Anda di halaman 1dari 22

AKHLAK DALAM KELUARGA

Di Susun oleh

1. Juan Bobby A. N. J 162030100008


2. Yulinda Utari Senesa 162030100084
3. Dimmas Wahyu S. 162030100037

Kelas B1
Prodi : Psikologi
Fakultas : Psikologi
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Tahun ajaran 2017 / 2018
1. Latar Belakang

Dalam sebuah hubungan ada banyak ikatan yang banyak dan


beraneka ragam, ada yang ikatan Serumpun, Se-Ras, dan lain lain. Dalam
ikatan tersebut ada sebuah tali yang mengikat yang tidak akan pernah putus
meski terlampau zaman, ikatan tersebut adalah Keluarga. Keluarga,
mendengar kata ini kita langsung berpikir adanya ikatan darah. Namun
dewasa ini banyak sekali ikatan dalam keluarga selain sedarah, contohnya
dapat kita temui di kantor. Kita memiliki persamaan nasib dan waktu yang
dilalui bersama, seiring berjalannya waktu kita akan mengganggap satu
dengan yang lainnya seperti kakak, orang tua kita sendiri.
Secara sosiologis keluarga diartikan sebagai unit terkecil atau umat
kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan
kerja, serta kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Secara paedagogies
keluarga diartikan sebagai lembaga pertama dan utama dengan dialami
seseorang dimana proses belajar yang terjadi tidak berstruktur dan
pelaksanaanya tidak terikat oleh waktu. maka pengertian keluarga yang
dimaksud adalah dari perspektif paedagogies. Sebab dalam hal ini peran
keluarga sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya dalam
membimbing dan membina generasi mendatang, terutama dalam pendidikan
akhlak.
Keluarga dapat di umpamakan sebagai rumah, kuat kokohnya
sebuah keluarga bergantung pada anggotanya yang mampu menjaga
kekuatan tersebut meski diterpa ujian yang berat. Contoh yang di atas adalah
keluarga secara umum. Keluarga inti adalah sebuah keluarga yang terdiri
atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga adalah tempat pendidikan pertama
seorang anak sebelum mengenal dunia luar, maka dari itu peran keluarga
sangatlah penting bagi perkembangan anak. Anak khususnya Balita dengan
cepat dapat menangkap tindakan dari lingkungan sekitar, akan tetapi tidak
bisa mengerti benar atau salah sebuah tindakan tersebut. Untuk itu peran
keluarga sangatlah penting bagi seorang anak khususnya balita karena
rentan terhadap tindakan yang ia tangkap di memorinya. Ketika anak sudah
siap dengan dunia luar maka peran keluarga harus lebih mengawasi
tindakannya yang imoral dengan dibekali dengan akhlak yang terpuji. Dengan
begitu sang anak dapat memilah mana perilaku yang baik dan tidak baik,
dengan begitu peran keluarga berhasil.
Dengan demikian keluarga berperan penting bagi semua orang agar
bisa memberikan manfaat bagi kita seperti contohnya tolong menolong.

