Anda di halaman 1dari 76

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk individual, manusia membutuhkan makanan, minumam,
pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Sedangkan sebagai makhluk
sosial, ia membutuhkan teman untuk bergaul, untuk menyatakan suka maupun
duka dan memenuhi berbagai kebutuhan lainnya yang bersifat kolektif.1
Manusia tidak bisa apabila hanya berperan menjadi salah satunya, kedua sisi
kehidupan tersebut harus dimiliki dalam diri tiap manusia.
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup mandiri
dan sendiri, terlepas dari bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu,
Islam mengajak dan mengajarkan untuk saling tolong-menolong, saling bantu-
membantu dan menjalin hubungan baik antar sesama manusia. 2 Saling
memberi bantuan satu sama lain merupakan perbuatan terpuji yang sangat
dianjurkan dalam agama Islam, karena dengan saling membantu dapat
menumbuhkan perasaan cinta kasih dan mempererat persatuan dan kesatuan.
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial dengan
manusia lain. Interaksi sosial bukan hanya saja dengan menjalin hubungan
kemasyarakatan, namun lebih dari itu diperlukan juga untuk saling peduli
terhadap sesama, saling membantu dan tidak segan untuk menolong orang lain.
Dalam Al-Qur’an pun ditegaskan bahwa kita dianjurkan untuk saling tolong-
menolong terhadap sesama dalam hal kebaikan, seperti firman-Nya:
….       
        
 

Artinya:
1
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.
231.
2
Haryanto Al-Fandi, Etika Bermuamalah Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah (Jakarta:
AMZAH, 2011), hal. 144.

1
2

….Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (Q.S Al-Maidah/5: 2)3
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kesempatan untuk dapat
membina serta menciptakan suasana lingkungan sosialnya agar sesuai dengan
apa yang diharapkan dan benar-benar mendukung keberlangsungan
kehidupannya. Keterkaitan manusia dengan lingkungan sosial tidak kalah
penting dengan keterkaitannya terhadap kebutuhan-kebutuhan yang individu,
baik kebutuhan fisik maupun psikisnya. Keduanya sama-sama menjadi hal
yang utama bagi tiap diri manusia tersebut.
Dalam kehidupan di masyarakat, istilah sosial merupakan hal yang paling
banyak digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Definisi sosial sering dikaitkan
dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, kehidupan kaum berada dan lain
sebagainya. Sosial juga sering diartikan dengan rasa empati terhadap sesama
dalam kehidupan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menimbulkan rasa
tolong-menolong terhadap sesama dan orang yang melakukannya dikatakan
sebagai seseorang yang berjiwa sosial tinggi.
Namun pada kenyataannya, seringkali ditemukan fenomena-fenomena di
mana antar individu satu dengan individu lainnya tidak saling peduli dan acuh
terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Kehidupan yang individualis
semakin marak terjadi di masyarakat sehingga mengakibatkan merosotnya
kepedulian sosial yang seharusnya tetap terjaga sebagai bentuk kebersamaan
manusia itu sendiri. Akibatnya penyimpangan-penyimpangan yang berkaitan
dengan nilai-nilai sosial kerap kali ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Padahal hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan
cinta dan kasih sayang dari sesamanya, setiap diri terikat dengan berbagai
bentuk ikatan dan hubungan seperti hubungan sosial, budaya, ekonomi dan
hubungan kemanusiaan lainnya.

3
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Creativ Media
Corp, 2012), hal. 106.
3

Inilah yang menjadi tanggung jawab seluruh pendidik untuk melakukan


pengembangan nilai-nilai pendidikan sosial pada peserta didik. Mendidik
menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua dalam lingkungan keluarga, guru
di lingkungan sekolah serta pemimpin di lingkungan masyarakat. Dan di mana
pun seorang pendidik berada, mereka selalu membutuhkan cara atau metode
untuk menyalurkan atau menyampaikan materi yang nantinya akan diserap dan
dipahami oleh peserta didik. Selain itu, niat ikhlas dan kegigihan pendidik yang
menjadi modal utama meraih keberhasilan tersebut, karena tanpa keduanya
pendidik akan mudah berherti dan tidak akan mencapai tujuan yang diimpikan.
Pada realitas kehidupan sosial umat Islam, terkandung nilai-nilai tinggi
yang didasarkan pada Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi dasar beragama,
penetapan hukum serta pembimbing tingkah laku dalam berinteraksi dengan
masyarakat. Berbagai bentuk interaksi manusia, baik itu dengan alam maupun
dengan sesamanya merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan
kepada Allah Swt.
Salah satu bentuk kepedulian sosial yang diajarkan dalam Islam adalah
mendermakan harta yang dimiliki atau biasa disebut infaq. Infaq memiliki arti
membelanjakan sebagian harta yang kita miliki di jalan yang diridhai Allah
Swt.4 Agama Islam ditegakkan dan berkembang bukan kikir, kolot dan
menahan harta benda. Dengan demikian Islam menganjurkan untuk berinfaq
kepada semua orang yang membutuhkan dengan harta benda yang dimiliki.5
Di dalam surat Al-Baqarah ayat 215 terkandung makna yang sangat
mendalam mengenai anjuran untuk membenahi akhlak dalam berhubungan
dengan sesama manusia yaitu anjuran untuk senantiasa berbuat baik dengan
menafkahkan harta yang dimilikinya kepada orang tua (ibu dan bapak), kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan. Dengan penanaman kandungan dari ayat ini cukup
memberikan pemahaman kepada orang yang berakal untuk senantiasa berfikir

4
Abdus Shobur, Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas IV (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
2009), hal. 56.
5
Labib Mz dan Samsuddin, Bimbingan Pidato Kultum (Surabaya: Bintang Usaha Jaya,
2008), hal. 105.
4

ketika membaca dan mendengarkan ayat ini dan berusaha untuk memperbaiki
diri yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan
keluarga dan lingkungan sosial sekitarnya.
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
tertarik untuk menggali, membahasa dan mendalami lebih jauh tentang
pembahasan tersebut. Atas berbagai pertimbangan, penulis mengangkat
permasalahan ini sebagai skripsi dengan judul “INTERNALISASI INFAQ
UNTUK MENINGKATKAN KEPEDULIAN SOSIAL DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Kajian Q.S Al-Baqarah ayat
215)”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah
di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Semakin maraknya kehidupan yang individualis sehingga mengakibatkan
merosotnya kepedulian sosial dalam masyarakat.
2. Terjadinya krisis sosial yang menjadi penyakit kronis manusia modern
seperti menghindari tanggung jawab terhadap sesamanya.
3. Pudarnya rasa kasih sayang terhadap sesama karena terlalu sibuk dalam
pekerjaan duniawi.
4. Terdapat beberapa nilai-nilai kepedulian sosial dalam Al-Qur’an Surah Al-
Baqarah ayat 215 yang belum diterapkan secara maksimal dalam kehidupan
sehari-hari.

C. Penegasan Istilah
Untuk menjelaskan pengertian dari judul skripsi ini, agar tidak terjadi
kekeliruan maka di sini penulis akan menguraikan beberapa penegasan istilah.
Adapun beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Internalisasi Infaq
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, internalisasi adalah
penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan
keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang
5

diwujudkan dalam sikap dan perilaku.6 Sedangkan infaq adalah


mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk suatu kepentingan
yang diperintahkan agama Islam. Maka dapat disimpulkan bahwa
internalisasi infaq adalah proses penghayatan terhadap harta atau materi
yang diberikan kepada orang yang membutuhkan sebagai bentuk dari
kepedulian sosial sesuai dengan yang diajarkan agama Islam.
2. Kepedulian Sosial
Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kepedulian
sosial adalah sebuah tindakan, bukan hanya sebatas pemikiran atau
perasaan. Tindakan peduli sosial tidak hanya tahu sesuatu yang salah dan
benar, tapi ada kemauan melakukan gerakan membantu orang lain.
3. Pendidikan Islam
Pendidikan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja
dan terencana yang dilaksanakan oleh orang dewasa yang memiliki ilmu
dan keterampilan kepada anak didik demi tercapainya insan kamil. Adapun
kata Islam dalam istilah pendidikan Islam menunjukan sikap pendidikan
tertentu yaitu pendidikan yang memiliki warna-warni Islam. 7 Pendidikan
Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan baik jasmani maupun
rohani menurut syariat Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan,
melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
4. Q.S Al-Baqarah Ayat 215
        
   
         
 

6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal. 439.
7
Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Karakter Berbasis Iman dan Taqwa (Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2012), hal. 82.
6

Artinya:
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Q.S Al-Baqarah/2: 215)8

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu:
1. Bagaimana isi kandungan Q.S Al-Baqarah Ayat 215?
2. Bagaimana internalisasi infaq untuk meningkatkan kepedulian sosial dalam
perspektif pendidikan Islam?
3. Bagaimana relevansi Q.S Al-Baqarah Ayat 215 dengan pendidikan Islam di
Indonesia saat ini?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan,
maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui isi kandungan Q.S Al-Baqarah Ayat 215.
2. Mengetahui internalisasi infaq untuk meningkatkan kepedulian sosial
dalam perspektif pendidikan Islam.
3. Mengetahui relevansi infaq dalam Q.S Al-Baqarah ayat 215 dengan dunia
pendidikan saat ini.

F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
seluruh kalangan masyarakat. Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang sikap
yang seharusnya dimiliki manusia sebagai makhluk sosial.

8
Kementrian Agama RI, op. cit., hal. 33.
7

b. Dapat memberikan manfaat terhadap ilmu pengetahuan khususnya


dalam pendidikan.
c. Dapat dijadikan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi pembaca
Diharapkan para pembaca dapat menjadikan skripsi ini sebagai
sarana ilmu dan meningkatkan kepedulian sosial terhadap sesama
manusia.
b. Manfaat bagi penulis
Dapat menjadi bahan rujukan untuk mengetahui berbagai hal yang
berkaitan dengan kepedulian sosial, sehingga di kehidupan mendatang
dapat dijadikan acuan dalam mendidik anak atau peserta didik agar
memiliki jiwa sosial yang tinggi.
c. Manfaat bagi lembaga
Dapat dijadikan rujukan akan pentingnya kepedulian sosial dalam
Islam untuk membentuk dan mewujudkan generasi bangsa yang
berbudi luhur dan berakhlak mulia.

G. Sistematika Penulisan Skripsi


Sistematika penulisan skripsi ini disusun dalam bab-bab tersendiri untuk
mempermudah pembaca dalam mengikuti pembahasan skripsi. Namun
demikian, antara bab satu dengan bab yang lainnya mempunyai hubungan yang
erat dan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat kemudian dari masing-
masing bab ini dibagi menjadi sub-sub bab yang berkaitan. Adapaun dalam
penulisan skripsi ini tersusun dalam tiga tahap utama, yaitu:
1. Bagian Awal
Bagian ini berisikan halaman judul, nota persetujuan pembimbing,
halaman pengesahan, pernyataan keaslian skripsi, halaman motto, halaman
persembahan, pedoman transliterasi, abstrak, kata pengantar dan daftar isi.
8

2. Bagian Inti
Bagian ini merupakan inti skripsi yang terdiri dari beberapa bab, yaitu:
BAB 1: Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi
masalah, perumusan masalah, penegasan istilah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II: Landasan Teori, yang memuat pertama: Kajian Pustaka, kedua:
Kajian Teori tentang infaq sebagai bentuk kepedulian sosial
yang kemudian akan dikaji secara terperinci pada bab analisis.
BAB III: Metode Penelitian. Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai
jenis penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu berupa
sumber data, berikut teknik pengumpulan data dan teknik
analisis data yang digunakan penulis skripsi.
BAB IV: Hasil dan Analisis Penelitian, meliputi: Profil Objek Penelitian,
yang berisi: gambaran umum Q.S Al-Baqarah. Deskripsi Data
yang meliputi: teks ayat dan terjemahan, arti mufrodat,
munasabah surat, asbabun nuzul, pendapat para mufasir dan isi
pokok kandungan Q.S Al-Baqarah ayat 215. Kemudian, Analisis
Data yang yang memuat: analisis pendapat para mufasir
mengenai Q.S Al-Baqarah ayat 215 dan analisis infaq dalam
meningkatkan kepedulian sosial sesuai dengan Q.S Al-Baqarah
ayat 215 dalam perspektif pendidikan Islam.
BAB V: Penutup, berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan
saran-saran yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
3. Bagian Akhir
Pada bagian akhir dicantumkan daftar pustaka, lampiran-lampiran dan
daftar riwayat hidup.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka
Kajian Pustaka adalah suatu uraian yang sistematis tentang keterangan
yang telah dikumpulkan dari pustaka-pustaka yang berhubungan dengan
penelitian dan mendukung betapa pentingnya penelitian itu dilakukan. Kajian
pustaka digunakan sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian yang ada,
baik mengenai kelebihan atau kekurangan yang ada sebelumnya serta untuk
menguatkan argumen. Berikut ini daftar penelitian yang pernah dilakukan dan
dijadikan tinjauan pustaka dalam penelitian:
1. Skripsi yang ditulis oleh Ani Masruroh (2018) dengan judul “Internalisasi
Pendidikan Sosial dan Relevansinya dengan Pendidikan Era Informasi
(Kajian Surah An-Nisa Ayat 36).” Keterkaitan skripsi yang ditulis oleh
saudari Ani Masruroh dengan penulis skripsi ini terletak pada penekanan
pentingnya menjalin hubungan sosial yang baik antarsesama manusia yang
hakikatnya adalah makhluk sosial. Adapun perbedaan skripsi yang ditulis
oleh saudari Ani Masruroh terletak pada objek penelitian di mana objek
penelitian yang ditulis oleh saudari Ani Masruroh adalah tentang
pendidikan sosial khususnya etika bersilaturahmi dengan orang lain.9
Sedangkan skripsi ini membahas tentang pendidikan sosial yang
mengfokuskan pada tindakan sosial dalam bentuk infaq.
2. Skripsi yang ditulis oleh Dwi Pujianti (2016) dengan judul “Membangun
Nilai Kebersamaan Siswa Melalui Belajar Kelompok untuk Meningkatkan
Karakter Peduli Sosial pada Siswa Kelas 6 MI Ma’arif Kliwonan
Wonosobo Tahun Pelajaran 2015/2016.” Keterkaitan skripsi yang ditulis
oleh saudari Dwi Pujianti dengan penulis skripsi ini terletak pada nilai
kebersamaan pada karakter peduli sosial yang kemudian diharapkan adanya
kepekaan terhadap masalah sosial yang ada di manapun. Adapun perbedaan

9
Ani Masruroh, “Internalisasi Pendidikan Sosial dan Relevansinya dengan Pendidikan
Era Informasinya (Kajian Surah An-Nisa: 36)” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UNSIQ Wonosobo, Jawa Tengah, 2018).

9
10

skripsi yang ditulis oleh saudari Dwi Pujianti lebih menekankan pada upaya
pemberdayaan peduli dengan lingkungan yang diusahakan dengan cara
kerjasama dalam kegiatan belajar kelompok.10 Sedangkan skripsi ini lebih
membahas mengenai upaya pemberdayaan peduli dengan sesama manusia
yang diusahakan melalui kegiatan infaq.
3. Skripsi milik Nurrina Indrawati (2015) dengan judul “Nilai-nilai
Pendidikan yang Terkandung dalam Surah Al-Ma’un (Kajian tentang
Nilai-nilai Sosial)”. Skripsi yang ditulis oleh saudari Nurrina Indrawati
mempunyai kaitan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama membahas
tentang kehidupan bersosial baik terhadap tetangga maupun terhadap
lingkungan sekitar. Namun perbedaanya adalah dalam skripsi yang ditulis
oleh saudari Nurrina Indrawati ini lebih menekankan bagaimana posisi
manusia sebagai khalifah di muka bumi.11 Sedangkan dalam skripsi ini
lebih menekankan bagaimana manusia harus bersikap dalam hidup
bertetangga dengan kepedulian sosial yang tinggi.

B. Kajian Teori
1. Infaq
a. Pengertian Infaq
Kata Infaq berasal dari kata anfaqo-yunfiqu yang artinya
membelanjakan atau membiayai, arti infaq menjadi khusus ketika
dikaitkan dengan upaya realisasi perintah-perintah Allah Swt.
Sedangkan menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan
sebagian dari harta atau pendapatan untuk suatu kepentingan yang
diperintahkan ajaran Islam. Kemudian dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dijelaskan bahwa infaq adalah

10
Dwi Pujianti, “Membangun Nilai Kebersamaan Siswa Melalui Belajar Kelompok untuk
Meningkatkan Karakter Peduli Sosial pada Siswa Kelas 6 MI Ma’arif Kliwonan Wonosobo Tahun
Pelajaran 2015/2016.” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ
Wonosobo, Jawa Tengah, 2016).
11
Nurrina Indrawati, “Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Surah Al-Ma’un
(Kajian tentang Nilai-nilai Sosial)” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UNSIQ Wonosobo, Jawa Tengah, 2015).
11

harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat
untuk kemaslahatan umum.12
Berbeda dengan zakat dan sadaqah, infaq adalah sesuatu yang

diberikan oleh seseorang guna menutupi kebutuhan orang lain, baik

berupa makanan, minuman dan sebagainya, mendermakan atau

memberikan rezeki (karunia) atau menafkahkan sesuatu kepada orang

lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah Swt semata. 13 Zakat telah

ditentukan kadarnya sedangkan infaq tentang ketentuan kadar, jenis dan

jumlahnya selalu berkembang bahkan dapat berubah menurut

kepentingan kemaslahatan umum secara demokratis. Shadaqah sesuatu

yang diberikan untuk membantu orang lain baik berupa materi maupun

non-materi, sedangkan infaq biasanya berupa materi.

