adams, D. (1993). Defining Educational Quality. Educational Planning, 9(3), 3–
18.
Akmal, Khumaini, A. M., & Mukhlis. (2017). Santri Bisa Ciptakan Pesawat
Aeromodelling. Retrieved February 5, 2019, from
https://issuu.com/irfanha/docs/memorandum_edisi_01_juli_2017
Andrea, B., Gabriella, H., & Tímea, J. (2016). Y and Z Generations at
Workplaces. Journal of Competitiveness, 8(3), 90–106.
https://doi.org/10.7441/joc.2016.03.06
Asyari, H. (2010). ‫( اداب العا لم و المتعلم‬Pertama). Jombang, Indonesia: Al-Hidayah.
Augusto, T., Gomes, C., Fernanda, C., Bezerra, D. M., Oste, G., & Cremonezi, G.
(2018). Study on The Alpha Generation And The Reflections of Its Behavior
in the Organizational Environment. Quest Journals, Journal of Research in
Humanities and Social Science, 6(1), 9–19. Retrieved from
Www.Questjournals.Org
Az-Zanurji. (2001). Ta’lim Muta’alim (10th ed.). Surabaya: Al-Hidayah.
Aziz, H. (2017). Uian Terbuka Program Doktor. Surabaya: Pascasarjana UIN
Surabaya.
Aziz, I. N. (2017). Curriculum Development of KKNI at English Education
Department of INKAFA Gresik. Jalie, 2, 3. Retrieved from Jalie.com
Azra, A., & Afrianty, D. (2005). Pesantren and Madrasa: Modernity and
Indonesian Muslim Society. Workshop on Madrasa, Modernity and Islamic
Education May 6-7, 1–31.
Baso, A. (2012). Kembali Ke Pesantren, Kembali Ke Karakter Ideologi Bangsa.
Karsa, 20(1).
Beckett, K. S. (2013). Paulo Freire and the concept of education. Educational
Philosophy and Theory, 45(1), 49–62.
Benjamin, D. J., Brown, S. A., & Shapiro, J. M. (2006). Who is ? Behavioral??
Cognitive Ability and Anomalous Preferences. Journal of the European
Economic Association, 11(6), 1–50.
https://doi.org/https://doi.org/10.1111/jeea.12055
Busyairi, M. (2017). Education Unit Transformation for Maintain Its Existence in
Islamic Boarding School ( Multi-case Study on Tebuireng Islamic Boarding
School , Gading Islamic Boarding School Malang , and Sidogiri Islamic
Boarding School Pasuruan ). Journal of Education and Practice, 8(5), 56–64.
Byrne, B. L. (2016). Learner-Centered Teaching Activities for Environmental and
Sustainability Studies. London: Springer Netherlands.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-28543-6
Catsoupes, M. P., Costa, C. M., & Besen Elyssa. (2009). age & generations:
Understanding Experiences at Workplace. New York: the Sloan Center on
Aging and Work; Boston College. Retrieved from agework@bc.edu
Dell, C. A., Dell, T. F., & Blackwell, T. L. (2015). Applying universal design for
learning in online courses: Pedagogical and practical considerations. The
Journal of Educators Online, 13(2), 166–192. https://doi.org/ISSN 1547-
500X
Departement Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta, Indonesia: Balai Pustaka.
Dhofier, Z. (1982). Tradisi pesantren: Studi tentang pandangan hidup kyai.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Dianti, P. (2014). Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran. JPIS,
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 23(1), 58–68.
https://doi.org/10.17509/jpis.v23i1.2062.6846, DOI:
http://dx.doi.org/10.17509/jpis.v23i1
Effendi, M., Matore, E. M., Soh, T. M. T., Norman, H., & Yunus, M. M. (2018).
Eduinnovation (Inovasi Pendidikan dalam Era Revolusi Industri 4.0). (M.
Effendi, E. M. Matore, T. M. T. Soh, H. Norman, & M. M. Yunus, Eds.)
(First Edit). Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Elkind, D. H., & Sweet, F. (2004). How to do character education. Artikel Yang
Diterbitkan Pada Bulan September/Oktober.
