Anda di halaman 1dari 20

TASAWUF SEBAGAI TERAPI

(PERSPEKTIF KONSELING ISLAMI)


Samidi Khalim, S.Ag, M.S.Ii

Abstrak
Kemajuan yang telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan manusia,
baik sosial, ekonomi, budaya dan politik, mengharuskan individu untuk beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal
dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang
terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem. Tidak
semua orang mampu untuk beradaptasi, akibatnya adalah individu-individu yang
menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara
efektif untuk mengatasinya.
Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam
muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula
kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan
masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit
pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis
atas segala problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini.

Kata Kunci : Tasawuf, Terapi, Konseling Islam

A. Pendahuluan
Tulisan ini berangkat dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini hidup
di era modern, dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas,
dimana kehidupan cenderung berorientasi pada materirialistik, skolaristik, dan
rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak
selamanya memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (the
age of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang
memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai
problema psikologis bagi manusia itu sendiri.
Masyarakat modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di
tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar
kehidupan materi dan bergaya hidup hedonis dari pada memikirkan agama yang

1
dianggap tidak memberikan peran apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan
visi ke-Ilahian yang tumpul penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan.
Kemajuan-kemajuan yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan,
baik sosial, ekonomi budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti.
Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga
yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem.
Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-daerah
perkotaan yang saling bersaing dalam segala bidang. Sehingga kondisi tersebut
memaksa tiap individu untuk beradaptasi dengan cepat. Padahal tidak semua orang
mampu untuk itu. Akibatnya yang muncul adalah individu-individu yang menyimpan
berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk
mengatasinya.
Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam
muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula
kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan
masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti
ada obatnya.
Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala
problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini. Maka dari itu, penulis
mencoba untuk melakukan analisis terhadap tasawuf sebagai terapi atas problem
manusia dalam perspektif konseling Islam.

B. Memahami Dunia Tasawuf

Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang
untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun
yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama
yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan
substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu komponen
dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu

2
teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq
atau tasawuf.(Amin Syukur, 2002:112)

Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui karena sifatnya
yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan
bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai
sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau
terapi. (Moh. Soleh, 2005: 35)

Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan
moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu
itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas
kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran
tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar
tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya
glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses
modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup
manusia menjadi lebih materealistik dan individualistic. Perkembangan
industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia
modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup
mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga kegiatan
sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan. Akibatnya
manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin tergeser oleh
kepentingan materi duniawi (Suyuti, 1996: 3 – 5).

Menurut Amin Syukur, tasawuf bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih
ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral yang
hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan
optimal. Tasawuf perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya (Syukur, 2003:3).

Menurut Omar Alishah, yang menjadi salah satu ajaran penting dalam tasawuf
adalah pemahaman tentang totalitas kosmis, bumi, langit, dan seluruh isi dan
potensinya baik yang kasar mata maupun tidak, baik rohaniah maupun jasmaniah,
pada dasarnya adalah bagian dari sebuah sistem kosmis tunggal yang saling mengait,
berpengaruh dan berhubungan. Sehingga manusia mempunyai keyakinan bahwa,

3
penyakit atau gangguan apapun yang menjangkiti tubuh kita harus dilihat sebagai
murni gejala badaniah ataupun kejiwaan manusiawi, sehingga seberapapun tingkatan
keparahannya akan tetap dapat ditangani secara medis (medical care) (Alishah,
2002:11).

Pendapat Alishah tersebut senada dengan apa yang dijelaskan oleh Allah SWt dalam
al-Qur'an, bahwa setiap kali terjalin komunikasi dengannya seseorang akan
memperoleh energi spiritual yang menciptakan getaran-getaran psikologi pada aspek
jiwa raga, ibarat curah hujan membasahi bumi yang kemudian menciptakan getaran-
getaran duniawi dan menyebabkan tanaman tumbuh subur. Sesuai dengan firman
Allah yang tertera dalam QS. Al-Hajj: 5

(5 :‫ج )الحج‬ ‫ت بو أبون ببتب و‬


‫ت هم ون كك لل بزوو ج‬
‫ج ببههيِ ج‬ ‫ فبإ هبذا أبون بزول بناَ بع لبويِ بهاَ اول بماَبء اوه تبزز و‬...
‫ت بوبر بب و‬

Artinya : “………ketika kami turunkan hujan di atasnya ia pun bergerak dan


subur mengembang menumbuhkan berbagai tanaman indah (berpasang-
pasangan) (QS; Al-Haj: 5).