Terkait dengan infaq, Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam hadis

yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bahwa ada


malaikat yang senantiasa berdoa setiap pagi dan sore: “Ya Allah berilah
orang yang berinfaq, gantinya”. Dan berkata yang lain: “Ya Allah
jadikanlah orang yang menahan infaq, kehancuran”.14
b. Dasar Hukum Infaq
Adapun dasar hukum infaq telah banyak dijelaskan antara lain
dalam Al-Qur‘an Surat Al-Isra‘ ayat 100:
       
      

12
Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1,
https://kalteng.kemenag.go.id/file/file/HumasKalteng/qwdb1465547530.pdf (20 Oktober 2018).
13
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2009), hal. 30.
14
Achmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, Himpunan Hadits Shahih Bukhari (Jakarta:
An-Nur, 2012), hal. 135.
12

Artinya:
Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-
perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu
kamu tahan, karena takut membelanjakannya", dan adalah manusia
itu sangat kikir. (Q.S Al-Isra’/17: 100)15

Kemudian dalam Al-Qur‘an Surat Az-Zariyat ayat 19 disebutkan


sebagai berikut:
     
Artinya:
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Q.S Az-
Zariyat/51: 19)16
Selain itu dalam Al-Qur‘an Surat Al-Baqarah ayat 245 juga
disebutkan sebagai berikut:
        
      
 
Artinya:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki)
dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Q.S Al-Baqarah/2: 245)17

Sedangkan dalam ayat yang berbeda, dasar hukum infaq juga


disebutkan dalam Al-Qur‘an Surat Ali Imran ayat 134, yang
menyebutkan:
    
      
  
Artinya:

15
Kementrian Agama RI, op. cit., hal. 292.
16
Ibid., hal. 521.
17
Ibid., hal. 39.
13

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu


lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan. (Q.S Ali Imran/3: 134)18
Berdasarkan firman Allah di atas bahwa infaq tidak mengenal
nishab seperti zakat. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman,
baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang
maupun sempit. Hal tersebut juga telah dicontohkan oleh manusia yang
menjadi panutan umat muslim, yaitu Nabi Muhammad Saw. yang
semasa hidupnya gemar mendermakan hartanya. Bahkan sampai
meninggalnya, beliau masih menggadaikan baju besinya pada seorang
Yahudi. Tapi, bukan berarti beliau tidak kaya semasa hayatnya. Beliau
mendapat penghasilan besar dari rampasan perang. Sering juga beliau
menerima hadiah dari umat yang sangat mencintainya. Tapi hampir
semunya beliau infaqkan.19
Kemudian, jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu, maka
infaq boleh diberikan kepada siapapun juga, misalkan untuk kedua orang
tua, anak yatim, anak asuh dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an Surat Al
Baqarah ayat 215 dijelaskan sebagai berikut:
        
  
      
     
Artinya:
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:
"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja
kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya. (Q.S Al-Baqarah/2: 215)20

18
Ibid., hal. 67.
19
Tim PPPA Daarul Qur’an, Dahsyatnya Sedekah (Jakarta: PT. Bestari Buana Murni,
2009), hal. 23.
20
Kementrian Agama RI, op. cit., hal. 33.
14

c. Macam-macam Infaq
Infaq secara hukum terbagi menjadi empat macam, antara lain
sebagai berikut:
1) Infaq Mubah
Mengeluarkan harta untuk perkara mubah seperti berdagang,
bercocok tanam dan lain-lain.
2) Infaq Wajib
Aplikasi dari Infaq wajib yaitu mengeluarkan harta untuk perkara
wajib seperti zakat, membayar mahar (maskawin) dan lain
sebagainya.
3) Infaq Haram
Mengeluarkan harta dengan tujuan yang diharamkan oleh Allah yaitu
infaqnya orang kafir untuk menghalangi syiar Islam atau infaqnya
orang Islam kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah.
4) Infaq Sunnah
Yaitu mengeluarkan harta dengan niat sadaqah. Infaq tipe ini
misalnya infaq untuk jihad dan infaq kepada yang membutuhkan.
d. Rukun dan Syarat Infaq
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dalam satu perbuatan hukum
terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perbuatan tersebut bisa
dikatakan sah. Begitu pula dengan infaq unsur-unsur tersebut harus
dipenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu disebut rukun, yang mana infaq
dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya, dan masing-
masing rukun tersebut memerlukan syarat yang harus terpenuhi juga.
Dalam infaq yaitu memiliki empat rukun:
1) Penginfaq
Maksudnya yaitu orang yang berinfaq, penginfaq tersebut harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Penginfaq memiliki apa yang diinfaqkan;
b) Penginfaq bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan;
15

c) Penginfaq adalah orang dewasa, bukan anak yang kurang


kemampuannya;
d) Penginfaq itu tidak dipaksa, sebab infaq itu akad yang
mensyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
2) Orang yang diberi infaq
Maksudnya orang yang diberi infaq oleh penginfaq harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Benar-benar ada waktu diberi infaq. Bila benar-benar tidak ada
atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin maka
infaq tidak ada;
b) Dewasa atau baligh, maksudnya apabila orang yang diberi infaq
itu ada di waktu pemberian infaq, akan tetapi ia masih kecil
atau gila, maka infaq itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya
atau orang yang mendidiknya, sekalipun dia orang asing.
3) Sesuatu yang diinfaqkan
Maksudnya barang yang diberi infaq oleh penginfaq harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Benar-benar ada;
b) Harta yang bernilai;
c) Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang diinfaqkan adalah apa
yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya dan pemilikannya
dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menginfaqkan air di
sungai, ikan di laut ataupun burung di udara;
d) Tidak berhubungan dengan tempat milik penginfaq, seperti
menginfaqkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya.
Akan tetapi yang diinfaqkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan
kepada yang diberi infaq sehingga menjadi milik baginya.
4) Ijab dan Qabul
Infaq itu sah melalui ijab dan qabul, bagaimana pun bentuk ijab
qabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan.
Misalnya penginfaq berkata: “Aku infaqkan kepadamu”; “aku
16

berikan kepadamu”; atau yang serupa itu; sedang yang lain berkata:
“Ya aku terima”.21
e. Manfaat Infaq
Beberapa manfaat yang akan dipetik dengan menggalakkan infaq
yaitu sebagai berikut:
1) Dapat menjauhkan kita dari siksa neraka;
2) Memiliki nilai pahala yang berlipat ganda;
3) Dapat memanjangkan umur;
4) Tidak akan putus pahalanya;
5) Mendatangkan karunia Allah Swt;
6) Kunci terkabulnya doa kita kepada Allah Swt;
7) Menjadi benteng dan pelindung terhadap harta yang kita miliki;
8) Menjamin kesejahteraan ahli waris dan menyelamatkan kita dari
kefakiran;
9) Menjadi penolong pada hari kiamat;
10) Mempersatukan dua hati yang terpisah, menumbuhkan rasa
persatuan dan persaudaraan, melahirkan perasaan cinta dan kasih
sayang antarsesama muslim.22

2. Kepedulian Sosial
a. Pengertian Kepedulian Sosial
Manusia hidup di dunia ini pasti membutuhkan manusia lain untuk
melangsungkan kehidupannya, karena pada dasarnya manusia
merupakan makhluk sosial. Menurut Buchari Alma, dkk makhluk sosial
berarti bahwa hidup menyendiri tetapi sebagian besar hidupnya saling
ketergantungan, yang pada akhirnya akan tercapai keseimbangan relatif.

21
Qurratul ‘Aini Wara Hastuti, “Infaq Tidak Dapat Dikategorikan Sebagai Pungutan
Liar,” vol. 3 no. 1 (Juni 2016), hal. 43. http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Ziswaf/article/
view/ 2282/1869 (10 Oktober 2018).
22
Samsul Munir Amin dan Haryanto Al-Fandi, Etika Beribadah Berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 119-120.
17

Maka dari itu, seharusnya manusia memiliki kepedulian sosial terhadap


sesama agar tercipta keseimbangan dalam kehidupan.23
Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Sikap peduli
sosial secara umum adalah hubungan antara manusia dengan manusia
yang lain, saling ketergantungan dengan manusia lain dalam berbagai
kehidupan masyarakat.
Kepedulian sosial adalah sebuah tindakan, bukan hanya sebatas
pemikiran atau perasaan. Tindakan peduli sosial tidak hanya tahu sesuatu
yang salah dan benar, tapi ada kemauan melakukan gerakan membantu
orang lain. Dengan memiliki jiwa sosial yang tinggi, anak didik akan
lebih mudah bersosialisasi serta akan lebih dihargai. Pembentukan jiwa
sosial anak didik dapat dilakukan dengan mengajarkan dan menanamkan
nilai-nilai kepedulian sosial melalui kegiatan yang bersifat sosial,
melakukan aksi sosial dan menyediakan fasilitas untuk menyumbang.24
Berdasarkan beberapa pendapat yang tertera di atas dapat
disimpulkan bahwa kepedulian sosial merupakan sikap selalu ingin
membantu orang lain yang membutuhkan dan dilandasi oleh rasa
kesadaran.

b. Bentuk-bentuk Kepedulian Sosial


Bentuk-betuk kepedulian sosial dapat dibedakan berdasarkan
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud merupakan lingkungan di mana
seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lain yang biasa disebut
lingkungan sosial. Buchari Alma, dkk membagi bentuk-bentuk
kepedulian berdasarkan lingkungannya, yaitu:25

23
Buchari Alma, dkk., Pembelajaran Studi Sosial (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 201.
24
Akhmad Busyaeri dan Mumuh Muharom, “Pengaruh Sikap Guru Terhadap
Pengembangan Karakter (Peduli Sosial) Siswa di Mi Madinatunnajah Kota Cirebon ,” hal. 7.
http://syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/ibtida/article/view/177 (10 Oktober 2018).
25
Buchari Alma, dkk., op. cit., hal. 205-208.
18

1) Di lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil yang dialami
oleh seorang manusia. Keluarga adalah satu-satunya sistem yang
diterima di semua masyarakat. Sebagai lembaga terkecil dalam
masyarakat, keluarga memegang peran yang sangat luas dalam
kehidupan sosial umat manusia. Hal yang paling penting diketahui
bahwa lingkungan rumah itu akan membawa perkembangan
perasaan sosial yang pertama.26 Misalnya perasaan simpati anak
kepada orang dewasa (orang tua) akan muncul ketika anak
merasakan simpati karena telah diurus dan dirawat dengan sebaik-
baiknya. Dari perasaan simpati itu, tumbuhlah rasa cinta dan kasih
sayang anak kepada orang tua dan anggota keluarga yang lain,
sehingga akan timbul sikap saling peduli.
Fenomena lunturnya nilai-nilai kepedulian sesama anggota
keluarga dapat dilihat dari maraknya aksi kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang sering terungkap di media-media. Sebenarnya,
sikap saling peduli terhadap sesama anggota keluarga dapat
dipelihara dengan cara saling mengingatkan, mengajak pada hal-hal
yang baik, seperti: mengajak beribadah, makan bersama,
membersihkan rumah, berolahraga dan hal-hal lain yang dapat
memupuk rasa persaudaraan dalam keluarga.

2) Di lingkungan masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial. Ia hidup dalam hubungannya
dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena
itu, manusia tidak mungkin hidup layak di luar masyarakat. 27
Lingkungan masyarakat pedesaaan yang masih memiliki tradisi yang
kuat masih tertanam sikap kepedulian sosial yang sangat erat. Ketika

26
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal.
278.
27
Nasution, Sosiologi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1983), hal. 68.
19

ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh satu keluarga, maka keluarga
lain dengan tanpa imbalan akan segera membantu dengan berbagai
cara. Misalnya saat akan mendirikan rumah, anggota keluarga yang
lain menyempatkan diri untuk berusaha membantunya. Situasi yang
berbeda dapat dirasakan pada lingkungan masyarakat perkotaan.
Jarang sekali kita lihat pemandangan yang menggambarkan
kepedulian sosial antar warga. Sikap individualisme lebih
ditonjolkan dibandingkan dengan sikap sosialnya.
Ada beberapa hal yang menggambarkan lunturnya kepedulian
sosial diantaranya: menjadi penonton saat terjadi bencana, bukannya
membantu; sikap acuh tak acuh pada tetangga; tidak ikut serta dalam
kegiatan di masyarakat.
3) Di lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lingkungan formal pertama bagi seorang
anak.28 Sekolah tidak hanya sebagai tempat untuk belajar
meningkatkan kemampuan intelektual, akan tetapi juga membantu
anak untuk dapat mengembangkan emosi, berbudaya, bermoral,
bermasyarakat dan kemampuan fisiknya. Fungsi sekolah sebagai
lembaga sosial adalah membentuk manusia sosial yang dapat bergaul
dengan sesama manusia secara serasi walaupun terdapat unsur
perbedaan tingkat sosial ekonominya, perbedaan agama, ras,
peradaban, bahasa dan lain sebagainya. Menurut pernyataan di atas
dapat dikatakan bahwa, sekolah bukan hanya tempat untuk belajar
meningkatkan kemampuan intelektual, akan tetapi juga
mengembangkan dan memperluas pengalaman sosial anak agar dapat
bergaul dengan orang lain di dalam masyarakat.
Selain sebagi tempat mengembangkan dan memperluas
pengalaman sosial anak, sekolah dapat juga membantu memecahkan
masalah-masalah sosial. Melalui adanya pendidikan, diharapkan
berbagai masalah sosial yang dihadapi siswa dapat diatasi dengan

28
Darmansyah, Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 86.
20

pemikiran-pemikiran tingkat intelektual yang tinggi melalui analisis


akademis.
Fuad Ihsan juga berpendapat bahwa, di sekolah tugas pendidik
adalah memperbaiki sikap siswa yang cenderung kurang dalam
pergaulannya dan mengarahkannya pada pergaulan sosial.29
Berinteraksi dan bergaul dengan orang lain dapat ditunjukkan
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menunjukkan
sikap peduli terhadap sesama. Di dalam lingkup persekolahan, sikap
kepedulian siswa dapat ditunjukkan melalui peduli terhadap siswa
lain, guru dan lingkungan yang berada di sekitar sekolah.
c. Faktor-faktor yang Menyebabkan Turunnya Kepedulian Sosial
Menurut Buchari Alma, dkk faktor yang menyebabkan turunnya
kepedulian sosial adalah karena kemajuan teknologi. Teknologi tersebut
diantaranya:30
1) Internet
Dunia maya yang sangat transparan dalam mencari suatu
informasi malah menjadi sarana yang menyebabkan lunturnya
kepedulian sosial. Manusia menjadi lupa waktu karena terlalu asyik
menjelajah dunia maya. Tanpa disadari mereka lupa dan tidak
menghiraukan lingkungan masyarakat sekitar, sehingga rasa peduli
terhadap lingkungan sekitar kalah oleh sikap individualisme yang
terbentuk dari kegiatan tersebut.
2) Sarana hiburan
Seiring dengan kemajuan teknologi maka dunia hiburan akan
turut berkembang. Karakter anak-anak yang suka bermain akan
menjadikan anak sebagai korban dalam perkembangan sarana
hiburan. Anak yang terlalu lama bermain game akan mempengaruhi
kepeduliannya terhadap sesama. Mereka tidak berhubungan langsung

29
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 83.
30
Buchari Alma, dkk., op. cit., hal. 209.
21

dengan sesamanya. Hal tersebut mengharuskan orang tua untuk


meningkatkan pengawasan terhadap anak-anaknya.
3) Tayangan TV
Televisi merupakan salah satu sarana untuk mencari hiburan dan
memperoleh informasi yang up to date, namun sekarang ini banyak
tayangan di TV yang tidak mendidik anak-anak. Diantaranya adalah
acara gosip dan sinetron. Secara tidak langsung penonton diajari
berbohong, memfitnah orang lain, menghardik orang tua dan
tayangannya jauh dari realita kehidupan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
4) Masuknya budaya barat
Pengaruh budaya barat yang bersifat immaterial dan cenderung
berseberangan dengan budaya timur akan mengakibatkan norma-
norma dan tata nilai kepedulian yang semakin berkurang.
Masyarakat yang kehilangan rasa kepedulian akan menjadi tidak
peka terhadap lingkungan sosialnya dan akhirnya dapat
menghasilkan sistem sosial yang apatis.
d. Upaya Meningkatkan Kepedulian Sosial
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian sosial
menurut Buchari Alma, dkk adalah:31
1) Pembelajaran di rumah
Peranan keluarga terutama orang tua dalam mendidik sangat
berpengaruh terhadap tingkah laku anak. Keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dikatakan sebagai
pendidikan yang pertama karena pertama kali anak mendapatkan
pengaruh pendidikan dari dan di dalam keluarganya. Sedangkan
dikatakan sebagai pendidikan yang utama karena sekalipun anak
mendapatkan pendidikan dari sekolah dan masyarakatnya, namun
tanggung jawab kodrati pendidikan terletak pada orang tuanya.

