Anda di halaman 1dari 244

PENGEMBANG ISLAM

DAN BUDAYA MODERAT

Suwito, Abdul Gani Abdullah, dkk

Penerbit YPM
2016
Judul
Pengembang Islam dan Budaya Moderat

Penulis
Suwito, dkk

xxii + 222 hlm.; ukuran buku 18,4 x 21 cm

ISBN 978-602-7775-55-8

Cetakan pertama, September 2016

© Hak Cipta milik para penulis, 2016

Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.

Artikel yang ada di dalam buku ini boleh dikutif dengan


mencantumkan sumber secara lengkap.

Young Progressive Muslim


http://www.ypm-publishing.com
http://ypm-publishing.com/index.php/terbitan/29-pengembang-islam-
dan-budaya-moderat
SAMBUTAN REKTOR

Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam


perkembangan UIN Syarif Hidayatllah, Jakarta. Betapa tidak, beliau
adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang
sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan
reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi
juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif
menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al hadis menjadi tariqah
ahlu al-Ra’yi bahkan tariqah al jam’an (aliran konvergensi yang
mencoba memadukan antara dua aliran ahlu al-hadis dan ahlu al-
ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan
pemikiran, dianalisis dan disimpulkan. Dengan demikian, para
mahasiswa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan
kritik terhadap berbagai pemikiran dan implementasi keagamaan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka
terhantarkan untuk menjadi orang-orang terbuka dengan perbedaan,
dan mampu beradaptasi dalam keragaman, dengan tetap memiliki
satu keyakinan akan kebenaran yang dianut mereka.
Sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi
akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga
kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta
sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus
berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja
dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap
sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi
identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayataaullah, Jakarta,
sehingga mereka bisa diterima dalam berbagai profesi, baik inline
dengan keahlian program studinya maupun tidak. Ciri keberagamaan
yang inklusif tersebut, telah mampu menghantarkan para alumni
untuk bisa diterima dalam berbagai kelompok sosial, etnik dan
agama yang berbeda, serta mampu beradaptasi dengan siapapun di
dunia. Disadari atau tidak, itu merupakan salah satu jasa besar dari
iii
Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Reformasi lain yang beliau lakukan selama menjadi Rektor
IAIN adalah melakukan pengiriman para alumni dan dosen muda
untuk kuliah jenjang Magister dan Doktor di berbagai universitas di
Amerika dan Eropa (khususnya di negara-negara yang memiliki
tradisi studi Islam dengan baik), suplementasi terhadap tradisi
pengiriman para mahasiswa ke berbagai universitas di Timur
Tengah. Beliau selalu mengatakan, bahwa kekuatan kajian di
berbagai universitas di negara-negara Barat adalah metodologi,
walaupun dalam aspek konten keilmuannya lemah dibanding dengan
program magister dan doktor di berbagai universitas di Timur
Tengah. Dan kini UIN memiliki banyak doktor studi Islam, dan
bahkan dalam bidang sosial serta humaniora, keluaran berbagai
perguruan tinggi ternama di negara-negara Barat. Interaksi mereka
dengan para magister dan doktor dari Timur tengah, dan berbagai
universitas dalam negeri, telah mengangkat citra kampus UIN
sebagai kampus yang memiliki dinamika akademis tinggi, apalagi
dengan publikasinya yang telah mengejutkan masyarakat akademis,
khususnya di Indonesia.
Secara personal, beliau sangat yakin bahwa teologi rasional
akan bisa membawa perubahan sosial masyarakat Indonesia, karena
perubahan itu akan terjadi jika manusianya memiliki keinginan untuk
berubah, dan melakukan usaha untuk memenuhi keinginannya itu.
Beliau sangat yakin, bahwa Tuhan tidak akan mengubah masyarakat
hanya dengan pendekatan do’a. Oleh sebab itu, umat Islam
Indonesia, harus meyakini, bahwa perubahan menuju masyarakat
ideal, harus diupayakan dengan langkah-langkah sistematik dan
terukur, sehingga bisa divaluasi pencapaiannya. Inilah keyakinan
beliau yang selalu ditekankan pada para mahasiswanya, kendati
beliau sangat hormat pada para ulama salaf, abad pertengahan, dan
bahkan para cendikiawan modern. Bahkan beliaupun sendiri
termasuk cendikiawan muslim dengan komitmen ubudiah yang
iv
sangat baik. Dengan demikian, para mahasiswa yang berjumpa
langsung, memiliki kesan positif tentang guru besar ini, dan jauh dari
kesan sekuler serta mengabaikan ritual keagamaan.
Pada tahun 1982, beliau memulai mendirikan Program
Pascasarjana, sebagai kelanjutan dari program pendidikan Purna
Sarjana yang menjadi kebanggaan PTAIN pada dekade 1970-an.
Program Pascasarjana berjenjang pendidikan Magister dan Doktor
tersebut menerima para dosen yang sudah diangkat IAIN dengan
bekal pendidikan sarjana, para dosen Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum, serta dosen-dosen Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta (PTAIS). Memang kesempatan pendidikan luar
negeri sudah terbuka, dan akses kesempatan terbuka bagi banyak
orang. Tapi tidak semua dosen berkesempatan baik, karena informasi
yang masih susah terakses, basis kemampuan Bahasa (Arab dan
Inggris) yang belum merata dan sistem serta mekanismenya masih
agak rumit, sehingga pada dekade 1980-an, arus pendidikan luar
negeri masih sangat terbatas. Dengan demikian, para dosen
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memilih untuk mengambil
pendidikan magister dan doktor di dalam negeri yang pada tahap
awal hanya diselenggarakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Keduanya kini sudah
bertransformasi menjadi UIN sejak tahun 2002 dan 2004, bahkan
sudah diikuti oleh sembilan IAIN lainnya). Kedua Program
Pascasarjana (PPs) tersebut sangat dipengaruhi oleh cara berfikir
beliau, dan bahkan beliau sendiri mengajar di dua institusi tersebut.
Dengan demikian, sampai dekade awal abad ke-21 ini, hampir
seluruh UIN dan IAIN, dan bahkan STAIN, sangat dipengaruhi oleh
paradigma berfikir keagamaan yang dibangun oleh beliau.
Inilah sosok guru besar yang telah meninggalkan jejak sejarah
reformasi paradigm akademik Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI), dengan mengusung pemikiran Islam rasional, baik dalam
teologi, hukum Islam, filsafat maupun tasawuf, gerakan modernisasi
dalam pengelolaan lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga
v
pendidikan keagamaan Islam, dan bahkan beliau bersama para tokoh
generasi awal menyuarakan serta memperjuangkan kajian keilmuan
non dikotomis, dengan usulan pengembangan institusi PTAI menjadi
sebuah perguruan tinggi yang memiliki kewenangan mengelola ilmu-
ilmu non keagamaan. Dengan demikian, gerakan transformasi IAIN
menjadi UIN merupakan kelanjutan dari wacana keilmuan yang
sudah beliau suarakan sejak awal, ketika akan memastikan domain
kewenangan keilmuan yang akan dikelola oleh IAIN, agar
diapresiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri sangat berbangga
memiliki sosok tokoh besar Pak Harun. Maka wajar kalau auditorium
terbesar tempat seminar, international conference, pengukuhan guru
besar, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa, dan venue di
mana para ilmuwan dalam dan luar negeri memaparkan hasil-hasil
penelitiannya, dinamai Auditorium Harun Nasution. Sekedar untuk
mengenang kebesaran peran sejarah beliau untuk kemajuan
akademik dan keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami
sendiri menyadari bahwa Pak Harun bukan hanya milik UIN Jakarta,
tapi miliki semua PTAI N/S dengan karya-karyanya yang sampai
sekarang masih tetap setia untuk digunakan sebagai buku teks
keagamaan. Tetapi para murid beliau memang lebih banyak berada
di UIN Jakarta, dan wajar pulalah, jika kini UIN sedang memperkuat
eksposing Islam moderat, inklusif dan toleran, mengenang kembali
kehadiran sosok Pak Harun dengan berbagai peran intelektualisme
dan gerakan kulturalnya.
Atas nama Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kami
menyambut baik terbitnya buku “Pengembang Islam dan Budaya
Moderat”, yang merupakan kelanjutan dari sebuah seminar di UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengapresiasi penganugerahan bintang
kelas budaya Parama Dharma, terhadap Pak Harun, dan mengenang
wafatnya guru kita semua hampir dua dekade yang lalu. Buku ini
merupakan bunga rampai tulisan para murid Pak Harun, yang kini
vi
masih berada dan eksis baik dalam tugas mengajar, melakukan
penelitian dan bahkan publikasi karya-karya akademik mereka,
dengan menyampaikan perasaan, serta kesan-kesan manis bersama
Pak Harun, baik di dalam kelas, di rumah, maupun dalam even-even
lain yang telah menghantarkan kita dan mereka semua menjadi
intelektual produktif dan diapresiasi positif oleh masyarakat.
Kepada para penggagas, para penulis dan editor, dan seluruh
yang terlibat dalam penerbitan buku ini, kami sampaikan ucapan
terima kasih, mudah-mudahan menjadi legacy dan sumber informasi
berharga bagi para akademisi generasi ketiga dari Pak Harun, yang
sampai sekarang masih secara konsisten memahami, serta
menggunakan paradigma akademik Islam rasional dan gerakan
modernisme, dalam mengusung Islam moderat yang menghargai
keragaman aliran dan pandangan keagamaan. Inilah hasil nyata
sebuah pendekatan kajian Islam empirik yang dilakukan Pak Harun.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, 26 September 2016.
Rektor,

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

vii
viii
HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM
DAN BUDAYA MODERAT

Pengantar Penerbitan

Bagi orang yang tidak pernah menjadi murid atau mendengar


pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (selanjutnya ditulis Pak Harun),
atau kurang mantap membaca komentar para penulis tentang dia
maka sebaiknya membaca langsung karya-karyanya. Karya-karya
Pak Harun enak dibaca dan perlu, meminjam istilah Tempo. Enak
dibaca karena buku karya Pak Harun menggunakan bahasa Indonesia
yang fasih dan simpel sehingga pada setiap buku, jumlah
halamannya tidak banyak dan tidak tebal. Perlu, karena isi bukunya
mengenai nilai-nilai dasar Islam. Selain ada dalil-dalil al-Quran dan
Hadis, karya Pak Harun banyak menyajikan tentang Islam yang
terjadi, baik yang ada dalam pemikiran para tokoh maupun yang
terjadi dalam sejarah.
Buku karya Pak Harun antara lain sebagai berikut:
1. Falsafat Agama. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh
penerbit Bulan Bintang. Buku ini terdiri atas 5 Bagian. Bagian 1
tentang Falsafat Agama, Epistemologi, dan Wahyu. Bagian 2
tentang Ketuhanan. Bagian 3 Argumen-argumen Adanya Tuhan.
Bagian 4 tentang Roh. Bagian 5 tentang Soal Kejahatan dan
Kemutlakan Tuhan.
2. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku ini terdiri atas 2
jilid. Jilid I mulai terbit tahun 1974 yang terdiri atas 6 Bab. Bab 1
tentang Agama dan Pengertian dalam Berbagai Bentuknya. Bab
2 tentang Islam dalam Pengertian yang Sebenarnya. Bab 3
tentang Aspek Ibadat, Latihan Spiritual dan Ajaran Moral. Bab 4
tentang Aspek Sejarah dan Kebudayaan yang terdiri atas Periode
Klasik (650-1250), Periode Pertengahan (1250-1800), dan
Periode Modern (1800). Bab 5 Aspek Politik, dan Bab 6 tentang
Lembaga-lembaga Kemasyarakatan.
ix
Buku jilid II terbit pertama kali tahun 1974 oleh Penerbit Bulan
Bintang Jakarta, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku Jilid II ini
terdiri atas 5 Bab disertai dengan Penutup. Buku yang dimulai
dari Bab VII ini berisi Aspek Hukum, Bab VIII Aspek Teologi,
Bab IX Aspek Filsafat, Bab X Aspek Misticisme, Bab XI Aspek
Pembaharuan Dalam Islam, Penutup, dan disertasi Daftar Nama-
nama Istilah, sebanyak 120 halaman.
Pak Harun dalam kata penutup pada buku Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya ini memberikan catatan bahwa ruang lingkup
Islam tidaklah sempit malahan luas sekali. Ia antara lain
menyebutkan bahwa kalau disebut Islam maka yang dimaksud
bukan hanya ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan akhlak. Islam
lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban,
falsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan
politik.
Selanjutnya, Pak Harun juga menyatakan bahwa penafsiran-
penafsiran yang ada dalam Islam lahir sesuai dengan suasana
masyarakat yang ada di tempat dan zaman itu muncul. Zaman
terus menerus membawa perobahan pada suasana masyarakat.
Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai
pemikiran di zaman tertentu, belum tentu sesuai untuk zaman
lain.
3. Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini pertama kali diterbitkan
tahun 1982. Buku ini terdiri atas 6 Bab dan Penutup. Bab I Akal,
Bab II Wahyu, Bab III Al-Quran dan Kandungannya, Bab IV
Kedudukan Akal dalam Al-Quran dan Hadis, Bab V
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam atas Pengaruh
Ajaran Pemakaian Akal, Bab VI Akal dan Wahyu dalam
Pemikiran Keagamaan dalam Islam, dan Penutup. Buku ini terbit
pertama kali tahun 1982 oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press). Total halaman buku ini adalah 109 termasuk Daftar
Pustaka.

x
Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini sebagai
berikut. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi
dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.
Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Quran
sendiri. Pak Harun pada akhir buku ini menyatakan bahwa
pemakaian akal diperintahkan al-Quran seperti yang terdapat
dalam ayat-ayat kawniah mendorong manusia untuk meneliti
alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Dengan
pemakaian akal yang ada dalam dirinya inilah yang membuat
manusia menjadi khalifah di bumi.
4. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Buku ini terbit pertama kali tahun 1975 oleh Penerbit Bulan
Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini terdiri atas
Pengantar yang terbagi lagi ke dalam: Pengertian Pembaharuan,
Maju Mundurnya Umat Islam dalam Sejarah, Pemikiran dan
Usaha Pembaharuan Sebelum Periode Modern, Kerajaan
Usmani, India, dan Arabia. Bagian Pertama: Mesir. Terdiri atas
pembahasan Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir,
Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Murid dan Pengikut
Muhammad Abduh: Muhammad Farid Wajdi, syaikh Tantawi
Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul, Ahmad Luthfi al-Sayyid,
Ali Abd Raziq, dan Taha Husain. Bagian Kedua: Turki. Terdiri
atas pembahasan Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda,
Turki Muda, Tiga Aliran Pembaharuan: Barat, Islam, dan
Nasionalis, serta Mustafa Kemal. Bagian Ketiga: India-Pakistan.
Terdiri atas pembahasan Gerakan Mujahidin: Syah Abdul Aziz,
Sayyid Ahmad Syahid, Darul Ulum Deoband, Sayyid Ahmad
Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, dan
Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India, serta

xi
Penutup, Daftar Pustaka, dan Indeks. Total halaman buku ini
213.
Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini antara lain
dengan menyatakan bahwa para tokoh muslim baru sadar akan
kelemahan dan kemunduran umat Islam timbul setelah adanya
kontak dengan Barat di abad 18 dan 19. Adanya kontak tersebut
membuat para pemimpin mengadakan perbandingan antara dunia
Islam yang sedang menurun dan dunia Barat yang sedang
menaik. Kesadaran bertambah besar lagi setelah beberapa
Negara Islam dapat ditundukkan Barat.
Pak Harun juga menyatakan bahwa orientasi keakhiratan umat
Islam harus diimbangi dengan orientasi keduniaan sehingga umat
Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan dan berusaha
mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi sebagai
halnya dengan umat-umat lain. Pendidikan tradisional harus
diubah dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu
pengatahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. Akhirnya,
Pak Harun menyatakan bahwa Islam tidak menghalangi
pembaharuan yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang
dibawa wahyu.
5. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam: Falsafat Islam, Mistisisme
Islam, dan Tasawuf. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh
Penerbit Bulan Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini
terdiri atas 2 Bagian, yaitu Bagian Pertama Falsafat Islam dan
Bagian Kedua Mistisisme Islam – Tasawuf. Bagian Pertama
terdiri atas: Kontak Pertama antara Islam dan Ilmu Pengetahuan,
serta Falsafat Yunani, Ya’kub ibnu Ishaq al-Kindi: Falsafat
Ketuhanan dan Falsafat Jiwa, Abu Bakar Muhammad ibnu
Zakaria al-Razi: Falsafat Lima Kekal, Roh dan Materi, dan Rasio
dan Agama, Abu Nasr Muhammad al-Farabi: Falsafat
Emanasi/Pancaran, Falsafat Kenabian, Teori Politi, Abu Ali
Husein ibn Abdillah ibnu Sina: Falsafat jiwa, Falsafat Wahyu
dan Nabi, Falsafat Wujud, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali:
xii
Krtitik terhadap Filosof-filosof, Tiga Golongan Manusia, Abu al-
Walid Muhammad ibnu Muhammad ibn Rusyd: Falsafat Tidak
Bertentangan dengan Islam, dan Pembelaan terhadap Filosof-
filosof. Bagian Kedua Mistisisme dalam Islam – Tasawuf.
Terdiri atas: Asal Usul Tasawuf: Hakikat Tasawuf, Asal Kata
Sufi, Asal Usul Aliran Sufisme, Jalan untuk Dekat kepada
Tuhan, Al-Azuhd dan Stasiun-stasiun lain, Al-Mahabbah, Al-
Ma’rifah, Al-Fana’ dan Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul, dan
Wahdatul Wujud, dilengkapi dengan Bibliografi dan indeks.
Jumlah halaman buku ini adalah 85.
6. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan
Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1972 dan
Cetakan II nya diterbitkan oleh Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press). Buku ini diberi Kata Sambutan oleh Dr. Mulyanto
Sumardi, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama
tanggal 30 November 1972. Buku ini diberikan Kata Pengantar
oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Guru Besar Hukum dan Institusi
Islam UI dan Ketua Islam Studi Club Indonesia tanggal 27
Oktober 1972.
Buku ini terdiri atas 2 bagian. Bagian Pertama berisi kajian
tentang Aliran-aliran dan Sejarah yang terdiri atas 6 Bab. Bab I
Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam,
Bab II Kaum Khawarij, Bab III Kaum Murjiah, Bab IV Qadariah
dan jabariah, Bab V Kaum Mu’tazilah, dan Bab VI Ahli Sunna
dan Jamaah.Bagian Kedua analisa dan Perbandingan, terdiri atas
Bab VII sampai dengan Bab XV. Bab VII Akal dan Wahyu, Bab
VIII Fungsi Wahyu, Bab IX Free Will dan Predestination, Bab X
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan, Bab XI Keadilan
Tuhan, Bab XII Perbuatan-perbuatan Tuhan, Bab XIII Sifat-sifat
Tuhan, Bab XIV Konsep Iman, dan Bab XV Kesimpulan.
Pak Harun dalam buku ini memberikan catatan bahwa semua
aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariy, Maturidiah, apalagi
Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam
xiii
menyelesaikan persoalam-persoalan teologi yang timbul dalam
umat Islam. Semua aliran teologi tersebut berpegang kepada
wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-
aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks-
teks ayat-ayat al-Quran dan Hadis. Pada hakekatnya, semua
aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam tetapi tetap dalam
Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah
satu dari aliran-aliran teologi tersebut.
7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Buku ini
terbit pertama kali tahun 2006 oleh Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press). Buku ini merupakan tesis Ph.D yang
diselesaikan pada bulan Maret 1968 di Universitas Mc.Gill,
Montreal Canada. Tesis ini judul aslinya adalah The Place of
Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological
System and Views (Kedudukan Akal dan Teologi Muhammad
Abduh, Pengaruhnya pada Sistem Pendapat-pendapat
Teologinya). Buku ini diterbitkan 14 tahun sejak dihasilkan.
Tentang alasan mengapa hal ini terjadi dapat dibaca langsung
pada Pengantar buku ini.
Pak Harun memberikan catatan hasil penelitiannya ini dengan
menyatakan bahwa pemikiran Muhammad Abduh sangat
berpengaruh di Mesir sehingga menimbulkan para tokoh seperti
Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abd al-Raziq, Rasyid Rida, dan
lainnya tetapi di Indonesia kurang berpengaruh. Pengaruhnya di
Indonesia tidak menimbulkan para pemikir ulung dalam bidang
agama Islam sebagaimana halnya di Mesir.

Itulah sedikit kutipan isi buku Pak Harun. Tentu masih banyak
hal yang tidak tercantum dalam tulisan ini. Pemahaman dan
pemikiran Pak Harun yang tertuang dalam buku-buku tersebut
memberikan pemahaman Islam dan budaya yang moderat. Pak
Harun menginformasikan Islam secara historis baik menurut
pemahaman para tokoh masa lalu atau kejadian masa lalu dalam
xiv
sejarah. Pemilihan paham atau pendapat mana yang diikuti
dipersilakan kepada para pembaca masing-masing dengan
menggunakan daya pikir dan perasaannya. Menurutnya, selagi tidak
bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis yang dipercaya
maka semuanya termasuk dalam kategori muslim. Pak Harun tidak
suka menyalahkan pihak lain yang tidak sependapat dengan
pemikirannya. Dalam beberapa kesempatan jika ada orang yang suka
mengkafirkan orang lain maka ia selalu mengingatkan bahwa bisa
jadi ia sendiri kafir. Intinya, dia tidak suka mengkafirkan orang lain
yang tidak sesuai dengan pendapatnya.
Selanjutnya, dalam buku ini berisi komentar dari para murid
langsung dan tidak langsung dari Pak Harun. Gagasan awal
penulisan buku ini adalah adanya seminar yang diberi judul Refleksi
Pemikiran dan Kontribusi Harun Nasution di Indonesia yang
diselenggrakan di Ruang Diorama, pada hari Jumat 21 Agustus
2015). Sebelum itu Suwito mengusulkan kepada Prof. Dr. H. Abdul
Gani Abdullah untuk mengadakan kegiatan seminar dan sekaligus
mensponsori biayanya. Usulan ini ia terima yang kemudian disetujui
juga oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk
menyelenggarakan seminar yang bertempat di Diorama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada waktu itu, yang menjadi narasumber
adalah Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H, Prof. Dr. Ahmad
Thib Raya MA, Prof. Dr. Yusron Razak, M.A, (moderator), Prof. Dr.
M. Ridwan Lubis, M.A., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.,
Dr. Arief Subhan, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., dan Dr. Fachry Ali.
Seminar tersebut digelar menyusul pemberian Bintang Mahaputera
Utama dari Presiden RI Ir H. Joko Widodo kepada Almarhum Prof
Harun sebagai tokoh Pengembang Budaya Moderat berdasarkan
Surat Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2015. Ketika itu
para peserta yang notabene mayoritas para mahasiswa Prof. Dr.
Harun Nasution sepakat untuk menerbitkan buku tentang Pak Harun,
dan akhirnya terbitlah buku ini. Penerbitan buku ini kebetulan tepat
18 tahun wafat Pak Harun (18 September 1998 sampai dengan 18
xv
September 2016). Oleh sebab itu, disampaikan ucapan banyak terima
kasih kepada kawan-kawan yang sempat memberikan komentarnya
dalam buku ini. Mereka adalah:
1. Salman Harun (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta),
2. Jamali Sahrodi (Guru Besar dan Direktur Program
Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon),
3. Nyimas Anisah Muhammad (Dosen dan pernah menjadi
Direktur Program Pascasarjana UIN Raden Fatah
Palembang),
4. Fauzul Iman (Guru Besar dan Rektor IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten),
5. Rusjdi Ali Muhammad (Guru Besar dan pernah menjadi
Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta Direktur Program
Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh),
6. Amsal Bakhtiar (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu
Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI),
7. Iskandar Usman (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu
Rektor Bidang Adminsitrasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh),
8. Nabilah Lubis (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta),
9. Yunasril Ali (Guru Besar dan Ketua Senat Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah
menjadi Ketua STAIN Kerinci),
10. Jalaluddin (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN
Raden Fatah Palembang),
11. Yusuf Rahman (Dosen dan pernah menjadi Wakil Direktur
Bidang Administrasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta),

xvi
12. Achmad Syahid (Dosen dan pernah menjadi Ketua Lembaga
Penjaminan Mutu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
13. M. Ridwan Lubis (Guru Besar dan Dosen Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pernah
menjadi Kapuslitbang Kehidupan Beragama Balitbang
Departemen Agama RI),
14. M. Qasim Mathar (Guru Besar dan pernah menjadi pimpinan
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar),
15. Abdul Khamid (Pernah menjadi staf di Direktorat
Pendidikan Tinggi Agama Kementerian Agama RI dan
dosen dpk. STAI al-Hamidiyah Depok),
16. Abuddin Nata (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu
Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,
17. Suwito (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor
Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta), dan
18. Abdul Gani Abdullah (Guru Besar/Dosen pada Fakultas
Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
pernah menjadi Hakim Agung Mahkamah Agung RI).

Semoga upaya ini bermanfaat bagi para pembaca. Dengan


terbitnya buku ini, secara khusus, ucapan terima kasih diberikan
kepada Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, murid Prof. Harun
Nasution dan pensiunan Hakim Agung RI yang telah mensponsori
biaya penerbitan buku ini. Semoga Allah SWT memberikan berkah
yang berlimpah atas kebaikannya. Amin.

Jakarta, 18 September 2016


Wassalam,
Suwito

xvii
xviii
DAFTAR ISI

SAMBUTAN REKTOR............................................................... iii


HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM
DAN BUDAYA MODERAT, Pengantar Penerbitan ............... ix
DAFTAR ISI ............................................................................... xix

BAGIAN I
BAPAK DAN GURU SEJATI

HARUN NASUTION GURU SEJATI


Salman Harun ............................................................................... 3

PROF. DR. HARUN NASUTION: SOSOK PENDIDIK DAN


BAPAK
Jalaluddin...................................................................................... 7

PROF.DR. HARUN NASUTION: SOSOK DISIPLIN DAN


TANGGUNG JAWAB DIA GURUKU, PROMOTORKU,
BAPAKKU DAN TEMPAT CURHATKU
Nyimas Anisah Muhammad ......................................................... 17

PROF. HARUN NASUTION, INTELEKTUAL-MUMTAZ


YANG KONSISTEN
Fauzul Iman. ................................................................................. 41

PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM KENANGAN


Rusjdi Ali Muhammad ................................................................. 47

HARUN NASUTION SANG GURU YANG ISTIQAMAH


Iskandar Usman ............................................................................ 57

xix
PROF. DR. HARUN NASUTION SEBAGAI AYAHDAN
GURU
Nabilah Lubis ............................................................................... 67

BAGIAN II
PEMIKIR RASIONAL ISLAM

HARUN NASUTION: TEGUH DENGAN RASIONALITAS


DAMAI DALAM SPIRITUALITAS
Yunasril Ali .................................................................................. 77

KESAN SEORANG MURID PROF. DR. HARUN NASUTION:


ANTARA KEDISIPLINAN DAN KEDERMAWANAN
TERPADU
Jamali Sahrodi .............................................................................. 87

HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH


DAN PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH
Yusuf Rahman .............................................................................. 99

HARUN NASUTION: DARI RISALAH DINIYAH MENUJU


RISALAH ILMIAH
Achmad Syahid ............................................................................ 125

PAK HARUN, GURU DAN PEMBIMBINGKU


Amsal Bakhtiar ............................................................................ 145

BAGIAN III
PENDIRI PASCASARJANA STUDI ISLAM

REFLEKSI PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI PROF. DR.


HARUN NASUTION DI INDONESIA
M Ridwan Lubis ........................................................................... 155
xx
PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA
M. Qasim Mathar.......................................................................... 171

KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR.


HARUN NASUTION DALAM MENGEMBANGKAN
PROGRAM PASCA SARJANA DAN PENINGKATAN
KUALITAS PTAI DI INDONESIA
Abdul Khamid .............................................................................. 175

PEMIKIRAN PENDIDIKAN HARUN NASUTION


Abuddin Nata................................................................................ 187

BINTANG MAHAPUTRA UTAMA BUAT PROF. DR. HARUN


NASUTION
Suwito ........................................................................................... 209

REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP HUKUM


Abdul Gani Abdullah ................................................................... 215

INDEKS ....................................................................................... 217

xxi
xxii
BAGIAN I
BAPAK DAN GURU SEJATI
2
HARUN NASUTION GURU SEJATI

Salman Harun

Saya merasakan Pak Harun Nasution seorang yang paling


mempengaruhi jalan hidup saya. Saya mulai mengenal beliau ketika
saya masuk tingkat doktoral Jurusan bahasa Arab IAIN Syarif
Hidayatullah pada tahun 1969. Beliau baru kembali dari Kanada, dan
kami, bila tidak salah, adalah murid pertama yang diajar beliau. Pada
waktu itulah saya mengenal diskusi sebagai metode pendidikan dan
pengajaran. Beliau memberikan pengantar perkuliahan selama lebih
kurang lima belas menit, kemudian didiskusikan (tidak sistem
makalah seperti yang diterapkan sekarang di S-1, makalah baru
diterapkan di S-2 dan S-3).
Diskusi diisi dengan tanya jawab. Beliau memberikan
kesempataan yang seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk bertanya,
yang kemudian dijawab oleh beliau. Jawaban yang beliau berikan
sangat memuaskan. Pertama, karena argumen yang beliau sampaikan
sangat kuat. Kedua, cara beliau menjawab sangat memikat. Ketiga,
penampilan beliau yang betul-betul mencirikan a real professor,
dengan kepala botaknya itu (pada waktu itu dosen yang bergelar
professor baru Prof. Bustami Abdul Ghani, yang merupakan dosen
langsung saya, Prof. Sunarjo, dan Prof. Thaha Yahya Umar, semuanya
tidak berkepala botak mengkilat seperti Pak Harun). Semuanya itu
setidaknya merupakan di antara banyak faktor yang membuat kuliah
Pak Harun sangat mengesankan. Itu saya rasakan mempengaruhi
sekali sikap hidup saya dalam mencinta ilmu dan berdaya kritis dan
obyektif dalam taraf tertentu. Ketiga faktor itu saya rasakan telah
menentukan jalan hidup saya selanjutnya.
Semua sikap yang diambil Pak Harun dimaksudkannya dalam
rangka memajukan ilmu pengetahuan. Beliau sangat ingin
mahasiswanya maju. Pada tahun 1973 saya menyelesaikan program
sarjana lengkap, dan diangkat langsung menjadi tenaga pengajar di
3
IAIN ini (dekan: Drs. Muhsin Idham, alm.). Diangkatnya saya
langsung menjadi dosen itu saya nilai tidak terlepas kaitannya dengan
kedekatan saya dengan beliau dalam diskusi-diskusi ilmiah.
Kemudian saya terpilih di antara dosen-dosen perguruan tinggi di
lingkungan Departemen Pendidikan dan Departemen Agama untuk
mengikuti Penataran Penterjemah pada tahun 1978, beliau senang.
Apalagi ketika saya diterima mengikuti Latihan Penelitian Ilmu-ilmu
Sosial di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tahun 1983,
tempat kedua yang saya rasakan telah menanamkan cinta ilmu dan
daya kritis dan obyektif yang lebih dalam dalam diri saya. Kembali
dari latihan penelitian itu beliau membentuk Lembaga Penelitian IAIN
Syarif Hidayatullah, dan mengangkat saya sebagai Sekretaris (Ketua:
Prof. Mastuhu, alm.). Dengan demikian beliau bermaksud agar
bawahan/muridnya lebih maju lagi dalam dunia ilmiah.
Dengan modal cinta ilmu dan daya kritis dan obyektif yang telah
beliau tanamkan itu saya dapat meniti karir akademik berikutnya. Pada
tahun 1983 saya diterima untuk mengikuti pendidikan dan penelitian
dalam rangka pembibitan kandidat doktor di Universitas Leiden
Belanda. Pulangnya setahun kemudian saya diterima pada program
doktor itu. Dalam rangka mendekatkan saya dengan iklim dan
semangat ilmiah, untuk membantu saya dalam menyelesaikan
program doktor itu, Pak Harun mengangkat saya sebagai sekretaris
Fakultas Pascasarjana (1984-1986). Hemat saya itulah maksud yang
ada di balik kebijakan beliau mengangkat tenaga-tenaga muda
menjadi sekretaris beliau, yaitu untuk membantu penyelesaian studi
yang bersangkutan.
Empat tahun kemudian saya menyelesaikan program doktor
(tahun 1988). Pada tahun 1994 saya diangkat menjadi Dekan Fakultas
Tarbiyah almamater saya. Pada tahun itu pula saya menjadi guru
besar, dan naik haji. Masih dalam jabatan saya sebagai dekan itu saya
diminta oleh Menteri Agama pada waktu itu (Dr. Tarmizi Taher, alm.)
untuk menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sumatera
Barat. Setelah itu saya menduduki beberapa jabatan eselon dua di
4
Depag. Pada tahun 2000 saya pulang kandang. Tahun 2001 saya
dipilih lagi oleh Senat menjadi dekan Fakultas Tarbiyah untuk kedua
kali. Semua prestasi akademik dan karir itu saya rasakan tidak terlepas
hubungannya dengan semangat cinta ilmu dan sikap kritis dan
obyektif yang ditanamkan Pak Harun dalam diri saya.
Karena faktor nama saya dan terkesan saya banyak mendapat
perhatian dari Pak Harun itu, banyak orang menyangka bahwa saya
adalah anak beliau. Setelah saya jelaskan mereka pun mengerti.
Namun yang jelas adalah bahwa saya mengakui dalam pidato
pengukuhan saya sebagai guru besar, bahwa saya adalah “anak
spiritual” beliau. Pak Harun telah berjasa besar dalam membentuk
saya menjadi seorang ilmuwan, bagaimana pun kecilnya, yang telah
menjadi landasan bagi saya dalam meniti karir selanjutnya dalam
hidup saya.
Di samping ilmuwan sejati Pak Harun adalah juga seorang yang
bersih, tidak hanya pisiknya, tetapi juga batinnya. Beliau begitu necis.
Beliau tulus dalam mengabdi ilmu dan lembaga yang dipimpinnya.
Beliau juga terlihat apik dalam hal keuangan. Di samping itu beliau
juga seorang yang taat beribadah. Pada hari Jumat, beliau adalah orang
pertama yang datang ke masjid. Memang beliau tidak duduk di baris
pertama dalam masjid, tetapi di saf pertama di bagian luar masjid.
Tindakan beliau itu belakangan saya pahami ada maksudnya. Yaitu
supaya khatib tidak kikuk bila melihat beliau ada di saf pertama,
karena beliau tahu bahwa yang akan berkhutbah adalah murid atau
koleganya.
Tidak lengkap rasanya bila saya tidak menyampaikan bahwa
kadang-kadang timbul dalam diri saya perasaan berdosa pada Pak
Harun. Hal itu karena cara bertanya saya yang sering terlalu vulgar
dalam diskusi-diskusi. Hal itu kadang-kadang membuat beliau repot
juga menjawabnya, dan seperti kurang senang.
Mohon maaf Pak Harun, terima kasih atas segala jasanya,
semoga Engkau telah bahagia di sisi-Nya. Amin!

5
6
PROF. DR. HARUN NASUTION
SOSOK PENDIDIK DAN BAPAK

Jalaluddin

Ketokohan Prof. Dr. Harun Nasution sebagai ilmuwan Muslim


dan pembaharu pemikiran Islam di tanah air, sudah dikenal banyak
pihak. Baik di Indonesia, maupun dunia. Buku- buku hasil karya, serta
proses perwujudan Program Pascasarjana di Departemen Agama,
sekaligus menjadi bukti akan ketokohan yang disandangkan kepada
beliau. Seperti pernah beliau kemukakan, bahwa manakala gagasan
untuk mendirikan pascasarjana, pada awalnya rata-rata kedutaan
negara- negara Islam dan Timur Tengah menyambut baik. Mereka
menyatakan bersedia membantu, termasuk pengadaan tenaga
pengajar.
Sayangnya “janji setia” dimaksud tidak berlangsung mulus.
Perjalanannya ibarat raut “ekor tikus”, seperti kata pepatah. Makin ke
ujung makin mengecil. Satu per-satu mereka menarik dukungan
tersebut. Hingga pada tahun akademik 1987, di pascasarjana Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, hanya tersisa
seorang tenaga pengajar dalam mata kuliah bahasa Arab, yakni Dr.
Muhammad Et-Tawwab El-Allah berkebangsaan Mesir.
Di tengah kerisauan itu pula tercetus kekecewaan Pak Harun
Nasution. “Saya punya teman berkebangsaan Belgia yang non-
Muslim. Saya kirim surat kepadanya untuk memberikan materi kuliah
mengenai “Iran Kontemporer.” Saya jelaskan pula, bahwa biaya tiket
tidak tersedia. Hanya selama di Jakarta akan disediakan tempat
tinggal, serta biaya hidup sebesar Rp. 500.000 per- bulan. Saya minta
kesediaannya untuk memberikan kuliah selama satu semester, “jelas
Pak Harun di ruang kelas.
Selanjutnya Pak Harun Nasution menunjukkan bukti berupa
selembar surat. Beliau bacakan langsung kepada kami selaku
mahasiswanya. “Saudara Prof. Harun Nasution, saya masih punya
7
tiket. Saya akan datang ke Jakarta. Tetapi, saya hanya punya waktu
selama tiga bulan. “Nanti saudara-saudara akan berkenalan dengan
dosen tersebut. Namanya Anthony Wessel, jelas Pak Harun Nasution.
Ternyata beberapa minggu kemudian, dosen berkebangsaan Belgia itu
hadir untuk memberikan kuliah di Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kali berikutnya Prof. Dr. Hasan Langgulung beliau hadirkan
untuk memberikan kuliah. Selama satu semester, Pak Hasan
Langgulung terkesan begitu kerasan berada di lingkungan Ciputat.
Menempati rumah yang cukup sederhana dan sengaja disediakan
untuk beliau. Selain menjalankan tugasnya sebagai dosen tamu, Guru
Besar bidang pendidikan Islam ini ternyata juga merupakan penulis
yang produktif. Tiga buku teks karya beliau sempat diterbitkan oleh
penerbit Al-Husna, Jakarta.
Dari dalam negeri sendiri, Prof. Dr. Harun Nasution berhasil
merangkul tenaga dosen kondang. Sebut saja antara lain Prof. Dr. H.
M. Rasjidi (Menteri Agama RI, pertama), Prof. Dr. Takdir
Alisjahbana, Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof.
Dr. M.K. Tajudin Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab dan sederetan mana-nama lain ilmuwan kondang lainnya.
Termasuk di dalamnya Pak Prof. H. Munawir Sjadzali, M. A., Menteri
Agama yang sempat mengkhususkan studinya di Amerika Serikat
dalam bidang ilmu politik.
Dalam penilaian Prof. Dr. Harun Nasution mata kuliah Al-Fiqh
al-Siyasi atau Ilmu Tata Negara Islam perlu diampu oleh dosen
khusus, sedangkan ketika itu mata kuliah ini belum pernah diberikan
secara teratur. Sebagai seorang ilmuwan, ternyata Prof. Dr. Harun
Nasution begitu selektif dalam pengadaan tenaga dosen. Begitu besar
perhatian dan tanggungjawab terhadap kualitas dan prestasi institusi
yang beliau pimpin.

8
Sosok Pendidik
“Sebenarnya saya sudah terlalu sibuk. Namun saya tak bisa
menolak, ketika Pak Prof. Harun Nasution meminta saya untuk
memberi kuliah di pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Saya
mengagumi beliau, karena menurut saya Pak Harun Nasution mampu
menampilkan sosok Muslim sesungguhnya. Semuanya itu terlihat
dalam keseharian beliau. Hidup dalam kesederhanaan, rapi, bersih,
jujur dan disiplin. Beliau telah menempatkan diri sebagai sosok
teladan.” Begitu ungkapan polos dari Prof. Dr. Parsudi Suparlan
tentang Prof. Dr. Harun Nasution.
Secara jujur, barangkali tidak sulit untuk menyepakati kebenaran
pendapat Pak Parsudi Suparlan (almarhum). Dalam berbagai aktivitas
keteladanan Pak Harun Nasution tertampil utuh secara apa adanya.
Sama sekali jauh dari kesan dibuat- buat. Begitu sederhananya, hingga
menurut pengakuan sang sopir, ia paling susah bila ada undangan dari
istana. Mobil dinas yang sangat sederhana itu terpaksa harus diparkir
menyendiri. Tidak bergabung dengan mobil- mobil mewah para
pejabat lain yang tersusun di areal parkir. Dengan demikian untuk
mencapai Istana Negara,Pak Harun harus berjalan kaki cukup jauh.
“Sebenarnya kasihan. Tapi Bapak memang minta seperti itu, “ungkap
si sopir secara polos.
Kehadiran Pak Harun Nasution di kampus selalu tepat waktu.
Tepat jam 07.15, mobil dinas sudah memasuki areal kampus, dan
sebelum jam 07.30 Pak Harun Nasution sudah berada di belakang
meja kerjanya. Tak pernah terlambat. Kemudian, manakala pulang
dari rapat di Departemen Agama, beliau senantiasa mampir ke kantor.
Sesempit apapun waktu yang tersisa. Terkadang hanya tersisa waktu
seperempat jam. Namun, Pak Harun Nasution tak pernah absen untuk
menunaikan jam kerjanya secara penuh. Setelah berakhir jam dinas,
yakni jam 14.00, barulah beliau meninggalkan kantor.
Masyarakat kampus sudah sangat kenal dengan sifat-sifat terpuji
Pak Harun Nasution ini. Bila berada di Jakarta, setiap Jum’at beliau
selalu shalat di masjid kampus. Para jema’ah sudah begitu paham akan
9
kebiasaan beliau. Tepat pukul 11.30 Pak Harun sudah hadir,
menempati shaf pertama di bagian kiri imam. Tempat yang bagai
sudah terbakukan secara khusus untuk beliau. Meskipun tidak
dimaklumatkan secara tertulis, umumnya para jema’ah Jum’at sudah
sangat paham akan hal itu. Tempat itu senantiasa dibiarkan kosong,
hingga waktu shalat tiba. Isyarat bahwa Pak Harun Nasution tidak
berada di Jakarta. Ketika itu barulah jema’ah berani menempatinya.
Pada suatu Jum’at, seorang jema’ah yang baru pulang
menunaikan haji, shalat sunnah tahiyyat al-masjid di tempat kosong
peruntukan Pak Harun Nasution dimaksud. Ketika itu, hampir semua
pasang mata yang hadir menatap tajam ke sosok jemaah yang
mengenakan baju gamis lengkap dengan sorban putihnya itu.Sorotan
mata mereka mengisyaratkan protes terhadap “kelancangan” Pak haji
tadi. Mengetahui tempatnya sudah “diambil-alih, “saat hadir, Pak
Harun Nasution harus menempati tempat kosong yang masih tersedia
di shaf berikutnya.
Sifat terpuji Prof. Harun Nasution ini juga ikut meningkatkan
citra dan wibawa beliau di kalangan ilmuwan, maupun para dosen
pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Begitu kuatnya pengaruh
kharisma Pak Harun Nasution ini terekam langsung dari informasi
mereka yang mengalaminya. Salah satu di antaranya, kasus yang
dialami (seingat saya saudara Hamdani) dalam penyelesaian penulisan
tesisnya. Dosen mata kuliah agama Islam di salah satu perguruan
tinggi umum kota Malang terkendala oleh proses bimbingan yang
berlarut-larut.
Menurut yang bersangkutan, ia telah menjalani bimbingan
selama 32 kali. Bolak-balik dari Malang ke Jakarta, hingga cukup
menguras “isi kantong.” Pada kali yang ke 33, kembali ia berhasil
menghubungi Prof. Dr. Mochtar Buchori, pimpinan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sesuai dengan janji, saudara Hamdani
sudah berada di ruang tunggu sejam sebelum waktunya. Sayangnya,
saat itu Pak Mochtar Buchari sedang kedatangan tamu dari Amerika.

10
Selanjutnya diinformasikan, bahwa bimbingan dialihkan ke rumah
dinas Pak Mochtar Buchari, setelah jam kerja.
Sebagai pihak yang berkepentingan, lagi-lagi saudara Hamdani
mematuhi semua petunjuk Dosen Pembimbing yang disampaikan
melalui Sekretarisnya itu. Tiba di tempat, dalam keadaan hujan lebat,
kembali saudara Hamdani dihadapkan pada kegagalan lagi. Sang
Dosen Pembimbing sedang dalam kelelapan tidur siang. Sama sekali
tak boleh diganggu. Begitu isi pesan yang disampaikan oleh pembantu
rumah tangga saat menemui tamu majikannya itu. Saudara Hamdani
harus menerima apa adanya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak, sebagai kata pepatah.
Terbawa oleh kekecewaan ini pula yang kemudian mendorong
saudara Hamdani meberanikan diri menghadap Pak Harun Nasution.
Keluhan mahasiswanya itu dicermati dengan penuh perhatian.
Akhirnya Pak Harun Nasution menghubungi Dosen Pembimbing.
Belum sampai dua jam setelah itu, Prof. Mochtar Buchari telah berada
di ruang kerja Pak Harun Nasution. Secara bermuka-muka, Ketua LIPI
ini menyatakan kesanggupannya untuk menuntaskan proses
bimbingan tesis yang menjadi tanggungjawabnya itu. Setelah itu
proses bimbingan berjalan lancar. Semuanya dapat diselenggarakan
dengan cara seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
yang bersangkutan berhasil menuai sukses.
Di mata para mahasiswa pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Pak Harun Nasution, adalah sosok pendidik teladan yang disegani.
Meminjam ungkapan Kohnstamm, Prof. Dr. Harun Nasution termasuk
sosok “pendidik karena kata hati”. Senantiasa tekun dan telaten dalam
menjalankan tugas profesionalnya dengan penuh keikhlasan. Setiap
makalah mahasiswa beliau koreksi dengan begitu teliti. Halaman demi
halaman dikoreksi. Segala bentuk kekeliruan hingga ke masalah yang
sekecil- kecilnya. Termasuk pada kekeliruan dalam penggunaan tanda
baca. Semuanya tak luput dari perhatian beliau. Semuanya dikoreksi.
Lalu diperbaiki dan dilengkapi dengan komentar.

11
Selaku pendidik, Pak Harun Nasution tak pernah abai akan para
mahasiswa beliau. Kebahagiaan Pak Harun Nasution ikut menyertai
keberhasilan mahasiswa beliau. Kebahagiaan yang demikian itu
terungkap nyata di rona keceriaan wajah Pak Harun Nasution, saat
saudara Ridwan Lubis berhasil menyelesaikan ujiannya. Doktor
Ridwan Lubis alumni pertama Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kebahagiaan puncak berikutnya yang sempat dirasakan oleh
Pak Harun Nasution adalah saat kampus baru Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah ini diresmikan.

Sosok Bapak
Waktu istirahat, secara iseng saya menyempatkan diri mampir ke
ruang administrasi. Saat itu para karyawan tengah berbagi kudapan
berupa kue-kue yang masih asing bagi saya. Sekitar tahun 1988,
kemasan makanan serupa itu belum dijumpai di Jakarta, hingga
terkesan mewah. Menurut para karyawan tersebut, kue-kue tadi
merupakan oleh-oleh dari Brunei Darusalam. Sengaja dibawa Pak
Harun Nasution untuk mereka, dalam kesempatan beliau memberikan
kuliah di negara tersebut. Mendengar ungkapan dari para karyawan
itu, saya tertegun. Sulit membayangkan betapa besar perhatian dan
kepedulian Pak Harun Nasution terhadap para karyawan. Anak buah,
dan sekaligus bawahan beliau. Tergabung di dalamnya rentang
golongan I, hingga golongan III.
Kali berikutnya, pada tahun yang sama, kami para mahasiswa
didera oleh kesulitan finansial. Sudah selama tiga bulan, livingcost
macet. Di rentang waktu yang cukup panjang itu, kiat untuk berhemat
sudah sulit dilakukan. Diistilahkan sudah “mantab” (makan
tabungan). Akhirnya, tanpa sepengetahuan rekan- rekan kuliah, kami
bertiga (Ramayulis, Rafi’i Nazori, dan saya) memberanikan diri
menghadap Pak Harun Nasution. Mengadu keluh kesah yang tak
berujungpangkal itu.
Seperti biasa, Pak Harun Nasution selalu mengawali dengan
pertanyaan: “Ada masalah?” Kerenyahan kalimat dan kata-kata yang
12
menunjukkan keramahan dan sekaligus kedekatan hubungan dengan
mahasiswa beliau. Beliau tidak membiarkan gangguan yang bakal
menghambat kelancaran kuliah mahasiswa. Begitu besar kepedulian
Pak Harun Nasution. Keakraban yang beliau tampilkan bukan sebatas
basa-basi, melainkan hingga ke penyelesaian “masalah” secara tuntas.
Semuanya beliau buktikan sepenuhnya.
Setelah mendengar apa yang kami sampaikan, beliau segera
minta konfirmasi dari Bendaharawan. Setelah jelas, Pak Harun
Nasution langsung menandatangi lembaran cek untuk diuangkan.
Menjelang tengah hari, sepulangnya saudara Mursad dari Bank, 80
mahasiswa dari empat angkatan telah terselamatkan dari kesulitan
biaya hidup, Masing- masing mendapat pinjaman sebesar Rp.100.000.
Untuk waktu itu jumlah tersebut terhitung cukup lumayan. Namun
yang paling mengesankan adalah kemurahan hati Pak Harun Nasution
yang secara ikhlas mendonasikan uang pribadi beliau sebesar Rp.
8.000.000. Dengan kurs satu dolar = Rp. 800, berarti hari itu Pak
Harun Nasution telah melepaskan uang beliau sebesar 10.000 dolar.
Dalam perhitungan sekarang setara dengan Rp. 135.680.000 (1 dolar
= Rp. 13.568).
Sebagai “penggagas” keikhlasan dan pengorbanan Pak Harun
Nasution ini ikut membebani perasaan kami. Atas kesepakatan,
malamnya kami harus mendatangi kediaman Pak Drs. H. A. Zaini
Muchtarom M.A. bertamu malam Minggu ke rumah Direktur
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, yang mungkin
mengganggu waktu istirahat beliau. Setelah mencermati penjelasan
kami, dengan kearifan seorang pemimpin, beliau menyediakan diri
untuk mengatasinya. Pernyataan Pak Zaini Muchtarom tersebut ikut
melegakan hati kami. Tepat seperti yang dijanjikan, tiga hari sesudah
itu, yakni Rabunya, Bendaharawan sudah bisa menyelesaikan
pencairan dana livingcost yang sempat tersendat itu. Hari itu dua
masalah yang tertuntaskan. Pertama, uang pinjaman dari Pak Harun
Nasution terlunaskan. Kedua, para mahasiswa menerima pembayaran
livingcost untuk tiga bulan.
13
Keakraban hubungan Bapak- anak ini kian terasa di saat program
perkuliahan berakhir. Seperti biasanya, para mahasiswa sengaja
diundang ke kediaman Pak Harun Nasution. Acaranya cukup
sederhana, yaitu makan malam bersama sambil beramah tamah.
Mahasiswa diajak bercengkerama secara terbuka. Suasana menjadi
cair. Masing-masing merasakan layaknya dalam suasana
kekeluargaan. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan foto bersama.
Dokumentasi visual yang diabadikan sebagai kenang-kenangan bagi
setiap angkatan.
Sosok kebapakan dari Pak Harun Nasution, ternyata juga
melintas batas kawasan geografis. Tidak terbatas pada kedekatan
secara fisik, melainkan juga terenda indah dalam kedekatan hati.
Selama di asrama, dalam kesempatan menjumpai Pak Harun Nasution,
setidaknya dua kali saya menjumpai beliau sedang membaca surat di
ruang kerjanya. Secara terbuka beliau ungkapan, bahwa surat tersebut
dari saudara Azyumardi Azra. Salah seorang mahasiswa beliau yang
sedang belajar di Columbia University, New York. Surat tulisan
tangan tersebut berisi kabar tentang kondisi penulis, serta menanyakan
seputar kondisi Pak Harun Nasution dan Ibu.
Ungkapan kata-kata dicarikan kertas yang sangat sederhana dan
bersahaja. Namun semuanya menyimpulkan keutuhan dari bentuk
kepedulian dan kedekatan batin. Curahan hati dari seorang mahasiswa
kepada sosok pendidik yang “dibapakkan”. Di rangkaian hubungan
batin ini pula, terlihat bagaimana usaha dan tekad Prof. Dr. Azyumardi
Azra dalam memperjuangkan Prof. Dr. Harun Nasution (almarhum)
sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama. Bentuk
pengakuan dari negara terhadap jasa, perjuangan, serta dharmabakti
Prof. Dr. Harun Nasution kepada anak bangsa.
Ada peribahasa Cina yang menyatakan: “Jika Anda berencana
untuk satu tahun, tanamlah biji-bijian. Bila Anda berencana sepuluh
tahun, tanamlah pepohonan. Jika Anda berencana untuk seribu tahun,
tanamlah manusia. Melalui pendidikan, manusia “ditanam” dan
(dengannya) masa depan dibangun. Future time of a great happiness
14
and prosperity for every one.” (Khursyid Ahmad, 1992). Dalam sosok
ilmuwan dan tokoh pembaharu pemikiran Islam, Prof. Dr. Harun
Nasution tampaknya sejalan dengan pesan-pesan peribahasa
dimaksud.
Hingga kini, “tanaman” Pak Harun Nasution sudah terjalin
berkelindan secara generatif. Bertumbuh-kembang di dan ke seluruh
kawasan Nusantara. Setiap alumni, senantiasa berupaya untuk
menyebarkan gagasan dan pemikiran bernas Prof. Dr. Harun
Nasution. Berangkat dari proses dan fakta sejarah ini, diyakini bahwa
apa yang telah dilakukan Pak Harun Nasution tersebut berada di jalur
sabda Rasul Allah Swt.
‫ﻣــﻦ ﺳــﻦ ﻓﻰ اﻻﺳــﻼم ﺳــﻨــﺔ ﺣــﺴــﻨــﺔ ﻓـــﻠـــﮫ اﺟـــﺮھــﺎ واﺟـــﺮ ﻣــﻦ‬
‫ﻋــﻤــﻞ ﺑــﮭــﺎ ﺑــﻌـــﺪه ﻣــﻦ ﻏــﯿـــﺮ ان ﯾــﻨــﻘـــﺺ ﻣــﻦ اﺟــﻮرھــﻢ‬
.‫ﺷــﯿـﺊ‬
Semoga Allah Swt. menerima semua karya Prof. Dr. Harun
Nasution sebagai bagian dari pengabdian tulus kepada-Nya. Amin.

15
16
PROF. DR. HARUN NASUTION
SOSOK DISIPLIN DAN TANGGUNG JAWAB
DIA GURUKU, PROMOTORKU, BAPAKKU DAN TEMPAT
CURHATKU

Nyimas Anisah Muhammad1

Segala puji Allah bagi Allah yang telah mempertemukan penulis


dengan guru-guru yang telah banyak mengajarkan kepada penulis
berbagai keilmuan. Salah satu di antara mereka adalah guru tercinta
Prof. Dr. Harun Nasution yang sudah pergi menghadap Sang Khaliq.
Semoga guru-guru penulis semuanya mendapat maghfirah Allah dan
diterima amal ibadah mereka serta dibalas dengan surga. Ilmu-ilmu
yang mereka berikan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
mereka dan bagi kami dan kami murid-murid semoga dapat
menyampaikan ilmu-ilmu tersebut kepada generasi selanjutnya. Amin
ya Rabb.
Penulis, Nyimas Anisah Muhammad, mengenal sosok Prof. Dr.
Harun Nasution lebih jauh setelah penulis terdaftar sebagai salah
seorang mahasiswa S-2 Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.2 Awal kekaguman bagi Pak Harun adalah bahwa
beliau mengambil orang-orang yang memang ahli dan pakar dalam
bidangnya dalam mengampu mata kuliah masing-masing. Contohnya
beliau memasang nama Prof. Sultan Takdir Alisyahbana untuk
mengasuh mata kuliah kebudayaan, Politik Islam diampu oleh Prof.

1
Penulis adalah seorang murid Harun Nasution yang merasa bersyukur
kepada Allah sempat dipertemukan kepada beliau. Kini penulis sudah
menjalani masa purna bakti sebagai Dosen di UIN Raden Fatah Palembang
dan pernah menjadi Direktur PPs IAIN Raden Fatah Palembang, namun
masih tetap mengajar di Program Pascasarjana UIN Raden dan di
masyarakat Sumatera Selatan dan Palembang khususnya.
2
Nama Fakultas Pascasarjana kemudian berubah menjadi “Program
Pascasarjana” lalu berubah lagi menjadi ”Sekolah Pascasarjana”.
17
Munawir Sjadzali, MA, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri
Agama Republik Indonesia. Bahasa Arab dipegang oleh Prof. Bustami
A. Ghani, seorang pakar Bahasa Arab, Fiqh diasuh Oleh Dr. Huzaimah
T. Yanggo, tamatan Timur Tengah yang kala itu belum Guru Besar,
dan masih banyak lagi guru-guru yang mempunyai kompetensi di
bidang masing-masing. Dengan adanya guru-guru yang expert di
bidangnya, membuat mahasiswa terpacu untuk membaca buku-buku
referensi lebih banyak dan belajar lebih giat.
Selama menjalani program S-2, dari semester awal hingga akhir
(empat semester) mahasiswa seangkatan dengan penulis (1986)
bertemu dengan mata kuliah yang diasuh oleh Pak Harun, seperti
Sejarah Peradaban Islam, Pemikiran Islam (Teologi, Filsafat dan
Tasawwuf) dan beberapa mata kuliah lainnya yang diampu oleh Pak
Harun, demikian nama akrab beliau. Sistem perkuliahan yang
diberikan oleh Pak Harun adalah, sebelum pembagian tugas kepada
masing-masing mahasiswa, biasanya Pak Harun memaparkan dan
mengulas perkuliahan, sesuai dengan mata kuliah yang diampu secara
umum dan komprehensif, barulah kemudian setiap mahasiswa/i diberi
tugas membuat makalah sesuai dengan judul yang biasanya telah
disediakan oleh Pak Harun. Pada waktu yang sudah terjadwal,
makalah tersebut dipresentasikan secara bergiliran, sementara
mahasiswa yang lain menanggapi isi dari makalah tersebut seraya
didiskusikan, Pak Harun sendiri sebagai Moderator, pengarah serta
pemberi masukan kepada para mahasiswa. Sebelum makalah
didiskusikan di kelas, mahasiswa telah memberikan makalah yang
akan dipresentasikan tersebut kepada beliau dan kepada teman-teman
sekelas seminggu sebelumnya. Sistem seperti ini berlaku juga bagi
seluruh mata kuliah yang diampu oleh guru-guru yang lainnya. Dapat
dikatakan hampir semua dosen yang mengajar di Fakultas
Pascasarjana ketika itu menggunakan sistem yang sama. Sistem
seperti ini banyak pula digunakan oleh murid-murid maupun alumni
ketika mereka kembali mengajar di daerah masing-masing. Yang
menarik bagi penulis, mungkin juga bagi murid-murid Pak Harun
18
yang lain adalah ketika makalah yang sudah didiskusikan tersebut
dikembalikan kepada si pembuat makalah, di sana terlihat bahwa
makalah tersebut banyak coretannya. Ini menandakan bahwa makalah
tersebut benar-benar dibaca, dikoreksi dan diberi arahan oleh Pak.
Harun, bahkan sampai kepada titik, komanya, metode penulisan dan
isinya. Bahkan tak jarang catatan Pak Harun tertera “luruskan kalimat
Sdr.” atau “perbaiki kalimat Sdr.” Betapa teliti dan tekun Pak Harun.
Ketelitian Pak Harun dalam mengoreksi dan memberikan arahan
kepada setiap pemakalah tampaknya tak tertandingi. Di mata penulis,
Pak Harun bukan hanya seorang pengajar, namun dari apa yang
dilakukannya, selain menginginkan muridnya teliti dan pintar, juga
menunjukkan bahwa beliau menghargai usaha dan upaya dari murid-
muridnya. Dengan cara itu murid-murid merasakan bahwa karyanya
dibaca dan dihargai oleh sang guru, sehingga mereka akan berupaya
keras lagi dalam membaca buku-buku referensi dan bersemangat
tinggi untuk menulis dengan baik.
Ketika masa-masa awal kami berkuliah di Fakultas Pascasarjana
mayoritas mahasiswa masih sangat dominan fanatik golongan, Hal ini
mengakibatkan perkuliahan/ diskusi menjadi lebih seru. Pak Harun
biasanya senyum-senyum melihat muridnya masih menyimpan tanda
tanya di benak masing-masing dan fanatik golongan. Beliau biasanya
membiarkan murid-murid berbicara sampai puas. Kondisi seperti ini
menggambarkan bahwa Pak Harun menghargai pendapat siapapun.
Jika sudah tuntas mengeluarkan uneg-uneg masing-masing, biasanya
Pak Harus mulai membuka wawasan murid-muridnya sedikit demi
sedikit dengan menjelaskan latar belakang masing-masing golongan
atau organisasi sampai ke Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART), bahkan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Di
situ murid-muridnya terperangah. Subhanallah. Tampak sekali kalau
Prof.Dr. Harun Nasution adalah sosok ilmuan yang objektif dalam
menilai dan memandang sesuatu. Tidak ada di antara murid-muridnya
yang merasa terpojok dengan jawaban yang diberikan oleh Sang Guru.