C. Konseling Religius

Krisis jiwa (mental) yang menimpa manusia, biasanya sebagai akibat dari
terhalangnya seseorang dari apa yang di inginkan oleh salah satu motifnya yang
sangat kuat, atau lemahnya krisis mental dipengaruhi oleh kondisi sosial dan moral
dirinya sendiri. Seseorang akan menjadi sasaran kegalauan psikologis dan fisik, jika
ia tidak mampu mengatasi krisis psikologis dengan cara yang cepat dan tepat. Baik
secara hakiki ataupun ilusi. Sesungguhnya agama merupakan terapi bagi penyakit
jiwa atau mental. Sebab ia bisa mengubah, memperbarui, dan memperbaiki jiwa.
Agama juga memberi kekuatan penuh kepada manusia ketika ia berhadapan dengan
kebimbangan keputusasaan dan agama memberi sifat kesabaran ketika manusia
dilanda frustasi dan memberi ketenteraman ketika manusia ketakutan dan bahaya.
Hanya melalui Aqidah dan keimanan jiwa akan hidup dan akal akan selamat. Selain
itu fisik akan selalu sehat, karena keimanan merupakan tulang yang mampu
membawa, manusia dari keputusasaan kepada semangat yang kuat dan dari
kekacauan kepada ketenteraman. Seseorang yang beriman akan merasakan bahwa
ketenteraman itu memenuhi ruang jiwanya.

4
Ditengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, sekular serta kehidupan
yang sangat sulit secara ekonomi maupun psikologis, tasawuf memberikan obat
penawar rohani, yang memberi daya tahan krisis kerohanian modern telah
mengakibatkan mereka tidak lagi mengenal siapa dirinya arti dan tujuan dari
kehidupan di dunia. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini, pada akhirnya
membuahkan penderitaan batin yang berkepanjangan. Maka kemudian mata air yang
sejuk memberikan penyegaran serta menyelamatkan pada manusia yang terangsang
itu, dalam wacana kontemporer disebut sebagai terapi tasawuf. (Rahman, 2000;4)

Selain tasawuf sebagai jalan untuk mencari pemecahan masalah, manusia juga
berusaha mencari penyelesaian melalui bimbingan konseling, karena bimbingan
merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada
individu menggunakan cara yang ada, berdasarkan norma-norma yang berlaku,
sedangkan konseling adalah pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara
konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah
yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.(Erman Amti, 1999;99)

Dalam perkembangannya, Bimbingan dan Konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai
spiritual, karena hanya mengandalkan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari
psikis manusia belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Bimbingan dan
Konseling Religius telah disadari sebagai hal penting oleh banyak pakar konseling
baik barat maupun Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa dalam
memasuki kehidupan yang bertujuan akhir memperoleh kebahagiaan dunia akhirat,
individu cenderung untuk menata kehidupan berlandaskan nilai-nilai spiritual.
(Murtadlo, 2002: 28)

Berkaitan dengan Bimbingan Konseling Religius pada dasarnya semua agama


memiliki pola-pola Bimbingan dan Konseling yang berbeda-beda dalam usaha
mengatur pemeluknya tentang bagaimana menghadapi kehidupan di dunia dan
akhirat. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersumber dari
Tuhan (kitab suci). Demikian dalam bimbingan konseling Islam yang merupakan
proses pemberian bantuan terhadap individu, agar mampu hidup selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat (Faqih, 2110: 5).

5
D. Tasawuf Sebagai Terapi

Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami
dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara
melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun
menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi
ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan
terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas
dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru
di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada
umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar
Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia
terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang
sangat penting. (Alishah, 2004;5)

Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi
psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual,
sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-
konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan
individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan
Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara
lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor” (Alishah, 2002:151).

Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut dengan penyembuhan
sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh para sufi ratusan
tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa kesembuhan hanya datang
dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi sebagai terapis hanya
bertindak sebagai perantara.(Najar, 2004: 195).