31
Ibid., hal. 210-211.
22

Maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan


pertama yang mengajarkan berbagai hal kepada seorang anak dan
memiliki tanggung jawab yang utama untuk mendidik anak tersebut.
Anak-anak biasanya akan meniru setiap tingkah laku orang tuanya.
2) Pembelajaran di lingkungan
Belajar berorganisasi menjadi sangat penting peranannya dalam
memaksimalkan perkembangan sosial manusia. Banyak sekali
organisasi-organisasi di masyarakat yang dapat diikuti dalam rangka
mengasah kepedulian sosial. Salah satunya adalah karang taruna
yang anggotanya terdiri dari para pemuda pada umumnya. Berbagai
macam karakter manusia yang terdapat dalam organisasi-organisasi
tersebut dapat melatih kita untuk saling memahami satu sama lain.
3) Pembelajaran di sekolah
Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan memiliki potensi
untuk memberikan pendidikan nilai kepedulian sosial melalui guru
dan seluruh penyangga kepentingan sekolah. Penanaman nilai dapat
diintegrasikan pada setiap mata pelajaran supaya nilai benar-benar
terinternalisasi pada peserta didik. Guru menjadi faktor utama dalam
pengintegrasian nilai-nilai di sekolah. Selain itu sekolah juga
memiliki berbagai macam kegiatan baik yang berhubungan dengan
di dalam maupun di luar sekolah dengan melibatkan warga sekitar
yang dapat menumbuhkan sikap kepedulian sosial, misalnya
kegiatan pesantren kilat, infaq, kerja bakti dengan warga sekitar
sekolah dan lain-lain yang merupakan wadah bagi siswa untuk
meningkatkan rasa kepedulian, baik sesama warga sekolah maupun
masyarakat luas.

3. Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam
Sudah banyak ahli pendidikan maupun pakar lainnya yang
memberikan pengertian mengenai pendidikan. Latar belakang disiplin
ilmu yang dikuasainya ikut memengaruhi pemahamannya terhadap
23

esensi pendidikan.32 Dan kaitannya dengan pendidikan Islam, maka kita


mendapatkan dua kata kunci di dalamnya, yaitu ‘Pendidikan’ dan
‘Islam’.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 angka
1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.33
Secara luas, pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala
pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan
sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi individu.34
Adapun pengertian pendidikan menurut para ahli, antara lain sebagai
berikut:
1) Menurut Mortimer J. Adler pendidikan adalah sebagai proses dengan
mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang
diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara
artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain
atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu
kebiasaan yang baik.35
2) Menurut Tholhar Hasan, pendidikan dalam pengertian umum adalah
usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian.
Pendidikan dilihat sebagai suatu sistem adalah merupakan tempat

32
Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), hal. 1.
33
Republik Indonesia, “Undang-Undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional” (Cet. IV; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 3.
34
Binti Maunah, Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 1.
35
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), hal.
13.
24

berbagai masukan (input) ditransformasikan menjadi keluaran


(output).
3) BS Mardiatmadja mengartikan pendidikan sebagai suatu usaha
bersama dalam proses terpadu (terorganisir) untuk membantu
manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil
tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya
di hadapan Sang Pencipta.

Kemudian kata kunci yang kedua adalah ‘Islam’. Islam dari segi
bahasa berasal dari kata aslama, yuslimu, islaman yang berarti
submissioin (ketundukan), resignation (pengunduran) dan reconciliation
(perdamaian), to the will of God (tunduk pada kehendak Allah). Kata
aslama ini berasal dari kata salima, berarti peace, yaitu: damai, aman
dan sentosa.36 Adapun menurut istilah, Islam adalah Agama samawi
(langit) yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui utusan-Nya,
Muhammad Saw. yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci Al-
Qur’an dan As-Sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-
larangan dan petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.37
Kata pendidikan jika dikaitkan dengan Islam akan dikembalikan
pada pengertian bahasa Arab, yaitu tarbiyah. Tarbiyah ialah suatu
kegiatan dengan menggunakan berbagai cara dan sarana yang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam, untuk memelihara dan membentuk
manusia menjadi tuan di muka bumi ini, tetapi tuan yang dibatasi dengan
peribadatan yang sebaik-baiknya kepada Allah Rabbul ‘Alamin.38
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan Islam ialah suatu usaha berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai

36
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 32-33.
37
Zeni Lutfiah dan Muh. Farhan Mujahidin, dkk., Pendidikan Agama Islam (Surakarta:
Yuma Pustaka, 2011), hal. 6.
38
Ahmas Faiz Asifuddin, M.A., Pendidikan Islam, Basis Pembangunan Umat
(Naashirussunnah, 2012), hal. 20-22.
25

pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Agama Islam


serta menjadikanya sebagai pandangan hidup (way of life).39
b. Visi dan Misi Pendidikan Islam
Kata visi berasal dari bahasa Inggris ‘vision’, yang mengandung arti
penglihatan atau daya lihat, pandangan, impian atau bayangan. 40 Secara
terminologi, visi yaitu keinginan besar yang hendak ingin diwujudkan
angan-angan, khayalan dan impian ideal tentang sesuatu yang hendak
diwujudkan.
Jika pengertian tentang visi tersebut dihubungkan dengan
pendidikan Islam, maka visi pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
tujuan panjang, cita-cita masa depan dan impian ideal yang ingin
diwujudkan oleh pendidikan Islam. Visi pendidikan ini selanjutnya dapat
menjadi sumber motivasi, inspirasi, pencerahan, pegangan dan arah bagi
perumusan misi, tujuan, kurikulum, proses belajar, guru, staf, murid,
manajemen, lingkungan dan lain sebagainya.
Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada cita-cita dan
tujuan jangka panjang ajaran Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat
bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan firman Allah Swt.:
     

Artinya:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam. (Q.S Al-Anbiya’/21: 107)41
Dengan demikian, visi pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai
berikut:
“Menjadikan pendidikan Islam sebagai pranata yang kuat,
berwibawa, efektif dan kredibel dalam mewujudkan cita-cita ajaran
Islam.”42

39
Zakiyah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. 10, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2012), hal. 86.
40
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005), hal. 631.
41
Kementrian Agama RI, op. cit., hal. 331.
42
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…. Hal. 44.
26

Dengan visi tersebut, maka seluruh komponen pendidikan Islam


harus diarahkan kepada tercapainya visi tersebut. Visi itu harus
dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh unsur yang terlibat dalam
kegiatan pendidikan.
Setelah terciptanya sebuah visi, maka dibutuhkan misi untuk
mewujudkan visi tersebut. Misi dapat diartikan sebagai tugas-tugas atau
pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai visi yang
ditetapkan. Dengan demikian, antara visi dan misi harus memiliki
hubungan fungsional-simbiotik, yakni saling mengisi dan timbal balik.
Dari satu sisi visi mendasari rumusan misi, sedangkan dari sisi lain,
keberadaan misi akan menyebabkan tercapainya visi.
Berdasarkan uraian di atas, maka misi pendidikan Islam dapat
dirumuskan sebagai berikut:43
1) Mendorong timbulnya kesadaran umat manusia agar mau melakukan
kegiatan belajar dan mengajar;
2) Melaksanakan kegiatan belajar mengajar sepanjang hayat;
3) Melaksanakan program wajib belajar;
4) Melaksanakan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD);
5) Mengeluarkan manusia dari kehidupan dzulumat (kegelapan) kepada
kehidupan yang terang benderang;
6) Memberantas sikap jahiliyah;
7) Menyelamatkan manusia dari tepi jurang kehancuran yang
disebabkan karena pertikaian;
8) Melakukan pencerahan batin kepada manusia agar sehat rohani dan
jasmaninya;
9) Menyadarkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang
menimbulkan bencana di muka bumi, seperti permusuhan dan
peperangan;

43
Ibid., hal. 45.
27

10) Mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang


paling sempurna di muka bumi.
c. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha
atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha
dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-
tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan
bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia
merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan
dengan seluruh aspek kehidupannya.
Tujuan harus bersifat stasioner, artinya telah mencapai atau meraih
segala yang diusahakan. Misalnya, saya berniat melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi maka setelah niat itu terlaksana, berarti tujuan telah
tercapai. Adapun untuk meraih tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha,
yang setiap usaha merupakan ikhtiar maqsudi, upaya mencapai
maksud.44
Jika kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam, akan terlihat
dengan jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami
pendidikan Islam secara keseluruhan yaitu kepribadian seseorang yang
membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola takwa. Insan kamil
artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang
secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah Swt. Ini
mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan
manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan
gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam
berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat
mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini
untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti.45

44
Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2009), hal. 146.
45
Zakiyah Daradjat, dkk., op. cit., hal. 29-30.
28

Tujuan pendidikan Islam dapat disistematiskan sebagai berikut:46


1) Terwujudnya insan akademik yang beriman dan bertakwa kepada
Allah Swt;
2) Terwujudnya insan kamil yang berakhlakul karimah;
3) Terwujudnya insan muslim yang berkepribadian;
4) Terwujudnya insan yang cerdas dalam mengaji dan mengkaji ilmu
pengetahuan;
5) Terwujudnya insan yang bermanfaat untuk kehidupan orang lain;
6) Terwujudnya insan yang sehat jasmani dan rohani;
7) Terwujudnya karakter muslim yang menyebarkan ilmunya kepada
sesama manusia.
d. Sumber-sumber Pendidikan Islam
Kosakata ‘sumber’ sering kali tumpang-tindih dengan kosakata
‘dasar’, ’prinsip’ dan ‘asas’. Karenanya kosakata ini sering digunakan
secara bergantian tanpa argumentasi yang jelas. Kata ‘sumber’ berbeda
dengan kata ‘dasar’ dengan alasan bahwa ‘sumber’ senantiasa
memberikan nilai-nilai yang dibutuhkan bagi kegiatan pendidikan.
Adapun dasar adalah sesuatu yang di atasnya berdiri sesuatu dengan
kukuh. Dalam sebuah bangunan, dasar sama artinya dengan fondasi yang
di atasnya bangunan tersebut ditegakkan.
Selanjutnya ‘sumber’ juga berbeda dengan ‘prinsip’. Jika sumber
adalah sesuatu yang memberikan bahan-bahan bagi pembuatan sebuah
konsep atau bangunan, maka prinsip adalah sesuatu yang harus ada
dalam sebuah kegiatan atau usaha dan sekaligus menjadi ciri sesuatu
tersebut.
Kemudian ‘asas’ kelihatannya mirip dengan ‘prinsip’, yakni prinsip
yang telah dijadikan acuan. Asas tersebut biasanya diambil dari konsep-
konsep yang terdapat dalam bagian disiplin ilmu pengetahuan.47

46
Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, op. cit., hal. 147.
47
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…. Hal. 73-74.
29

Sumber pendidikan Islam selanjutnya dapat diartikan semua acuan


atau rujukan yang darinya memancar ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber
pendidikan Islam terkadang disebut sebagai dasar ideal pendidikan
Islam.
Menurut Hasan Langgulung, bahwa sumber pendidikan Islam yaitu
Al-Qur’an, As-Sunnah, ucapan para sahabat (mazhab al-shahabi),
kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah), dan hasil ijtihad para ahli.
Selain itu ada pula yang meringkaskan sumber pendidikan Islam menjadi
empat macam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, sejarah dan filsafat.48

48
Ibid,. hal. 59.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau Library
Research. Penelitian kepustakaan atau Library Research adalah penelitian
yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik
berupa buku, catatan maupun laporan hasil dari penelitian terdahulu.
Penelitian kepustakaan atau Library Research berusaha mengumpulkan
data dengan cara membaca, menelaah, memahami dan menganalisa buku
atau tulisan baik dari majalah, mengakses situs–situs internet, maupun dari
dokumen yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Penelitian ini
digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai teori-teori, konsep-
konsep, generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi
penelitian yang akan dilakukan.49
2. Penelitian Kualitatif (Qualitative Research)
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan data kualitatif, yaitu
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti objek yang alamiah. 50 Istilah penelitian kualitatif
dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. 51 Metode
penelitian kualitatif sering disebut penelitian naturalistik karena
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah dan dalam analisis data
pelaksanaannya langsung di lapangan bersama-sama dengan pegumpulan
data. Disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan
analisisnya lebih bersifat kualitatif. Bersifat kualitatif maksudnya analisis
untuk memperoleh data-data yang bersifat kualitatif yang digambarkan
49
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal.
18.
50
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 15.
51
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4.

30
31

dengan kata-kata atau kalimat terpisah menurut kategori untuk memperoleh


kesimpulan atau mencari data dengan cara membaca, menelaah dan
memahami buku-buku ataupun kitab-kitab tafsir yang mempunyai
relevansi dengan masalah ini sehingga memperoleh kesimpulan. Penelitian
kualitatif sifatnya deskriptif-analitis.52 Dalam penelitian kualitatif yang
diutamakan adalah deskripsi analitis untuk menemukan konsep-konsep
yang terdapat di dalamnya, bukan menggunakan numerik statistik. Dalam
praktiknya, hanya berkisar pada data-data yang berkaitan dengan nilai-nilai
edukatif yang terkandung dalam Q.S Al-Baqarah ayat 215 tentang
kepedulian sosial dalam berinfaq.

B. Sumber Data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan di lapangan
oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang
memerlukannya.53 Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber inti.
Yang termasuk sumber primer dalam data penelitian ini diantaranya; Q.S
Al-Baqarah ayat 215 dan terjemahnya yang kemudian dianalisis dengan
dukungan dari sumber-sumber sekunder sebagai pembanding. Adapun
penelitian ini akan mengambil dari beberapa tafsir Al-Qur’an yaitu Tafsir
Al-Misbah, Tafsir Al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an,
Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.54 Data sekunder
merupakan sumber penunjang atau pelengkap dan pembanding data yang
berkaitan dengan pokok permasalahan atau fokus kajian. Sumber sekunder
dapat diperoleh dengan cara menelaah dan menganalisis buku-buku yang

52
Jamal Ma’ruf Asmani, Tuntunan Lengkap Metodologi Penelitian Pendidikan
(Yogyakarta: Diva Press, 2011), hal. 75.
53
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
hal. 19.
54
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal. 91.
32

berkenaan dengan fokus kajian dan sumber-sumber lain yang berkaitan


langsung dengan fokus kajian. Sumber sekunder dapat pula bermanfaat
sebagai pelengkap informasi yang telah dikumpulkan sendiri oleh peneliti
yang pada akhirnya dapat memperkuat pengetahuan yang ada.55

C. Teknik Pengumpulan Data


Adapun metode pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah sebagai
berikut:
1. Studi Dokumenter
Studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik.56 Kajian dokumen dalam penelitian ini
digunakan untuk memperoleh pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum
yang berhubungan dengan masalah penelitian atau cara pengambilan
informasi yang didapat dari dokumen, yakni peninggalan tertulis, arsip-
arsip, catatan peristiwa yang sudah berlalu. Kajian dokumenter merupakan
teknik pengumpulan data yang utama.57
2. Penelusuran Data Online
Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah
mampu menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan
para akademisi untuk menjadikan media online sebagai salah satu medium
atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi,
mulai dari informasi teoritis maupun data-data primer ataupun sekunder
yang dibutuhkan oleh peneliti.
Penelusuran online yang dimaksud di sini adalah tata cara penelusuran
data melalui media layanan yang menyediakan fasilitas online sehingga
memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-data informasi online
yang berupa data ataupun informasi teori secepat atau semudah mungkin

55
Nasution, Metode Reseacrh, Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 145.
56
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), hal. 221.
57
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), hal. 181.
33

dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Prosedur terpenting


pada penggunaan metode ini adalah penyebutan sumber data.
D. Teknik Analisis Data
Patton menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan
data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar.58 Analisis data merupakan penguraian atas data hingga menghasilkan
kesimpulan. Metode analisis data yang dilakukan untuk menganalisis
pembahasan ini adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan:
1. Analisis isi (Content Analysis)
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian Content
Analysis (analisis isi), yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan atau
komunikasi yang ada untuk menerapkan metode ini terkait dengan data-
data, kemudian dianalisis sesuai dengan isi materi yang dibahas.
Menurut Stone, analisis isi merupakan suatu teknik untuk membuat
inferensi (kesimpulan) dengan mengidentifikasi karakteristik khusus secara
objektif dan sistematis.59 Analisis isi (Content Analysis) adalah teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable)
dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi
berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam
komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal
komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun non-verbal. Sejauh ini,
makna komunikasi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa
komunikasi.
Dapat ditarik kesimpulan analisis isi (content analysis), yaitu penelitian
yang dilakukan terhadap informasi, yang didokumentasikan dalam
rekaman, baik dalam gambar, suara maupun tulisan. Kemudian dilakukan
interpretasi secara deskriptif yaitu dengan memberikan gambaran dan
penafsiran serta uraian tentang data yang telah terkumpul. Metode ini

58
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 69.
59
Andi Prastowo, Memahami Metode-metode Penelitian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), hal. 80.
34

digunakan untuk mengetahui prinsip–prinsip dari suatu konsep untuk


keperluan mendeskripsikan secara sistematis tentang suatu teks.
Teknik analisis isi digunakan untuk menganalisis isi kandungan yang
tersirat pada objek yang diteliti. Dalam konteks ini objek penelitiannya
adalah Q.S Al-Baqarah ayat 215.
2. Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan
sebagai alternatif lain akibat keterbatasan dari analisis isi. Pada analisis isi
pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks
komunikasi yang bersifat nyata sedangkan analisis wacana justru
berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). 60 Yang
menjadi titik bukan pesan tetapi juga makna. Fokus analisis wacana adalah
pada muatan, nuansa dan konstruksi makna yang laten dalam teks.
Analisis wacana adalah analisis isi yang lebih bersifat kualitatif dan
dapat menjadi salah satu alternatif untuk melengkapi dan menutupi
kelemahan dari analisis isi kuantitatif yang selama ini banyak digunakan
oleh para peneliti. Jika pada analisis kuantitatif, pertanyaan lebih
ditekankan untuk menjawab “apa” (what) dari pesan atau teks komunikasi,
pada analisis wacana lebih difokuskan untuk melihat pada “bagaimana”
(how), yaitu bagaimana isi teks berita dan juga bagaimana pesan itu
disampaikan.