19
Ketika perkuliahan di Program S-2 hampir selesai, mahasiswa
angkatan penulis, yang merupakan angkatan pertama membuat tesis
untuk mendapatkan gelas Magister, dengan terlebih dahulu
mengajukan proposal. Angkatan sebelum kami, jika selesai program
S-2, langsung mengikuti kuliah ke S-3, jika indeks prestasi akhir
memenuhi persyaratan. Oleh karenanya, angkatan sebelum kami tidak
memperoleh gelar magister, tetapi langsung Doktor., namun program
seperti ini sangat disayangkan, karena bagi teman-teman angkatan
sebelum kami, karena tidak membuat tesis sehingga tidak mendapat
gelar Magister. Yang sempat melanjutkan studi ke S-3, dapat langsung
memperoleh gelar Doktor. Akan tetapi bagi kawan-kawan yang
dengan alasan masing-masing gagal mendapatkan gelar Doktor, dalam
karir sebagai seorang dosen, terancam, karena persyaratan minimal
seorang dosen harus berpendidikan S-2 (Magister).
Sejak awal perkuliahan, penulis sudah tertarik untuk menulis
yang berkaitan dengan bidang pemikiran yaitu yang berkaitan dengan
tasawuf. Oleh karenanya sambil kuliah, penulis mengumpulkan buku-
buku, kliping dan segala informasi yang terkait dengan tasawuf untuk
dijadikan referensi. Ketika penulis telah menyetorkan judul untuk
Tesis ke bagian Akademik, beberapa minggu kemudian penulis
diminta datang oleh pihak Akademik, karena judul yang penulis
berikan sama persis dengan judul Disertasi yang disampaikan oleh
saudara Kautsar yaitu: “Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi” .Intinya antara
judul dan rumusan masalah yang akan dikaji, sama persis dengan
proposal penulis, keduanya akan mengkaji dan membuktikan apakah
ajaran Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi tersebut memang merupakan
ajaran pantheis atau bukan. Karena ada dua judul yang masuk dan
sama, maka pihak Akademik membawa hal ini kepada Pak Harun
selaku Direktur. Menurut cerita mereka, tentang hal itu kata Pak
Harun: Siapa yang menyetorkan judul ke bagian Akademi terlebih
dahulu itulah yang berhak untuk melanjutkan tulisannya.” Setelah
dicek dalam buku penerimaan judul penelitian ternyata judul penulis
lebih dahulu satu bulan dari judul saudara Kautsar. Mengetahui kabar
20
itu penulis sangat gembira, karena bahan-bahan yang diperlukan 80 %
sudah penulis miliki. Tapi apa yang terjadi? Penulis diminta Pak
Harun untuk menghadap melalui petugas Akademik. Ketika
menghadap, Pak Harun meminta penulis untuk mengalah, yakni judul
tersebut diberikan pada saudara Kautsar. Kata Pak Harun ketika itu:
“Anisah mengalah saja, cari judul yang lain, Anisah kan masih
menulis tesis, sedangkan Kautsar menulis disertasi, jadi biarlah judul
itu untuk dia”. Ketika itu penulis menangis terisak-isak di depan Pak
Harun. “Pak, saya sudah mengumpulkan bahan sudah dua tahun, jadi
sia-sia”. “itupun rencana saya mau dikembangkan jadi Disertasi” kata
penulis. “Begini saja”, kata Pak Harun,” Jadikan saja judul “Kritik
terhadap Ajaran Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi”.” Nanti kerjasama
dengan Kautsar untuk mendapatkan data lainnya”. Memang penulis
sempat kecewa, namun dengan kelemah-lembutan yang diberikan Pak
Harun, penulis kemudian menyetujui usulan Pak Harun. Judul yang
diberikan Pak Harun itulah kemudian menjadi judul tesis penulis yang
selesai penulisannya dalam waktu tiga bulan setengah. Dari peristiwa
tersebut jiwa lembut kebapakan ada pada Pak Harun. Walupun penulis
sempat gundah tapi jalan keluarnya diberikan oleh sang Guru. Di akhir
perkuliahan kami satu angkatan (Hamka Haq, Saifullah, Asril Datuk
Paduko Sindo, Hamdani, Iskandar Usman, Rahmat, Burhanuddin, Ali
Mufradi, Tsurayya Kiswati, Zubaidi, Adrianus Khatib dan penulis,
Nyimas Anisah Muhammad) diajak makan bersama di kediaman Pak
Harun. Rupanya sudah menjadi tradisi Pak Harun jika perkuliahan
satu angkatan selesai diajak makan bersama di kediaman beliau di
Kampung Utan, samping kampus IAIN Syarif Hidayatullah. Dengan
cara itu kami murid-murid merasa lebih dekat dengan beliau dan
keluarga. Tidak Cuma makan bersama di rumah beliau, kami satu
angkatan pun berfoto bersama beliau. Kami, termasuk pak Harun,
sengaja datang ke sebuah studio foto di Blok M, Kebayoran Baru,
untuk mendapatkan hasil yang baik dan maksimal. Di samping berfoto
satu angkatan, penulis bersama Tsurayya Kiswati, teman prempuan
satu-satunya dalam satu angkatan, Ali Mufradi dan Burhanuddin,
21
kami berempat adalah alumni S-1 dari Fakultas Ushuluddin Sunan
Ampel Surabaya, pun menyempatkan foto bersama Pak Harun.
Setelah menyelesaikan Program S-2, Alhamdulillah penulis
memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke S-3 (Program Doktor)
bersama teman-teman yang lain. Pada tahun 1989/1990 penulis
bersama rekan-rekan lainnya seangkatan mengikuti perkuliahan S-3.
Pada akhir perkuliahan mahasiswa sudah harus menyerahkan judul
dan proposal untuk disertasi. Ada beberapa judul yang diinfentarisir,
salah satunya merupakan masukan dari Pak Jalaluddin yaitu pemikiran
Bung Hatta tentang Islam. Lalu penulis menyerahkan judul
"Pemikiran Keagamaan Mohammad Hatta". Judul dan proposal
diterima. Untuk Promotor Pertama ditunjuk oleh Pak Harun sebagai
Direktur Program Pascasarjana adalah Bapak Prof. Deliar Noer, PhD.
dan sebagai Promotor kedua adalah Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, MA.
Penulis beberapa kali berkunjung ke kediaman Pak Deliar Noer
dan Mulyanto Sumardi, untuk berkonsultasi dan mendiskusikan
proposal yang kemudian akan dijadikan Bab I. Apa yang disarankan
oleh keduanya penulis ikuti. Pak Deliar meminta penulis untuk
menggunakan buku karya beliau yang berjudul “Biografi Politik Bung
Hatta” sebagai referensi. Penulis langsung mencari buku tersebut dan
membelinya serta memasukkan hal-hal yang relevan ke dalam latar
belakang yang ada dalam proposal. Sedangkan Prof. Mulyanto
Sumardi mengarahkan kepada metodologi penulisan. Semuanya
penulis taati.
Sebuah kejadian yang mengejutkan adalah, pada suatu hari,
penulis mendapat sebuah surat yang diberikan oleh bagian akademik,
yang surat itu berasal dari Prof. Deliar Noer. Ph.D, setelah penulis
baca, isinya menyatakan bahwa beliau mengundurkan diri sebagai
promotor penulis, alasannya karena penulis tidak mengikuti
arahannya. Aneh, kalau memang itu yang terjadi bukankah dapat
dibicarakan lagi dalam pertemuan bimbingan selanjutnya. Semudah
itukah seorang promotor menyerah? Seorang yang dibimbing
sebenarnya sangat mengharapkan arahan yang baik dari promotornya
22
agar mendapatkan hasil yang berkualitas, ternyata jauh panggang dari
api. Dengan surat tersebut penulis menjadi bingung karena kenyataan
yang ada, penulis sangat respon kepada beliau serta arahannya, saran
sebenarnya sudah penulis penuhi. Yang jelas penulis sangat kecewa
dengan kejadian tersebut.
Karena merasa tidak bersalah dan menjadi korban, membuat
penulis menjadi penasaran untuk mencari informasi lebih jauh. Dari
informasi yang didapat ternyata ada masalah antara Pak Deliar dengan
Pak Harun. Apa yang menjadi masalah di antara keduanya biarlah
mereka berdua yang tahu. Dengan adanya surat pengunduran diri
sebagai promotor di tangan penulis tersebut, penulis kemudian
menghadap Pak Harun serta memberikan surat itu kepada beliau,
meskipun surat itu ada tembusannya ke Program Pascasarjana.
Tanggapan Pak Harun ketika itu:” Yah, tidak apa-apa, masih banyak
orang lain untuk dijadikan promotor”. Menurut penulis, tidak mungkin
Pak Harun berkata demikian jika tidak ada masalah dengan Pak
Deliar. Kalau keduanya tidak dalam masalah penulislah tentunya yang
dimarahi Pak Harun, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Pak
Harun tidak marah sama sekali kepada penulis.
Memerlukan waktu cukup lama untuk menggati Prof. Deliar
Noer, Ph.D. sebagai Promotor penulis. Sebenarnya tidak banyak
Profesor yang meneliti tentang Bung Hatta. Pak Deliar Noer
sebenarnya sosok yang paling tepat, dalam hal ini, karena beliau di
samping menulis tentang Bung Hatta, beliau juga secara emosional
dekat dengan Bung Hatta. Lebih kurang sebulan kemudian barulah
Pak Harun menunjuk dirinya sendiri menggantikan Pak Deliar Noer
sebagai Promotor penulis. Sedangkan Promotor kedua tetap yaitu
Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, M.A.
Belum banyak yang dapat penulis tulis dalam pembuatan
disertasi, ketika penulis dipanggil Pak Harun melalui bagian
akademik. Penulis bertanya-tanya dalam hati, mengapa penulis
diminta menghadap. Dalam pertemuan itu Pak Harun mengatakan
karena kajian disertasi penulis adalah sosok Bung Hatta, maka penulis
23
diminta mengikuti program Indonesia Netherland Cooperaton in
Islamic Studies INIS). Menurut Pak Harun dengan mengetahui latar
belakang kehidupan seseorang, maka akan mudah mempelajari
pemikiran-pemikirannya karena latar belakang kehidupan akan
memberi pengaruh kuat terhadap pemikiran seseorang. Dengan kata
lain bahwa pemikiran seseorang tidak terlepas dari kehidupan masa
lalunya. Langsung Pak Harun memberi arahan kepada penulis untuk
segera mendaftarkan diri ke Departemen Agama dengan menyertakan
proposal tesis.
Sebenarnya ada pertarungan hebat pada diri penulis dalam
menghadapi kemauan Pak Harun. Di satu sisi penulis berkeinginan
untuk menimba ilmu sebanyak mungkin dan sejauh mungkin, namun
di sisi lain penulis tidak tega berpisah dengan ayahanda yang tercinta,
yang sendirian, karena ibunda telah lama dipanggil Sang Khaliq,
sudah uzur yang ketika itu berusia 78 tahun. Faktor kedua sebenarnya
jauh lebih mendominasi pikiran penulis. Karena harus meninggalkan
ayahanda yang penulis panggil “Abah”. Berat juga untuk
meninggalkan suami walaupun tidak seberat meninggalkan Abah.
Apa yang ada di benak penulis ketika itu, penulis sampaikan
kepada Pak Harun. Beliau memberi arahan dengan mengatakan:
“Jangan ditolak dulu, bicarakan baik-baik kepada ayah dan kepada
suami”.”Program ini penting buat Anisah (penulis)” kata Pak Harun.
“Negeri Belanda adalah negeri di mana Bung Hatta menuntut ilmu dan
cukup lama Bung Hatta di sana, kehidupan Barat di mana dia tinggal
juga akan mewarnai pemikirannya” lanjut Pak Harun. Penulis
merenungi ucapan Pak Harun sambil berfikir. Penulis kemudian
perpamitan untuk pulang kepada Pak Harun.
Sesampai di tempat kost, yaitu di Jl. Pesanggrahan Ciputat, yang
memang sejak mengambil dan menjalani program S-2, penulis selalu
bersama Abah. Abah memilih tinggal bersama penulis karena anak
Abah hanya dua orang, satu laki-laki, abang penulis yang bernama
Kemas Mustazhirbillah, yang tinggal di kampung halaman penulis,
kota kecil Tebing Tinggi, sekarang menjadi Ibu Kota Kabupaten
24
Empat Lawang di Sumatera Selatan dan satu prempuan (Nyimas
Anisah Muhammad), penulis sendiri. Setelah penulis bicarakan pada
Abah, bukannya Abah melarang atau keberatan, bahkan Abah sangat
senang kalau penulis dapat pergi ke negeri Belanda. “Nanti kalau kau
sampai di sana”, kata Abah:”pelajari bagaimana kehidupa Belanda
yang hanya punya Negara kecil dapat menjajah Indonesia beratus-
ratus tahun”. “Ambil ilmunya’ lanjut Abah. Abah juga berkomentar;
“Orang kaya, belum tentu dapat menuntut ilmu ke luar negeri,”
katanya.”Tentang Abah jangan dipikirkan, kan ada Allah yang
menjaga dan memelihara, yang penting kau ketahui, Abah sangat
mendukung kau menuntut ilmu dan kau akan sukses” “Abah” memang
seorang pejuang sejak muda, beliau pernah dipenjara ketika masa
penjajahan. Menjadi pejuang kemerdekatan, angkatan 45 dan anggota
Veteran RI. Jadi wajar kalau Abah memberikan dorongan dan support
yang kuat kepada penulis.
Ketika persoalan ini penulis ungkapkan kepada sang suami,
Mohammad Fatih Alam, dia mengatakan: “kalau Abah sudah
mengizinkan aku juga mengizinkan, percuma juga Doktor kalau
wawasannya hanya sebatas Ciputat”. Setelah mendapatkan support
dan restu dari ayahanda dan suami, penulis memasukkan berkas ke
Departemen Agama RI. Ternyata cukup banyak lamaran yang masuk,
setelah melalu proses cukup lama, dua puluh orang yang mewakili
IAIN seluruh Indonesia dinyatakan lulus, termasuk penulis.
Kedua puluh peserta yang dinyatakan lulus seleksi diwajibkan
mengikuti kursus bahasa Belanda selama satu smester di “ERASMUS
HUIS”, pusat bahasa dan kebudayaan Belanda di Kedutaan Besar
Belanda di Jalan Rasuna Said Jakarta. Setelah menjalani kursus
selama satu smester setiap hari kecuali hari Minggu sejak jam 07:00
hingga jam 17:00. Akhir kursus diadakan tes akhir semester. Dari dua
puluh orang peserta, yang dinyatakan lulus hanya lima belas orang,
termasuk penulis. Kelima belas orang inilah kemudian berangkat
menuju negeri Kincir Angin Belanda pada bulan Juni 1991.

25
Di Belanda penulis tinggal di Apartemen Niewerood, lantai
tujuh, kota Laiden. Nieweroord adalah apartemen milik pemerintah
Belanda yang diperuntukkan bagi Ziekenhuis (Rumah Sakit) yang ada
di Leiden. Penghuni apartemen banyak juga yang datang dari luar
kota Leiden bahkan dari luar negeri Belanda yang berobat ke sana.
Selain itu apartemen dihuni juga oleh para pelajar yang datang dari
berbagai penjuru dunia.
Enam bulan penulis mengikuti program INIS di negeri Kincir
Angin ini, Minggu malam bulan November penulis menerima telepon
dari kakak di Jakarta yang mengabarkan bahwa ayahanda sakit keras
dan sedang di rawat di Rumah Sakit Fatmawati Cilandak Jakarta.
Senin pagi Penulis dibantu kawan-kawan dan pihak pengelola
program berusaha mendapatkan tiket untuk pulang ke Tanah Air.
Selasa siang dengan pesawat KLM, penulis meninggalkan Belanda
menuju Tanah Air. Ketika penulis tiba di bandara Soekarno Hatta,
selasa siang, abang penulis, suami dan kerabat menjemput penulis.
Ternyata ayahanda, “Abah’ tercinta telah berpulang ke rahmatullah
pada Senin pagi jam 06:00 dan dimakamkan Senin sesudah ‘Ashar di
pemakaman muslim Jati Padang Utara Pasar Minggu Jakarta. Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga Allah mengampuni segala
kesalahan dan menerima amal ibadah dan perjuangan beliau serta
mendapatkan ridha dan syorga Allah. Amin ya Rabb.
Kepulangan penulis ke Tanah Air tidak sempat bertemu Abah,
karena Abah sudah dimakamkan dua hari sebelum penulis tiba. Untuk
kembali ke Leiden, penulis harus mempersiapkan surat menyurat
keterangan seperti surat keterangan dari Kelurahan dan Kecamatan
serta surat keterangan kematian dari Rumah Sakit Fatmawati.
Sebenarnya surat-surat tersebut tidak sulit didapat, tetapi karena harus
dengan bahasa Inggris, maka penulis berusaha dulu
menterjemahkannya, karena lembaga yang bersangkutan tidak
bersedia membuatnya dengan bahasa Inggris. Setelah proses
penterjemahan selesai barulah kemudian penulis menyerahkannya
kembali untuk ditanda-tangani. Barulah surat tersebut dapat dibawa ke
26
Belanda. Dalam kepulangan ke Tanah Air, penulis menyempatkan diri
menghadap Pak Harun. Kepada Pak Harun penulis menceritakan
musibah yang menimpa penulis. Pak Harun mengatakan:” Saya turut
berduka-cita, semoga ayahanda Anisah mendapat tempat yang baik di
sisi Allah.” Anisah jangan putus asa, teruslah berstudi, kan ayahanda
menginginkan yang demikian”. Banyak juga pembicaraan kami
berdua ketika itu, intinya Pak Harun memberi semangat untuk
menyelesaikan disertasi dengan baik.
Setelah sebulan di Tanah Air, penulis kemudian kembali ke
Leiden, Belanda pada bulan Desember 1991 untuk melanjutkan
Program yang sedang dijalani. Pada bulai Mei 1992, Program di
Belanda selesai dan penulis bersama kawan-kawan group INIS 20
orang (karena ada yang bersama suami dan istri masing-masing, yang
memang dibolehkan menyusul ke Leiden) dipandu oleh Prof
Stockhof, Prof Nicco Kaptein dan Sabine meninggalkan negeri Kincir
Angin Belanda menuju Mesir. Program INIS sebenarnya pada bulan
Juni 1992 sudah selesai, akan tetapi karena kami (penulis dan group
sudah meminta izin kepada Menteri Agama yang ketika itu dijabat
oleh Munawir Sjadzali, M.A.) akan menunaikan ibadah haji, maka
kami bertahan di Cairo hingga musim hajji datang sambil menyiapkan
visa hajji, yang saat itu sangat sulit kami peroleh. Pertengahan Juni,
kami meninggalkan Cairo menuju Saudi Arabia dan berada di sana
selama 58 hari. Aktifitas kami adalah menunaikan ibadah haji, namun
di samping itu masing-masing mempunyai aktifitas yang berbeda-
beda karena masing-masing menjadi bagian dari Tenaga Musiman,
menjadi khadim untuk tamu Allah yang menjalankan ibadah haji.
Menjelang akhir bulan Juli 1992, dengan pesawat Garuda non kloter
rombongan penulis meninggalkan Saudi Arabia menuju Tanah Air.
Sepulang dari menjalani Program INIS dan menunaikan ibadah
hajji, penulis belum dapat segera menulis, karena menunggu
kedatangan buku-buku yang dibeli dan yang dicopi di Belanda yang
masih dalam perjalanan. Memang buku-buku dan copian yang sudah
menjadi milik kami, setelah proses packing selesai, dikirim oleh pihak
27
Proyek ke alamat masing-masing di Tanah Air. Ternyata menunggu
kedatangan kiriman tersebut cukup lama, hampir memakan waktu tiga
bulan. Selama menunggu, kegiatan penulisan tidak dapat dipercepat
karena kebanyakan buku-buku tersebut adalah buku yang dijadikan
referensi untuk disertasi.
Setelah buku-buku itu tiba, penulis mulai intensif menulis dan
melakukan konsultasi dengan Pak Harun. Penulis bolak balik
menghadap Pak. Harun. Banyak arahan Pak Harun kepada penulis,
tetapi penulis sering bingung, misalnya minggu ini konsultasi bab
kedua, beliau mengarahkan disertai catatan-catatan. Penulis mengikuti
arahan beliau, ketika sudah selesai, eh eh apa yang sudah ditulis
dirubah lagi. Kejadian seperti ini sering terjadi. Yah cukup
membingungkan. Tulisan yang penulis lakukan kadangkala meluas
dan melebar, akibat dari banyaknya sumber yang dibaca, pada hal
tidak semua yang dibaca harus dimasukkan, makanya kadang-kadang
Pak Harun berkomentar:” Anisah terlalu banyak membaca tentang
Bung Hatta, tetapi tidak semuanya harus masuk ke dalam disertasi”.
Memang penulis akui dengan banyaknya referensi dan informasi
tentang Bung Hatta yang didapat dari Bibliotek atau Perpustakaan
Leiden Universiteit, sehingga pembahasan disertasi menjadi melebar.
Intinya Pak Harun menginginkan isi disertasi itu berkualitas, tajam
dan menukik pada permasalahan yang dibahas.
Desember 1994 penulis punya bayi, sementara disertasi belum
selesai. Walau tertatih penulis tetap menulis, sehingga penulisan
disertasi memakan waktu cukup lama. Kendala internal maupun
eksternal silih berganti menerpa. Setelah disertasi penulis mendekati
rampung, pak Harun berujar:’ Cepatlah Anisah biar selesai”. “Segera
ujian”, lanjut beliau. “Iya Pak, akan saya usahakan”, jawab penulis.
Ucapan terakhir beliau rupaya “Isyarat”, sayangnya kala itu penulis
tidak mampu membaca isyarat tersebut. Penulis telah merampungkan
tulisan, tinggal mendaftar untuk ujian komprehensif. Setelah lulus
ujian komprehensif baru diperbolehkan mendaftar ujian Tertutup. Tak
lama setelah itu, saat penulis mempersiapkan diri untuk ujian
28
komprehensif, 3 telpon masuk kepada penulis, ada yang berasal dari
bagian akademik dan ada yang berasal dari kawan-kawan. Isinya:
Prof. Harun Nasution, hari itu wafat.” Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un. Berita tersebut sangat mengejutkan, karena sebelumnya tidak
terdengar kalau Pak Harun sakit dan penulis belum lama bertemu
dengan Pak Harun.
Dengan adanya kabar tersebut, penulis menangis sejadi-jadinya,
mandi sambil menangis, tukar pakaian sambil menangis, pokoknya
bagi penulis dunia serasa runtuh. Saebil bergegas mencari kendaraan
menuju Ciputat, ketika itu penulis berdomosili di kawasan Jl Pejaten
Raya Pasar Minggu Jakarta Selatan kemudian tibalah penulis di rumah
duka di kediaman Pak Harun, di Kampung Utan, samping kampus
UIN Syarif Hidayatullah sekarang. Di sana sudah banyak orang-orang
yang melayat dan berta’ziyah, murid-murid beliau yang paling
mendominasi. Dari informasi yang penulis terima, bahwa Pak Harun
tiga hari sebelumnya berangkat ke Ujung Pandang (Makassar) untuk
memberi kuliah di IAIN di sana. Jadwal yang semestinya tiga hari itu
diperpendek menjadi dua hari karena Pak Harun merasa tidak sehat.
Informasi yang ada mengatakan bahwa pihak IAIN Ujung Pandang
akan mengantar/ menemani Pak Harun pulang ke Jakarta, akan tetapi
Pak Harun menolak. Sesampai di Bandara Soekarno Hatta, Pak Harun
sudah dijemput sopir, yang sudah diberitahu sebelumnya. Kepada
sopirya Pak Harun minta di antar ke Rumah Sakit, di sanalah beliau
menghembuskan nafas terakhirnya Jenazah beliau dibawa ke rumah
duka. Ketika Janazah Pak Harun yang sudah dimandikan dan dikafani
akan dipindahkan dari kasur tempat pembaringan Pak Harun ke
keranda, penulis ikut mengangkat jenazah Pak. Harun, di bagian
kepala beliau hingga ke dalam keranda. Kemudian jenazah dishalati,
kemudian dimakamkan di pemakaman UIN Syarif Hidayatullah
Ciputat. Rasa duka yang dalam yang menyelimuti hati penulis tak
dapat digambarkan dengan kata-kata. Ternyata dengan intensitas
pertemuan yang tinggi dengan beliau, membuat penulis mencintai

29
beliau sebagai seorang Bapak bagi penulis, menghormati dan
sekaligus mengagumi beliau.
Kepergian Pak Harun untuk selamanya diantar dan ditangisi oleh
orang-orang yang menyintai dirinya, terutama oleh murid-muridnya.
Banyak yang berduka, akan tetapi menurut penulis yang paling
berduka adalah penulis sendiri. Selain penulis sudah begitu dekat
dengan Pak Harun, akibat dan dampak dari kontinuitas pertemuan
bimbingan disertasi, arahan beliau merupakan kunci pembuka
wawasan yang tadinya sempit menjadi terbuka dan menerobos
cakrawala dunia, menjadi berwawasan global, berwawasan universal.
Penulis mencintai Pak Harun sebagai Bapak yang penuh kasih sayang
dan penuh tanggung jawab.
Prof. Harun Nasution, meninggalkan segudang ilmu dan
wawasan bagi murid-muridnya. Ternyata murid-murid beliau di
kemudian hari menjadi manusia intelektual, berakhlaq mulia dan
berkualitas serta banyak yang menjadi panutan dan pemimpin di
Perguruan Tinggi di berbagai daerah di Indonesia.
Sosok Prof Harun Nasution terpatri di hati penulis, sikap elegan
yang tidak angkuh, penampilan yang rapi dan selalu modis dengan
kumis yang tercukur rapi dan warna serta corak celana dan kaos kaki
yang dikenakan selalu serasi, pribadi yang penuh kharismatik, disiplin
yang tinggi, kebapakan, penuh kasih sayang, tanggung jawab dan
berani berkorban untuk orang lain, menghormati kawan dan
menghargai lawan dan sebagai pahlawan pembuka wawasan. Pribadi
Pak Harun banyak memberi pegaruh terutama bagi murid-muridnya.
Penulis merasakan hal itu. Ketika mengajar penulis selalu meniru cara
Pak Harun. Makalah yang dibuat oleh mahasiswa untuk
dipresentasikan diperiksa dengan teliti hingga ke titk koma, diarahkan
dan diberi masukan untuk diperbaiki. Prilaku demikian menurut
penulis adalah merupakan bentuk penghargaan guru terhadap karya
murid-muridnya. Dengan adanya koreksi, arahan dan masukan,
menjadikan murid bersemangat untuk mendapatkan informasi lebih
jauh sehingga tak henti-hentinya belajar dan belajar.
30
“Selamat jalan Pak Harun, jasa-jasamu tak kan pernah
terlupakan. Semoga amal baktimu menjadi amal shaleh yang diridhai
Allah. Ilmu yang engkau berikan merupakan ilmu yang bermanfaat
buatmu, buat murid-muridmu dan buat orang-orang yang mengambil
manfaat dari padanya, juga bagi agama, nusa dan bangsa.Semoga
kesalahan yang terlanjur terjadi mendapat ampunan Ilahi dan semoga
syorga yang penuh nikmat disediakan buatmu bersama Rasulullah…
Amin.

PEMIKIRAN PROF. HARUN NASUTION


Prof. Harun Nasution, diakui sebagai seorang pemikir.
Pengakuan ini tidak hanya bagi penulis, tampaknya juga diakui oleh
murid-murid beliau yang lain. Hal ini terlihat dari banyak pembicaraan
pada pertemuan yang diadakan oleh panitia yang meminjam istilah
Prof. Suwito identik dengan “Harun Nasution Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya”. Mungkin pemikiran Pak Harun secara terbuka akan lebih
diketahui oleh anak bangsa ini ketika buku tentang Pak Harun, yang
direncanakan terbit, akan menjadi kenyataan dan lebih terangkat
Pemikiran Pak Harun sebenarnya dapat ditelusuri lewat buku-
buku yang ditulisnya, ungkapan-ungkapan yang diberikan ketika
mengajar di dalam kelas, bimbingan dan arahan ketika membimbing
mahasiswa baik dalam penulisan tesis maupun disertasi dan
pembicaraan Pak Harun dalam keseharian di kantor, (Program
Pascasarjana), di dalam maupun di luar kampus IAIN Syarif
Hidayatullah.3
Pemikiran Pak Harun menghendaki bahwa siapapun yang
mempelajari pemikiran seseorang maka dia harus menguasai sejarah
dan latar belakang si Pemikir. “Dia seolah-olah sosok Sang Pemikir”,
kata Pak Harun. Sebab, jika tidak, pemikiran sang Pemikir tidak dapat
dia pahami secara benar dan baik. Bahkan, menurut Pak Harun, dia

3
Sekarang sudah beralih status sebagai Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
31
seolah-olah seperti Sang Pemikir yang sedang dipelajari
pemikirannya. Dengan demikian, ujar beliau, alur pemikiran
seseorang dapat dikuasai, sehingga pemikirannya dapat dipahami
secara benar dan lurus. Ungkapan senada dengan ini sering diucapkan
pada jam-jam kuliah, lebih-lebih lagi penulis menangkapnya saat
konsultasi disertasi dengan beliau. Pemikiran Pak Harun yang
demikian selaras dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi. Dalam satu
kesempatan penulis bertemu Pak Harun di kantor Direktur, saat itu
penulis menyiapkan tesis yang berjudul “Kritik Terhadap Ajaran
Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi”. Ketika penulis membaca dan
mempelajari Kitab “Fushush al-Hikam”, karya Ibnu ‘Arabi,
kegelisahan akademik yang luar biasa mendominasi pikiran penulis.
Walaupun penulis sudah membuka beberapa buku kamus (mu’jam)
bahasa Arab, namun kegelisahan itu tetap ada. Yang menjadi pikiran
adalah ketidakmampuan penulis memahami dan mencerna kata
“‫ ”ﻛﺸـــﻒ اﻻﻟﮭﻰ‬Kata tersebut terungkap berulang kali dalam kitab
tersebut.
Biasanya penulis menggarap tesis hingga larut malam, kadang-
kadang hingga jam 02.00 dini hari. Suatu malam penulis merasakan
mengalami sesuatu antara tidur dan terjaga. Dikatakan bermimpi
rasanya baru setengah tidur. Penulis merasa sebagai seekor burung
yang terbang ke sana ke mari, sangat bebas. Ketika memandang ke
kejauhan tampak alam begitu luas. Ketika melihat ke bawah, sawah,
kebun, rumah dan lainnya terlihat jelas, bahkan orang-orang yang
beraktifitas di dalam rumahpun terlihat jelas. Seolah rumah-rumah
yang ada haya tertutup kaca yang sangat transparan. Tiba-tiba seperti
ada suara: “inilah kasyf al-Ilahi”. Setelah mendengar suara tersebut,
Penulis terjaga. Penulis berkesimpulan bahwa kasyf al- Ilahi yang
dimaksud adalah rahasia Allah, yang dapat ditunjukkan atau diberikan
kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dalam Kitab “Fushush al-
Hikam” karya Ibnu ‘Arabi sendiri, ia menyatakan bahwa tidak semua
orang dapat memahami makna wahdat al-wujud Allah yang

32
sebenarnya, kecuali mereka yang memahami alur pemikiran dan
pandangannya.
Kejadian seperti mimpi di atas penulis ceritakan kepada pak
Harun, walaupun beliau bukan sebagai Pembimbing penulis untuk
tesis. Beliau mengakui bahwa apa yang menjadi pengalaman penulis
di atas, diakui sebagai pengetahuan yang diberikan Allah lewat mimpi.
Komentar beliau ketika itu adalah: “Berarti Anisah mempelajari dan
menghayati pemikiran Ibnu ‘Arabi dengan sungguh-sungguh,
sehingga mendapat ilmu dari Allah lewat mimpi.” Penulis senang
mendengan komentar beliau demikian.
Pak Harun berpandangan bahwa masyarakat Indonesia yang
mayoritas muslim terkesan berpandangan sempit. Kesan ini timbul
dari salah pengertian tentang Islam. Kekeliruan paham itu terjadi
karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di
Indonesia ditekankan kepada pengajaran ibadat, fikih, tawhid, tafsir,
hadis dan bahasa Arab. Oleh karena itu, menurut beliau, Islam di
Indonesia banyak dikenal hanya dari aspek ibadat, fikih dan tawhid
saja. Itu pun biasanya hanya diajarkan menurut satu mazhab atau
aliran saja. Hal ini yang memberi pengetahuan yang sempit tentang
Islam.4 Hal ini dapat membawa kepada paham dan sikap yang sempit.
Untuk membuka wawasan keislaman, terutama bagi mahasiswa dan
intelegensia pada umumnya tentang Islam, yang melatar belakangi
Pak Harun menerbitkan karya-karyanya.
Islam dalam pandangan Pak Harun, berbeda dengan Islam yang
secara umum diketahui. Islam tidak hanya mempunyai satu dua aspek,
tetapi mempunyai berbagai aspek. Islam sebenarnya mempunyai
aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisisme, aspek
falsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan lain sebagainya. Aspek
teologi tidak hanya mempunyai satu aliran, tetapi berbagai aliran; ada
aliran yang bercorak liberal, yaitu aliran yang banyak memakai

4
Harun Nasution, 1985 Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 4-5.
33
kekuatan akal di samping kepercaan pada wahyu. Ada pula yang
bercorak tradisional yaitu aliran yang sedikit memakai akal dan
banyak bergantung pada wahyu. Di antara kedua aliran ini terdapat
pula aliran-aliran yang tidak terlalu liberal dan tidak terlalu
tradisional5, tulis Pak Harun. Dalam aspek hukum demikian pula,
terdapat bukan hanya satu mazhab tetapi berbagai rupa mazhab dan
yang diakui sekarang hanya empat mazhab yaitu mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Dalam kenyataan bahwa Islam mempunyai berbagai aspek,
aliran dan mazhab. Pengetahuan Islam yang hanya dari satu dua aspek
saja atau hanya dari satu aliran atau satu mazhab saja, menimbulkan
pengetahuan yang tidak lengkap tentang Islam. Aspek-aspek lainnya,
moral, mistisisme, falsafat, sejarah, kebudayaan, aliran dan mazhab-
mazhab lainnya kurang dikenal. Oleh sebab itu pengetahuan kita di
Indonesia tentang Islam tidak sempurna, tulis Pak Harun. Dengan kata
lain hakikat Islam tidak begitu dikenal. Ini menimbulkan
kesalahpahaman tentang Islam.
Untuk menghilangkan kesalah pahaman itu perlu diketahui dan
diajarkan hakikat Islam yaitu Islam dalam segala aspeknya. Pak Harun
mengakui, bahwa untuk mempelajari Islam dengan segala aspeknya
sudah barang tentu memakan waktu yang lama dan menghabiskan
umur. Menurutnya, yang perlu hanya mengetahui aspek-aspek dan
aliran-aliran itu dalam garis besarnya saja, sebagai dasar pengetahuan
dan yang demikian itu sudah cukup. Kemudian barulah mengambil
spesialisasi masing-masing aspek. Mengambil spesialisasi sebelum
atau tidak mengetahui aspek-aspek dan aliran lain dalam Islam
menimbulkan pengetahuan yang tidak lengkap, bahkan yang salah
tentang Islam. Untuk menghindarkannya perlulah pendekatan lama
dirobah dengan pendekatan baru,6 tulis pak Harun mengakhiri
tulisannya pada bab II “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.

5
Ibid., 33
6
Ibid., 34
34
Pak Harun, ketika membahas aspek Ibadat, apapun itu, seperti
shalat, zakat, puasa haji dan lain sebagainya, senantiasa membahas
dan meninjaunya dari sisi akhlak dan moral. Beliau menukil Q.S. al-
‘Ankabut: 45 dan mengambil sebuah Hadis Rasulullah Saw. tentang
shalat mencegah perbuatan jahat dan tidak baik. Beliau menyimpulkan
bahwa shalat yang tidak mencegah perbuatan jahat dan tidak baik
bukanlah sebenarmya shalat. Shalat yang demikian tidak ada artinya
dan membuat orang semakin jauh dari Tuhan. Demikian pula ketika
membahas poin-poin lainnya seperti puasa, zakat dan haji. Banyak
Hadis-hadis yang dunukilnya untuk memperkuat argumennya tentang
akhlak. Semua ibadat itu, menurut Pak Harun, dekat hubungannya
dengan pendidikan dan moral.7 Demikian pentingnya budi pekerti
luhur dan tingkah laku sehari-hari dalam Islam, sehingga hal-hal itu
disebut Tuhan dalam al-Quran dan Nabi Muhammad saw sendiri
mengatakan bahwa beliau diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan
ajaran-ajaran tentang budi pekerti luhur.
Berbicara tentang akhlak atau moral, Pak Harun juga
membahasnya dalam bahasan teologi. Menurutnya, golongan
Asy’ariyah mengatakan bahwa soal baik dan buruk tak dapat diketahui
oleh akal. Sekiranya wahyu tidak diturunkan Tuhan, manusia tidak
dapat membedakan perbuatan buruk dan perbuatan baik. Wahyulah
yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Bagi golongan
Asy’ariyah, karena akal tidak mampu mengetahui soal baik dan soal
buruk, maka manusia tidak mempunyai kewajiban aqli apa-apa
sebelum turunnya wahyu.
Lebih lanjut Pak Harun menjelaskan, kaum Mu’tazilah
berpedapat bahwa akal manusia cukup kuat untuk mengetahui buruk-
baiknya suatu perbuatan. Tanpa wahyu, manusia dapat mengetahui
bahwa mencuri adalah perbuatan buruk dan menolong sesama
manusia adalah perbuatan baik. Untuk itu tak diperlukan wahyu.
Wahyu datang hanya untuk memperkuat pendapat akal manusia dan

7
Ibid., 43
35
untuk membuat nilai-nilai yang dihasilkan pikiran manusia itu bersifat
absolut dan universal, agar dengan demikian mempunyai kekuatan
mengikat bagi seluruh ummat. Selanjutnya, menurut kaum
Mu’tazilah, kata Pak Harun, setelah akal mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, akal memerintahkan supaya perbuatan yang
baik itu dikerjakan dan perbuatan buruk atau jahat itu dijauhi. Jadi
sebelum wahyu diturunkan Tuhan, manusia dalam paham Mu’tazilah,
telah berkewajiaban bernuat baik dan berkewajiban menjauhi
perbuatan buruk atau jahat. Wahyu datang untuk memperkuat perintah
akal itu dan untuk membuat kebaikan-kebaikan aqli tersebut menjadi
kewajiban syar’i yang bersifat absolut8.
Tulisan Pak Harun lebih jauh menjelaskan, bahwa di samping
teologi, fikih atau hukum Islam sebenarnya memusatkan pembahasan
pada soal baik dan buruk itu. Pengertian wajib, haram, sunnah dan
makruh erat sekali hubungannya dengan perbuatan baik dan perbuatan
buruk atau jahat. Perbuatan baik ada di antaranya yang wajib
dikerjakan dan ada pula di antaranya yang sunnah dikerjakan.
Perbuatan buruk atau jahat ada yang haram dikerjakan dan ada yang
makruh dikerjakan. Pekerjaan yang tidak baik yang haram atau
makruh kalau dikerjakan, membawa kepada kemudaratan dan
kesengsaraan, sedang perbuatan-perbuatan baik yang wajib atau yang
sunnah, kalau dikerjakan membawa kepada kebaikan dan
kebahagiaan.
Soal baik dan buruk erat pula kaitannya dengan ancaman yang
berupa neraka dan janji yang berupa surga di akhirat. Orang yang baik
akan masuk surga dan orang yang buruk atau jahat akan masuk neraka
di akhirat kelak. Yang diinginkan oleh Islam, menurut Pak Harun,
adalah membina manusia agar menjadi baik dan menjauhi perbuatan
yang buruk dan jahat di dunia ini. Manusia seperti inilah sebenarnya
yang dimaksud dengan mu’min, muslim dan muttaqin, tegas Pak
Harun.

8
Ibid., hal 52
36
Yang menarik dari pemikiran Pak Harun yaitu ketika kita
membaca dan mempelajari karya-karyanya, atau ketika beliau
memberi kuliah maupun diskusi kelas. Ada beberapa pemikiran yang
berbeda satu sama lain, misalnya perbedaan mazhab dalam fikih
ataupun dalam beberapa aliran dalam teologi. Mengenai aliran-aliran
teologi yang terdapat dalam Islam, dalam pandangan Pak Harun
tentang teologi, beliau menulis; Ada aliran yang berifat liberal dan
ada aliran yang bersifat tradisional (tradisionil dalam istilah Pak
Harun) dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan
tradisional.9 Pak Harun tidak mempertentangkan keduanya. Tidak
membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain serta sebaliknya
tidak pula menyalahkan yang satu dan membenarkan yang lain. Pak
Harun cuma menulis, hal ini mungkin ada hikmahnya. Bagi orang
yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwa teologi
tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya
lebih dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Orang yang
bersifat liberal tidak dapat menerima paham fatalisme. Baginya free
will yang terdapat dalam teologi liberal lebih sesuai dengan jiwanya.10
Yang penting untuk dicatat, bahwa pemikiran Pak Harun sangat netral,
tidak memihak kepada yang menganut teologi tradisional dan tidak
pula berpihak kepada penganut teologi liberal. Karena menurut Pak
Harun, kedua corak teologi ini, tradisional dan liberal tidak
bertentangan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Dengan demikian tiap
orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran teologi yang ada yaitu
aliran yang mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Dengan
demikian orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai
teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia keluar dari
Islam. Hal ini tidak ada ubahnya dengan kebebasan setiap orang Islam

9
Harun Nasution, 1986, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta, UI Press, x
10
Ibid.
37
untuk memilih mazhab fikih mana yang sesuai dengan jiwa dan
kecenderungannya.
Sebenarnya masih banyak pemikiran Pak Harun yang dapat
digali, namun karena keterbatasan waktu untuk menulisnya,
dikarenakan kesibukan lainnya dalam mengamalkan ilmu dari guru-
guru tercinta, seperti mengajar dan dakwah di tengah masyarakat,
yang sudah barang tentu pemikiran Pak Harun telah banyak memberi
pengaruh positif bagi murid-murid beliau termasuk penulis sendiri
dalam mengamalkan dan mengembangan ilmu yang diamanatkan
Allah.
Dari pemikiran Pak Harun yang banyak diserap oleh murid-
muridnya, dan pembaca karya-karyanya, telah membuka mata, hati
dan fikiran serta wawasan keilmuan yang jauh ke depan. Semuanya
dinilai secara objektif dan diletakkan di tempatnya secara
proporsional. Bagi murid-murid Pak Harun yang benar-benar
memahami pemikiran gurunya, akan menjadi manusia yang
berwawasan luas secara keilmuan dan akan menjadi sosok pribadi
yang ber-akhlaq al-karimah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
pak Harun semasa hidupnya. Karenanya Pak Harun sangat layak
menerima penghargaan Presiden R.I, berupa Tanda Kehormatan
Bintang Mahaputra Utama pada tanggal 13 Agustus 2015 berdasar
Surat Keputusan Presiden R.I. No. 83/TK/ Tahun 2015 karena beliau
dinilai sebagai tokoh di bidang pengembangan budaya moderat.11
Sangat terasa tulisan ini penuh dengan kekurangan di sana sini,
tetapi penulis berusaha merekonstruksi bagian sejarah masa lalu
penulis berinteraksi dengan Bapak Prof. Dr. Harun Nasution sebagai
guru, promotor disertasi dan tempat mengadu di kala punya
permasalahan dalam hal keilmuan serta penulis berupaya
merefleksikan pemikiran beliau melalui karya-karyanya, catatan-

11
Suwito, 2015, Bintang Mahaputera Utama Buat Prof. Dr. Harun
Nasution, (Diinformasikan pada acara Refleksi dan Kontribusi Harun
Nasution di Indonesia yang diselenggarakan di Diorama Auditorium Harun
Nasution UIN syarif Hidayatullah Jakarta, Jum’at 21 Agustus 2015).
38
catatan penulis ketika menerima perkuliahan dari beliau, catatan
coretan-coretan beliau yang masih ada hingga kini di konsep disertasi
penulis yang masih tersimpan rapi dan ungkapan demi ungkapan yang
penulis dengar dan terima langsung dari beliau.
Semoga catatan kecil dan sederhana ini bermanfaat buat generasi
penerus dan tak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih kepada
panitia, penggagas dan pendukung munculnya ide untuk menerbitkan
buku tentang Prof. Dr. Harun Nasution.

39
40
PROF. HARUN NASUTION,
INTELEKTUAL-MUMTAZ YANG KONSISTEN

Fauzul Iman
(Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Sebagai mahasiswa program Magister, saya termasuk yang


mendapatkan anugerah-akademik tak terlupakan. Ketika saya
menjalani perkuliahan Strata Dua (S-2) di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (tahun 2002 berubah nomenklatur menjadi Universitas Islam
Negeri [UIN]) pada 1992-1995 untuk Bidang Sejarah Pemikiran
Islam, saya mengalami tempaan akademik langsung oleh Prof. Dr.
Harun Nasution. Pada Smester IV, Guru Besar Filsafat Islam IAIN
Jakarta ini mengampu Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam. Bagi
saya, dididik oleh intelektual-mumtaz yang namanya kesohor ini
benar-benar menjadi kado yang langka. Banyak mutiara kesan
sekaligus keteladanan yang bisa dipetik dari Maha Guru Filsafat Islam
yang lahir di Pematang Siantar Sumatera Utara, 23 September 1919
ini.
Sebagai mahasiswa yang datang dari pinggiran Jakarta, tepatnya
dari Serang Banten (saat itu masih Jawa Barat), kesempatan menimba
ilmu langsung pada guru utama intelektual di lingkungan IAIN Jakarta
ini menjadi sangat mahal nilainya. Kesempatan yang tak boleh disia-
siakan sedikitpun. Kesempatan yang tidak banyak itu saya
maksimalkan untuk menyerap keluasan pengetahuannya sekaligus
keteladanan perilakunya, baik sebagai pejabat akademika, dosen
maupun pembimbing. Kendati saya tidak mengenal beliau secara
mendalam, setidaknya ada beberapa catatan keteladanan yang bisa
dipetik dari penulis buku Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Harun Nasution (kumpulan makalah tahun 1970-1994), ini.
Pertama, konsistensinya dalam menekuni bidang keilmuan.
Beliau tipe intelektual-mumtaz yang tidak latah mengikuti berbagai
arus perkembangan pemikiran keislaman. Beliau begitu fokus
41
mendalami dan mendetaili pernik-pernik tema filsafat Islam. Latar
belakangnya yang pernah menimba pengetahuan di Universitas al-
Azhar Kairo hingga memperoleh Ahliyah (1940) dan Candidat dari
Fakultas Ushuluddin (1942) menjadi garansi kemahirannya di bidang
ini. Apalagi beliau juga menamatkan MA (1965) dan Ph.D. (1968)
bidang Studi Islam di Universitas McGill Montreal Canada. Basis
keilmuan di Timur dan Barat dikuasainya dengan baik. Beliau
konsisten betul menebarkan ide-ide keislaman di bidang ini, sehingga
penjelasannya begitu tuntas. Konsistensi inilah yang
menghantarkannya menjadi Guru Besar bidang Filsafat Islam di IAIN
Jakarta pada 1978.
Kedua, disiplin dan menomorsatukan mengajar. Beliau tipe
intelektual-mumtaz yang sangat memperhatikan waktu. al-waqt ka al-
saif (waktu laksana pedang), benar-benar menjadi pertimbanganya
dalam menjalani rangkaian aktivitas akademiknya. Sepanjang yang
saya pahami, beliau senantiasa tepat waktu dalam mengajar para
mahasiswanya. Datang ke ruang perkuliahan tepat waktu; demikian
juga pulangnya. Tidak ditambah, pun tidak dikurang. Tipe dan
karakter pendidikan di Barat benar-benar diamalkan dalam
kesehariannya. Tak heran, beliau senantiasa mementingkan
pendidikan ketimbang selainnya. Pernah suatu ketika, beliau
kedatangan tamu besar Munawir Sjazali. Alih-alih mementingkan
tamunya, beliau justeru mendahulukan mengajar mahasiswanya yang
dari unsur orang-orang biasa. Sayangnya, kebiasaan disiplin mengajar
ini seringkali berkebalikan dengan para dosen muda kala itu.
Ketiga, mencintai mahasiswa yang kritis. Sebagai guru sejati,
penulis disertasi The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact
on His Theological System and Views (1968) ini betul-betul
memperhatikan perkembangan intelektual setiap mahasiswanya.
Beliau sangat mencintai mahasiswa yang cerdas dan kritis. Tipe
mahasiswa seperti ini akan diperhatikan secara intensif dan bahkan
ada yang sampai diangkat menjadi asistennya. Perhatian ini menjadi
berkah tersendiri bagi mahasiswa tertentu dan akan menjadi pemacu
42
semangat bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya. Mahasiswa mana yang
tidak bahagia dan bangga mendapat perhatian yang begitu besar dan
tulus dari intelektual yang dihormatinya.
Keempat, rendah hati dan bukan tipe intelektual-selebritis.
Ketinggian dan keluasan pengetahuannya, nyatanya tidak membuat
penulis Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisan Perbandingan
(1972), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1996), ini merasa
dirinya di atas yang lain. Beliau tipe intelektual-mumtaz yang rendah
hati. Ibarat padi, beliu tipe intelektual yang makin berisi makin
merunduk. Beliau tak ingin tampak di keramaian orang. Itu sebabnya,
kesan yang muncul dari lelaku beliau adalah kesederhanaan,
kerendahhatian dan kebersahajaan, sehingga beliau bisa bergaul
dengan siapapun dari lapisan manapun. Beliau mudah dijumpai dan
welcome. Beliau juga bukan tipe intelektual selebritis, yang sering
muncul di berbagai media untuk isu-isu karbitan, apalagi sekedar
tampil untuk hal-hal yang bukan konsennya. Beliau juga bukan tipe
intelektual yang nyaman bersemedi di “menara gading”. Beliau
berbaur akrab dengan masyarakat akademik yang mengelilinginya.
Ibarat kiai, beliau dekat dengan masyarakat dan santrinya, tanpa
tersekat oleh kedalaman dan keluasan intelektualitasnya.
Kelima, tekun menjalankan ritual ibadah. Sebagai pemikir kelas
atas di lingkup akademisi Islam, di tengah kesibukannya beliau tetap
konsisten menjalankan ritual peribadahan sebagai ikatan
kemuslimannya. Betul belaka, isu-isu miring dan nyinyir yang kerap
dilontarkan banyak orang adalah kesekulerannya. Dikesankan oleh
tudingan miring itu, sebagai sosok sekuler, beliau acap mengabaikan
titah-titah Tuhannya, terutama terkait peribadahan. Sesuai
pengetahuan saya, nyatanya beliau tidaklah demikian. Beliau paling
dulu hadir di masjid dan menempati baris terdepan (al-shaff al-awwal)
saat menunaikan shalat Jum’at. Kenyataan ini sesungguhnya justru
menunjukkan dirinya sebagai filosof sekaligus sufi. Sosok yang
mengedepankan akal di depan anak didiknya dan mendahulukan hati
43
di hadapan Tuhannya. Karakter yang luhur dan semestinya menjadi
teladan bagi keberagamaan kita.
Keenam, mengajarkan mahasiswanya untuk berfikir rasional,
logis dan obyektif. Latar belakangnya yang akademisi tulen dan
aktivitasnya menekuni dunia filsafat secara intensif, menjadikannya
sosok yang mengedepankan sisi-sisi rasionalitas ajaran, yang
karenanya oleh banyak pengritiknya beliau kerapkali dimasukkan
dalam gerbong Mu’tazilah zaman ini. Karena hal ini pulalah, beliau
senantiasa mengajak mahasiswanya untuk berfikir rasional, logis dan
obyektif. Beliau terbiasa membuka ruang lebar-lebar bagi siapapun
yang tidak setuju dengan gagasan pembaharuannya, untuk melakukan
kritik atau bantahan. Beliau tidak pernah marah dikritik keras atau
dibantah lugas oleh mahasiswanya yang dilandasi argumen yang
kokoh dan obyektif. Dorongan pada mahasiswa untuk selekas-
lekasnya menyelesaikan studinya juga senantiasa disampaikannya.
Tak jarang, bagi yang belum selesai, beliau senantiasa menanyai dan
mencarinya, sekedar untuk mengingatkannya.
Sesungguhnya masih banyak kesan lain dari sosok penting bagi
iklim akademik di lingkungan IAIN Jakarta (juga kampus Islam)
khususnya dan dunia Islam Indonesia umumnya ini. Karya-karya, baik
skripsi, tesis, disertasi, kajian buku, dll, telah banyak yang mengurai
kiprahnya, terutama kiprah akademiknya. Bahkan buku-buku yang
mengritiknya juga tak kalah banyaknya. Dua hal ini justru kian
menunjukkan keluhurannya, sekaligus menjadi bukti sahih betapa
pemikiran keislamannya mencuri perhatian (bahkan di satu pihak
mengganggu) banyak kalangan. Bahkan ada yang berupaya
membendung arus pemikirannya, karena dinilai memporak-
porandakan keimanan. Ala kulli hal, “Ma kana rajul hakim fi qaumih
qaththu illa baghau ‘alaih wa hasaduhu (Tak ada tokoh bijak-bestari
di sebuah komunitas kecuali selalu saja ada orang-orang/kelompok
yang mencaci-maki dan mendengkinya”, demikian kata bijak Ka’b al-
Ahbar. Beliau termasuk yang mengalami sunnatullah ini. Tidak hanya

44
pada masa hidupnya, bahkan setelah kewafatannya di Jakarta pada 18
September 1998.
Secara fisik beliau telah meninggal dan jasadnya terkubur di
dalam tanah, namun pemikiran-pemikiran brilian intelektual-mumtaz
ini tidak ikut terkubur dan hancur begitu saja. Kita semua masih bisa
belajar dari dokumentasi pemikirannya. Selain bertebaran di buku-
buku yang telah disinggung di muka, ide-idenya juga bisa dinikmati
melalui karya-karyanya yang lain, semisal Muhammad Abduh dan
Teologi Rasional Mu'tazilah (1987), yang merupakan intisari bahasan
disertasinya; Akal dan Wahyu dalam Islam (1982), Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (1973), Filsafat Agama (1973) dan
sebagainya. Kita semua mengambil jasa dari beliau. Wa Allah a’lam.