1. Prinsip-prinsip Dasar Terapi

Prinsip-prinsip dasar dari pendekatan terapi yang ditawarkan dalam tulisan ini secara
umum diadopsi dari prinsip-prinsip dasar Tarekat Naqsyabandiyah. Hal tersebut
didasarkan pada pemikiran Omar Alishash tentang tasawuf sebagi terapi. Alishah
sendiri dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang penuh spiritualisme Tarekat
Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu aliran tarekat

6
terkemuka diantara beberapa aliran tarekat lainnya. Dalam ensiklopedi Islam Van
Hoeve disebutkan, bahwa Tarekat Naqsabadiyah didirikan oleh Muhammad bin
Muhammad Bahauddin al Uwaysi al-Bukhari Naqsyabandi (717H / 1318M 791 H /
1389). Tarekat ini sebetulnya bersumber dari Abu Ya’quf Yusuf al Hamdani (wafat pada
tahun 535 H / 1140 M) adapun mengenai Abu Ya’quf Yusuf al Hamdani, Schimmel
menulis :

Ia adalah imam pada zamannya yang mengetahui rahasia hati, yang mengerti akan
tugasnya. Hubungan rohani hamdani bisa dirunut sampai kharaqani dan bayazid
bistami, kedua wali tersebut tetap dihormati di dalam tarekat ini. Menurut
riwayat, Hamdanilah yang mendorong Abdul Qadil Gilani berkhotbah di depan
umum, dua tarekat utama yang bersumber dari dirinya, yang satu adalah
Yasawiyya di Asia Tengah yang kemudian mempengaruhi bektashiyya di
Anatolia. (Anemarie Schimmel, 2000 : 123).

Ada delapan prinsip dasar yang menjadi pedoman ajaran Tarekat


Naqsyabandiyah, yakni :

1. Hush Dardam (kesadaran dalam bernafas)

2. Nazar bar Qadam (memperhatikan tiap langkah diri)

3. Safar dar Watan (perjalanan mistik di dalam diri)

4. Khalwat dar Anjuman (kesendirian di dalam keramaian)

5. Yad Kard (pengingatan kembali)

6. Baz Gard (menjaga pemikiran sendiri)

7. Nigah Dasht (memperhatikan pemikiran sendiri)

8. Yad Dasht (pemusatan perhatian kepada Allah)

7
Kedelapan prinsip tersebut, menurut Omar Alishah dapat dijadikan rambu-
rambu dalam terapi sufis (tasawuf) untuk mengatasi problem psikologis manusia.
Prinsip pertama biasa ditafsirkan dengan suatu proses introspeksi dan evaluasi keluar
masuknya nafas untuk mengatasi “kelupaan” akan eksistensi Allah dalam keseluruhan
lingkup ruang maupun waktu. Tujuan dari pemeliharaan atas pernafasan tersebut
adalah agar setiap pengikut tradisi selalu hadir dan ingat kepada Allah SWT dalam
setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Karena yang bisa memberi penyembuhan
datangnya hanya dari Allah manusia hanyalah sebagai perantara saja. (Omar Alishah
2002, 138)
Prinsip kedua adalah memperhatikan langkah dirinya. Apabila seorang sufi
berjalan, ia selalu melihat ke tempat kakinya melangkah dan apabila dalam keadaan
duduk, ia akan melihat pada kedua tangannya. Seorang sufi tidak boleh memperluas
pandangannya karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang dalam
mengingat Allah. Dalam tradisi ini seorang terapis harus selalu berusaha mendekatkan
diri pada Allah dengan selalu melangkah ke jalan yang benar. (Omar Alishah 2004 :
121)
Prinsip yang ketiga diartikan sebagai proses dari sifat kemanusiaan yang kotor
dan rendah menuju sifat-sifat ke malaikatan yang bersih dan suci. Oleh karena itu
setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus berupaya mengontrol hatinya agar
dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada seseorang. Prinsip ke empat adalah bahwa
setiap sufi harus selalu menghadirkan hatinya kepada Allah dalam segala keadaan.
Setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus selalu dapat menjaga hatinya. (Omar
Alishash 2002 : 145)
Prinsip kelima adalah pengingatan kepada allah. Dalam melakukan proses
terapi sebaliknya selalu berusaha mengulangi zikir kepada Allah, sehingga tidak ada
peluang sedikit pun dalam hatinya yang ditujukan kepada selain Allah agar prosesnya
lancar dan mendapat ridho dari Allah. (Omar Alishah 2004 : 125)