60
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya (Cet. 9; Jakarta: Kencana, 2017), hal. 196.
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

A. Profil Q.S Al-Baqarah ayat 215


Surah ini adalah surah madaniyyah, karena surah ini turun setelah Nabi
Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Ayat-ayatnya berjumlah 268 ayat.
Banyak sekali permasalahan yang dibahas di dalamnya. Tidak heran karena
masyarakat Madinah ketika itu sangat heterogen, baik dalam suku, agama
maupun kecenderungan. Di sisi lain, ayat-ayat surah ini berbicara menyangkut
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa yang cukup panjang. Kalaulah
peristiwa pengalihan kiblat (ayat 142) atau perintah berpuasa (ayat 183)
dijadikan sebagai awal masa turunnya surah ini, dan ayat 281 sebagai akhir
ayat Al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad Saw. (sebagaimana disebutkan
dalam sejumlah riwayat), ini berarti bahwa surah Al-Baqarah secara
keseluruhan turun dalam masa sepuluh tahun. Karena, perintah pengalihan
kiblat, terjadi setelah sekitar 18 bulan Nabi Muhammad Saw. berada di
Madinah, sedangkan ayat terakhir turun beberapa saat atau beberapa hari
sebelum beliau wafat pada 12 Rabiul Awal tahun 13 Hijrah.
Surah ini dinamai Al-Baqarah karena tema pokoknya adalah inti ayat-ayat
yang menguraikan kisah Al-Baqarah, yakni kisah Bani Israil dengan seekor
sapi. Ada seseorang yang terbunuh dan tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Masyarakat Bani Israil saling mencurigai, bahkan tuduh-menuduh, tentang
pelaku pembunuh tanpa ada bukti, sehingga mereka tidak memperoleh
kepastian. Menghadapi hal tersebut, mereka menoleh kepada Nabi Musa a.s
meminta beliau berdoa agar Allah menunjukkan siapa pembunuhnya. Maka,
Allah memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi. Dari sini dimulai kisah
Al-Baqarah. Akhir dari kisah itu adalah mereka menyembelihnya (setelah
dialog tentang sapi berkepanjangan) dan dengan memukulkan bagian sapi itu
kepada mayat yang terbunuh, atas kudrat Allah Swt. korban hidup kembali dan
menyampaikan siapa pembunuhnya.

35
36

Surah ini juga dinamai dengan nama As-Sinam yang berarti ‘puncak’,
karena tiada lagi puncak petunjuk setelah Kitab suci ini, dan tiada puncak
setelah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan keniscayaan Hari
Kiamat. Dan juga dinamai Az-Zahra, yakni ‘terang benderang’.61 Karena
kandungan surah ini menerangi jalan dengan benderang menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinar terangnya wajah siapa yang
mengikuti petunjuk-petunjuk surah ini kelak di kemudian hari.

B. Deskripsi Data
1. Teks dan Terjemah Q.S Al-Baqarah Ayat 215
        
   
         
 
Artinya:
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang dan miskin orang-orang
yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Q.S Al-Baqarah/2:
215)62

2. Tarkibul Q.S Al-Baqarah Ayat 215


 : bentuknya fi’il fail, fi’ilnya mudhori’ di tandai dengan nun
karena termasuk af’alul khomsah. ‫ك‬ –nya menjadi fa’il,
bentuknya isim dhomir yang muttasil
 : istifhamiyah (kalimat untuk menerangkan pertanyaan)
 : fi’il mudhori’ bentuknya af’alul khomsah, i’robnya rofa’
dengan tanda ‫ن‬
 : fi’il amr, i’robnya jazem dibaca sukun
 : ma mausullah hukumnya mabni

61
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2017), hal. 100.
62
Kementrian Agama RI, op. cit., hal. 33.
37

 : terdapat dua kalimat, kalimat fi’il dua isim yaitu fi’il dan fa’il .
‫ اَْن َف َق‬fi’il mudhari’ tandanya diawali huruf mudhoro’ah alif, di
sukun huruf ‫– ق‬nya karena dimasuki dhomir muttasil ‫تُ ْم‬
‫ ِم ْن َخ ْي ٍر‬: terdapat dua kalimah, namanya tarkib jer majrur. ‫ِم ْن‬-nya
dinamakan huruf jer, ‫ َخ ْي ٍر‬kalimah isim tandanya tanwin, dibaca
kasroh karena diawali huruf jer.
‫ فَلِل َْوالِ َديْ ِن‬:Terdiri dari tiga kalimah. ‫ف‬
َ Jawab dari ‫ ِل‬. ‫َما‬ Merupakan

huruf jer. ‫ اَلْ ِوالِ َديْ ِن‬merupakan kalimah isim tandanya alif lam,
bentuknya isim tasniyah (isim yang menunjukan makna dua) di-
jer-kan dengan tandanya ‫ ي‬karena kemasukan huruf jer . ‫ل‬
‫ َوااْل َ ْق َربِْي َن‬: Terdiri dari tiga kalimah. ‫ َو‬Merupakan huruf ‘athof
ِ ِ
َ ‫ اَاْل َ ْق َربِْي‬. ‫ فَلل َْوال َديْ ِن‬merupakan kalimah isim
maktubnya ke lafadz ‫ن‬
tandanya alif lam. Isimnya jamak mudzakar salim, di-jer-kan
karena menjadi ‘athof dan tanda jer-nya ‫ي‬

‫ َوالْيَتَ َمى‬:Terdiri dari dua kalimah. ‫ َو‬Merupakan huruf ‘athof maktubnya


َ ‫ َوااْل َ ْق َربِْي‬merupakan kalimah isim tandanya alif lam.
ke ‫ اَلْيَتَ َمى‬. ‫ن‬
I’robnya dikira-kirakan karena bentuknya isim manqus yang di
akhiri dengan alif layyinah
‫ َوال َْم َس ِك ْي َن‬:Terdiri dari dua kalimah. ‫ َو‬merupakan huruf ‘athof tabi’ lil jer
ke lafadz yang sebelumnya. ‫ن‬ ِ
َ ‫اَل َْم َس ك ْي‬Merupakan kalimah isim
tandanya alif lam, isimnya jamak mudzakar salim dibaca jer
karena ma’tuf ke lafadz sebelumnya dan tanda jer-nya ‫ي‬

‫السبِْيل‬
َّ ‫ َوابْ ِن‬: Terdiri dari tiga kalimah . ‫َو‬ merupakan huruf ‘athof. ‫اِبْ ِن‬
‫الس بِْيل‬
َّ Terdiri dari dua kalimah yang digabung menjadi satu

dinamakan tarkib idhofah. ‫ اِبْ ِن‬Sebagai mudhof dibaca jer karena


38

tabi’ pada ‘athof. ‫الس بِْي ِل‬


َّ Sebagai mudhof ilaih selamanya

dibaca jer.
‫ َو َماَت ْف َعلُ ْوا‬: Terdiri dari tiga kalimah. ‫ َو‬Ibtidaiyah yang berfungsi sebagai
permulaan percakapan. ‫ َما‬Syartiyah. ‫َت ْف َعلُ ْوا‬Merupakan fi’il
mudhori’ bentuknya af’alul khomsah tandanya diawali huruf
mudhoro’ah ‫ت‬membuang nun karena i’robnya jazem jatuh

setelah ‫ َما‬syartiyah.
‫ ِم ْن َخ ْي ٍر‬: Terdapat dua kalimah, namanya tarkib jer majrur . ‫ِم ْن‬nya
dinamakan huruf jer, ‫ َخ ْي ٍر‬kalimah isim tandanya tanwin, dibaca
kasroh karena diawali huruf jer.
ِ
َ‫ فَا َّن اللَّه‬:Terdapat tiga kalimah.‫ف‬
َ Jawab menjawab‫ َما‬syartiyah. ‫اِ َّن‬
mempunyai sifat tansibul isma watarfa’ul khobar, maka lafadz

َ‫اللَّه‬ dinashobkan karena menjadi isimnya ‫اِ َّن‬. َ‫ اهلل‬i’robya nashob


tandanya fathah karena isim mufrod.
‫بِ ِه‬ : Terdapat dua kalimah. ‫ب‬Merupakan huruf jer. ‫ ِه‬Merupakan
kalimah isim dhomir dibaca kasroh karena mahal jer.
‫َعلِ ْي ٌم‬ : Berposisi sebagai khobarnya ‫اِ َّن‬ . Merupakan kalimah isim
tandanya tanwin, i’rabnya rofa’ tanda rofa’nya menggunakan
dhummah karena isim mufrod.

3. Makna Mufrodat Q.S Al-Baqarah Ayat 215


  
Mereka nafkahkan Apa yang Mereka bertanya
    
Dari kebajikan/harta Apa yang kamu Katakanlah
nafkahkan
39

  


Dan anak-anak Dan kaum kerabat Maka untuk kedua orang
yatim tua
   
Dan apa saja Dan orang-orang Dan orang-orang miskin
dalam perjalanan
   
Maka sesungguhnya Dari kebajikan Kamu perbuat
  
Maha Mengetahui Dengannya Allah

4. Asbabun Nuzul Q.S Al-Baqarah Ayat 215


Asbabun Nuzul terdiri dari dua kata, yaitu asbab dan an-nuzul. Kata
asbab merupakan jamak dari sabab dan an-nuzul adalah masdar dari
nazala. Secara harfiah, sabab berarti sebab atau latar belakang, maka asbab
berarti sebab-sebab atau beberapa sebab atau beberapa latar belakang.
Sedangkan an-nuzul berarti turun. Maka dengan demikian, kata asbab an-
nuzul secara harfiah berarti sebab-sebab turun atau beberapa latar belakang
yang membuat turun. Secara istilah asbabun nuzul merupakan suatu ilmu
yang mengkaji tentang sebab-sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi
turunnya ayat al-Qur’an.
Imam Al-Wahidi berpendapat bahwa mengetahui tafsir suatu ayat Al-
Qur’an tidaklah mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan
kejadian turunnya ayat tersebut. Pengetahuan ihwal asbabun nuzul suatu
ayat memberikan dasar yang kokoh untuk menyelami makna suatu ayat Al-
Qur’an.63 Jadi ilmu asbabun nuzul adalah membahas sighat (redaksi-
redaksinya), tarjih riwayat-riwayatnya dan faidah mempelajarinya.
Diriwayatkan dalam asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Al-
Qur’an), dari Ibnu Juraij r.a berkata, “Orang-orang mukmin bertanya

63
Q. Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat
Al-Qur’an, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2009), hal. 4.
40

kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasul, di mana kami harus menginfakkan


harta kami?” Atas pertanyaan itu, Allah Swt menurunkan Ayat ini.”64

5. Munasabah Q.S Al-Baqarah Ayat 215


Menurut bahasa, al-munasabah berarti al-musyakalah dan al-
muqarabah yang artinya keserasian dan kedekatan. Selanjutnya Quraish
Shihab menyatakan bahwa munasabah adalah adanya keserupaan dan
kedekatan di antara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan
adanya hubungan.
Secara etimologi, munasabah semakna dengan musyakalah dan
muqarabah, yang berarti serupa dan berdekatan. Secara terminologi,
munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-
ayat Al-Qur’an. Ibnu ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Imam As-Suyuti,
mendefinisikan munasabah itu kepada “keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an
antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai
suatu ungkapan yang rapi dan sistematis”. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang
keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain.

a. Munasabah Q.S Al-Baqarah ayat 215 dengan ayat sebelumnya


Pada ayat sebelumnya yakni ayat 214 ditegaskan bahwa mereka
kaum muslimin sedang diberi ujian dan cobaan yang sangat berat, baik
itu ujian dalam bentuk kesenangan maupun berbagai macam
kesengsaraan, yaitu yang berkaitan dengan diri atau keluarga mereka
seperti kemiskinan, sakit dan kematian. Lalu mereka merasa bahwa
pertolongan Allah Swt. tidak kunjung datang, sampai pada akhirnya
mereka mengajukan pertanyaan “Bilakah datangnya pertolongan
Allah?” dan kemudian langsung dijawab oleh Allah Swt. dengan
jawaban yang menjelaskan bahwa pertolongan Allah Swt. sangat dekat.

64
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah,
(Cet. 3; Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), hal. 33.
41

Sementara pada ayat 215 dijelaskan tentang bagaimana orang


mukmin harus memperlakukan harta benda yang dimiliki agar selaras
dengan perintah-Nya. Di mana hal tersebut sebenarnya mengisyaratkan
sebagai salah satu bentuk ujian yang pasti dialami dan diisyaratkan oleh
ayat yang lalu. Mengingat bahwa cobaan tidak hanya dalam bentuk
kesedihan dan kesengsaraan saja, melainkan juga bisa dalam bentuk
kesenangan-kesenangan. Setelah mereka memiliki iman yang kuat dan
mereka ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan-Nya, maka mereka dicoba
dengan limpahan harta mereka supaya sebagian harta yang mereka
miliki didermakan kepada beberapa golongan manusia di sekitarnya.
b. Munasabah Q.S Al-Baqarah ayat 215 dengan ayat sesudahnya
Pada ayat 215 telah dijabarkan tentang cobaan pertama bagi kaum
muslimin yang di dalam hatinya telah tertancap iman yang teguh,
sedangkan pada ayat selanjutnya adalah bentuk ujian yang kedua.
Kedua ayat ini (ayat 215 dan 216) turun ketika akidah telah tertancap ke
hati orang-orang yang beriman dan mereka sudah bertambah sadar
tentang kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Untuk
lebih mencerminkan kemantapan iman tersebut, Allah menguji orang-
orang mukmin dengan berbagai bentuk cobaan.
Pada Q.S Al-Baqarah ayat 215 dijelaskan bahwa cobaan yang
pertama adalah dalam bentuk kesenangan seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Sedangkan pada Q.S Al-Baqarah ayat 216 Allah menguji
manusia dalam bentuk yang sebaliknya, yaitu ketika dalam hati mereka
telah tertancap rahmat dan rasa kasih sayang antara sesama, mereka
malah diwajibkan untuk berperang. Di situlah keimanan mereka diuji.
Peperangan bagaikan obat yang pahit, ia tidak disenangi tetapi harus
diminum demi memelihara kesehatan. Mereka tidak menyenangi
peperangan, tetapi berjuang menegakkan keadilan mengharuskannya.