45
46
PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM KENANGAN

Rusjdi Ali Muhammad


(Direktur Pascasarjana UIN Ar Raniry, Banda Aceh)

I
Tahun 1982, Kementerian Agama RI membuka Program baru
dalam upaya meningkatkan mutu pengajar dalam lingkungan IAIN
seluruh Indonesia. Itulah Program Pascasarjana (S-2) yang hanya
dibuka di UIN (d/h IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Setahun
kemudian, tahun 1983 dibuka lagi Program Pascasarjana kedua di
IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta. Begitulah, setelah melalui seleksi,
saya terpilih mewakili IAIN Ar Raniry sebagai satu dari 20 peserta
Angkatan Pertama Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Duapuluh orang mahasiswa angkatan pertama itulah murid
Pascasarjana pertama dari seluruh Indonesia, yang dengan sepenuh
hati dan jiwa diasuh oleh Pak Harun Nasution. Banyak yang menyebut
Program Pascasarjana ini adalah salah satu terobosan paling penting
yang dilakukan Departemen Agama dalam upaya memodernisasikan
proses pendidikan tingginya, dan Prof. Dr. Harun Nasution pastilah
salah satu motor utamanya. Izinkanlah saya menyebut nama dan
identitas satu persatu dari duapuluh mahasiswa Pascasarjana
Angkatan Pertama UIN Jakarta tersebut. Mungkin mereka boleh
disebut sebagai orang-orang pertama yang dihasilkan dari buah
pikiran Prof. Dr. Harun Nasution yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mereka adalah:
1. Prof. Dr. Ridwan Lubis (UIN Sumatera Utara Medan, sekarang
bertugas di UIN Jakarta)
2. M. Yusuf Rahman, MA (pernah menjabat Rektor IAIN Pekan
Baru, Riau)
3. Prof. Dr. Mansur Malik (alm. pernah menjabat Rektor IAIN
Padang)
47
4. Dr. Mardhiah Daniel (satu-satunya perempuan dari IAIN
Bukittinggi)
5. Prof Dr Wardini Ahmad (alm. pernah menjabat Dekan Fak.
Tarbiyah UIN Palembang)
6. Anwar Masy’ary, MA (alm. IAIN Antasari, Banjarmasin)
7. Suparjo, MA (alm. UIN Jakarta)
8. A. Asnawi, MA (alm. UIN Jakarta)
9. Prof. Dr. Muardi Chatieb (UIN Jakarta)
10. K.H. A. Lathief Muchtar, MA (alm.UIN Bandung)
11. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (pernah menjabat Dekan Fak. Tarbiyah
UIN Bandung)
12. Prof. Dr. Muslim Kadir (mewakili UIN Semarang, pernah
menjabat Ketua STAIN Kediri)
13. Prof. Dr. Syeichul Hadi Permono (alm. pernah menjabat Direktur
Pascasarjana UIN Surabaya)
14. Prof. Dr Imam Muchlas (UIN Surabaya)
15. Prof. Dr. A. Moe’in Salim (alm. pernah menjabat Rektor UIN
Makasar)
16. Prof. Dr. Jalaluddin Rahman (UIN Makasar)
17. Dr. Muchtar Aziz (mewakili IAIN Lampung, tapi kemudian
pindah ke UIN Jakarta)
18. Umar Asasuddin Sokah, MA (alm. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
19. Hadjam Dahlan, MA (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
20. Saya sendiri, Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH (Rektor IAIN
Aceh 2001-2005)

II
Sekilas tampak dari 20 orang didikan pertama Pak Harun
Nasution tersebut, 11 orang dapat mencapai jenjang Profesor dan lima
di antaranya pernah memegang jabatan sebagai Rektor. Beberapa
pernah menjabat Dekan dan Direktur Pascasarjana.Dapat juga
ditambahkan, ada dua orang yang pernah menjadi anggota DPR Pusat,
48
yakni Dr. Muchtar Aziz dan Prof. Dr. Syeichul Hadi Permono dan satu
orang pernah menjabat anggota DPRD tingkat Provinsi yaitu Prof. Dr.
Jalaluddin Rahman dari Makasar, Sulawesi Selatan. Apakah catatan
ini akan memuaskan Pak Harun jika beliau masih hidup? Saya tidak
yakin, namun meskipun Pak Harun dinilai banyak orang penganut
aliran Mu’tazilah yang meletakkan titik berat pada pertimbangan akal
dan usaha manusia, pada akhirnya toh siapa pun perlu percaya bahwa
setiap orang harus menjalani takdirnya sendiri. Saya misalnya,
menjadi rektor UIN Ar Raniry tahun 2001, semata-mata karena harus
menggantikan Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, MA yang tertembak di
rumahnya. Tak ada satupun calon lain yang bersedia waktu itu,
sehingga jadilah saya sebagai calon tunggal, sebagai pengecualian dari
keharusan tiga orang calon pada waktu itu. Begitulah akhirnya takdir
mengetukkan palunya sendiri.
Kembali pada hari pertama kuliah Pascasarjana di IAIN Jakarta.
Pembukaan kuliahnya, seingat saya dimulai hari Senin tanggal 30
Agustus 1982. Itulah kali pertama saya bertemu Pak Harun sekaligus
bertemu juga pada pembukaan kuliah itu Prof. Dr Karel Steenbrink
dari Leiden University, Belanda. Tentang Pak Steenbrink, ada catatan
khusus. Yakni bahwa ayah saya, Drs HM Ali Muhammad yang juga
dosen IAIN Ar Raniry (pernah menjabat Dekan Fakultas Syari’ah),
beberapa waktu sebelumnya mendapat tugas belajar di Leiden dan
bahkan pernah tinggal mondok di rumah Pak Steenbrink. Tentu saja
saya langsung memperkenalkan diri kepada Pak Steenbrink dan
menyampaikan salam dari ayah saya. Sebagai catatan, tahun 2002
sebagai Rektor IAIN Aceh yang berkunjung ke Belanda giliran saya
mondok selama 11 hari di rumah Prof. Dr. Steenbrink dan Ibu Prof.
Dr. Paule di Utrecht. Dan sebenarnya, tahun 2007, anak saya Nadya
Putry yang kuliah di Leipzig University, Jerman sudah siap-siap
diterima oleh Pak Steenbrink untuk mondok lagi di rumahnya di
Utrecht dalam rangka penelitian tesisnya; sehingga akan ada tiga
generasi Ali Muhammad mondok di sana. Tapi kemudian Nadya
mendapat beasiswa untuk penelitian di Aceh dan dia tentu saja
49
mondok di rumah ayahnya saja.Tapi tentang Pak Harun yang belum
pernah saya lihat sebelumnya, saya hanya terkesima memandang
orangnya yang tenang dan sederhana dan selalu berbicara datar namun
penuh wibawa.

III
Begitulah perkenalan pertama saya dengan Pak Harun, tak ada
yang luar biasa. Namun hari demi hari perkuliahan saya ikuti sepenuh
hati dan sebenarnya juga, dengan sedikit rasa gentar dan ragu-ragu.
Pertama, karena itulah kali pertama saya berpisah dengan orang tua
dan keluarga dalam waktu yang agak lama, lebih-lebih saya baru
beberapa waktu menikah dan meninggalkan isteri dengan bayi,
Fadhlan yang belum setahun usianya. Sebelumnya sampai selesai
kuliah dan diangkat sebagai dosen, saya terus saja berkutat di kampus
Darussalam, Banda Aceh. Kedua, ternyata saya adalah peserta
termuda (30 tahun) dari 20 mahasiswa Pascasarjana angkatan pertama
itu dan tentu saja saya yang paling kurang pengalaman dari rekan-
rekan lainnya. Mereka ada yang sepuluh bahkan dua puluhan tahun
lebih tua dari saya. Namun demikian, nantinya hal ini justru menjadi
keuntungan tersendiri bagi saya. Rekan-rekan yang sebagian sudah
sepantaran ayah saya, justru lebih mudah memberi bimbingan, bahkan
menegur saya jika perlu. KH. Lathief Muchtar, Moe’in Salim, Yusuf
Rahman, Ahmad Tafsir misalnya adalah rekan-rekan seangkatan yang
sering memberi saya motivasi, bagaikan memberi nasehat kepada
mahasiswa atau anaknya sendiri.
Tapi dari semuanya, sosok Pak Harun lah yang benar-benar
memberi saya inspirasi. Saya yang belum pernah keluar lama dari
Banda Aceh, tiba-tiba harus kecemplung di Jakarta (meskipun saya
memang lahir di Jakarta tahun 1952, namun dalam usia lima tahun
dibawa pulang oleh orangtua ke Banda Aceh) dan harus menulis
makalah-makalah mengenai hal-hal yang belum pernah saya ketahui
sebelumnya. Sebagai alumni Fakultas Syariah dan waktu itu juga
dalam proses penyelesaian skripsi pada Fakultas Hukum Universitas
50
Syiah Kuala, saya hanya membacaatau mendengarsekadarnya dari
beberapa dosen tentang Asy’ariyah, Jabbariyah, Maturidiyah, Qadha
dan Qadar dan semacamnya dalam mata kuliah Sejarah Perkembangan
Pemikiran dalam Islam. Tapi tidak pernah serius mempelajari. Di
Jakarta itu saya juga harus menulis makalah dan mempresentasikan
tentang lahir, kegemilangan dan akhir kisah Kerajaan Turki Usmany,
Kerajaan Shafawy di Iran, Kerajaan Mughal di India atau tentang
Kerajaan-kerajaan Kecil (Pretty States) di Mediterrania dalam mata
kuliah Sejarah Islam.
Kedua mata kuliah tersebut diasuh oleh Pak Harun Nasution dan
hari-hari pertama saya merasa planga-plongo saja di ruangan kuliah.
Tapi kuliah-kuliah menyejukkan dari Pak Harun memaksa saya dan
teman-teman untuk menambah referensi di perpustakaan dan mencari
tidak sebarang maraji’, tapi harus benar-benar terpercaya. Pak Harun
misalnya, tanpa nada merendahkan, mengatakan jika mengutip
Sejarah Islam, sebaiknya tidak mengutip bukunya HAMKA atau Ali
Hasjmy. Awalnya saya terkejut juga. Bukankah buku-buku mereka
sering dijadikan sumber waktu di Aceh dulu? Tapi kemudian saya
paham. Mereka memang orang besar dalam bidangnya, bidang agama
dan bidang dakwah. Tapi untuk bidang sejarah, anda harus mencari
sumber utama dari orang-orang yang khusus menekuni bidangnya.
Mengapa? Karena di era modern ini, kata Pak Harun, orang harus
menjadi spesialis yang special dalam bidangnya. Tidak ada orang yang
ahli dalam segala bidang.

IV
Akhir semester pertama, persis setelah ujian saya mendapat
panggilan darurat dari Banda Aceh. Ibunda saya, Rohani Junaid
terserang stroke dan tidak sadar di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin
Banda Aceh. Sayapun memohon izin kepada Direktur Pascasarjana,
Pak Harun Nasution sendiri untuk pulang ke Banda Aceh. Pak Harun
juga segera memberi izin. Tapi ternyata derita ibunda saya berlarut-
larut. Sampai lebih sebulan kuliah dimulai lagi, ibunda saya masih
51
dalam keadaan koma. Akhirnya keajaiban terjadi juga, ibunda saya
tersadar kembali dan dapat melanjutkan hidupnya sampai beberapa
tahun lagi. Barulah saya kembali ke Ciputat, setelah kira-kira sebulan
absen dalam berbagai perkuliahan. Pak Harun tetap menerima saya
seperti biasa dan sepenuhnya menerima alasan ketidak-hadiran saya.
Kemudian baru saya tahu, jawaban ujian saya sebelumnyadalam dua
mata kuliah utama yang diasuh Pak Harun rupanya sangat memuaskan
beliau. Mungkin setelah itulah saya merasa mendapat perhatian
tersendiri dari Pak Harun dan akhirnya sayapun terpilih bersama
delapan mahasiswa Angkatan Pertama yang langsung memperoleh
beasiswa untuk melanjutkan ke Program Doktor (S-3) tanpa harus
menulis Tesis Magister lebih dulu. Kata Pak Harun: “Kalian tidak
perlu menulis tesis lagi, harus langsung cepat-cepat menyelesaikan
Program Doktor”. Dua belas rekan lainnya harus menulis tesis lebih
dulu dan jika nilainya baik dapat juga melanjutkan ke Program
Doktor. Faktanya memang hampir semua dapat melanjutkan jenjang
Program Doktor, kecuali yang memang memilih untuk tidak
melanjutkan karena berbagai alasan lain. Ada untungnya bagi mereka,
punya Tesis yang dapat diterbitkan menjadi buku dan yang lebih
penting mereka punya Ijazah S-2.
Bagi kami yang delapan orang, sebenarnya hal ini kadang-
kadang agak bermasalah juga, setidaknya bagi saya. Sebab ketika
mengisi borang, Curriculum Vitae dan formulir yang mengharuskan
kami mengisi kolom jenjang pendidikan, selalu diminta mengisi
Ijazah dan tahun penyelesaian S-2. Kami, atau khususnya saya,
terpaksa harus menggabungkan kolom jenjang pendidikan S-2 dan S-
3 dengan tahun yang sama (saya lulus S-3 tahun 1989). Yang susah
kalau diminta copy Ijazah S-2, kami delapan orang ini benar-benar
tidak punya; karena dulu aturannya memang seperti itu. Aturan siapa?
Aturan Pak Harun! Saya tidak tahu adakah ketentuan tertulis waktu
itu? Bagi kami tidak penting aturan tertulis apa pun juga. Kami
sepenuhnya percaya pada wibawa Pak Harun. Contoh lain adalah
tentang nilai bobot setiap mata kuliah pada waktu itu yang sebesar 5
52
sks. Pernah ada yang bertanya mengapa 5 sks dan bagaimana dasar
aturannya? Santai saja Pak Harun menjawab, karena mata kuliah di
sini benar-benar diajarkan dan dipelajari dengan sangat serius. Jadi
harus diberi nilai 5 sks, tidak cukup 2 atau 3 sks. Semua lalu diam,
tidak ada yang membantah. Semua percaya ketentuan Pascasarjana di
bawah Pak Harun. termasuk pengajar-pengajar dari luar seperti Prof.
Dr. Sutan Takdir Alisyahbana (sastrawan/budayawan terkenal dan
pendiri UNAS), Prof. Dr. Suwardi (UNJ d/h IKIP Jakarta), Prof. Dr.
Ahmad Baiquny (Kepala Badan Atom Nasional, BATAN), Prof. Dr.
Jujun S. Suriasumantri (UNJ d/h IKIP Jakarta), Prof. Dr. Parsudi
Suparlan (UI Jakarta). Begitulah wibawa Prof. Dr. Harun Nasution
yang luar biasa, lintas lembaga, lintas Perguruan Tinggi.

V
Beda dengan sekarang, beasiswa cukup mudah tersedia. Selain
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten juga biasa
menyediakan beasiswa atau setidaknya bantuan penelitian dalam
jumlah yang memadai. Selain itu lembaga-lembaga Nasional dan
Internasional, jika jeli mencari dan punya jaringan juga berpeluang
diakses para mahasiswa. Pada era tahun 80-an ketika kami di
Pascasarjana UIN Jakarta, satu-satunya sumber beasiswa, ya itulah
yang disediakan Departemen Agama RI, dua tahun beasiswa S-2 plus
dua tahun untuk beasiswa S-3. Tak ada satu pun dari kami yang dapat
menyelesaikan Program Doktor dalam tempo dua tahun. Jadi setelah
dua tahun para mahasiswa harus “berijtihad” sendiri untuk mencari
biaya hidup dan biaya penelitian ke mana-mana.
Kelihatannya Pemerintah Pusat waktu itu begitu iritnya untuk
memberi beasiswa. Hanya diberi alokasi dua tahun untuk
menyelesaikan Program Doktor, termasuk perkuliahan tiga semester
dan satu semester untuk menulis disertasi! Bandingkan dengan aturan
yang diterbitkan tahun 2015, bahwa Program Doktor hanya boleh
diselesaikan selambat-lambatnya enam semester. Artinya tidak boleh
kurang dari tiga tahun, padahal dulu tidak boleh lebih dari dua tahun
53
(ya, kalau lebih, resiko biaya harus ditanggung sendiri..!!). Akan tetapi
proposal disertasi saya sudah diterima dan Promotor Utama saya
ternyata adalah Prof. Harun Nasution sendiri, bersama Promotor dari
Aceh, Prof. Dr. Muslim Ibrahim, MA.
Namun, setelah tahun ke empat di Jakarta dan beasiswa program
Doktor terhenti, saya dan keluarga terpaksa pulang ke Banda Aceh,
tahun 1986. Ketika itu sudah lahir tiga putra-putri saya, Fadhlan,
Nadya dan Nonong Maysarah. Cukup berat beban hidup di Jakarta
dengan ketiga anak-anak yang masih kecil. Terutama soal kesehatan,
entah kenapa anak-anak saya waktu itu sering terganggu
kesehatannya. Dan biasanya kalau satu sakit, yang lain juga ikut
terkena. Saya ingat-ingat mungkin juga kontrakan saya di Kampung
Utan agak kekurangan cahaya dan udara, berbentuk Kampung Deret,
dan bagian persis di tengah.
Hampir dua tahun saya di Banda Aceh, kembali berkerja dan
mengajar di IAIN Ar Raniry. Akibatnya penyelesaian disertasi saya
menjadi terhambat. Entah mengapa, tiba-tiba kemudian, Gubernur
Aceh waktu itu, Prof. Dr. Ibrahim Hasan (mantan Rektor Universitas
SyiahKuala), mengambil inisiatif membentuk sebuah Yayasan yang
menghimpun dana dari pengusaha-pengusaha besar Aceh di Aceh,
Medan dan Jakarta, namanya Malem Putra, yang tujuan utamanya
khusus membantu putra putri Aceh yang sedang menulis disertasi,
namun beasiswanya terputus, persis seperti kasus yang saya alami.
Kalau tak salah, sayalah penerima pertama bantuan dari Yasan Malem
Putra tersebut. Malah saya pernah berpikir jangan-jangan, kasus saya
ini justru jadi pemicu lahirnya Yayasan itu.
Singkat cerita saya kembali lagi ke Jakarta, dengan mengantongi
Rp. 500.000,- bantuan awal Yayasan Malem Putra, hanya dengan
membawa Bab Pendahuluan Disertasi. Saya sungguh malu
menghadap Promotor Utama, Profesor Harun Nasution, tanpa draf
disertasi yang memadai. Pak Harun yang menaruh perhatian besar,
bahkan membimbing sendiri disertasi saya, tapi saya kok seperti
menyia-nyiakan, belum juga menyelesaikan pekerjaan. Dua kali saya
54
melintas di depan rumah Pak Harun di Kampung Utan, tapi saya
urungkan langkah untuk menghadap. Namun pada kali ketiga, saya
beranikan diri dan siap untuk dimarahi habis-habisan. Saya datang
setelah magrib, saat yang saya tahu sebenarnya Pak Harun tidak akan
menerima tamu siapa pun juga. Beliau sangat disiplin berolah raga
pada waktu itu, dan waktu setelah itu beliau selalu punya jadwal
sendiri. Bukan menerima tamu, apalagi mahasiswa!
Apa yang terjadi? Setelah mengetuk pintu, Ibu Harun keluar dan
saya pun memperkenalkan diri mahasiswa S-3 dari Aceh. Tak lama
kemudian Pak Harun menemui saya, dan saya bukannya dimarahi, tapi
tidak juga dipeluk-peluk seperti anak hilang yang baru bertemu.
Setelah berbasa-basi sejenak, draf disertasi yang satu Bab itu langsung
dibaca dan dikoreksi ketika itu juga, bahkan Pak Harun memuji-muji
tulisan saya. Sama sekali tak disinggungnya kealpaan saya selama dua
tahun kembali ke Aceh tanpa kabar berita.
Seperti sebuah bukit dipindahkan dari pundak saya. Saya yang
siap dimarahi, tiba-tiba malah dinaikkan semangat dan motivasi.
Langsung satu Bab disertasi saya itu dikembalikan dan Pak Harun
meminta segera dikerjakan Bab-bab selanjutnya dan saya dibolehkan
setiap saat untuk konsultasi ke rumah..!! Saya tidak tahu adakah teman
lain yang mendapat keistimewaan seperti saya. Tapi saya memang
benar-benar memanfaatkan keistimewaan ini, selalu konsultasi ke
rumah Pak Harun saja, tak pernah ke kantor atau ke tempat lain.
Apalagi waktu itu saya tinggal di Pasar Jumat, sehingga setelah
magrib saya mudah saja naik angkot Pasar Jumat-Ciputat dan turun di
Kampung Utan! Baru kemudian awal tahun 1989 saya diminta oleh
Keuchik Aceh Drs. H. Muhsin Idham (murid ayah saya dulu waktu
sekolah di Aceh) tinggal dengan nyaman di Meunasah Aceh yang baru
siap dibangun berlantai dua di wilayah Pisangan.

VI
Semua rekan tahu dan mengalami betapa disiplinnya Pak Harun.
Setiap pagi, kami yang tinggal di Asrama Pascasarjana yang letaknya
55
berhadapan dengan Kantor Direktur boleh menjadikan Pak Harun
sebagai penunjuk waktu. Kalau mobil Pak Direktur yang disopiri
Icang tiba, itu berarti jam 07.30 dan semua harus siap-siap karena
kuliah dimulai tepat jam 08.00. Tidak ada seorangpun yang berani
terlambat, walau satu menit. Padahal saya tidak ingat, pernahkah Pak
Harun marah kalau ada aturannya yang dilanggar? Saya tidak ingat
dan tidak pernah melihat. Tapi semua mahasiswa patuh, bahkan
rasanya semua ingin meniru sifat-sifat beliau yang luar biasa.
Begitulah sang guru sejati. Menyampaikan ajaran yang benar-
benar diyakininya dan dijalaninya sendiri. Ketika ia mengajarkan
disiplin, maka seluruh amalan yang dilakukannya benar-benar seperti
apa yang dikatakannya. Banyak saya dengar dari berbagai sumber,
jadi riwayatnya mendekati mutawatir, bahkan jika ada rapat dengan
Menteri sekalipun, bagi Pak Harun jika waktunya dengan janji lain
sudah tiba, beliau tidak akan sungkan untuk meninggalkan forum. Dan
sang Menteri pun mafhum adanya. Sebab jika Pak Harun keluar, pasti
karena ada alasan yang kuat, bukan karena kurang menghormati.
Justru karena terkenal bekerja disiplin seperti itu, orang akan merasa
terhormat.
Ketika saya menjadi Rektor UIN Ar Raniry (2001-2005) dan
Pascasarjana Ar Raniry sudah dibuka, Pak Harun juga kami minta
untuk mengajar di Banda Aceh. Suatu waktu saya sendiri
menjemputnya di Bandara Sultan Iskandar Muda. Beliau awalnya
tidak berkata apa-apa. Tapi di dalam mobil beliau menegur saya,
mengapa harus buang-buang waktu menjemput saya, anda kan Rektor
masih banyak urusan lainnya. Kira-kira seperti itu teguran beliau.
Sayapun menjawab, ini hanyalah murid yang menjemput guru. Saya
menilai begitulah kerendahan hati beliau. Sudah begitu besar jasanya
kepada kita, beliau tetap merasa biasa saja. Saya kira di situlah beda
“an honour” dengan “honorarium” meskipun kata dasarnya sama.
Seorang guru dengan G besar, mengutamakan martabat dan
kehormatan, jauh berbeda dengan yang satunya lagi. Dapatkah kita
meneladani jejak langkah Sang Guru?
56
HARUN NASUTION SANG GURU YANG ISTIQAMAH

Iskandar Usman 1

Nama Harun Nasution mulai saya dengar ketika saya menjadi


mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry pada tahun 1974
melalui buku-buku yang dia tulis yang sangat mudah diperoleh di
perpustakaan IAIN, dan yang paling banyak dibaca oleh mahasiswa
IAIN waktu itu adalah bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya.
Era tahun tujuh puluhan, IAIN, malah semua lembaga
pendidikan agama pada setiap jenjangnya dipandang sebelah mata
oleh masyarakat, bukan hanya di Aceh mungkin juga di seluruh
Indonesia. Para siswi madrasah dan mahasiswi Pendidikan Tinggi
Agama sering diejek sebagai tentara payung karena memakai
kerudung atau sekarang lebih populer dengan istilah jilbab atau hijab.
Dan karenanya sebagian siswi dan mahasiswi, di luar sekolah atau di
luar kampus ada yang tidak memakai kerudung tetapi memakai
pakaian yang tidak menutup aurat seperti pakaian kebanyakan
perempuan muda lain pada waktu itu termasuk di Aceh.2 Lulusan
lembaga pendidikan agama sulit mendapatkan lapangan pekerjaan,
jangankan di perusahaan-perusahaan, di lembaga-lembaga

1
Iskandar Usman, mahasiswa Program Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri (sekarang Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1986-1992 S-2 dan S-3); Guru Besar Ilmu
Tafsir pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
2
Seperti di daerah lain di Indonesia, di Aceh juga waktu itu perempuan
muda pada umumnya tidak mengenakan kerudung. Al-hamdulillah sejak
pertengahan tahun delapan puluhan busana muslimah mulai membudaya di
Aceh dan sekarang semua perempuan muslimah sudah berbusana muslimah
malah banyak non muslimah dan pendatang yang berkunjung ke Aceh
memakai hijab meski hanya selama berada di Aceh seperti pramugari
pesawat terbang dan turis asing. Busana muslimah tampaknya sekarang
sudah mulai disenangi oleh para perempuan di daerah-daerah lain.
57
pemerintahan pun mereka dianak-tirikan. Lulusan lembaga
pendidikan agama dianggap kurang mampu, malah predikat yang
bernada miring pun sering disematkan kepada mereka. Mereka
dianggap ekstrem kanan, kurang nasionalis, tidak bisa hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lain, berwawasan sempit, ingin
memberlakukan Piagam Jakarta, dan sejumlah anggapan minor
lainnya.
Begitu rendahnya pandangan sebagian masyarakat terhadap
lulusan pendidikan agama sampai ada orang yang dengan ringan
menyatakan “sarjana pukul bedug” kepada sarjana IAIN. Alumni
Fakultas Ekonomi ada yang tidak mau memakai gelar “Drs.” kuatir
dianggap alumni IAIN, meskipun waktu itu gelar resmi alumni
Fakultas Ekonomi adalah “Drs” belum menggunakan gelar Sarjana
Ekonomi (SE) seperti sekarang ini. Meskipun mungkin tujuannya
baik, yaitu agar lembaga pendidikan agama melakukan terobosan-
terobosan untuk meningkatkan kualitas pendidikannya dan
meningkatkan kualitas lulusan agar siap ketika memasuki lapangan
kerja dan berkiprah di dalam masyarakat serta lebih sesuai dengan
harapan masyarakat, namun kritikan yang disampaikan Mintareja3
kepada lulusan IAIN yang ditulis dalam bukunya4 menjadi bahan yang
sering dikutip masyarakat untuk mengejek lulusan IAIN. Dalam
bukunya itu Mintareja mengumpamakan sarjana IAIN seperti kain
pembungkus nasi. Dikatakan begitu karena untuk dijadikan
saputangan kebesaran sedangkan dipakai untuk alas meja kekecilan,
jadi serba tanggung; makanya cocok dijadikan untuk pembungkus
nasi.
Al-hamdulillah, pada tahun 1969 IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mendapatkan anugerah dari Allah SWT dengan hadirnya
seorang cendekiawan pejuang, ilmuwan pembaharu pemikiran Islam,

3
Mintareja pernah menjabat Menteri Sosial dan Ketua Umum Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru.
4
Penulis tidak bisa menemukan lagi buku yang ditulis Mintareja dan
tidak ingat judulnya.
58
dan guru yang istiqamah. Dalam buku 70 Tahun Harun Nasution, ia
menceriterakan bahwa ketika pulang ke Indonesia, Universitas
Indonesia (UI) dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sama-sama
memintanya untuk mengabdi sebagai dosen di lembaga pandidikan
tersebut, namun ia memilih mengabdi di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan alasan karena IAIN Jakarta menyediakan rumah
untuknya5. Walaupun ia memilih mengabdi di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta karena pertimbangan mendapatkan rumah,
namun kecenderungannya memilih mengabdi pada IAIN tersebut
pasti atas kehendak dan izin Sang Maha Pencipta, Pengatur alam
semesta. Mungkin saja pilihannya itu setelah dia melakukan shalat
istikharah, memohon petunjuk Allah Yang Maha Mengetahui
segalanya, meskipun dia tidak menyebutkannya. Terbukti, begitu dia
mulai bekerja di IAIN sejak Januari 1969, dia sudah siap dengan
konsep, karena sejak masih di luar negeri, dia sudah mendengar
kondisi IAIN. Bahwa pemikiran di IAIN sangat sempit. Buku-buku
karangan Muhammad Abduh tak boleh diajarkan di sini. Dia tahu
keadaan itu karena mendengar langsung dari beberapa orang IAIN
yang studi di Mesir. Dari mereka dia tahu bahwa pemikiran di IAIN
masih tradisional. Spesialisasinya ke fiqih.6
Menulis tentang Harun Nasution sebenarnya tidak bisa lepas
dengan pembahasan tentang pembaharuan pemikiran Islam dan
pembaharuan pendidikan di IAIN untuk membuka wawasan sivitas
akademika dan memutuskan belenggu ketertutupan pemikiran agar
sivitas akademika bersama alumni dapat berperan besar dalam
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Namun dalam tulisan ini
penulis tidak lagi mengulas masalah itu karena kerja besar Harun
Nasution itu telah sangat diketahui umum dan telah menunjukkan
hasil yang luar biasa serta telah ditulis secara khusus dalam sebuah

5
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution,
Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), 39.
6
Lihat Ibid.
59
buku yang berjudul “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70
Tahun Harun Nasution”.
Dalam tulisan ini penulis membahas keteladanan Harun Nasution
dalam soal disiplin dan keistiqamahannya dalam melaksanakan
kegiatannya sehari-hari. Harun Nasution adalah orang yang sangat
disiplin. Tiga tahun saya mengikuti kuliah dengannya pada Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu dua tahun
(empat semester) pada Strata Dua (S-2) dan satu tahun (dua semester)
pada Strata Tiga (S-3), saya dapati dia selalu disiplin dalam memberi
kuliah, masuk dan keluar kuliah tepat waktu, dia juga sangat disiplin
dalam menyampaikan materi kuliah, bahan kuliah dipersiapkan
dengan baik, sehingga setiap diskusi selalu diarahkan dengan baik dan
bahan-bahan kuliah disampaikan dengan tahapan yang tepat. Kalau
ada diskusi yang membahas masalah yang belum waktunya dibahas,
misalnya dalam mata kuliah filsafat Islam dia cepat mengingatkan
agar itu jangan dibahas dulu karena kami belum sampai pada masalah
tersebut, katanya kami akan kesulitan kalau tidak menempuh tahapan-
tahapan pembahasan secara sistematis, karena ini mata kuliah filsafat.
Tidak hanya itu malah dia selalu mengingatkan agar dalam diskusi
terutama dalam mata kuliah filsafat agar selalu menggunakan istilah-
istilah yang baku, seperti istilah daf’ah wahidah bilā zamān.7
Begitu teguhnya Harun Nasution menerapkan disiplin, sampai
dalam keadaan kurang sehat pun dia tetap berusaha masuk kuliah, dan
al-hamdulillah selama kami mengikuti kuliah dengannya tidak pernah
dia mengalami sakit yang menyebabkan tidak bisa masuk kuliah.
Selama masih sanggup, meskipun kurang sehat, dia tetap datang ke

7
Istilah ini diperkenalkan oleh al-Farabi dalam filsafat emanasinya utuk
menjelaskan bahwa alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam
waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan
tak berwaktu. Istilah ini digunakan agar tidak dipahami bahwa antara al-
wujûd al-awwal dan al-wujûd al-tsānῐ dan seterusnya terjadi secara
berangsur-angsur atau bertahap. Lihat: Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IV, 1985), 27-29.
60
kampus dan memberi kuliah. Kalau dia kurang sehat, dia datang ke
kampus dan memberi kuliah selalu memakai jas. Jadi kalau dia datang
ke kampus dan memberi kuliah dengan memakai jas, kami langsung
tahu bahwa itu berarti dia dalam keadaan kurang sehat, karena
begitulah kebiasaan dia. Dan kami selalu berdoa agar Allah cepat
memberikan kesembuhan baginya, kami selalu berdoa agar Allah
memberikan dia kesehatan dan dipanjangkan umurnya. Dia banyak
menyampaikan kuliah pada jam pertama, mungkin karena rumahnya
yang berdekatan dengan kampus, dan juga mungkin karena dosen-
dosen lain tidak bisa hadir tepat waktu kalau menyampaikan kuliah
jam pertama. Jadi kuliah jam pertama dia isi sendiri, karena memang
dia selaku Direktur Program Pascasarjana waktu itu, dapat mengatur
jadwal kuliah sesuai dengan keinginan dan permintaan masing-masing
dosen. Apalagi waktu itu yang mengajar pada Program Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah banyak dosen-dosen dari luar IAIN, seperti
Takdir Alisyahbana, Deliah Noer, M.K. Tajudin, Nurcholish Madjid,
Parsudi Suparlan, Amran Halim, Yayah Bahriah Luminta Intan, Toeti
Herati Nurhadi, dll. Apabila ada acara penting lainnya yang beradu
dengan jadwal kuliah, dia berusaha mengganti kuliah pada waktu lain,
biasanya diisi pada malam atau sore hari. Rumahnya di Kampung
Utan memang sangat dekat dengan Kompleks Program Pascasarjana
Kampus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Harun Nasution selalu masuk kantor lebih awal, sebelum pukul
08.00 WIB dia sudah tiba di kantor, kecuali kalau dia pergi ke luar
daerah. Dia selalu ke kantor dengan mobil Hartop tua miliknya dan
dengan sopir pribadinya sendiri. Kalau dia menghadiri acara lain di
Jakarta, pagi-pagi tetap masuk kantor lebih dahulu, dan kalau
menghadiri acara lain, seperti menghadiri rapat di Departemen
(sekarang Kementerian) Agama, dan seminar-seminar, dia membawa
mobil sedan tua miliknya dan tetap dengan sopir pribadinya, tidak
menggunakan mobil dan sopir kantor. Waktu kami kuliah di Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Harun Nasution sedang
menjabat sebagai Ketua Tim Penilai Angka Kredit (TPAK) dosen
61
IAIN. Jadi dia sering ke Departemen Agama memimpin rapat TPAK.
Begitu pensiun dan berakhirnya masa jabatan Rektor yang dia pegang,
dia mengembalikan semua fasilitas kantor yang digunakan, dia
mengembalikan mobil dinas Rektor dan rumah dinas dosen yang
ditempatinya.
Setiap awal tahun akademi, dia disiplin mengadakan acara
pembukaan kuliah, yang harus diikuti oleh semua mahasiswa S-2 dan
S-3 baik mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Memang semua
mahasiswa senang dan pasti berusaha untuk mengikuti acara
pembukaan kuliah tersebut. Pada acara pembukaan kuliah yang
dilakukan secara sederhana, dia menyampaikan pengarahan yang
sangat berguna mengenai visi, misi, tujuan, dan sasaran dari program
S-2 dan S-3 serta gagasan dan harapannya. Dia berharap agar alumni
Program Pascasarjana terutama para Doktor bisa menjadi kaum
intelektual sebagai pemikir dan peneliti yang banyak memberikan
manfaat kepada umat.
Dalam masalah ibadah pun Harun melakukannya dengan penuh
disiplin. Untuk shalat Jumat, dia sudah hadir ke Mesjid kampus IAIN
pada pukul 11.00 WIB dan dia lah jamaah Jumat yang pertama masuk
Mesjid sehingga dia selalu bisa menempati tempat yang sama, di saf
pertama di sebelah kiri. Kami banyak yang punya keinginan untuk
mengganggunya dengan menempati tempat duduknya tersebut tapi
tidak pernah terjadi karena dua alasan, yaitu karena segan dan hormat
kepadanya, dan karena susah bisa mendahuluinya tiba di Mesjid. Kata
kawan dia juga selalu shalat subuh berjamaah di rumahnya, mungkin
karena susah ke Mesjid di waktu subuh karena agak jauh dengan
rumahnya. Setelah subuh dia disiplin olahraga jalan pagi, dan karena
tidak ada kawan yang bisa diajak jalan pagi secara disiplin seperti
dirinya, dia jalan pagi dengan anjing peliharaannya. Dengan demikian
dia akan aman dari gangguan orang-orang yang bermaksud jahat
padanya. Akan tetapi sayangnya, adanya anjing peliharaan tersebut
menimbulkan pandangan yang kurang baik di kalangan sebagian
orang. Padahal anjing tersebut sangat diperlukannya dalam
62
melaksanakan olahraga jalan pagi setelah subuh secara disiplin agar
tidak terlambat masuk kantor. Anjing itu selalu ditempatkan/diikat di
tempat yang khusus, tidak pernah lepas dan tidak berkeliaran di
pekarangan atau dalam rumah, kami pernah melihatnya secara
langsung pada waktu buka puasa bersama di rumahnya.
Harun Nasution selalu disiplin mengundang mahasiswa S-2
Program Pascasarjana menjelang akhir studi (akhir semester empat)
ke rumahnya untuk suatu acara yang sangat berkesan bagi kami. Acara
itu dilakukan pada akhir program S-2, karena belum tentu semua
mahasiswa S-2 bisa langsung melanjutkan studi ke jenjang S-3.
Kebetulan akhir semester empat angkatan kami, angkatan ke lima
(1986-1988) masuk dalam bulan Ramadhan. Kami semua diundang
buka puasa bersama dan shalat Tarawih berjamaah di rumahnya.
Selesai shalat Tarawih, dia memberi kami petuah dan pesan terakhir
yang sangat berguna dalam menempuh hidup ini terutama sebagai
calon ilmuwan. Selesai menyampaikan petuah dan pesan-pesan, kami
sama-sama berangkat ke Blok M untuk photo bersama sebagai
kenang-kenangan dengannya. Sungguh sesuatu yang sangat
mengharukan, kami betul-betul merasakan dia sebagai guru dan orang
tua kami.
Meskipun kurang sesuai dengan konteks penulis merasa perlu
menjelaskan di sini bahwa Harun Nasution adalah orang yang sangat
peduli dengan persoalan dan permasalahan yang dihadapi para
mahasiswa. Ketika dia menjabat sebagai Direktur Program
Pascasarjana, banyak sekali kemudahan dan fasilitas yang didapati
para mahasiswa dalam mengikuti kuliah. Makalah yang dibuat para
mahasiswa untuk seminar tentang topik-topik yang ditetapkan dalam
silabus pada masing-masing mata kuliah, semuanya diperbanyak oleh
Program Pascasarjana, mahasiswa hanya mengetik di kertas sheet
yang disediakan Program Pascasarjana selanjutnya diperbanyak
dengan stensilan oleh Program Pascasarjana. Para mahasiswa tidak
pernah dikenakan pungutan apa pun, kecuali para mahasiswa yang
mengikuti studi dengan biaya sendiri, kepada mereka hanya dikenakan
63
pungutan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP). Bimbingan
tesis dan disertasi, serta ujian komprehensif dan promosi Doktor
semuanya gratis, tidak dibebankan kepada para mahasiswa, termasuk
biaya untuk minum promotor dan para tamu undangan serta biaya
peliputan oleh wartawan dari dua surat kabar ketika dilaksanakan
promosi Doktor. Dia selalu mengajarkan pola hidup sederhana kepada
para mahasiswa, mahasiswa dilarang mengadakan acara makan-
makan dalam syukuran promosi Doktor, karena dia kuatir akan
membudaya, dan bisa memberatkan mahasiswa, apalagi mahasiswa
yang kurang mampu.
Demi sebuah idealisme yang ingin dicapai, Harun Nasution
melaksanakan semua konsepnya dengan sangat istiqamah, dia
istiqamah melakukan pembaharuan di IAIN dengan merobah
kurikulum IAIN dengan kurikulum yang mendukung visi tersebut, dia
selalu siap menyampaikan pemikiran pembaharuan Islam dalam
seminar-seminar dan dia bersedia terbang ke daerah-daerah untuk
memberi kuliah di beberapa Program Pascasarjana di nusantara seperti
di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,8 dan Program
Pascasarjana IAIN Sultan Alauddin Makasar sampai akhir hayatnya.9

8
Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry yang dibuka pada tahun 1989
malah dipimpin langsung oleh Harun Nasution sebagai Direktur.
9
Harun Nasution berpulang ke rahmatullah pada tahun 1998 di Rumah
Sakit Pusat (RSP) Pertamina Jakarta. Ketika berangkat ke Makasar,
sebenarnya dia dalam keadaan kurang sehat, namun dia tetap istiqamah
berangkat untuk menyampaikan kuliah, dan dia tetap menyampaikan kuliah
sesuai jadwal sampai selesai. Menurut Jalaluddin A. Rahman (sekretaris
Program Pascasarjana IAIN Makasar waktu itu), Harun Nasution datang ke
Makasar Rabu pagi. Ketika Nasution menyampaikan kuliah Rabu malam,
kata Jalaluddin lampu listrik sempat padam sampai tiga kali, tapi waktu itu
Jalaluddin tidak punya firasat apa-apa. Mengetahui Nasution kurang sehat,
Jalaluddin menawarkan untuk mengantar Nasution pulang ke Jakarta, tapi
Nasution menolaknya dan menyatakan dia bisa dan masih sanggup pulang
sendiri ke Jakarta. Dalam pesawat terbang dia merasa semakin lemah dan
setibanya di Cengkareng, dari Bandara Soekarno-Hatta dia langsung dibawa
64
Dia tidak takut berbeda pendapat dan sama sekali tidak gentar dalam
menyampaikan semua konsepnya tentang pembaharuan pemikiran
Islam, meskipun pada awalnya banyak sekali yang menentangnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan S-3 di IAIN Syarif
Hiayatullah Jakarta, saya kembali ke Banda Aceh dan Rektor IAIN
Ar-Raniry menunjuk saya menjadi sekretaris pada Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saya dapati Harun
Nasution sangat disiplin datang memberi kuliah di Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry. Jadwal kehadirannya selalu sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkannya di awal. Suatu hal yang
sangat mengagumkan dia bisa memenej waktu dengan baik sekali,
disiplin memberi kuliah dimana-mana, disiplin melaksanakan tugas-
tugas sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Jakarta, serta
disiplin dalam melaksanakan bimbingan-bimbingan tesis dan
disertasi10 mahasiswa. Bimbingan tesis dan disertasi mahasiswa tidak
ada yang tertunda, padahal semua tesis dan disertasi dibacanya dan
mendapat bimbingan yang maksimal. Dalam pesawat terbang pun dia
menggunakan waktu untuk membaca tesis atau disertasi mahasiswa.
Dalam pesawat dia selalu memesan seat (tempat duduk) sebelah
jendela agar bisa membaca dengan nyaman. Kebetulan saya selaku
mahasiswanya yang bertugas di Program Pascasarjana IAIN Ar-
Raniry sering mengurus tiket pesawat terbang dan mengambil seat
untuknya ketika dia pulang ke Jakarta selesai memberi kuliah di
Program Pascasarjana IAIN Banda Aceh.

ke RSP Pertamina dan di sana lah dia menghembuskan nafas terakhir


memenuhi panggilan Allah kembali ke hadirat-Nya sebagai al-nafs al-
muthma’innah, setelah mengabdi sebagai khalifaţ Allah dan `ibād al-
Rahmān. Allahumma ighfir lahu wa irhamhu wa ‘āfihi wa u`fu `anhu wa
akrim nuzûlahu wa wassi` madkhalahu wa ighsilhu bi al-mā’i wa al-tsalji
wa al-bard wa naqqihi min al-khathāyā. Ᾱmῐn.
10
Laporan penelitian akhir studi mahasiswa jenjang S-2, di Indonesia
disebut tesis, sedangkan untuk jenjang S-3 disebut dengan disertasi.
65
Harun Nasution juga sangat menginginkan agar para magister
dan doktor didikannya juga istiqamah menjadi peneliti dan pemikir
yang siap meneruskan pembaharuan pemikiran Islam melalui lembaga
pendidikan tinggi terutama melalui IAIN. Dia marah ketika tahu saya
diperbantukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Provinsi Aceh meskipun sifatnya sementara. Ketika saya
berkunjung ke ruang kerjanya di Program Pascasarjana IAIN Jakarta
dalam rangka silaturrahim murid kepada guru, kami banyak bercerita
tentang perkembangan IAIN dan perkembangan pembaharuan
pemikiran Islam. Dia juga bertanya tentang perkembangan IAIN Ar-
Raniry dan Program Pascasarjana. Dalam pembicaraan tersebut,
terucap oleh saya bahwa salah seorang dosen di Aceh lulusan S-3
Program Pascasarjana IAIN Jakarta dan menjadi asistennya di
Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry sudah diangkat menjadi staf
ahli Gubernur Propinsi Aceh, dia sangat kecewa dan langsung marah.
Dia mengatakan kalau di Aceh, banyak doktor yang lebih senang
bekerja sambilan di luar IAIN Ar-Raniry, tutup saja itu Program
Pascasarjana, dan untuk apa dosen IAIN Ar-Raniry mengikuti studi S-
2 dan S-3. Itulah sekelumit kenangan seorang murid kepada gurunya,
semoga penulis juga mampu meneladaninya. Ᾱmῐn.

66
PROF. DR. HARUN NASUTION
SEBAGAI AYAH DAN GURU

Nabilah Lubis

Berbicara tentang seorang tokoh seperti alm Prof. Dr. Harun


Nasution sebenarnya agak sulit, khususnya bagi saya. Apakah dari sisi
hubungan kekeluargaan atau sebagai bawahan dimana saya menjadi
dosen dan beliau Rektor IAIN dan sebagai pemerhati agar saya tidak
ketinggalan dan harus belajar seperti kawan-kawan yang mulai
mengambil gelar Doktor.
Yang pantas diingat ialah bahwa Prof. Dr. Harun Nasution dan
Ibu Sayyidah seperti orang tua bagi saya di perantauan. Hubungan
kekerabatan itu bukan tak beralasan. Bapak Harun berasal dari daerah
yang sama dengan suami saya, Tapanuli Selatan. Suami saya
bermarga Lubis sedangkan beliau bermarga Nasution. Kedua marga
ini dianggap saudara sepupu di Tapanuli Selatan. Ini berarti beliau
menjadi paman dari suami saya dan harus disegani.
Begitu juga dengan Ibu Sayyidah. Beliau berasal dari Mesir, satu
kota dengan saya, Kairo. Beliau dipertemukan dalam suatu
kesempatan dengan suami saya yang ingin memanfaatkan perkenalan
itu untuk dapat dipertemukan dengan saya. Ketika itu tahun 1960 saya
baru bertunangan, tetapi masih bimbang. Maksudnya agar Ibu
Sayyidah membujuk saya agar mantap.
Tapi ketika datang ke rumah untuk perkenalan, beliau memarahi
saya, kenapa saya mau bertunangan dan selanjutnya menikah dengan
orang Indonesia. Saya sempat bingung dan akhirnya saya menjawab:
“Saya sudah dua tahun memikirkan masalah itu dan sudah lelah,
barangkali itu yang dikatakan jodoh. Undangan sudah siap dan baju
pengantin sedang dibuat”. Hal ini memang menambah kebingungan
saya.
Kenapa Ibu Sayyidah tidak mendukung rencana pernikahan saya
dengan pemuda dari Indonesia? Ternyata Ibu Sayyidah dan Pak Harun
67
yang menikah di Kairo tahun 1963 tetap tinggal di Kairo. Kemudian,
Pak Harun setelah perjuangan kemerdekaan diangkat oleh
Departemen Luar Negeri sebagai pegawai/diplomat di Kedutaan RI di
Brussel-Belgia. Baru pada tahun 1955 ketika pemberontakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) mereka
kembali dan terus ke Indonesia.
Apa yang dialami di Indonesia dilihat sebagai dunia lain, bukan
seperti di Mesir ataupun di Eropa. Kesan tentang Indonesia di tahun
lima puluhan sangat jelek. Ada got-got terbuka di tepi jalan, banyak
nyamuk, kekurangan makanan, makan nasi tiga kali sehari, roti susah
didapatkan, dan lain-lain. Tentu Ibu Sayyidah yang sedang bersiap-
siap berangkat ke Kanada untuk menyusul Pak Harun yang sedang
menempuh pendidikan Doktor di Mc Gill University tak mau kalau
saya mengalami situasi yang berbeda di Indonesia.
Tetapi, itulah namanya takdir Allah. Pemuda yang setelah berapa
tahun ditolak tetapi masih menjadi jodoh saya. Akhirnya, saya
menikah di semester terakhir sebagai mahasiswi Fakultas Adab
Universitas Kairo Jurusan Perpustakaan (1963).
Akhir tahun itu juga, Menteri Agama pada waktu itu K.H.
Saifuddin Zuhri (ayahanda dari Menteri Agama sekarang, Lukman
Hakim Saifuddin) datang ke Mesir. Kunjungan tahunan Menteri
Agama itu bertujuan untuk bertemu dengan mahasiswa yang sudah
selesai dan diajak pulang untuk mengabdi di IAIN se-Indonesia (yang
ada pada saat itu). Saya yang baru selesai (Juni 1963) dan suami yang
telah selesai di Universitas Baghdad dan sedang studi S-2 di Al-Azhar
University termasuk orang yang bertemu dengan Bapak Menteri
Saifuddin Zuhri. Ketika beliau mendengar saya alumni jurusan
perpustakaan dan achievement, beliau langsung berkata, “ Kami di
IAIN belum mempunyai alumni perpustakaan. Nanti Nabilah diangkat
sebagai kepala perpustakaan IAIN Al-Jamiah Jakarta untuk merintis
perpustakaanya. Betul, tak lama kemudian, SK pengangkatan saya
sebagai kepala perpustakaan Al-Jamiah IAIN Jakarta keluar pada

68
bulan Agustus 1964 dan suami saya H.B. Lubis dosen Hadits di
Fakultas Ushuluddin masih di jalan Indramayu waktu itu.
Kembalinya Pak Harun tahun 1975 menyandang gelar Doktor
disambut meriah oleh kalangan IAIN di Ciputat. Bagaimana tidak?
Beliau adalah orang pertama yang bergelar Doktor yang sangat
diharapkan berbuat banyak untuk kemajuan IAIN yang sudah lebih
dua puluh tahun umurnya.
Karena belum ada rumah yang dipersiapkan untuk keluarga Pak
Harun, maka kamilah yang menerima mereka untuk tinggal di rumah
beberapa hari pertama. Kebetulan rumah yang disiapkan untuk mereka
di Kompleks berada di belakang rumah saya. Dapur kami menghadap
dapur mereka sehingga sering menyapa lewat dapur.
Mengingat keluarga Pak Harun tidak dikarunai keturunan, maka
saya seperti anaknya dan anak saya Amany dan Sri sering bermain di
rumah beliau sehingga jadilah seperti cucunya. Barangkali inilah sisi
kekeluargaan kami dengan keluarga Pak Harun.

Hubungan Sebagai Dosen


Dosen perempuan di IAIN Jakarta tahun 60-an sampai dengan
80-an dapat dibilang sangat langka. Hanya ada saya, Ibu Halimah
Majid (alm), dan Ibu Zaharah Maskanah. Saya merasa agak heran
sejak tahun 1971 ketika saya tinggalkan perpustakaan dan diangkat
sebagai dosen Bahasa Arab di Fakultas Adab semua dosen hanya
alumni Strata Pertama dari IAIN atau Lisence dari Mesir. Bukankah
biasanya dosen minimal memiliki gelar Master of Arts atau Doktor?
Saya juga merasa tidak enak mengapa saya mengajar di strata yang
sama?
Barangkali itulah hal yang menarik perhatian Pak Harun yang
ketika datang ke Ciputat menjadi dosen dan pengajar pertama yang
bergelar Doktor. Pak Harun selama menjadi Rektor berpikir untuk
membuka wahana untuk dosen-dosen agar bisa mengambil gelar yang
lebih tinggi. Maka beliau membuka Program Pascasarjana. Saya
belum punya perhatian terhadap hal itu, karena saya pikir yang bisa
69
melanjutkan studi haruslah orang yang menguasai disiplin ilmu
agama.
Pak Harun marah dan menyuruh saya untuk belajar. Suatu pagi,
Pak Harun memanggil saya dan menyuruh Pak Sadali Wakil Rektor
untuk menjemput saya di rumah. Lantas, saya heran kenapa Pak
Rektor memanggil saya. Setiba di kantor Rektor, terlihat Pak Harun
sedang memegang Koran Republika kemudian melemparnya ke meja
di depan saya sambil bertanya,” Apa ini?” Saya balik bertanya,”
Kenapa Pak? Apa salah saya?” Koran Pelita memuat foto saya sebagai
Wakil Rektor IIQ. Pak Harun menjawab dengan singkat,” Tinggalkan
semua kegiatanmu di luar! Belajarlah dan minta izin kepada suamimu
pergi ke Yogya atau keluar negeri! Sekarang teman-temanmu mulai
belajar untuk mengambil gelar Doktor, nanti kamu ketinggalan.
Pak Harun begitu sayang, membuka mata saya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Karena sudah
ada Program Pascasarjana yang dirangkap pimpinannya oleh beliau
pada masa awal. Saya bertanya kepada Pak Harun,” Saya belajar apa?
Saya cuma dosen Bahasa dan Sastra Arab. Pak Harun menjawab,” Itu
yang penting. Nabilah menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
Teman-temanmu belum tentu seperti kamu. Itu yang pokok,
selanjutnya kamu bisa memilih bidang yang sesuai dengan
keinginanmu.”

Program PLPA Depag Membuka Mata


Tak lama setelah dimarahi Pak Harun, saya mendapat surat dari
Depag bahwasanya akan diadakan Progran Pelatihan Penelitian
Agama (PLPA). Pesertanya dari seluruh IAIN dan selama tiga bulan
tinggal di Wisma Sejahtera. Saya bertanya dalam hati kenapa
ditujukan kepada saya? Allah memberikan jalan agar saya belajar
ilmu-ilmu agama. Saya mendapat dukungan dari keluarga. Suami saya
ketika itu bertugas selama tiga bulan di Saudi sebagai koordinator haji
(1984). Putri saya dua-duanya sedang belajar di Mesir. Hanya anak
laki-laki saya Umar yang masih SMA dan Sabri yang masih SD
70
tinggal di rumah. Alhamdulillah saya bisa belajar ilmu agama dari
tokoh-tokohnya. Perbandingan agama dari Prof. Mukti Ali, ilmu
kalam dan filsafat dari Pak Harun, ilmu sosial dari Harsya Bachtiar,
dan lain-lain. Pada minggu-minggu terakhir saya belajar kajian naskah
klasik. Saya diperkenalkan pada koleksi naskah Arab yang merupakan
warisan budaya bangsa yang tidak mendapat perhatian dari peneliti.
Saya mulai tertarik dengan bidang ini yang disampaikan oleh ahli
pernaskahan Ibu Prof. Dr. Achadiati Ikram (Dekan Fakultas Sastra UI
waktu itu) dan Prof. Bararah Baried dari Universitas Gajah Mada dan
Kepala Arsip Nasional Jakarta.
Mereka mendukung dan membimbing hingga saya menemukan
naskah legendaris karya ulama nusantara Syekh Yusuf Attaj al-
Makassari (1662-1694). Kajian naskah itulah yang saya jadikan
sebagai penelitian untuk S-2 dan S-3. Namun, ada hal penting yaitu
perubahan program studi saya dari UI ke Pascasarjana IAIN. Apa
sebabnya? Sebabnya isi naskah manuskrip yang saya pilih itu
membahas tentang ilmu tasawuf. Saya tak mempunyai latar belakang
ilmu tasawuf. Kedua pembimbing saya menginginkan saya mengikuti
kuliah tasawuf di pasca IAIN sebagai pendengar. Mereka membuat
surat dengan tujuan itu. Tetapi Pak Harun menolak. Beliau melempar
surat itu di mejanya dan berkata,” Sudahlah, tinggalkan program itu.
Mulai besok ikut ke sini (IAIN) karena kamu tidak bisa belajar tasawuf
sendiri. Tasawuf berdasarkan filsafat Islam dan filsafat Islam
berdasarkan filsafat Yunani. Jadi lebih cocok untuk Nabilah. Biar
mereka tetap membimbing setelah kamu belajar tasawuf.” Saya
sempat menangis tidak mau pindah. Tetapi kedua pembimbing saya
menasihati agar saya menerima usulan Pak Harun. Itu yang lebih baik.

Menjadi Orang IAIN


Saya mengikuti kuliah di Program Pascasarjana IAIN Jakarta
tahun 1985 (angkatan ke-5). Di sini saya katakan kalau tidak dimarahi
Pak Harun, saya tidak berpikir untuk melanjutkan kuliah dan kalau
tidak dipaksa pindah dari UI, saya tidak jadi mendalami semua ilmu
71
agama dari ahlinya. Begitulah sistem Pak Harun, memberi kami
landasan ilmu agama yang kuat yang semuanya baru bagi saya.
Belajar ilmu tafsir dan hadits dengan Dr. M. Quraish Syihab, fiqh dan
ushul fiqh dengan Ibu Dr. Khuzaimah, ilmu kalam/tauhid dan tasawuf
dengan Pak Harun, ilmu budaya dengan alm Prof Sultan Takdir Ali
Sjahbana, filsafat (musuh saya waktu di S-1) belajar dengan Prof. M.
Rasyidi, bahkan belajar ilmu alam dengan Prof. M.K. Tajudin yang
ketika itu masih menjabat sebagai Rektor UI, sejarah dan arkeologi
dengan Prof. Hasan Anbari, dan lain-lain.
Setelah selesai empat semester kuliah di Pascasarjana IAIN
1988, saya bekata kepada kawan-kawan, “Sekarang saya merasa
betul-betul menjadi orang IAIN atau orang Al-Azhar”. Pandangan
Prof. Harun sangat mulia, ingin memberikan landasan ilmu agama,
sebab ada orang Tarbiyah dan orang Adab yang tidak begitu
mendalami ilmu agama, termasuk saya. Setelah itu, Pak Harun
mengkotak-kotakkan sesuai dengan bidang ilmu yang dipilih.
Mengingat di Pascasarjana IAIN belum ada kajian naskah
maupun metode penelitian filologi, maka saya didukung oleh Pak
Harun untuk ikut rombongan ke Leiden University- Belanda untuk
mencari varian naskah Zubdat al-Asrar karya Syekh Yusuf al-
Makassari karena hanya ada dua versi di Jakarta. Hal ini juga
bertujuan agar saya dapat bimbingan tentang metodologi dari ahli
pernaskahan Belanda (1989-1990).
Alhamdulillah, berkat dukungan dan arahan dari Pak Harun saya
berhasil menjadi doktor perempuan pertama dari IAIN Jakarta (1992)
dan yang pertama pula memilih bidang studi naskah. Dan sesuai
amanat pembimbing, kajian filologi ini harus disosialisasikan di
kalangan civitas IAIN, khususnya untuk kajian naskah berbahasa
Arab. Kalau di UI, hanya ada penelitian naskah berbahasa Melayu dan
bahasa Jawa-Sunda sama dengan di Universitas Gajah Mada.
Alhamdulillah, saya dapat menyiapkan kader, Doktor yang
mengikuti jejak saya, Doktor Oman Fathurrahman yang dibimbing
oleh Prof. Achadiati di UI pula. Ada beberapa tesis S-2 dan skripsi S-
72
1. Tetapi beberapa tahun belakangan ini tak pernah mendengar ada
yang berhasil di bidang filologi. Kita perlu pemimpin akademik yang
menghayati dan mendorong mahasiswa untuk memilih bidang dan
judul yang menantang, bukan yang tradisional dan biasa-biasa saja.