8
Prinsip keenam mempunyai makna menjaga pemikiran sendiri dengan
mengulangi zikir. Setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus setiap saat setiap
waktu dimanapun berada jangan sampai mengosongkan fikiranya karena itu tidak
baik. Dan berusahalah dengan mengulang-ngulang zikir kepada Allah.
Prinsip ke tujuh memperhatikan pemikiran sendiri. Dalam tradisi ini kita selalu
memelihara hati kita dari kemasukan segala sesuatu yang dapat menggoda dan
mengganggunya sekalipun hanya sejenak prinsip ke delapan adalah pemusatan
perhatian sepenuhnya pada aspek musyahadah (yakni menyaksikan keindahan,
kebesaran dan kemuliaan Allah SWT). (Omar Alishah, 2002 : 150).
Prinsip-prinsip dasar dari pendekatan terapi Omar yang ditawarkan dalam
asosiasi ini secara umum diadopsi dari prinsip-prinsip dasar Naqsabandiyah hal ini
dinyatakan oleh Alishah sendiri :
Terapi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Naqsabandiyah. Setiap
orang dalam tradisi ini tentunya harus sudah, mengetahui, mengkaji dan sadar
akan ketentuan-ketentuan itu. (Omar Alishah 2004: 130).

Maka dari itu, ada sebuah ketentuan dari Tarekat Naqsabandi yang sangat kuat
peranannya terutama dalam memanifestasikan tradisi ke dalam segenap lingkup
kehidupan, khususnya dalam hal ini adalah terapi. Ketentuan ini berbunyi “kenali
dirimu”. Mengenal dalam arti mengenal setiap sinyal-sinyal yang ada, baik yang
dibutuhkan ataupun tidak. Tradisi ini mengenal apa yang disebut dibutuhkan ataupun
tidak. Tradisi ini mengenal apa yang disebut kegunaan energi dari dalam diri sendiri.

9
Kemudian Agha Omar Alishah An-Naqsabandi ibn Hashemi yaitu syekh
besar tarekat Naqsabandiyah mengadakan kongres-kongres dengan berbagai
pakar-pakar ilmu di seluruh penjuru dunia membentuk sebuah organisasi dengan
nama Asosiasi Terapi Holistik Tradisional. Yaitu sebuah organisasi penyembuhan
gangguan kejiwaan maupun fisik yang menggunakan berbagai pendekatan maupun
berbagai teknik dengan didasari pada konsep-konsep tradisi Tasawuf yang telah
ada berabad-abad yang lalu. Agha memberi nama untuk jenis terapi yang di
kembangkan dengan sebutan terapi Granada. Jika psikologi menggunakan lambang
Trisula. Maka terapi ini menggunakan simbol Delima. Adapun makna simbolis dari
Granada yang terpenting adalah substansi dari apa yang sebenar-benarnya.
Gagasan yang terpenting dalam asosiasi ini adalah bagaimana orang-orang agar
terfokus pada pencarian elemen-elemen yang menjadi bagian dari proses
penyembuhan pasien, apapun tehnik yang digunakan. Terapi beliau berfokus
kepada agama (www.tractus books.com )

2. Tahapan Terapi
Tujuan dari model terapi Granada ini adalah membantu teknik dan
pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha menggantikan sama sekali
teknologi medis modern baik rupa maupun bentuk. Konsep ini menambah pada
teknologi medis modern dimensi hubungan dan energi yang menghidupkan kekuatan
individu untuk menyembuhkan dirinya (Omar Alishah 2002 : 16)
Tahap-tahap proses terapi yang dilakukan oleh Omar Alishah yaitu:
a) Niat
Satu hal yang sangat mempengaruhi hasil dari proses terapeutik adalah
niat. Aspek ini memungkinkan keberhasilan atau tidaknya seorang terapis
dalam menyelesaikan pekerjaannya sehubungan proses terapeutik tersebut.
Sebab niat secara tidak langsung merupakan bagian dari transmisi positif
penyembuhan Agha Menilai;
Niat dari setiap terapis adalah dan seharusnya, membantu proses
penyembuhan pasien. Diantara para terapis dan pasien tidak mungkin
berkompetisi, atau hasilnya bisa kematian pasien itu. Niat juga penting karena
alasan lain : jika niat terapis untuk menyembuhkan seorang pasien cukup kuat,