Selain keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, Q.S Al-


Baqarah ayat 215 juga memiliki keterkaitan dengan ayat yang lain dalam
42

hal isi kandungan yang menjelaskan tentang infaq, beberapa ayat tersebut
antara lain:
a. Q.S Al-Baqarah ayat 261-262
       
       
         
        
         
       

Artinya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-
orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka
tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-
nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”. (Q.S Al-Baqarah/2: 261-262)

Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 215 dijelaskan tentang perintah berinfaq,


kemudian masih pada surat yang sama yaitu Q.S Al-Baqarah ayat 261
menjelaskan tentang pahala atau ganjaran yang akan diperoleh bagi orang
yang bersedia menginfakkan hartanya di jalan Allah. Pada ayat tersebut
diumpamakan bahwa apabila seseorang berinfaq dengan sebutir benih,
maka sebutir benih tersebut akan tumbuh menjadi tujuh bulir, dan tiap-tiap
bulir terdapat seratus biji, artinya setiap harta yang kita infakan, sejatinya
akan kembali lagi kepada kita bahkan Allah Swt. akan menggantikannya
menjadi tujuh ratus kali lipatnya.
Kemudian pada ayat setelahnya yaitu Q.S Al-Baqarah ayat 262 sedikit
disinggung adab dalam berinfaq, yaitu tidak menyebut-nyebut apa yang
sudah kita berikan, hal ini bertujuan untuk menjaga perasaan penerimanya.
b. Q.S Al-Baqarah ayat 267
43

      


       
     
         


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S Al-Baqarah/2: 267)

Ayat ini memiliki kandungan yang sama dengan Q.S Al-Baqarah ayat
215 yaitu mengenai anjuran berinfaq, tetapi pada ayat ini lebih spesifik
menjelaskan tentang anjuran untuk berinfaq dengan pemberian terbaik,
maksudnya memilih sesuatu yang baik untuk diberikan kepada orang lain,
yaitu sesuatu yang juga kita sukai. Seandainya kita menerima pemberian
tersebut dari orang lain, maka tolak ukurnya adalah diri kita sendiri.
Apabila kita sendiri tidak menyukainya, maka kemungkinan orang lain juga
tidak berkenan.
6. Pendapat Para Mufasir mengenai Q.S Al-Baqarah Ayat 215
a. Pendapat Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
Akidah telah tertanam dalam hati orang-orang yang beriman.
Kemudian sampai pada akhirnya mereka bertambah sadar tentang
kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. serta
keniscayaan aneka cobaan. Kemantapan iman itu tercermin pada
keinginan mereka untuk menyesuaikan tingkah laku dengan tuntunan
Allah Swt. Karena itu, dalam kelompok ayat ini, ditemukan aneka
pertanyaan mereka.
Pertanyaan pertama adalah menyangkut nafkah. Mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Tentu saja, pertanyaan
44

itu telah mereka ajukan sebelum turunnya ayat ini. Tetapi, Al-Qur’an
bermaksud melukiskan betapa indah sikap batin mereka dan betapa
baik pertanyaan ini. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan
dari harta yang baik maka hendaklah diberikan untuk ibu dan bapak,
…”
Ayat ini menjawab dengan sangat singkat pertanyaan mereka di
celah jawaban tentang kepada siapa hendaknya harta itu dinafkahkan.
Jawaban dari pertanyaaan mereka adalah dari harta yang baik, yakni
apa saja yang baik silakan nafkahkan. Di sini, harta ditunjuk dengan
kata khair/baik untuk memberi isyarat bahwa harta yang dinafkahkan
itu hendaklah sesuatu yang baik serta digunakan untuk tujuan-tujuan
yang baik.
Selanjutnya, dijelaskan untuk siapa harta sebaiknya diberikan,
yaitu pertama kepada ibu-bapak, karena merekalah sebab wujud anak
serta paling banyak jasanya, selanjutnya kepada kaum kerabat yang
dekat maupun yang jauh, dan anak-anak yatim, yakni anak yang belum
dewasa sedang ayahnya telah wafat, demikian juga untuk orang-orang
miskin yang membutuhkan bantuan dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan tetapi kekurangan bekal.
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini
mengisyaratkan salah satu bentuk ujian yang pasti dialami dan
diisyaratkan oleh ayat yang lalu dengan kata musibah/malapetaka.
Ayat ini tidak berbicara tentang cara membantu fakir,
memerdekakan budak, membantu yang dililit utang dan lain-lain
yang dicakup oleh ayat yang menguraikan kelompok yang berhak
menerima zakat (Q.S At-Taubah [9]: 60) karena yang dimaksud
dengan infaq di sini adalah yang bersifat anjuran dan di luar
kewajiban zakat. Karena itu penutup ayat ini berbicara secara
umum dan dengan redaksi yang menunjukkan
kesinambungannya, yaitu dan apa saja kebajikan yang kamu akan
dan sedang lakukan maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui.65
b. Pendapat Ahmad Musthafa al-Maragi dalam Tafsir al-Maragi

65
M. Quraish Shihab, op. cit., hal. 555.
45

Pada ayat yang sebelumnya, Allah telah menjelaskan bahwa


timbulnya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat adalah
disebabkan kuatnya dorongan kecintaan terhadap keindahan kehidupan
duniawi pada diri mereka. Kemudian Allah menjelaskan pula bahwa
para ahli perkara hak, mereka ada orang-orang yang mampu bertahan
dalam menghadapi segala penderitaan dan kesengsaraan dalam hal
harta benda dan jiwa mereka demi untuk mencapai keridhaan Allah
Swt. Pada ayat ini Allah Swt. menjelaskan kepada kita hal-hal yang
mendorong seseorang berinfaq di jalan Allah Swt. Pada hakikatnya,
mengorbankan harta benda sama halnya dengan mengorbankan jiwa,
keduanya merupakan tanda keimanan seseorang. Bagi orang yang
memperhatikan pembahasan yang telah lalu, kini jiwanya terarah pada
keinginan untuk berperan serta dalam berkorban di jalan Allah. Oleh
karena itu, ayat ini disajikan dalam bentuk pertanyaan yang langsung
diikuti jawabannya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai dari Sahabat
Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

‫َّق بِ ِه َعلَى‬ ْ ‫صد‬ ِ ِ ِ َ ‫ص َّد ُق ْوا َف َق‬


َ َ‫ ت‬: ‫ال‬َ َ‫َّق ق‬ ْ ‫صد‬ َ َ‫ ت‬: ‫ال‬
َ َ‫ار ق‬ٌ َ‫ ع ْن د ْى د ْين‬: ‫ال َر ُج ٌل‬ َ َ‫ت‬
: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬, ‫ك‬ َ ‫َّق بِ ِه َعلَى َز ْو ِج‬
ْ ‫صد‬ ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬, ‫ك‬ َ ‫َن ْف ِس‬
َ َ‫ ت‬: ‫ال‬َ َ‫ ق‬,‫ار اَ َخ ُر‬
ٌ َ‫ ع ْن د ْى د ْين‬: ‫ال‬
,‫ار اَ َخ ُر‬ ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬,‫َد َك‬ ِ ‫َّق بِ ِه َعلَى ول‬ ِ ِ ِ
ٌ َ‫ ع ْن د ْى د ْين‬: ‫ال‬ َ ْ ‫صد‬ َ َ‫ ت‬: ‫ال‬َ َ‫ ق‬,‫ار اَ َخ ُر‬
ٌ َ‫ع ْن د ْى د ْين‬
‫ص ُربِ ِه‬ ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬,‫ك‬ َ ‫َّق بِ ِه َعلَى َخا ِد ِم‬
َ ْ‫ت اَب‬
َ ْ‫ اَن‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫ار اَ َخ ُر‬
ٌ َ‫ ع ْند ْى د ْين‬: ‫ال‬ ْ ‫صد‬ َ َ‫ ت‬: ‫ال‬ َ َ‫ق‬
Artinya:
“Bersedekahlah kalian”. Kemudian salah seorang diantara para
sahabat ada yang bertanya: “Saya mempunyai satu dinar”. Nabi
menjawab: “Sedekahkanlah untuk dirimu sendiri.” Lelaki
tersebut berkata lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang lain.”
Kemudian Nabi Saw. menjawab pula: “Sedekahkanlah untuk
dirimu.” Lelaki tersebut berkata lagi: “Saya mempunyai satu
dinar yang lain.” Kemudian Nabi Saw. bersabda:
“Sedekahkanlah untuk anakmu.” Lelaki tersebut berkata lagi:
“Saya mempunyai satu dinar yang lain.” Kemudian Nabi Saw.
bersabda: “Sedekahkanlah kepada pembantumu.” Lelaki tersebut
berkata lagi: “Saya mempunyai satu dinar yang lain.” Kemudian
46

Nabi Saw. bersabda: “Anda lebih tahu (bagaimana


menginfakkannya).”66

Dalam ayat ini dijelaskan mereka yang berhak menerima nafkah:


)  (
Apa yang harus mereka sedekahkan dari macam-macam harta
benda yang mereka miliki?
)     
   
(
Katakanlah kepada mereka bahwa: “Bagi yang ingin
menginfakkan harta bendanya, hendaklah mendahulukan kepada kedua
orang tua. Sebab, mereka telah mendidiknya dan menumbuhkannya
dengan susah payah sejak kecil hingga dewasa.67 Setelah itu, barulah
kepada anak-anak serta cucunya lalu saudara-saudaranya. Sebab
mereka adalah orang-orang yang paling berhak ia kasihi dan ia
sayangi. Dan apabila mereka ia biarkan, niscaya mereka akan meminta
kepada orang lain dan hal ini akan membawa aib dan malu baginya.
Kemudian menginfakkannya kepada anak-anak yatim, karena mereka
masih kecil dan belum mampu berusaha sendiri. Setelah itu, barulah
menginfakkannya kepada kaum fakir miskin dan ibnu sabil (orang
yang sedang dalam perjalanan), untuk mewujudkan rasa saling tolong-
menolong di antara kaum muslimin, baik dalam keadaan senang
maupun susah. Sebab mereka juga termasuk dalam keluarga Islam.
)       (
Apa yang mereka infakkan ke jalan kebaikan dan ketaatan, kapan
saja dan di mana saja, serta diberikan kepada golongan manapun yang
tersebut dalam ayat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui hal
tersebut. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang luput dari perhatian Allah.

66
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), hal. 226.
67
Ibid., hal. 227.
47

Oleh karena itu, Allah tidak akan pernah lupa memberi pahala terhadap
amal baik, bahkan Ia akan melipat gandakannya.
c. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir
Mereka bertanya kepadamu tentang bagaimana mereka berinfaq.
Maka Allah Ta’ala menjelaskan hal itu kepada mereka: belanjakanlah
harta itu kepada pihak-pihak tersebut. Sebagaimana dikatakan dalam
hadis:

...‫اك ثُ َّم َأ ْدناَ َك َأ ْدناَ َك‬


َ ‫َأخ‬ َ َ‫اك َوُأ ْخت‬
َ ‫ك َو‬ َ َ‫ك َوَأب‬
َ ‫َُّأم‬
“(Berinfaklah) kepada ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu,
saudara laki-lakimu, kemudian yang di bawahnya dan kepada
yang di bawahnya lagi.”68
Maimun membaca ayat ini, kemudian dia berkata, “Inilah pihak-
pihak penerima infaq. Dalam ayat itu tidak diceritakan bahwa harta itu
untuk membeli tambur, terompet, patung kayu, dan selubung dinding.”
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Kebaikan apapun yang kamu
lakukan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” Artinya,
kebaikan apapun yang kamu lakukan Allah mengetahuinya dan Dia
akan membalasmu dengan pembalasan yang penuh, karena Dia tidak
akan menzalimi seorang pun walau sebesar dzarrah.
d. Pendapat Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sungguh telah banyak ayat tentang infaq yang disebutkan dimuka
berkenaan dengan adanya pertanyaan ini. Karena infaq pada masa-
masa permulaan tumbuhnya Islam merupakan sesuatu yang amat vital
untuk menegakkan dan membangun kaum muslimin dalam
menghadapi kesulitan, penderitaan dan peperangan-peperangan yang
tidak dapat dielakkan. Kemudian ia juga merupakan sesuatu yang
sangat vital dari sisi lain. Yaitu, dari segi saling menjamin dan saling
menanggung antar anggota kaum muslimin dan untuk menghilangkan
unsur-unsur perbedaan perasaan karena masing-masing merasa sebagai

68
Muhammad Nasib ar-Rifai’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid I (Bandung: Gema Insani, 1999), hal. 347.
48

salah satu anggota sebatang tubuh yang saling membutuhkan dan


saling berkaitan. Ini merupakan sesuatu yang memiliki nilai sangat
besar di dalam membangun jamaah pada segi perasaan sebagaimana ia
juga memiliki nilai penting dalam menutup kebutuhan mereka.
Di sini, sebagian kaum muslimin mengajukan pertanyaan,
“Apakah yang harus mereka nafkahkan (infakkan)?” Ini merupakan
pertanyaan tentang jenis barang yang mereka infakkan. Tetapi,
kemudian datanglah jawaban yang menerangkan sifat infaq dan
membatasi sasarannya yang paling utama dan paling dekat,
“Katakanlah, ‘apa saja harta yang kamu nafkahkan (infakkan).”
Ungkapan ini mengandung dua isyarat. Pertama, yang diinfakkan
itu adalah yang baik, baik bagi yang memberi, baik bagi yang
menerima dan barangnya juga baik. Maka, ia adalah perbuatan yang
bagus, pemberian yang bagus dan sesuatu yang bagus. Kedua, orang
yang berinfaq hendaklah memilihkan sesuatu yang lebih utama dan
lebih baik dari apa yang dimilikinya, sehingga dapat dirasakan
bersama orang-orang lain. Karena, infaq adalah membersihkan hati
dan menyucikan jiwa, serta memberikan kemanfaatan dan pertolongan
kepada orang lain. Memilih yang baik dan melepaskannya untuk orang
lain inilah yang mewujudkan kebersihan bagi hati, kesucian bagi jiwa,
dan sikap mengutamakan orang lain yang memiliki arti yang sangat
bagus.
Akan tetapi, isyarat dan pengarahan ini bukanlah suatu kepastian
yang wajib. Karena yang menjadi keharusan dalam berinfaq,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain, ialah yang tengah-
tengah (sedang), bukan yang paling jelek dan bukan yang paling mahal
dari apa yang ia miliki. Tetapi, pengarahan ini dimaksudkan untuk
mendidik kesukarelaan jiwa dan menggemarkannya untuk memberikan
sesuatu yang baik, sebagaimana hal ini sudah menjadi metode Al-
Qur’anul Karim di dalam mendidik jiwa dan menyiapkan hati.
49

Adapun jalan dan sasaran infaq setelah disebutkan sesudah


menetapkan jenisnya:

“Untuk ibu-bapak, sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang


miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”
Ia menghubungkan berbagai golongan manusia. Sebagian
dihubungkan dengan pemberi infaq dengan hubungan keturunan,
sebagian dalam hubungan kekeluargaan, sebagian dalam hubungan
kasih sayang dan sebagian lagi dalam hubungan kemanusiaan terbesar
dalam bingkai akidah. Semuanya terangkum dalam ayat, “Untuk ibu-
bapak, sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Semuanya tercakup
dalam ikatan solidaritas sosial yang kokoh antarmanusia di dalam
bingkai akidah yang kuat.
Akan tetapi, tata urutan dalam ayat ini dan ayat-ayat lain, serta
yang ditambahkan di dalam beberapa hadis Nabawi dengan batasan
yang jelas, seperti yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari
Jabir bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada seseorang:

ِ
‫ض َل َع ْن‬ ُ َ‫ فَ ِإ ْن ف‬, ‫ك‬َ ِ‫َأِلهل‬
ْ َ‫ض َل َش ْيءٌ ف‬ ُ َ‫ فَ ِإ َّن ف‬,‫َّق َعلَْي َه ا‬
ْ ‫صد‬َ َ‫ك َفت‬ َ ‫ابْ َدْأ بَِن ْف ِس‬
‫ك َش ْيءٌ َف َه َّك َذا َو‬َ ِ‫ض َل َع ْن ِذ ْي َق َرابَت‬
ُ َ‫ فَ ِإ ْن ف‬,‫ك‬َ ِ‫ك َش ْيءٌ فَلِ ِذ ْي َق َرا بَت‬ َ ِ‫َْأهل‬
‫َه َك َذا‬
“Mulailah dengan dirimu, maka bersedekahlah terhadapnya
(nafkahilah ia). Jika ada suatu kelebihan maka untuk istrimu. Jika
ada suatu kelebihan dari istrimu maka untuk kerabatmu. Dan jika
ada suatu kelebihan dari kerabatmu, maka untuk ini dan ini.”69
Tata urutan ini sesuai dengan manhaj Islam yang bijaksana dan
lapang di dalam mendidik dan membimbing jiwa manusia. Ia
memperlakukan manusia sebagaimana adanya, dengan fitrahnya,
kecenderungan alaminya, dan persiapan-persiapan spiritualnya.
Kemudian dibawanya dari mana dia berada dan di mana dia berhenti.