73
74
BAGIAN II
PEMIKIR RASIONAL ISLAM
76
HARUN NASUTION
TEGUH DENGAN RASIONALITAS
DAMAI DALAM SPIRITUALITAS

Yunasril Ali

Senarai Perkenalan Awal


Nama Prof. Dr. Harun Nasution sudah saya kenal ketika masih
kuliah di Program Sarjana Muda dan Sarjana Lengkap IAIN. Hanya
saja dalam melihat Pak Harun sebagai figur ilmuan persepsi saya
banyak yang keliru, ini terutama karena informasi yang sampai kepada
saya banyak yang bernada negatif. Pak Harun digambarkan sebagai
agen orientalis, atau setidaknya pikiran-pikiran Pak Harun senada
dengan pemikiran para orientalis. Demikian pula, Pak Harun
digambarkan sebagai pemikir yang sengaja ditanamkan untuk
mendangkalkan ajaran Islam di Indonesia.
Persepsi demikian serta-merta buyar ketika saya berhadapan
langsung dengan sosok Harun Nasution dalam perkuliahan yang
beliau berikan dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam,
Pembaharuan dalam Islam, dan Sejarah Umum Islam. Kelihatannya,
Pak Harun tidak sejahat yang digambarkan, beliau adalah sosok
ilmuan murni yang melihat Islam secara jernih, terlepas dari bendera-
bendera golongan tertentu. Ketika mendiskusikan aliran Mu`tazilah,
ia tampil dengan argumen-argumen yang dipegang oleh Mu`tazilah,
demikian pula ketika membicarakan Asy`ariyah, Maturidiyah, al-
Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Hallaj, Ibn `Arabi, Muhammad
`Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lainnya, beliau mengutip argumen-
argumen mereka secara jujur, tanpa menutup-nutupi. Dengan
demikian, kita bisa berpikir ulang bahwa mempelajari suatu pemikiran
bukan untuk menegakkan atau menghujat pemikiran itu, tetapi
bagaimana kita bisa memahami argumen-argumen yang dikemakukan
oleh para pemikirnya secara runut dan mendalam, sehingga kita bisa
mendapatkan wawasan berpikir yang lebih luas dan elegan.
77
Dalam diskusi-diskusi selama belajar di Pascasarjana IAIN
(sekarang UIN) Jakarta Pak Harun masuk ke ruang diskusi tepat waktu
dan mengakhiri diskusi dalam waktu yang tepat pula. Selama diskusi
berlangsung beliau sangat serius memperhatikan jalannya diskusi,
sehingga segala permasalahan yang muncul dapat diselesaikan dengan
baik dan penuh tanggung jawab ilmiah. Selesai diskusi, makalah yang
sebelumnya diberikan ke beliau dikembalikan kepada penulis, dan di
bagian belakang sudah ada catatan dari beliau, apakah makalah itu
sudah bagus dari sisi materi, metode, ataupun bahasa. Dengan
demikian, kita akan bisa memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam
diskusi-diskusi berikutnya.
Kedisiplinan Pak Harun lebih saya rasakan ketika menulis
disertasi, di mana dalam penulisan disertasi saya beliau bertindak
sebagai promotor (Dr. Johan Hendrik Meuleman bertindak sebagai co-
promotor). Dalam penulisan disertasi, beliau membimbing penulisan
dengan penuh disiplin dan sangat “telaten,” saya rasa tak satu huruf
pun yang terlewatkan ketika beliau memeriksa hasil draft-draft
disertasi. Ini terlihat dari coretan-coretan beliau dengan menggunakan
pensil, pada kalimat, kata, titik, maupun koma. Apa yang saya rasakan
ini dialami pula oleh teman-teman yang lain, yang menulis disertasi di
bawah bimbingan beliau. Untuk itu, saya sempat bermenung betapa
disiplinnya Pak Harun dan betapa banyak waktunya yang tersita demi
kejujuran ilmiah.
Sisi lain pengalaman bersama Pak Harun adalah bahwa beliau
sangat memperhatikan mahasiswanya. Ketika draft disertasi saya
sudah hampir rampung beliau periksa, saya lama tidak datang
menemuinya, ini terutama karena kesibukan di luar kampus bersama
teman-teman dalam merampungkan penulisan Ensiklopedi Islam
(terbitan Ikhtiar Baru van Hove), ternyata ketika beliau berkunjung ke
IAIN Padang (menurut dugaan beliau saya bertugas di IAIN Padang),
beliau menanyakan saya kepada Rektor, tetapi dijawab oleh Rektor
bahwa saya bukan bertugas di IAIN Padang, tetapi di IAIN Jambi.
Peristiwa ini beliau sampaikan kepada saya ketika saya
78
menyerahkankan draft akhir disertasi kepada beliau. Beliau meminta
kepada saya, cepat-cepatlah selesai, hentikan sementara penulisan
ensiklopedi! Tugas pokok selesaikan dulu baru yang sampingan.
Karena, peraturan akademik dan administrasi bisa-bisa berubah
seketika, kalau penyelesaian kuliah terlambat, nanti bisa-bisa digilas
oleh peraturan yang baru.
Perhatian beliau kelihatan pula ketika kami masih aktif kuliah.
Ketika itu living cost kami yang diberikan oleh Depatemen Agama
sering terlambat, sementara kami sangat membutuhkanya untuk
memenuhi hajat akademik dan kebutuhan keluarga yang ikut ke
Jakarta. Maka Pak Harun dengan rela menarik tabungannya untuk
menalangi living cost yang terlambat itu. Dan ini berkali-kali terjadi.
Kami sangat merasakan betapa perhatian Pak Harun kepada murid-
muridnya ketika mereka menghadapi permasalahan.
Yang menarik pula adalah ketika lebaran datang. Sehabis shalat
`Id kami para mahasiswa yang umumnya sudah berkeluarga datang
berkunjung bersama isteri dan anak-anak ke rumah Pak Harun, dan
beliau kelihatan gembira sekali dikerumuni oleh keluarga para
mahasiswanya. Sementara itu di rumah beliau telah disediakan
makanan ringan untuk kami anak-anak beliau dan cucunya. Kami
gembira bisa ngobrol lepas dengan beliau dalam suasana lebaran.

Teguh dengan Rasionalitas


Tidak diragukan lagi, Prof. Dr. Harun Nasution adalah tokoh
rasional yang teguh mempertahankan rasionalitas ajaran Islam.
Baginya, Islam adalah agama yang rasional dan menjunjung tinggi
rasionalitas. Tidak ada ajaran Islam yang bertentangan dengan akal.
Semua kandungan ajaran Islam adalah rasional. Jika ada wahyu Tuhan
dalam wujud al-Quran yang bertentangan denga akal, maka
pertentangan itu dapat diselesaikan dengan memberikan interpretasi
atau ta’wil, dengan meninggalkan arti harfiahnya dan mengambil arti
metaforis. Yang bertentangan ialah penafsiran tertentu dari teks
wahyu dengan penafsiran lain dari teks tersebut.
79
Dalam pandangan Harun Nasution, wahyu dan akal adalah dua
media untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang dibawa
wahyu bersifat absolut dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan
yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar mungkin
salah. Sekalipun demikian, wahyu al-Quran sangat menghargai akal.
Penghargaan itu terbukti dalam sejarah bahwa falsafat dan ilmu
pengetahuan berkembang pesat dalam Islam tidak lepas dari dorongan
yang diberikan al-Quran. Tradisi penggunaan akal secara maksimal
untuk mengkaji agama dan ilmu pengetahuan inilah kelihatannya yang
terus dikembangkan oleh Pak Harun. Ini terlihat dari tulisan-
tulisannya, baik berupa buku maupun makalah-makalah yang banyak
memberikan motivasi kepada berpikir rasional.
Pak Harun terlihat sangat konsisten dengan rasionalitas itu dan
selalu menularkannya kepada murid-muridnya. Dalam usianya yang
telah sepuh Pak Harun kelihatan lelah juga dalam rutinitas
kesehariannya sebagai Dekan Fakultas Pascasarjana waktu itu, tetapi
ketika dalam diskusi-diskusi di kelas semangat rasionalitasnya terlihat
bangkit kembali, dan beliau kelihatan gairah, sehingga memupus
kecapeannya akibat rutinitas keseharian.
Dalam diskusi-diskusi saya bersama Pak Harun selama di bawah
bimbingan beliau dalam penulisan disertasi kelihatannya beliau selalu
menginginkan argumen-argumen rasional dalam analisis tulisan,
sehingga memperlihatkan bahwa suatu gagasan bukan hanya
permainan kata-kata, tetapi benar-benar didukung oleh alasan yang
berlapis-lapis, sehingga membentuk suatu alur pemikiran yang
sistematis. Cara berpikir yang demikian tentu akan menumbuhkan
keberanian dalam berpendapat dan teguh dengan pendapat itu. Jika
ada pendapat lain yang berbeda, dan dengan alasan-alasannya pula,
maka pendapat kedua ini harus dihormati pula. Karena, bagi Pak
Harun, perbedaan pendapat itu—sebagai ia lansir dari hadis Nabi
saw.—adalah rahmat.
Rasionalisme ternyata menghasilkan tradisi saling menghormati
pendapat. Inilah yang terjadi antara Pak Harun dan Pak Rasyidi. Pak
80
Harun tetap berjalan dengan Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
meskipun mendapat kritik tajam dari Pak Rasyidi dengan Koreksi
Terhadap Dr. Harun Nasution-nya. Dan sampai sekarang buku Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya masih tetap terbit di UI-Press dan
dipakai oleh kalangan mahasiswa, meskipun telah 18 tahun
ditinggalkan oleh penulisnya. Sementara Pak Rasyidi sendiri, kendati
melontarkan kritik yang demikian tajam terhadap Pak Harun masih
tetap bersedia membantu Pak Harun untuk memberi kuliah di
Pascasarjana IAIN Jakarta, sampai beliau benar-benar telah merasa
uzur.
Hasil diskusi rasional yang sangat saya rasakan manfaatnya dan
telah mengubah pandangan saya 180 derajat adalah diskusi tentang
Ibn `Arabî. Ceritanya, selesai kuliah S1 pada 1982, lalu pada 1983
saya menulis satu buku berjudul Membersihkan Tasawuf dari Syirik,
Bid`ah, dan Khurafat. Dalam buku itu saya memandang bahwa
Waḥdat al-Wujûd itu identik dengan Panteisme yang berpandangan
bahwa Tuhan imanen dalam alam, semua serba Tuhan, Tuhan ada di
mana-mana, Tuhan ada di langit, di udara, di laut, di gunung; karena
itu Tuhan adalah alam, alam adalah Tuhan. Pandangan seperti ini saya
amini dari karya Ibn Taymîyah, Majmû`at al-Rasâ’il wa al-Masâ’il.
Ketika membicarakan makalah tentang Waḥdat al-Wujûd Ibn `Arabi,
kalau tidak salah waktu itu yang kebagian giliran adalah Pak Zainun
Kamal. Setelah perdebatan panjang, Pak Harun memberikan
penjelasannya bahwa Waḥdat al-Wujûd itu tidak identik dengan
Panteisme. Panteisme menafikan transendensi Tuhan, sementara
dalam Waḥdat al-Wujûd Tuhan itu imanen dan sekaligus transenden.
Alam bukan Tuhan dan Tuhan bukan alam. Alam hanyalah wadah
tajallî (penampakan diri) Tuhan, bukan Tuhan. Tuhan mempunyai dua
aspek, aspek lahiriahnya, yang disebut al-khalq (makhluk), dan inilah
aspek yang kelihatan, di mana Tuhan imamen di dalamnya. Aspek lain
adalah aspek yang tak kelihatan, itulah transendensi Tuhan, yang
disebut al-Ḥaqq (Yang Mahabenar).

81
Pak Harun mengibaratkan Tuhan dan tajallî-Nya pada alam
seperti Pak Hatta (Mantan Wakil Presiden RI pertama) dengan
mobilnya. Jika mobil Pak Hatta ada di parkiran kantor itu menjadi
tanda bahwa Pak Hatta ada di kantor. Pak Hatta bukan mobilnya, tetapi
dengan adanya mobil beliau di parkiran kantor itu menjadi isyarat
bahwa Pak Hatta ada di kantor.
Dari apa yang dijelaskan Pak Harun mendadak-sontak mengubah
pikiran saya bahwa Waḥdat al-Wujûd itu bukan Panteisme. Padahal
sebelumnya saya telah menuding Ibn `Arabi sebagai orang sesat dan
menyesatkan. Saya bertobat dari tuduhan yang bukan-bukan seperti
itu!
Bertolak dari itu, saya mencoba untuk mendalami puncak dari
Waḥdat al-Wujûd, yaitu al-Insân al-Kâmil dan menjadikannya sebagai
judul disertasi, dan disertasi itu telah dipertahankan dalam sidang
promosi pada 1986. Disertasi tersebut telah diterbitkan oleh Penerbit
Paramadina pada 1987. Setelah terbit Prof. Said Aqil Siraj
mengatakan kepada saya bahwa disertasi itu telah merontokkan
argument saya dalam buku yang pertama saya tulis, Membersihkan
Tasawuf dari Syrik, Bid`ah, dan Khurafat. Saya katakan kepada
beliau, buku pertama itu adalah qaul qadim saya dan disertasi itu qaul
jadîd.
Komentar yang sama juga datang dari Kang Jalal (sapaan untuk
Jalaluddin Rakhmat). Beliau menganggap bahwa buku pertama
sebagai buku orang yang baru kenal tasawuf dan melakukan serangan
terhadap sebagian ajarannya, sementara buku kedua, ketika Anda telah
benar-benar masuk ke dunia sufi. Saya katakan kepada beliau bahwa
saya belajar tasawuf pertama dari Ibn Taymîyah dan kedua dari Harun
Nasution.
Kelihatannya rasionalitas Pak Harun yang kokoh itu dapat
merasuk ke dalam pikiran para muridnya. Dari itu, pandangan-
pandangan rasional seperti itu sekarang telah menyebar ke mana-
mana, dikembangkan oleh para murid Pak Harun yang tersebar ke
seantero Nusantara.
82
Sufisme: Dari al-Ghazâlî, Ibn Taymîyah, ke Pak Harun
Meskipun Pak Harun populer dengan rasionalitasnya dan tetap
bertahan di garis itu sampai akhir hayatnya, itu tidak membuat ia puas
sampai di situ. Rasionalisme kelihatannya tidak mengantarkan orang
kepada kebahagian dan kedamaian hidup. Segala sesuatu semakin
dipikirkan akan semakin membuat permasalahan semakin panjang,
karena setiap selesai suatu persoalan, masih ada lagi yang kurang dan
membuatnya menjadi permasalahan baru; sementara rambut kepala
semakin rontok karena otak selalu panas oleh permasalahan-
permasalah yang tak terselesaikan itu.
Dalam suasana seperti itulah orang-orang seumpama al-Ghazâlî,
Ibn Taymîyah, dan Pak Harun mengambil jarak dari rasionalitas untuk
masuk ke dunia yang lebih nyaman, dunia sufisme. Cerita al-Ghazâlî,
meskipun dramanya berbeda dengan Ibn Taymîyah, dan Pak Harun,
saya menganggap memiliki substansi yang hampir mirip. Ketika
sampai pada puncak rasionalitas ternyata bukan di situ kedamaian,
maka mereka berjalan terus dan menemukannya pada spiritualitas.
Al-Ghazâlî memulai ceritanya dari serangan skeptisisme yang
menimpa dirinya ketika sedang berada di puncak rasionalitas dan
memegang pimpinan tertinggi Perguruan Nizamiyah di Baghdad. Dia
ceritakan dalam al-Munqidz min al-Dhalâl betapa ia berhasrat besar
untuk mengetahui segala sesuatu secara meyakinkan, termasuk
kepercayaan agama, sehingga keyakinan itu tidak akan goyah
sedikitpun, sebagaimana keyakinannya bahwa angka sepuluh lebih
besar dari angka tiga, tidak akan menggoyahkannya lagi kendati orang
mengatakan sebaliknya.
Untuk itu, ia memulai pencarian keyakinan pertama dengan
mempercayai alat indra, karena alat indra adalah yang paling gampang
dipercayai, karena ia beradaptasi langsung dengan obyeknya. Tetapi,
dalam pencarian ini ia kecewa, karena alat indra ternyata tidak bisa
sepenuhnya dipercayai, mata menyaksikan bayangan rumah di waktu
pagi memanjang di arah barat tetapi setelah sore memanjang ke arah
timur, tongkat yang lurus jika dimasukkan ke air kelihatan bengkok,
83
gula yang manis bisa berubah jadi pahit ketika kita sakit. Bagaimana
kita akan mempercayai alat indra yang tidak stabil itu, bagaimana kita
akan menjadikannya sebagai alat penimbang kebenaran kalau ia selalu
mendustai kita?
Maka al-Ghazâlî memindahkan pilihan kepada akal. Akal lebih
bisa dipercaya karena dia dapat menalar secara benar apa yang tidak
bisa dideteksi oleh alat indra dan akal mampu merumuskan kebenaran
abstrak. Akan tetapi, kebenaran yang didapatkan oleh akal pun mulai
diragui oleh al-Ghazâlî ketika merenungkan betapa banyak aliran
dalam filsafat yang berbeda satu sama lain. Kalaulah akal itu dapat
mencapai kebenaran sejati pastilah tidak akan timbul aliran-aliran itu.
Karena diserang oleh skeptisisme yang sangat berat, al-Ghazâlî
sampai-sampai tidak bisa berbicara. Akhirnya, ia memutuskan
meninggalkan Baghdad, mengembara selama sepuluh tahun, mencari
kebenaran sejati. Ia menemukannya pada tasawuf. Baginya, hatilah
yang dapat dihandalkan untuk dapat meraih kebenaran sejati, namun
harus dengan melibatkan kehendak Ilahi. Tugas kita adalah
menyucikan hati dan Allah-lah yang akan memasukkan kebenaran ke
dalam hati yang telah bening itu. Al-Ghazâlî merasa nyaman dan
damai dalam sufisme, sehingga ia mengakhiri hidupnya pada
505/1111.
Mirip dengan al-Ghazâlî adalah Ibn Taymîyah yang menjalani
sebagian besar hidupnya dari penjara ke penjara, karena
ketidaksenangan orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Di
dalam penjara inilah dia menulis sebagian besar karyanya, seumpama
Majmû’ Fatâwâ, Majmû`at al-Rasâ’il wa al-Masâ’il, dan lain-lain.
Dan di dalam penjara ini pula berakhirnya hidup ulama besar yang
memiliki daya kritis luar biasa ini pada 728/1328.
Daya kritis Ibn Taymîyah yang saya anggap sebagai inti
rasionalitasnya merupakan brilian yang sangat bernilai dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah hidupnya, ia
melakukan kritik terhadap siapa saja, tidak peduli berapa tinggi
kedudukan seseorang, kalau ia melihat ada sesuatu yang keliru,
84
dengan keberanian yang tiada taranya, ia mengkritiknya. Ia pernah
mengkritik Ibn Sina, al-Ghazâlî, Ibn `Arabî, bahkan para sahabat besar
seperti Umar ibn Khattab, `Ali ibn Abi Thalib, dan lain-lain tidak lepas
dari kritikannya. Ia mengkritik tasawuf, filsafat, paham Syi`ah, paham
Qadariyah, mengkritik paham-paham Ittiḥâd, Ḥulûl, Waḥdat al-
Wujûd. Akan tetapi, pada hari-hari terakhir dalam penjara, ketika
semua alat tulis telah disita dari sampingnya, satu-satunya yang alpa
dari mata juru sita adalah sebuah Mushaf al-Quran. Dua puluh hari
terakhir dari hidup Ibn Taymîyah di penjara adalah saat-saat yang
sangat kritis dan sangat membahagiakan. Ia menghabiskan hari-
harinya dalam salat dan diselingi dengan membaca al-Quran. Di saat-
saat itulah perhatiannya habis tersedot kepada Yang Mutlak, sehingga
tak tersisa lagi ruang untuk yang selain Tuhan. Pada saat itulah ia
mengalami fana dalam ketuhanan, yang ia rasakan hanyalah kehadiran
Tuhan. Pada saat itulah ucapan yang pernah ia kafirkan “Ana al-
Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) terucap dari lidahnya, dan dalam
keadaan itulah ia mengakhiri hayatnya.
Ibn Taymîyah beralih dari pengetahuan agama yang bersifat
empiris dan rasional masuk ke pengalaman agama dan dia
menemukan puncak pengalaman agama pada fana dalam ketuhanan.
Beralih ke Pak Harun. Dalam peta keilmuan Islam Nusantara Pak
Harun termasuk salah satu pemrakarsa dalam berpikir rasional, dan
beliau sangat teguh memegang prinsip bahwa Islam adalah agama
yang rasional. Akan tetapi, dalam menegakkan rasionalitas itu beliau
menyempatkan diri datang ke Suryalaya untuk mengikuti amal
spiritual Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di bawah bimbingan
Mursyid-nya, Abah Anom. Ketika ditanya, mengapa Pak Harun harus
ke Suryalaya, bukankah ilmu beliau sudah mapan dan merupakan
gudang ilmu-ilmu rasional Islam. Beliau hanya menjawab, “Mencari
kedamaian.” Beliau mengatakan bahwa kedamaian itu ada dalam
amal-amal spiritual, di mana di dalammnya orang langsung menimba
pengalaman agama.

85
Ilmu agama saja ternyata tidak cukup untuk membawa kepada
kebahagiaan. Ilmu agama baru menjadi sarana untuk meraih
kebahagiaan. Kebahagiaan baru didapatkan ketika dibarengi dengan
pengalaman beragama yang didapatkan melalui praktik langsung. Kita
menyaksikan betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan agama,
tetapi mereka tidak mendapat hidayah dari Tuhan. Snouck Hurgronje
adalah salah satu figur orang yang memiliki pengetahuan agama
(terutama bidang Hukum Islam) yang cukup mapan, tetapi kosong dari
hidayah.
Pak Harun berbeda dengan figur Hurgronje, beliau memiliki
pengetahuan keislaman yang cukup luas, belajar Islam di tanah air, di
Timur Tengah, dan di Barat, tetapi beliau mencemplungkan diri ke
dalam Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Untuk apa? “Mencari
kedamaian!” Jawab beliau singkat.
Akhirnya saya berkesimpulan, ketika orang telah mencapai
puncak rasionalitasnya, itu bermakna satu fakultas kejiwaannya telah
terisi, tetapi masih ada bagian lain yang kosong, yaitu fakultas
spiritualnya. Maka al-Ghazâlî, Ibn Taymîyah, dan Pak Harun telah
mengisi kekosongan itu dengan amal spiritual keagamaan melalui
pintu tasawuf. Wa Allâh A’lam!.

86
KESAN SEORANG MURID PROF. DR. HARUN NASUTION:
ANTARA KEDISIPLINAN DAN KEDERMAWANAN
TERPADU

Jamali Sahrodi1
(Direktur Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Istilah sekularisasi untuk di Indonesia lebih lekat dengan Cak Nur,


Pembaharuan dalam Islam lebih akrab dengan Harun Nasution.”
(Imron Abdullah, 2002: 2).

Istilah “Pembaharuan” bagi Indonesia pada zaman orde baru


sangat lekat dengan Prof. Dr. Harun Nasution selain Cak Nur
(panggilan sapaan Nurcholish Madjid). Hal ini dimaklumi, mengingat
di era 1980-an Dr. Harun Nasution kembali di Indonesia setelah
mengembara sekian lama di luar negeri dalam pencarian ilmu. Negeri
yang pertama dituju sebagai tempat menempa ilmu adalah negara
Mesir, yang berlokasi di wilayah Timur Tengah. Pencarian dan
pengembaraan di ladang kawah candradimuka keilmuan dilakukan
oleh Harun Nasution muda adalah penguasaan keilmuan dalam
lingkup bahasa Arab, sehingga negeri Mesir dijadikan tujuan
kepergian guna menuntut ilmu. Universitas Al-Azhar dijadikan
idaman penggalian ilmu keislaman. Harun muda sangat bersemangat
mencari tahu tentang ilmu Ushuluddin, yang dikenal pula dengan
sebutan ilmu tauhîd, ilmu aqâid, ilmu kalâm, dan teologi Islam. Ilmu

1
Jamali Sahrodi adalah alumni Sekolah Pascasarjana (S-3) UIN Syarif
Hidayatullah Februari 2004. Ia menyelesaikan Program Pascasarjana (S-2) di
IAIN Sumatera Utara, Medan pada akhir 1996 dan Program Sarjana (S-1) di
IAIN Sunan Gunung Djati di Cirebon 1992. Penulis berterima kasih kepada
(alm.) Prof. Dr. Harun Nasution yang telah mendidiknya melalui perkuliahan
sejak penulis mengikuti kelas kuliahnya di Program Pascasarjana IAIN
Sumatera Utara hingga Program Doktor di IAIN Syarif Hidayatullah yang
belakangan bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
87
filsafat dijadikan sebagai fondasi pengetahuan yang menjadikan putra
Indonesia asal Natal Sumatera Utara ini mendalami pemikiran Islam
secara komprehensif. Di Universitas Al-Azhar, pemuda bermarga
Nasution ini sangat menggemari filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf.
Masa ini lebih membutuhkan pemikiran Islam yang segar, bukan
pemikiran radikal yang muncul belakangan. Digambarkan oleh Akh.
Muzakki (2014:2) bahwa ladang subur munculnya Islam radikal di
Asia Tenggara-khususnya di Indonesia sebagai bentuk atas support
dari kelompok al-Qaeda.2 Kelompok gerakan Islam yang dipimpin
oleh keluarga saudagar Arab Saudi, yakni Usamah bin Laden.
Keahlian di bidang agama—khususnya pemikiran Islam—
menjadi trade mark kepakaran putra Batak Tapanuli Selatan.
Kefasihan dalam memberikan elaborasi tiga materi yang tergabung
dalam Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (SPPI) - Teologi Islam,
Filsafat Islam, dan Tasawuf—menjadikan mantan penerjemah
kedutaan besar Indonesia di Mesir ini dijuluki pembaharu Islam di
Indonesia. Pemikiran umat Islam di Indonesia—pada periode 1970-an
dan 1980-an—sedang mengalami stagnasi, atau sebut saja terlalu fiqh
oriented sehingga mengesankan pemikiran Islam tidak lagi
berkembang.3 Kondisi ini yang memacu Prof. Harun sebagai rektor
dan Prof. Mukti Ali sebagai Menteri Agama RI sangat antusias untuk
memajukan perguruan tinggi Islam, saat itu baru IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) yang ada. Ternyata, semangat dua orang akademisi dan
birokrat ini berpadu dalam semangat membangun Indonesia melalui
lembaga pendidikan tinggi Islam yang modern dan berkeadaban.
Kedua tokoh pembaharuan ini akhirnya menempati posisi masing-

2
Akh. Muzakki. “The Roots, Strategies, and Popular Perception of
Islamic Radicalism in Indonesia”, dalam Journal of Indonesian Islam. Vol.08
No.01, June 2014.
3
Pemikirannya dituangkan dalam tiga buku yang sangat populer di
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, yaitu Teologi Islam yang diterbitkan
oleh UI Press, Pembaharuan Islam dan Mistisisme dalam Islam diterbitkan
oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta.
88
masing, yakni Prof. Mukti Ali menggawangi IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, sedangkan Prof. Harun Nasution memimpin Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga akhir hayatnya.
Pengabdian yang sempurna bagi keduanya dan telah melahirkan
kader-kader yang memperbaharui lembaga-lembaga pendidikan tinggi
Islam di Indonesia. Dapat dikatakan, para pengelola lembaga
pendidikan tinggi Islam di Indonesia sekarang ini baik IAIN, UIN,
maupun STAIN dan STAIS merupakan murid-murid kedua guru besar
itu.
Cikal bakal pemikiran yang dikembangkan oleh Prof. Harun
Nasution sebenarnya telah berkembang kendatipun dalam pemikiran
yang berserakan dalam pemikiran para tokoh Islam Indonesia pada
abad 17-an dan seterusnya. Pemikiran Islam di Nusantara
sebagaimana ditelusuri oleh Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama-
nya menunjukkan adanya kesinambungan antara pemikiran ulama di
Nusantara dengan pemikiran ulama di daerah Hijaz (Mekkah).4
Pemikiran Ulama di Indonesia dari pemikiran yang moderat hingga
yang berhaluan keras (tekstual). Saat ini tumbuh dan berkembang di
Indonesia adalah Islam berpaham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah
(Aswaja) atau yang disebut Sunni, bukan Islam Syi’ah atau yang
disebut Syî’i. Azra menegaskan “from a theological point of view, the
present-day hardlinerMuslim groups, like Lasykar Jihad (LJ), Fron
Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), and its
splintering group Jamaah Anshar at-Tauhid (JAT) and Hizb al-
Tahrir, all in Indonesia; and the Jama’ah Islamiyyah (JI) in Malaysia,

4
Azyumardi Azra telah melakukan penelitian tentang jaringan ulama di
Asia Tenggara ketika menyelesaikan disertasinya di Columbia University,
kemudian disertasi itu diterbitkan di Amerika, Belanda, dan dalam versi
bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada awal 1990-
an. Lihat: Azyumardi Azra. The Origins of Islamic Reformism in Southeast
Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the 17th
and 18th Centuries. Crows Nest: AAAS & Allen-Unwin; Honolulu:
University of Hawaii Press; Leiden: KITLV Press, 2004.
89
Singapore and Indonesia are also Sunni. None of these groups in
Shi’i.5
Keteladanan dalam kedisiplinan merupakan karakter khas
almarhum penerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden
Republik Indonesia 2015. Dalam setiap mengisi perkuliahan baik di
Jakarta maupun ke daerah-daerah senantiasa tepat waktu (on time),
lima menit sebelum acara perkuliahan dimulai beliau sudah hadir di
depan kelas. Hal ini dilakukan oleh putra Batak bermarga Nasution ini
hingga akhir hayatnya. Sikap tidak membedakan antara mahasiswa
yang satu dengan yang lain dipraktekkan dalam kehidupan. Pemikiran
rasional yang dijadikan landasan berpikir, bukan karena kesamaan
etnis, asal-usul, atau kedekatan sebagai mahasiswa namun ketepatan
dan kelurusan logika dan argumentasi yang dijadikan dasar
pertimbangan setuju atau tidak setujunya suatu pandangan. Yang lebih
penting lagi bagi Prof. Harun dalam pembelajaran adalah kejujuran
ilmiah dan kecermatan dalam melakukan penelitian. Dikatakan bahwa
para mahasiswa pascasarjana merupakan calon peneliti sehingga harus
dibiasakan dan dibekali mengenai materi penelitian yang kuat. Selain
demikian, penjaga gawang akademik kampus IAIN Jakarta ini
menekankan pentingnya otoritas dalam pengutipan. Oleh karena itu,
ia tidak segan-segan mencoret kutipan dari referensi atau literatur
yang ditulis oleh penulis yang tidak memiliki otoritas di bidangnya.
Hasilnya kini dirasakan oleh bangsa Indonesia banyaknya para
peneliti keagamaan yang tumbuh dari spirit dan pembaharuannya.6

5
Azyumardi Azra. “The Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah in Southeast Asia:
The Literature of Malay-Indonesian ‘Ulama’ and Reforms”, dalam Heritage
of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage.
Vol.2 No.1 June 2013, 16.
6
Para ahli penelitian keagamaan telah tumbuh di Indonesia, tampak dari
hasil penelitian mereka dalam Jurnal Lektur Keagamaan Kemenag Vo.12
No.2 Desember 2014. Notabene mereka para peneliti muda yang berusaha
menggali tentang Islam dan para tokohnya di Nusantara. Untuk menyebutkan
sebagian hasil penelitian mereka adalah “Muhammad Djamil Djambek:
Ulama Pembaharu Minangkabau” oleh Novita Siswayanti; “Inskripsi pada
90
Sisi lain yang menarik dari Pembaharu IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini adalah sikap kedermawanannya. Penulis masih pernah
mengalami kebaikan budi menerima dana talangan beasiswa. Pada
tahun akademik 1997/1998, penulis diterima sebagai mahasiswa
program doktor penerima beasiswa dari Departemen Agama RI (kini
menjadi Kementerian Agama RI). Ternyata penerimaan beasiswa dari
Depag RI tidak lancar setiap bulan tepat waktu namun sering terlambat
dan kebanyakan pembayarannya cenderung dirapel alias “jamak
qadhâ”. Di saat keterlambatan pembayaran beasiswa terjadi, maka
Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah ini menalangi semua
mahasiswa yang memperoleh beasiswa dengan uang milik pribadinya.
Subhânallâh…! Inilah sikap seorang disiplin dan dermawan yang
senantiasa dikenang oleh para muridnya. Sejatinya, tidak hanya itu
yang dilakukan seorang pemikir rasional ini melainkan ia mengangkat
anak-anak dari orang tua tidak mampu dijadikan anak angkat dan
diasuhnya hingga memperoleh derajat level pendidikan yang dapat
diraihnya oleh mereka.
Pada saat penulis studi di Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, para staf karyawan program itu sebagian adalah
anak asuhnya yang dididik di rumahnya. Siapa orangnya—terutama
mahasiswa pascasarjana IAIN Jakarta—yang tidak kenal Azwar,
Abbas, dan kawan-kawan? Mereka semua adalah anak-anak asuh dan
staf Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sangat loyal terhadap sang Direktur. Saking taat dan hormat mereka
terhadap pimpinannya, mereka akan berusaha bersembunyi di saat
sang Direktur masuk dan melewati ruang kampus. Mereka
bersembunyi untuk berusaha tidak “berseliweran” di saat beliau
memasuki area kampus. Mereka menghindarinya bukan karena takut
namun karena mereka segan dan merasa “ewuh pakewuh” bila beliau
memasuki area kampus, sementara mereka sedang bersenda gurau.

Makam Kiai Hasan Maulani: Sosok Pejuang Islam dari Kuningan” oleh
Syarifuddin; dan “Sejarah Masjid Agung Manonjaya” oleh Zainuddin.
91
Kharisma dan pengaruhnya sangat besar dan meluas di lingkungan
kampus IAIN–yang kini menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pengaruh luas itu bukan karena direkayasa atau dikondisikan
melainkan akibat dari kharisma dan keajegan beliau dalam bersikap
dan berperilaku.

Pemikiran Rasional
Pembaharuan yang pernah ada di Indonesia relatif homogen,
namun berbeda jika menilik pembaharuan di negara yang beragam
etnis semisal Australia. Karena umat Islam di Australia minoritas dan
mereka berasal dari berbagai belahan dunia, semisal dari Eropa,
Amerika Utara, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, dan dari
negara jazirah Arab atau Timur Tengah. Pemikiran Islam
kontemporer—menurut Abdullah Saeed, mujtahid progresif dari
Australia—terbagi menjadi enam kelompok: [1] The legalist-
traditionalist (hukum fiqh tradisional), yang titik tekannya adalah
pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para
ulama periode pra modern. Tokoh trend ini adalah Dr. Yusuf
Qardlawi. [2] The theological puritans (teologi Islam puritan), yang
fokus pemikirannya adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam,
puritan dan literalis, ditambah dengan kebiasaan mengklaim bid’ah
kepada kelompok muslim di luar mereka. Tokohnya adalah
Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin. [3] The political Islamists
(politik Islam), yang cenderung pemikirannya adalah pada aspek
politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam. Tokohnya
adalah Abu al-A’la al-Maududi dan gerakan terkemuka terkait dengan
Islam politik adalah Ikhwân al-Muslimîn di Mesir dan Jamaat-i-Islami
Pakistan. [4] The Islamist Extremists (Islam garis keras), yang
memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan
setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan baik
muslim maupun non-muslim. Tokohnya adalah Usamah bin Laden.
[5] The Secular Muslims (muslim sekuler), yang beranggapan bahwa
agama merupakan urusan pribadi (private matter). [6] The progressive
92
ijtihadist (Muslim progresif-ijtihadis) yaitu para pemikir muslim
kontemporer yang mempunyai penguasaan khazanah Islam klasik
yang cukup dan berupaya menafsir ulang pemahaman agama (melalui
ijtihad) dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu modern (sains,
social science, dan humanities) agar bisa menjawab kebutuhan
masyarakat muslim kontemporer. Pada katagori yang terakhir inilah
posisi muslim progresif berada.7
Bila dilihat dari pemilahan berdasar pemikiran Abdullah Saeed,
pesisi pemikiran Prof. Harun Nasution dapat digolongkan pada
kelompok keenam. Kendatipun menghendaki agama dan keshalehan
sosial sebagai masalah pribadi namun pembaharu IAIN Jakarta ini
mengusulkan adanya tafsir ulang terhadap ajaran agama dengan
pemikiran rasional. Dia ingin meletakkan dasar pemikiran bahwa
Islam terbagi menjadi dua ajaran, yakni ajaran dasar dan ajaran bukan
dasar. Sejalan dengan pemikiran kaum eksistensialis, Prof. Harun
hendak meletakkan etika menjadi ilmu sosial. Menurut Hassan Hanafi
(2004:29) eksistensialisme meletakkan empat postulat yang
didasarkan pada etika eksistensialis, yaitu [1] Penghargaan terhadap
manusia [2] Kebebasan dan kesadaran terhadap tanggung jawab [3]
Bergerak mendesak etika [4] Niat baik (good will) dan konsistensi
jiwa.8
Hassan Hanafi menegaskan makna “bergerak mendesak etika”
dengan penjelasan yang sangat memadai. Manusia adalah bebas-
merdeka, pemimpin, dan pelaku. Itulah sentralisasi jihad dan tindakan
praksis yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Seolah-olah
Eksistensialisme aksiologis adalah etika manifestasi dan mujahadah.
Perhatian generasi Muslim adalah mendefinisikan poros gerakan dan
metode ijtihad bagi kemaslahatan khusus maupun kemaslahatan

7
Abdullah Saeed. Islamic Thought: An Introduction. London and New
York: Routledge, 2006, 142-150. Lihat juga: Fathiyaturrahmah.
“Membumikan Pemikiran Islam Progresif”, dalam Jurnal al-‘Adâlah Vol.17
No.1 Mei 2014, 127-128.
8
Hassan Hanafi. Islamologi 3. Yogyakarta: LKiS, 2004, 29-30.
93
umum, bagi diri maupun yang lain. Setiap kita akan berjalan namun
jalannya berbeda-beda.9 Tidak diragukan lagi bahwa tindakan praksis
adalah tergantung pada niat, dan kemampuan (upaya keras) tergantung
pada tendensi dan sasaran. Perhatian generasi kita adalah membatasi
objek sasaran, puncak keinginan, dan tempat menghadap dan
tujuannya.10
Pemikiran rasional dengan bersandar pada pijakan nalar paham
Muktazilah menjadi karakteristik lain dari Prof. Harun Nasution.
Mengingat, dasar pemikiran yang diacu olehnya adalah agama Islam
itu logis (masuk akal). Al-Dîn liman ‘aqlalah, agama adalah bagi
orang yang berakal. Rasionalitas menjadi tema sentral dalam
pemikirannya dengan mengedepankan cara nalar Muktazilah yang
berprinsip, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum hingga kaum itu mau mengubahnya sendiri. Analisisnya,
kemajuan suatu bangsa bukanlah hasil dari pemberian bangsa lain
melainkan harus diusahakan sendiri oleh bangsa itu. Sampai kini
pemikiran rasionalitas menjadi dasar pemikiran Islam liberal (liberal
Islam), dan acuan bacaan mereka adalah buku-buku hasil karya kaum
muktazili, seperti al-Ushûl al-Khamsah karya al-Qâdhi ‘Abd al-
Jabbâr.
Bagi Harun Nasution—sebagian sejalan dengan pemikiran
Hassan Hanafi—kebangkitan Islam adalah kebangkitan rasionalisme
untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) khazanah klasik Islam,
melakukan perlawanan wacana terhadap dominasi kebudayaan Barat,
dan menganalisis kembali realitas dunia Islam.11 Hanya saja Harun
Nasution masih pada memperkenalkan pemikiran rasional belum
sampai pada tawaran untuk mengcounter pemikiran Barat, justeru
Harun Nasution mengajak kepada umat islam untuk tidak segan-segan

9
Hassan Hanafi. Ibid.
10
Hassan Hanafi. Ibid. Lihat juga: Al-Juwaniyyah, 187-199 “Nilai
Kemanusiaan dalam Seruan Rasul”
11
Hassan Hanafi. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat.
Jakarta: Paramadina, 2000, xi.
94
mengambil tradisi dan budaya Barat yang rasional yang sejalan
dengan ajaran dasar Islam.
Perhatiannya terhadap hasil pemikiran kaum muktazili,
menandakan awal kegandrungan Harun muda kepada pembaharuan di
dunia Islam. Disertasi yang disusunnya—saat kuliah di McGill
University—mengangkat tema pemikiran teologi Muhammad
‘Abduh. Pemikiran rasional di dunia Islam didengungkan oleh
Muhammad Abduh, dalam mendorong dunia Islam harus bangkit dari
keterpurukan dan keterbelakangan dari dunia Barat. Mengingat
Barat—saat itu—telah bangkit dan meninggalkan dunia Islam dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Seruan inilah yang
tampaknya merasuki pemikiran Harun Nasution yang ingin turut
membangun Indonesia yang lebih rasional dan maju dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Hasil dari pembaharuan yang dilakukannya, kini telah dirasakan
bangsa Indonesia—khususnya—dunia Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam baik negeri maupun swasta. Kemajuan itu dapat dilihat dari
struktur kurikulum yang tidak lagi fiqh oriented, namun lebih
mengadopsi kemajuan zaman sehingga lebih fleksibel dan senantiasa
dinamis. Para murid guru besar ini telah berperan di hampir seluruh
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam—UIN, IAIN, dan STAIN—
bahkan di beberapa perguruan tinggi umum. Para muridnya di
perguruan tinggi umum adalah mereka para dosen Pendidikan Agama
Islam atau Bahasa Arab yang mengambil S-3 di IAIN Syarif
Hidayatullah atau hasil kerjasama antara Pascasarjana UI dengan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pembaharuan dalam Pemikiran Islam


Perjalanan panjang pemikiran Prof. Harun dilalui setelah ia
merantau untuk mencari ilmu dan mengamati fenomena kehidupan
umat Islam baik di dalam maupun di luar negeri. Menurutnya,
kemunduran umat Islam karena paham dan pemikiran mereka jumud
dan taklid pada pemikiran dan paham ulama klasik tanpa melakukan
95
kritik dan reaktualisasi ajaran. Oleh karena itu, pembaharuan dalam
pemikiran Islam harus dilakukan agar pemahaman umat Islam
kontemporer senantiasa up to date, tidak tertinggal zaman (out of
date).12 Pemikiran pembaharuan Harun Nasution mempengaruhi para
muridnya, setidaknya membuat pergumulan pemikiran di kalangan
para mahasiswa di Jakarta. Tampak dalam catatan harian Ahmad
Wahib dengan sebuah pertanyaan “Apakah semua kaum Muslimin
masih dikungkung fiqh?” Pertanyaan itu dijawabnya dengan elaborasi
yang singkat namun mengenai sasaran. Ada kaum muslimin yang
tidak sadar bahwasanya fiqh Islam kini sudah ketinggalan zaman. Di
antara mereka ini termasuk ulama-ulama yang belum tersentuh ilmu
pengetahuan moderen.13 Ada lagi bagian dari kaum muslimin yang
sadar bahwa fiqh Islam kini sudah ketinggalan zaman, tapi mereka
masih dalam kerangka fiqh yang ada. Pengakuan akan ketinggalan
zaman tersebut timbul oleh opini global (formal) kaum intelektual dan
bukan oleh materi opini atau fiqh itu sendiri. Di antara mereka ini
termasuk ulama yang sudah merasakan dan menikmati ilmu
pengetahuan moderen.14
Pada tahun 1970-an awal, Harun Nasution kembali ke Indonesia
dan mulai menapakkan kakinya di IAIN Syarif Hidayatullah. Saat itu,
mulai bergaung pemikiran pembaharuan di kalangan mahasiswa baik
di Jakarta maupun di Yogyakarta. Nurcholish Madjid muda mulai
menghembuskan penyegaran pemikiran Islam di Jakarta, sedangkan
Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan kawan-kawan mendengungkan
pembaharuan pemikiran Islam di Yogyakarta. Pemikiran inilah
kemudian ditata secara rapih oleh Harun Nasution dalam dunia
akademik melalui mata kuliah Pembaharuan dalam Dunia Islam atau
Aliran Modern dalam Dunia Islam (Almodis). Tulisannya yang

12
Harun Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1990.
13
Ahmad Wahib. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Ahmad Wahib.
Jakarta: LP3ES, 2003, 129.
14
Ahmad Wahib. Ibid.
96
mengantarkan pada logika berpikir lurus untuk terus melaju pada
pembaharuan pemikiran Islam adalah:
1. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya;
2. Pembaharuan dalam Islam;
3. Mistisisme dalam Islam;
4. Teologi Islam; dan
5. Islam Rasional.
Tawaran yang disodorkan oleh putera keturunan Batak Muslim
ini adalah pemikiran rasional Muhammad Abduh. Pemikiran rasional
Muhammad Abduh termaktub dalam tulisan disertasinya di
Departemen Islamic Studies di McGill University, Kanada. Jika
menilik pada pemikirannya, maka pemetaan Abdullah Saeed
memosisikan Harun Nasution pada kelompok enam, yakni
sekumpulan pemikiran Islam progresif yang beranggapan akan
perlunya penafsiran ulang (reinterpretasi) atas ajaran dasar Islam.
Pemikiran Islam dari hasil interpretasi ulama klasik yang sudah tidak
relevan maka perlu dilakukan reinterpretasi oleh pemikir atau ulama
kontemporer agar dapat menjawab tantangan umat Islam. Solusi harus
segera dicarikan agar umat Islam tidak dibingungkan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat membantu
mempermudah cara hidup mereka.
Perjuangan dan gerakan pembaharuan Prof. Harun Nasution
telah dirasakan pada diri para muridnya. Kini gerakan pemikirannya
sedang dikembangkan oleh para muridnya baik melalui gagasan
maupun kebijakan-kebijakan pendidikan di Kementerian Agama
Republik Indonesia. Diakui atau tidak, mereka yang kini berperan
sebagai pengelola lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan
Islam di Indonesia adalah kebanyakan para muridnya baik bertemu
langsung atau belajar melalui bacaan hasil pemikirannya. Selain itu, ia
memperkenalkan Sejarah Peradaban Islam sebagai disiplin ilmu yang
dinamis, tidak seperti gambaran pihak Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan saat itu. Peradaban Islam sudah diakui oleh publik
97
memiliki peran di dunia, sebagaimana dinyatakan oleh Komaruddin
Hidayat.15 Dinamika peradaban Islam sejalan dengan dinamika
budaya Islam yang hidup. Menurut hemat Ali Akbar Velayati,
“…Islam berawal dari Mekkah. Pada waktu itu, tahap pertama dakwah
dimulai dengan penjernihan peradaban dan budaya Islam. Tahap
kedua dimulai setelah Nabi hijrah dan mendirikan negara Islam di
Madinah”.16
Pada bagian akhir tulisan ini, penulis menyadari bahwa yang
dituangkan dalam tulisan ini adalah bagian yang masih terekam dalam
memori. Diyakini, masih banyak hal yang belum tertuang dalam
tulisan ini hal-hal positif dari kesan yang dirasakan oleh penulis dari
pergumulan dan persentuhan dengan Sang Maestro, pembaharu,
sekaligus pendidik yang mulia dan konsisten. Penulis berterima kasih
atas didikan dan kesabaran beliau dalam memberikan advis akademik.
Semoga Allah mengampuni segala dosa, dan melapangkan tempatnya
di alam kubur serta memasukkannya ke surga yang diridlai-Nya.
[Mal’s]

15
Ada kemiripan antara Iran dan Indonesia. Keduanya adalah
masyarakat muslim, tetapi nonarabic countries. Indonesia, sebagaimana Iran,
bukan bangsa Arab, tetapi memeluk Islam. Ini membawa implikasi yang jauh
ketika kita bicara peradaban. Lihat: Komaruddin Hidayat. “Sambutan Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”, dalam Mulyadhi
Kartanegara dkk. Et.al. Islam, Iran, Peradaban: Peran dan Kontribusi
Intelektual Iran dalam Peradaban Islam. Yogyakarta: Rauyanfikr, 2012, 15.
16
Ali Akbar Velayati. Ensiklopedia Islam dan Iran. Bandung: Mizan,
2008, 3.
98
HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH
DAN PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH

Yusuf Rahman1

Pendahuluan
Selama ini, karya-karya Harun Nasution banyak
memperkenalkan dan mempromosikan pemikiran rasional
Mu’tazilah. Ia menunjukkan bahwa Muhammad Abduh adalah
seorang muslim reformis yang beraliran Mu’tazilah. Dalam bukunya
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Nasution
sempat menceritakan kenapa disertasinya yang ditulis di McGill
University Kanada pada tahun 1968/1969 yang berjudul “The Place of
Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System
and Views” belum diterbitkan, sementara bagian pertama dari
disertasinya sudah terbit dalam bentuk Teologi Islam, Aliran-aliran,
Sejarah, Analisis dan Perbandingan di tahun 1972. Nasution di
“Pengantar” itu menjelaskan bahwa masyarakat Islam Indonesia pada
saat itu belum bisa menerima kesimpulan penelitiannya yang

1
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Ketika menjadi mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat IAIN Jakarta (1986-1991), pernah mengikuti mata kuliah “Ilmu
Kalam” yang diajarkan Prof. Harun Nasution (sebagai dosen narasumber)
bersama dosen tetap mata kuliah Ibu Nurbaiti Dahlan. Artikel ini ditulis
memenuhi undangan Panitia (terutama Prof. Suwito) pada tanggal 1
November 2015 kepada murid-murid Prof. Harun Nasution untuk menulis
tentang Prof. Harun Nasution. Sebagai murid Prof. Nasution, walaupun tidak
terlalu intens mengikuti pertemuan di kelas secara fisik, saya menerima
undangan Panitia. Saya menulis artikel ini di saat saya melakukan riset
tentang Kajian al-Qur’an di University of Melbourne Australia sejak tanggal
21 September – 29 November 2015, sehingga beberapa literatur penting
berbahasa Indonesia tidak dapat saya akses. (Walaupun pada akhirnya artikel
ini baru diterbitkan pada tahun 2016, setelah saya kembali ke Indonesia,
tulisan ini tetap diterbitkan as it is, kecuali beberapa perbaikan kesalahan
penulisan).
99
menyatakan bahwa “Muhammad Abduh … mempunyai pendapat-
pendapat Mu’tazilah.”2 Baru pada tahun 1987, Nasution memutuskan
untuk menerbitkan Muhammad Abduh oleh Universitas Indonesia
Press, setelah masyarakat Muslim Indonesia “siap” menerima
kesimpulan bahwa “pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak
persamaannya dengan pemikiran teologi kaum Mu’tazilah.”3
Namun kini di Indonesia mulai ada yang “menggugat”
kesimpulan Nasution, dan mengkritisi kembali apakah benar
pandangan Abduh memiliki kesamaan dengan pandangan Mu’tazilah.
Salah satu kajian yang kini sedang digadang-gadang adalah karya Eka
Putra Wirman dengan judul Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran
Harun Nasution.4 Karya ini digadang-gadang karena mengkritik
pemikiran Harun Nasution yang Mu’tazilah, dan “mematahkan”
kesimpulan bahwa Abduh adalah seorang Mu’tazilah. Dalam istilah
Adian Husaini “temuan Dr. Eka Putra Wirman menyangkut Harun
Nasution itu merupakan temuan penting, karena selama berpuluh
tahun gagasan pembaruan studi Islam Harun Nasution didasarkan atas
klaim keunggulan Mu’tazilah atas Ahlus Sunnah.” Husaini
melanjutkan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa “[k]laim Harun
Nasution itupun keliru, karena selama ratusan tahun umat Islam
mencapai kejayaannya justru dengan berpijak atas teologi Ahlus

2
Nasution, “Pengantar” dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), v.
3
Nasution, Muhammad Abduh, 92.
4
Diterbitkan oleh Nuansa Aulia Bandung tahun 2013. Untuk
selanjutnya nama Eka Putra Wirman saya tulis dengan Wirman, nama akhir,
sebagaimana kebiasaan dalam kajian akademik. Informasi ini saya dapatkan
berdasarkan pada berita di internet. Di antaranya dari website
www.hidayatullah.com yang memberitakan tentang diskusi buku ini di IAIN
Imam Bonjol Padang pada tanggal 18-9-2013, dengan menghadirkan
pembedah buku Prof. Dr. Duski Samad dan Dr. Adian Husaini. Disebutkan
bahwa Dr. Wirman menyelesaikan program doktornya di Qarawiyin
University Maroko pada tahun 2003. Informasi terakhir, sejak pertengahan
tahun 2015, ia menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol Padang.
100
Sunnah.”5 Ini kemudian menjadi amunisi bagi Husaini agar ide untuk
memajukan studi Islam bukan dengan mengikuti teologi Mu’tazilah
apalagi metode Orientalis.
Sebelum buku ini terbit, Wirman sudah menerbitkan buku pada
tahun 2011, untuk lingkup yang lebih terbatas, dengan judul
Kesaksian Hasyiah terhadap Teologi Muhammad Abduh yang
menyimpulkan, sebagaimana dituliskan Husaini, bahwa
“Buku Hasyiah menjadi saksi bahwa Abduh adalah
pengikut setia al-Asy’ari dan berusaha menjelaskan
secara rasional-filosofis gagasan-gagasan teologis yang
diungkapkan oleh al-Asy’ari. Pembacaan yang serius
terhadap buku ini dengan mudah mementahkan pendapat
beberapa penulis teologi di Indonesia bahwa Abduh
adalah pengikut aliran Mu’tazilah, atau lebih dekat
kepada pemikiran Mu’tazilah, apalagi lebih Mu’tazilah
dari Mu’tazilah.”6

Tulisan ini ingin merespon karya Wirman, namun sayangnya


kedua buku tersebut tidak bisa saya akses ketika saya sedang
melakukan penelitian tentang kajian al-Qur’an di University of
Melbourne Australia sejak 21 September hingga 29 November 2015.
Fasilitas jasa pinjaman antar universitas (inter-library loan) juga tidak
berhasil untuk melacak dan menemukan karya ini di perpustakaan-

5
Lihat Hidayatullah.com, “Setelah 40 tahun, Kekeliruan Prof Harun
Nasution Diungkap di Padang,” Sabtu 21 September 2013
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2013/09/21-
/6468/setelah-40-tahun-kekeliruan-prof-harun-nasution-diungkap-di-
padang.html (diakses 4 November 2015)
6
Buku tersebut diterbitkan Puslit Press IAIN Imam Bonjol Padang
tahun 2011. Lihat Adian Husaini, “Catatan Akhir Pekan ke-357: Temuan
Penting Dr. Eka Putra tentang Harun Nasution,” Rabu, 27 Maret 2013 di
http://www.hida-yatullah.com/kolom/catatan-
akhirpekan/read/2013/03/27/134/-temuan-penting-dr-eka-putra-tentang-
harun-nasution.html (diakses 4 November 2015)
101
perpustakaan di Australia. Karyanya yang bisa saya akses adalah
artikelnya yang berjudul “The Fallacies of Harun Nasution’s Thought
of Theology,”7 yang diterbitkan di Journal of Indonesian Islam pada
tahun 2013 yang bisa diakses secara on line. Walaupun pastinya tidak
selengkap kedua buku tersebut, namun karena artikel ini diterbitkan
setelah kedua bukunya tersebut, maka saya bisa mengasumsikan
bahwa artikel ini memuat inti dari kedua buku di atas.

Wirman dan “Kesalahpahaman” Nasution tentang Abduh


Dalam karyanya ini, Wirman mengajukan beberapa kelemahan
dan kesalahan Nasution dalam menelaah pemikiran kalam (teologi)
Muhammad Abduh, terutama dalam ketidak akuratan data dan ketidak
konsistenan Nasution dalam merujuk kepada sumber primer karya
Abduh. Nasution menyatakan dalam karyanya Muhammad Abduh dan
Teologi Rasional Mu’tazilah bahwa yang menjadi sumber primer
dalam mengkaji pemikiran kalam Abduh adalah Risalah al-Tawhid,
Hasyiyah ala Syarh al-Dawwani li al-Aqa’id al-Adudiyyah, dan Tafsir
al-Manar.8 Namun Wirman mendapatkan bahwa ketika mengkaji
pemikiran kalam Abduh, Nasution telah salah memahami karena --
menggunakan istilah Wirman – Nasution tidak akurat dalam merujuk
kepada data atau sumber yang ada. Wirman mencontohkan beberapa
kasus di mana jika dibandingkan antara pemahaman Nasution dengan
karya Abduh yang berjudul Hasyiyah, kesimpulan Nasution bertolak
belakang. Jika Nasution menyatakan bahwa akal, menurut Abduh,
bisa mengetahui Tuhan (M.T.), mengetahui adanya hidup di akhirat
(M.H.A), mengetahui kebajikan dan kejahatan (M.B.J), mengetahui
kewajiban terhadap Tuhan (M.W.T.T), mengetahui kewajiban berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat (M.W.B.J), serta membuat hukum-

7
Eka Putra Wirman, “The Fallacies of Harun Nasution’s Thought of
Theology,” Journal of Indonesian Islam 7, 2 (December 2013): 246-267.
8
Lihat Nasution, Muhammad Abduh, 5-6.
102
hukum (M.H), maka sumber yang dijadikan rujukan oleh Wirman
menyatakan sebaliknya.9
Salah satu contoh yang diajukan tentang kewajiban Mengetahui
Tuhan (M.T). Dengan merujuk kepada Hasyiyah yang diterbitkan
dalam buku al-Syaikh Muhammad Abduh baina al-Falasifah wa al-
Kalamiyyin, yang disunting oleh Sulayman Dunya, Wirman
berkesimpulan bahwa Abduh secara eksplisit menyatakan bahwa
kewajiban untuk mengetahui Tuhan adalah berdasarkan wahyu “al-
nazhar li tahshil ma‘rifat Allah ta‘ala qad tsabat wujubuh bi al-
syar‘.” Pandangan ini berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah yang
menyatakan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan. Pertanyaannya
kemudian adalah mengapa ada perbedaan kesimpulan? Apakah
Nasution “sengaja” salah memahami Abduh dan tidak merujuk kepada
kitab Hasyiyah?.
Sebenarnya, kalau mau dibaca lebih jeli lagi, Nasution memang
mengakui ada perbedaan pandangan antara Risalah al-Tauhid dengan
Hasyiyah. Di bagian akhir bukunya, Nasution memaparkan perbedaan
antara kedua buku Abduh terkait dengan fungsi akal dan wahyu.
Berbeda dengan Hasyiyah yang masih menekankan superioritas
wahyu atas akal, di dalam Risalah al-Tauhid, Nasution mengutip
pernyataan Abduh:
“Jika wahyu membawa sesuatu yang pada lahirnya
kelihatan bertentangan dengan akal, wajib bagi akal
untuk meyakini bahwa yang dimaksud bukanlah arti
harfiah; bagi akal kemudian terdapat pilihan antara
memberi arti metaforis kepada ayat dan menyerahkan
kepada Allah maksud dari ayat itu.”10

9
Lihat Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 249 dst.
10
Lihat Nasution, Muhammad Abduh, 93.
103
Pernyataan ini menunjukkan bahwa memang antara kedua karya
Abduh tersebut ada perbedaan, dan tampaknya Nasution lebih
berpegang kepada pandangan Abduh yang di Risalah al-Tauhid.