2. Landasan Teori
a. Pengertian Akhlak
Pengertian akhlak mempunyai dua sinonim kata, yaitu etika dan
moral. Secara garis besar ketiga kata (akhlak, etika dan moral) itu berasal
dari tiga bahasa yang berbeda. Akhlak berasal dari bahasa Arab yang
berarti budi pekerti, etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti
adat kebiasaan, sedangkan moral berasal dari kata mores (bahasa Latin)
yang berarti adat kebiasaan.
Etika dan akhlak itu memang ada persamaannya, yaitu keduanya
membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia. Akan tetapi
secara implisit terdapat perbedaan di antara keduanya. Etika merupakan
cabang dari ilmu filsafat, etika lebih bertitik tolak dari akal pikiran
manusia dan bukan dari agama seperti halnya akhlak.
Namun istilah etika yang lazim dipergunakan untuk akhlak sebagai
etika Islam. Menurut Hamzah Yaqub, etika Islam mempunyai
karakteristik tertentu yang membedakannya dengan etika filsafat, di antara
perbedaan itu adalah:
a) Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber ukuran baik dan
buruknya perbuatan itu didasarkan pada ajaran Allah (al-Quran) dan
Rasul-Nya (sunnah).
b) Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh
seluruh manusia dalam segala waktu dan tempat.
c) Ajaran-ajarannya praktis dan tepat, cocok dengan fitrah dan akal pikiran
manusia, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh
manusia.
Sedang moral berasal dari bahasa Latin (Mores) yang berarti adat
kebiasaan. Yang dimaksud dengan moral adalah tindakan manusia yang
sesuai dengan ide-ide yang umum diterima. Mana yang baik dan wajar.
Namun moral ini juga mempunyai beberapa persamaannya. Di anatara
perbedaan etika dengan moral adalah etika lebih banyak bersifat teori,
sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Akan tetapi dalam hal moral ini
ada juga yang berpendapat bahwa akhlak itu adalah moral Islam.
Sebagaimana dikemukakan oleh Abul Ala Al Madudi yang dikutip oleh
Humaidi Tatapangarsa sebagai berikut: Dilihat dari sumber dan sifatnya,
moral itu dapat dibedakan menjadi moral keagamaan dan moral tanpa agama
(moral sekuler).
(1). Moral keagamaan adalah moral yang berdasarkan kepercayaan kepada
Tuhan dan kehidupan akhirat. Dan moral keagamaan ini terbagi atas
moral politheistik, moral zuhud, moral monotheistik. Sedangkan moral
Islam termasuk dalam monetheistik, sebab Islam adalah agama tauhid,
moral Islam itu berdasarkan bimbingan dan petunjuk Allah dalam alQuran.
(2). Moral sekuler
Dalam moral sekuler ini, Tuhan dan kehidupan akhirat tidak
dikenal sama sekali, karena moral ini menolak bimbingan Tuhan ataupun
ajaran-ajaran agama. Moral sekuler ini bersumber dari pikiran dan
prasangka manusia yang beraneka ragam.