69
Sayyid Qutub, Fi Zhilalil-Qur’an Jilid I, (Depok: Gema Insani, 2008), hal. 263.
50

Ia dibawanya berjalan selangkah demi selangkah untuk mendaki


tempat yang tinggi, dengan lemah lembut dan mudah, dengan
dibawanya naik lalu istirahat, dipanggil fitrahnya, kecenderungan-
kecenderungannya dan dikembangkan kehidupan bersamanya
kemudian dinaikan derajatnya. Ia tidak merasa payah dan keberatan,
tidak merasa dibelenggu dengan rantai di kala mendaki. Tidak terkuras
kekuatan dan kecenderungan fitrahnya untuk mengisi dan melayani.
Tidak membawanya untuk menyimpang dari jalannya dan tidak
membawanya terbang di atas tempat yang tinggi. Ia hanya dibawanya
naik sedikit demi sedikit dengan halus dan lemah lembut, dengan
kedua kakinya masih tetap di bumi, tetapi pandangannya bergantung di
langit, hatinya meneropong ke ufuk tertinggi dan rohmya berhubungan
dengan Allah Yang Maha Tinggi.
Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa manusia itu mencintai
dirinya. Karena itu diperintahkanlah dia supaya mencukupi kebutuhan
dirinya sebelum diperintahkannya berinfaq kepada orang lain.
Diperkenankan baginya untuk menikmati rezeki yang baik-baik
dengan tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Maka, sedekah itu tidak
dilakukan kecuali setelah berkecukupan.
Abu Huraira r.a mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

ُّ ‫ َوالْيَ ُد الْعُالْيَا َخ ْي ٌر ِم َن الْيَ ِد‬, ‫الص َدقَ ِة َما َكا َن َع ْن ظَ ْه ِر ِغنًى‬


‫ َوابْ َدَأ‬, ‫الس ْفلَى‬ َّ ‫َخ ْي ُر‬
‫بِ َم ْن َتعُ ْو ُل‬
“Sebaik-baik sedekah ialah apa yang lebih dari keperluan.
Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik dari pada tangan di
bawah (penerima). Mulailah dengan orang yang menjadi
tanggunganmu.70
Jabir r.a berkata, “seorang laki-laki datang dengan membawa
emas sebesar telur; lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya mendapat
ini dari penambangan, maka ambillah ia sebagai sedekah, dan saya
tidak memiliki lainnya’. Lalu Rasulullah berpaling, kemudian orang itu

70
Ibid., hal. 263.
51

mendatangi beliau dari sebelah kanan seraya berkata seperti itu,


kemudian beliau berpaling lagi. Kemudian dia mendatangi beliau dari
sebelah kiri seraya berkata seperti itu, dan Rasul pun berpaling
darinya. Kemudian dia datang kepada beliau dari belakang dan berkata
seperti itu, lalu Rasulullah memungut emas itu dan melemparkannaya
kepadanya yang seandainya mengenainya niscaya akan menyakitinya,
lalu beliau bersabda:

‫ َخ ْي ُر‬.‫َّاس‬ ُ ‫ ثُ َّم َي ْقعُ َد َيتَ َك َّف‬.ٌ‫ص َدقَة‬ ِِ ُ ِ‫يَْأتِ ْي اَ َح ُد ُك ْم بِ َمايَ ْمل‬


َ ‫ف الن‬ َ ‫ َهذه‬: ‫ك َفَي ُق ْو ُل‬
‫الص َدقَ ِة َما َكا َن َع ْن ظَ ْه ِر ِغنًى‬ َّ
‘Ada salah seorang diantara kamu yang datang membawa apa
yang dimilikinya seraya berkata, ‘Ini adalah sedekah.’ Tetapi,
setelah itu ia akan menadahkan tangannya meminta-minta
kepada orang lain. Sebaik-baik sedekah ialah apa yang lebih
dari kebutuhan.’71
Allah mengetahui bahwa manusia itu cinta, bahkan orang yang
pertama dicintainya adalah anggota keluarga dekatnya, anak-istrinya
dan kedua orangtuanya. Maka, dibawalah ia melangkah dalam infaq
sesudah dirinya kepada orang-orang yang dicintainya itu, agar ia
memberikan sebagian hartanya kepada mereka dengan suka hati,
sehingga sukalah kecenderungan fitrahnya. Hal ini tidaklah
membahayakan sama sekali, bahkan dalam hal ini terdapat hikmah dan
kebaikan.
Pada waktu yang sama, ia sudah memenuhi dan mencukupi
kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya, yaitu para
keluarga dekatnya. Memang, mereka adalah segolongan dari umat,
yang seandainya tidak diberi niscaya mereka membutuhkan. Dan,
memberi orang yang lebih dekat hubungannya itu lebih mulia nilainya
daripada memberi orang yang jauh hubungan kekeluargaannya. Pada
waktu yang sama, berarti dia menyebarkan cinta dan kesejahteraan di
tempat pengasuhan yang pertama dan memperkokoh hubungan

71
Ibid., hal. 263.
52

kekeluargaan yang Allah kehendaki menjadi batu pertama dalam


membangun bangunan kemanusiaan yang besar.
Allah mengetahui bahwa manusia mengembangkan cintanya dan
harga dirinya sesudah itu kepada keluarganya secara keseluruhan,
sesuai dengan tingkatan dan hubungannya. Hal ini pun tidaklah
membahayakan. Karena mereka adalah anggota-anggota tubuh umat
dan anggota masyarakat. Maka, dibawalah dia untuk melangkah
dengan langkah berikutnya dalam infaq sesudah kepada keluarga
dekatnya, dibawalah berjalan bersama-sama kecenderungan fitrahnya
dan dipenuhilah kebutuhan mereka. Sehingga menjadi kuatlah unsur-
unsur keluarga yang jauh dan terjaminlah suatu persatuan yang kuat
dari berbagai kesatuan kaum muslimin, yang saling berhubungan.
Pada waktu ia melimpahkan apa yang ada ditangannya kepada
yang ini dan yang itu setelah kepada dirinya sendiri, maka Islam
membimbing tangannya untuk memberikan infaq kepada berbagai
golongan dari segenap kalangan manusia. Ia turut merasakan
kelemahan mereka atau keadaan mereka lantas timbul kasih sayangnya
sebagai rasa setia kepada mereka, kasih sayang karena kekeluargaan,
kasih sayang sebagai sesama. Yang pertama adalah kepada anak-anak
yatim yang kecil-kecil dan lemah. Kemudian orang-orang miskin yang
tidak mendapatkan sesuatu untuk menafkahi dirinya, namun mereka
diam saja dan tidak mau meminta-minta kepada orang lain untuk
menjaga kehormatan dan harga dirinya. Lalu kepada orang-orang
dalam perjalanan yang kadang-kadang memiliki harta, tetapi pada
waktu itu sedang kehabisan bekal, sedang untuk mendapatkan hartanya
itu mereka tidak dapat, banyak sekali rombongan kaum muslimin yang
hijrah dari Mekkah dengan meninggalkan harta bendanya di sana.
Mereka itu juga anggota masyarakat.
Islam memberikan bimbingan kepada orang-orang yang mampu
supaya memberi infaq kepada mereka, dibimbingnya mereka dengan
53

perasaannya yang baik dan alami yang telah dididik dan


disucikannya.72 Maka, tercapailah semua sasarannya dengan tenang
dan lemah lembut. Pertama, sasaran yang hendak dicapai ialah
munyucikan jiwa orang-orang yang berinfaq. Mereka berinfaq dengan
jiwa yang bagus, merelakan apa yang diberikannya, dengan
menghadapkan tujuan kepada Allah dengan tidak merasa sempit
(enggan) dan jenuh. Kedua, memberikan jaminan kepada orang-orang
yang memerlukan pertolongan itu. Dan ketiga, memobilisasi seluruh
jiwa supaya bertenggang rasa dan saling membantu, dengan tidak
merasa keberatan dan merasa bosan. Ini adalah bimbingan yang halus,
menyenangkan, dan mengenai sasaran, dengan mewujudkan semua
kebaikan dengan tidak serampangan, tidak dibuat-buat dan tidak
memberatkan.
Kemudian semua ini dihubungkan dengan ufuk tertinggi, sehingga
terasalah di dalam hati hubungannya dengan Allah di dalam
memberikan sesuatu, di dalam berbuat, dan pada apa yang terdapat
dalam niat atau perasaan.
“Apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahuinya.”
Allah mengetahuinya, mengetahui motivasinya dan mengetahui
niat yang menyertainya. Dengan demikian, Allah tidak akan menyia-
nyiakannya. Maka, ia berada dalam perhitungan Allah yang tidak akan
ada sesuatu pun yang tersia-sia di sisi-Nya, yang tidak akan merugikan
dan menganiaya manusia sedikit pun, dan yang tak akan menerima
sesuatu pun yang dilakukan karena riya’.
Dengan demikian, sampailah hatinya ke ufuk tertinggi, mencapai
tingkatan yang jernih, murni dan tulus karena Allah Swt.
Dilakukannya amalan itu dengan kasih sayang dan penuh kelembutan,
tidak serampangan dan tidak mengada-ada. Inilah manhaj tarbawi
(metode pendidikan) yang diciptakan oleh Yang Mengetahui lagi

72
Ibid., hal. 264.
54

Maha Waspada. Di atasnya ditegakkan peraturan untuk membimbing


tangan manusia, sebagaimana adanya. Dimulainya dengan
memperhatikan dirinya sendiri, kemudian dikembangkan ke ufuk yang
jauh dan tidak mungkin dicapai manusia tanpa jalan ini. Tidak
mungkin dapat dicapainya kecuali dengan menempuh cara ini, di jalan
ini.
e. Pendapat Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
“Mereka akan bertanya kepada engkau: apakah yang akan
mereka belanjakan?”. Ada terdapat berbagai riwayat yang shahih
ataupun yang dha’if tentang beberapa orang sahabat menanyakan
kepada Rasulullah Saw. tentang cara mereka berbelanja atau
menafkahkan harta dan kepada siapa yang patut diberikan.73 Satu
diantara hadis itu ialah riwayat Atha r.a, bahwasanya seorang laki-laki
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.: Kalau uang saya hanya satu
dinar kepada siapa patut saya berikan?” Beliau menjawab: “Kalau
hanya satu dinar nafkahkanlah untuk dirimu sendiri.” Orang itu
bertanya lagi: “Kalau dua dinar?” Beliau menjawab: “Nafkahkanlah
untuk ahli engkau (isteri).” Lalu katanya pula: “Saya ada tiga dinar!”
Beliau menjawab: “Nafkahkan;ah kepada khadam engkau!”, “Saya ada
empat dinar.” Beliau menjawab: “Nafkahkanlah kepada kerabat
engkau.” “Saya punya enam dinar.” Beliau menjawab: “Nafkahkanlah
untuk Sabilillah.” (Disalinkan secara bebas dari Hadis yang dirawikan
oleh Imam Ahmad dan an-Nasa’i, dari Abu Hurairah). Di sini tegas
bahwa bertambah banyak harta, bertambah dapatlah meluaskan yang
patut-patut dinafkahi.
Dalam pertanyaan mereka menyebut apa yang akan kami
nafkahkan. Maka Tuhan menyuruh menjawab: “Katakanlah: Apa yang
kamu belanjakan dari kebaikan.” Yang dimaksud di sini ialah harta
yang halal dan sebagai kekayaan sebagaimana dahulu telah ditafsirkan
ketika membicarakan ayat Wasiat (ayat 180) tentang makna Khairan.

73
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz II, (Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi, 2002), hal. 231.
55

Jadi, sambil-lalu telah terjawab pertanyaan mereka tentang apa yang


akan dinafkahkan. Sebab jika disebut apa maka termasuk pula jenis
emas, perak atau barang atau ternak. Itu terserahlah asal barang halal
dan dari kemampuan. Lalu dilanjutkan kepada siapa. ”Ialah kepada
ibu-bapak dan keluarga karib dan anak-anak yatim dan orang-orang
miskin dan orang dalam perjalanan.”
Jika kita berpindah kepada hukum-hukum yang tertentu dalam
Fiqh, di sana diterangkan siapa-siapa yang wajib diberi nafkah.
Pertama tentulah isteri, kedua anak-anak. Tetapi jawab Rasulullah
yang dituntunkan wahyu ini adalah umum, nafkah karena kemampuan
(khairan). Seperti halnya hadis di atas bahwa bertambah luas harta
bertambah banyaklah yang wajib kita fikirkan, baik wajib menurut
budi atau wajib menurut hukum agama. Yang mendapatkan
keistimewaan pertama adalah ibu dan bapak. Jika dahulu ketika kita
masih belum dewasa, mereka yang merawat kita, maka ketika beliau-
beliau lemah, kitalah yang harus memikirkan beliau. Berbahagialah
orang masih dapat berkhidmat kepada ibu-bapaknya karena umur-
umur beliau yang panjang dan ada kemampuan menafkahinya. Taraf
yang kedua ialah keluarga karib. Keluarga yang paling karib ialah anak
kandung dan saudara. Anak kandung yang telah lepas dari tanggungan
tapi miskin. Daripada membantu orang lain, dahulukanlah membantu
mereka. Kemudian anak yatim, orang-orang miskin dan orang dalam
perjalanan. “Dan apa saja yang kamu perbuat dari hal kebajikan,
maka sesungguhnya Allah adalah mengetahui.” (ujung ayat 215).
f. Pendapat Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-
Qur’anul Majid An-Nuur
“Mereka bertanya kepadamu: apakah yang akan mereka
belanjakan?.” Para sahabat bertanya kepada Muhammad tentang yang
harus mereka sedekahkan dari hartanya yang bermacam-macam.
“Katakanlah: Apa saja kebajikan yang kamu belanjakan,
hendaklah kamu berikan kepada ibu-bapak dan keluarga karib dan
56

anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang dalam


perjalanan.” Katakan kepada mereka, para pemilik harta hendaklah
menafkahkan hartanya dengan mendahulukan orang tuanya, karena
merekalah yang telah bersusah payah merawat dan mendidik anaknya
sejak bayi, ketika belum bisa berbuat apa-apa. Sesudah itu kepada
kerabatnya, yaitu anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak lelaki.
Kemudian saudara-saudaranya. Merekalah yang lebih berhak
mendapat pemeliharaan dan perhatian. Seseorang akan menerima aib
apabila suadaranya menengadahkan tangannya (meminta-minta)
kepada orang lain. Berikutnya anak-anak yatim. Karena masih kecil,
mereka yang sudah tidak mempunyai orangtua itu belum sanggup
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mandiri. Orang miskin dan
ibnu sabil hendaknya juga mendapat bantuan dari para muslim. Semua
manusia hakikatnya satu keluarga. Maka, wajiblah mereka saling
menolong, baik dalam kesenangan maupun kesukaran.
Ayat ini berbicara mengenai penafkahan harta di luar zakat yang
sudah difardhukan. Di sini tidak ditentukan kadar (ukuran) harta yang
harus dikeluarkan. Allah tidak menyebut para peminta dan budak,
karena keduanya telah disebut pada tempat lain.74
Jika ada yang bertanya, mengapa jawaban di sini tidak sesuai
dengan pertanyaan, jawabnya karena yang mereka tanyakan
sebenarnya bukan harta yang akan dikeluarkan, tetapi kepada siapa
saja harta itu harus diberikan.
“Dan apa saja kebajikan yang kamu kerjakan, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Apa
saja yang kamu nafkahkan di jalan kebaikan dan ketaatan, di masa apa
saja dan di tempat mana pun untuk orang-orang (golongan) seperti
yang telah disebutkan atau yang lain-lain, Allah pasti mengetahuinya.

74
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Pustaka, 2000), hal. 355.
57

Dia pun akan memberi pembalasan yang setimpal kepada mereka,


bahkan melipatgandakan pembalasan itu.
Dalam ayat ini Tuhan menjelaskan tempat-tempat menafkahkan
harta atau siapa orang-orang yang wajib didahulukan untuk menerima
sedekah harta, yaitu orangtua, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin,
dan ibnu sabil. Perbuatan apa saja yang dilakukan seseorang dengan
hartanya, Allah niscaya mengetahuinya.

7. Isi Pokok Kandungan Q.S Al-Baqarah ayat 215


Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 215 terdapat beberapa pokok isi
kandungan yang secara garis besarnya ada tiga macam, yaitu:
a. Pertanyaan mengenai apa yang harus diinfakkan, yang kemudian
dijawab dengan sangat indah dengan jawaban: “Apa saja harta yang
kamu nafkahkan dari harta yang baik.” Di situ, harta ditunjuk dengan
kata khair/baik untuk memberi isyarat bahwa harta yang dinafkahkan
itu hendaklah sesuatu yang baik serta digunakan untuk tujuan-tujuan
yang baik.
b. Objek dari infaq yang akan diberikan. Yaitu pertama kepada kedua
orangtua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
c. Pembicaraan secara umum mencakup siapa dan nafkah apapun selain
harta, dan dengan redaksi yang menunjukkan kesinambungannya.