10
dia mentransmisikan pengaruh ekstra pada orang yang sakit, gugup, cemas atau
tegang. Terapis tidak hanya sekedar mengatakan kepada pasien, “ya, saya dapat
membantu anda, saya akan berusaha menyembuhkan anda”. Niat terapis
bahwa, dan jika niatnya cukup kuat berfokus pada itu, dia menstransmisikan
faktor itu kepada pasien juga. (Omar Alishah 2005 : 259).
b) Wawancara
Terapi yang dicontohkan oleh Agha sehubungan dengan menggunakan
pendekatan tradisi tasawuf kepada klien di dahului melalui tahap wawancara
ini sekalipun tidak mengadopsi dari model psikoanalisis dengan cara klien
harus berbaring di atas balai-balai sedangkan terapis atau analisis berada di
belakangnya, namun itu hanya sejenis pengembangan dari teknis wawancara.
Hal ini ditunjukkan dengan apa yang disarankan Agha kepada para
peserta konggres mengenai tahap-tahap awal dan prosedur terapeutik.
Kita mulai dengan menggunakan jenis wawancara psikologi atau
psikiatri klasik, dengan lain perkataan situasi semi medis. Pasien
berbaring disana, seseorang mencatat dan pertanyaan-pertanyaan
yang kita ajukan bentuknya diubah agar dapat diterima oleh pasien itu
sebagai bincang-bincang. Artinya kita dapat menemui klien kita di
sebuah restoran, warung kopi atau kelab malam, kita dapat berjalan-
jalan di tepi sungai itu semua adalah ide yang bagus untuk mulai
dengan melanggar situasi klasik baju putih, stetoskop dan bloknote.
(Omar Alishah 2002: 22)

Pada tahapan awal atau sesi wawancara, tradisi tasawuf tidak


mempunyai suatu sesi yang lehas atau ala tradisi. Ini menunjukkan bahwa
tahapan awal hanyalah sebuah formalitas atau mengikuti formalitas yang ada,
baku dan paling efektif, hanya saja beberapa penekanannya justru lebih terlihat
santai sehingga prosedur terapeutik yang dilakukan oleh terapis dengan
menggunakan terapi tasawuf terkesan jauh dari hal-hal yang berbau klinis atau
medis. Model wawancara seperti ini bisa terlihat dalam pendekatan psikoterapi
eksistensial humanistik, tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara
ketat sebagaimana psikoanalisis.

11
Teknik wawancara model klasik adalah selalu disesuaikan dengan
tujuan sebuah terapi. Untuk mendapatkan data yang akurat, terapis harus
mengemukakan terlebih dahulu aturan-aturan yang akan terjadi pada klien
selama terapis berlangsung. Aturan-aturan ini tentu akan berimplikasi apda
lancarnya proses terapeutik. Hal ini tidak ada dalam terapi tasawuf. Namun
prinsip bahwa dalam teknik klasik ada kode etik bahwa tugas terapis adalah
memberikan perhatian penuh dan mendengarkan dengan seksama apa yang
diungkapkan oleh klien, sehingga tugas klien adalah menceritakan semuanya
kepada terapis. (Amin Annajar 2002: 194) hal ini juga diadopsi oleh Agha
Omar Alishah.
Penggunaan suatu topik yang dapat diperbincangkan bersama tidak lain
adalah tehnik yang biasa digunakan dalam wawancara klasik. Tehnik ini adalah
suatu persekutuan antara klien dengan terapis untuk melawan masalah yang
dihadapi klien, penting artinya disini adalah untuk membangun rasa
kepercayaan klien bahwa terapis mampu mengerti dan sanggup menghadapi
masalah yang sedang diderita klien.
Terlepas dari persekutuan itu, klien juga harus menjalankan peranannya
sebagai klien, sehingga dalam waktu yang bersamaan terapis mampu
mengarahkan arah pembicaraan klien sesuai dengan agenda wawancara yang
diinginkan terapis. Tulis Agha Omar Alisha.
Setelah itu, pertinggi antusiasme kita sendiri tentang subyek itu,
banyak berbicara tentang hal itu, membawa ke hal apa saja yang kita
inginkan, guna mengisi kekurangan-kekurangan pada gambar kita,
bagian dari kemampuan kita tentu bagaimana kita melakukan hal ini,
bagaimana cara kita membimbing mereka. Dengan cara demikian kita
menemukan gambar kita dan menyempurnakannya. (Omar Alisha 2004
: 36)