Di dalam artikelnya, Wirman dengan cekatan menghitung berapa


kali Nasution merujuk ke Hasyiyah dan Risalah al-Tauhid dan sampai
pada kesimpulan bahwa Hasyiyah dirujuk Nasution sebanyak 28 kali,
sementara Risalah al-Tauhid 144 kali. Namun ini juga yang kemudian
menjadi kritikan kedua Wirman, yang ia sebut dengan ketidak
konsistenan Nasution. Bagaimana mungkin Nasution lebih banyak
merujuk kepada Risalah al-Tauhid yang menurut Wirman, mengutip
pendapat Nasution, diperuntukkan “’only’ for high-school level kind
of reading” (bacaan anak SMA),11 dari pada merujuk kepada
Hasyiyah. Seharusnya, dalam logika Wirman, jika Nasution sudah
mengakui bahwa Risalah al-Tauhid adalah bacaan untuk anak SMA,
maka ia lebih baik merujuk kepada Hasyiyah. Inilah yang disebutkan
Wirman dengan “tidak konsisten,” karena Nasution lebih sering
merujuk kepada Risalah al-Tauhid dari pada kepada Hasyiyah.
Demikianlah beberapa kritikan Wirman terhadap karya
Nasution, yang pada intinya Nasution telah salah memahami Abduh:
Abduh bukanlah seorang penganut Mu’tazilah, akan tetapi ia adalah
seorang Sunni,12 ahlu sunnah wal jama’ah berdasarkan karya
Hasyiyah. Dalam menanggapi kritikan Wirman paling tidak ada dua
hal yang ingin saya sampaikan, terutama terkait dengan kajian
terhadap karya-karya tokoh. Namun sebelum itu, saya akan
memaparkan beberapa kajian sarjana kontemporer tentang pemikiran
Abduh, terutama dalam bidang politik dan teologi.

11
Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 260. Bandingkan
dengan Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, 5.
12
Seakan-akan seorang Mu’tazilah bukanlah termasuk Sunni. (Catatan
penulis artikel ini)
104
Muhammad Abduh dalam Kajian Sarjana Kontemporer: dari
Abduh yang Sufi, Salafi, Mu’tazila, hingga Reformis
Kajian para sarjana tentang Muhammad Abduh, sejak dikaji
Nasution hingga kini, tidak terhitung banyaknya, dan masih terus
berkembang. Dalam karya-karya yang terbit sejak tahun 2000an,
didapatkan bahwa kesimpulan para sarjana berbeda-beda berdasarkan
pada sumber-sumber yang mereka jadikan rujukan.Paling tidak para
sarjana telah membagi kehidupan karir Abduh ke dalam empat fase:
1) fase pendidikan, sejak masa kecil hingga ia selesai dari al-Azhar
tahun 1877; 2) fase nasionalis, sejak ia bergabung dengan Jamal al-
Din al-Afghani hingga Revolusi Urabi tahun 1882; 3) fase Salafiyya,
yaitu masa pengasingannya di Paris bersama al-Afghani dan
perpisahannya dari al-Afghani, hingga menetap di Beirut dan
mengajar di Sulthaniyya. Bahan ajarnya di Sulthaniyya ini yang
menjadi basis bagi karyanya yang terkenal Risalah al-Tauhid; 4) masa
reformis, yaitu ketika ia menjadi Mufti Mesir dari 1899 hingga
wafatnya 1905 dan banyak melakukan reformasi kurikulum al-
Azhar.13
Pada setiap fase ini, Abduh memiliki karya-karya sehingga para
sarjana menginterpretasikannya bermacam-macam dan berbeda-beda.
Oleh karena itu Vincent C. Cornell di tahun 2013 melukiskan
Muhammad Abduh sebagai “the Illustrated Man” dan “the most
ambiguous in terms of understanding the full extent of his legacy in
the century since his death…., he is arguably the most overinterpreted
figure in modern Islamic thought.”14 Pada fase awal, misalnya, Abduh
menulis karyanya yang pertama pada tahun 1874 dengan judul Risalah

13
Lihat Vincent J. Cornell, “Muhammad ‘Abduh: A Sufi-Inspired
Modernist?” dalam Tradition and Modernity: Christian and Muslim
Perspectives, diedit David Marshall (Georgetown University Press, 2013),
105-114. Dalam hal ini lihat 106. Lihat juga penjelasan lebih lengkap tentang
sejarah hidup Abduh dalam Mark Sedgwick, Muhammad Abduh (New York:
Oneworld Publications, 2010).
14
Cornell, “Muhammad ‘Abduh,” 105.
105
al-Waridat fi Sirr al-Tajalliyyat, suatu karya yang dianggap Oliver
Scharbrodt sebagai “the forgotten work”15 dari karya-karya Abduh.
Disebabkan karya ini maka Scharbrodt menyebut Abduh sebagai
seorang sufi. Lihat juga artikel Cornell yang menekankan kesufian
seorang modernis Abduh dalam “Muhammad Abduh: a Sufi
Modernist? Sebelum ini tidak banyak yang menekankan pemikiran
sufistik Abduh, karena sebagaimana dikatakan Scharbrodt, karya
Abduh yang berjudul Risalah al-Waridat ini dianggap oleh beberapa
penulis biografi Abduh, seperti Rasyid Ridla dan Muhammad Imarah,
sebagai bukan karya Abduh, akan tetapi karya al-Afghani.
Di antara yang menarik dari kajian para sarjana adalah kaitan
Abduh dengan gerakan Salafi. Jika Aziz al-Azmeh melihat bahwa
karya-karya Abduh, Afghani dan Rasyid Rida sebagai basis
foundasional bagi gerakan Islamis revivalis yang telah mempengaruhi
gerakan dan diskursus Islamis hingga saat ini,16 maka Frank Griffel di
dalam “What Do We Mean By “Salafi”? Connecting Muhammad
Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s Contemporary Intellectual
History,”17 mengklarifikasi beberapa definisi Salaf dan kaitannya
dengan berbagai gerakan Salafi yang ada. Bagi Griffel, gerakan
reformasi al-Afghani dan Abduh, dan juga yang lainnya, bisa disebut
gerakan Salafi karena mereka meyakini bahwa pendidikan madrasah
bertanggung jawab terhadap kemunduran kekuasaan dan peradaban
Islam, dan membandingkannya dengan kejayaan Salaf. Akan tetapi
pemahaman mereka tentang Salaf berbeda-beda. Grriffel menulis:

15
Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muhammad ‘Abduh
and His Risalat al-Waridat (Treatise on Mystical Inspirations),” Bulletin of
the School of Oriental and African Studies 70, 1 (2007): 89-115.
Pernyataannya bisa dilihat di 94.
16
Lihat Aziz Al-Azmeh, “Islamist Revivalisme and Western
Ideologies,” History Workshop Journal 32 (1991): 44-52, here 46.
17
Frank Griffel, “What Do We Mean By “Salafi”? Connecting
Muhammad Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s Contemporary
Intellectual History,” Die Welt des Islams 55 (2015): 185-220.
106
“For ‘Abduh the salaf were … the major theologians of
Islam up to al-Ghazali and Ibn Taymiyya. For others they
were limited to the companions of the Prophet, who
recorded hadith for him. Again others followed Ibn
Taymiyya’s earlier reform project and his understanding
of the salaf. For Ibn Taymiyya, salaf meant the collectors
and early interpreters of hadith up to the generation of
Ahmad b. Hanbal (d. 241/855).”

Jadi dalam hal ini gerakan Salafi Abduh bukanlah sebagaimana


Salafi-nya kelompok atau mazhab Hanbalisme dan Wahabisme.
Kajian terakhir yang juga terbit beberapa tahun belakangan
terkait dengan pemikiran Abduh adalah pemikiran teologi Abduh.
Bahkan perdebatan yang diajukan adalah–hampir sama dengan yang
dipertanyakan Wirman–apakah Abduh seorang Mu’tazili. Thomas
Hildebrandt menulis disertasi di University of Bamberg Jerman, yang
sebagiannya diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Waren Gamal
Ad-Din al-Afgani und Muhammad ‘Abduh Neo-Mu‘tazilaten?.”18
Hildebrandt mensurvei dan mengkritisi kajian para sarjana yang
menulis tentang pemikiran Abduh. Perdebatan ini terjadi karena
rujukan dari para sarjana yang berbeda-beda, dan/atau bahkan rujukan
yang sama namun melahirkan penafsiranyang berbeda-beda.
Menarik di sini untuk melihat rujukan yang digunakan Wirman
dalam rangka mendukung “ke-Asy’ariyah-an” Abduh. Ia mengamini
kesimpulan sarjana Barat, seperti Charles C. Adams dan lain-lain yang
menegaskan bahwa teologi Abduh adalah Ahlussunnah dan
As’ariyyah.19 Akan tetapi, ia tidak membandingkan dan merujuk

18
Thomas Hildebrandt, “Waren Gamal Ad-Din al-Afgani und
Muhammad ‘Abduh Neo-Mu‘tazilaten,” Die Welt des Islams 42, 2 (2002):
207-262.
19
Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 60, n. 27. Selain
Adams, Wirman menyebutkan nama-nama lain, seperti M. Horten, Michael
B dan MacDonald, akan tetapi tidak ada judul-judul dari karya-karya sarjana
107
kepada karya-karya sarjana Barat lainnya yang berkesimpulan bahwa
Abduh lebih condong ke pandangan teologis Mu’tazilah, seperti R.
Caspar, L. Gardet, Ignaz Goldziher, atau karya Richard C. Martin,
Mark R. Woodward, dan Dwi S. Atmaja yang berjudul Defenders of
Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern
Symbol.20
Oleh karena itu, ketika mengkaji karya-karya seorang tokoh
maka perlu memperhatikan, pertama perkembangan pemikiran
seorang tokoh, kedua konteks di mana karya itu ditulis dan pembaca
yang sedang dituju oleh karya tersebut, dan ketiga penyunting atau
editor dari karya-karya tokoh tersebut.

Konteks dan Audiens Karya-Karya Abduh


Sebagaimana pemikiran seseorang yang terus berkembang, maka
perlu diperhatikan kapan dan dalam konteks apa suatu karya ditulis.
Memang tidak bisa secara kategoris dipisahkan suatu karya dari
konteks keseluruhan karya seorang tokoh tersebut, namun suatu karya
yang ditulis dalam konteks dan untuk audiens tertentu, tentu akan
mempengaruhi bahasa dan inti dari pembahasan karya tersebut. Karen
Bauer misalnya, dalam konteks literatur tafsir, telah berusaha
melakukan tipologisasi terhadap karya-karya tafsir. Dengan meneliti
karya-karya tafsir ini, Bauer menulis

“The introductions of works of tafsir reveal that exegetes


of the eleventh and twelfth centuries had a deep concern
to present their work according to hierarchy of
knowledge. They speak about the technical difficulty and

Barat tersebut di dalam Bibliografi. Satu-satunya karya sarjana “Barat” yang


dia sebut di bibliografi, yaitu Majid Fakhri.
20
Diterbitkan Oneworld, Oxford, 1997.
108
the length of their works, and often assert their own level
of scholarship and that of their intended audience.”21

Ketika membaca muqaddimah yang ditulis Abduh dalam Risalah


al-Tauhid dapat diketahui juga sejarah penulisan karya ini dan siapa
audiensnya pertama kali. Sebagaimana yang dijelaskan Abduh, ketika
mengajar ilmu tauhid di madrasah Sulthaniyyah, ia mendapatkan
buku-buku yang terkait dengan tema ini banyak yang tidak cocok
dengan tingkatan keilmuan siswa “ta‘lu ‘ala afhamihim” dan
pembahasan-pembahasannya tidak sesuai dengan masa mereka
“ullifat li-zaman ghayr zamanihim.” Oleh karena itu, Abduh
kemudian mendiktekan pembahasan ini bagi mereka.22 Inilah
kemudian yang disebut Nasution bahwa “kandungan” karya ini dari
hasil ceramahnya di madrasah tersebut. Akan tetapi berbeda dengan
pernyataan Wirman, Nasution tidak menyatakan bahwa buku ini
hanya cocok untuk siswa sekolah. Yang menyatakan pendapat
tersebut adalah J. Jomier, bukan Nasution sendiri. Di sini Nasution
mengutip pendapat Jomier tentang status Risalah al-Tauhid.23

21
Bauer, “‘I Have Seen the People’s Antipathy to this Knowledge’: The
Muslim Exegete and His Audience, 5th/11th-7th/13th Centuries,” The Islamic
Scholarly Tradition: Studies in History, Law, and Thought in Honor of
Professor Michael Allan Cook, ed. Asad Q. Ahmad, Behnam Sadeghi, and
Michael Bonner (Leiden: Brill, 2011), 293-314. Penulisan miring dalam
kutipan di atas oleh penulis artikel ini.
22
Lihat, Abduh, Risalah al-Tauhid, disunting Rasyid Ridla (Kairo:
Mathba‘ah Muhammad ‘Ali Shubaih wa Auladih bi al-Azhar dan dikeluarkan
(ashdara) Dar al-Manar, 1956), cetakan ke 17, 2. Buku ini telah dicetak
beberapa kali sejak disunting pertama kali oleh Ridla tahun 1908. Selain
disunting oleh Ridla, buku ini juga disunting oleh beberapa sarjana lainnya,
yang akan didiskusikan di bagian akhir dari artikel ini. Menarik untuk
membaca kata-kata yang tertulis di halaman muka buku tersebut “kull
nuskhah ghayr makhtumah bi-khatm al-manar tu‘add masruqah.”
23
Lihat Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
5. Bandingkan dengan Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,”
269, dan juga 264.
109
Yang dikatakan Nasution adalah bahwa kandungan dari
ceramah-ceramah inilah yang kemudian menjadi buku Risalah al-
Tauhid. Berdasarkan bahan ceramah yang didiktekan Abduh kepada
murid-muridnya, kemudian Abduh merevisi hasil dikte tersebut yang
didapatkan dari muridnya yang bernama Hamudah Bik ‘Abdah,24
dengan menambahkan dan memperjelas beberapa pembahasan, yang
kemudian diterbitkan dengan edisi yang dalam beberapa hal berbeda
dengan sebelumnya, tentunya disesuaikan dengan audiens dan
pembaca buku ini. Jika ceramah-ceramahnya disampaikan di
Sulthaniyyah pada tahun 1888, maka buku Risalah al-Tauhid
diterbitkan pertama kali pada tahun 1897. Buku ini diterbitkan ketika
Abduh masih hidup, walaupun ketika itu, seperti dikatakan Sedgwick,
buku ini belum banyak menarik perhatian.25 Penerbitan karya ini pada
saat Abduh masih hidup penting untuk ditekankan di sini.
Hal ini berbeda dengan Hasyiyah yang diterbitkan setelah Abduh
meninggal dunia, dan disunting oleh Sulayman Dunya pada tahun
1958. Di samping itu, buku ini sebenarnya ditulis pada tahun 1876
dengan judul al-Ta‘liqat ‘ala Syarh al-Dawani li al-‘Aqa’id al-
‘Adudiyya, dua tahun setelah ia menulis Risalah al-Waridat. Ada juga
yang berpendapat bahwa karya ini bukan milik Abduh akan tetapi
milik Afghani.26 Selain masih diperdebatkan apakah karya ini orisinal
karya Abduh, kedua buku ini juga ditulis ketika Abduh masih kuliah
di Al-Azhar dan masih berumur 25-27 tahun. Ini berarti, ditulis Abduh
ketika masih dalam fase awal karirnya, dan masih belum selesai dari
Al-Azhar. Walaupun ini tidak untuk menafikan kecerdasan Abduh dan
keluasan ilmunya, sejak bergaul dengan al-Afghani pada saat di al-
Azhar.
Jika disebutkan oleh Wirman bahwa Hasyiyah ini lebih kentara
nuansa Sunni-nya dari pada pandangan Mu’tazilah, mungkin benar,

24
Abduh, Risalah al-Tauhid, 3.n. 1.
25
Sedgwick, Muhammad Abduh, 64.
26
Sedgwick, Muhammad Abduh, 12.
110
karena ini masih dalam masa awal ketika masih di al-Azhar, dan juga
alasan lain yang akan didiskusikan terkait penyuntingan karya-karya
Abduh, tapi mungkin juga salah karena di saat itu Abduh sudah
dipermasalahkan oleh al-Azhar, terkait dengan pemikirannya yang
lebih condong ke Mu’tazilah. Sebagaimana diketahui, al-Azhar pada
saat itu—dan hingga saat ini—merupakan institusi pendidikan yang
sangat kental bermazhab Asy’ari. Jika Abduh bermazhab Mu’tazila,
bisa dipastikan ia tidak akan lulus dari al-Azhar. Dalam hal ini,
menarik untuk membaca komentar Rasyid Ridla, yang dicatat
Scharbrodt, ketika mengomentari tentang karya Risalah al-Waridat
bahwa Abduh perlu menambahkan pengakuan berteologi Sunni yang
mengikuti teologi Asy’ari “in order to receive his diploma from the
conservative examiners of al-Azhar.”27 Jadi, Abduh dalam masa-masa
kuliah di al-Azhar harus menunjukkan ke Asy’ariyahannya agar bisa
lulus dari al-Azhar.
Bandingkan dengan Risalah al-Tauhid yang ia tulis dan terbitkan
ketika ia sudah mencapai umur yang lebih dewasa dan matang, setelah
bergaul dengan al-Afghani, keliling Paris, London dan Beirut, lalu
kembali ke Mesir.28 Risalah al-Tauhid, sebagaimana dijelaskan
Sedgwick, ditujukan kepada masyarakat Muslim yang mengenal
bahasa Eropa, belajar filsafat, sains dan sejarah Eropa modern, dan–
yang lebih penting–membutuhkan cara untuk menjadi seorang
Muslim yang progresif dan rasional.29 Jadi, konteks penulisan Risalah
al-Tauhid dan juga peruntukkannya berbeda.
Di dalam Risalah al-Tauhid ini tampak sekali pandangan Abduh
yang rasional dan Mu‘tazili. Dalam karyanya ini, merujuk ke
Sedgwick, Abduh mengatakan bahwa

27
Lihat Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism,” 95
28
Sedgwick, Muhammad Abduh, 70.
29
Sedgwick, Muhammad Abduh, 66.
111
“[A] careful reading of the Qur’an shows that men are
free and equal. Man was liberated by true Islam ‘from the
bonds that tied him to the will of others’ – of rulers and
masters, of those who pretend to represent God – and also
from the illusion that divine power might be inherent in
‘tombs, stones, trees, [or] stars. True Islam asks man to
work according to his abilities, and gives him the fruit of
his labors. It forbids taqlid (strict adherence to
precedent), and encourage the use of reason, giving man
‘independence of will and independence of opinion and
thought.”30

Kutipan tersebut sangat kental pemikiran Mu’tazila, bahwa


perbuatan manusia akan diganjar sesuai dengan perbuatannya (al-
wa‘d wa al-wa‘id), mengutamakan penggunaan akal dan menentang
taqlid.
Dengan demikian, dalam konteks kritikan Wirman bahwa
Nasution telah salah paham memahami Abduh, dengan ini
terbantahkan. Nasution tidak salah memahami Abduh karena ia
merujuk kepada karya asli Abduh yaitu Risalah al-Tauhid yang ditulis
dan diterbitkan pada masa Abduh hidup dan merupakan salah satu
karya puncaknya. Adapun karya Hasyiyah yang digadang-gadang
Wirman untuk membantah kesimpulan Nasution dengan menyatakan
“kesaksian” Hasyiyah terhadap kekeliruan pandangan Nasution,
ternyata masih diperdebatkan apakah merupakan karya asli Abduh
atau al-Afghani. Selain itu, ia ditulis di awal karir Abduh ketika kuliah
di al-Azhar yang sangat didominasi pemikiran Asy’ariyah, dan
diterbitkan setelah Abduh meninggal dunia. Penerbitannya setelah
ketiadaan Abduh dapat meragukan “keaslian” karya Abduh,

30
Sedgwick, Muhammad Abduh, 66-67. Saya merujuk ke kutipan
Sedgwick, karena kutipan tersebut berasal dari Risalah al-Tauhid edisi 1897,
bukan edisi suntingan Ridla tahun 1908.
112
sebagaimana yang akan dibahas berikutnya. Dan terakhir, sebagai
karya yang ditulis di awal karirnya, tentunya Abduh perlu merujuk
kepada Hasyiyah ketika menulis Risalah al-Tauhid, namun ternyata
itu tidak dilakukannya.

Peran Penyunting dalam “Memanipulasi” Karya-Karya Abduh


Kesalahpahaman terhadap karya-karya seorang tokoh, selain
karena kurang memperhatikan konteks karya tersebut ditulis dan juga
audiens yang dituju, juga dikarenakan “dosa” penyunting karya-karya
tersebut. Ada beberapa penyunting yang sengaja mengubah isi teks
dan pandangan seorang penulis suatu karya, terutama apabila
penulisnya sudah meninggal, namun ada juga penyunting yang
berbaik hati memperjelas maksud penulis suatu karya di dalam
catatan-catatan, tapi bukan di dalam teksnya.
Dalam literatur tafsir misalnya, bagaimana karya al-Thabari yang
aslinya berjudul Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an saat ini
menjadi berjudul Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Ay al-Qur’an, hanya karena
bagi sebagian Muslim kata ta’wil saat-saat ini mengandung arti yang
negatif, karena lebih menekankan pada rasio. Demikian pula karya al-
Zamakhsyari yang seorang Mu’tazili namun di dalam Muqaddimah
al-Kasysyaf-nya tertulis Al-Hamdu lillah al-ladzi nazzala l-Qur’an
“menurunkan al-Qur’an” bukan khalaqa l-Qur’an “menciptakan al-
Qur’an” sebagaimana lazimnya doktrin Mu’tazilah.31
Ini mungkin berbeda dengan Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an dan
karya-karya Qutb lainnya, yang memang setiap kali diterbitkan, Qutb
selalu merevisi, mengoreksi dan manambah gagasan dari edisi-edisi

31
Lihat perdebatannya, misalnya dalam Andrew J. Lane, A Traditional
Mu‘tazilite Qur’an Commentary: The Kashshaf of Jar Allah al-Zamakhshari
(d. 538/1144) (Leiden: Brill, 2006) dan idem, “You can’t tell a book by its
author: a Study of Mu‘tazilite Theology in al-Zamakhshari’s (d 538/114)
Kashshaf,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 75, 1
(2012): 47-86.
113
sebelumnya.32 Oleh karena itu, ketika mengkaji pemikiran Qutb, harus
jelas edisi suntingan dan edisi cetakan yang sedang dirujuk: apakah
edisi pertama terbitan Dar al-Ihya Mesir yang masih kentara nuansa
“sekulernya” ataukah edisi belakangan terbitan Dar al-Syuruq Beirut,
yang sudah menunjukkan akidah Islamisnya.
Dalam kasus karya-karya Abduh, pengubahan teks dalam proses
penyuntingan sering terjadi. M. Haddad bahkan menulis artikel yang
berjudul “Les Oeuvres de ‘Abduh: histoire d’une manipulation” dan
“‘Abduh et Ses Lecteurs: pour une histoire critique des ‘lectures’ de
M. ‘Abduh”33 untuk menunjukkan bagaimana sejarah manipulasi
karya-karya Abduh telah dilakukan oleh para penyunting karya
Abduh. Dalam konteks ini, Haddad melihat bahwa Rasyid Ridla
“berjasa besar” memanipulasi karya-karya Abduh. Ridla, misalnya,
mengganti judul Risalat al-Waridat fi Sirr al-Tajalliyyat menjadi
Risalat al-Waridat fi Nazhariyyat al-Mutakallimin wa al-Shufiyya fi
al-Falsafah al-Ilahiyya untuk menunjukkan bahwa dalam buku ini
Abduh hanya mempresentasikan pandangan teologis para teolog dan
sufi tentang filsafat ketuhanan, tanpa mengidentifikasikan diri Abduh
masuk ke dalam kelompok sufi.34 Di tulisannya yang lain, Haddad
menunjukkan bahwa karya Ridla yang berjudul Tarikh al-Ustadz al-
Imam al-Syakh Muhammad ‘Abduh, yang menjelaskan biografi dan

32
Lihat Yusuf Rahman, “Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan
Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’an,” Tsaqafah 7, 1 (April 2011): 69-88.
33
Saya tidak dapat mengakses karya Haddad yang pertama namun
karyanya yang kedua bisa saya akses. M. Haddad, “‘Abduh et Ses Lecteurs:
pour une histoire critique des ‘lectures’ de M. ‘Abduh,” Arabica XLV (1998):
22-9.
34
Haddad mendukung pernyataan ini dengan merujuk kepada edisi
kedua buku Ridla, Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh,
jilid 2 “Fi al-Munsya’at.” Saya tidak bisa mengakses buku ini, karena yang
bisa saya akses adalah edisi pertama, terbitan Mathba‘ah al-Manar, 1324.
Dalam edisi pertama ini hanya berjudul Risalah al-Waridat, walaupun di
dalam teksnya tertulis “wa sammaytuha al-Waridat fi Sirr al-Tajalliyyat,” 9.
Pandangan Haddad tentang manipulasi Ridla ini bisa dilihat di Scharbrodt,
“The Salafiyya and Sufism,” 95.
114
karya-karya Abduh, merupakan karya yang dipenuhi “raisons
politiques …. Pis encore, il enforca son controle ideologique.”35
Peran Ridla perlu diapresiasi, karena melalui Ridla dan Dar al-
Manarnya pandangan dan karya-karya Abduh banyak dikenal dan
dibaca. Akan tetapi pada saat yang sama, Ridla–menggunakan istilah
Haddad–telah memanipulasi sejarah kehidupan dan karya-karya
Abduh. Ridla memperkenalkan dirinya di buku Tarikh al-Ustadz
sebagai siswa Abduh yang paling dekat “le plus proche disciple de
Abduh”. Padahal menurut Haddad, Ridla bergaul dengan Abduh
hanya 8 tahun, sejak Ridla sampai di Mesir tahun 1898 hingga Abduh
meninggal 1905. Sementara teman dan murid Abduh yang paling
dekat adalah Sa‘d Zaglul (1860-1927) yang selalu menemani Abduh
dalam jurnal al-Waqa’i, Abd al-Karim Salman (1849-1918) yang
merupakan teman dekat Abduh sejak kuliah di al-Azhar, Qasim Amin
(1859-1908) yang bertindak sebagai penerjemah ketika berada di
Paris. Mereka inilah, menurut Haddad, teman dekat Abduh dan yang
ditunjuk sebagai panitia untuk menulis biografi tentang Abduh dan
mengumpulkan karya-karyanya, setelah meninggalnya Abduh.36
Nama Ridla tidak tercantum dalam kepanitiaan ini!
Namun karena kesibukan para anggota panitia, akhirnya mereka
tidak dapat melaksanakan penulisan buku dan pengumpulan karya-
karya Abduh. Ini kemudian “diambil-alih” Ridla yang kemudian
menerbitkan Tarikh al-Ustadz al-Imam pada tahun 1931. Haddad
sempat mempertanyakan kenapa diterbitkan tahun 1931 dan tidak
sebelumnya ketika kebanyakan murid dan teman dekat Abduh masih
hidup. Namun karena diterbitkan tahun 1931 kebanyakan mereka
telah meninggal dunia, sehingga mereka tidak bisa memberikan
komentar atau tanggapan terhadap Tarikh al-Ustadz al-Imam yang
ditulis Ridla.37

35
Haddad, “‘Abduh et Ses Lecteurs,” 27.
36
Haddad, “‘Abduh et Ses Lecteurs,” 25.
37
Haddad, “‘Abduh et Ses Lecteurs,” 27.
115
Sebagaimana penulisan karya-karya biografi, beberapa biografi
ditulis menurut subyektifitas dan bahkan ideologi penulisnya.
Demikian juga yang terjadi dengan Tarikh al-Ustadz al-Imam, di
mana pandangan Abduh digambarkan lebih dekat dengan pandangan
Ridla. Sedgwick misalnya mencatat, dalam karya Ridla ini, beberapa
pandangan Abduh tetap muncul, namun dengan penjelasan dan solusi
yang berbeda. Misalnya:
“Muhammad Abduh’s conviction that the abandonment
of true Islam was the cause of Muslim decline remained,
but the nature of that true Islam changed. Rather than a
proponent of reason, Muhammad Abduh became a
restorer of Islamic orthodoxy, an opponent of bida – and
an enthusiast of Ibn Taymiyya.”38

Gambaran tentang Abduh ini diperdebatkan oleh para pengagum


dan pengkaji Abduh, karena tidak sesuai dengan Abduh yang
sebenarnya. Sedgwick telah membandingkan biografi yang ditulis
Ridla dengan biografi yang ditulis oleh Mustafa ‘Abd al-Raziq yang
menekankan pada rasionalisme Abduh, atau biografi yang ditulis
Uthman Amin yang menekankan usaha Abduh “[t]o reform religion,
his summons to free thought from the bonds of tradition.”39 Namun
ternyata, for some reasons, biografi yang ditulis Ridla lebih banyak
diminati dan dirujuk.
Karya Abduh yang berjudul Risalah al-Tauhid yang ditulis dan
diterbitkan pertama kali pada tahun 1897 ketika Abduh masih hidup,
sudah disunting oleh beberapa penyunting. Di antara para penyunting
tersebut, yang saya bisa akses karya-karyanya adalah suntingan

38
Sedgwick, Muhammad Abduh, 123.
39
Sedgwick, Muhammad Abduh, 123-124.
116
Rasyid Ridla, Mahmud Abu Rayyah,40 Thahir al-Thanahi.41 Risalah
al-Tauhid sebagai karya yang monumental, tentunya menarik
beberapa sarjana untuk menyuntingnya. Tapi lagi-lagi, beberapa
sarjana mengingatkan perlunya kehati-hatian ketika membaca karya
Abduh yang telah disunting, terutama oleh Ridla, karena “the editor
removed or toned down Muhammad Abduh’s unusual passages.”42
Perlu ditekankan di sini, bahwa yang mencurigai “kekreatifan”
Ridla bukan hanya sarjana Barat. Sarjana Muslim-pun telah
menunjukkannya. Misalnya Abu Rayyah yang di dalam buku
suntingannya merasa perlu secara tegas menekankan bahwa Risalah
al-Tauhid yang dia sunting adalah berdasarkan pada karya Abduh asli
yang diterbitkan pada masa hidupnya, menyatakan dalam
“Muqaddimah al-Nasyir” bahwa Abduh ketika mengajarkan Risalah
al-Tauhid di al-Azhar biasanya memberikan catatan tangan untuk
koreksian dan perbaikan di dalam bukunya Risalah al-Tauhid, yang
jika dihitung catatan tersebut hingga mencapai 70 poin (sab‘un
mawdli‘). Namun, ketika Ridla mencetak kembali Risalah al-Tauhid
dalam edisi revisi, setelah wafatnya Abduh, dengan memasukkan
beberapa koreksian Abduh, ada “kesalahan fatal” yang dilakukan
Ridla. Abu Rayyah menulis:

“wa fatahu amr muhimm dzalika annahu lam yubayyin


mawadli‘ hadzihi al-tashhihat wa la asyara ila ashliha,
wa ma kanat ‘alayhi fi awwal thab‘atiha qabla an
tamtadda yad al-taghyir ilayha, hatta yu‘lam al-farq

40
Abduh, Risalah al-Tauhid, tahqiq Mahmud Abu Rayyah (Kairo: Dar
al-Ma’arif, cetakan kelima, 1977. Di covernya tertulis “a‘addaha li-al-nasyr
‘ala ashl shuratiha al-kamilah al-lati katabaha al-mu’allif bi-qalamih wa
thubi’at fi hayatih wa darrasaha fi al-Azhar bi-nafsih, wa haqqaqaha wa
qama ‘ala thab‘iha Mahmud Abu Rayyah.”
41
Abduh, Risalah al-Tauhid, taqdim, tahqiq, wa ta‘liq Thahir al-
Thanahi (Kairo: Dar al-Hilal, 1963).
42
Sedgwick, Muhammad Abduh, 64.
117
bayna ma kanat ‘alayh al-risalah fi ashl wadl‘iha wa ma
sharat ilayhi ba‘da tadrisiha – wa hadza amr la budd
minh.”43

Inilah yang disayangkan Abu Rayyah terhadap hasil suntingan


Ridla sehingga susah diketahui mana yang asli dan mana yang hasil
suntingan dan koreksian. Namun yang lebih dikritik Abu Rayyah dari
kesalahan fatal suntingan Ridla adalah “penghapusan” (hazhf)
pembahasan penting tentang “penciptaan al-Qur’an” (khalq al-Qur’an
dari Risalah al-Tauhid.44 Penghapusan ini tentu saja terkait dengan
kecondongan teologis Ridla yang Asy‘ari, namun hasilnya dalam
kajian ini menjadi fatal. Dengan penghapusan ini, susah lagi
ditemukan pandangan Abduh tentang tema ini dalam Risalah al-
Tauhid.
Jika Abu Rayyah menunjukkan ada beberapa hal yang
dihilangkan dalam Risalah al-Tauhid, Thahir al-Thanahi mengoreksi
suntingan Ridla karena memasukkan dua pembahasan (maqalani) di
dalamnya yang sebetulnya bukan bagian dari Risalah al-Tauhid,45
yaitu tentang “Irad Sahl al-Irad” dan “Intisyar al-Islam bi Sur‘ah.”
Belum jelas apa yang menjadi dasar al-Thahani dalam menyatakan
bahwa kedua maqal ini bukan termasuk dalam Risalah al-Tawhid,
namun buku suntingan Abu Rayyah tetap memasukkan kedua
pembahasan ini dalam karya suntingannya. Ini lagi-lagi menunjukkan
perbedaan pendapat para sarjana tentang yang mana karya asli Abduh
setelah melalui proses suntingan Ridla.

43
Abu Rayyah, “Muqaddimat al-Nasyir,” dalam Risalah al-Tauhid, 12.
44
Abu Rayyah, “Muqaddimat al-Nasyir,” dalam Risalah al-Tauhid, 13.
Untuk selanjutnya, Abu Rayyah menganjurkan kepada pembaca untuk
merujuk kepada buku Hasyiyah 184-190, guna mengetahui pandangan
Abduh tentang “khalq al-Qur’an.” Walaupun sebagaimana didiskusikan di
atas, status dari karya ini masih diperdebatkan.
45
Lihat Thahir al-Thanahi, “Taqdim,” dalam Risalah al-Tauhid, 18, dan
juga “Tanbih,” 249.
118
Oleh karena itu, dalam mengkaji Abduh akan lebih baik jika
merujuk ke karyanya yang asli yang terbit pada tahun 1897, dan bisa
dibandingkan dengan edisi dan cetakan yang selanjutnya untuk
melihat perbedaan dan sejarah “manipulasi” karya Abduh. Memang
agak susah untuk mendapatkan Risalah al-Tauhid yang terbit tahun
itu. Paling tidak dalam suntingan Abu Rayyah, yang menyatakan
berdasarkan pada karya asli Abduh, yang didapatkannya dari al-
Sayyid ‘Umar al-Khasysyab, Abu Rayyah berusaha untuk menyunting
Risalah al-Tauhid sebagaimana aslinya dan menunjukkan
penambahan dan koreksian yang dilakukan Abduh dengan tanda
bintang (najmah) di dalam teks dan juga penjelasannya di dalam foot
note.46
Jika ini yang terjadi dengan Risalah al-Tauhid, bagaimana
dengan sumber primer ketiga ketika mengkaji pemikiran teologis
Abduh, yaitu Tafsir al-Manar. Dalam memakai sumber inipun,
sebagaimana yang sudah disampaikan Nasution, kita harus berhati-
hati, karena pandangan Abduh tercampur dengan pandangan Ridla
yang berbeda kecenderungan. Abduh memiliki pemikiran yang
rasional sementara Ridlo tradisional.47 Para peneliti lainpun memiliki
pandangan yang sama tentang Ridla dalam melanjutkan proyek Tafsir
al-Manar, yang telah dimulai Abduh. Sedgwick misalnya
menunjukkan ketradisionalan penafsiran Ridla baik dalam kesimpulan
maupun metode.
“Rida, for example, quotes from the hadith in the normal
way, which Muhammad Abduh rarely did. Rida objected
to Sufism not so much because of the role it seems to
have played in a historical scheme, but because the
activities of Sufis were bida, without sanction in the
earliest texts.”48

46
Lihat Abu Rayyah, “Muqaddimat al-Nasyir,” 14, dan juga dalam
suntingan Risalah al-Tauhid.
47
Nasution, Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, 6.
48
Sedgwick, Muhammad Abduh, 123.
119
Pembahasan dalam bagian ini untuk menunjukkan bagaimana
proses penyuntingan dan penulisan karya-karya Abduh menuntut
kehati-hatian dalam pengkajian, agar tidak salah dalam mengambil
kesimpulan. Hal ini disebabkan karena ada proses pencampuran data,
bahkan penghilangan dan penambahan data. Namun dari ketiga
sumber primer yang didiskusikan di artikel ini, Risalah al-Tawhid
tampaknya lebih dapat dirujuk daripada lainnya. Pertama, karena ia
ditulis dan diterbitkan di fase kedewasaan dan kematangan Abduh
dalam kehidupan karirnya, dan kedua, karena karya tersebut ditulis
sendiri oleh Abduh dan diterbitkan pada masa hidupnya, sehingga –
walaupun ada proses suntingan yang bermasalah -- masih bisa
ditemukan karyanya yang asli, sebagaimana yang diyakini dan
disunting Abu Rayyah. Tentu saja, dalam pembacaan terhadap karya-
karya tersebut masih sangat perlu merujuk dan memperbandingkan
dengan karya-karya lain – with care -- sehingga dapat lebih
memahami secara komprehensif pandangan Abduh.

Penutup
Artikel ini diawali dengan rujukan ke tulisan Wirman yang
menggugat kesimpulan Nasution terhadap pemikiran teologi Abduh.
Bagi Wirman, berdasarkan pada karya Abduh yang berjudul Hasyiyah
Abduh lebih cocok untuk dinisbatkan sebagai seorang Sunni bukan
Mu’tazilah. Artikel ini, setelah mendiskusikan pentingnya
memperhatikan konteks dan audiens suatu karya dan juga proses
penyuntingan karya tersebut, berkesimpulan bahwa Risalah al-
Tauhid, yang lebih layak untuk dijadikan rujukan utama pemikiran
teologi Abduh dan yang belum terkontaminasi oleh manipulasi
penyuntingan, merujuk ke pemikiran rasional Mu’tazilah.
Selanjutnya, sebagaimana yang terjadi pada karya-karya Abduh,
saya melihat pentingnya untuk menjaga dan memelihara warisan dan
karya-karya Nasution. Dalam Acara Syukuran Penganugrahan
Bintang Mahaputera Utama bagi Prof. Harun Nasution pada bulan
120
Agustus 2015, di Gedung Diorama Auditorium Prof. Harun Nasution,
salah satu narasumber (Prof. Zainun Kamal) menyayangkan fenomena
“hilangnya” karya-karya Prof. Nasution dari perpustakaan Fakultas.
Dia juga mengkhawatirkan kasus ini terjadi di perpustakaan fakultas
lain atau bahkan di perpustakaan utama UIN Jakarta. UIN Jakarta
sebagai lembaga akademik yang progresif dan toleran, tentunya harus
tetap menghargai karya-karya yang ada—apapun kecenderungan
mazhabnya—untuk kemudian dapat dikaji secara akademik.
Nasution adalah salah satu “icon” UIN Jakarta. Mungkin saja
karya-karyanya sudah tidak terbit lagi atau dicetak ulang, karena
selama ini diterbitkan Universitas Indonesia Press. Jika itu yang
terjadi, UIN Jakarta Press harus mengambil alih penerbitannya dan
penyuntingannya. Tentu saja, penyuntingan ini tidak sampai
mengaburkan, menghilangkan, dan memanipulasi ide-ide Nasution
yang penting ini.

Bibliografi

Abduh, Muhammad. Risalah al-Tauhid. Disunting Rasyid Ridla.


Kairo: Mathba‘ah Muhammad ‘Ali Shubaih wa Auladih bi al-
Azhar dan dikeluarkan (ashdara) Dar al-Manar, 1956.
--------. Risalah al-Tauhid. Tahqiq Mahmud Abu Rayyah. Kairo: Dar
al-Ma’arif, cetakan kelima, 1977.
--------. Risalah al-Tauhid. Taqdim, tahqiq, wa ta‘liq Thahir al-
Thanahi. Kairo: Dar al-Hilal, 1963.
Al-Azmeh, Aziz. “Islamist Revivalisme and Western
Ideologies.”History Workshop Journal 32 (1991): 44-52.
Bauer, Karen. “‘I Have Seen the People’s Antipathy to this
Knowledge’: The Muslim Exegete and His Audience, 5th/11th-
7th/13th Centuries.” The Islamic Scholarly Tradition: Studies
in History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael
Allan Cook. Ed. Asad Q. Ahmad, Behnam Sadeghi, and
Michael Bonner. Leiden: Brill, 2011, 293-314.
121
Cornell, Vincent J.. “Muhammad ‘Abduh: A Sufi-Inspired
Modernist?.” Dalam Tradition and Modernity: Christian and
Muslim Perspectives. Diedit David Marshall. Georgetown
University Press, 2013, 105-114.
Griffel, Frank. “What Do We Mean By “Salafi”? Connecting
Muhammad Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s
Contemporary Intellectual History.”Die Welt des Islams 55
(2015): 185-220.
Haddad, M. “‘Abduh et Ses Lecteurs: pour une histoire critique des
‘lectures’ de M. ‘Abduh.” Arabica XLV (1998): 22-9.
Hidayatullah.com. “Setelah 40 tahun, Kekeliruan Prof Harun Nasution
Diungkap di Padang.” Sabtu 21 September 2013
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2013/09/2
1-/6468/setelah-40-tahun-kekeliruan-prof-harun-nasution-
diungkap-di-padang.html (diakses 4 November 2015)
Hildebrandt, Thomas. “Waren Gamal Ad-Din al-Afgani und
Muhammad ‘Abduh Neo-Mu‘tazilaten.”Die Welt des Islams
42, 2 (2002): 207-262.
Husaini, Adian. “Catatan Akhir Pekan ke-357: Temuan Penting Dr.
Eka Putra tentang Harun Nasution,” Rabu, 27 Maret 2013 di
http://www.hida-yatullah.com/kolom/catatan-
akhirpekan/read/2013/03/27/134/-temuan-penting-dr-eka-
putra-tentang-harun-nasution.html (diakses 4 No-vember
2015)
Lane, Andrew J. “You can’t tell a book by its author: a Study of
Mu‘tazilite Theology in al-Zamakhshari’s (d 538/114)
Kashshaf.” Bulletin of the School of Oriental and African
Studies 75, 1 (2012): 47-86.
--------. A Traditional Mu‘tazilite Qur’an Commentary: The Kashshaf
of Jar Allah al-Zamakhshari (d. 538/1144). Leiden: Brill,
2006.

122
Martin, Richard C., Mark R. Woodward, dan Dwi S. Atmaja.
Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval
School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld, 1997.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. Jakarta: UI Press, 1987.
Rahman, Yusuf. “Akidah Sayyid Qutb (1906-1966) dan Penafsiran
Sastrawi terhadap al-Qur’an.” Tsaqafah 7, 1 (April 2011): 69-
88.
Ridla, Rasyid. Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad
‘Abduh. Jilid 2 “Fi al-Munsya’at.” Kairo: Mathba‘ah al-
Manar, 1324.
Scharbrodt, Oliver. “The Salafiyya and Sufism: Muhammad ‘Abduh
and His Risalat al-Waridat (Treatise on Mystical
Inspirations).” Bulletin of the School of Oriental and African
Studies 70, 1 (2007): 89-115.
Sedgwick, Mark. Muhammad Abduh. New York: Oneworld
Publications, 2010.
Wirman, Eka Putra. “The Fallacies of Harun Nasution’s Thought of
Theology.” Journal of Indonesian Islam 7, 2 (December
2013): 246-267.

123
124
DARI RISALAH DINIYAH MENUJU RISALAH ILMIAH

Achmad Syahid1

Pendahuluan
Masih terbayang jalannya perkuliahan dengan Prof. Harun
Nasution pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
(kini UIN Surabaya) pada tahun 1997-1998. Kuliah itu tidak seperti
pada umumnya, ada mahasiswa presentasi dan lalu dilanjutkan dengan
diskusi. Kuliah itu lebih banyak diisi dengan tanya jawab, antara kami
mahasiswa Pascasarjana dengan Prof. Harun Nasution, dosen
pemikiran Islam sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Jakarta yang
merangkap sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Surabaya.
Posisi terakhir dirangkap Prof. Harun demi dan atas nama penjaminan
mutu, dengan maksud agar mutu perkuliahan pada Program
Pascasarjana IAIN Surabaya dapat dijamin dan tidak berada di bawah
mutu Program Pascasarjana IAIN Jakarta atau pada PT di belahan
bumi manapun di dunia.
Dialog di seputar masalah pemikiran Islam yang di dalamnya
termasuk teologi, filsafat, tasawuf, tafsir, dan pranata Islam. Dialog
yang terjadi di seputar kegelisahan kami, tentang tercerai berainya
umat Islam ke dalam berbagai varian aliran keislaman (firqah). Firqah
dalam Islam, dalam taraf tertentu, tidak lagi berupa perbedaan
pendapat (al-ikhtilaf) yang membawa rahmat, tetapi di banyak kasus
justru telah berupa perpecahan yang cenderung membawa bencana
kemanusiaan.
Itu adalah pengalaman pertama mengikuti kuliah Prof. Harun,
dan tidak lagi memiliki kesempatan bertemu kembali ketika pada
September 1999 saya menempuh program doktor pada Sekolah
Pascasarjana IAIN Jakarta di Ciputat. Prof. Harun wafat pada 18

1
Murid Prof. Dr. Harun Nasution, dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
125
September 1998, setahun sebelum saya ke Jakarta. Kuliah di Ciputat
ini merupakan amanah Prof. Thoha Hamim dan Prof. Achmad Zaenuri
untuk terus menempuh studi: “IAIN Surabaya ini hanya jembatan saja
buatmu, terus melangkah, lewati jembatan, dan jangan berhenti di
jembatan ini”. Prof. Toha dan Prof. Zaenuri adalah Wakil Direktur
Bidang Akademik dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan
Program Pascasarjana, di mana Prof. Harun menjadi Direkturnya.
Sementara Prof. M Roem Rowi menjabat Wakil Direktur Bidang
Administrasi Umum.
Diskusi di Ciputat menawarkan suasana akademik dan
kompetitif yang baik, membuat semua energi keilmuan dapat dipacu
hingga batas maksimal. Suasana di kampus ini tidak saya temui
sebelumnya. Bertemu dengan kawan-kawan latar belakang etnis,
daerah, latar belakang institusi pendidikan, jenis kelamin membuat
siapa saja yang datang ke Ciputat akan memiliki kematangan jati diri
intelektual mereka. Ragam paham pemikiran dan paham keagamaan
bertemu. Paham yang tadinya dianggap tidak terbantahkan, kini
menjadi terasa nisbi. Perbedaan praktek keagamaan sama-sama
mendapat tempat, tidak saling menegasikan. Begitu rileksnya,
perbedaan shalat tarawih misalnya, menjadi bahan canda. Menemukan
suasana keagamaan dan praktek keagamaan yang tidak menegangkan
kali pertama saya lihat justru dari Abdurrahman Wahid ketika
berkunjung ke Jember dan berceramah di hadapan kyai dan umat pada
1994.
Pada periode saya studi di Ciputat tentu saja tidak bertemu lagi
dengan Prof. Harun, namun bertemu jejak Prof. Harun pada para
murid-muridnya. Mereka adalah Prof. Abdul Aziz Dahlan, Prof. M
Yunan Yusuf, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Abdul Gani Abdullah,
Prof. Atho Mudzhar, Prof. Azyumardi Azra, Prof. A Thib Raya, Prof.
Zainun Kamaluddin Fakih, Prof. Suwito, Prof. M Ridwan Lubis, dll.
Pada fase ini intensitas saya juga bertemu dengan intelektual ternama,
Prof. Komaruddin Hidayat dan Prof. Azyumardi Azra melebihi dari
intensitas saya bertemu yang lain, dan tentu saja bertemu dengan
126
akademisi yang tak pernah lelah selama hidupnya, Prof. Suwito. Yang
istimewa dari kuliah di Ciputat adalah, seakan menjadi wajib bagi
kami mahasiswa Pascasarjana untuk mengikuti pengajian dua
mingguan Klub Kajian Agama (KKA) di bilangan Pindok Indah atau
di Hotel Kuningan, yang diasuh oleh Prof. Nurcholish Madjid. Di
dalam pengajian itu di samping mengundang para pakar-akademisi
atau intelektual, juga menampilkan murid-murid terbaik Prof. Harun,
seperti Prof. R. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Rif’at Syauqi Nawawi,
Prof Kautsar Azhari Noer, dll. Hemat saya, pada saat itulah
pembelajaran tentang Islam dari berbagai aspeknya, dan diletakkan
dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan yang dinamis dan
hidup.Pada forum tersebut kajian Islam dalam bentuknya pada tingkat
lanjut ditampilkan dan hasil-hasil riset keislaman dikontestasikan
dalam sebuah diskusi yang bermutu dan bergizi tinggi. Bagi kami
yang sedang menempuh studi pada jenjang Program Doktor di UIN
Jakarta, diskusi KKA ini sebagai penyempurna. Kawan-kawan
pemburu diskusi KKA, masih ingat benar, adalah Dr. Mastuki HS
(Kemenag Pusat), Dr. Rumadi (UIN Jakarta; KPI), Dr. Syamsul Hadi
(UIN Malang), Dr. Samsun Ni’am (IAIN Ponorogo), Prof. Mitfah
Arifin (IAIN Jember), Dr. Syahrul A’dzam (UIN Jakarta), Dr. Halid
al-Kaf (UIN Jakarta), dll. Masih segar dalam ingatan, antara tahun
1999-2005, kami dari Semanggi II Ciputat, naik bus kota rame-rame
baik ke kompleks Pertokoan Pondok Indah maupun ke Hotel Grand
Melia di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat.
Pertemuan intelektual dengan Prof. Harun di Surabaya,
kemudian Kajian Cak Nur di Jakarta, peran Prof. Azyumardi, Prof.
Komaruddin Hidayat, kawan-kawan di PPIM dan suasana Ciputat
secara umum memperbesar minat perhatian saya yang semula hanya
menekuni bidang pendidikan agama, kemudian bertambah dengan
pemikiran – kalam, tasawuf, filsafat Islam, dan kemudian sejarah.
Sejak saat itu dan hari-hari kemudian perhatian saya tidak lagi fokus
pada pendidikan, bidang yang saya tekuni sejak menempuh
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Situbondo dan sarjana pada
127
IAIN Jember, tetapi masuk pada wilayah pemikiran Islam.Horizon
semakin warna-warni, cakrawala semakin meluas, dan perspektif
semakin bertambah.
Berhadapan dengan Prof Harun, Islam dikaji sebagai disiplin
ilmu. Sebagai orang yang berangkat dari kampung di Banyuwangi,
kemudian ke Situbondo dan lalu ke Jember, berada di Ciputat memang
mengasikkan. Apalagi pada saat itu suasana kampus ini seakan berada
dalam masa transisi yang hendak melakukan transformasi dirinya dari
IAIN menjadi UIN Jakarta. Dalam transisi seperti ini melihat Islam
dibaca sebagai disiplin ilmu seakan mengubah cara saya melihat
agama Islam. Transformasi IAIN menjadi UIN Jakarta adalah
perluasan (enlarging) dan pendalaman (deepening) bagaimana ilmu-
ilmu keagamaan dikaji secara ilmiah, dan sekaligus penyandingan
(benchmarking) studi ilmu-ilmu keagamaan dengan cara studi non
ilmu keagamaan. Berada dalam suasana keilmuan yang meluas
mengikuti transformasi kelembagaan yang berubah, membuat kami
dan civitas akademika UIN Jakarta menjadi terbiasa diskusi tentang
sebuah kasus dan melakukan kajian tentangnya dalam lintas disiplin
ilmu. Jika Hidayat (2016: ix) menulis “salah satu ciri dan tuntutan ilmu
agama yaitu menelusuri dan menghubungkan ke masa lalu agar mata
rantai ajaran agama yang diterima tidak terputus dan terjaga
autentisitasnya dari sumber aslinya yang berada di masa lalu”, maka -
dengan dibukanya ilmu-ilmu non agama seperti humaniora, sosial,
sains, terapan, dan formal di UIN Jakarta – pendapat dan pandangan
yang merupakan hasil kajian ilmu keagamaan tidak diterima begitu
saja sebelum dikontestasikan dengan pendapat dan atau pandangan
lain sebagai ciri berfikir ilmiah.
Meski karakter studi ilmu keagamaan berbeda dengan cara
berfikir sains, namun karakter studi keislaman di UIN Jakarta tidak
lagi monoton. Studi agama tidak lagi melulu bersifat normatif,
deduktif, konservatif, namun telah diadopsi pula pendekatan sains
yang bersifat induktif, empiris, dan bahkan eksperimentatif. Hidayat
(2016: ix) masih dipertahankan studi agama dengan pendekatan
128
konservatif di UIN Jakarta, dalam makna “menjaga tradisi yang ada
jangan sampai berubah, terutama yang berkaitan dengan praktik ritual
dan narasi serta dalil-dalil keagamaan”, bersanding dengan doktrin
falsifikasi dalam sains. Doktrin falsifikasi dalam sains oleh Popper
(1934) begitu populer. Dalam kajian sains ilmiah sudah lazim sebuah
penelitian yang menguji pendapat, pengertian, teori, hukum,dll., tidak
bisa dilakukan secara berulang. Untuk menghindari masalah
konseptual dan filosofis, satu pengertian, teori dan dimensi yang
digunakan sebagai instrumen pengukuran dalam penelitian untuk
menguji adanya pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung,
tentu ada yang terbukti dan tidak terbukti. Teori yang terbukti melalui
sebuah penelitian, berarti teruji kebenarannya. Demikian juga dimensi
dan item dalam dimensi pada teori tersebut. Teori yang gugur karena
tidak terbukti melalui sebuah penelitian, berarti teori tersebut terbukti
tidak memiliki dukungan dalam bentuk data. Gugur berarti terbukti
salah, tidak lagi handal (reliable) dan sahih (valid) untuk dijadikan
landasan teoritik, berikut dimensi dan item-item dalam dimensi
tersebut.
Di hadapan konsep falsifiabilitas Popper, penggunaan instrumen
yang sama secara berulang itu bermasalah secara folosofis dan
konseptual. Doktrin dasar Popper (1934) adalah “dalam setiap teori,
harus mengidap di dalam dirinya terbuka untuk dapat difalsifikasi,
untuk disalahkan.” Jika teori terbukti salah, dalam hal ini tidak terbukti
dalam sebuah penelitian ilmiah, maka teori tersebut gugur. Jika hanya
salah satu butir dalam dimensi atau salah satu dimensi dalam
instrumen teori yang gugur, maka—menurut Popper—butir dan
dimensi tersebut tidak lagi sahih dan kredibel untuk dipergunakan
dalam penelitian selanjutnya. Jika keseluruhan dimensi teori tersebut
tidak terbukti, maka gugur teori tersebut. Memang ada falsifikasi ad
hoc yang berbeda dengan falsifikasi absolut, yang berpendapat bahwa
jika hanya butir atau dimensi tidak terbukti dalam penelitian, maka
hanya butir dan dimensi itu saja yang harus direvisi, sehingga teorinya
tetap bertahan. Falsifikasi sophistikit berpendapat sebaliknya, butir
129
instrumen dalam dimensi, apalagi dimensi dalam teori, adalah
mewakili keseluruhan konstruksi teori tersebut. Jika satu butir, sekali-
lagi, atau dimensi teori gugur, terfalsifikasi keseluruhan teori tersebut.
Kembali kepada warna kajian ilmu-ilmu keagamaan, warna
pengaruh Prof. Harun tampak dalam hal membuka mata intelektual
mahasiswanya dalam memahami secara ilmiah atas kekayaan warisan
intelektual Islam yang kaya di berbagai macam disiplin ilmu
keislaman. Mahasiswa memiliki alternatif pemahaman keislaman
yang tidak lagi doktriner dan tetapi juga tidak mudah terjebak pada
sikap eksklusif memilih salah satu madzhab pemikiran yang ada. Prof.
Harun kembali dari studi di luar negeri pada 1969, termasuk generasi
pertama dosen perguruan tinggi agama studi ke Barat. Bagi sementara
pihak yang studi lanjut di berbagai perguruan tinggi luar negeri,
khususnya Barat, seperti Prof. Atho Mudzhar, Prof Komar, Prof. Din
Syamsuddin, Prof. Azra, Prof. Bahtiar, dan mereka generasi yang
lebih muda di Ciputat, kuliah-kuliah Prof. Harun di Ciputat seakan
berperan memberi bekal keyakinan, pemahaman,dan persiapan mental
yang cukup akan ajaran Islam, sehingga mereka tidak kaget pada saat
mereka bersentuhan dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda,
bahkan memperoleh ilmu dari guru besar bidang ilmu keislaman
namun beragama bukan Muslim. Dari proses ini, lahirlah kemudian
para ahli keislaman dengan hasil-hasil kajian keislaman yang lebih
bervariasi dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu lain,
sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, politik, filsafat, dll. Dilihat
dari cara berfikir, buku bacaan serta bagaimana mereka mengajar,
pada umumnya, mereka tidak lagi membahas isi materinya, tetapi
lebih pada metodologinya (Mudzhar, 2016: 16). Sumber yang
dijadikan rujukan menjadi penting dalam sebuah diskusi bermutu,
sebab pada titik itulah otoritatif tidaknya sebuah pernyataan dalam
tulisan tergantung pada bukti dokumen yang menjadi rujukannya.
Dengan belajar seperti ini, membuat mahasiswa tidak lagi
menghafalkan bagaimana isinya, tetapi berbicara tentang dari mana
sumber dan bagaimana membangun argumen berdasarkan sumber itu
130
sehingga isi buku itu disusun untuk tujuan yang mencerahkan
pembacanya.

