Anda di halaman 1dari 15

FATWA MUI TENTANG PERNIKAHAN DINI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Fatwa dan Yurisprudensi Hukum Keluarga

Dosen Pengampu:
Zayad Abd. Rahman, M.HI

Disusun Oleh:

1. Moch. Salsadilla Deva Putra (931104217)


2. Nur Cahyati (931105917)
3. Dafi Ayu Wulan Sari (931106417)
4. Muhamad Chamdan Lutfi (931110217)
5. Umi Lativah (931110517)

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSIYAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Fatwa Mui Tentang Pernikahan Dini”.

Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada pemimpin besar dan
juga suri tauladan bagi manusia, Nabi Muhammad SAW karena dengan ajaran yang
beliau bawa mampu mengantarkan kita untuk mencapai kebahagiaan dunia dan juga
akhirat.

Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua


pihak yang telah menjadi sumber dari penyusunan makalah sehingga dapat
diselesaikan sesuai dengan waktunya.    

Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan bagi kita semua. Aamiin ya rabbal
aalamiin.

Kediri, 22 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar..................................................................................................ii

Daftar Isi...........................................................................................................iii

BAB I: PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan....................................................................................2

BAB II: PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Istinbath Hukum Fatwa MUI Tentang Pernikahan Dini.............................3


B. Kritik...........................................................................................................9

BAB III: PENUTUP.........................................................................................11

A. Kesimpulan.................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan dini banyak terjadi dari dahulu sampai sekarang. Kebanyakan
para pelaku pernikahan dini tersebut adalah remaja desa yang memiliki tingkat
pendidikan kurang. Remaja desa kebanyakan malu untuk menikah pada umur 20
tahun keatas. Anggapan remaja desa lebih memungkinkan untuk menikah diusia
muda karena disana ada anggapan atau mitos bahwa perempuan yang berumur
20 tahun keatas belum menikah berarti “Perawan Tua”. Persoalan mendasar dari
seorang anak perempuan yaitu ketika dia memasuki usia dewasa, banyak orang
tua menginginkan anaknya untuk tidak menjadi perawan tua. Menjadi perawan
tua bagi kebanyakan masyarakat dianggap sebagai bentuk kekurangan yang
terjadi pada diri perempuan. Untuk itu, dalam bayangan ketakutan yang tidak
beralasan banyak orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda. Kondisi
itulah yang menjadikan timbulnya persepsi bahwa remaja desa akan lebih dulu
menikah dari pada remaja kota. Anggapan-anggapan tersebut muncul karena
kurangnya pengetahuan dari masyarakat mengenai pentingnya pendidikan bagi
remaja.
Pernikahan usia dini akan berdampak pada kualitas anak, keluarga,
keharmonisan keluarga dan perceraian. Karena pada masa tersebut, ego remaja
masih tinggi.Dilihat dari aspek pendidikan, remaja Di Desa Tanjung Kecamatan
Pegantenan Kabupaten Pamekasan mayoritas lulusan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebanyakan dari mereka
tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dikarenakan faktor sosial budaya
dan tingkat pendidikan rata-rata orang tua mereka juga rendah, sehingga kurang
mendukung anak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menurut hokum Islam, seorang anak dikatakan dewasa apabila telah baligh.
Dalam kaca mata agama, pernikahan di usia dini ialah pernikahan yang
dilakukan oleh orang yang belum baligh. Kapan dan pada usia berapa seorang
anak akan mengalami baligh tidak dapat ditentukan dan dipastikan pada usia
berapa.
Terkait batas usia perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam tidak
memberikan mengenai batasan usia minimal maupun usia maksimal suatu
perkawinan. Begitupun hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III tahun
2009 menyatakan bahwa Dalam literature fiqh Islam, tidak terdapat ketentuan
secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan, baik batasan minimal maupun
batasan usia maksimal. Walaupun demikian hikma Dalam pernikahan adalah
menciptakan keluarga sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan dan
hal ini bisa tercapai dalam usia dimana calon mempelai telah sempurna akal
pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi. Di dalam makalah ini akan di
bahas mengenai istinbath hukum fatwa mui tentang pernikahan dini.
B. Rumusan Masalah
1. Istinbath Hukum Fatwa MUI Tentang Pernikahan Dini
2. Kritik
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana istinbath hukum fatwa MUI tentang
pernikahan dini
2. Untuk memberikan kritikan atau pendapat mahasiswa mengenai fatwa MUI
tentang pernikahan dini