Setelah mulai mempercayai atas keahlian terapis untuk memecahkan


masalah yang dihadapi klien, maka Agha menyampaikan bahwa terapis perlu
menyampaikan baik dengan mensisipkan diantara pembicaraan atau secara
langsung suatu nada yang harmonis dengan perkataan yang harmonis dengan

12
perkataan yang bermakna ke arah positif melalui cara yang meyakinkan. Tulis
Agha.
Masalahnya di sini adalah tidak banyak perubahan nada suara atau
hasil nada-nada harmonis yang meyakinkan, yakni apa yang kita pilih
untuk disampaikan dalam nada suara bagaimana………. Kita semua tahu
bahwa dalam terapi kita memiliki kata-kata seperti : sembuh, pulih
semakin sehat, dan kita mengucapkan kata-kata ini dalam nada dan
cara yang meyakinkan (Omar Alisha, 2002: 147).

Kekuatan tradisi di sini nyata-nyata telah terlihat dan hal tersebut


bukanlah suatu hal yang abstrak dan magis, melainkan lebih dari sekedar
sebuah teknik bagaimana dalam sesi wawancara terapis juga berfungsi sebagai
pembangkit energi dalam diri klien. Pertama; bahwa kata-kata positif yang
diucapkan dengan nada yang benar dan dengan waktu yang tepat akan bersifat
sebagai pemicu munculnya energi positif atau optimisme. Kedua; adalah
bagaimana melakukan semuanya dengan cinta. Dalam tradisi tasawuf, cinta
adalah semacam implementasi dari ikhlas. Atau sebaliknya apapun yang kita
lakukan dengan cinta kita akan ikhlas. Konsep cinta dan ikhlas juga bukanlah
sesuatu barang baru dalam tradisi, namun penting sekali dalam kehidupan
modern saat sekarang ini untuk dimasukkan ke dalam tehnik-tehnik terapi,
masalah cinta ini disinyalir oleh Agha sebagai sesuatu yang sangat jangka
ditemukan dalam psikologi barat. Analisis Agha Omar Alishah
Frankl sejalan dengan pendapat Agha mengenai pola mengintegrasikan
cinta ke dalam proses terapi, hal ini diungkapkan sendiri oleh Frankl
Dengan bertindak secara spiritual dalam cinta dia dapat melihat ciri-ciri
dan bentuk esensial pada orang yang dicintai; atau lebih dari pada itu,
dia melihat apa yang potensial dari dalam dirinya; yang belum
teraktualisasikan tetapi harus diaktualisasikan. Karena dengan cintanya,
seseorang yang sedang mencintai dapat menjadikan orang yang
dicintainya mengaktualkan potensi-potensi. (victor E. Frankl, 2003 :
127)

13
Seseorang terapis harus mampu mencintai klien serta melakukan
terapeutik berdasarkan cinta. Dari situlah penyembuhan dapat dimulai dengan
baik, tanpa cinta, mustahil sebuah awal yang baik dalam proses penyembuhan
dapat terjadi.

3. Proses Terapi

Setelah melakukan wawancara awal, proses berikutnya adalah asosiasi


bebas, beberapa mengenai asosiasi bebas ini dalam terapi Granada telah
disebutkan pada bagian wawancara awal. Hal kemudian yang juga digunakan
Agha dalam terapi Granadanya adalah penafsiran. Dalam kasus gangguan
kejiwaan yang ditangani oleh terapi Granada, Agha menulis :
Keahlian dan kemampuan kita adalah mengidentifikasi orang semacam
itu dengan reaksi mereka, dan memberikan terapi kepada mereka yang
tidak menyerupai suatu terapi. Kita sesungguhnya meminta mereka
untuk membantu kita memeriksa problem mereka, apa yang kita minta
mereka untuk melakukan itu adalah melibatkan diri dalam suatu proses
kerjasama. (Omar Alishah 2004: 171)

Proses berikutnya adalah analisis dan penafsiran resistensi. Ada hal lain
yang diberikan oleh Agha sehubungan dengan teknik tersebut.
Ketika mereka datang kepada kita dan mereka telah diberi ktia
menyebutnya kebiasaan Freud, Jung, dan Schopenhaur oleh karena itu,
mereka klien telah mengembangkan apa yang kita sebut pertahanan
diri.
Menanggulangi ini bisa jadi sulit, dan beberapa kasus sangat sulit, akan
tetapi trik atau tekniknya adalah memperkenalkan diri kita tidak
sebagai “terapis” melainkan sebagai orang biasa …… Akan tetapi kasus
yang paling berat yang kita hadapi khususnya menangani gangguan
psikologis adalah orang-orang yang telah mengembangkan resistensi
terhadap terapi. (Omar Alishah 2002 : 196).