Dari penjelasan ketiga kata tersebut (akhlak, etika dan moral), dapat
kita fahami bahwa ketiga kata tersebut secara harfiyah memang tidak ada
perbedaannya, karena ketiga kata itu mempunyai arti yang sama dan
ketiganya berbicara masalah baik dan buruk. Di samping itu sumber asalnya
juga berasal dari bahasa yang berbeda. Kembali kepada permasalahan
utama yaitu akhlak. Setelah mengetahui masing-masing dari pengertian
pendidikan dan akhlak, maka selanjutnya penulis akan menjelaskan
pengertian dari pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak adalah usaha sadar
yang dilakukan manusia dalam rangka mengalihkan, menanamkan pikiran,
pengetahuan maupun pengalamannya dalam hal tata nilai terutama nilai-nilai
Islami dan cara bersikap atau berperilaku yang baik kepada generasi
penerusnya, supaya mereka dapat melakukan fungsi hidupnya dan mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
b. Pengertian Keluarga
a. Tijauan yuridis formal
Pengertian keluarga secara yuridis formal adalah suatu ikatan
persekutuan hidup bersama atau seorang laki atau perempuan yang
sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri,
adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
b. Sudut pandang paedagogies
Secara paedagogies keluarga diartikan sebagai lembaga
pertama dan utama dengan dialami seseorang dimana proses belajar
yang terjadi tidak berstruktur dan pelaksanaanya tidak terikat oleh
waktu.
c. Sudut pandang sosiologis
Secara sosiologis keluarga diartikan sebagai unit terkecil atau
umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai
pembagian tugas dan kerja, serta kewajiban bagi amsing-masing
anggotanya. Berkaitan dengan penelitian ini, maka pengertian keluarga
yang dimaksud adalah dari perspektif paedagogies. Sebab dalam hal
ini peran keluarga sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya
dalam membimbing dan membina generasi mendatang, terutama
dalam pendidikan akhlak.
3. Urgensi Keluarga dalam Hidup Manusia
Secara sosiologis keluarga merupakan golongan masyarakat terkecil yang
terdiri atas suami-isteri-anak. Pengertian demikian mengandung dimensi
hubungan darah dan juga hubungan sosial. Dalam hubungan darah keluarga
bisa dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti, sedangkan dalam
dimensi sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh
saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi, sekalipun
antara satu dengan lainnya tidak terdapat hubungan darah.
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari perspektif psikologis dan
sosiologis. Secara Psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota
merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi,
saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan pengertian
secara sosiologis, keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalin oleh
kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan
pernikahan, dengan maksud untuk saling menyempurnakan diri, saling
melengkapi satu dengan yang lainnya.
Dalam suatu keluarga keutuhan sangat diharapkan oleh seorang anak,
saling membutuhkan, saling membantu dan lain-lain, dapat mengembangkan
potensi diri dan kepercayaan pada diri anak. Dengan demikian diharapkan
upaya orang tua untuk membantu anak menginternalisasi nilai-nilai moral
dapat terwujud dengan baik.
Keluarga yang seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh adanya
keharmonisan hubungan atau relasi antara ayah dan ibu serta anak-anak
dengan saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Pada
saat ini orang tua berprilaku proaktif dan sebagai pengawas tertinggi yang
lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama
lainnya. Sikap orang tua lebih banyak pada upaya memberi dukungan,
perhatian, dan garis-garis pedoman sebagai rujukan setiap kegiatan anak
dengan diiringi contoh teladan, secara praktis anak harus mendapatkan
bimbingan, asuhan, arahan serta pendidikan dari orang tuanya, sehingga
dapat mengantarkan seorang anak menjadi berkepribadian yang sejati sesuai
dengan ajaran agama yang diberikan kepadanya. Lingkungan keluarga
sangat menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan, sebab di sinilah
anak pertama kali menerima sejumlah nilai pendidikan.
Tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan oleh orang tua
dirasakan oleh anak dan akan menjadi dasar peniruan dan identifikasi diri
untuk berperilaku. Nilai moral yang ditanamkan sebagai landasan utama bagi
anak pertama kali diterimanya dari orang tua, dan juga tidak kalah pentingnya
komunikasi dialogis sangat diperlukan oleh anak untuk memahami berbagai
persoalan-persoalan yang tentunya dalam tingkatan rasional, yang dapat
melahirkan kesadaran diri untuk senantiasa berprilaku taat terhadap nilai
moral dan agama yang sudah digariskan.
Sentralisasi nilai-nilai agama dalam proses internalisasi pendidikan
agama pada anak mutlak dijadikan sebagai sumber pertama dan sandaran
utama dalam mengartikulasikan nilai-nilai moral agama yang dijabarkan
dalam kehidupan kesehariannya. Nilai-nilai agama sangat besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan keluarga, agama yang ditanamkan oleh orang tua
sejak kecil kepada anak akan membawa dampak besar dimasa dewasanya,
karena nilai-nilai agama yang diberikan mencerminkan disiplin diri yang
bernuansa agamis.
4. Akhlak Suami Istri
a. Hak-hak Bersama Suami Isteri
Hak Tamattu Badani
Salah satu hikmah perkawinan adalah pasangan suami isteri satu
sama lain dapat saling menikmati hubungan seksual yang halal,
bahkan berpahala. Islam memang mengakui bahwa setiap manusia
normal membutuhkan penyaluran nafsu birahi terhadap lawan
jenisnya. Islam tidak memerangi nafsu tersebut tetapi juga tidak
membiarkannya lepas tanpa kendali. Islam mengatur penyalurannya
secara halal dan baik melalui ikatan perkawinan.
Karena sifatnya hak bersama, tentu juga sekaligus menjadi
kewajiban bersama. Artinya hubungan seksual bukanlah semata
kewajiban suami kepada isteri, tetapi juga merupakan kewajiban isteri
kepada suami. Suami tiodak boleh mengabaikan kewajiban ini
sebagaimana isteri tidak boleh menolak keinginan suami.
Hak Saling Mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab : Pertama,