C. Analisis Data
1. Analisis Pendapat Para Mufasir mengenai Q.S Al-Baqarah Ayat 215
a. Pendapat Muhammad Quraish Shihab
Secara garis besar pokok bahasan tafsir Q.S Al-baqarah ayat 215
menurut Quraish Shihab ialah sebagai berikut:
1) Pertanyaan orang-orang beriman menyangkut harta apa yang harus
dinafkahkan.
Setelah orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah yakin dan
mantap dengan apa yang mereka ikuti. Maka hati mereka telah
58

menjadi benar-benar beriman, sehingga sampailah mereka pada


tahap ingin untuk menjadi yang lebih baik dalam segi kehidupan
mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan pertanyaan mereka kepada
Rasulullah Saw. yang diabadikan dalam ayat ini. Karena begitu
indahnya pertanyaan tersebut, ayat ini menggunakan bentuk kata
kerja masa kini pada kata ‘yasaluunaka/mereka bertanya
kepadamu’.
2) Jawaban Allah Swt. mengenai pertanyaan dari orang-orang
beriman.
Ayat ini menjawab dengan sangat singkat namun begitu jelas,
dimana dalam ayat ini Allah Swt. menjawab dengan firman ‘dari
harta yang baik’. Yaitu harta apapun yang sifatnya baik dan masih
layak untuk diberikan, maka silahkan untuk dinafkahkan. Kemudian
tidak berhenti sampai di situ saja. Allah Swt. juga memberikan
penjelasan urutan objek yang paling berhak menerima harta
tersebut, yang pertama adalah bapak-ibu yang telah merawat dan
membesarkan, kedua yaitu dari kalangan kaum kerabat, baik itu
kerabat yang dekat maupun jauh, kemudian anak-anak yatim yang
belum dewasa, lalu orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan
dan yang terakhir adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan
yang kehabisan bekal.
3) Penutup ayat yang membicarakan secara umum mengenai siapa dan
nafkah apapun selain harta, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya.
b. Pendapat Ahmad Musthafa al-Maragi
Menurut Musthafa al-Maragi, secara umum pokok bahasan tafsir
Q.S Al-baqarah ayat 215 ada tiga, yaitu:
1) Pertanyaan yang langsung diikuti dengan jawaban
Pertanyaan ini menyangkut harta benda apa yang harus mereka
infakkan dari berbagai macam harta benda yang mereka miliki.
2) Jawaban dari pertanyaan orang-orang yang beriman
59

Dalam ayat ini, dijawab bahwa hendaknya mendahulukan kedua


orangtua, karena merekalah yang telah mendidik dan
menumbuhkannya sejak kecil. Setelah itu, barulah kepada saudara-
saudaranya, karena apabila mereka dibiarkan, maka hal tersebut
dapat menimbulkan aib baginya. Kemudian, kepada anak-anak
yatim, karena mereka belum cukup umur untuk berusaha sendiri.
Lalu, kepada kaum fakir miskin dan ibnu sabil. Hal tersebut
dianjurkan supaya terjalin rasa simpati dan empati antara sesama
dalam keadaan susah maupun senang.
3) Penjelasan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang diperbuat
hamba-Nya
Bahwa apa yang mereka lakukan (dalam hal ini infaq), maka kapan
saja, di mana saja dan kepada siapa saja, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya dan Allah akan memberikan pahala, bahkan melipat
gandakannya.
c. Pendapat Ibnu Katsir
Secara garis besar pokok bahasan tafsir Q.S Al-Baqarah ayat 215
menurut Ibnu Katsir ialah sebagai berikut:
1) Pertanyaan tentang bagaimana cara berinfaq
Mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang bagaimana mereka
berinfaq.
2) Jawaban atas pertanyaan di atas
Dengan adanya pertanyaan orang-orang beriman di atas, maka
Allah Swt. menjelaskan hal itu kepada mereka, yaitu supaya
membelanjakan harta itu kepada pihak-pihak yang disebutkan
dalam ayat ini, yaitu: orangtua, kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan.
3) Allah Swt. Maha Mengetahui dan akan membalas kebaikan yang
dilakukan hamba-Nya.
Artinya, kebaikan apapun yang dilakukan hamba-Nya,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui mengenai hal tersebut dan
60

akan membalasnya dengan pembalasan yang penuh, karena Ia tidak


akan menzalimi seorang pun walau sebesar dzarrah.
d. Pendapat Sayyid Qutub
Secara garis besar pokok bahasan tafsir Q.S Al-baqarah ayat 215
menurut Sayyid Qutub ialah sebagai berikut:
1) Pertanyaan sebagian kaum muslimin
Menurut Sayyid Qutub, pertanyaan ini merupakan pertanyaan
tentang jenis barang yang mereka infakkan. Mengingat betapa
pentingnya masalah infaq pada masa-masa permulaan tumbuhnya
Islam. Karena hal tersebut merupakan hal yang sangat vital untuk
menegakkan dan membangun kaum muslimin dalam menghadi
segala macam rintangan. Di sisi lain juga hal tersebut dapat
dijadikan sebagai pemersatu perasaan untuk saling melengkapi satu
sama lain.

2) Jawaban dari pertanyaan kaum muslimin


Dengan adanya pertanyaan tersebut, maka datanglah jawaban
jawaban dari Allah Swt mengenai sifat infaq dan batas sasaran dari
yang paling utama dan paling dekat. Ungkapan jawaban yang
pertama mengandung isyarat bahwa yang diinfakkan itu adalah
yang baik, baik bagi penginfaq, bagi penerima dan barangnya juga
baik atau yang lebih utama dari apa yang dimilikinya. Sedangkan
ungkapan jawaban yang kedua lebih kepada sasaran infaq, yaitu
kepada bapak-ibu, sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
3) Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun orang-orang yang
berbuat baik, karena Allah Maha Mengetahui
Allah mengetahuinya, mengetahui motivasinya dan mengetahui niat
yang menyertainya. Karena itulah Allah tidak akan menyia-nyiakan
setiap orang yang berbuat baik tersebut dan tidak akan luput dalam
perhitungan Allah Swt. untuk diberi ganjaran yang layak.
61

e. Pendapat Prof. Dr. Hamka


1) Pertanyaan para sahabat mengenai cara mereka menafkahkan
hartanya
Selain dalam ayat tersebut, juga terdapat berbagai riwayat lain
dalam suatu hadis, baik yang shahih ataupun yang dha’if, yaitu
tentang beberapa orang sahabat yang menanyakan kepada
Rasulullah Saw. tentang cara mereka berbelanja atau menafkahkan
harta dan kepada siapa yang patut diberikan. Satu diantara hadis itu
ialah riwayat Atha r.a.
2) Jawaban Tuhan atas pertanyaan sahabat
Makna dari jawaban yang ada dalam ayat ini adalah harta yang halal
dan sebagai kekayaan. Sebab jika disebut apa maka termasuk pula
jenis emas, perak atau ternak. Asalkan barang yang infakkan adalah
barang yang halal. Kemudian tidak berhenti sampai di situ saja,
Tuhan memberikan arahan tentang kepada siapa harus diberikan.
Yang pertama adalah ayah dan bunda, keluarga karib, anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil.
3) Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuat oleh hamba-Nya
f. Pendapat Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
1) Pertanyaan para sahabat
Para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang apa
yang harus mereka sedekahkan dari hartanya yang bermacam-
macam.
2) Jawaban atas pertanyaan para sahabat
Allah Swt. memberikan jawaban kepada Rasulullah Saw. untuk
disampaikan kepada para sahabat. Dalam jawaban itu memberikan
pengertian bahwa para pemilik harta hendaklah menafkahkan
hartanya dengan mendahulukan orang tuanya. Sesudah itu kepada
kerabatnya, yaitu anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak lelaki.
Kemudian saudara-saudaranya. Berikutnya anak-anak yatim. Yang
62

terakhir adalah orang miskin dan ibnu sabil, karena semua manusia
hakikatnya satu keluarga.
3) Allah Swt. Maha Mengetahui atas kebaikan yang dilakukan hamba-
Nya.
Apa saja yang dinafkahkan di jalan kebaikan dan ketaatan, di masa
apa saja dan di tempat mana pun untuk orang-orang (golongan)
seperti yang telah disebutkan atau yang lain-lain, Allah pasti
mengetahuinya. Dia pun akan memberi pembalasan yang setimpal
kepada mereka, bahkan melipatgandakan pembalasan itu.

2. Analisis Bentuk Kepedulian Sosial dalam Q.S Al-Baqarah Ayat 215


Dalam penjelasan Q.S Al-Baqarah ayat 215 kita telah melihat ketika
sebagian sahabat bertanya tentang apa yang harus diinfakkan, maka Allah
Swt. memberikan jawaban dengan jelas dan lengkap. Bahkan Allah Swt.
menambahkan jawaban tentang objek yang harus pertama kali
mendapatkan infaq tersebut, mulai dari yang paling prioritas sampai yang
terakhir.
Dari ayat di atas kita dapat melihat bahwa kaum muslimin telah
mencapai derajat keimanan mereka sehingga mereka ingin melakukan
kebaikan yang lain. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertanyaan
yang muncul dari sebagian sahabat mengenai ketidaktahuan mereka tentang
apa yang harus dilakukan dengan harta yang mereka miliki supaya harta
tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu perantara untuk melakukan
kebaikan. Mereka seakan-akan sedang kehausan akan pahala untuk
menghilangkan rasa dahaga di dalam lubuk hati yang sedang dipenuhi
keyakinan-keyakinan terhadap Tuhannya. Mendapatkan ridha dari
Tuhannya seperti menjadi satu hal yang sangat gencar dicari-cari agar
mereka mendapatkan makanan untuk hati mereka masing-masing. Dan
mereka memiliki harta benda, maka dari situlah mereka berharap dapat
memanfaatkan harta benda yang mereka miliki sebagai jalan menuju
keridhaan-Nya.
63

Berbicara tentang kepedulian sosial, maka kita akan terarahkan kepada


hal-hal yang kaitannya tidak hanya personal, melainkan adanya hubungan
antara satu dengan yang lain. Adanya kontak langsung atau tidak langsung,
atau segala tindakan yang melibatkan dua orang atau lebih. Kepedulian
sosial dianggap sebagai salah satu kunci untuk tetap mempertahankan
persatuan dan kesatuan antara satu sama lain. Solidaritas akan terus hidup
ketika manusia mampu membudayakan peduli terhadap sesama manusia.
Sadar akan betapa tiap individu membutuhkan orang lain dan mampu
melihat bagaimana orang lain membutuhkan diri kita, maka itu menjadi
modal awal agar tetap mampu mengamalkan kepedulian sosial.
Dalam ayat ini dapat kita temukan bentuk peduli sosial yang menjadi
tema utama di sini, yaitu bentuk peduli sosial dalam hal memberikan harta
yang dimiliki kepada orang lain atau singkatnya disebut infaq.
Menafkahkan sebagian harta yang dimiliki kepada orang lain, untuk
kepentingan orang lain atau dalam ranah membantu orang lain merupakan
salah satu bentuk kepedulian sosial yang nyata, di mana dalam hal tersebut
terdapat hubungan bantu-membantu antara yang satu dengan yang lain
sehingga terjalin ikatan yang baik antara keduanya.

3. Analisis Internalisasi Infaq untuk Meningkatkan Kepedulian Sosial


dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem pendidikan yang berkiblat
pada ajaran agama Islam, di mana konsep dan rancangan pendidikan yang
dijalankan telah diatur sesuai dengan ajaran agama Islam dan tidak keluar
dari garis pembatas dalam syariat Islam. Pendidikan Islam adalah suatu
usaha membimbing peserta didik dalam ranah jasmani dan rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
yang Islami sesuai ajaran yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw.
Seperti halnya Rasulullah Saw. yang mengemban tugas untuk mensyiarkan
agama Islam sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya, sampai saat ini
pendidikan Islam juga memfokuskan pada perubahan tingkah laku manusia
yang konotasinya pada pendidikan etika. Dengan munculnya pendidikan
64

Islam memberikan harapan adanya perubahan baik dalam tataran tingkah


laku individu maupun pada tataran kehidupan sosial serta pada tataran
relasi dengan alam sekitar.
Pendidikan Islam mengisyaratkan tiga macam dimensi dalam upaya
mengembangkan kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut:
a. Dimensi kehidupan duniawi yang mendorong manusia sebagai hamba
Allah untuk mengembangkan dirinya dalam ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai Islam yang mendasari kehidupan.
b. Dimensi kehidupan ukhrawi yang mendorong manusia untuk
mengembangkan dirinya dalam pola hubungan yang serasi dan
seimbang dengan Tuhan. Dimensi inilah yang melahirkan berbagai
usaha agar seluruh aktivitas manusia senantiasa sesuai dengan nilai-
nilai Islam.
c. Dimensi hubungan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi yang
mendorong manusia untuk berusaha menjadikan dirinya sebagai hamba
Allah yang utuh dan paripurna dalam bidang ilmu pengetahuan dan
keterampilan, serta menjadi pendukung dan pelaksana ajaran Islam.
Selanjutnya, pendidikan Islam juga tidak bisa lepas dari nilai-nilai
sosial yang begitu kental dan diutamakan dalam ajaran Islam. Pasalnya,
Rasulullah Saw. diutus ke dunia pun untuk menyempurnakan akhlak umat
manusia dan Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin yang
diwujudkan dalam beberapa hubungan manusia yakni hablun minallah dan
hablun minannas. Ajaran Islam memang memiliki titik singgung yang
sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Apalagi dalam Al-Qur’an
dianjurkan supaya umat Islam saling tolong-menolong dalam hal kebaikan.
Kata ‘tolong-menolong’ di sini tentu sudah menunjukan adanya hubungan
sosial antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dan salah satu hal
kebaikan yang masih bercorak sosial adalah ketika seseorang memiliki
kepedulian antara sesama, memiliki rasa simpati dan empati, mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain kemudian sampai pada
mengulurkan tangan sebagai tanda bukti kepekaan kepada sesama.
65

Kepedulian sosial yang tumbuh dalam benak tiap insan dianggap


sebagai salah satu hasil yang diharapkan dan dicita-citakan dalam
pendidikan Islam. Menyisihkan apa yang dimiliki kemudian
memberikannya kepada orang-orang terdekat yang membutuhkan (infaq)
adalah suatu kebaikan yang senantiasa diajarkan dalam ajaran Islam,
khususnya pendidikan Islam. Bahkan sejak pendidikan tingkat dasar, materi
tentang infaq telah disampaikan sebagai pembelajaran dasar yang kemudian
diharapkan akan tertanam dalam nurani tiap peserta didik dan pada
akhirnya akan diterapkan sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging.
Kemudian tidak berhenti sampai di situ saja, mengapa agama Islam
sangat menganjurkan untuk berinfaq, mengapa pendidikan Islam
mengajarkan materi infaq sejak dini, tentu ada hal sakral yang mengikuti
dalam perkara tersebut. Apabila kita telisik lebih dalam lagi, apabila kita
perhatikan lebih detail lagi, maka kita akan menemukan betapa dalam hal
menyisihkan harta benda yang kita miliki kemudian diberikan kepada orang
lain atau singkatnya disebut infaq dapat menumbuhkan persatuan dan
kesatuan yang kokoh. Integritas yang dibangun dengan cara ini akan
muncul lebih kokoh dan kuat karena didasari oleh kepekaan dan rasa
tanggungjawab untuk saling membantu sama lain. Orang yang diberi
bantuan akan merasa tertolong dan ingin berterimakasih yang kemudian
tumbuh rasa kasih sayang kepada yang memberi. Dan orang yang memberi
tentu akan merasakan kepuasan tersendiri karena dapat membantu orang di
sekitarnya dan nuraninya akan terasa lebih dekat dengan Sang Pencipta atas
perbuatan yang memang disukai oleh-Nya.
Infaq menjadi salah satu bentuk kepedulian sosial yang sangat nyata.
Dengan berinfaq seseorang telah membuktikan bahwa ia masih memiliki
rasa kemanusiaan dan apabila dilakukan dengan setulus hati, maka itu
menunjukan masih ada nilai-nilai sosial yang melekat pada diri seseorang
tersebut. Pentingnya membiasakan berinfaq merupakan salah satu jalan
untuk tetap menyuburkan benih-benih jiwa sosial yang tumbuh dalam diri
seseorang. Sedikit demi sedikit rasa acuh dan tidak peduli kepada orang
66

lain akan mulai layu dan lama-kelamaan akan mati kemudian menjadi
nurani yang terisi dengan nilai-nilai sosial yang tinggi. Dan tidak menutup
kemungkinan bahwa orang yang berat untuk berinfaq adalah orang yang
memiliki jiwa sosial yang kurang subur di dalam jiwanya.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan
infaq dalam rangka meningkatkan kepedulian sosial pada diri peserta didik
adalah sebagai berikut:
a. Metode Lisan
Metode lisan yang dimaksud di sini adalah di mana pendidik
memberikan pembelajaran dengan cara ceramah atau menyampaikan
materi tentang cara pelaksanaan dan betapa dianjurkannya infaq.
Kemudian ditekankan mengenai hal-hal lain yang berkaitan dengan
infaq seperti dampak positif dan efek pemberian pahala yang berlipat
ganda dari Allah Swt.

b. Metode Teladan
Yaitu memberikan contoh langsung kepada peserta didik agar mereka
dapat mengambil pelajaran kemudian menirukan apa yang telah
dilihatnya. Metode ini sangat dianjurkan dalam Islam, seperti halnya
Rasulullah Saw. yang mengajarkan kebaikan dan memberikan contoh
langsung kepada para sahabat dengan tindakan-tindakan beliau yang
mulia.
c. Metode Pembiasaan Diri
Pada metode ini pendidik memberikan wahana kepada peserta didik
dengan cara bekerjasama dengan pihak sekolah dan mempunyai
program kepedulian sosial seperti kegiatan infaq setiap hari Jum’at pagi
guna melatih anak menyisihkan uang yang dimiliki secara rutin.
d. Metode Praktik Langsung
Metode ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mempraktikan sendiri prinsip-prinsip moral tertentu yang dipilihnya. Di
67

sini orang tua dan pendidik berperan sebagai motivator dan


penyemangat untuk berlangsungnya praktik tersebut.