Gaus, D. (2017). Pendidikan Islam Indonesia Dan Tantangan Globalisasi:
Perspektif Sosio-Historis. Jurnal Kependidikan Dasar Islam Berbasis Sains,
2(1), 1–22. Retrieved from
http://ibriez.iainponorogo.ac.id/index.php/ibriez/article/view/21
Gazali, E. (2018). Pesantren di antara generasi alfa dan tantangan dunia
pendidikan era revolusi industri 4.0. OASIS : Jurnal Ilmiah Kajian Islam,
2(2), 94–109. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/327392703
Goleman, D. (2006). Social Intelligence(the new science of human relationships).
New York: Bantam Books.
Herlina, L., & Suwanto. (2018). Kecerdasan Intelektual dan Minat Belajar
Sebagai Determinan Prestasi Belajar Siswa (Intellectual Intelligence and
Learning Interest as Determinants of Students’ Achievement). Jurnal
Pendidikan Manajemen Perkantoran, 2(1), 111–119. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/jpmanper
Hersh, R. H. (1980). Models of Moral Education: An Appraisal.
Hiryanto. (2017). Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi Serta Implikasinya dalam
Pemberdayaan Masyarakat. Dinamika Pendidikan, 65(1), 6. Retrieved from
https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-
pendidikan/article/viewFile/19771/10802
Johnstone, D. M. (2001). Review of Howe and Strauss ’ " Millenials Rising : The
Next Great Generation ". In D. M. Johnstone (Ed.), The Journal of the
Association for Christians in Student Development (First Edit, pp. 115–117).
New York: Digital Commons of George Fox University.
Kemenag. (2019). Emis Pendis Kemenag. Retrieved February 4, 2019, from
http://emispendis.kemenag.go.id/emis2016v1/index.php?
jpage=QTNtaXcvS04xZ0E5dmZwUEpHb2tSQT09
Lee, J. (2013). Recent Advances and Trends of Predictive Manufacturing Systems
in Big Data Environment. California. Retrieved from
https://9bvc812z34d12xbblutmxs1b-wpengine.netdna-ssl.com/wp-
content/uploads/2017/07/Jay-Lee.pdf
Lickona, T. (2009). Educating for character: How our schools can teach respect
and responsibility. Bantam.
Lukens-Bull, R. A., & Dhofier, Z. (2000). The Pesantren Tradition: A Study of
the Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam
in Java. The Journal of Asian Studies, 59(4), 1091.
https://doi.org/10.2307/2659290
Mario, H., Tobias, P., & Boris, O. (2015). Design Principles for Industrie 4.0
Scenarios: A Literature Review (1 No. 1). Dortmund, Jerman. Retrieved from
www.snom.mb.tu-dortmund.de
Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. R. (2010). Emotional Intelligence (First
Edit). MTD Training. https://doi.org/10.1037/0003-066X.63.6.503
Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2013). Handbook of Moral and
Character Education. (L. Nucci, D. Narvaez, & T. Krettenauer, Eds.)
(Second Edi). London and New York: Rouledge Taylor & Francis Group.
https://doi.org/10.4324/9780203114896
Ozgul, F., Kangalgi, M., Diker, G., & Yamen, E. (2018). Evaluation of the
Constructivist Learning Environments of Physical Education Teacher
Candidates. European Journal of Educational Research, 7(3), 19–22.
https://doi.org/10.12973/eu-jer.7.3.653
Preis, D. D., & Sternberg, R. J. (2017). Innovation in Educational Psychology:
Perspective on Learning, Teaching and Human Development. (D. D. Preis &
R. J. Sternberg, Eds.), Springer (First, Vol. 91). New York: Springer
Publishing Company.
Rayan, S. (2012). Islamic philosophy of education. International Journal of
Humanities and Social Science, 2(19), 150–156.
Riyadi, A. S., Retnadi, E., & Supriatna, A. D. (2012). Perancangan sistem
informasi berbasis website subsistem guru di sekolah pesantren persatuan
islam 99 rancabango. Jurnal Algoritma, 9.