karena hubungan darah; Kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam
hubungan perkawinan ini yang mendapat warisan hanyalah pasangan
suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi suami. Dalam
surat An-Nisa ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat (setengah)
dari harta warisan bila isteri tidak punya anak, dan (seperempat) bila
isteri punya anak. Sebaliknya isteri dapat (seperempat) bila suami
tidak punya anak, dan 1/8 (seperdelapan) bila suami punya anak.
Hubungan aling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah
menurut syariat islam dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak
sah, atau salah seorang tidak Muslim baik dari awalnya atau ditengah-
tengah perkawinan maka haknya batal.
b. Kewajiban Suami Kepada Isteri
Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami
tidak boleh memaafkannya kecuali seizin dan serela isteri. (QS. An-
Nisa : 20-21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan
oleh Syara. Tergantung kemampuan suami dan kerelaan isteri. Yang
penting ada nilainya. Bahkan boleh dengan sepasang sandal, atau
mengajarkan beberapa ayat Al-Quran, atau masuk Islam seperti yang
pernah terjadi di zaman Rasulullah saw.
Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa
makanan, minuman, pakaian, rumah, pembantu, obatobat dan lain-
lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma.
Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya sebanding
dengan kewajiban isteri mematuhi dan meladeni suami,
menyelenggarakan dan mengatur urusan rumah tangga serta mendidik
anak. Kewajiban memberi nafkah gugur bila aqad nikahnya tidak sah,
bila isteri tidak bersedia digauli atau tidak bersedia hidup bersama atau
tidak bersedia mengikuti kepentingan suami ke suatu tempat.
Berapa jumlah nafakah yang wajib dibayar suami dengan isteri
ditentukan oleh urf (sesuatu yang sudah dikenal baik secara luas oleh
masyarakat), maksudnya disesuaikan dengan kewajaran, kelaziman
dan kemampuan suami.
Ihsan al-Asyarah
Ihsan al- Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang
sebaik-baiknya. Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami.
Misalnya : membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga
rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri pada orang lain,
mengizinkannya mengunjungi orang tua dan familinya, membvantu
isteri apabila ia memerlukan bantuan sekalipun dalam tugas-tugas
rumah tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain.
Membimbing dan Mendidik Keagamaan Isteri
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap
isterinya karena dia adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Oleh karena itu
menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya
menjadi seorang imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang
harus diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya
terutama syariah, seperti masalah thaharah, whudu, haidh, nifas,
shalat, puasa dzikir, membaca Al-Quran, kewajiban wanita terhadap
suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat. Juga tentang
cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami serta hal-hal lainnya.
5. Akhlak Orang Tua terhadap anak
a. Hak Nasab Anak
Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak berdua,
walupun secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan
kepada bapaknya, sehingga seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau
Fulanah Bintu Fulan, bukan fulan ibn fulanah atau fulanah bintu fulanah.
Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak tetap
berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berhak terhadap
anak tersebut, walaupun pengadilan dapat meilih dengan siapa anak ikut.
Perlu juga diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada
bapaknya secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan
setelah menikah. Anak perempuan kalau sudah menikah tidak diajarkan
oleh Islam untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana yang
tradisi sebagian masyarakat kita.
b. Kewajiban Kepada Anak
Memberi nama anaknya dengan nama yang baik
Orang tua jangan sampai memberi nama anaknya dengan
nama yang mengandung arti yang tidak baik. Anak akan malu
apabila dipanggil oleh temannya atau orang lain dengan nama yang
mempunyai arti jelek. Umpamanya si Si Ribut, si Bandel, si
Keset, Khusrin (artinya rugi), Hasidin (artinya orang yang
penghasut) dan sebagainya. Maka nama yang diberikan orang tua
harus nama yang mengandung optimisme, yang merupakan doa
dari ibu dan bapaknya.
Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan.
Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan
adalah mutlak wajib. Anak harus dididik untuk selalu taat pada
ajaran agama dengan sebagus pengalamannya, sebijak
penerapannya, dan seluruh pendidikannya. Ia diharuskan
menjalankan perintah-perintah agama dengan semampu mungkin.
Rasulullah bersabda, Allah pasti merahmati seorang ayah yang
menolong anaknya berada di jalan kebaikan. (HR. Abu Syaikh
dengan sanad yang lemah).
Larangan bagi orang tua mendoakan kejelekan terhadap putra-
putrinya
Sebab ini merupakan perkara buruk yang
membahayakan dan saat ini sudah banyak yang tersebar di
tengah-tengah kehidupan kita. Kebanyakan hal tersebut banyak
dilakukan para ibu. Jika seorang ibu marah pada anaknya, ia
tumpahkan kemarahannya pada anaknya dalam ujud pelaknatan
dan caci makian: ia doakan dengan doa kesialan, kecelakaan dan
kehancuran. Ini termasuk perkataan yang tidak patut dilakukan
menurut ajaran agama Islam.
Hubungan Kasih sayang
Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayang.
Setiap manusia yang normal secara fitri pasti mendambakan
kehadiran anak-anak dirumahnya. Kehidupan rumah tangga
sekalipun bergelimang harta benda-belum lagi lengkap kalau belum
mendapatkan anak. Al-Quran menyatakan anak adalah perhiasan
hidup dunia
6. Akhlak Anak terhadap Orang Tua
1. Kewajiban Berbakti kepada Orang Tua
Berbakti (Al Birr) adalah kata yang mencakup kebaikan dunia dan
akhirat, berbakti kepada kedua orang tua adalah dengan berbaik kepada
keduanya, memenuhi hak-hak keduanya, dan mentaati keduanya.
Allah SWT Berfirman dalam Surat Al-Isra ayat 23 :

Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Hal ini menunjukan bahwa

akhlak menghormati orang tua adalah suatu hal yang sangat penting yang
dianjurkan oleh Rosulullah kepada Umatnya.Adapun akhlak anak terhadap
orang tua adalah sebagai berikut : Sayangilah, cintailah, hormatilah, patuhlah
kepadanya rendahkan dirimu, sopanlah kepadanya. Ketahuilah bahwa kita
hidup bersama orang tua merupakan nikmat yang luar biasa, kalau orang tua
kita meninggal alangkah sedihnya hati kita karena tidak ada yang dipandang
lagi.
Allah SWT telah memerintahkan supaya Kita jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah Kita berbuat baik pada Ibu Bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Allah SWT Berfirman dalam Surat Al-Isra ayat 23:

Maka janganlah Kamu mengatakan ah kepada orang tua dan janganlah

membentaknya dan ucapkanlah kepada keduanya dengan perkataan yang


baik.
Kita juga diperintahkan oleh Allah SWT untukmerendahkanlah diri terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil".(QS Al-Isra : 24)
2. Keutamaan Berbakti kepada Orang Tua
Rosulullah SAW Bersabda :
Dari Abdullah Bin Masud berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah:
Amalan apakah yang dicintai oleh Allah Beliau menjawab: Sholat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa Beliau menjawab: Berbakti
kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa Beliau
menjawab: Jihad dijalan Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari Hadits tersebut bisa disimpulkan bahwa berbakti kepada kedua orang
tua itu merupakan amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah SAW.
3. Contoh Berbakti kepada Orang Tua
Rosulullah SAW Bersabda :
Dari Asma binti Abu Bakar ia berkata:Ibuku mendatangiku, sedangkan ia
seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah . Maka aku meminta fatwa
kepada Rasulullah dengan mengatakan: Ibuku mendatangiku dan dia
menginginkan aku (berbuat baik kepadanya), apakah aku (boleh)
menyambung (persaudaraan dengan) ibuku beliau bersabda: ya,
sambunglah ibumu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari kutipan hadits di atas tentu kita dapat menyimpulkan bahwa Ibu
adalah seseorang yang sangat penting dalam kehidupan setiap orang dan tak
ada seorangpun yang memungkiri akan begitu besarnya jasa jasa Ibu
dalam hidup manusia.
7. Membangun Keluarga Sakinah
Sebagai pengantar untuk membangun keluarga sakinah baiklah kita pelajari
Hak dan Kewajiban yang buat oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain:

1. Suami adalah pemimpin rumah tangga


Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita)..(An-Nisa: 34)

2. Suami dipatuhi dan tidak boleh ditentang


3. Tanpa izin suami, isteri tidak boleh mensedekahkan harta suami, dan tidak
boleh berpuasa sunnah.
4. Suami harus dilayani oleh isteri dalam hubungan badan kecuali uzur, dan
isteri tidak boleh keluar rumah tanpa izinnya. Rasulullah saw bersabda:
Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Tidak mensedekahkan apapun
yang ada di rumah suami tanpa izin sang suami. Tidak boleh berpuasa
sunnah kecuali dengan izin suami. Tidak boleh menolak jika suaminya
menginginkan dirinya walaupun ia sedang dalam kesulitan. Tidak
diperkenankan keluar rumah kecuali dengan izin suami. (Al-Faqih, 3:277)

5. Menyalakan lampu dan menyambut suami di pintu


6. Menyajikan makanan yang baik untuk suami
7. Membawakan untuk suami bejana dan kain sapu tangan untuk mencuci
tangan dan mukanya
8. Tidak menolak keinginan suami hubungan badan kecuali dalam keadaan
sakit
Rasulullah saw juga bersabda:

Hak suami atas isteri adalah isteri hendaknya menyalakan lampu untuknya,
memasakkan makanan, menyambutnya di pintu rumah saat ia datang,
membawakan untuknya bejana air dan kain sapu tangan lalu mencuci tangan
dan mukanya, dan tidak menghindar saat suami menginginkan dirinya kecuali
ia sedang sakit. (Makarim Al-Akhlaq: 215)