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Metode Istinbah Hukum Fatwa MUI tentang Pernikahan Dini


Permasalahan ini dilatar belakangi oleh munculnya berita pernikahan salah
seorang pengusaha Jawa Tengah dengan gadis yang masih berusia 12 tahun.
Masalah ini semakin muncul ke permukaan menjadi diskusi public mengenai
hhukum pernikahan dini. Banyak pertanyaan dari masyarakat mengenai
perspektif hukum Islam tentang pernikahan dini.1
Dalam pasal 7 ayat (1) UU tentang Perkawinan menegaskan bahwa
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berusia mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai uur 16 tahun”.2
Dalam literature fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit batasan
usia pernikahan, baik batasan usia minimal maupun maksimal. Meskipun
demikian, hikmah tasyiri dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga
sakinah, serta dalam memperoleh keturunan. Hal ini dapat terwujud melalui
penetapan masa usia di mana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya
serta siap melakukan proses reproduksi. 3
Aspek pembaruan metodologis pada beberapa fatwa MUI dianalisis dengan
melihat kerangka metodologis yang digunakan dalam menetapkan fatwa. Hal ini
penting dilakukan untuk upaya pengujian kembali konsistensi MUI
mengaplikasikan system dan prosedur penetapan fatwa berdasarkan pedoman
yang telah ditetapkan berdasarkan ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia
Tahun 2003. Dasar-dasar penetapan fatwa berdasarkan urutan tingkatannya
adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma‘, dan qiyas. Dasar-dasar ini tidak hanya berhenti
sampai di situ tapi juga harus disusuli beberapa pendapat para ulama fuqaha dan
Imam mazhab yang ada dan telah dikaji sebelumnya dengan masalah yang sama.
Menurut Muhammad Atho Mudzhar, dalil-dalil yang digunakan MUI
kebanyakan dimulai berdasarkan ayat al-Qur’an disertai dengan beberapa hadis

1
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Yogyakarta: Lembaga Ladang
Kita, 2015), Hal. 255
2
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010,… Hal. 255
3
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010,… Hal. 255

3
dan kutipan naskah-naskah fkih dalam bahasa Arab, bahkan dalil-dalil menurut
akal (rasional) juga dicantumkan sebagai keterangan pendukung. Akan tetapi,
ada juga beberapa fatwa yang tidak mengikuti prosedur dan mekanisme tersebut
dengan tidak menyebutkan dasar-dasarnya baik yang bersumber dari al-Qur’an
maupun hadis serta dalil dalil lain yang terkait. Keputusannya disebutkan secara
langsung dalam diktum fatwanya. Misalnya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah
(SDSB) I dan II, masalah Vasektomi dan Tubektomi, Bayi Tabung/Inseminasi
Buatan dan Operasi Perubahan/penyempurnaan Kelamin. Dalam konteks hukum
perkawinan, MUI tampaknya berupaya konsisten mengikuti sistem prosedur
yang telah disepakati. Hampir semua fatwa mengenai perkawinan yang dikaji
mengawali kutipannya dengan berdasar pada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis.
Hanya ada satu fatwa yang tidak mengutip baik dari al-Qur’an maupun hadis,
yaitu prosedur pernikahan. Fatwa ini berisi beberapa pernyataan yang
menganjurkan untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
melalui UU No. 1 Tahun 1974. Dalam fatwa ini, MUI menetapkan putusannya
dengan berdasar pada kaedah hukum Islam yang berbunyi :
‫ الخال‬I‫حكم الحاكم إلزام ويرفع‬
“Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan
perbedaan pendapat”.
Perbedaan fatwa ini dengan fatwa lain yang berkenaan dengan perkawinan
terutama dari segi prosedur dan dasar-dasar penetapannya lebih disebabkan pada
muatannya tidak bersifat normatif tetapi deskriptif. Fatwa ini tidak memberikan
hukum baru yang dapat berimplikasi pada keabsahan sebuah perkawinan.
Sedangkan dalam fatwa lainnya yang bersifat normative seluruhnya
mendasarkan putusannya dengan mengutip berbagai dalil baik alQur’an, hadis
maupun naskah fikih.4
Ketentuan Hukum
Oleh karena itu, melalui sidang Ijtima’ Ulama Komisi fatwa se-Indonesia III
tahun 2009, MUI menetapkan beberapa ketentuan hukum, yaitu:5