Rofiq, A. (2017). Selain Mengaji, Santri Mambaus Sholihin Juga Bisa Membuat
Robotic. Retrieved February 5, 2019, from
https://www.blitartimes.com/baca/158677/20170917/154415/selain-mengaji-
santri-ponpes-mambaus-sholihin-bisa-buat-robot-soccer/
Rowe, J. P., Ha, E. Y., & Lester, J. C. (2008). Archetype-driven character
dialogue generation for interactive narrative. Lecture Notes in Computer
Science (Including Subseries Lecture Notes in Artificial Intelligence and
Lecture Notes in Bioinformatics), 5208 LNAI, 45–58.
https://doi.org/10.1007/978-3-540-85483-8_5
Santrock, J.W. (2004). Educational Psychology. (E. R. Slavin, Ed.) (Twelfth).
New York: McGraw Hill.; Pearson.
Santrock, John W. (2011). Educational Psychology (Fifth). San Francisco, New
York: McGraw Hill Press.
Scoppio, G., & Covell, L. (2016). Mapping trends in pedagogical approaches and
learning technologies: perspectives from the canadian, international, and
military education contexts. Canadian Journal of Higher Education, 46(2),
127–147.
Seel, N. M. (2010). Understanding Models for Learning and Instruction. Unite
State of America: Springer Netherlands.
Slavin, E. R. (2012). Educational Psychology: Theory and Practice (Eight). San
Francisco, New York: Pearson an AB. https://doi.org/10.1007/s13398-014-
0173-7.2
Subekti, H., Susilo, H., Taufiq, M., & Suwono, H. (2018). MENGEMBANGKAN
LITERASI INFORMASI MELALUI BELAJAR BERBASIS KEHIDUPAN
TERINTEGRASI STEM UNTUK MENYIAPKAN CALON GURU SAINS
DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Education and
Human Development Journal, 3(1), 81–90.
https://doi.org/10.33086/ehdj.v3i1.90
Sunyoto, A. (2005). Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren
Dihabisi Nalar Barat. Makalah Disajikan Dalam Work Shop Pondok
Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU, Kediri, 25–27.
Sunyoto, A. (2012). Suluk Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti
Jenar. Buku Empat. Cet. V. Yogyakarta: LKiS.
Syafe’i, I. (2017). Pondok pesantren: Lembaga pendidikan pembentukan karakter.
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 61–82.
Theko, K. (2018). Meet Generation Alpha. Retrieved February 5, 2019, from
http://www.fluxtrends.com/meet-generation-alpha/
Tolbize, A. (2008). Generational differences in the workplace. Research and
Training Center on Community Living. Unite State of America: University of
Minnesota. https://doi.org/https://doi.org/Retrieved from
http://search.proquest.com.library.ca pella.edu/docview/195561673?accou
ntid=27965
Tootell, H., Freeman, M., & Freeman, A. E. (2014). Generation alpha at the
intersection of technology , play and motivation. Institutional Repository for
the University of Wollongong, 47(2), 82–90. Retrieved from
http://ro.uow.edu.au/eispapers/2068
Turk, V., & Bergin, M. (2018). Understanding Generation Generation Alpha. (S.
Ward, Ed.) (First Edit). United Kingdom: Wired Consultan.
Velasufah, W., & Setiawan, A. R. (2019). Nilai Pesantren sebagai Dasar
Pendidikan Karakter.
Wahid, A. (1999). Prolog: Pondok Pesantren Masa Depan. Di dalam Buku yang
berjudul, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan ….
Wekke, I. S. (2012). PESANTREN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
KEWIRAUSAHAAN: Kajian Pesantren Roudahtul Khuffadz Sorong Papua
Barat. Inferensi, 6(2), 205–226. https://doi.org/10.18326/infsl3.v6i2.205-226
Wyse, D., & Jones, R. (2005). Teaching English , Language and Literacy. London
and New York: Rouledge Taylor & Francis Group.
Yahya, M. (2018). Era Industri 4.0: Tantangan dan Peluang Perkembangan
Pendidikan Kejuruan Indonesia. Universitas Negeri Makasar, Makasar,
Indonesia.
Zhao, C., Pandian, A., & Mehar Singh, M. K. (2016). Instructional Strategies for
Developing Critical Thinking in EFL Classrooms. English Language
Teaching, 9(10), 14. https://doi.org/10.5539/elt.v9n10p14
Zmuda, A., lAlcock, M., & Fisher, M. (2018). Meet Generation Alpha: Teaching
the Newest Generation of Students. Retrieved February 6, 2019, from
https://www.solutiontree.com/blog/teaching-generation-alpha/

Anda mungkin juga menyukai