14
Pertama untuk mengantisipasi terjadinya resistensi secara berlarut-larut,
pola wawancara diganti. Dalam hal ini kasus tersebut Agha lebih menyukai
untuk secara “transparan” terapis harus memposisikan dirinya bukan lagi
sebagai terapis, namun orang biasa. Setelah terapis dapat memasukkan jenis
energi positif kepada klien untuk dapat terbuka dan cepat sembuh.
Kita harus dapat mengatakan kepada mereka dengan jelas sejak awal,
Anda datang kepada saya untuk meminta bantuan. Saya dapat
membantu anda, tetapi saya harus menyatukan energi anda dengan
saya untuk mencapai ini, sehingga akhirnya anda dapat pergi
melepaskan diri dari saya dan menjadi pulih, riil, sehat dan balans
tanpa berhubungan dengan saya terus menerus” kita membantu
mereka untuk menciptakan satu kepribadian yang tak tergantung
kepada kita. (Omar Alishah 2004, 168)

Dimungkinkan sekali dalam buku ini, Agha tidak menspekan pada


persoalan gejala-gejala gangguan kejiwaan semata, melainkan juga membahas
tentang proses terapi bagi penderita fisik penilaian penting terungkap disini
bahwa tradisi menunjukkan suatu hal yang benar-benar istimewa terhadap
eksistensi terapi-terapi di luar tradisi. Sekalipun Anatolio Friedbeg memberikan
pengantar pada buku ini bahwa konsep-konsep terapi tasawuf hanyalah
membantu teknik dan pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha
menggantikan sama sekali teknologi medis modern, Agha juga memberi
semacam ketegasan mengenai keterlibatan terapi-terapi yang akan dilakukan.
Setiap bagian terapi, warna musik, bedah osteopatik, atau apapun
mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ini buka kompetisi atau seharusnya
pun tidak. Jika seseorang menjalani pembedahan dan ditempatkan
dalam lingkungan yang positif sesudahnya untuk pemulihan kesehatan,
ini mungkin mempunyai peran yang sedikit lebih penting untuk
dimainkan. Akan tetapi ini jangan atau seharusnya jangan menjadi
sumber friksi atau perdebatan diantara tim. Prioritas untuk
menggunakan suatu teknik pada seseorang pasien tergantung pada
keadaan fisik dan mental pasien itu (Omar Alishah 2002 : 56).

15
Penegasan Agha Omar Alishah tersebut sedikit memberikan bahwa
tidak ada suatu terapi tunggal yang mampu mengobati pasien hingga sembuh.
Dalam konteks kejiwaan, sekalipun klien telah melewati proses-proses terapi
namun perbaikan yang diperoleh hanyalah bersifat sementara.
Ada banyak teknik tapi tak satupun dari teknik ini berhasil secara
sempurna. Teknik-teknik itu dapat membawa perbaikan sementara,
tapi setelah itu pasien membutuhkan orientasi lain, teknik tunggal
untuk menangani pasien yang mengalami gangguan psikologi yang
dapat digunakan untuk setiap bentuk kejiwaan jelas tidak ada, sebab
teknik tergantung pada jenis penyakit yang bersangkutan. (Omar
Alishah 2002 : 20)

Penegasan tersebut adalah untuk menjawab kegelisahan seorang terapis


peserta konggres yang merasa bahwa setiap kali terapis tersebut bekerja pada
awalnya klien selalu dapat terbuka setelah mengalami terapi pertama, setelah
itu klien menutup diri kembali. Hal ini membuktikan bahwa dalam tiap tahap
terapi, teknik yang digunakan oleh seorang terapis tidak mutlak menggunakan
teknik tunggal. Senada yang sama ditulis oleh Gerald Corey.
Para terapis yang berorientasi psikoanalitik dapat menggunakan
metode-metode penafsiran mimpi, asosiasi bebas, analisis resistensi –
resistensi dan transferensi, juga menangani hubungan masa lampau
kliennya, tetapi pada saat yang sama mereka bisa menggabungkan
sumbangan-sumbangan dari aliran lain, khususnya dari para
neureudlan yang menekankan faktor-faktor sosial budaya dalam
perkembangan kepribadian.