Rasulullah saw juga bersabda:

(Ketahuilah) bahwa wanita tidak pernah akan dikatakan telah menunaikan


semua hak Allah atasnya kecuali jika ia telah menunaikan kewajibannya
kepada suami. (Makarim Al-Akhlaq:215)

Hak-Hak Isteri

1. Isteri sebagai sumber sakinah, cinta dan kasih sayang. Suami harus
menjaga kesuciannya. (QS Ar-Rum: 21)
2. Isteri harus mendapat perlakukan yang baik
Ciptakan hubungan yang baik dengan isterimu. ( Al-Nisa :19)

3. Mendapat nafkah dari suami


4. Mendapatkan pakaian dari suami
5. Suami tidak boleh menyakiti dan membentaknya
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi Rasulullah saw dan
bertanya tentang hak seorang isteri. Beliau menjawab:

Hak-hakmu atas suamimu adalah ia harus memberimu makan dengan


kwalitas makanan yang ia makan dan memberimu pakaian seperti kwalitas
yang ia pakai, tidak menampar wajahmu, dan tidak membentakmu (Makarim
Al-Akhlaq:218)

Rasulullah saw juga bersabda:

Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya sama dengan orang


yang pergi berperang di jalan Allah.. (Makarim Al-Akhlaq:218)

Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak memberi nafkah kepada mereka


yang menjadi tanggung jawabnya. (Makarim Al-Akhlaq:218)

6. Suami harus memuliakan dan bersikap lemah lembut

7. Suami harus memaafkan kesalahannya


Cucu Rasulullah saw Imam Ali Zainal Abidin (sa) berkata:

Adapun hak isteri, ketahuilah sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah


menjadikan untukmu dia sebagai sumber sakinah dan kasih sayang. Maka,
hendaknya kau sadari hal itu sebagai nikmat dari Allah yang harus kau
muliakan dan bersikap lembut padanya, walaupun hakmu atasnya lebih wajib
baginya. Karena ia adalah keluargamu Engkau wajib menyayanginya,
memberi makan, memberi pakaian, dan memaafkan kesalahannya.

MENGHINDARI PERTIKAIAN
Rasulullah saw bersabda:

Laki-laki yang terbaik dari umatku adalah orang yang tidak menindas
keluarganya, menyayangi dan tidak berlaku zalim pada mereka. (Makarim Al-
Akhlaq:216-217)
Barangsiapa yang bersabar atas perlakuan buruk isterinya, Allah akan
memberinya pahala seperti yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang
tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang berat. (Makarim Al-
Akhlaq:213)
Barangsiapa yang menampar pipi isterinya satu kali, Allah akan
memerintahkan malaikat penjaga neraka untuk membalas tamparan itu
dengan tujuh puluh kali tamparan di neraka jahanam. (Mustadrak Al- Wasail
2:550)
Isteri tidak boleh memancing emosi suaminya, Rasulullah saw bersabda:
Isteri yang memaksa suaminya untuk memberikan nafkah di luar batas
kemampuannya, tidak akan diterima Allah swt amal perbuatannya sampai ia
bertaubat dan meminta nafkah semampu suaminya. (Makarim Al-Akhlaq:
202)
Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang sahabat mendatangi Rasulullah
dan berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki seorang isteri yang selalu
menyambutku ketika aku datang dan mengantarku saat aku keluar rumah.
Jika ia melihatku termenung, ia sering menyapaku dengan mengatakan: Ada
apa denganmu? Apa yang kau risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan,
ketahuilah bahwa rizkimu ada di tangan Allah. Tapi jika yang kau risaukan
adalah urusan akhirat, semoga Allah menambah rasa risaumu.