4. Analisis Relevansi Infaq Q.S Al-Baqarah Ayat 215 dengan Pendidikan


Islam di Indonesia Saat Ini.
Pendidikan Islam adalah sistem pengajaran yang didasarkan pada ajaran
agama Islam. Sumber ajaran Islam yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa setiap pendidikan yang
bukan bersumber ajaran Islam tidak dikategorikan sebagai pendidikan
Islam. Pendidikan Islam merupakan aktivitas yang sudah dilakukan oleh
orang Islam sejak awal kelahiran Islam. Tidak mengherankan dalam bidang
ini telah berkembang konsep-konsep pendidikan. Dan konsep-konsep
pendidikan yang dikembangkan adalah konsep pendidikan yang Islami.
Pada mulanya, pendidikan Islam masuk ke Indonesia seiring bersamaan
dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Kelahiran lembaga
pendidikan Islam telah tumbuh seiring dengan pertumbuhan penyebaran
Islam itu sendiri. Masuknya Islam ke Indonesia telah dibarengi dengan
keinginan dari para pemeluknya untuk mempelajari dan mendalami ajaran
Isla m. Kemudian muncullah tempat-tempat pendidikan agama yang
dilaksanakan di rumah-rumah kyai, langgar, masjid, lalu berkembang
menjadi lembaga yang disebut pesantren. Sekitar abad ke-20, mulailah
hadir madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berakar dari pesantren.
Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut
atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren. Setelah Indonesia
merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan
pembinaan dari pemerintah Republik Indonesia, hingga sampai saat ini
lembaga-lembaga pendidikan Islam masih eksis dan mampu berjalan sejajar
dengan lembaga pendidikan umum yang ada.
Hal yang tersebut di atas menjadikan pendidikan Islam memiliki ruang
lebih lebar dan para pendidik Islam lebih leluasa dalam mentransfer ilmu-
ilmu atau materi yang telah disusun dalam pembelajaran pendidikan Islam.
Namun tidak hanya di situ saja, pendidikan tidak dapat dipahami secara
68

terbatas hanya kepada pengajaran, pendidikan Islam juga diharapkan


mampu sampai pada ranah mencapai nilai-nilai dasar yang ada dalam
pendidikan Islam itu sendiri. Seperti nilai ilahiyah yang harus ditanamkan
kepada setiap peserta didik, juga nilai insaniyah yang nantinya akan
diwujudkan dalam tingkah laku nyata dan hubungan sosial dengan sesama
manusia. Karena bagaimanapun juga dalam Islam telah dijelaskan bahwa
belum sempurna iman seseorang apabila orang tersebut belum mampu
menjaga hubungan sosialnya dengan sesama manusia.
Relevansi pendidikan Islam di Indonesia dengan isi Q.S Al-Baqarah
ayat 215 di atas adalah ketika nilai-nilai dasar pendidikan Islam ternyata
dapat diwujudkan dengan apa yang terkadung dalam ayat tersebut. Yaitu
bagaimana infaq mampu menyentuh ranah ilahiyah dan juga insaniyah
dalam suatu pendidikan. Infaq sebagai suatu amalan yang sangat dianjurkan
dalam agama Islam menjadi salah satu bentuk penyucian jiwa, kebersihan
bagi hati dan mendekatkan diri pada Sang Ilahi. Rasa tulus dan ikhlas yang
muncul dalam diri manusia menjadikan manusia terhindar dari penyakit-
penyakit hati yang sangat membahayakan, bahkan lebih membahayakan
daripada penyakit fisik. Ketika manusia mampu ikhlas dalam mendermakan
hartanya, niscaya Allah Swt. akan menerima amalan tersebut dan ridha
terhadap hamba-Nya. Ketika Allah Swt. ridha, maka hati seorang hamba
akan senantiasa merasa tenang dan terhindar dari rasa gelisah. Bahkan
Allah Swt. akan memberikan balasan berlipat-lipat ganda kepada setiap
hamba yang mampu ikhlas dalam membantu sesama hamba, khususnya
dalam hal menginfakkan sebagian harta mereka.
Selanjutnya dalam ranah nilai insaniyah, ayat ini jelas sekali
memberikan kandungan yang kaya akan pembelajaran sosial sebagai
bentuk kepedulian antara sesama manusia. Ketika pertanyaan dalam ayat
ini diajukan, maka pada ayat ini juga jawaban yang sangat indah langsung
diutarakan. Dalam ayat ini kita dianjurkan untuk menyalurkan rasa peduli
kita dengan cara berinfaq. Kita diberi kesempatan untuk mencurahkan rasa
69

peduli yang lahir dalam nurani kita kepada orang-orang terdekat di


sekeliling kita.
Anjuran inilah yang menjembatani para pendidik Islam agar dapat
menumbuhkan kepedulian sosial terhadap para peserta didik pada berbagai
lini. Mulai dari lingkungan keluarga, para pendidik dapat menanamkan
kepada peserta didik untuk senantiasa mencintai dan menyayangi kedua
orangtua yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Seorang ibu
yang melahirkan dengan sekuat tenaga dan seorang ayah yang bekerja keras
untuk mencari rezeki untuk keluarganya, termasuk anaknya. Yang
kemudian, ketika sampai pada waktunya nanti kedua orangtua telah
menjadi tua dan seorang anak telah beranjak dewasa, maka saat itulah
seorang anak harus berbalik untuk senantiasa merawat kedua orangtuanya
dan menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya.
Kemudian di lingkungan sekolah, peserta dapat diajarkan untuk saling
membantu kerabat seperjuangan atau dalam hal ini (peserta didik satu
dengan peserta didik yang lain). Misalnya, ketika ada teman yang tidak
memiliki uang atau lupa tidak membawa uang saku dan kita memiliki uang
lebih, maka sebagai teman yang baik, kita harus meminjamkan ia uang atau
malah memberinya uang supaya ia dapat membeli jajan. Ketika hal tersebut
dilakukan, niscaya kita akan mendapatkan banyak teman dan persaudaraan
akan semakin erat.
Selanjutnya, pada lingkup yang lebih luas lagi, yaitu di lingkungan
masyarakat. Di sini peserta didik dapat diajarkan untuk mengekspresikan
kepeduliannya secara lebih luas lagi. Ketika mereka bertemu dengan anak
yatim, menemukan tetangga mereka adalah seorang yang miskin, melihat
seorang miskin yang sudah tidak begitu berdaya kemudian meminta-minta
atau menjumpai seseorang yang sedang dalam perjalanan kemudian mereka
kehabisan bekal, maka hendaknya ia membantu orang-orang tersebut
dengan cara menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya sebagai bentuk
saling berbagi dan menolong antarsesama hamba Allah Swt. Selain itu,
ketika ada bencana alam yang melanda suatu tempat, peserta didik juga bisa
70

diajak untuk berpartisipasi dalam mengulurkan tangan mereka (dalam


artian memberikan sebagian harta) yang sekiranya dapat membantu dan
bermanfaat bagi korban bencana.
Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam kenyataan dunia pendidikan
Islam di Indonesia saat ini memang masih kurang menyeluruh dalam hal
penerapan nilai-nilai dasarnya, khususnya nilai insaniyyah. Karena
pendidikan Islam yang menyangkut kepedulian terhadap sesama masih
sebatas teori dan belum direalisasikan secara maksimal.
Di sinilah betapa pentingnya internalisasi infaq, selain untuk
menumbuh-kembangkan sikap peduli sosial dalam diri seseorang, infaq
juga bisa dijadikan sebagai salah satu jalan untuk menuju manusia yang
sempurna (insan kamil) yang didalamnya memiliki jiwa kafah agar mampu
memahami dan menyadari posisinya sebagai hamba Allah Swt. (hablun
minallah) dan sebagai sesama manusia (hablun minannas).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya tentang internalisasi infaq untuk
meningkatkan kepedulian sosial dalam perspektif Islam (Kajian Q.S Al-
Baqarah ayat 215), maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Isi pokok yang terkandung dalam Q.S Al-Baqarah ayat 215 yaitu
mengajarkan supaya kita senantiasa menyisihkan sebagian harta yang kita
miliki (yang baik-baik) untuk didermakan kepada orang-orang terdekat kita
dan orang yang membutuhkan seperti; orang tua, kerabat, anak yatim, fakir
miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan.
2. Internalisasi infaq dalam rangka meningkatkan kepedulian sosial pada diri
peserta didik dapat diupayakan dengan menggunakan; metode lisan,
metode teladan, metode pembiasaan diri dan metode praktik pembelajaran
langsung. Infaq menjadi salah satu bentuk kepedulian sosial yang sangat
nyata. Dengan berinfaq seseorang telah membuktikan bahwa ia masih
memiliki rasa kemanusiaan. Pentingnya membiasakan berinfaq merupakan
salah satu jalan untuk tetap menyuburkan benih-benih jiwa sosial yang
tumbuh dalam diri seseorang.
3. Relevansi Q.S. Al-Baqarah ayat 215 dengan dunia Pendidikan Islam di
Indonesia saat ini dirasa masih kurang, karena dalam kenyataan dunia
pendidikan Islam di Indonesia saat ini memang belum menyeluruh dalam
hal penerapan nilai-nilai dasarnya, khususnya nilai insaniyyah. Pendidikan
Islam yang menyangkut kepedulian terhadap sesama masih sebatas teori
dan belum direalisasikan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah betapa pentingnya internalisasi infaq sesuai dengan Q.S Al-Baqarah
ayat 215 sebagai salah satu cara guna menumbuh-kembangkan sikap peduli
sosial terhadap sesama manusia sehingga akan terjalin suatu hubungan
yang harmonis antara satu dengan yang lainnya.

71
72

B. Saran
Saran ini ditujukan kepada pihak-pihak terkait yang bertangungjawab
terhadap pendidikan anak, yaitu orangtua, guru dan masyarakat.
1. Kepada para orangtua, diharapkan mampu membimbing putera-puterinya
agar memiliki kepedulian terhadap sesama dengan selalu mengajak dan
melibatkan anak ketika orangtua hendak mendermakan sebagian hartanya.
Senantiasa mendukung anak untuk berbagi dengan menyediakan materi
baik berupa uang maupun lainnya untuk didermakan.
2. Kepada para guru, hendaknya dalam memberi pelajaran kepada peserta
didik lebih luas cakupannya, dalam hal ini ketika menjelaskan tentang
perilaku kepedulian sosial diberikan contoh-contoh tindakan yang bisa
dilakukan, memberi motivasi dengan menyampaikan manfaat yang akan
didapat bagi diri kita maupun bagi orang lain, juga disertai penyampaian
mengenai gambaran pahala atau kebaikan yang dijanjikan Allah bagi orang
yang bersedia mendermakan hartanya untuk membantu sesama. Dalam satu
kesempatan, guru juga hendaknya memberi teladan berupa praktik
langsung di depan peserta didik. Selain itu, hendaknya guru bekerjasama
dengan sekolah dan mempunyai program kepedulian sosial seperti kegiatan
infaq setiap hari Jum’at pagi guna melatih anak menyisihkan uang yang
dimiliki secara rutin.
3. Kepada masyarakat, hendaknya meningkatkan rasa simpati, empati dan
kepekaan terhadap kondisi orang-orang di sekitar dan secara tulus
memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, sikap positif tersebut
sebaiknya dapat menular kepada semua masyarakat juga kepada anak-anak
supaya dapat menjadi pembelajaran bagi mereka dengan melihat contoh
dari orang-orang dewasa. Sehingga harapannya tercapailah kerukunan dan
kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Al-Fandi, Haryanto. 2011. Etika Bermuamalah Berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah. Jakarta: AMZAH.
Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariya. Kitab Ta’lim Fadilah Sedekah.
Bandung: Pustaka Ramadhan.
Alma, Buchari dkk. 2010. Pembelajaran Studi Sosial. Bandung: Alfabeta.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha
Putra.
Amin, Samsul Munir dan Haryanto Al-Fandi. 2011. Etika Beribadah Berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Amzah.
Arifin, Muzayyin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Ar-Rifai’i, Muhammad Nasib. 1999. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, Jilid I. Bandung: Gema Insani.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-
Nuur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Pustaka.
Asifuddin, Ahmas Faiz. 2012. Pendidikan Islam, Basis Pembangunan Umat.
Naashirussunnah.
Asmani, Jamal Ma’ruf. 2011. Tuntunan Lengkap Metodologi Penelitian
Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press.
Azwar, Saifuddin. 2015. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bungin, M. Burhan. 2017. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Cet. 9; Jakarta: Kencana.
Busyaeri, Akhmad dan Mumuh Muharom. “Pengaruh Sikap Guru Terhadap
Pengembangan Karakter (Peduli Sosial) Siswa Di Mi Madinatunnajah
Kota Cirebon ,” hal. 7.
http://syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/ibtida/article/view/177 (10
Oktober 2018).
Daradjat, Zakiyah dkk. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. 10, Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Darmansyah. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Echols, John M. dan Hasan Shadily. 2005. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Hamka. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz II. Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hastuti, Qurratul ‘Aini Wara. “Infaq Tidak Dapat Dikategorikan Sebagai
Pungutan Liar,” vol. 3 no. 1 (Juni 2016), hal. 43.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Ziswaf/article/ view/ 2282/1869
(10 Oktober 2018)
Hatta, Ahmad. 2009. Tafsir Qur’an per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul
& Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka.
Ihsan, Fuad. 2003. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Kementrian Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Sygma
Creativ Media Corp.
Lutfiah, Zeni dan Muh. Farhan Mujahidin, dkk. 2011. Pendidikan Agama Islam.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Margono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Masruroh, Ani. 2015. Internalisasi Pendidikan Sosial dan Relevansinya dengan
Pendidikan Era Informasinya (Kajian Surah An-Nisa: 36). Wonosobo:
FITK UNSIQ Jawa Tengah.
Maunah, Binti. 2009. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Teras.
Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. 2009. Pendidikan Islam Kontemporer.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mz, Labib dan Samsuddin. 2008. Bimbingan Pidato Kultum. Surabaya: Bintang
Usaha Jaya.
Nasution. 1983. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Nasution. 2003. Metode Reseacrh, Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata, Abuddin. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Prastowo, Andi. 2011. Memahami Metode-metode Penelitian. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Qutub, Sayyid. 2008. Fi Zhilalil-Qur’an Jilid I. Depok: Gema Insani.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press.
Republik Indonesia. 2011. “Undang-Undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional”. Cet. IV; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saebani, Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat. 2009. Ilmu Pendidikan Islam.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Shaleh, Q dan A. Dahlan. 2009. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Shihab, M. Quraish. 2017. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Shobur, Abdus. 2009. Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas IV. Semarang: PT. Karya
Toha Putra.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2009. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sunarto, Achmad dan Syamsuddin Noor. 2012. Himpunan Hadits Shahih
Bukhari. Jakarta: An-Nur.
Suryabrata, Sumadi. 2013. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tanzeh, Ahmad. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Teras.
Tim PPPA Daarul Qur’an. 2009. Dahsyatnya Sedekah. Jakarta: PT. Bestari Buana
Murni.
Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1.
https://kalteng.kemenag.go.id/file/file/HumasKalteng/qwdb1465547530.p
df (20 Oktober 2018).
Wiyani, Novan Ardy. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Iman dan Taqwa.
Yogyakarta: Penerbit Teras.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Maftukhul Ngaqli


NIM : 2015010139
TTL : Banjarnegara, 03 Desember 1997
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gelang 01/04 Rakit, Banjarnegara
Status : Belum Nikah
No. Telp : 0858 7991 5172
Email : maftuhulaqlii@gmail.com
Riwayat Pendidikan Formal:
1. RA Ma’arif Gelang (Tamat Tahun 2003)
2. MI Al-Ma’arif Gelang (Tamat Tahun 2009)
3. MTs Al-Ma’arif Rakit (Tamat Tahun 2012)
4. SMK Negeri 2 Bawang (Tamat Tahun 2015)
5. Universitas Sains Al-Qur’an (2015-sampai sekarang)
Riwayat Pengalaman Organisasi:
1. Tahun 2006-2008 : Anggota Pramuka Siaga MI Al-Ma’arif Gelang
2. Tahun 2009-2012 : Dewan Penggalang Pramuka MTs Al-Ma’arif
Rakit
3. Tahun 2013-2014 : Anggota ROHIS SMK N 2 Bawang
4. Tahun 2015-sekarang : Anggota UKM LDM UNSIQ Wonosobo
5. Tahun 2018-sekarang : Anggota UKM BAHASA UNSIQ Wonosobo
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.

Wonosobo, 26 Mei 2019


Penulis

Maftukhul Ngaqli

Anda mungkin juga menyukai