Generasi Baru
Prof Azyumardi Azra (dalam Fathurrahman, 2007) senantiasa
menyebut bahwa transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta
merupakan gagasan Prof. Harun. Meskipun ungkapan ini sebenarnya
keluar lebih merupakan tanda hormat dan kesantunan Prof. Azra
kepada Prof. Harun, namun jauh sebelum transformasi kelembagaan
terjadi pada 2002, disebut bahwa Prof. Harun telah menyiapkan
lahirnya generasi baru dosen pada universitas ini. Dosen generasi baru
itu tidak lagi melulu melanjutkan studi di berbagai universitas terbaik
di Timur Tengah, tetapi ke berbagai perguruan tinggi terbaik di
Australia, Kanada, Amerika, Eropa, dll. Dosen generasi baru itu
umumnya lulusan pesantren, atau lahir dari kalangan santri, orang
tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll.,
dari keluarga sederhana, yang tidak terbersit dalam benak mereka akan
menempuh studi di luar negeri. Peta mahasiswa IAIN Jakarta pada
saat Prof. Harun memimpin dan mewarnai UIN Jakarta dalam konteks
pemikiran dan pandangan keilmuan, juga merupakan putera-puteri
aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll. Pada 2013,
sekitar 10 tahun setelah melakukan transformasi menjadi UIN Jakarta,
peta mahasiswa UIN Jakarta sudah bergeser, kebanyakan berasal dari
kelas menengah Muslim perkotaan. Mereka yang mengaku bahwa
orang tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar,
dll., semakin mengecil (Syahid, dkk., 2013).
Ini adalah peta baru mahasiswa UIN Jakarta, dan itu juga segmen
yang harus dihadapi oleh dosen UIN Jakarta dalam hal mereka
menanamkan nilai, pengetahuan dan keterampilan. Tentang kaum
menengah Muslim perkotaan, Hasan (2016: 185-215) menulis bahwa
mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama. Mereka
menghendaki agama yang disajikan dengan dialogis, rasional,
eksplanatif, argumen yang multi perspektif, inklusif, dll. Klinken
131
(2016: 36, 40) menulis bahwa konservatisme agama yang menjangkiti
kaum kelas menengah di kota-kota tingkat menengah, justru tidak
terjadi pada kaum petani yang mulai tersingkir lantaran lahan
pertaniannya mulai tergerus oleh industrialisasi seperti Cilegon dan
tidak juga pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta.
Ciputat yang berkembang menjadi sub urban penyangga kota besar
Jakarta, tempat di mana UIN Jakarta berada, menyaksikan
kebangkitan iman takwa dan menggejalanya sufisme perkotaan pada
kaum yang disebut terakhir ini. Kelas menengah ini datang dari
berbagai kalangan, umur, latar pendidikan, profesi, keilmuan, dll.,
mengalami gairah keislaman. Mereka sadar politik, menerima
domokrasi, perhatian pada isu-isu sosial kemanusiaan pada level
nasional dan internasional, meskipun mereka menikmati demokrasi,
jaringan patronase, dan ketrampilan politik mereka untuk kepentingan
mereka sendiri, bukan keuntungan kaum elit ataupun kelas miskin di
bawah.
Lahirnya dosen ahli Islam dengan generasi baru, yang tidak bisa
dipungkiri bahwa mereka memiliki pemahaman yang otoritatif dan
baik tentang Islam, dan kini pemahaman keislaman mereka itu sudah
diperluas karena dilengkapi dengan keahlian pada bidang ilmu yang
lain. Pada dosen generasi baru ini Prof. Harun memberi contoh bukan
hanya melalui kuliah dan ceramah ilmiah, yang menurut Prof. Atho’
Mudzhar (2016: 6) “sangat disiplin dalam waktu, berpandangan luas,
menyukai pertanyaan-pertanyaan kritis dari mahasiswa”, tetapi juga
melalui berbagai karyanya. Kita bias melihat sikap kritis dan rasional
juga tampak ketika kita membaca karya-karya Prof. Harun.
Karya menarik yang berjudul Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan yang diterbitkan pada 1972.
Sejatinya karya ini merupakan kompilasi dari makalah-makalah yang
disajikan di berbagai tempat termasuk juga kuliah-kuliah tentang
Aliran-Aliran Modern dalam Islam.Tema aliran modern dalam Islam,
yang kemudian bagi orang perguruan tinggi agama Islam akrab
ditelinga dengan nama “AMDI”. Buku ini mengupas pemikiran dan
132
gerakan pembaruan dalam Islam di tiga Negara Islam, yang muncul
pada periode dalam Islam. Pembaruan di Mesir mengupas sejarah
pendudukan Napoleon dan kemudian memicu pembaharuan di Mesir,
tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, kemudian
mengupas para murid dan pengikut Muhammad Abduh. Pembahasan
tentang pembaharuan di Turki dibahas sejak sejarah Sultan Mahmud
II, rezim Tanzimat, peran Usmani Muda, juga Turki Muda, tiga aliran
pembaharun di Turki dalam menempatkan isu Islam, Nasionalisme,
dan peran Mustafa Kemal Attaturk. Sementara pembaharuan Islam di
India-Pakistan mengupas pola Gerakan Mujahidin, figur Sayyid
Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal,
Muhammad Ali Jinnah dan lahirnya negara Pakistan, Abul Kalam
Azad, dan pergulatan nasionalisme di India.
Karya Prof. Harun lain yang juga mencerahkan berjudul Filsafat
Agama yang terbit pada 1973. Pada buku ini Prof. Harun mengupas
posisi epistemologi dan wahyu, epistemologi ketuhanan, argumen-
argumen rasional adanya Tuhan, pemaparan tentang ruh, serta diskusi
klasik tentang kejahatan dan bagaimana kemutlakan Tuhan dijelaskan.
Bagi dosen dan penulis buku, sikap kritis dan rasional yang
ditunjukkannya mendorong mahasiswa dan pembaca berfikir dengan
nalar kritis juga dan sekaligus memberi stimulasi kepada mereka
untuk belajar lebih lanjut. Obsesi keilmuan mahasiswa dan para
pembaca juga terlahir dari sana.
Pada tahun yang sama, 1973, Prof. Harun menerbitkan karya
Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Buku ini sebenarnya merupakan
kumpulan ceramah Prof. Harun di IKIP Jakarta (kini UNJ). Meskipun
demikian, Prof. Atho’ (2016), memberi kesaksian bahwa Prof. Harun
pernah memberi kuliah dengan judul yang sama di UIN Jakarta.
Bagian pertama buku ini membahas tentang filsafat Islam, sementara
bagian kedua mengupas mistisisme Islam atau dikenal dengan
tasawuf. Dalam bagian filsafat Islam diuraikan bagaimana kontak
pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga
133
falsafat Yunani yang sebagai dampaknya kemudian memicu lahirnya
para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-
Ghazali, Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibn Rusyd, dll. Sementara pada
bagian mistisisme Islam Prof. Harun menguraikan bagaimana
kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai bagian dari upaya seorang
hamba (salik) secara spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan.
Satu tahun kemudian terbit karya Prof. Harun yang berjudul
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang terbit pada 1974. Buku
ini merupakan buku pertama bagaimana studi terhadap Islam ditulis
dalam sebuah buku dan kemudian mengilhami terbitnya sebuah mata
kuliah dengan judul Dirasah Islamiyah, yang diajarkan secara massif
di seluruh perguruan tinggi agama Islam. Mata kuliah Dirasah
Islamiyah I hingga III yang di dalamnya tidak lagi berbicara tentang
Islam secara ideologis, tetapi memaparkan Islam dari segi doktrin dan
peradaban yang ditimbulkannya, sekaligus pranata yang lahir
karenanya. Mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa
Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh Indonesia pada periode
1993-1997. Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam,
Departemen Agama RI, saat itu adalah Prof. M Atho Mudzhar (1994-
1996). Menteri Agama RI, H Munawir Sjadzali (19 Maret 1983-21
Maret 1993) dan juga Tarmizi Taher (17 Maret 1993-16 Maret 1998),
juga mendukungnya. Bahkan mantan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H.
A. Mukti Ali (11 September 1971-28 Maret 1973) mendukung upaya
Harun, meski kelompok kritis terhadap Prof. Harun menyebut
pemikiran ini sebagai “virus”.
Demikian juga karya Prof. Harun yang berjudul Teologi Islam:
Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan yang terbit pada
1977. Pada buku ini diuraikan tentang aliran dan golongan-golongan
teologi, baik yang masih hidup dan memperoleh penganut hingga kini
tetapi juga yang pernah ada dalam sejarah Islam. Seperti Khawarij,
Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahlal-Sunnah wa al-
Jama’ah. Setelah sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran dari
masing-masing aliran (firqah) itu diuraikan, lalu Prof. Harun
134
memberikan analisa perbandingan dari aliran-aliran tersebut, sehingga
pembaca dapat mengenali mana di antara aliran tersebut yang bersifat
liberal, dan mana saja aliran yang bersifat tradisional.
Demikian juga karyanya Akal dan Wahyu dalam Islam yang
terbit pada 1980 juga merupakan isu besar klasik yang senantiasa
menarik dikupas. Sejak filosof Muslim pertama, al-Kindi, masalah ini
telah dibahas untuk dilihat tekanannya dan dicari di mana letak
titiktemu atau perbedaan antar keduanya. Karya Prof. Harun yang
berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah yang
terbit pada 1987 menjadi penting untuk melihat bagaimana posisi
Abduh dalam pemikirannya sebagai seorang pemikir yang lebih
cenderung kepada ilmu pengetahuan. Buku ini, sebagaimana semua
pihak tahu, sejatinya merupakan edisi bahasa Indonesia disertasi Ph.D.
Prof. Harun di McGill University, Montreal, Kanada, yang berjudul
The Place of Reason in Abduh’s Theology: It’s Impact on his
Theological System and Views, pada Maret 1968. Seperti tampak pada
judulnya, pada buku ini pertama-tama mengulas biografi Muhammad
Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan
manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep
Iman. Pemikiran teologis Muhammad Abduh dikupas dalam buku ini
untuk dikuak dan kemudian dibandingkan dengan pemikiran
Mu’tazilah. Prof. Harun dalam buku ini menyimpulkan, bahwa
pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan
teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam hal penggunaan kekuatan akal
pikiran, Muhammad Abduh dipandang melebihi pemikiran rasional
Mu’tazilah. Kesimpulan ini yang dikemudian dibantah oleh Dr. Eka
Putra Wirman dalam “Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran
Harun Nasution”. Dr. Eka Putra Wirman kini menjabat sebagai
Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (2015-2019).
Buku Islam Rasional yang terbit pada 1995 juga tidak kalah
mencerdaskan. Saiful Mujani menulis bahwa pada buku ini merekam
hampir seluruh pemikiran Prof. Harun sejak 1970 hingga 1994. Prof.
Harun melihat sudah mendesak tuntutan modernisasi umat Islam,
135
yang antara lain, dapat dengan meminjam pandangan rasional dari
teologi Mu’tazilah. Selain buku di atas, penting dibaca buku Aqib
Suminto et.al., yang berjudul Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam:
70 Tahun Harun Nasution yang diterbitkan pada 1989.

Risalah Ilmiah
Apa yang diajarkan Prof. Harun adalah menambahkan di dalam
pikiran kita dalam memandang doktrin dan ajaran agama dengan
rasional, kritis dan interpretatif untuk mendapatkan hasil bacaan yang
cermat. Ini yang dikenal dengan risalah ilmiah. Dari segi karakternya,
tentu tidak sama dengan risalah diniyah (risalah keagamaan) yang
tujuannya memang untuk meningkatkan pemahaman, membangun
soliditas-solidaritas umat, memperkuat takwa dan mempertebal
keimanan. Untuk perguruan tinggi, kajian keislaman yang diperlukan
tidaklah sebatas risalah diniyah itu, tetapi merupakan bagian dari
proses panjang mencari kebenaran dengan senantiasa menguji dan
menguji kembali berbagai pendapat dan pandangan yang ada. Pada
perguruan tinggi ditekankan pada kontestasi gagasan, membuat
pribadi menjadi kosmopolit, berpikiran terbuka, dan ruang-ruang
kelas disiapkan untuk menghirup oksigen ilmiah sehingga akademisi
hidup dalam tradisi intelektual.
Sekali lagi inilah risalah ilmiah. Sebuah karya ilmiah, mengikuti
kaidah-kaidah metode ilmiah. Sebenarnya metode ilmiah tidak lah
canggih dan rumit, tetapi, tulis Carey (2016) sebagai sebuah proses
sederhana namun fundamental untuk menguji setiap gagasan,
pandangan baru. Mengikuti Carey, yang ditekankan pada ilmu yang
ilmiah adalah bukan pada “apa”, tetapi pada “mengapa” dan
“bagaimana”. Bukan pada metafisika dan ontologi, tetapi pada
epistemologi. Hal ini sebenarnya merupakan tipikal metode
pemecahan masalah yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, tidak meleset jika Popper (1972, 1983) menyebut
sebagai epistemologi pemecahan masalah. Ilmuwan bekerja dengan
menghadapi masalah untuk dipecahkan atau dicarikan penjelasannya,
136
dan cara kerja ini seperti menghadapi error elimination terus-menerus.
Metode ilmiah pun menggunakan instrumen sederhana seperti
observasi, eksplanasi, dan eksperimentasi untuk mencari penjelasan
dan menerangkan adanya hubungan kausal dari apa yang kita tangkap
dengan panca indera dalam hidup sehari-hari dan sedetik kemudian
merangsang pemikiran kita. Dengan sifatnya yang sedemikian
menekankan pada temuan baru, unsur pembeda karya yang ilmiah
dengan karya non-ilmiah adalah jika temuan baru dalam karya ilmiah
itu direview oleh mereka yang menekuni bidang tersebut (peer review)
dengan sangat teliti dan hati-hati. Jurnal ilmiah dan penerbitan yang
memiliki reputasi tinggi di dunia internasional memiliki kepedulian
dan perhatian yang mendalam terhadap masalah ini. Unsur kebaruan
temuan, sumber rujukan, dan proses interpretasi akan ditelaah secara
ketat, sehingga kerapkali footnote menjadi penting artinya sebagai
bagian dari keseluruhan mutu argumen dalam tulisan. Catatan kaki
tidaklah semata-mata berarti keterangan dari mana keseluruhan
argumen dalam tulisan dikutip, tetapi lebih penting lagi adalah apakah
bangunan pemikiran dalam tulisan itu didukung oleh dasar yang valid
dan dipertanggung jawabkan.
Ciri khas risalah ilmiah menurut Popper adalah justru pada
posisinya dia dapat dibuktikan salah (it can be falsified), bukan pada
keharusan untuk selalu diposisikan benar. Menyediakan diri untuk
dibuktikan salah merupakan cerminan sikap terbuka, kebenaran ilmu
adalah nisbi, dan sekaligus kerendahan hati, yang memacu pihak lain
untuk menemukan hal baru yang lebih benar. Sebaliknya, sikap
keharusan untuk selalu diposisikan benar adalah cerminan sikap
sempurna, kebenaran mutlak, dan cenderung menutup perdebatan dan
penyelidikan untuk menemukan hal yang baru. Pandangan ini
dikemukakan Popper (1959) yang sekaligus sebagai pihak yang
menggunakan kata “ilmiah” untuk kali pertama. Kata itu digunakan
untuk mengkritik demarkasi yang dibuat oleh Lingkaran Wina (The
Viena Circle) yang memisahkan antara pernyataan yang bermakna
(meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless). Popper menulis,
137
istilah ini lemah, mengingat dapat saja sebuah pernyataan itu tidak
ilmiah, namun meaningfull, seperti kata-kata mutiara.
Kritik Popper terhadap dikotomi Lingkaran Wina, meaningfull
dan tidak meaningfull relevan dalam konteks tulisan ini, untuk
menjelaskan antara risalah diniyyah dan risalah ilmiah. Pada kategori
yang disebut terakhir, yang ditekankan adalah metodologi berfikir,
kategorisasi berfikir, dan falsifikasi untuk perkembangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada apakah pernyataan itu dapat
diverifikasi dan dibuktikan salahnya, tidak justru dipertahankan untuk
selalu harus benar. Menurut jenis dan sifatnya, kajian keislaman
masuk kategori ilmu pengetahuan yang lunak (soft) bersama sosiologi,
antropologi, politik, psikologi, dll., yang berbeda dengan fisika,
biologi, kimia, teknik, dll., yang dikelompokkan menjadi sains keras
(hard). Perlu kerja-kerja keilmuan secara tumakninah untuk
membangun dan mengembangkan lebih lanjut kajian ilmu-ilmu
keislaman pada perguruan tinggi keagamaan sehingga memiliki kadar
ilmiah yang tinggi.
Dalam risalah ilmiah sarat dengan penggunaan logika yang
bervariasi. Garnham dan Oakhill (2003) menyebut jenis-jenis logika
tersebut antara lain, deduksi sebagai sebuah proses pengambilan
keputusan spesifik dengan mendasarkan diri pada hal-hal yang bersifat
umum. Lawannya adalah induksi. Lalu ada sillogisme hipotesis yang
umumnya dalam sebuah disain penelitian disebut dengan model-based
theories. Ada juga pengujian hepotesis, baik nihil maupun alternatif,
yang dikenal dengan hypotheis testing. Dalam penelitian kuantitatif
popular dengan pengujian dengan mendasarkan diri pada data statistik
(statistical reasoning). Umumnya dalam bidang manajemen,
organisasi, marketing, leadership, dll., dihadapkan pada decision
making. Dalam ilmu terapan akan akrab dengan logika jenis problem
solving. Bahkan pada kehidupan modern dikenalkan game playing
and expertise, yang menuntut keahlian dan ketrampilan tertentu dalam
permainan. Logika juga inheren dengan creativity. Menurut sifat dan
jenisnya, kreativitas itu muncul dalam bentuk perilaku yang mampu
138
menggunakan cara, gaya, dan pola baru yang inovatif untuk
mewujudkan apa yang dibayangkan dalam pikiran menjadi kenyataan.
Bahkan, penalaran dalam hidup sehari-hari (everyday reasoning) yang
tak kita sadari, yang kelihatan sepele dan rutin.
Dalam sebuah buku yang sangat menarik, Critical Thinking in
Psychology, Ruscio (2006: 6-10) mendaftar sepuluh karakteristik yang
menjadi indikator sebuah sains, yang tampak luarnya sebagai sains,
namun mengidap potensi untuk disebut sebagai sains yang semu
(pseudo-science). Kesepuluh karakteristik tersebut adalah:
Pertama, outward appearance of science: pseudo-science boleh
jadi menggunakan bahasa yang seakan-seakan ilmiah, tetapi bahasa
yang ia gunakan tidak ada isinya yang bersifat subtansial. Bahasa atau
jargon yang biasa digunakan para ilmuwan, biasanya hanya digunakan
sebagai alat komunikasi di antara para ahli. Pseudo-science
menggunakan bahasa-bahasa yang glamour dalam menjelaskan
sesuatu. Perbedaan antara sains dengan pseudo-science, misalnya,
terlihat pada bagaimana ahli fisika menjelaskan dengan jernih
pengertian dari energi.
Kedua, absence of skeptical peer review: karya pseudo-science
tidak seperti sains dipublikasikan melalui jurnal, konferensi, seminar,
dll., demi untuk memperoleh koreksi, komentar, dan mekanisme
mengecek kesalahan, sementara pseudo-science disebarluaskan
melalui penuturan lisan secara turun temurun;
Ketiga, reliance on personal experience. Yakni, sains senantiasa
didasarkan pada penelitian empiris yang sistematis. Ini berarti bahwa
ilmuwan melakukan kontrol yang ketat terhadap kajian atau penelitian
yang bertujuan mengetes hipotesis atau proposisi yang
dikemukakannya. Pseudo-science tidak melakukan itu.
Keempat, evassion of risky tests: sains dibangun dengan berbagai
hipotesis dan proposisi, yang sekali tidak terbukti akan gugur
selamanya. Karena itu, penelitian dan kajian selalu merupakan tes
yang penuh resiko.

139
Kelima, retreats to the supernatural: sains berisi metode untuk
menyingkap prinsip-prinsip dalam alam semesta, agar hasil
observasinya valid secara ilmiah.
Keenam, the mantra of holism: tugas utama ilmuwan adalah
mengurai apa inti perbedaan antara peristiwa, gejala, atau fakta yang
tampaknya saling berhimpitan untuk memperkaya teori. Misalnya,
mengidentifikasi partikel sub-atom, unsur-unsur chemical, penyakit
badan, gangguan mental, dll.
Ketujuh, tolerance of inconsistencies: ilmuwan mendeskripsikan
masalah dengan prinsip-prinsip logika formal, pseudo-sains tidak
demikian.
Kedelapan, appeals to authorithy: sains selalu berdasarkan data
empiris, agar setiap orang dapat membaca dan mengkritisi secara
terbuka tahap-tahap penelitian empiris dan kesimpulan penelitian
ilmiah.
Kesembilan, Promising the impossible: sains sangat
menghormati keterbatasan ilmu pengetahuan dan kapabilitas
teknologi dewasa ini.
Kesepuluh, stagnation: perkembangan sains sangat cepat,
sementara penjelasan terhadap pseudo-science mandeg begitu adanya.
Agar tidak terjebak pada pseudo-science, maka solusi yang
ditawarkan Ruscio adalah berfikir secara kritis (thinking critically).
Yang dimaksud dengan berfikir secara kritis oleh Ruscio adalah
serangkaian kemampuan seseorang yang membebaskan seseorang,
terutama pada saat seseorang tersebut berfikir, sehingga hasil
pemikirannya membebaskan namun terlihat sangat hati-hati. Berfikir
kritis membuat diri sendiri puas dan nyaman dengan keputusan yang
diambilnya. Berfikir kritis tidak mengarahkan pada “apa” yang harus
dipercayai, tetapi pada bagaimana mereka sampai pada pilihan-pilihan
yang benar, yang sangat sesuai dengan nilai yang dipeganginya.
Salah satu gambaran tentang risalah ilmiah yang dimaksud dapat
dilihat pada karya-karya Prof. Harun sendiri sebagaimana telah
disinggung di atas. Sebagai risalah ilmiah, tentu memiliki resiko, suatu
140
saat teori atau pendapatnya dapat dibantah dan disanggah. Jika
sanggahan itu benar, maka berlaku apa yang disebut Popper (1985),
terfalsifikasi. Pendapat dan teori itu tidak berlaku lagi.Sudah
terbantah. Salah satu contoh kasus falsifikasi adalah Prof. Harun
dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Harun
Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abdul adalah penganut
teologi Mu’tazilah yang dibantah Dr Eka sebagai telah disinggung di
atas. Dr Eka menyebut judul bukunya sebagai restorasi teologi,
sebagai bagian dari pelurusan pendapat Prof. Harun yang juga
didasarkan pada kitab Hasyiah‘ala Syarh al-Dawwani li al-‘Aqaid al-
Dhudhiyyah karya Muhammad Abduh.
Tulisan ini tidak bermaksud masuk pada masalah benar atau
tidak bantahan Dr. Eka, namun ini tradisi baru dalam ilmu sosial dan
keagamaan terjadi. Bantahan Dr. Eka pada Prof. Harun bukan yang
pertama, bantahan dan bahkan cenderung sengit juga dilancarkan oleh
Prof. M Rasjidi, dengan menulis buku: Koreksi Terhadap Dr. Harun
Nasution tentang 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Dalam
konteks ilmiah, sebagai dikemukakan Popper di atas, bahwa
sanggahan itu baik untuk perkembangan dan temuan baru ilmu
pengetahuan. Meskipun demikian, bantahan dalam dunia ilmu
lazimnya nihil salah paham. Apakah ada salah paham terhadap Prof.
Harun? Ada, salah satu dari salah paham itu adalah ada sebagian
kalangan yang mengira karena Prof Harun menulis Islam rasional,
maka ia orang sangat rasional dalam pengertian tanpa batas. Karena
Prof. Harun menekankan kebebasan berfikir dalam konteks studi ilmu
agama, maka sebagian pihak salah paham, dengan menyebut Prof.
Harun dengan liberal. Sebagai ilmuwan Prof. Harun memang harus
rasional, mengabaikan aspek emosionalitas; sebagai seorang pemikir
Prof. Harun haruslah seorang tidak terkekang nalarnya. Sebagai
akademisi professional dan ilmuwan par excellence, Prof. Harun dapat
menjelaskan—misalnya, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Mu’tazilah,
Ahl al-Sunah wa al-Jamaah—dengan amat sempurna seakan-akan
Prof. Harun adalah orang dalam aliran firqah itu sendiri. Pada sudut
141
ini Prof. Harun disalahpahami banyak pihak yang menuduhnya
sebagai penganut dan pemuja Mu’tazilah sekaligus. Para murid dan
koleganya menyaksikan bahwa sebagai seorang Muslim, Prof. Harun
adalah seorang Muslim yang taat, selalu hadir pada shalat Jum’at di
awal waktu, dan bahkan—ini tidak banyak yang tahu—Prof. Harun
adalah pengamal tarekat Abah Anom Suryalaya yang tekun. Orang
lupa, Prof. Harun adalah pribadi kosmopolit khas Ciputat, putera
Pematang Siantar, Sumatera Utara, membangun karir keilmuannya
dari bawah HIS (Hollandsche Indlansche School), lalu masuk MIK
(Moderne Islamietische Kweekscool), kemudian mengelana bertemu
dengan peradaban keilmuan Islam di Timur Tengah sejak tingkat
menengah (Al-Azhar) dan Sarjana Muda (American University of
Cairo), dan tersempurnakan watak keilmuannya dalam didikan Barat
(McGill Umiversity, Montreal, Kanada).

Referensi

Carey, Stephen S., (2015), Kaidah-Kaidah Metode Ilmiah: Panduan


untuk Penelitian dan Critical Thinking. Bandung:
Nusamedia
Fathurrahman, Oman, (2007), “Prof. Dr. Azyumardi Azra:
Mengantarkan UIN Jakarta menjadi Universitas Berkelas
Dunia dan Universitas Riset”, Hamid Nasuhi (ed.), Dari
Ciputat, Cairo hingga Columbia. Jakarta: UIN Jakarta
Press.
Garnham, Alandan Oakhill, Jane, (2003), Thinking and Reasoning.
London: University of Sussex
Hasan, Noorhaidi (2016), “Islam di Kota-Kota Menengah Indonesia:
Kelas Menengah, Gaya Hidup, dan Demokrasi”, van
Klinken, Gerry dan Ward Berenschot, Ed., (2016), In Search
of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota

142
Mengenah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan
KITLV Jakarta.
Hidayat, Komaruddin, (2016), Dari Pesantren Untuk Dunia: Kisah-
Kisah Inspiratif Kaum Santri. Jakarta: PPIM UIN Jakarta –
Prenadamedia Group
van Klinken, Gerry dan Ward Berenschot, (Ed.) (2016), In Search of
Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota
Mengenah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan
KITLV Jakarta.
Nasution, Harun (1972), Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah
Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press
--------, (1973), Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
--------, (1973), Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
--------,(1975), Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta: UI Press.
--------, (1981), Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press
--------, (1985), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I-III.
Jakarta: UI Press
--------, (1987), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah.
Jakarta: UI Press
Mujani, Saiful (ed.), (1995), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan
Popper, Karl Raimund, (1959), The Logic of Scientific Discovery.
New York: Basic Books
--------, (1972), Objective Knowledge. Oxford UK: Oxford University
Press.
--------, (1983), Realism and The Aims of Science. London: Routledge.
Rasjidi, M., Koreksi Terhadap Dr. HarunNasution tentang 'Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang.
Ruscio, John(2006), Critical Thinking in Psychology: Separating
Sense from Nonsense.Brisbane. Wadsworth Engage
Learning
143
Suminto, Aqib Suminto et.al., (1989), Refleksi Pembaharuan
Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta:
LSAF
Syahid, Achmad, et.al. (2013), Faktor-Faktor Psikologis Perilaku
Radikalisme Mahasiswa Muslim: Studi Kasus Mahasiswa
UIN Jakarta. Jakarta: Penelitian UIN Jakarta.
Wirman, Eka Putra, (2013), Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran
Harun Nasution. Bandung: Nuansa Aulia

144
PAK HARUN, GURU DAN PEMBIMBINGKU

Amsal Bakhtiar

Ketika saya diminta menulis tentang sosok Prof. Dr. Harun


Nasution oleh Prof Suwito, saya bertanya kepada diri saya, apakah
yang akan saya tulis sama dengan apa yang ditulis oleh para
mahasiswa Pak Harun (panggilan akrab beliau). Kalau sama untuk apa
saya menulis lagi dan kalau berbeda apa kira-kira yang membedakan
tulisan saya dengan yang lain. Sebab, mencari perbedaan dalam
menulis sosok yang sama secara pengalaman dan sama menjadi
mahasiswa beliau adalah suatu yang sulit. Pertanyaan ini menjadikan
saya tidak kunjung menulis tentang apa yang diminta Prof. Suwito,
sampai saya dapat “surat cinta” (maksudnya sms dari Pak Wito) untuk
ketiga kalinya (seperti dapat surat cinta waktu kuliah dulu dari Pak
Harun kalau tidak masuk tanpa pemberitahuan atau terlambat menulis
disertasi), yang menyebutkan bahwa dead line tulisan sampai akhir
Maret 2016. Pada jawaban surat Prof. Suwito yang terakhir saya
katakan, “Saya akan menulis dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya.”Atas dasar itulah saya kebut tulisan ini, dan menjadi
pembanding bagi tulisan-tulisan murid-murid Pak Harun, kendati saya
sadar bahwa apa yang saya tulis ini adalah ungkapan pengalaman
pribadi berinteraksi dengan beliau dan ditambah analisis saya atas
pemikiran beliau.
Bagi mahasiswa yang masuk tahun 1970an dan 1980an, nama
Prof. Harun Nasution tidak hanya dikenal sebagai Rektor pembaharu
pemikiran dalam Islam, tetapi juga motivator, guru yang sejati,
pemimpin, dan juga suri teladan bagi mahasiswa waktu itu. Pak Harun
membuka cakrawala mahasiswa yang belajar dengan beliau dengan
memberikan perspektif baru dalam memahami Islam. Buku beliau
yang terkenal adalah “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.” Buku

145
ini berkontribusi besar membuka cakrawala mahasiswa, yang
mayoritas berasal dari pesantren dan madrasah tradisional. Mereka
belum kenal pemikiran rasional dan inklusif, apalagi pemikiran seperti
teologi Muktazilah. Umumnya, para mahasiswa baru kaget dengan
pemikiran Pak Harun, yang dianggap rasional dan liberal, yang belum
pernah mereka dapatkan. Buku tersebut tidak hanya mengenalkan cara
memahami Islam lebih komprehensif, tetapi juga mendorong mereka
berpikir lebih terbuka dan rasional. Tidak heran kemudian, atas usaha
dan jasa beliau, sebagian mahasiswa beliau muncul tokoh-tokoh
terbaik, yang kemudian mengharumkan umat Islam dan bangsa, antara
lain, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof Din
Syamsuddin, dan lain-lain. Mereka inilah yang mendapat kuliah
langsung dari Pak Harun dari awal sampai selesai.
Saya adalah salah seorang yang mendapatkan anugerah tersebut,
yakni menikmati kuliah dari beliau, terutama waktu mengambil
Program S2 dan S3. Tidak hanya itu, beliau juga pembimbing disertasi
saya, yang seminggu sebelum beliau wafat masih sempat
menandatangani surat perbaikan disertasi. Ketika saya mendengar
beliau wafat saya sangat terkejut karena masih terngiang dalam
percakapan saya terakhir dengan beliau, “Tolong ambilkan satu
persatu lembaran perbaikan yang akan saya tanda tangani karena
tangan saya sudah mulai lemah.” Kata terakhir itulah yang masih saya
ingat sampai sekarang sebelum beliau berangkat mengajar ke IAIN
Medan dan Makassar kemudian dilarikan ke RS Pertamina setelah
pulang mengajar di Makassar.
Perjalanan intelektual dan spiritual beliau boleh dikatakan
sempurna di waktu hidup dan wafat. Dengan penuh dedikasi yang
sangat tulus beliau menghadap Yang Maha Sempurna. Sebagaimana
sambutan Prof. Quraish Shihab di pemakaman, sangat sulit kita
mencari sosok seperti Pak Harun, yang baik waktu hidup dan baik juga
waktu wafat. “Hampir semua manusia ingin meniru beliau, tetapi tidak

146
semua berhasil” kata Pak Quraish. Yang banyak kita temukan adalah
orang yang baik waktu hidup dan kurang baik waktu wafat atau
kebalikannya. Namun, Pak Harun adalah sosok yang hampir sempurna
waktu hidup dan waktu wafat.

***
Saya mengenal Pak Harun sejak menjadi mahasiswa baru Sarjana
Muda tahun 1982. Ketika itu, Pak Harun menjabat sebagai Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di kalangan mahasiswa senior,
beliau terkenal sebagai tokoh pembaharu sekaligus tokoh
kontroversial. Ide-ide pembaharunya disampaikan ditulis dalam buku-
bukunya dan disampaikan dalam kuliah bersama. Ide kontroversialnya
dikritik oleh Prof. Rasjidi dan ulama yang anti terhadap pemikiran
rasional Pak Harun, yang berasal dari aliran Muktazilah. Tidak heran
kemudian, beliau di samping memilik banyak pengikut juga memiliki
banyak pengkritik. Semuanya itu ditanggapi secara dingin oleh beliau.
Beliau dapat diibaratkan sebagai pendekar intelektual yang “berdarah
dingin.” Artinya, beliau tidak peduli dengan kritikan yang pedas dan
juga tidak begitu sombong karena banyak pujian. Beliau tetap
konsisten dan istiqamah dengan apa yang diyakininya benar dan baik
untuk umat dan bangsa. Kalau sudah merasa yakin dengan apa yang
dikerjakan, Pak Harun melaksanakannya dan tidak tergoda dengan
jabatan yang menggiurkan, termasuk jabatan politik. Beliau sadar
sekali bahwa dunianya adalah pendidikan dan dari pendidikan inilah
bangsa dan umat akan maju.
Saya mengenal beliau lebih dekat ketika menjadi mahasiswa S2
di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri tahun 1991.
Ketika itulah saya hampir setiap hari bertemu dengan Pak Harun
karena mata kuliah pokok langsung beliau yang mengajar, seperti
perkembangan pemikiran dalam Islam. Pak Harun ketika mengajar
sangat totalitas, semua enersi dalam pikiran, jiwa, dan raganya

147
menyatu dalam mengajar. Dalam hal disiplin, tidak ada duanya, beliau
selalu datang dan selesai mengajar tepat waktu dan mahasiswa yang
terlambat hanya dilihat saja dan tanpa ditegur, lama kelamaan sang
mahasiswa yang sering terlambat akan malu sendiri dan akhirnya tidak
mau terlambat lagi. Ketika mengoreksi makalah mahasiswa, beliau
sangat disiplin, setiap kata dan kalimat diperhatikan, serta kalau ada
data yang tidak ada sumbernya akan dipertanyakan. Perhatian beliau
kepada setiap mahasiswa juga luar biasa karena kalau ada mahasiswa
yang tidak masuk sampai tiga kali tanpa surat keterangan, beliau akan
menanyakan lewat surat, yang ditembuskan kepada pimpinan
perguruan tinggi asal mahasiswa tersebut. Begitu juga kalau ada
mahasiswa yang terlambat menulis tesis atau disertasi, beliau
menanyakan persoalan yang dihadapi dan ditembuskan juga kepada
pimpinan perguruan tinggi. Oleh para mahasiswa waktu itu disebut
dapat “surat cinta” dari Pak Harun.
Ketika saya sudah selesai kuliah, baru merasakan benar manfaat
dari bimbingan beliau yang begitu perhatian pada perkembangan
mahasiswanya. Seandainya beliau mengajar tidak totalitas, tentu
murid-murid beliau tidak seperti sekarang ini. Jadi, sosok beliau
adalah anugerah yang diturunkan oleh Allah SWT untuk memberi
pencerahan di Ciputat, sehingga Ciputat yang selama ini sama sekali
tidak terkenal menjadi terkenal di mana-mana, bahkan terkenal karena
pemikir-pemikir yang mengharumkan nama bangsa di tingkat
nasional mapun internasional.
Contoh seperti beliau yang sulit didapati sekarang, yang
mengajar secara totalitas dan menjiwai apa yang diajarkan. Beliau
tidak hanya sekedar mentransmisikan ilmu, tetapi yang lebih hebat
lagi adalah mentrasnformasikan dan memberi nilai pada setiap ilmu
yang diajarkan. Sebagai contoh, mata kuliah perkembangan pemikiran
dalam Islam diajarkan tidak saja sebagai pengetahuan biasa dan
sekedar untuk mendapat nilai yang bagus, tetapi beliau mendorong

148
mahasiswa agar berpikir secara kontekstual dan terbuka atas apa yang
terjadi pada masa lalu. Karena itu, setiap mengajar, beliau tidak lupa
menegaskan bahwa pemikiran dalam Islam dibentuk dalam lingkup
sejarah tertentu dan perlu kita jadikan sebagai ‘ibrah (pelajaran) untuk
masa kini.
Pergumulan dan pertemuan pemikiran dari berbagai peradaban
inilah yang membuat Islam kaya dalam berbagai bidang, terutama
dalam bidang pemikiran dan intelektual. Tidak heran kemudian, pada
abad kedua dan ketiga Hijriyah, perkembangan ilmu-ilmu keislaman
mencapai puncaknya. Kalau ingin seperti itu lagi, menurut Pak Harun,
kita harus meniru semangat para pemikir Islam awal, yakni berpikir
terbuka dan rasional kemudian melakukan ijtihad-ijtihad dalam
berbagai lapangan ilmu.
Atas dasar itu, muncul berbagai bidang studi Islam, antara lain
ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu kalam, sejarah, dan filsafat.
Bahkan tidak hanya sekedar ilmu agama yang berkembang waktu itu,
tetapi juga ilmu-ilmu kealaman, antara lain ilmu astronomi, ilmu
optik, kedokteran, dan ilmu hisab. Jelas bahwa dalam sejarah Islam
tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum karena
keduanya adalah anugerah dari Allah yang harus dikembangkan
secara bersamaan. Lagi pula menurut Pak Harun, ilmu-ilmu
tersebutlah yang mengantarkan peradaban Islam menonjol
dibandingkan dengan peradaban yang ada di kawasan Timur Tengah,
Persia, Afrika dan bahkan Eropa. Islam kemudian diakui dunia
sebagai salah satu satu peradaban yang menyumbang kemajuan dunia
sampai zaman modern. Orang Barat waktu itu banyak belajar dari
ilmuan dan sekolah Islam, terutama di Andalusia.
Karena itu, menurut Pak Harun, pendekatan sejarah merupakan
syarat utama dalam memahami Islam secara komprehensif karena
dengan sejarah kita dapat wawasan tentang perkembangan peradaban
Islam lebih objektif. Begitu juga dengan sejarah kita dapat

149
membandingkan perkembangan peradaban bangsa-bangsa lain yang
lebih dahulu maju dibandingkan Islam. Di samping sejarah, kita harus
mempelajari filsafat karena filsafat mendorong kita berpikir rasional
dan mendalam. Rasional adalah pemikiran yang berdasarkan argumen
sebab akibat dan dapat dijelaskan secara terbuka dan logis. Filsafat
menekankan pada pemikiran yang mendalam sampai ke akar-akarnya
karena dengan berpikir mendalam kita terbiasa memahami persoalan
secara lebih utuh dan tidak sepihak. Warisan Pak Harun seperti ini
membekas pada murid-muridnya, sehingga sebagian ada yang
menekuni salah satu bidang yang memang dianjurkan oleh Pak Harun,
seperti sejarah, pendidikan dan filsafat.

***
Karya Pak Harun dibandingkan dengan karya tokoh lain,
mungkin tidak terlalu banyak. Bahkan lebih banyak karya muridnya,
seperti Prof. Abuddin Nata, yang menulis lebih dari 50 buah buku.
Beliau menulis kurang dari 10 buku dan yang terkenal itu antara lain
adalah “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,” “Islam dan
Mistisisme,” dan “Falsafat Agama.” Buku-buku yang beliau tulis tidak
terlalu tebal, hanya berkisar sekitar 100 halaman. Namun, bukan
banyak karya atau tebal tipisnya buku yang beliau tulis, tetapi dampak
dari karya tersebut yang perlu diperhitungkan. Dampak yang sangat
terlihat sekali adalah murid-murid beliau lebih produktif daripada
beliau. Inilah yang menjadi salah satu bukti bahwa Pak Harun telah
memberi kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan intelektual
di IAIN Jakarta. Dengan buku beliau yang tidak begitu tebal, seperti
“Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” telah berhasil membuka
wawasan mahasiswa untuk mendekati Islam tidak hanya dari satu atau
dua aspek saja. Pak Harun berhasil membuka pikiran mereka untuk
melihat Islam secara komprehensif, yang selama ini hanya terbatas
pada aspek fikih dan ibdah saja. Padahal, menurut beliau, kalau

150
diselami lebih dalam lagi, Islam memiliki aspek yang jauh lebih luas,
yakni aspek sejarah, politik, tasawuf, ekonomi, ilmu-ilmu kealaman,
dan lain-lain.
Legasi inilah yang sangat berharga dan tidak ternilai bagi dunia
intelektual Islam di Indonesia. Pak Harun telah berhasil meletakkan
batu bata pertama untuk pertumbuhan bangunan intelektual di Ciputat
untuk menyaingi bangunan intelektual di Chicago. Kalau perspektif
ini yang dinilai, maka karya Pak Harun yang paling monumental
adalah “bangunan intelektual Ciputat” dan “tradisi Intelektual Islam
di Indonesia.” Buktinya sekarang, para murid Pak Harun bertebaran di
seluruh perguruan tinggi agama, yang tidak saja menjadi pimpinan
perguruan tinggi, tetapi juga menjadi para penulis yang produktif dan
intelektual yang disegani.
Saya adalah salah satu murid Pak Harun yang mendapatkan
berkah beliau, baik secara “murid intelektual” maupun “murid
ekonomi.” Murid intelektual, saya tertarik untuk mengembangkan
buku “Falsafat Agama” Pak Harun yang tidak terlalu tebal, hanya
sekitar 100 halaman. Ketika saya baca semua buku tersebut dan saya
baca beberapa referensinya, ternyata dalam referensi utama, informasi
tentang filsafat agama lebih kaya. Lagi pula perkembangan agama di
masa kontemporer semakin komplek dan beragam dengan kejadian-
kejadian bunuh diri massal di Canada dan Amerika Latin. Sekte-sekte
keagamaan yang berdasarkan kulturalisme semakin marak, yang oleh
John Naisbitt disebut sebagai kebangkitan agama baru. Atas dasar
itulah saya terdorong untuk menulis buku yang lebih tebal lagi dan
memperkaya tulisan saya dengan berbagai kejadian dan
perkembangan yang mutaakhir. Maka pada akhir masa kuliah di S3,
saya dapat merampungkan buku “Filsafat Agama” tahun 1998, yang
jumlah halamannya 256. Artinya, saya menulis buku tersebut
terinspirasi oleh buku Pak Harun dengan judul yang sama.

151
Sebagai “murid ekonomi,” Alhamdulillah buku saya itu sudah
dicetak ulang sebanyak 5 kali dan setiap cetak tidak kurang dari 3000
eks. Artinya, murid ekonomi adalah royalti yang selalu mengalir ke
dompet saya ketika buku saya dicetak ulang. Sekali lagi saya
berterima kasih kepada Pak Harun yang telah menginspirasi saya
menulis buku Filsafat Agama dan yang kemudian saya melanjutkan
menulis buku “Filsafat Ilmu.”
Namun, sayangnya, sebagaimana keluhan Prof. Suwito dalam
otobiografinya, “Mungkin Segalanya Mungkin” bahwa produktifitas
menulisnya menurun setelah menjadi pejabat di lingkungan UIN
Jakarta. Begitu juga produktifitas saya menurun setelah menjadi
pejabat di lingkungan UIN Jakarta dan sekarang di Kementerian
Agama Pusat. Namun, saya tetap bersyukur karena pengabdian saya
di Kemenag terus berlanjut dengan tetap ingin mengembangkan tradisi
intelektual di lingkungan yang lebih luas, yakni di 55 Perguruan
Tinggi Keagamaan Negeri dan 645 Perguruan Tinggi Agama Islam
Swasta.
Yang terbayang dalam pikiran saya sekarang adalah, seandainya
Pak Harun hidup sekarang dan melihat perkembangan lembaga IAIN,
yang dulunya hanya 14 buah, tentu beliau sangat kaget. Sebab,
sekarang IAIN sudah berjumlah 26 buah, UIN 11 buah dan STAIN 18
buah. Di samping itu, terdapat juga Perguruan Tinggi Agama Islam
Swasta yang berbentuk institut, sekolah tinggi, dan fakultas agama
Islam pada universitas. Tentu senyum Pak Harun yang selama menjadi
ciri khas beliau, akan semakin melebar dan akan kelihatan gigi
putihnya berjejer dengan rapi. Allahummaghfir lahu warhamhu wa
‘afihi wa’fu ‘anhu.

152
BAGIAN III
PENDIRI PASCASARJANA STUDI ISLAM
154
REFLEKSI PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI
PROF. DR. HARUN NASUTION DI INDONESIA1

M. Ridwan Lubis
(Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pendahuluan
Keluarga Besar UIN, IAIN dan STAIN patut ikut bergembira
dengan penganugerahan Bintang Mahaputera Utama kepada
Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution yang semasa hayatnya telah
memberikan pelajaran berharga kepada hampir semua generasi muda
yang berkiprah di lembaga pendidikan tinggi keislaman baik mereka
yang menjadi unsur pimpinan, dosen, alumni maupun para
mahasiswa. Mereka yang memperoleh kesempatan ikut menikmati
kontribusi pemikiran dan gerakan Prof. Harun Nasution dapat dibagi
dalam empat kategori (1) orang yang terus menerus mendampingi
beliau baik dalam kegiatan keilmuan seperti yang langsung
memperoleh bimbingan dalam penulisan tesis atau disertasi maupun
dalam manajemen kepemimpinan (2) mereka yang pernah menjadi
murid beliau akan tetapi tidak terlalu intens berhubungan karena
pertemuan hanya terbatas pada acara perkuliahan (3) mereka yang
tidak berkesempatan berguru langsung kepada beliau akan tetapi
memperoleh wawasan pemikiran beliau melalui para murid yang
beliau asuh sampai menyelesaikan pendidikan tertinggi (4) orang yang
sekalipun telah menyelesaikan studi Pascasarjana dan telah kembali
ke daerah asalnya namun terus menjalin komunikasi dengan beliau.
Tidak jarang, mereka yang berguru kepada beliau sudah dimuati
pada mulanya dengan sikap a priori terhadap pemikirannya. Sehingga

1
Makalah Narasumber Diskusi Menyambut Penganugerahan Bintang
Mahaputera Utama kepada Prof. Dr. Harun Nasution, Kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jum’at, 21 Agustus 2015

155
tidak terhindarkan terdapat mahasiswa Fakultas Pascasarjana yang
mendaftar waktu itu terutama yang memiliki latar belakang keilmuan
syariah, tidak sedikit yang ingin menguji seberapa kuat dasar
argumentasi dari Prof. Harun Nasution dibanding dengan wawasan
keilmuan yang sudah diperoleh di lembaga-lembaga pendidikan
tradisional. Akan tetapi begitu perkuliahan bahkan dialog yang
menjurus perdebatan di mulai maka sedikit demi sedikit format
pemikiran yang dibawa mahasiswa dari lingkungan asalnya mulai
luluh dan akhirnya muncul berbagai sikap simpati kepada beliau.
Adapun dasar simpati kepada beliau disebabkan beberapa factor.
Pertama, keteguhan beliau dalam pendirian ditambah dengan
kesabarannya dalam melayani setiap sanggahan dari mahasiswa yang
diajarnya yang akhirnya menerima argument beliau. Dalam
membangun semangat dialogis, beliau secara bebas memberi
kesempatan kepada setiap orang untuk mengajukan pendapat. Beliau,
mengimbanginya dengan mengajak mahasiswa berpikir secara radikal
dalam arti mendasar yang terbebas dari berbagai komitmen organisasi,
kelompok bahkan mazhab. Kedua, sikap beliau yang sama sekali tidak
menunjukkan pemihakan terhadap setiap aliran maupun organisasi
keagamaan termasuk juga terhadap gerakan-gerakan yang
mengatasnamakan Islam sehingga suara yang dikemukakan beliau
selalu berangkat dari pengembangan rasionalitas islami. Ketiga,
keteguhan beliau dalam memegang janji kepada para mahasiswanya
sehingga tidak ada yang dikecewakan karena beliau selalu menepati
tugas sebagai Dekan yaitu dengan jadwal tetap berada di kantor antara
pukul 08.00 sampai pukul 14.00. Setiap hari jadwal tersebut beliau
tepati kecuali ada tugas mengajar ke daerah atau rapat di Kementerian
Agama.
Keempat, sekalipun beliau adalah orang yang sangat ketat
memegang prinsip keilmuan akan tetapi juga pada waktu-waktu
tertentu muncul rasa ibanya ketika ada mahasiswa yang mengalami
kesulitan dalam penyelesaian disertasi baik karena kesulitan materi
tulisan maupun karena kesulitan untuk berkomunikasi dengan dosen
156
pembimbingnya. Dengan tekun beliau meluangkan waktu
mendengarkan keluhan dari para mahasiswanya sehingga para
mahasiswa itu sendiri yang sering berubah pikiran yaitu merasa iba
kepada Prof. Harun Nasution. Kelima, Prof. Harun Nasution
menegaskan sikap demokratis ketika memandang semua orang. Ia
sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap melebihkan perhatian
kepada seseorang sebagai akibat dari ikatan kedaerahan karena dalam
pandangan beliau sebutan Nasution adalah bagian dari namanya yang
asli bukan marganya. Sehingga sekalipun seseorang memiliki latar
belakang sebagai sesama orang Tapanuli tetapi beliau menganggap
semua mahasiswanya memiliki kedudukan dan kesempatan yang
sama. Sikap beliau tersebut sering kurang dipahami oleh sementara
pihak termasuk mereka yang memiliki ikatan hubungan emosional
kedaerahan dengan beliau.

Pemikiran Prof. Harun Naution


1. Perkembangan Pemikiran Islam:
Penulis mulai berkenalan dengan beliau ketika penulis menjadi
peserta Studi Purnasarjana Angkatan VI Dosen-Dosen IAIN se
Indonesia di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1979-1980 yaitu
lembaga pendidikan yang dipersiapkan sebagai embrio berdirinya
Angkatan I (1982) Fakultas Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Angkatan I (1983) Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga di Yogyakarta. Beliau diserahi memegang dua mata kuliah
yaitu Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam yang mencakup Trilogi
Pemikiran yaitu Akidah, Falsafat dan Tasawuf. Mata kuliah kedua
adalah Perkembangan Pemikiran Moderen Dalam Islam mencakup
telaah kesejarahan mulai klasik (Abad 7 s.d. 13 Masehi), kemunduran
Islam I (Abad 13 s.d. 15 Masehi), Kemunduran Islam II (Abad 15 s.d.

157
18 Masehi), dan fase Kebangkitan Islam (Abad 19 sampai sekarang).2
Dalam perkuliahan Pemikiran Islam dan Pemikiran Moderen dalam
Islam beliau sangat intens mengingatkan mahasiwanya akan perlunya
analisa kesejarahan perkembangan peradaban Islam yang dirujuk
kepada hukum biologi yaitu pertumbuhan, perkembangan,
penikmatan, kemunduran dan kehancuran. Pada pembicaraan analisasi
kesejarahan tersebut, beliau sering mengutip siklus pertumbuhan
sebuah imperium dengan merujuk kepada konsep Ibn Khaldun tentang
sosiologi sejarah.
Pada mata kuliah yang pertama, Sejarah Perkembangan
Pemikiran Dalam Islam (SPPDI) mengurai beberapa cabang
pemikiran keislaman yang terhimpun dalam akidah, ibadat dan
tasawuf. Sekalipun makna akidah itu adalah tauhid yaitu pengesaan
Allah SWT dan itulah yang menjadi kata kunci ajaran Islam akan
tetapi begitu memasuki fase interpretasi maka terjadi wacana
pemikiran yang bermacam ragam yang kemudian disebut dengan
mazhab. Beliau mengajak mahasiswa untuk melakukan penelusuran
historitas dan sosial-politis sehingga terjadi keragaman pemikiran.
Munculnya friksi dalam pemahaman akidah menurut beliau, tidak
sepenuhnya berakar dari wacana keilmuan akan tetapi terjadinya
kontestasi politik yang berawal ketika penunjukan khalifah
sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau ingin menunjukkan kepada
mahasiswa bahwa keragaman pemikiran sebagai suatu kenicayaan
yang tidak dapat dihindari akibat dari adanya perbedaan pemahaman
terhadap sejarah umat manusia demikian juga dengan lingkungan
sosio-politis dan sosio-ekonomis umat Islam. Bagi masyarakat yang
berdiam di bawah bayang-bayang kultur agraris-nomaden maka cara
berpikir mereka cenderung dibentuk oleh tradisi tekstualis karena
ingin mencari pemahaman yang lebih pasti dan aman. Dan atas dasar

2
Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah
Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2014, Cetakan XIV, hal.
5.
158
itu, maka muncul kecenderungan bersikap fatalistik karena sedikitnya
kemampuan manusia dalam melakukan rekayasa terhadap kondisi
lingkungan. Akibatnya, maka tentulah mereka lebih cenderung
berpaham fatalistik yang kemudian disebut jabariyah. Sebaliknya,
bagi masyarakat urban yang banyak bergaul dengan berbagai suku
bangsa maka mereka dibentuk oleh kecenderungan dengan sikap
dinamis, kreatif dan inovatif. Oleh karena itu, pola pendekatan mereka
terhadap persoalan akidah lebih banyak merujuk pada pendekatan
kontekstual dengan melihat fakta kedudukan manusia sebagai
pembuat sejarah. Pada tataran realitas maka setiap prestasi ditentukan
oleh manusia itu sendiri oleh karena Allah telah membekali manusia
dengan dua potensi yaitu kemauan (masyi-ah) dan kemampuan
(istitha’ah). Apabila pemikiran teologi pola pertama lebih
menekankan pada dimensi kemahakuasaan Tuhan karena manusia
pada hakikatnya adalah laksana bulu yang tergantung di awang-awang
(ka risyatin mu’allaqatin fi al sama’) yang akan terbang ke mana akan
diterbangkan angin. Maka dalam pandangan yang kedua, Qadariyah,
lebih menekankan dimensi humanistik yang berbekal konep
sunnatullah dalam kehidupan umat manusia.
Selanjutnya, ketika ditanyakan tentang kedudukan aliran sunni
yang dipelopori oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah terhadap konsep
usaha (al kasb) dan pilihan (al ikhtiyar) menurut Prof. Harun Nasution
keberadaan aliran Sunni pada dasarnya lebih dekat kepada Jabariyah
dari pada Qadariyah. Karena pada akhirnya, aliran Sunni menurut
beliau juga berpendapat bahwa potensi manusia hanya ada secara
metaforis (majazi) sedang secara hakikat hanya Allah yang
menentukan. Argumen ini beliau lanjutkan dengan fakta historis
keadaan dunia Islam yang mengalami kemunduran sejak fase kedua
yaitu abad 13 s.d 15 yang menjadi penyebab utamanya adalah
terjadinya pergeseran berpikir umat Islam dalam menangkap
pengertian kemahakuasaan Allah yang menafikan potensi umat dalam
menggerakkan kemauan dan kemampuannya dengan berdalih bahwa
Allah sudah menentukan segala sesuatu.
159
Sampai di sini, beliau kelihatannya mengeritik cara pandang
umat Islam ketika melihat perkembangan pemikiran dalam bidang
akidah yang terkesan memiliki kecenderungan pemihakan umat Islam
terhadap Jabariyah dan menolak Qadariyah. Keteguhan umat Islam
berpegang terhadap aliran Jabariyah menurut beliau, menjadi
penyebab terjadinya kemandekan melanjutkan membangun peradaban
di dunia Islam. Sekalipun sebelumnya umat Islam telah berhasil
membangun peradaban dan kemampuan mereka melakukan
pengembangan dan perluasan Islam (futuhat) ke tiga benua yang
dikenal waktu itu sehingga membentuk peta hemispheric akan tetapi
karena terjadi kelambanan orientasi pemahaman teologi akhirnya
melemahkan etos kerja dan akhirnya umat Islam menjadi bangsa
terjajah. Sekalipun umat Islam masih terus melakukan pengembangan
melalui dakwah secara damai (penetration pacifique) akan tetapi yang
dihasilkan dari perkembangan kislaman pada masa kemudian bukan
lagi peradaban (tamaddun) akan tetapi hanya kebudayaan (tsaqafah).3
Dalam pemikiran teologi, Prof Harun Nasution melakukan
penelusuran terhadap benang merah menghubungkan Islam dengan
kemajuan peradaban. Terdapat perbedaan fenomena kesejarahan
antara Islam dari agama-agama sebelumnya. Apabila umat dari
agama-agama sebelumnya memperoleh kemajuan maka hal itu terjadi
jauh setelah ditinggal oleh tokoh pembawa agama yang bersangkutan.
Akan tetapi Islam mengalami kejayaan langsung bersambung setelah
masa wafatnya Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan
khulafa al rasyidin dan Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Hal itu bisa
terjadi karena kandungan ajaran Islam yang sangat menekankan

3
Perhatian beliau yang demikian kuat terhadap aspek pemikiran dan
pembaruan dalam Islam ini bisa dimengerti ketika menelaah pusat perhatian
pengamatan beliau khususnya ketika beliau memilih judul disertasi Ph.D di
McGill University Canada yang berjudul: The Place of Reason in Abduh’s
Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal
dalam Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat-
Pendapat Teologinya). Diterbitkan UI-Press, 2006.
160
rasionalitas yaitu penggunaan akal pikiran. Dengan penggunaan
rasionalitas maka umat Islam dapat menelusuri hakikat keberadaan
manusia bahwa manusia adalah makhluk Allah dalam bentuknya yang
paripurna (ahsan taqwim).4 Adanya keparipurnaan didasarkan pada
penggunaan akal pikiran sehingga penerimaan terhadap ajaran Islam
tidak berhenti sekedar sebagai kemestian doktrinal akan tetapi karena
rasio telah dapat menangkap makna fungsional dari ajaran Islam. Hal
inilah kemudian yang mendorong terjadinya pergumulan pemikiran
(intellectual exercise) yang menjadi pilar utama terjadinya
kecermelangan Islam (‘ashr al tanwir).

2. Pemikiran Moderen Dalam Islam


Ketika mendiskusikan mengenai pemikiran modern beliau
dengan tegas mengingatkan mahasiswa bahwa inti dari konsep
gagasan itu adalah pemikiran modern dalam Islam. Hal ini menurut
beliau perlu diingatkan agar mahasiswa mengetahui bahwa sejarah
Islam tidak boleh mengulangi keruwetan dari sejarah agama-agama
pada masa lalu yang kurang memperhatikan pentingnya orisinalitas
ajaran. Pemikiran modern dalam Islam adalah upaya memahami
dengan sungguh-sungguh dengan melakukan pengkajian ulang
terhadap penafsiran terdahulu terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu,
pengertian pemikiran modern dalam Islam adalah studi terhadap
berbagai corak pemikiran tentang Islam sebagai hasil pergumulan
intelektual yang disebut ijtihad. Sebagai dorongan dari berbagai ayat
Al Quran untuk menggunakan pikiran maka dalam sejarahnya terjadi
kompromi antara mutakallimin dengan filosof muslim. Mutakallimin
berpandangan bahwa wahyu berfungsi sebagai pemberi tahu (i’lam)
sedang akal berfungsi sebagai penjelasan (bayan) terhadap informasi
yang diberikan wahyu. Sebaliknya dalam pandangan filosof, fungsi
akal adalah memberi tahu (i’lam) sedang wahyu adalah memberikan
penjelasan atau konfirmasi (bayan) terhadap hasil dari akal itu.