Dapat disebutkan disini bahwa Agha Omar Alishah menganut teknik


penggabungan yang disesuaikan dengan tahapan terapi maupun kondisi terapi.
Satu hal yang nampak seperti naif dalam pendapat Agha adalah persoalan
pandangan manusia modern – Barat, mengenai otak yang identik dengan
prinsip-prinsip dasar psikologi Barat. Sekalipun beberapa aliran psikologi

16
pertama seperti psiko analisis sangat meremehkan eksistensi manusia dan
hanya dengan menganalisis jaringan syaraf serta otak seluruh gejala tingkah
laku dan gangguan manusia dapat diketahui maupun disembuhkan, namun
beberapa aliran lain seperti humanisme dan transaksional justru memandang
sebaliknya. Komentar Agha :
Di Barat, kendati dengan kemajuan teknologi modern orang tidak
benar-benar tahu apa itu otak, maka jika kita bekerja dengan sesuatu
yang kita tidak ketahui seratus persen, upaya kita akan selalu
meragukan. (Omar Alisha 2002: 20).

E. Penutup

Kajian-kajian konseling religius (Islam) yang lebih mendalam tentang tasawuf


sebagai terapi masih sangat kurang. Luasnya lahan pengalaman terapis dan sedikitnya
orang yang mengalaminya menjadikan salah satu penyebab kajian-kajian konseling
religius (Islam) bergerak lambat. Demikian pula kajian-kajian ilmiah isoterik keislaman
juga jarang diulas bahkan kajiannya tidak mendapatkan tempat karena adanya fitnah
bahwa hal tersebut berkaitan dengan khurafat dan takhayul serta tidak ilmiah. Tuduhan
demikian, tanpa mau meninjau lebih dalam terhadap suatu fenomena alami sangat
menghambat perkembangan konseling Islami dan membentuk suasana yang kurang sehat
dalam kajian keilmuan. Mudah-mudahan tulisan singkat ini memacu dan menambah
semangat kita dalam mengkaji masalah-masalah spiritual keislaman sehingga konseling
Islami tidak hanya berkutat pada bagaimana mencari format dan merumuskan konsep tapi
lebih pada action menggali dunia konseling Islami secara riil.

17
BIBLIOGRAFI

Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka,


Yogyakarta, 2002.
Alishah, Omar, Tasawuf sebagai Terapi, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
_______, Alishah Terapi Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004
Al-Taftazani, Abu Al Wafa Al-Ghanimi, Sufi dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung,
1997.
Annajar, Amin, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Mizan Media Utama,
Bandung, 2004.
Asmaran as, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1992.
Aziz, Abdul, Psikologi Agama, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1987.
Bagir, Haidar, Manusia Modern Mendamba Allah, Penerbit Pustaka Amani Jakarta, 2002
Burhani, Ahmad Najib, Manusia Modern Mendambah Allah, Renungan Tasawuf Positif,
Hikmah, Jakarta, 2002.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2005.
_______, Kesehatan Mental, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1982.
Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan Konseling dalam Islam, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Fahmi, Musthofa, Prof. Dr., Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat,
Bulan Bintang, Jakarta, 1977
Hawari, Dadang, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bakti Prima Jasa,
Yogyakarta, 1999.
Murtadlo, Ali, Bimbingan dan Konseling Islam Perspektif Sejarah, Jurnal Ilmu Dakwah,
2002.
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta.
1999.
Rahman, Budy Munawar, Demam Tasawuf, Yogyakarta, 2000.
Rahmat, Jalaluddin, Renungan Sufistik, Mizan, Bandung, 1997.
_______, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Rifa’i, Moh., Al-Qur'an dan Terjemahnya, Wicaksana, Jakarta, 1992.
Schimmel, Anne Marie, Terj. Supardi Joko Damono, dkk., Dimensi Mistik dalam Islam,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.
Soleh, Moh, Agama Sebagai Terapi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Sudarsono, Kamus Psikologi dan Filsafat, Jakarta, 1993.
Suyuti, Ahmad, Percik-Percik Kesufian, Penerbit Pustaka Hidayah, Bandung 2002

18
Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka,
Yogyakarta, 2003.
_____________, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
_____________, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1997.
www.tractusbooks.com;tractusbook@att.net.http//ez2find.com/go.php3?stie=
book&go=2909347095
http://setiyo.wordpress.com

19
i Penulis adalah peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Anda mungkin juga menyukai