Setelah mendengar cerita sahabatnya Rasulullah saw bersabda:


Sampaikan kabar gembira kepadanya tentang surga yang sedang
menunggunya! Dan katakan padanya, bahwa ia termasuk salah satu pekerja
Allah. Allah swt mencatat baginya setiap hari pahala tujuh puluh syuhada.
Kisah ini terdapat dalam kitab Makarimul Akhlaq: 200.
BIMBINGAN RASULULLAH DALAM KEHiDUPAN BERUMAH TANGGA
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan
yang baik) yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup
berumah tangga agar tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda
beliau shallallahu alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni dengan
perbuatan/contoh yang beliau shalallahu alaihi wasallam lakukan.
Diantaranya adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senantiasa
menghasung seorang suami dan isteri untuk saling taawun (tolong menolong,
bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling
menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan,
sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam:
Nasehatilah isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya

para wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling
bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika
kalian (para suami) keras dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti
kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya (yakni tidak
membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri (para
wanita) dengan cara yang baik. (Muttafaqun alaihi. Hadits shohih, dari
shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Dalam hadits tersebut, kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam membimbing para suami untuk senantiasa mendidik dan
menasehati isteri-isteri mereka dengan cara yang baik, lembut dan terus-
menerus atau berkesinambungan dalam menasehatinya. Hal ini ditunjukkan
dengan sabda beliau shallallahu alaihi wasallam:
yakni jika kalian para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka
mereka tetap dalam keadaan bengkok,
artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru. Karena memang wanita
itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai sifat
kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana
disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan
bagi seorang isteri untuk memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara
yang baik pula, karena nasehat sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi
siapa saja yang mampu hendaklah dilakukan. Allah subhanahu wataala
berfirman (artinya):

Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat

menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al Ashr: 3)


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Agama itu nasehat. (HR. Muslim no. 55)

Maka sebuah rumah tangga akan tetap kokoh dan akan meraih suatu
kehidupan yang sakinah, insya Allah, dengan adanya sikap saling menasehati
dalam kebaikan dan ketakwaan.
8. Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah tindakan yang
dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang
berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan
hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
a. Lingkup
Yang merupakan lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan
pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau
orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau
korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu
rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga. Tidak semua
tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-
nutupi dengan alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya
sistem hukum yang berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan
masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta
menindak pelakunya.
b. Forms of Domestic Violence
Kekerasan fisik
Cedera berat
1. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
2. Pingsan
3. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
4. Kehilangan salah satu panca indera.
5. Mendapat cacat.
6. Menderita sakit lumpuh.
7. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
8. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
9. Kematian korban.
10. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
11. Cedera ringan
12. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
13. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan berat.
Kekerasan psikis
Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal
berikut:
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau
disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau
menahun.
2. Gangguan stres pasca trauma.
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa
indikasi medis)
4. Depresi berat atau destruksi diri
5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti
skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
6. Bunuh diri
Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual
dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
1. Ketakutan dan perasaan terteror
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak
3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
5. Fobia atau depresi temporer
Kekerasan seksual
Kekerasan seksual berat, berupa:
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang
menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan
atau menyakitkan.
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan
atau tujuan tertentu.
Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau
secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban
bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam
jenis kekerasan seksual berat.
Kekerasan ekonomi
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Penyebab KDRT
Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara Masyarakat
menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus
kuat, berani serta tanpa ampun KDRT dianggap bukan sebagai
permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa
laki-laki boleh menguasai perempuan
Upaya pemenuhan hak-hak korban KDRT
UU ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman
hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman
maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda
terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban,
bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum
sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat
fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan
pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban,
untuk itu, perlu upaya strategis di luar diri korban guna mendukung dan
memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus
KDRT yang menimpa
9. Daftar Pustaka
- Nasution, Lahmudin. Akhlak Mahmudah Kepada Orang Tua. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. Cet. 1. 2001
- Ritonga, A. Rahman.Berbuat baik kepada Orang Tua. Surabaya: Amalia.
2005
- Djatnika Racmat, Sistem etika Islami (Akhlak Mulia), tt. Hlm. 226
- Muhammad Alwi al-Maliki, Etika Islam tentang Sistem Keluarga,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 26
- Yunahar, Loc. Cit. hlm. 163.
- Muhammad Ali al-Hasyimi, Musli Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2004), hlm. 150.
- Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1992), hlm. 98.
- Yunahar, Op. Cit., hlm. 2
- Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989), Jilid III, hlm.58
- Ibrahim Anis, Al-Mujam al-Wasith, (Kairo: Dar al maarif, 1972), hlm. 202.
- Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Dawah (Baghdad: Jamiyyah al-Amani,
1976), hlm. 75.
- Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992),
hlm. 9.
- 9Hamzah Yaqub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), hlm. 13
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga

Anda mungkin juga menyukai