4
Q.S. Al Tin [95]: 4.
161
Sekalipun dalam penjelasan yang berbeda akan tetapi antara wahyu
dan akal saling mendukung untuk memperkuat keyakinan terhadap
Islam.
Munculnya pemikiran modern dalam Islam adalah suatu
kemestian kesejarahan guna mendukung terwujudnya cita-cita bahwa
Islam itu sesuai pada segala ruang dan waktu (al islam shalihun li kulli
zaman wa makan). Sebagai langkah awal dalam merumuskan
pemikiran kemoderenan itu adalah selayaknya dibedakan antara
agama sebagai budaya dan agama sebagai substansi. Agama sebagai
budaya adalah merupakan hasil dari artikulasi agama terhadap
keragaman dan lokalitas budaya sehingga tampillah Islam menjadi
unik pada setiap wilayah kawasan. Akan tetapi betapapun bentuk
eksistensi sebuah budaya, ia tetap menjadi sesuatu yang relatif
kebenarannya karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebaliknya
agama sebagai substansi tidak pernah berubah dan tidak akan berubah
karena muatan ajarannya adalah bersifat kesemestaan. Oleh karena itu
agama sebagai substansi bersifat absolut kebenarannya sedang sebagai
budaya, agama adalah relatif kebenarannya. Menurut Prof. Harun
Nasution, polemik gerakan pembaruan dengan tradisional adalah
dalam memahami aspek universalitas Islam dan lokalitas Islam yang
didasari sikap mereka dalam memahami wujud toleransi dan respon
terhadap budaya lokal.
Universalitas Islam adalah suatu prinsip yang tidak bisa berubah
sebagaimana yang termanifestasi dalam akidah dan ibadah. Namun
pernik-pernik aktualisasi dari akidah dan ibadah memberi peluang
terhadap sentuhan manusiawi. Dilihat dari segi antropologi, sesuatu
ajaran akan bisa bertahan kuat dalam sebuah masyarakat manakala
masyarakat memperoleh kesempatan melakukan interpretasi mereka
terhadap ajaran agama itu sesuai dengan kondisi budaya mereka. Islam
datang dalam kondisi ajaran yang steril dari budaya asalnya sehingga
tidak bisa dihindari terjadinya persinggungan dengan budaya
mayarakat lokal. Kalangan pembaru sulit bisa menerima kerangka
berpikir yang melihat urgensi interaksi Islam dengan budaya lokal
162
karena dikhawatirkan Islam terjerumus kepada sinkretisme sehingga
mengurangi kemurnian iman.
Selanjutnya, Prof Harun Nasution melancarkan kritik terhadap
kelompok umat yang beraliran tradisional. Beliau mengatakan bahwa
pola pemikiran kalangan ulama yang dinamis, kreatif dan inovatif
pada masa lalu menunjukkan bahwa Islam itu terus bergerak laksana
karet. Hal itu menunjukkan fleksibilitas Islam ketika bersinggungan
dengan segala ruang dan waktu. Dalam pada itu, para ulama masa lalu
telah merumuskan kaidah pemikiran berdasarkan keyakinan terhadap
pesan-pesan kewahyuan yang kemudian dipadukan dengan logika
sebagai cabang filsafat. Maka akhirnya lahirlah bidang studi keilmuan
yang memuat kaidah-kaidah fiqhiyyah yang disebut ushul fiqh. Dari
hasil penalaran yang bersifat logis dan filosofis inilah kemudian lahir
berbagai ragam corpus ilmu-ilmu keislaman terutama dalam
penjabaran yang disebut fiqh.
Akan tetapi pada masa kini, gerakan intellectual exercise itu
terasa seperti cenderung padam sehingga tidak muncul lagi berbagai
gagasan pemikiran aktualisasi pemikiran Islam terhadap berbagai
perkembangan kehidupan kontemporer. Tradisi pemikiran
sebagaimana yang dialaminya sewaktu studi di Tmur Tengah lebih
banyak mengulang-ulang hafalan terhadap prestasi keulamaan pada
masa lalu dan sedikit sekali melakukan pengayaan pemikiran guna
mendorong tumbuhnya kreativitas dan inovasi pemikiran keislaman.
Menurut Prof. Harun Nasution dalam berbagai kuliahnya hal itu
terjadi karena umat Islam mengabaikan tiga karakter Islam yaitu (1)
tidak ada agama selain Islam yang sangat menekankan persamaan
derajat (2) Islam itu rasional dan simplicity, dan (3) Islam adalah
kemajuan.5

5
Tiga karakter Islam ini pernah penulis diskusikan dengan beliau ketika
penulis berkonsultasi kepada beliau sebagai pembimbing disertasi adanya
pernyataan Sukarno yang dikutip Bernard Dahm dalam Sukarno, the Struggle
for Indonesian Independence, Ithaca, London, Cornell University Press,
1969, translated Mary F. Somer Hiedues tentang tiga karakter Islam. Prof.
163
Sebagaimana disinggung di muka, ketika beliau berbicara
tentang pemikiran modern dalam Islam, Prof Harun Nasution sering
melakukan kilas balik sejarah. Apabila dibandingkan keadaan berpikir
umat Islam pada zaman klasik Islam dengan masa kemunduran Islam
I maka kelihatan nyata bedanya. Bahwa kemajuan peradaban itu
mereka peroleh dengan melakukan rekonstruksi pola berpikir yang
memadukan berbagai metode keilmuan guna melakukan pengayaan
terhadap Islam. Umat Islam membuka diri terhadap berbagai
informasi keilmuan dari manapun datangnya asalkan bisa membantu
untuk melakukan pemahaman yang seluas-luasnya terhadap ajaran
sebagaimana yang terkandung dalam sumber utama ajaran Islam yaitu
Al Quran dan Hadis. Dalam berbagai kuliahnya, beliau sering
memulai dengan merancang pola berpikir tentang Islam yaitu
membagi Islam pada dua sumber yaitu sumber utama (mashadir al
tasyri’) yang tidak boleh berubah dan tidak akan berubah dan itulah
Al Quran dan Hadis. Sumber kedua adalah pendukung komitmen
terhadap sumber utama sebagai hasil dari eksplorasi yang dilakukan
rasionalitas umat manusia yang tersimpul dalam sebuah terminologi
ijtihad. Apabila sumber utama adalah merupakan kebenaran yang
absolut maka sumber yang berikutnya adalah sebagai pendukung yang
kebenarannya bersifar relatif. Rasionalitas untuk menuju kepada
modernisasi pemikiran Islam adalah bertujuan untuk memperkuat tiga
filosofi ajaran Islam yaitu keadilan (‘adalah), persamaan (musawah)
dan persaudaraan (muakhkhah). Tiga nilai filosofi inilah yang akan
dijadikan patokan dalam memahami berbagai perkembangan pranata
sosial. Karena sekalipun secara akidah dan ibadah, Islam tidak boleh
berubah akan tetapi dalam kaitan pranata sosial, maka formulasi
keislaman dapat berubah sesuai dengan urgensi dan relevansinya
karena pranata sosial sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.

Harun Nasution menyetujui adanya tiga karakter tersebut akan tetapi


kenyataannya sudah mulai tergerus pada masa kini dari khazanah kehidupan
umat Islam.
164
Merujuk kepada pandangannya tentang jawaban Islam terhadap
perkembangan pranata sosial maka beliau berpandangan tidak ada
alasan untuk memandang Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Karena yang dipentingkan Islam pada waktu tertentu adalah bahwa
Islam dapat dilepaskan dari simbol dan kemudian lebih
mengutamakan substansi. Sepanjang substansi ajaran Islam telah
terpenuhi dengan mengacu kepada tujuan syariat (maqashid al
syari’at) maka dengan sendirinya dipandang islami. Cara pandang
beliau yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai perubahan sikap
beliau setelah keterkaitannya dengan aliran politik keislaman yang
popular sekitar tahun 1950-an. Bahkan tesis Master beliau juga
membahas tentang aliran poltik keislaman itu.

Kritik Terhadap Prof. Harun Nasution


Selama pengembaraan pemikirannya, Prof Harun Nasution
dituntut untuk memerankan dua fungsi yaitu akademisi dan manajer
kelembagaan. Sebagai akademisi beliau mengemukakan berbagai
gagasan pemikiran yang intinya adalah rasionalitas, pemilahan Islam
antara cita dan fakta, Islam fungsional dan bukan simbolik. Beliau
berpandangan bahwa model pengajaran dalam upaya
memperkenalkan Islam terhadap para pelajar terlalu sempit sehingga
menyuburkan cara berpikir dikhotimis antara Islam dengan keduniaan.
Padahal pada masa kejayaan peradaban Islam, umat Islam berhasil
memadukan ayat tadwiniyah dengan takwiniyah. Sehingga menurut
beliau pola pemikiran dikhotomis yang demikian akan melahirkan
Islam yang terus terkebelakang berhadapan dengan berbagai
perkembangan pemikiran modern. Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan yang lebih komprehensif terhadap Islam sehingga terbina
rasa kebanggaan bagi kalangan pelajar dalam melakukan studi tentang
Islam. Dalam kaitan itulah beliau menulis buku dua jilid dengan judul
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Buku ini dijadikan sebagai
buku pegangan bagi para dosen yang diserahi tugas mengajarkan
konsep pemahaman Islam yang komprehensif.
165
Bagi kalangan pengajar yang selama ini telah memiliki patron
bahwa Islam itu adalah akidah, syariah dan akhlak memandang cara
pendekatan yang dilakukan Prof. Harun Nasution merupakan upaya
pendangkalan terhadap ajaran Islam. Ditambah lagi dengan komentar
yang lain: bukankah beliau berasal dari lembaga pendidikan barat
yang tidak islami? Ketika hal itu disampaikan maka beliau menjawab
bahwa dua buku tersebut sebagai buku pegangan bagi dosen yang
mengajarkan mata kuliah baru yang disebut Pengantar Ilmu Agama.
Mata kuliah ini dimaksudkan sebagai peletakan dasar dalam rangka
membangun wawasan keislaman yang relatif komprehensif.6 Setelah
mereka berada pada tingkat lanjutan pendalaman terhadap berbagai
aspek ilmu keislaman, demikian kata beliau, maka tentu saja mereka
dipersilahkan untuk memilih bidang studi yang sesuai dengan minat
mereka. Prof. Dr. H. M. Rasyidi, salah seorang yang melakukan kritik
terhadap beliau, ketika beliau menyampaikan kuliah Filsafat Barat
kepada para mahasiswanya menjelaskan alasan kenapa beliau
melancarkan kritik terhadap Prof. Harun Nasution. Akan tetapi
uniknya, sekalipun terjadi saling kritik yang seperti itu di antara
keduanya namun sama sekali tidak mengurangi keakraban hubungan
persahabatan di antara mereka berdua.

Kepribadian Prof. Harun Nasution


Penulis berhubungan secara intens dengan penulis yaitu dimulai
dari tahun 1979 s.d. 1980 sewaktu mengikuti Studi Purnasarjana
Angkatan VI Dosen-Dosen IAIN se Indonesia di IAIN Yogyakarta
dan setelah itu 1982 s.d. 1987 di IAIN Syarif Hidayatullah ketika
penulis terdaftar sebagai mahasiswa angkatan I Fakultas Pascasarjana.

6
Buku tersebut diterbitkan terakhir pada tahun 2013 oleh Penerbit UI.
Buku Jilid I memuat Pengertian Agama; Islam dalam pengertian yang
sebenarnya; aspek ibadat: latihan spiritual dan ajaran moral; aspek sejarah
dan kebudayaan; dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedang Buku II
memuat: aspek hukum; teologi; falsafat; mistisisme; dan, apek pembaruan
dalam Islam.
166
Kebetulan atas dorongan beliau yang amat kuat “memaksa” penulis
untuk menulis disertasi yang berkaitan dengan tokoh di Indonesia.
Ketika dikemukakan kepada beliau bahwa tokoh yang dipilih adalah
Sukarno maka dengan serta merta beliau langsung menyetujuinya.
Akhirnya sejak tahun pertama di Ciputat, penulis telah memfokuskan
diri untuk mempersiapkan penulisan disertasi dengan judul Pemikiran
Sukarno Tentang Islam dan Unsur-Unsur Pembaruannya.
Selanjutnya, beliau menyatakan akan langsung sebagai
pembimbing dan beliau menganjurkan agar dicari pembimbing yang
lain yang memahami aspek sejarah perkembangan politik di Indonesia
sebagai bidang utama yang menjadi perhatian Sukarno. Maka
akhirnya ditemukan sebuah nama yaitu Dr. Alfian yang waktu itu
menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan
Kewilayahan LIPI. Beliau selalu mengingatkan penulis agar sebelum
usia Fakultas Pascasarjana mencapai 5 tahun sudah ada yang
menyelesaikan disertasinya. Syukur alhamdulillah penulis pada hari
Selasa, 14 Juli 1987 menempuh ujian promosi doktor dan tercatat
sebagai lulusan yang pertama. Setelah lama direnungkan, bahwa
keberhasilan untuk maju menempuh ujian disertasi dalam waktu
kurang dari 5 tahun adalah atas dorongan, teguran, peringatan beliau
yang terus menerus mengingatkan untuk tidak melewati batas waktu
5 tahun itu. Hal itu menyiratkan bagi penulis betapa kepribadian beliau
sangat peduli dan bertanggungjawab terhadap gagasan memajukan
ilmu pengetahuan keislaman sekaligus untuk mengangkat nama IAIN
yang sekarang bernama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kami dari mahasiswa Fakultas Pascasarjana Angkatan I rata-rata
sudah berada pada usia yang tidak muda lagi. Oleh karena itu, tentulah
kemampuan membaca dan menulis sudah mulai menurun namun
dengan tetap semangat yang tinggi. Beliau sangat peduli dengan
kondisi kami sehingga tidak jarang, uang kas Pascasarjana dipinjam
untuk sementara untuk membiayai living cost para mahasiswa
sebelum dana turun dari Ditperta. Selain dari itu, sebelum asrama
mahasiswa selesai dibangun, maka beliau meminta sekretariat Pasca
167
mengeluarkan dana untuk menyewa rumah di Pasar Gintung Ciputat
sebagai asrama sementara dari para mahasiswa Program S2.
Beliau adalah sosok pribadi yang penuh canda ketika situasi
berada dalam suasana yang relatif tegang. Ketika di antara mahasiswa
S2 ada yang datang bertamu ke rumah kediaman beliau di Jl.
Kampung Utan No. 29 (Sekarang Jl. W.R. Supratman) para tamu lebih
dahulu disambut oleh hewan piaraan beliau. Ketika kita asyik
berbincang dengan beliau bersama ibu, hewan tersebut datang. Beliau
sambil berseloroh berkata untuk menyuruh hewan tersebut pergi ke
belakang karena tamu yang datang adalah dari Mazhab Syafi’i.
Kepribadian beliau yang lain adalah beliau sebagai pribadi yang
sangat sederhana sebagai perwujudan dari sosok pribadi yang luhur.
Dalam hidup kesehariannya, wujud kesederhanaan itu kelihatan dari
penampilan beliau, kendaraan yang beliau tumpangi adalah juga
sangat sederhana. Beliau tidak memerlukan penghormatan yang
berlebihan sekalipun beliau datang mengajar ke IAIN di daerah.
Kebetulan penulis adalah asisten beliau di IAIN Sumatera Utara untuk
mengajarkan mata kuliah Pengantar Ilmu Agama. Beliau lebih
mengutamakan tujuan kedatangan beliau memenuhi undangan untuk
membagikan ilmunya kepada para mahasiswa daripada segala sesuatu
yang tidak berkenaan dengan aspek akademis.
Dengan meminjam tipologi tokoh pergerakan dari sejarawan
terkemuka Indonesia Prof. Sartono Kartodirjo, penulis berpandangan
bahwa Prof. Harun Nasution dapat digolongkan kepada sosok pribadi
yang memiliki sikap dan pendirian asketisme intelektual yaitu
kerelaan menunda kenikmatan sementara untuk meraih kenikmatan
yang abadi. Beliau rela menjalani hidup sederhana yang jauh dari
hiruk pikuk urusan keduniaan dan lebih memilih berada di pojok yang
sepi namun terus menerus melakukan penaburan benih-benih
kesemarakan akademis sehingga tumbuh generasi penerus cita-cita
beliau yang terwujud menjadi Universitas Islam Negeri yang menjadi
pilar untuk membangun peradaban itu. Dengan pengertian lain, obsesi
beliau melakukan rekonstruksi akademis secara kelembagaan telah
168
terpenuhi yaitu dengan lahirnya Universitas Islam Negeri. Format
UIN adalah menjadi model integrasi-interkoneksi antara ilmu
tadwiniyah dengan takwiniyah menuju kepada pendekatan keilmuan
yang komprehensif (syumul).
Sebagai seorang akademis tulen, beliau tidak mau larut dengan
berbagai kegiatan yang hampir tidak ada kaitannya dengan aspek
pengembangan keilmuan seperti pengajian di Majlis Taklim, khutbah
Jumat dan lain sebagainya. Sekalipun di akhir hayatnya, kiprah
akademis beliau meningkat dari pengembangan rasionalitas kepada
pencarian makna hidup melalui pendalaman kehidupan sufistik atau
tarekat. Kegiatan seminar juga sudah mulai beliau kurangi. Kegiatan
beliau apabila keluar kampus hanyalah urusan penilaian karir dari para
dosen yang mengajukan usul kenaikan pengkat akademis melalui
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam di Departemen Agama.
Sejalan dengan itu pula, beliau mengharapkan agar IAIN lain di luar
Ciputat juga ikut berbenah diri untuk mengembangkan kultur
akademis sehingga begitu selesai Program S3 tahun 1987 di Ciputat,
beliau meminta penulis untuk segera kembali ke IAIN Sumatera
Utara.
Dalam kehidupan di Kampus Ciputat, ketika melaksanakan
ibadah shalat Jumat di Mesjid Fathullah, beliau selalu mengambil
posisi pada saf pertama di luar dan merapat langsung ke dinding. Dan
apabila saf pertama yang merapat langsung ke dinding sudah diempati
orang lain maka biasanya beliau memilih mengambil posisi pada saf
kedua namun juga merapat ke dinding. Demikianlah konsistensi
beliau dalam membangun komunitas dengan sesama warga di
lingkungan Kampus UIN Ciputat.
Wallahu a’lam bish shawab.

169
170
PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA

M. Qasim Mathar
Dosen Fak. Ushuluddin Filsafat dan Politik
UIN Alauddin Makassar

Tahun 1988, 21 Agustus, ulang tahun saya ke-41, saya berangkat


ke Jakarta untuk sekolah di Program Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) "Syarif Hidayatullah" Jakarta di Ciputat.
Beberapa ratus ribu rupiah membekaliku untuk persiapan biaya kamar
kos di sana. Sementara mencari kamar kos di sekitar kampus, saya
menumpang dulu di salah satu kamar asrama mahasiswa Pascasarjana.
Sebuah gambar Imam Khomaini (pemimpin Revolusi Iran yang
manjatuhkan Shah Pahlevi, 1979) yang cukup besar terpampang di
kamar itu. Rupanya pemilik kamar itu adalah pengagum Sang Imam.
Pada kuliah perdana program magister (S.2) yang saya tempuh,
Prof. Dr. Harun Nasution, selanjutnya ditulis Pak Harun, sebagaimana
para mahasiswanya dan orang-orang menyapa beliau), memberikan
kuliah pengantar. Nama Pak Harun sudah sering saya dengar sejak
saya masih di Makassar. Laki-laki yang juga sebagai Direktur
Pascasarjana itu, kini duduk di depan kami, para mahasiswanya.
Ketika bidang-bidang keilmuan yang lain di dalam negeri sudah
banyak melahirkan master dan doktor, bidang keilmuan agama Islam
belum seorang pun yang lahir. Pak Harunlah yang membuka pertama
kali Program Pascasarjana bidang studi Islam di Indonesia.
Setelah selesai menjabat sebagai rektor IAIN Jakarta, Pak Harun
membujuk Departemen Agama agar mau menyediakan anggaran
untuk program tersebut dan akhirnya program tersebut dibuka pada
tahun 1982. Sewaktu sebagai rektor, banyak mahasiswanya kelak
menjadi tokoh cendekiawan. Cendekiawan seperti Azyumardi Azra,
Din Syamsuddin, Atho Muzhar, Komaruddin Hidayat, dan lain-lain,
mereka adalah mahasiswa program sarjana (S-1) saat Pak Harun
sebagai rektor. Pada masa itulah Pak Harun mendorong yang muda-
171
muda itu pergi sekolah keluar negeri. Suatu hari, di kelas, Pak Harun
bercerita bahwa saat dia sebagai rektor, seorang mahasiswanya
menghadap dan memohon Pak Harun sudi memberi kata pengantar
untuk satu buku terjemahan karya mahasiswa tersebut. Tanpa
mengecewakan mahasiswa tersebut dan setelah membuka dan
membaca sebentar karya terjemahan itu, Pak Harun berkata: "Saya
ambil dan simpan dulu buku anda ini. Pergilah dulu sekolah ke luar
negeri. Saya akan buatkan kata pengantar setelah kamu pulang dan
berhasil dari luar negeri".
Tokoh ilmuan yang waktu itu sering dikritik sebagai sekuler,
akan membuat heran bagi orang yang mengenal Pak Harun, khususnya
jamaah masjid Fathullah, masjid kampus IAIN. Orang sekuler biasa
diidentikkan dengan orang yang jauh dari agama, khususnya
peribadatan. Setiap hari Jumat, ada satu tempat di teras kiri masjid
tersebut, pada saf paling depan dan paling kanan pas dengan dinding
pembatas ruang dalam masjid, tidak seorang pun akan duduk di situ.
Itulah tempat Pak Harun, yang sekitar jam 11 lebih pasti sudah duduk
di situ setelah salat sunat. Kedisiplinan Pak Harun dalam berjumat
demikian, membuat kami dan orang lain menjadikannya sebagai jam.
Ibu Huzaimah, dosen kami yang waktu itu tinggal di perumahan dosen
dekat Pascasarjana, berkata bahwa, kalau mobil Pak Harun sudah
lewat di depan rumahnya, itu pasti sudah jam 07.50. Jam 07.51, Pak
Harun turun dari mobilnya, masuk ke kantornya. Tiga..., lima menit
duduk dan memeriksa berkas di meja kerjanya dalam ruangan
berukuran sekitar 2 x 3 meter lebih sedikit. Pas jam 08.00 pintu kelas
kami terbuka dan Pak Harun masuk. Setelah memeriksa dan
menandatangani daftar hadir, Pak Harun memulai perkuliahan. Kami,
mahasiswanya sudah sejak tadi, sebelum jam 08.00 sudah duduk di
dalam kelas dan memaraf daftar hadir. Dapatkah Pak Harun yang
demikian dituduh sebagai orang sekuler?.
Kami mahasiswanya bukan hanya menghormatinya, tapi juga
takut kepadanya. Tentu, karena wibawa besar yang ada pada Pak
Harun. Kami takut terlambat masuk kelas. Suatu pagi, saya dan dua
172
teman, A. Karim Hafid (alm.) dan M. Ghufron (dosen IAIN Jakarta),
terlambat. Perkuliahan Pak Harun sudah berlangsung beberapa menit.
Kami di luar saling dorong siapa yang akan mengetuk pintu. Seraya
berkelakar, saya bilang bahwa Pak Harun itu manusia rasional. Kalau
kita menjelaskan dengan baik, tentu kita tidak akan diusir keluar. Tapi,
karena ini masalah sungguh berat, sebaiknya pakai "jampi-jampi"
sebelum masuk. Kata saya selanjutnya: "Saya orang Muhammadiyah,
tidak banyak tahu doa jampi-jampi. Anda berdua orang NU, banyak
doa jampinya..., he..., he... Karim Hafid langsung mendorong Ghofron
ke depan pintu. Ghufron berdiri diam sebentar terpaku. Lalu, mulutnya
komat-kamit membaca doa sedikit panjang. "Amin", dia mengakhiri
doa. Kami di belakangnya ikut mengamini. Dia "bismillah" dulu, lalu
mengetuk pintu, membukanya dan memberi salam. Mata kawan-
kawan tertuju kepada kami. Di antaranya seperti mengejek, "dari mana
kalian!" Kami merasa rugi jika tidak ikut kuliah Pak Harun.
Karenanya, kami pantang terlambat. Ghufron maju ke dekat Pak
Harun. Baru bicara sedikit mohon maaf, Pak Harun lalu menyuruh
kami cepat ke kursi masing-masing. Selesai kuliah, kawan-kawan
ramai mengatakan bahwa kami hebat tidak diusir keluar. Mereka
tertawa lebar saat saya bilang bahwa Pak Harun kena jampi-jampinya
Ghufron.
Ketika Daud Rasyid kembali dari sekolah di Mesir, dia termasuk
pengeritik keras Pak Harun. Di tengah santernya kritikan itu, termasuk
tuduhan berpikiran sekuler, Pak Harun mengangkat Daud Rasyid
untuk mengajar di Pascasarjana IAIN Jakarta. Ditanya kenapa beliau
mengangkat pengeritiknya yang lantang itu, Pak Harun menjawab
enteng: "Dia doktor hadis dan dikenal baik oleh koleganya, termasuk
yang mengajar di Pascasarjana. Juga, untuk membantu Pak Quraish
Shihab yang selama ini mengajarkan hadis, selain tafsir sebagai
keahliannya".
Rupanya Pak Harun tidak terganggu dengan pengeritiknya. Pak
Harun melihat itu semua hanya sebagai pendapat-pendapat yang
saling berbeda. Agaknya, tuduhan terhadap seseorang sebagai
173
berpikiran sekuler dan sesat, sudah tidak relevan, bahkan sudah usang.
Hampir seabad yang silam, Ali Abdul Raziq juga dituduh sebagai
sekuler karena berpendapat bahwa Al Quran tidak menunjuk satu
sistem pemerintahan yang baku bagi kaum Muslimin untuk
ditegakkan. Sistem kekhakifahan adalah upaya yang bersifat ijtihadi
yang dilakukan kaum Muslimin dalam sejarah. Tegasnya, tidak ada
dalil syarak (syar'i) yang mewajibkan kaum Muslimin menegakkan
sistem kekhalifahan. Memang ternyata benar. Karena cendekiawan
Muslim yang dituduh membawa pemikiran sekuler dan sesat,
pemikiran mereka itu berdalil kepada Al Quran dan hadis Nabi SAW.
Pada masa sekarang ini, setelah Pak Harun sudah tiada, semakin
banyak kaum cerdik pandai Muslim setelah sekolah di Pascasarjana di
banyak kota di Tanah Air, melahirkan pikiran-pikiran yang pada masa
Pak Harun dituduh sebagai sekuler dan sesat. Karena semakin
berpendidikan yang baik, semakin banyak orang tidak lagi dengan
mudah menuduh seperti itu. Mereka semakin mengerti bahwa apa
yang "sekuler" dan "sesat" itu, ternyata ada dalilnya dari Al Quran dan
hadis Nabi SAW. Itu semua adalah berkat kerja keras Pak Harun
dengan gerakan Pascasarjananya di Indonesia. (QM)

174
KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR.
HARUN NASUTION DALAM MENGEMBANGKAN
PROGRAM PASCA SARJANA DAN PENINGKATAN
KUALITAS PTAI DI INDONESIA

Abdul Khamid

Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji syukur kita panjatkan ke hadliart Allah SWT. yang
senantiasa melimpahkan nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat sehat
wal afiat, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Besar
Muhammad Saw. yang telah membimbin kita sehingga kita dapat
berittiba’ kepada beliau sampai akhir hayat nanti. Aamiin.
Mengenang kiprah Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Direktur
Pascasarjana yang pertama beliau wafat pada hari Jum’at, tanggal
18 September 1998, saya jadi ingat kembali ketika saya menjadi staf
di Ditperta saat itu sekarang Diktis. Saya disuruh mengantar bantuan
beasiswa Program Pascasarjana tahun 1987 waktu itu bulan puasa.
Karena staf beliau Bapak Muslim Tumanggor sudah pulang akhirnya
uang sebanyak Rp. 75.000.000,- disuruh dibawa pulang. Dalam
perjalanan uang itu saya simpan di bawah jok mobil sopir dengan
dibungkus kertas koran tanpa memberi tahu kepada sopir. Setelah saya
diantar ke rumah tidak ingat lagi dengan uang yang saya simpan
dibawah jok mobil karena sudah malam. Ketika selesai sahur saya
baru ingat uang itu dan saya membuka tas untuk dicek kembali jumlah
uang itu, tapi ternyata tidak ada lalu istri saya (alm) menyarankan
kontak sopir dan sopirpun tidak tahu. Setelah saya shalat malam saya
baru ingat bahwa uang tersebut saya simpan di bawah jok Pak sopir.
Di malam itu juga saya pamit dengan istri (alm) untuk mengambil
uang tersebut ke rumah Pak sopir dan sesampai di sana Pak sopir kaget
dan bertanya ada Pak malam-malam ke sini saya bilang saya mau cek
mobil ada barang yang ketinggalan di mobil dan alhamdulillah uang
itu masih ada di mobil dan pagi harinya saya antar lagi ke IAIN saat
175
itu. Itulah setetes kisah kenangan syahdu yang tak terlupakan dengan
beliau almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dan yang perlu diingat
beliau adalah sebagai penggagas Program Pascasarjana di PTAI
seluruh Indonesia walaupun saat itu baru di beberapa IAIN yang
mapan.
Selanjutnya walaupun saya tidak lansung menjadi murid beliau
sedikitnya penulis ingin sumbangsih untuk mengenang jasa beliau
yang menurut saya beliau adalah seorang pembaharu pemikiran Islam
di PTAI saat itu, bahkan saya mengutip dari nara sumber in memoriam
Prof. Dr. Harun Nasution tanggal 18 Septembar tahun 2000 yang
dipaparkan oleh Prof. Dr. Quraish Syihab, bahwa beliau adalah
sebagai tokoh madzhab baru dalam pemikiran Islam di PTAI yang
orientasinya adalah mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan ilmu
keislaman dengan kata lain Islam sebagai Disiplin Ilmu (IDI) dan hal
ini menjadi cikal bakal gagasan transformasi dari IAIN menjadi UIN.
Prof. Dr. Harun Nasution adalah tokoh ilmuwan yang
mengharapkan program pascasarajana harus benar-benar melahirkan
lulusan yang memilki kualifikasi dan kualitas yang meningkat baik S-
2 (Magister) maupun S-3 (Doktor), karena program pascasarajana
waktu itu baru bersifat program pengadaan, namun sekarang bisa kita
rasakan pesatnya perkembangan PTAI karena yang tadinya UIN
Jakarta sebagai satu-satunya model PTAI tapi sekarang sudah banyak
IAIN yang bertransformasi menjadi UIN dan itulah sesunggungnya
wujud pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan Ilmu Keislaman
karena UIN bisa membuka prodi-prodi umum sebagaimana di
Perguruan Tinggi umum Negeri maupun Swasta.
Prof. Dr. Harun Nasution adalah seorang tokoh penggerak
perubahan dan pencerahan Kajian Islam PTAI di Indonesia. Usaha
beliau untuk mengorganisir potensi besar bagi tokoh-tokoh
pendidikan Islam tidak pernah beliau katakan sebagai gerakan
perubahan, hanya kita yang dapat merasakan betapa dahsyatnya
impact dari gagasan-gagasan besar yang beliau sampaikan dalam
berbagai temu ilmiah dengan para ilmuan dalam maupun luar negeri
176
pada saat itu. Di samping itu beliau juga sebagai pembaharu
perubahan sistem pendidikan Islam di IAIN saat itu. Sebagai contoh
diceritakan dalam sebuah naskah diskusi beliau konon yang
sebelumnya antara mahasiswa beliau hanya mendengarkan sistem
perkuliahan searah guru membaca apa yang dibaca guru murid
mendengarkan bahkan mahasiswa beliau jarang bertanya. Tapi setelah
belaiu berupaya terus menerus melakukan perubahan sistim
perkuliahan menjadi ada stimulasi dan respon dua arah arah
mahasiswa dengan dosen berdiskusi maka situasi proses pembelajaran
menjadi hidup tidak lagi teacher centered tetapi berubah menjadi
active learning.
Kemudian setelah itu merubah budaya lisan (diskusi) menjadi
budaya tulisan (paper, makalah). Jadi setiap mahasiswa diwajibkan
membuat paper atau makalah, yang wajib dipresentasikan di hadapan
teman-teman kuliah. Lebih jauh lagi dari budaya lisan (diskusi)
dianggap sebagai produk Perguruan Tinggi Agama dan dari budaya
produk ditingkatkan budaya produkrif yang berupa jurnal, buku,
penelitian dan sebagainya. Beliau adalah tokoh yang melatih kita
menuliskan pemikiran secara utuh dan sistimatis. Budaya ini sebagai
budaya untuk mengantisipasi kelemahan dalam budaya lisan, sebab
tidak semua orang dapat menulis dan memaparkan idei-ide yang ada
dalam pikirannya secara runtut dan jelas. Agar dapat dipahami orang
lain, maka ide-ide itu hendaknya ditulis, dengan tradisi menulis semua
pemikiran dosen dan mahasiswa dan alumni PTAI dapat dinikmati
seluruh publik.
Sekarang, karya tulis beliau mungkin sudah ribuan banyaknya.
Dan sudah sering dipamerkan disetiap saat ada pameran buku di PTAI
khususnya dan Indonesia umunya. Dalam suatu kesempatan beliau
memaparkan tentang “Islam ditinjau dari berbagai aspek Disiplin
Ilmu” sebagaimana yang pernah penulis alami dari gagasan beliau,
saya yang menjadi staf penulis Guru Besar berbagai Disiplin Ilmu
sebagai berikut, seperti: Islam sebagai Disipilin Ilmu Pendidikan Prof.
Dr. Zakiah Daradjat UIN Jakarta, Islam sebagai Disiplin Ilmu Filsafat
177
Prof. Dr. Aslam Hadi dari UGM, Islam sebagai Disiplin Ilmu
Ekonomi Prof. Dr. Amin Aziz dari UNSIAH, Islam sebagai Disiplin
Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Prof. Dr. Asri Rasyad dari UI, Islam
sebagai Disiplin Ilmu Biologi Prof. Dr. Ir. AM. Saefuddin dari IPB,
Islam sebagai Displin Ilmu Manajemen Prof. Dr. Ishak Abduhaq dari
UPI, Islam sebagai Disiplin Ilmu Pertanian Prof. Dr. Ir. Widodo dari
IPB, Islam sebagai Disiplin Ilmu Informatika Prof. Dr. Abdul Madjid
dari UPI, Islam sebagai Disiplin Ilmu Antariksa Prof. Dr. Ir. Sudarko
dari UI, Islam sebagai Ilmu Astronomi Prof. Dr. Ir. Haedar Ali dari
ITS, Islam sebagai Ilmu Geneacologi (reproduksi) Prof. Dr. dr.
Jurnalis Uddin dari Universitas YARSI, Islam sebagai Disiplin Ilmu
Seni Prof. Dr. Ir. Sadeli dari ITB , Islam sebagai Disiplin Ilmu
Teknologi Prof. Dr. Ir. Bagir Manan dari ITB. Namun sayangnya
buku-buku ini yang memakai sebagai materi kuliah hanya di Peruruan
Tinggi Umum sedang di UIN sendiri yang merupakan tempat tokoh
penggagas belum ada penulisan buku teks tersebut.
Hal lain yang perlu diingat setelah beliau wafat adanya
perubahan besar yang muncul tradisi kajian Islam dan ini merambah
sampai ke pesantren-pesantren yang tidak lain adalah untuk
memahami Islam secara utuh tidak parsial, tidak membedakan ilmu
pengetahuan dan ilmu keislaman pada hakekatnya ilmu itu bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadis.
Untuk pengembangan pemikiran Islam menurut Prof. Dr. M.
Quraish Shihab, Prof. Harun Nasution mengharapkan adanya
pengembangan pemikiran terus menerus dari semua intelektual dan
cendekiawan muslim. Dan beliau mengganggap Prof. Harun sebagai
tokoh madzhab jadidnya PTAI dalam pemikiran Islam, tetapi Prof.
Harun tidak merasa sebagai penggagas dan tokoh yang paling benar
melainkan mengatakan kebenaran itu ada di mana. Dari pernyataan
tersebut menggambarkan bahwa beliau adalah sosok tokoh yang
merasa perlu adanya perubahan paradigma berpikir dalam Islam
sehingga penganutnya tidak terjebak pada urusan dunia semata tetapi

178
lebih berorientasi pada dua sisi kehidupan yang seimbang yaitu dunia
dan akhirat.
Dalam suatu seminar tentang tasawuf ada kritik terhadap
pemikiran Prof. Harun, bahwa akibat gagasan yang disampaikan
dianggapnya berakibat terhadap perilaku mahasiswa yang tidak mau
shalat karena pola berpikir yang terlalu rasional, karena paradigma
berpikirnya bercampur antara yang rasional dengan unsur kejiwaan
dan tasawufnya. Memang seringkali beliau mengutarakan sudah
saatnya merubah cara berpikir lama dengan horizon baru dan ekplorasi
baru. Kalimat ini memerlukan jawaban yang lama, bahkan menyita
waktu dalam kegiatan kuliah maupun diskusi-diskusi. Menurut Prof.
Harun dalam setiap diskusi sering mengutarakan IAIN saat itu masih
terlalu berorientasi pada tradisi lama berkisar pada apa yang diteorikan
oleh tokoh-tokoh Islam masa lalu, seperti: Al-Kindi, Al-Farabi saja,
padahal kajian seharusnya kekinian sehingga dapat menyesuaikan
dengan perkembangan paradigma berpikir kekinian.

Prof. Harun Nasution dan Pengembangan Program Pascasarjana


IAIN
Menurut Prof. Said Agil Munawar dalam makalahnya, beliau
adalah seorang tokoh terpenting dalam menggagas pendirian Program
Pascasarjana di IAIN Jakarta saat itu, dan beberapa PPs. IAIN di luar
Jakarta, seperti PPs. IAIN Ujung Pandang UIN Makasar sekarang dan
IAIN Surabaya sekarang UIN yang masih dianggap masih muda tetapi
pengaruh perubahannya sangat signifikan karena bermunculan ulama
dan intelektual kajian Islam tingkat tinggi sangat berbeda dengan
generasi sebelumnya.
Di samping penggagas Program Pascasarjana juga terkenal
dengan keberaniannya di bidang pemikiran Islam dalam dunia ilmu
pengetahuan dengan melalui penyelidikan dan pengkajian ilmiah,
guna menegaskan identitas sebagai seorang pemikir. Dengan
keberaniannya mengambil sikap tersebut, maka kolega di lingkungan
IAIN banyak yang keliru dalam memahami teologi rasional yang
179
dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dikiranya
mengkapanyekan teologi Mu’tazilah untuk merusak teologi Ahlu al-
Sunnah. Ada juga yang mengkatagorikan Prof. Dr. Harun Nasution
sebagai tokoh kontroversial. Tetapi kesalahpahaman itu justru
memberi isyarat bahwa Prof. Harun mendobrak kebekuan pemikiran
yang menjangkit ummat Islam pada saat itu, walaupun upaya
perubahan itu tidak selalu mendapat dukungan dari pihak yang tidak
sepaham.
Prof. Harun seorang tokoh intelektual yang amanah, sekalipun
banyak berkorban dalam menggulirkan ide perubahan, beliau tidak
lazim mengambil manfaat apapun, apalagi material, dengan kadar
yang berlebihan. Sekalipun beliau secara maksimal dalam pengabdian
nyatanya kehidupan pribadi dan spiritualnya sangat zuhud karena
penulis sering mengantar honor ke rumah beliau. Semestinya sangat
wajar jika Prof. Harun menikmati hidupnya dengat layak, nyatanya
beliau justru memilih hidup secara sederhana.
Dengan melihat kesederhanaan beliau dan hidup apa adanya itu,
dapat dikatakan sebagai tokoh pengabdi ilmu bukan pekerja ilmu.
Seorang pengabdi ilmu selalu digelisahkan untuk mendidik,
menyampaikan dan menyebarluaskan penemuan-penemuan karya
ilmiahnya kepada masyarakat terdidik. Mendidik bagi beliau berarti
memperluas cakrawala berpikir. Begitu tanggungjawabnya sehingga
hampir-hampir semua murud-muridnya yang bergitu banyak karena
beliau mengajar di seluruh Pascasarjana di semua IAIN,
mahasiswanya dianggap bagai anak kandungnya sendiri. Beliau
menganggap mereka adalah titipan Allah SWT yang tidak hanya
mendidik tetapi juga mempertanggung-jawabkannya dan
memperhatikan perkembangannya.
Ada penuturan salah seorang mahasiswa Prof. Harun yang sangat
menarik, katanya jika ketemu dengan murid-muridnya bagi beliau
tidak saja hiburan intelektual, tetapi sekaligus merupakan ajang
silaturrahmi hati dan mental. Sekarang, pemikiran liberal atau rasional
seperti itu sudah menjadi hal yang biasa, dan kitapun baru “berani”
180
memberinya penghargaan secara terbuka. Sewaktu diskusi dengan
beliau menurut murid-muridnya hampir selalu dalam suasana penuh
kehangatan, disela-sela guyon yang segar. Semua kaum orang
termotivasi berpikir kritis, tidak saja bagi dirinya sendiri, namun juga
terhadap semua hal dan persoalan yang layak dikaji secara ilmiah.
Tidak ada satu saatpun pada waktu diskusi beliau tidak santun
atau tanpa senyum, beliau sama halnya sikap para kiyai di pesantren.
Beliau menghabiskan waktunya untuk melayani murid-muridnya 24
jam. Yang lebih dikenang murid-muridnya beliau tidak menempatkan
PPs sebagai lembaga keuangan, yang menuntut pembayaran kepada
murid-muridnya secara kaku dan lembaga pendidikan dan pengkajian
ilmu, menurut beliau tidak harus mengejar kembali modal (break even
point).
Bukan hanya itu, Prof. Harun juga telah berhasil melakukan
demokratisasi sikap ilmiah dan independensi berpikir. Beliau
mengajarkan bahwa semua orang punya hak yang sama untuk
mengungkapkan sikap ilmiah dan kemandirian dalam berpikir secara
bebas tanpa ada rasa takut dan intervensi dari hal-hal yang bersifat
non-ilmu. Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN, IAIN dan
STAIN, apalagi Program Pascasarjana adalah dunia bagi semua orang
untuk melakukan transaksi wacana secara bebas sejauh dalam koridor
tradisi ilmiah akademik yang benar. Bahkan banyak alumnus murid
beliau memberi gelar Prof. Harun dengan “Nabi Harun” atau “Dewa
Harun”.
Jika kita diperbolehkan mengritik beliau, barangkali kritik itu
baru relevan jika ditujukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan
dari apa yang sudah diusahakan oleh Prof. Harun, bukan pada aliran
pemikirannya. Tetapi tugas kita semua untuk melanjutkan apa yang
telah dirintis beliau, dan pada kenyataannya kita semua telah
merasakan hasilnya terutama para pemangku mata kuliah kajian Islam
dengan menggunakan referensi karya-karya ilmiah beliau.
Kerja mendidik masyarakat, mengembangkan kajian keislaman
dan pusat studi kewilayahan, merupakan tugas kita semua, tidak hanya
181
ide-ide beliau yang sudah bergulir tetapi yang terpenting adalah
melanjutkan paradigma berpikir beliau yang merupakan cikal bakal
kebebasan berpikir di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Sementara dalam makalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid
memaparkan, bahwa Prof. Harun bernilai encouragment atau tasji’
artinya dorongan atau pendorong atau istilah yang lain ruh al-naqd
artinya semangat yang fokus. Pernyataan tersebut mengingatkan kita
bahwa ternyata Tuhan tidak mau kalau ajaran dan pahamnya diterima
begitu saja secara dogmatis. Bahkan menurut Abu Hasan dalam
tafsirnya Al-Furqan, “orang Islam yang menerima ajaran Tuhan
secara membabi buta itu munafik” Cara yang benar adalah harus
menggunakan daya kritis, dan dengan understanding. Kita tahu bahwa
salah satu sinyalemen yang paling umum mengenai masyarakat kita
ialah suatu persepsi mengenai agamanya itu dianggap dogmatis, tidak
kritik tidak ada keinginan mengkaji kembali bahkan mengiuti jargon
tertentu.
Selanjutnya Prof. Nurcholis Madjid mengatakan, berbicara
pemikiran Prof. Harun sesungguhnya mengenang kehebohan
pemikiran Prof. Harun pada saat itu. Yang dinamakan tanaman kapital
manusia (human capita investment) itu saat-saat orang ramai
membicarakan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam pada saat itu.
Oleh karena pembuktian terhadap suatu kesalahan atau kebenaran
suatu ajaran, memang dimensi waktu yang panjang sekali. Misalnya
api itu membakar, bagi yang tidak percaya silahkan masukkan tangan,
akan terbukti juga pada waktu itu kebenaran atau kesalahannya, itu
namanya nol. Tetapi kalau sudah menyangkut soal pikiran, bisa
ratusan tahun. Misalnya kebenaran yang dibawa agama-agama,
sepalsu apapun agama itu ratusan tahun umurnya. Begitu pula
pembuktian tentang kebenaran pemikiran Prof. Harun ternyata
membawa manfaat bagi murid-muridnya juga para cendekiawan.
Prof. Harun adalah contoh seorang ‘alim. Seorang yang tidak
melihat ilmu itu memiliki batas. Jadi ilmu itu tidak ada batasnya, yang
ada perbatasan. Batas dan perbatasan itu berbeda; ungkapan ini jelas
182
jika dinyatakan dalam bahasa Inggris: tidak limit, yang adalah franche.
Perbatasan (franche) ialah titik terakhir yang dapat kita capai. Karena
firman-firman Allah di zaman klasik dipegang secara konsisten. Al-
Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak memberikan pengetahuan
kepada kita kecuali sedikit saja. Karena pengetahuan Tuhan itu begitu
banyak tidak terbatas, yang berbatas adalah pengetahuan manusia,
sehingga jika seluruh lautan itu dijadikan tinta, dan seluruh pepohonan
beserta ranting dan cabangnya dijadikan pena untuku menulis
pengetahuan Tuhan, maka pengetahuan Tuhan tidak akan habis. Ini
berarti infinitive atau unlimited, karena batasnya ada pada Allah,
sementara Tuhan tidak terbatas.
Jadi, ulama di samping harus memiliki otoritas intelektual dia
juga harus memiliki otoritas moral dan ulama adalah harus manusia
pilihan. Dan lembaga perguruan tinggi seperti PTAI harus memiliki
figur seperti Prof. Dr. Harun Nasution yang memilki otoritas ilmu, di
samping moral karena beliau terkenal sebagai orang yang sangat
shaleh.

Menelisik Aspek-aspek Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution


Prof. Harun sering mengatakan kalimat “Islam dengan
pengertian sebenarnya”, demikian nukilan dari makalah Prof. Dr. HM.
Yunan Yusuf. Dengan kata lain Prof. Harun ingin mengatakan bahwa
pengertian Islam yang kita pahami selama ini belum menurut arti yang
sebenarnya. Banyak sekali tulisan yang mengritik Prof. Harun, salah
satunya ketika beliau menyampaikan pidato dies natalis ke IV IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta di Balai Sidang Senayan, beliau
menyelipkan pandangan-pandangan pembaharuannya. Sesungguhnya
pidato seperti itu sudah biasa beliau sampaikan di kampus Ciputat dan
reaksinya biasa-biasa saja, tetapi ketika disampaikan di Senayan di
cover dan di blow up oleh media massa, maka pemikiran yang
disampaikan Prof. Harun merambah ke semua kelompok msyarakat.
Prof. Harun mengatakan bahwa IAIN baru bisa menjawab
tantangan zaman, kalau bisa merubah pemikiran agamanya. Waktu
183
beliau mulai pidatonya dengan mengatakan, bahwa antara sains dan
agama itu terjadi pertentangan, agama berisi dogma yang tidak bisa
merobah, sementara ilmu pengetahuan berisi capaian yang bisa
merubah karena temuan baru. Itulah sebabnya di barat sains terlepad
dari agama, sains tidak bisa berhadapan ataupun bersama-sama
dengan agama, kata Prof. Harun. Oleh karena itu dalam konteks ini
harus dirubah kepada pengertian yang sebenarnya.
Menurut Prof. Harun Islam sebenarnya Islam yang tidak hanya
menginformasikan fiqh, tauhid, tafsir, hadis dan bahasa Arab. Selama
ini, kurikulum IAIN saat itu hanya berputar-putar pada wilayah
tersebut tadi. Perubahan pengertian Islam menuju yang sebenarnya
tersebut, bukan hanya mengemukakan aspek ibadah, tafsir, hadis, dll.,
tetapi melebar pada sejarah, filsafat, peradaban, asawuf, bahkan pada
pranata sosial dan hukum. Pengertian sebenarnya menurut Prof.
Harun, kemudian dibukukan dan judul “Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya”.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi
dua. Pertama, ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut, sedangkan
yang kedua, adalah Islam yang bersifat pengembangan. Ajaran Islam
kategori pertama hanya empat hal saja yang tidak boleh hanya
disimpulkan menurut kerangka pemikiran Islam, yaitu: (1) Tidak
boleh ada dalam pemikiran Islam, bahwa Allah tidak ada; (2) Tidak
boleh ada dalam pemikiran Islam, bahwa al-Qur’an bukan wahyu; (3)
Tidak boleh ada dalam kesimpulan pemikiran Islam, bahwa
Muhammad SAW bukan Rsul Allah; (4) Tidak boleh ada dalam
kesimpulan pemikiran Islam, bahwa hari akhir tidak ada. Jika ada
pemikiran Islam yang menyimpang dari keemapat hal tersebut di atas
bukan pemikiran Islam.
Dalam pidato selanjutnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa
pemikiran Islam harus dikembangkan; karena sesungguhnya al-
Qur’an, tidaklah menjelaskan segala-galanya. Kelanjutan dari
pemikiran beliau mendapat reaksi dari kolega-koleganya, antara lain:
Jamaluddin dari Ujung Pandang (Makasar); Fuad Fachruddin dari
184
IAIN Jakarta; Majlis Ulama Indonesia. Mereka menuduh Prof. Harun
sebagai oreintalis di IAIN saat itu, bahkan menuduh tidak shalat dan
membuat mahaiswa jadi kafir dan menganggap pemikiran Prof. Harun
sudah melenceng jauh dari ajaran Islam.
Meningat ajaran Islam yang relatif sangat banyak dan luas itu,
maka siapa saja yang bisa berenang di dalam kolam ajaran Islam yang
nisbi tersebut, jangan sampai keluar dari al-Qur’an dan Hadis.
Dengan demikian, jika kita sudah menangkap ajaran Islam yang
lengkap dan luas itu, maka dalam rangka mengembangkan pemikiran
Prof. Harun Nasution, perlu kita tegaskan kembali adalah melanjutkan
keberanian untuk berenang dalam ajaran Islam yang luas itu.
Melanjutkan keberanian ide-ide dan gagasan segar dan orisinil untuk
dinamika kehidupan dalam pemikiran Islam.
Inilah setetes sinopsis yang penulis ketahui berdasarkan rujukan
makalah-makalah para nara sumber yang saya simpan dalam lemari,
pasti jauh dari panggang yang diharapkan untuk menelusuri jejak dari
kiprah seorang tokoh pemikiran Islam yang memiliki keilmuan yang
sangat tinggi. Oleh karena itu penulis minta maaf kalau ada ketidak
sinkronan kata dalam tulisan ini.

185
186
PEMIKIRAN PENDIDIKAN HARUN NASUTION

Abuddin Nata

Harun Nasution adalah sosok ilmuwan Muslim yang amat


berwibawa dan disegani oleh kalangan intelektual Muslim, baik di
dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya
berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang
mendengar namanya, yang terbayang adalah bahwa ia seorang mantan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keahlian dalam
bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan liberal. Dengan
corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution
dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan
dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut
umat Islam Indonesia. Melalui berbagai karya tulis yang
dihasilkannya, Harun Nasution tidak hanya memperkenalkan corak
pemikiran teologi yang tradisional seperti Asy'ariyah yang banyak
dianut umat Islam Indonesia, melainkan juga memperkenalkan teologi
yang rasional dan liberal seperti Mu'tazilah dan Maturidiyah
Samarkand. Di dalam pergulatannya dengan berbagai paham aliran
teologi tersebut serta hubungannya dengan kondisi sosial, ekonomi,
budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia yang terbelakang, Harun
Nasution lebih lanjut menunjukkan kecenderungannya kepada teologi
Mu'tazilah. Harun Nasution melihat bahwa untuk mengatasi berbagai
keterbelakangan umat Islam di Indonesia dalam berbagai bidang
tersebut harus dilakukan dengan mengubah paham teologi yang
dianutnya, yaitu dari paham teologi tradisional menjadi teologi yang
rasional dan liberal. Kecenderungan yang demikian itu, membawa
implikasi timbulnya tuduhan dari masyarakat pada umumnya kepada
Harun Nasution sebagai seorang Muslim yang terbaratkan, dan
sekular. Harun Nasution mendapatkan tuduhan sebagai Mu'tazilah
yang tersesat.

187
Perdebatan di sekitar pemikiran teologi Harun Nasution yang
demikian itu tidak akan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Yang
akan dikaji dalam tulisan ini adalah gagasan dan pemikiran Harun
Nasution dalam bidang pendidikan, suatu sisi dari Harun Nasution
yang kurang mendapatkan perhatian dari para pemerhati terhadap
Harun Nasution. Paling kurang terdapat empat hal yang darinya dapat
ditemukan gagasan dan pemikiran Harun Nasution dalam bidang
pendidikan Islam pada khususnya, dan perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya.
Pertama, bahwa sejak di Sekolah Dasar, tepatnya di Holland
Inlandsche School (HIS), sekolah dasar 'modern' yang didirikan oleh
pemerintah Belanda, Harun Nasution sangat tertarik pada ilmu alam
dan sejarah. la bercita-cita menjadi guru bila besar nanti.1 Cita-citanya
ini baru tercapai pada saat Harun Nasution kembali ke tanah air setelah
selesai menempuh studinya pada Program Strata 3 (S-3/DR) dari
McGill University, Montreal Canada. Di tanah air, Harun Nasution
bertugas sebagai dosen hingga menjadi Rektor pada Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sejak Mei 2002
berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kedua, selama masa tugasnya sebagai dosen dan Rektor di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dapat diduga Harun Nasution memiliki
gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan Islam. Dugaan ini
dapat dilihat indikasinya pada adanya perubahan di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ke arah yang lebih maju dari keadaan
sebelumnya. Dugaan ini perlu dibuktikan lebih lanjut berdasarkan
bukti-bukti yang objektif dan meyakinkan.
Ketiga, setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1973-1982) selama kurang lebih

1
Badri Yatim dan Hamid Nasuhi (ed.), Membangun Pusat Keunggulan
Studi Islam Sejarah dan Profit Pimpinan JAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1957-2002. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002, hlm. 164
188
sembilan tahun, Harun Nasution menghabiskan masa tuanya hingga
wafat sebagai Guru Besar dan sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui upayanya yang penuh ketekunan,
perhatian dan keikhlasan dalam membina dan mengelola
Pascasarjana, Harun Nasution berhasil melahirkan ratusan doktor
dalam berbagai bidang ilmu agama yang saat ini memimpin
UIN/IAIN/STAIN yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.
Keberhasilannya ini tentu didasarkan pada konsep, strategi dan upaya-
upayanya dalam mendidik dan mengajar para mahasiswanya.
Keempat, dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution dapat
dikatakan sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Kalam
(Teologi) dan Falsafat yang handal dan kapabel. Namun, keahliannya
dalam bidang ilmu ini bukanlah tujuan, melainkan sebagai alat.
Dengan kedua ilmu tersebut Harun Nasution ingin mendidik dan
mengubah mental masyarakat Islam yang terbelakang, jumud dan
tradisional menjadi mental masyarakat yang maju, dinamis clan
rasional. Harun Nasution begitu yakin, bahwa untuk membawa
kemajuan bangsa dan negara, terlebih dahulu harus dilakukan dengan
mengubah sikap mentalnya.
Kelima, dilihat dari segi pribadinya, Harun Nasution adalah
seorang yang taat menjalankan ibadah, berpola hidup sederhana, jujur,
amanah, dan rendah hati. Pribadi yang demikian itu merupakan salah
satu sifat yang harus dimiliki seorang pendidik. Berdasakan pada lima
indikasi tersebut di atas, tulisan ini akan mengkaji lebih lanjut gagasan
dan pemikiran konseptual Harun Nasution tentang pendidikan Islam
dengan terlebih dahulu menjelaskan riwayat Hidupnya secara singkat.

A. Riwayat Hidup
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar, daerah
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada hari Selasa, 23 September
1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Yang tertua di antara
saudaranya itu adalah Mohammad Ayyub yang kemudian disusul oleh
Khalil, Sa'idah dan adik perempuannya Hafshah. Ayahnya bernama
189
Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang
berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi,
penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di
Kabupaten Simalungun. Karena kemampuannya dalam bidang
ekonomi ia berkesempatan pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji
pada saat masih muda.2 Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah
Bato adalah seorang putri ulama asal Mandailing, dan masa gadisnya
pernah bermukim di Mekkah dan pandai Bahasa Arab. Kedua orang
tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu
telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam
menanamkan pendidikan agamanya. Lebih lanjut Harun Nasution
mengatakan:
Suasana keagamaan yang ditanamkan ibuku di rumah
benar-benar membekas dalam hatiku. Ibuku menetapkan
disiplin keras. Di rumah aku belajar mengaji sejak pukul
empat hingga lima sore. Selesai shalat maghrib, aku
mengaji Alquran dengan suara keras sampai tiba waktu
Isya'. Kalau bulan puasa, bertadarus di masjid hingga pukul
12 malam. Setiap pagi aku bangun subuh untuk shalat
berjama'ah.3

2
Sebagai seorang pemimpin dan pejabat keagamaan, ayah Harun
Nasution memiliki kemampuan membaca kitab-kitab Jawi serta kitab-kitab
kuning berbahasa Melayu. Dengan demikian ia memiliki pengetahuan yang
luas tentang hukum Islam (fiqih). Di samping tugas pokoknya sebagai qadli,
ayahnya juga seorang pedagang yang sukses sehingga ia mampu mengimpor
barang-barang dari Singapura, suatu kemampuan yang pada masa itu masih
jarang dimiliki pedagang lainnya. Sedangkan ibunya adalah semarga dengan
ayahnya yang menurut aturan adat setempat melarang perkawinan dalam satu
marga. Peraturan adat setempat itu telah dilanggar oleh ayahnya dengan
pertimbangan bahwa agama membolehkan adanya perkawinan dalam
semarga. Lihat Tim Penulis; Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam: 70 Tahun
Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 4-5.
3
ibid, him. 6
190
Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh
oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik
Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS) yang ditempuh selama 7
tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berusia 14
tahun. Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasution
berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan
umum. Setelah itu ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische
Kweekschool (MIK) selama tiga tahun.4 Nasution walaupun semula
enggan belajar di sekolah ini, karena ingin masuk MULO, tapi
akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini. Nasution mengaku
tertarik mempelajari Islam, karena Islam tampak sangat modern di
tangan pengajar MIK. Disinilah buat pertama kali Harun Nasution
berhubungan dengan pemikiran modern Islam, seperti yang
dikembangkan oleh sejumlah sarjana Islam yang terkemuka seperti
Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek. Lebih lanjut Harun
Nasution berkomentar terhadap MIK sebagai berikut:

"Di sana aku memakai dasi, dan diajarkan bahwa


memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan
kurasa cocok. Kupikir, mengapa harus berat-berat
mengambil wudlu dahulu hanya untuk mengangkat Alquran.
Terpikir pula, apa beda Alquran dengan kertas biasa.
Alquran yang ku pegang itu adalah kertas, bukan wahyu.
Wahyunya tidak disitu. Apa salahnya memegang kertas
tanpa berwudu lebih dahulu. Begitu pula soal shalat,
memakai ushali atau tidak bagiku sama saja. Di Bukittinggi,
aku mulai mengenal pemikiran tokoh-tokoh besar seperti
Hamka, Zainal Abidin Ahmad dan Jamil Jambek melalui

4
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar Belanda, HIS,
Harun Nasution berkeinginan melanjutkan studinya ke MULO, Sekolah
Lanjutan milik Pemerintah Belanda. Namun ayahnya bersikeras merninta
Harun studi sekolah Islam. Karena tidak berani menentang kehendak
ayahnya, ia melanjutkan studinya di MIK
191
tulisan-tulisan mereka di majalah Pedoman Masyarakat dan
khutbah-khutbah mereka.

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang


demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar
di MIK malah berbalik melarangnya, dan meminta anaknya itu keluar
dari sekolah tersebut dan melanjutkan di sebuah sekolah guru
Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi ke Solo
melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan
sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di tanah suci itu. Upaya
ini dilakukan, karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang
diperoleh Harun Nasution dari Sekolah Belanda sudah cukup.
Selanjutnya ia harus mendalami agama Islam di Mekkah agar lebih
lurus pemikirannya. Akan tetapi, setelah lebih kurang satu tahun
lamanya berada di Mekkah ia pada tahun 1938 memutuskan untuk
pergi ke Mesir. Mekkah tampaknya tidak cocok dengan jiwa Harun
Nasution yang Modern. Menurutnya Mekkah adalah “Kota abad
pertengahan di era modern”. Ia tertarik untuk belajar di Mesir, karena
sejumlah pemikir muslim progresif yang ia temukan pada saat di
Bukittinggi merupakan lulusan universitas di Mesir. Ia menerima
banyak informasi mengenai perkembangan pemikiran Islam modern
di Mesir dari Mukhtar Yahya. Sebagai seorang modernis, Yahya
pernah berkata kepada Harun Nasution: “Seorang modernis seperti
kamu (Nasution) lebih baik belajar Islam di Mesir.”
Senada dengan itu sumber lain menginformasikan, bahwa pilihan
Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir karena sebelumnya
ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran
cendekiawan Muslim Indonesia tamatan Mesir seperti Mahmud
Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A. Ghani, dan lain-lainnya yang
telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai tokoh agama
terkemuka.
Dengan pertimbangan untuk mencari tempat belajar yang lebih
sesuai dengan sifat modernisnya itulah akhirnya orang tuanya
192
merelakan ia pergi ke Mesir. Di Mesir ia kuliah di Fakultas
Ushuluddin pada Universitas Al-Azhar. Di negeri bersejarah itu,
Harun mulai mencoba mendalami Islam. Namun ia belum juga
menemui kepuasan. Dengan alasan ketidakpuasan inilah, Harun
Nasution memutuskan pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo.
Di Universitas ini, Harun tidak lagi mendalami studi Islam, melainkan
ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Dari American University
Kairo ini, Harun memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam
bidang Social Studies pada tahun 1952 dengan nilai sangat
memuaskan, yaitu Rata-Rata B+ atau A. makalah ujian akhir BA di
American University yang tertulis Harun Nasution berbicara tentang
masalah perburuhan di Indonesia. Menurut Harun Nasution
pemerintahan Republik Indonesia yang masih muda memberi
perhatian cukup besar terhadap masalah perburuhan. Jika buruh dan
majikan terlibat konflik, pemerintah cenderung membela buruh.
Namun hal tersebut hanya mengubah sedikit saja keadaan para buruh.
Mengingat problem matika yang dihadapi oleh Indonesia setelah di
jajah lebih dari 350 tahun oleh Belanda sangat komplek, dan mutu
sumber daya manusia yang dimilikinya sangat rendah. Keperihatinan
Harun Nasution terhadap masalah perburuhan ini antara lain di
pengaruhi oleh American University yang merupakan lembaga
pendidikan modern, di mana masalah perburuhan termasuk
masyarakat modern. Selain itu, aktivitas Harun Nasution di
Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Malaysia (PERPINDOM) yang
ada di Kairo, juga mendorong Harun Nasution memiliki kepekaan dan
kepedulian terhadap permasalahan sosial politik yang terjadi di
Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya.
Dengan bekal gelar BA dari American University serta ditambah
dengan pengalaman sebagai aktivis di PERPINDOM, serta didukung
oleh kemampuan berbahasa Arab, Inggris dan Belanda, Harun
Nasution untuk sementara waktu tidak melanjutkan studinya ke
jenjang yang lebih tinggi. Ia memilih bekerja di sebuah perusahaan
swasta di Mesir. Dalam kesempatan ini pula ia menikah dengan
193
seorang wanita Mesir dan beberapa tahun kemudian diangkat sebagai
pegawai di Konsulat Indonesia di Kairo. Harun Nasution diangkat
menjadi Konsulat, sedangkan konsulnya adalah H.M. Rasyidi yang
kemudian menjadi Menteri Agama pertama Republik Indonesia.
Beberapa tahun kemudian Harun Nasution dipanggil pulang untuk
bekerja di Departemen Luar Negeri Jakarta, hingga akhirnya ia
ditempatkan sebagai sekretaris di Kedutaan Besar Indonesia di Brusel
Belgia. Ketika bekerja di Brusel, terjadi gejolak politik yang
berimplikasi pada keadaan yang kurang menguntungkan bagi Harun
Nasution.10 sebagai seorang aktivis, Harun Nasution dituduh sebagai
pendukung atau simpatisan bagi kelompok yang mengadakan
pemberontakan PRRI (Pemerintahan Repolusionere Republik
Indonesia). Selain itu sikap politik Harun Nasution sebagai seorang
yang anti PKKI dan anti Soekarno menyebabkan ia berhenti dari karier
diplomatik. Ia masuk daftar hitam, dicekal memasuki wilayah
Indonesia dan Negara-Negara lain yang punya hubungan diplomatik
dengan Indonesia seperti Mesir. Hal ini membuat ia tidak bisa kembali
ke Jakarta karena PKI pada saat itu tengah berkuasa. Untunglah
seorang diplomat berkebangsaan Mesir yang tidak tahu bahwa Harun
dicekal, memberikan visa kepada Harun Nasution dan istrinya untuk
masuk ke Mesir.
Setelah sampai di Mesir, Harun Nasution kembali ke bangku
kuliah. Ia masuk di Sekolah Tinggi Studi Islam (Dirasah Islamiyah) di
bawah bimbingan salah seorang ulama berkebangsaan Mesir yang
terkemuka, Muhammad bin Abi Zahrah. Pada saat belajar di Mesir
putaran kedua inilah Harun Nasution memperoleh tawaran Studi Islam
di McGill University, Montreal, Kanada. Tawaran ini tentu saja sangat
menyenangkan hatinya karena merupakan sesuatu yang selama ini
menjadi tujuan dan cita-citanya. Kali ini lebih lanjut di ungkapkan
oleh Harun Nasution:

Aku mendapat tawaran dari Institut of Islamic Studies


McGill University yang membuka kesempatan bagi
194
mahasiswa Islam dan Kristen dari barbagai Negara.
McGill kekurangan mahasiswa dari Indonesia. Dan
berdasarkan informasi H.M. Rasyidi, tawaran itu
langsung ku terima. Aku pergi ke McGill pada
Tanggal 20 September 1962. Aku mendapat beasiswa
selama beberapa tahun. Di sana aku juga memperoleh
pandangan Islam yang luas, tidak seperti yang
kudapatkan di Al-Azhar Kairo. Di sana Islam
bercorak rasional, bukan tradisional seperti di
Indonesia, Mekkah dan Mesir. Aku tertarik membaca
karya-karya orientalis tetapi aku tidak dipengaruhi
pemikiran mereka; aku dipengaruhi pemikiran
rasional dalam Islam. Oleh filsafat, ilmu kalam yang
ada dalam Islam. Di McGill inilah aku sadar betapa
pengajaran Islam di dalam dan di luar Islam berbeda
betul. Kuliah dengan dialog. Semua mata kuliah
diseminarkan. Aku bener-benar merasakan
manfaatnya.

Selama studi di McGill mengambil konsentrasi kajian tentang


"Modernisme dalam Islam". Ketika mengisi formulir
pendaftarannya, ia menegaskan bahwa ia tertarik untuk menyelidiki
hubungan Islam dan negara. Karena itu ia menulis tesis M A-nya
mengenai The Islamic State in Indonesia: the Rise of the Ideology,
the Movement for its Creation and the Theory of Masyumi. Dalam
tesisnya ini, ia membahas gagasan tentang negara Islam yang
berkembang di kalangan partai-partai Islam di Indonesia" Nahdatul
Ulama (NU) dan Masjumi, atau paling tidak pemikiran para
pemimpinnya tentang negara Islam.
Melalui kajiannya itu, Nasution menyimpulkan bahwa di
kalangan Masjumi terdapat konsep tentang negara Islam, khususnya
di kalangan pemimpinnya seperti M. Natsir, Zaenal Abidin Ahmad,
Isa Anshari, Osman Raliby, dan Kasman Singodimedjo. Konsep
195
tersebut tidak ditemukan pada partai lain. Masjumi berusaha
melakukan institusionalisasi ide negara Islam tersebut. Partai ini
melakukan pendekatan konstitusional yang akhirnya menimbulkan
perdebatan yang berlarut-larut di parlemen mengenai ideologi negara
di Indonesia. Debat ini terjadi antara partai-partai yang berbasis pada
ideologi yang berbeda: Islam, komunisme, demokrasi-sosialisme,
dan nasionalisme. Debat ini pula yang akhirnya menimbulkan
kebuntuan menyusul tidak adanya mayoritas atau koalisi antara
partai.
Setelah itu, Harun Nasution melanjutkan studinya selama dua
setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D, dengan
menyelesaikan disertasi di bidang Ilmu Kalam (Teologi) dengan
judul "The Place of Reason in Abduhs, Its Impact on His Theological
System and Views" (Kedudukan Akal dalam Teologi Muhammad
Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat-pendapat
Teologinya) pada tahun 1968. Setelah meraih gelar Doktor, Harun
Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada
pengembangan pemikiran Islam di Indonesia melalui Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat
Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar
negeri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia. Ia berpendapat
bahwa masyarakat Muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan
kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan
statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash'ariyah harus
bertanggung jawab atas kemandegan ini. Kaum Muslimin
berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan
modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan
mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan
tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis, rasional dan
modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun
Nasution memilih pendidikan, terutama pendidikan tinggi.

196
Setelah ia mempertimbangkan antara bergabung dengan
Universitas Indonesia yang berada di bawah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, dan IAIN (sekarang UIN) yang berada di bawah
Departemen Agama, akhirnya Nasution memilih bertugas sebagai
dosen di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabungnya
Harun Nasution didasarkan pada keinginannya untuk memperbaiki
kondisi umat dengan cara memperbaiki mutu pendidikannya yang
ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hubungan ini
Nasution mengatakan:

..... sejak di luar negeri saya telah mendengar kondisi


IAIN. Pemikiran yang dikembangkan sangat sempit.
Para mahasiswa tidak diizinkan untuk membaca
karya-karya Abduh. Saya tahu masalah ini secara
khusus karena mendengar 1angsung dari lulusan
IAIN yang ada di Mesir. Mereka memberi tahu
pengajaran yang dikembangkan di IAIN sangat
tradisioni1 dan sangat fiqih oriented.

Pada tahun pertama di IAIN, kehadiran Harun Nasution belum


dapat diterima sepenuhnya. Namun didukung penuh oleh para
pimpinan dan pejabat di lingkungan Departemen Agama, khususnya
ketika Mukti Ali, lulusan McGill, diangkat menjadi Menteri Agama.
Nasution sendiri diangkat menjadi rektor beberapa tahun kemudian.
Kedudukan ini membuatnya leluasa menyebarkan ide-ide yang
modern secara lebih luas. Selanjutnya setelah selesai dari tugasnya
sebagai rektor (1973-1984) Harun Nasution dipercaya sebagai
Direktur Pacsasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga akhir
hayatnya. Berkat ketekunannya mengelola Pascasarjana ini telah lahir
ratusan doktor dalam bidang ilmu agama Islam yang kini telah banyak
yang menjadi orang nomor satu di lembaga pendidikan yang
dipimpinnya.

197
Namun di tengah-tengah kesibukannya memberi kuliah dan
memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Harun Nasution juga
tercatat sebagai ilmuwan yang produktif dalam bidang karya ilmiah.
Di antara karya ilmiah yang dihasilkannya adalah:
Pertama, Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Dalam
bukunya yang terdiri dari dua jilid ini Harun Nasution
memperkenalkan Islam secara umum dan komprehensif. Di dalam
buku tersebut selain memberikan pengantar umum tentang ilmu
kalam, filsafat dan tasawuf, Harun Nasution juga berbicara tentang
hukum Islam, pranata sosial, sumber ajaran Islam, ibadah, sejarah dan
peradaban Islam, dan politik. Dengan buku tersebut Harun Nasution
ingin memperkenalkan Islam dalam sosoknya yang utuh dan
komprehensif, bukan Islam yang selama ini hanya dipahami satu
aspek saja. Menurut Harun Nasution pandangan umat terhadap ajaran
Islam terlampau sempit. Dalam bidang teologi misalnya mereka hanya
mengenal teologi Ash'ariyah dengan sifat dua puluhnya, dan dalam
bidang fiqih hanya mengenal fiqih Syafi'i saja. Demikian seterusnya
dalam bidang lainnya.13
Kehadiran buku tersebut telah mengundang kritik yang tajam
dari kalangan Islam tradisionalis normatif. Menurut kelompok ini,
Harun Nasution telah memperkenalkan Islam yang berbelat-belit dan
sulit. Buku tersebut mengesankan bahwa di dalam ajaran Islam
terdapat banyak sekali perpecahan. Hal ini amat berlawanan dengan
isu persatuan yang tengah digulirkan pemerintah.
Kritik atas buku tersebut lebih lanjut datang dari H.M.Rasyidi.
Menurutnya, Harun Nasution, dengan bukunya itu telah
memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang berpikir orientalis yang
merugikan umat Islam. Menanggapi kritik yang demikian itu, Harun
Nasution mengatakan:

Berbagai mazhab dan aliran itu, baik dalam bidang


tauhid maupun bidang ibadah, hukum, tasawuf,
filosafat, politik, pembaruan, dan sebagainya masih
198
dalam kebenaran dan tidak keluar dari Islam.
Tegasnya masih dalam garis-garis yang ditentukan
oleh Alquran dan Hadis.
Adanya kritik yang demikian itu tidak menyebabkan Harun
Nasution mundur dari misinya. Buku tersebut malah menjadi buku
teks wajib dalam mata kuliah Pengantar Agama Islam.
Kedua, Buku Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta
diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Bulan Bintang ini
membahas tentang pemikiran dan pembaruan dalam Islam yang
timbul dalam periode modern. Pembahasannya mencakup pembaruan
yang terjadi di tiga negara Islam: Mesir, Turki dan India-Pakistan,
dengan menampilkan tokoh-tokoh pembaru dari ketiga kawasan
tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan
sifat dan corak pembaruan yang terjadi di negara lain. Melalui buku
ini Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-
usaha pembaruan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena
umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang ilmu
pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, dan lain sebagainya. umat Islam
ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad
klasik. Upaya upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada
Alquran dan Al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan
akidah dari pengaruh bid'ah, khurafat dan takhayul, menghargai
penggunaan akal pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai
hukum alam (sunnatullah) dalam mencapai cita-cita.
Sebagaimana buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, buku
ini pun mendapatkan kritik dari kalangan ulama tradisional. Mereka
takut tradisi Islam yang selama ini dipraktikkan dalam kehidupan
umat Islam ditinggalkan.
Ketiga, Buku Filsafat Agama. Buku yang pertama kali
diterbitkan pada tahun 1973 oleh Bulan Bintang Jakarta ini, berisi
kumpulan kuliah dan ceramah yang ia sampaikan dalam berbagai
kesempatan di beberapa perguruan tinggi. Buku ini selain membahas
199
tentang berbagai pengertian tentang agama, juga berisi uraian tentang
unsur-unsur agama (percaya kepada adanya yang ghaib/Tuhan),
keyakinan bahwa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat ditentukan
oleh hubungannya yang baik dengan kekuatan ghaib, adanya respons
emosional yang mengambil bentuk ibadah, serta adanya sesuatu yang
dinilai sebagai yang suci (sakral). Selain itu, buku ini juga berbicara
tentang tahapan evolusi dalam beragama, yaitu mulai dari agama yang
berita primitif (dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme,
monoteisme, agnotisisme, dan ateisme). Tahapan-tahapan ini
umumnya terjadi pada agama yang bersifat budaya (agama ardli), dan
tidak terjadi pada agama yang bersifat samawy (agama langit yang
bersumber dari wahyu). Buku ini juga mendapatkan kritik, karena
dcngan buku ini, Harun Nasution dianggap menyamakan agama Islam
dengan agama-agama lainnya.
Keempat, Buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Buku yang
pertama kali diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1973 ini
membahas filsafat Islam dan Tasawuf secara singkat. Sebagaimana
buku-buku yang sebelumnya, buku ini pun berasal dari kumpulan
ceramah yang pernah ia sampaikan pada kelompok diskusi kajian
agama Islam di Institut llmu Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Jakarta,
Universitas Nasional serta bahan-bahan perkuliahan yang ia
sampaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi yang terkandung
dalam buku ini tentang pemikiran filsafat yang berasal dari al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, al-Ghazali dan Ibn Rusyd, serta pemikiran
para sufi seperti Rabi'ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, al-
Hallaj, Ibn Arabi, dan al-Ghazali.
Kelima, Buku Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan
Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1972 oleh
UI Press. Di dalam buku ini selain dapat dijumpai uraian tentang
pengertian teologi, juga dibahas tentang latar belakang lahirnya
teologi dalam Islam yang dihubungkan dengan peristiwa politik antara
Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Bashrah Mu'awiyah.
Dari sebab-sebab masalah politik tersebut lahir lah aliran teologi
200
Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy'ariyah,
Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Selain itu, buku
ini juga membahas tentang berbagai masalah teologi yang
diperdebatkan, seperti masalah perbuatan manusia dalam.
hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, posisi orang yang berdosa
besar di akhirat nanti, hubungan iman dengan perbuatan, yakni apakah
iman itu bertambah atau berkurang disebabkan perbuatan, atau tidak
bertambah dan tidak berkurang disebabkan karena perbuatan, serta
apakah Alquran itu qadim atau hadis. Buku ini telah mendorong
pembacanya untuk berpikir logis dan sekaligus memiliki sikap
menghargai perbedaan pendapat.
Keenam, Buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Buku
yang berasal dari disertasi Harun Nasution ketika mengambil program
doktor di McGill University, Montreal, Canada ini pertama kali
diterbitkan pada tahun 1987 oleh UI Press. Di dalamnya dapat
dijumpai pembahasan tentang kedudukan akal dalam teologi
Muhammad Abduh, serta pengaruhnya terhadap sistem clan
pandangan teologinya. Melalui kajian yang amat mendalam terhadap
teologi Muhammad Abduh ini, Harun Nasution berkesimpulan bahwa
teologi Muhammad Abduh bercorak rasional Mu'tazilah. Hal ini
menolak anggapan sebagian orang yang menilai teologi Muhammad
Abduh sebagai bercorak Ahl Sunnah wa al-Jama' ah. Melalui buku ini,
Harun Nasution ingin mengatakan bahwa Mu'tazilah tidakkeluar dari
Islam, bahkan Mu'tazilah memiliki andil yang besar untuk mendorong
kemajuan dunia Islam.
Ketujuh, Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini diterbitkan pada
tahun 1978 oleh Yayasan Idayu dan selanjutnya oleh UI Press. Di
dalamnya terdapat uraian tentang pengertian akal, kedudukan akal di
dalam Alquran, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam serta
peranan akal dalam pemikiran keagamaan. Dengan buku ini Harun
Nasution menginginkan agar umat Islam. tidak takut menggunakan
akal melalui ijtihad dalam berbagai bidang: teologi, fiqih, tafsir, dan

201
lain sebagainya. Menurutnya bahwa menggunakan akal adalah
merupakan perintah yang amat ditekankan dalam Alquran.
Kedelapan, Islam Rasional. Buku yang berasal cari kumpulan
makalah yang disunting oleh Saiful Muzani dan pertama kali
diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1995 ini berbicara tentang corak
pemikiran rasional agamis pada abad kesembilan belas. Selain itu
buku ini juga membahas tentang Islam rasional yang pernah muncul
di abad klasik yang dalam hal ini Mu'tazilah. Dengan kata lain, Harun
Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran Mu'tazilah di abad
klasik telah pula dipraktikkan oleh para ilmuwan di abad kesembilan
belas. Dengan demikian telah terjadi apa yang disebut sebagai neo-
Mu'tazilah. Melalui buku ini ia ingin mengatakan bahwa pemikiran
Mu'tazilah ternyata telah dianut dan dipraktikkan oleh kalangan
ilmuwan di berbagai negara. Timbulnya gerakan pembaruan yang
terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki, dan sebagainya antara
lain karena pengaruh pemikiran Mu'tazilah yang dianut oleh para
tokoh pembaru tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut ada beberapa catatan yang menarik
sebagai berikut.
Pertama, lahirnya Harun Nasution sebagai ilmuwan Muslim
yang berpengaruh dan disegani terjadi selain karena faktor bakat,
minat dan kecerdasan yang tinggi, juga karena faktor kecil
keluarganya yang secara ekonomi mampu membiayai pendidikannya
serta memiliki latar belakang ilmu agama dan pengalaman keagamaan
yang memadai.
Kedua, tampilnya Harun Nasution sebagai tokoh kontroversial,
anti-kemapanan dan kejumudan serta bercorak rasional, adalah karena
pengaruh dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian.
Ayahnya misalnya menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang
oleh adat termasuk yang dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh
kesadaran melanggar aturan adat tersebut, karena dianggap tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.

202
Ketiga, dari seluruh karya tulisnya, Harun Nasution pada intinya
sebagai seorang ahli ilmu agama Islam yang bercorak rasional dan
cenderung liberal dalam batas-batas yang tidak keluar dari ajaran
Alquran dan Al-Sunnah. Ia selain sebagai ahli dalam bidang teologi,
juga ahli dalam bidang filsafat, tasawuf, sejarah pemikiran dan sejarah
kebudayaan Islam.
Keempat, dari perjalanan dan kariernya yang dimulai sebagai
pegawai pada kedutaan besar Indonesia di Belgia, hingga menjadi
seorang Guru Besar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada intinya Harun Nasution sebagai seorang yang membawa misi
pembaruan yang dianggapnya sebagai salah satu syarat utama untuk
membawa kemajuan bangsa Indonesia. Berbagai buku yang ditulisnya
itu mengandung pesan untuk mengubah pola pikir dan tingkah laku
umat, yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud
kepada pola pikir yang rasional dan tingkah laku yang modern.
Kelima, dilihat dari segi tugas utamanya, Harun Nasution sebagai
pembaru dan sekaligus pendidik. Dengan ungkapan lain, ia adalah
seorang pembaru yang menggunakan pendidikan sebagai sarana
utamanya. Melalui kegiatan pendidikan yang ditekuninya ia ingin
memperkenalkan sikap modem yang dapat menimbulkan kemajuan
bagi umat Islam. Hal yang demikian sejalan dengan cita-cita Ibunya
agar Harun Nasution menjadi ahli agama dan guru agama.
Keenam, pengalamannya sebagai dosen dan sekaligus sebagai
orang yang amat menentukan jalannya IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yakni sebagai rektor selama 9 tahun (1973-1984), dan
Direktur Pascasarjana hingga akhir hayatnya tahun 1998, dapat diduga
bahwa ia memiliki konsep dan gagasan yang berkaitan dengan
pendidikan tinggi. Perubahan yang terjadi di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mulai dari bidang kurikulum, metode belajar mengajar, kultur
akademis, dan lain sebagainya menunjukkan bahwa ia pantas disebut
sebagai seorang pendidik. Pernyataan ini menuntut penjelasan lebih
lanjut sebagai berikut.

203
B. Gagasan dan Pemikiran Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa sepulang Harun
Nasution dari McGill University, Montreal, Canada ke Indonesia pada
tahun 1969, bidang kegiatan yang dipilihnya adalah sebagai dosen di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan beberapa perguruan tinggi di
Jakarta seperti IKIP Jakarta dan Universitas Nasional, Jakarta. Atas
prestasi, kesungguhan dan kemampuan yang dimilikinya, Harun
Nasution dipercaya memimpin (menjadi Rektor) IAIN Sy:uif
Hidayatullah Jakarta mulai dari tahun 1973 sampai tahun 1984 dan
dilanjutkan memimpin Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga akhir hayatnya, tahun 1998. Selama kepemimpinannya di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta ini, telah banyak gagasan pembaruan yang
dipraktikkannya. Gagasan pembaruan tersebut antara lain.
Pertama, menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini antara lain
dilakukan dengan cara mengubah sistem perkuliahan yang semula
bercorak hapalan, texbook thinking dan cenderung menganut mazhab
tertentu, menjadi sistem perkuliahan yang mengajak mahasiswa
berpikir rasional, kritis, inovatif, objektif, dan menghargai perbedaan
pendapat. Dengan cara demikian, wawasan berpikir para mahasiswa
menjadi luas serta berani mengemukakan pendapat yang berbeda
dengan pendapat yang telah ada sebelumnya. Tradisi ilmiah yang
dilakukan Harun Nasution juga dilakukan dengan cara mengajak
mahasiswa membaca berbagai literatur baik dari Barat maupun dari
Timur, mengkritisinya, dan menuangkannya dalam makalah serta
mempertanggungjawabkannya di dalam forum ilmiah.
Kedua, memperbarui kurikulum. Upaya ini antara lain dilakukan
Harun Nasution dengan cara memperbarui kurikulum IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jika kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta hanya memuat bidang kajian agama dari aliran mazhab
tertentu saja, maka di zaman Harun Nasution kurikulum IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ditambah dengan kajian ilmu kalam dengan
berbagai aliran/mazhabnya, filsafat dengan berbagai aliran dan
mazhabnya, tasawuf, aliran modern dalam Islam, serta ilmu-ilmu um
204
um dasar seperti sosiologi, antropologi, filsafat umum, perbandingan
agama, bahkan juga ilmu-ilmu alam. Pembaruan kurikulum ini sejalan
dengan upaya menumbuhkan tradisi ilmiah sebagaimana tersebut di
atas.
Ketiga, pembinaan tenaga dosen. Upaya ini dilakukan dengan
cara membentuk Forum Pengkajian Islam (FPI) dan diskusi yang
dibagi ke dalam diskusi mingguan dan bulanan. Pada setiap kali
diskusi tersebut para dosen diwajibkan membuat makalah ilmiah
dengan bobot dan standard yang ditentukan, dan kemudian
menyajikannya dalam forum ilmiah. Dengan cara demikian, para
dosen ditantang untuk mau membaca dan mendalami bidang
keahliannya. Upaya ini juga dilakukan dengan menyelenggarakan
seminar-seminar nasional yang mendatangkan tenaga ahli dari luar
yang membahas tentang tema-tema tertentu. Pembinaan tenaga dosen
berikutnya dilakukan clengan menclorong para dosen untuk
meningkatkan pendidikan formalnya dengan mengambil gelar
Magister dan Doktor pada berbagai perguruan tinggi, baik yang acla
di dalam maupun luar negeri. Di antara mereka ada yang melanjutkan
studi ke UI, IPB, IKIP Jakarta, Canada, Amerika, Belanda, Australia,
London, Kairo, Jerman, dan lain sebagainya.
Keempat, menerbitkan Jurnal Ilmiah. Seiring dengan upaya
menciptakan tradisi ilmiah dan meningkatkan mu tu akademik para
dosen, Harun Nasution juga menggagas terbitnya Jurnal Ilmiah.
Melalui Jurnal ini berbagai makalah ilmiah yang disusun para dosen
dan disajikan dalam forum kajian tersebut di atas, dilanjutkan dengan
diterbitkannya pada Jurnal llmiah. Dengan cara demikian, para dosen
memiliki kesempatan untuk mempublikasikan dirinya, mengasah
keahliannya, serta memiliki peluang untuk mendapatkan angka kredit
yang diperlukan untuk kenaikan pangkatnya.
Kelima, pengembangan perpustakaan. Sejalan dengan upaya
meningkatkan mutu akademik serta menumbuhkan tradisi ilmiah,
Harun Nasution berupaya melakukan pengembangan perpustakaan.
Upaya ini dilakukan antara lain dengan membangun gedung
205
perpustakaan yang memadai, jumlah buku yang memadai, serta sistem
pelayanan yang lebih baik. Upaya ini terlihat hasilnya ketika
perpustakaan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada zaman itu terpilih
sebagai perpustakaan perguruan tinggi terbaik se DKI Jakarta.
Keenam, pengembangan organisasi. Upaya ini antara lain
dilakukan dengan cara memperjuangkan rasionalisasi fakultas dan
jurusan di lingkungan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang semula
relatif banyak dan tersebar di beberapa daerah, kemudian
disederhanakan menjadi 5 fakultas, yaitu 4 fakultas di Jakarta dan 1
fakultas di Pontianak. Seiring dengan itu, diperbarui lembaga
penelitian, lembaga pengabdian pada masyarakat dan lembaga bahasa.
Lebih dari itu, beliau juga mengupayakan berdirinya Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), Madrasah Pembangunan sebagai Lab
School Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, serta mengupayakan
pula tambahan pembangunan gedung, seperti gedung perpustakaan,
gedung auditorium, dan asrama mahasiswi.
Ketujuh, pembukaan Program Pascasarjana. Seiring dengan
upaya meningkatkan mutu tenaga pengajar, maka pada tahun 1982
telah dibuka Program Pascasarjana untuk Strata 2 (S2) dan Strata 3
(S3) tahun 1984 yang langsung beliau pimpin. Program ini dibuka
sebagai kelanjutan dari Program Puma Sarjana (PPS) yang telah ada
sebelumnya. Melalui upayanya ini telah dilahirkan sejumlah Magister
dan Doktor dalam bidang ilmu agama Islam yang kini bertugas selain
sebagai dosen juga sebagai rektor pada berbagai Perguruan Tinggi
Islam di berbagai daerah di tanah air.
Kedelapan, menjadikan IAIN sebagai Pusat Pembaruan
Pemikiran dalam Islam. Julukan yang diterima IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai Pusat Pembaruan Pemikiran dalam Islam
tersebut muncul karena pengaruh dari serangkaian usaha yang
dilakukan Harun Nasution, terutama dalam rangka menumbuhkan
tradisi ilmiah sebagaimana tersebut di atas. Melalui usahanya ini telah
lahir sejumlah sarjana tamatan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
mampu berpikir rasional, kritis, inovatif, terbuka, objektif, luas, dan
206
mendalam. Para sarjana tersebut kemudian menulis berbagai karya
ilmiah yang dipublikasikan dalam buku, jurnal, surat kabar dan
sebagainya, hingga membentuk opini publik dan menjadi rujukan bagi
IAIN lainnya di Indonesia. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemudian menjadi kiblat dari IAIN lainnya yang ada di Indonesia.

C. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa catatan
sebagai penutup sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi keahliaanya, Harun Nasution adalah
sebagai ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan
berpengaruh dengan corak pemikirannya yang rasional dan cenderung
liberal. Sifat dan corak pemikiran yang demikian itu amat
bertentangan dengan corak dan pemikiran Islam yang pada umumnya
berkembang saat itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan
terikat pada mazhab tertentu. Sifat dan corak pemikiran Harun
Nasution yang demikian itu menyebabkan ia dianggap sebagai
ilmuwan yang sekular.
Kedua, dilihat dari segi misinya, Harun Nasution adalah sebagai
orang yang visioner. Ia ingin mengubah keadaan umat Islam kepada
keadaan yang lebih maju dengan cara mengubah pola pikir
tradisionalnya itu dengan pola pikir yang rasional dan cenderung
liberal.
Ketiga, dilihat dari segi fungsi dan perannya, Harun Nasution
adalah sebagai seorang pendidik yang sejati dan berhasil dengan baik.
Kemampuannya dalam bidang ilmu kalam serta ide-ide pembaruan
yang dimilikinya hanyalah sebagai alat untuk mengubah masyarakat
dengan menggunakan pendidikan, yakni IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan. Ia telah
berhasil melahirkan sejumlah tokoh yang kini amat disegani
pemikirannya. Mereka itu adalah Atho Mudzhar, Mansour Faqih
(almarhum), Fakhri Aly, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Dien
Syamsuddin, Saiful Muzani, dan masih banyak lagi.
207
Keempat , dilihat dari segi program yang dilakukannya, Harun
Nasution telah mengembangkan berbagai program yang secara
keseluruhan diarahkan pada upaya melahirkan sarjana Muslim yang
berpikiran luas dan modern, yakni kritis, inovatif, rasional, objektif,
menghargai pendapat orang lain, dan seterusnya, hingga IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dijuluki sebagai Pusat Pembaruan Pemikiran
dalam Islam.
Kelima, gagasan dan pemikiran Harun Nasution sebagaimana
tersebut di atas, masih terus dipelihara dan dikembangkan di berbagai
perguruan tinggi di Indonesia melalui para muridnya yang tersebar di
berbagai daerah.

208
BINTANG MAHAPUTRA UTAMA
BUAT PROF. DR. HARUN NASUTION1

Suwito

Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena saat ini dapat
mengikuti acara syukuran dalam rangka penerimaan Tanda
Kehormatan Negara Republik Indonesia (TKNRI) berupa Bintang
Mahaputra Utama kepada alm. Prof. Dr. Harun Nasution. Lebih
bersyukur lagi karena saya berkesempatan diminta oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mendampingi Sumarso anak angkat Pak
Harun sejak dari proses pengurusan dan 2 kali penerimaan tanda jasa
buat Pak Harun Nasution.
Pada tanggal 2 Oktober 2014, Prof. Dr. Harun Nasution diberikan
Tanda Kehormatan Kelas Bintang Budaya Parama Dharma yang
disematkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhammad
Nuh kepada Sumarso mewakili alm. Prof. Dr. Harun Nasution di
Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan
dan pada tanggal 13 Agustus 2015 Pak Harun diberikan Tanda
Kehormatan Bintang Mahaputra Utama oleh Presiden RI Joko
Widodo di Istana Negara berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
Nomor 83/TK/Tahun 2015 karena ia dinilai sebagai tokoh di bidang
pengembang budaya moderat.
Kita patut berterima kasih yang banyak kepada Prof. Dr.
Azyumardi Azra karena penerimaan tanda kehormatan dari Negara
yang diberikan kepada Pak Harun tersebut adalah jasa Pak Azyumardi.
Prof. Azyumardi adalah orang yang mengusulkan agar Pak Harun

1
Diinformasikan pada acara Refleksi Pemikiran dan Kontribusi Harun
Nasution di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Tanda Kehormatan Bintang
Mahaputra Utama kepada alm. Prof. Dr. Harun Nasution yang
diselenggarakan di Ruang Diorama Auditorium Harun Nasution UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jumat 21 Agustus 2015.

209
diberikan tanda kehormatan seperti yang disebut di atas karena Pak
Azyumardi termasuk salah seorang anggota tim yang dipercaya
Pemerintah untuk menyeleksi calon yang akan diberikan tanda
kehormatan oleh Negara. Oleh Prof. Azyumardi saya diminta
melengkapi hal-hal yang diperlukan pihak Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan karena Pak Azyumardi memposisikan saya sebagai
orang yang pernah dibimbing Pak Harun untuk menyelesaikan
program doktor, pernah juga sebagai Asisten Direktur
Fakultas/Program Pascasarjana ketika Pak Harun menjabat sebagai
Direktur, asisten Pak Harun sebagai Dosen di beberapa Program
Pascasarjana, dan sebagai Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta.
Terdapat 46 orang yang menerima tanda kehormatan dari
Presiden RI pada tanggal 13 Agustus 2015 tersebut2. Empat (4) orang
menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana3, 18
orang menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama4, 13
orang menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Utama5, 1 orang

2
Lihat pada Profil Penerima Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra,
Bintang Jasa, Bintang Penegak Demokrasi, dan Bintang Budaya Parama
Dharma dalam Rangka Acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-70
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2015 diterbitkan
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia,
Sekretariat Dewan, Tahun 2015.
3
Mereka adalah Hamdan Zoelva, Moeldoko, Sutanto, dan H.S.
Bimantoro.
4
Mereka adalah Achmad Shodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi,
Muhammad Alim, Marsetio, Ida Bagus Putu Dunia, Harbrinderjit Singh
Dillon, Muhammad Busyro Muqaddas, Haryono Umar, M, Thahir Saimima,
Mustafa Abdullah, Zainal Arifin, Soekotjo Soeparto, Sabam Sirait, A. Syafi’i
Ma’arif, Frans Magnis Suseno, (alm} Harun Nasution, dan Surya Paloh.
5
Mereka adalah Dato Sri Tahir, Mochtar Riady, Burhan Muhammad,
Stepanus Malak, Christiany Eugenia Paruntu, Cornelis, Ganjar Pranowo,
Achmad Heryawan, Frans Lebu Raya, Didin Hafidhuddin Maturidi,
Shoighiro Toyoda, Tosihiro Nikai, dan Tri Rismaharini.
210
menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Pratama6, 2 orang
menerima tanda kehormatan Bintang Penegak Demokrasi7, dan 8
orang menerima tanda kehormatan Bintang Budaya Parama8.
Dalam kesempatan yang baik ini, tidak salah jika kita
menyelenggarakan kegiatan yang identik dengan “Harun Nasution
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” sebagaimana juga Pak Harun
pernah memberikan judul bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya”. Oleh sebab itu, sebelum dilanjutkan, kita patut berterima
kasih banyak kepada Prof. Dr. Abd. Gani Abdullah, SH, seorang
Hakim Agung, Alumni Fakultas (sekarang Sekolah) Pascasarjana
IAIN (sekarang UIN) Jakarta, dan Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum, serta Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah ikut
serta mensponsori kegiatan ini selain tentunya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu kita ucapkan terima kasih
banyak kepada para Pimpinan dan Staf UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta atas sigapnya dalam penyelenggaraan syukuran ini.
Kembali ke masalah Harun Nasution Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya. Pada tahun 1970an, pola pikir umat Islam Indonesia sangat
tradisional dan cenderung cepat mengkafirkan orang lain dalam
persoalan agama. Hubungan antar umat beragama khususnya Islam
kurang harmonis. Kehadiran Harun Nasution dalam perkuliahan
Pengantar Ilmu Agama pada tingkat Sarjana Muda banyak membuat
gusar pada mahasiswa. Bahasa Indonesia para mahasiswa ketika itu
(terutama saya) dinilai oleh Pak Harun kurang lurus sehingga pola
pikirnya juga tidak lurus. Mubtada’ khabarnya sering tidak jelas.
Apabila Pak Harun selalu mengoreksi bahasa Indonesia secara lisan
kepada para mahasiswa tingkat Sarjana Muda, maka Pak Harun

6
Yaitu (alm) Heri Listyawati Burhan.
7
Yaitu Husni Kamil Manik dan Muhammad.
8
Mereka adalah KH. A. Mustafa Bisri, Goenawan Susatyo Mohammad,
(alm) Petrus Josephus Zoetmulder, (alm) Wasi Jolodoro (Ki Tjokro Wasito),
(alm) Hoesein Djajadiningrat, (alm) Nursjiwan Tirtaatmaja, (alm) Hendra
Gunawan, dan (alm) Soejoedi Wirjoatmojo
211
mengoreksi bahasa Indonesia para mahasiswa Program Pascasarjana
secara tertulis dan lisan pada penulisan makalah dan seminar.
Permasalahan awal yang dikomentari Pak Harun ketika
mengoreksi makalah adalah 3 aspek yaitu isi, bahasa, dan teknik
penulisan. Dalam beberapa makalah Pak Harun pernah berkomentar
sebagai berikut: Isi dalam uraian terasa kekacauan dalam pikiran
Anda. Uraian kurang mulus. Dari sisi bahasa, Pak Harun juga sering
memberikan komentar sebagai berikut: Bahasa masih belum lurus,
dan ini menjadi salah satu sebab mengapa pendapat Anda kurang
jelas. Adapun dari sisi teknik penulisan, Prof. Harun Nasution
memberi komentar Teknik penulisan masih terdapat di dalamnya
kesalahan-kesalahan. Pak Harun memang sangat rajin mengoreksi
makalah mahasiswa dan hasil koreksian diserahkan kepada
mahasiswa sehingga para mahasiswa sangat merasakan manfaatnya.
Oleh karenanya makalah wajib diberikan kepada Pak Harun dan para
mahasiswa lainnya setidaknya 1 pekan sebelum makalah didiskusikan
sehingga sempat dikoreksi dan dikomentari. Kebiasaan seperti ini saya
kira masih penting dilakukan oleh kita para dosen.
Permasalahan berikutnya adalah penggunaan referensi. Pak
Harun sering mengingatkan kepada para mahasiswa agar setiap
argumen harus didasarkan kepada referensi yang otoritatif. Pak Harun
sangat menghargai pendapat yang berbeda dengannya apabila
didasarkan pada argumen rasional dan referensi yang otoritatif.
Argumen qîla wa qâla “katanya” tidak diijinkan dalam pemikiran dan
penulisan. Analisis yang komprehensif dalam penulisan makalah
sangat ia tekankan. Kita diajari agar kita memahami pola pikir
orang/kelompok lain. Dalam kasus perbedaan pemikiran teologi
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah misalnya,
kita ditekankan mampu memahami pola pikir masing-masing
sehingga tidak mudah begitu saja menyalahkan atau membenarkan.
Pemikiran bidang lain-lain seperti bidang fiqh, filsafat, teologi, dan
lainnya berlaku pola pikir yang sama bahwa setiap adanya perbedaan
kita harus berupaya memahami sudut pandang masing-masing.
212
Melalui kemampuan berpikir yang demikian komprehensif pada
akhirnya muncul pemahaman dan pemikiran yang moderat.
Pada bulan-bulan awal perkuliahan, para mahasiswa sering ada
yang kebingungan dan bahkan tidak nyenyak tidur dalam beberapa
hari karena pemikirannya terusik oleh pola pikir Pak Harun. Lama
kelamaan para mahasiswa dapat memahami yang dimaksudkan Pak
Harun. Apabila mereka pada awalnya yakin bahwa Pak Harun
termasuk “kafir”, “liberal”, dan label negatif lainnya maka biasanya
pada tahun kedua ketika hari perpisahan karena selesai program
magister maka mereka minta maaf karena Pak Harun tidak seperti
orang yang diduga sebelumnya. Pak Harun hanya tersenyum
mendengar kesan dan pesan para mahasiswa dalam acara perpisahan
yang sering dilaksanakan di rumahnya tersebut.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapat dipahami bahwa
semakin kita berpikir secara komprehensif maka semakin moderat
dalam berpikir dan berperilaku.

213
214
REFLEKSI FILOSIFIS TERHADAP HUKUM

Abdul Gani Abdullah

Pemikiran Prof. Harun Nasution dalam kajian ke-Islam-an


terefleksi dalam ragam keilmuan yang berorientasi pada paradigm
profetik. Bukan saja segi subtantife paradigm profetik yang setidak-
tidaknya membantu lahirnya kegairahan memberi makna bagi
kehidupan empirik akan tetapi juga tumbuhnya ragam kajian
keislaman pada gilirannya menumbuhkan struktur kemasyarakatan
yang islamistik ataukah juga mengilmu-pengetahuankan ke-Islam-an
sehingga membentuk gejala metamorfomis tradisi kultural ke-Islam-
an klasik menjadi kompatibel dengan pola pemahaman modern.
Adalah menjadi problematic dalam kajian keilmuan bahwa pola
pemahaman modern terhadap Islam dipandang sebagai positivistic
dan pada saat yang bersamaan berhadapan dengan kecenderungan
pengaruh relativisme kehidupan sosial akibat dari ketergantungan
pada kehidupan yang mungkin serba liberalistik dengan bingkai hak
asasi manusia. Adakah korelasi hegemonistik antara problematik di
atas dengan kajian dalam paradigm profetik sebagai sebuah conditio
sine qua non. Jika menjadi sebuah kemutlakan, pola pemikiran
filosofistik Prof. Harun Nasution tampaknya dapat memberikan
alternative dispute resolution terhadap fenomena hegemonistik tadi.
Dari sanalah pula datangnya motivasi pengkajian secara berkelanjutan
dalam studi Islam komprehensif.
Dalam kajian ilmu hokum muncul juga kondisi hegemonistik.
Pola problematikanya sangat bergantung pada sistem hukum dan
masing-masing Negara. Kebutuhan pada subtansi hukum menunjukan
gejala homogenitas seperti antara lain adanya konveksi internasional
yang disepakai melalui berbagai general agreement dalam memenuhi
kebutuhan akan solusi hukum dalam konsepsi facta sunt servanda.
Akan tetapi di dalam implementasinya masih juga berkembang

215
ketergantungannya pada domestic law. Hal itulah yang menimbulkan
ragam system penegakan hukum di masing-masing negara.
Jika di dalam negara yang menganut common law system, proses
penerapan hukumnya di dalam lembaga peradilan berlaku doctrine of
precedent, sementara di negara yang menganut continental europe
legal system tidak menerapkan doktrin seperti itu. Di sini berlaku
prinsip freedom of justice, istiqlal al makammah yang memberikan
kebebasan kepada hakim mengadili dan memutuskan suatu perkara
menurut keyakinannya. Dengan demikian di antara hakim dalam
berbagai tingkat pengadilan tidak terdapat garis dokrinal dalam
mengadili dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.
Kebebasan hakim dominan adalah kemerdekaan hakim dengan
independensi dan imparsialitasnya, terbebas dari pengarhuh dari mana
pun dalam menerapkan hukum untuk menegakan hukum dan keadilan.
Satu hal yang patut dicatat, bahwa dalam kajian ilmu hukum, pendapat
hukum hakim cenderung dipengaruhi oleh paham positivisme hukum
natural. Ketika terjadi kasus yang hegemosnistik berkait dengan
hukum Islam, selalu saja paham positivisme hukum yang menjadi
kesepakatan, sebuah gejalan yang perlu kajian lebih lanjut.
Berangkat dari pola pemikiran filosofistik Profesor Harun
Nasution, pertanyaan yang ingin mendapat perhatian juga dalam
pengkajian Islam pada zaman modern yang positivistik adalah adakah
fenomena doctrine of precendent dalam penegakan hukum Islam, dan
bagaimana mekanismen kerja proseduralnya ketika bertemu dengan
prinsip freedom of justice.

216
INDEKS

A B
A Thib Raya, 126 Banten, xvi, 41
A. Asnawi, 48 Belanda, 4, 24, 25, 26, 27, 49, 72,
A. Lathief Muchtar, 48 89, 188, 191, 192, 193, 205
A. Moe’in Salim, 48 Belgia, 7, 8, 68, 194, 203
Abdul Aziz Dahlan, 126 Bibliotek, 28
Abdul Gani Abdullah, xv, xvii, xxi, Bintang Budaya Parama Dharma,
126, 215 209, 210
Abdul Khamid, xvii, xxi, 175 Bintang Mahaputra, 14, 38, 90, 209,
Abdul Madjid, 178 210
Abuddin Nata, xvii, xxi, 150, 187 Blok M, 21, 63
Abul Kalam Azad, xi,133 Bung Hatta, 22, 23, 24, 28
Achmad Syahid, xvii, xx, 125 Burhanuddin, 21
Adrianus Khatib, 21 Bustami Abdul Ghani, 3
Ahmad Khan, xi, 77, 133
Ahmad Tafsir, 48, 50 C
al-Ghazâlî, 83, 84, 85, 86
Ali Mufradi, 21 Canada, xiv, 42, 151, 160, 188, 201,
Aligarh, xi, 133 204, 205
al-Tahtawi, 133 Ciputat, vii, 8, 24, 25, 29, 52, 55, 69,
alternative dispute resolution, 215 125, 126, 127, 128, 130, 132, 142,
Amerika, 8, 10, 89, 92, 131, 151, 148, 151, 167, 168, 169, 171, 183
193, 205 Cirebon, xvi, 87
Amin Aziz, 178 Columbia University, 14, 89
Amir Ali, xi, 133 Common Law System, 216
Amsal Bakhtiar, xvi, xx, 145 Conditio Sine Qua Non, 215
Anthony Wessel, 8 Continental Europe Legal System,
Anwar Masy’ary, 48 216
Apartemen Niewerood, 26
Aslam Hadi, 178 D
Asri Rasyad, 178
Atho Mudzhar, 126, 130, 134, 207 Daud Rasyid, 173
Australia, 92, 99, 101, 131, 205 Dawam Rahardjo, 96
Azyumardi Azra, 14, 89, 90, 126, Dede Rosyada, vii
131, 142, 146, 171, 207, 209 Deliar Noer, 8, 22, 23
Departemen Agama, xiii, xvii, 4, 7, 101, 102, 103, 104, 107, 109, 120,
9, 24, 25, 47, 53, 62, 91, 134, 169, 122, 123, 125, 135, 136, 141, 143,
171, 197 144, 145, 155, 156, 157, 158, 159,
Din Syamsuddin, 130, 146, 171 160, 162, 163, 164, 165, 166, 168,
Djohan Effendi, 96 171, 175, 176, 178, 179, 180, 183,
Doctrine of Precendent, 216 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191,
Domestic Law, 216 192, 193, 194, 196, 197, 198, 199,
200, 201, 202, 203, 204, 205, 206,
E 207, 208, 209, 210, 211, 212, 215,
216
Eka Putra Wirman, 100, 102, 135 Hasan Langgulung, 8
Empat Lawang, 25 Huzaimah T. Yanggo, 18
Eropa, iv, 68, 92, 111, 131, 149
I
F
IAIN Ar-Raniry, xvi, 57, 64, 65, 66
Facta Sunt Servanda, 215 IAIN Sultan Maulana Hasanuddin,
Fakhri Aly, 207 xvi, 41
Fakultas Pascasarjana, 4, 17, 18, 19, IAIN Sunan Kalijaga, v, 47, 64, 89,
80, 156, 157, 166, 167 157
Fauzul Iman, xvi, xix, 41 IAIN Syarif Hidayatullah, v, xvi, 3,
freedom of justice, 216 4, 8, 9, 10, 11, 12, 17, 21, 31, 41,
58, 60, 61, 87, 89, 91, 95, 96, 147,
G 157, 166, 183, 188, 203, 204, 206,
207, 208
General Agreement, 215 IAIN Syekh Nurjati, xvi, 87
Ibn Taymîyah, 81, 82, 83, 84, 85, 86
H Imam Khomaini, 171
Imam Muchlas, 48
Hadjam Dahlan, 48 India, xi, 51, 133, 199, 202
Haedar Ali, 178 Indonesia, iv, vi, ix, x, xiii, xiv, xv,
Halid al-Kaf, 127 7, 8, 10, 18, 24, 25, 30, 33, 34, 38,
Halimah Majid, 69 44, 47, 57, 59, 65, 67, 68, 77, 87,
Hamdani, 10, 11, 21 88, 89, 90, 92, 95, 96, 97, 98, 99,
Harun Nasution, vi, ix, xv, xvii, 3, 7, 100, 101, 121, 134, 135, 142, 143,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 19, 151, 157, 166, 167, 168, 171, 174,
29, 30, 31, 33, 37, 38, 39, 41, 47, 176, 177, 187, 189, 192, 193, 194,
48, 51, 53, 54, 57, 59, 60, 61, 63, 195, 196, 197, 203, 204, 207, 208,
64, 65, 66, 67, 77, 79, 80, 81, 82, 209,210, 211
87, 89, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 100, INIS, 24, 26, 27

218
Ishak Abduhaq, 178 Komaruddin Hidayat, 98, 126, 127,
Iskandar Usman, xvi, xix, 21, 57 146, 171, 207
Kuala Banda Aceh, 4
J
L
Jabariyah, 159, 160, 201
Jakarta, iii, v, vi, x, xi, xii, xv, xvi, Lathief Muchtar, 50
xvii, 7, 8, 9, 10, 12, 17, 25, 26, Leipzig University, 49
29, 33, 37, 38, 41, 42, 44, 47, 48,
49, 50, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 61, M
64, 65, 66, 68, 69, 71, 72, 78, 79,
81, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, M Ridwan Lubis, xx, 126
96, 98, 99, 100, 121, 123, 125, M Roem Rowi, 126
127, 128, 131, 133, 142, 143, 144, M Yunan Yusuf, 126
147, 150, 152,155, 157, 158, 167, M. Qasim Mathar, xvii, xxi, 171
171, 173, 176, 177, 179, 183, 185, M. Quraish Syihab, 72
187, 188, 190, 194, 196, 197, 198, M. Rasyidi, xiii, 72, 166, 194, 195
199, 200, 203, 204, 205, 206, 207, M. Ridwan Lubis, xv, xvii, 155
208, 209, 210, 211 M. Yusuf Rahman, 47
Jalaluddin, xvi, xix, 7, 22, 48, 49, 64, Majlis Ulama Indonesia, 185
82 Makassar, xvii, 29, 146, 171
Jalaluddin Rahman, 48, 49 Mansour Faqih, 207
Jamali Sahrodi, xvi, xx, 87 Mansur Malik, 47
Jamaluddin al-Afghani, xi, 133 Mardhiah Daniel, 48
Jurnalis Uddin, 178 Mastuhu, 4
Mastuki HS, 127
Mc Gill University, 68
K
McGill University, 95, 97, 99, 135,
Kampung Utan, 21, 29, 54, 55, 61, 160, 188, 194, 201, 204
168 menara gading, 43
Kanada, 3, 68, 97, 99, 131, 135, 142, Mesir, xi, xiv, 7, 27, 59, 67, 68, 69,
194 70, 87, 88, 92, 105, 111, 114, 115,
Karel Steenbrink, 49 133, 173, 192, 193, 194, 195, 197,
Kautsar, 20, 127 199, 202
Kautsar Azhari Noer, 127 Mitfah Arifin, 127
Kebayoran Baru, 21 Mochtar Buchari, 10, 11
Kemas Mustazhirbillah, 24 Mohammad Fatih Alam, 25
Khawarij, xiii, 134, 141, 201, 212 Montreal, xiv, 42, 135, 142, 188,
Kohnstamm, 11 194, 201, 204
Muardi Chatieb, 48

219
Muchtar Aziz, 48, 49 Promotor, 22, 23, 54
Muhammad Abduh, xi, xiv, 45, 59,
95, 97, 99, 100, 101, 102, 103, Q
104, 105, 106, 109, 110, 111, 112,
116, 117, 119, 122, 123, 133, 135, Qadariyah, 85, 141, 159, 160, 201
141, 143, 160, 196, 201
Muhammad Ali Jinnah, 133 R
Muhammad Ali Pasya, xi, 133
Muhammad Iqbal, 133 R. Mulyadhi Kartanegara, 127
Muhammad Nuh, 209 Rahmat, 21
Muhammadiyah, 131, 173, 192 Ramayulis, 12
Muhsin Idham, 4, 55 Rasjidi, xiii, 8, 141, 143, 147
Mukti Ali, 71, 88, 134, 197 Rasyid Ridha, 133
Mulyanto Sumardi, xiii, 22, 23 Rasyid Ridla, 106, 109, 111, 114,
Munawir Sjadzali, 8, 18, 27, 134 117, 121
Muslim Kadir, 48 Rasyidi, 80, 198
Mustafa Kemal Attaturk, 133 Ridwan Lubis, xv, xvii, xx, 12, 47
Rohani Junaid, 51
Rumadi, 127
N
Rusjdi Ali Muhammad, xvi, xix, 47,
Nabilah Lubis, xvi, xx, 67 48
Netherland Cooperaton in Islamic
Studies, 24 S
NU, 131, 173, 195
Nurcholish Madjid, 8, 61, 87, 96, Sadeli, 178
127, 182 Saefuddin, 178
Nyimas Anisah Muhammad, xvi, Said Aqil Siraj, 82
xix, 17, 21, 25 Saifuddin Zuhri, 68
Saiful Mujani, 135
Saiful Muzani, 202, 207
O
Salman Harun, xvi, xix, 3
Oman Fathurrahman, 72 Samsun Ni’am, 127
Orientalis, 101 Saudi Arabia, 27
Sayyidah, 67, 68
Snouck Hurgronje, 86
P
Sudarko, 178
Paduko Sindo, 21 Sultan Takdir Alisyahbana, 17
Pakistan, xi, 92, 133, 199 Sumatera Selatan, 17, 25
Parsudi Suparlan, 9, 53, 61 Sunan Ampel, 22, 125
Persis, 131 Sunarjo, 3

220
Suparjo, 48 Y
Surabaya, 22, 48, 125, 126, 127, 179
Suwito, xv, xvii, xxi, 31, 38, 99, 126, Yogyakarta, v, 48, 64, 89, 93, 96, 98,
145, 152, 209 157, 166
Syahrul A’dzam, 127 Yunasril Ali, xvi, xx, 77
Syamsul Hadi, 127 Yusuf Rahman, xvi, xx, 50, 99, 114
Syeichul Hadi Permono, 48, 49
Z
T
Zaharah Maskanah, 69
Takdir Alisjahbana, 8 Zaini Muchtarom, 13
Tarmizi Taher, 4, 134 Zainun Kamaluddin Fakih, xv, 126
Thaha Yahya Umar, 3 Zakiah Daradjat, 177
Timur Tengah, iv, 7, 18, 86, 87, 92, Ziekenhuis, 26
131, 142, 149 Zubaidi, 21
Tsurayya Kiswati, 21

U
UIN Ar Raniry, 47, 49, 56
UIN Bandung, 48
UIN Palembang, 48
Ujung Pandang, 29, 179, 184
Umar Asasuddin Sokah, 48
Umar ibn Khattab, 85
Universitas Gajah Mada, 71, 72
Universitas Islam Negeri, 31, 41, 57,
87, 98, 168, 188
Universitas Leiden, 4
Universitas Syiah, 4, 51, 54
Universitas YARSI, 178

W
Wahdat al-Wujud, 20, 32
Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi, 20,
32
Wardini Ahmad, 48
Widodo, xv, 178, 209

221

Anda mungkin juga menyukai