4
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Yogyakarta: Lembaga Ladang
Kita, 2015), Hal. 175
5
Zainut Tauhid Sa’adi, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Pandangan Akademisi: Peran Fatwa
MUI Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Majelis Ulama Indonesia, 2017), Hal. 641

4
1. Pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan
secara definitive. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat
dan menerima hak (ahliyatul ada’ wa al-wujub), sebagai ketentuan sinn al-
rusd.
2. a. Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat
dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudarat.
b. Kedewasaan usia merupakan salah satu indicator bagi tercapainya tujuan
pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat
serta jaminan keamananbagi kehamilan.
3. Guna merealisasikan kemasslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan
pada standarisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 sebagai pedoman.
Dasar Penetapan
1. Firman Allah SWT An-Nisa ayat 6
‫والَهُ ْم َوال‬II‫ إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم‬I‫ا ْدفَعُوا‬IIَ‫داً ف‬I‫ُش‬ َ I‫وا النِّك‬II‫ ْاليَتامى َحتَّى إِذا بَلَ ُغ‬I‫َوا ْبتَلُوا‬
ْ ‫تُ ْم ِم ْنهُ ْم ر‬I‫إِ ْن آن َْس‬Iَ‫اح ف‬I
ْ‫ل‬II‫يراً فَ ْليَأْ ُك‬IIِ‫انَ فَق‬II‫ف َو َم ْن ك‬ ْ ِ‫تَ ْعف‬I‫ا فَ ْليَ ْس‬IIًّ‫انَ َغنِي‬II‫رُوا َو َم ْن ك‬Iَ‫ أَ ْن يَ ْكب‬Iً‫دارا‬IIِ‫ َوب‬Iً‫رافا‬I‫ا إِ ْس‬II‫تَأْ ُكلُوه‬
(٦ )ً‫م إِلَ ْي ِه ْم أَ ْموالَهُ ْم فَأ َ ْش ِهدُوا َعلَ ْي ِه ْم َو َكفى بِاهَّلل ِ َح ِسيبا‬Iُْ‫ُوف فَإِذا َدفَ ْعت‬
ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan
janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah
ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa
yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu).”
Yakni mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang
keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui
bahwa anak itu dapat dipercayai.6

6
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Yogyakarta: Lembaga Ladang
Kita, 2015), Hal. 257

5
2. Firman Allah SWT QS. At-Thalaq ayat 4
ْ ‫م فَ ِع َّدتُه َُّن ثَالثَةُ أَ ْشه ٍُر َوالالئِي لَ ْم يَ ِح‬Iُْ‫م إِ ِن ارْ تَ ْبت‬Iْ ‫يض ِم ْن نِ َسائِ ُك‬
َ‫ن‬I ‫ض‬ ِ ‫َوالالئِي يَئِ ْسنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
(٤ )‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ ِم ْن أَ ْم ِر ِه يُ ْسرًا‬ َ َ‫والت األحْ َما ِل أَ َجلُه َُّن أَ ْن ي‬ُ‫َوأ‬
ِ َّ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن َو َم ْن يَت‬ ُ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya)
maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.”
3. Firman Allah SWT An-Nur 32
‫را َء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِم ْن‬I َّ ‫ا َمى ِم ْن ُك ْم َو‬Iَ‫ األي‬I‫َوأَ ْن ِكحُوا‬
َ َ‫ فُق‬I‫وا‬Iُ‫م إِ ْن يَ ُكون‬Iْ ‫ائِ ُك‬I‫ا ِد ُك ْم َوإِ َم‬Iَ‫الِ ِحينَ ِم ْن ِعب‬I‫الص‬
(٣٢) ‫فَضْ لِ ِه َوهَّللا ُ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiri di antara kalian, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki
dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”7
4. Hadits Nabi SAW dalam Shahih Muslim

ٍ ‫ َّدثَنَا ابْنُ نُ َمي‬I‫رْ َوةَ ح و َح‬Iُ‫ ِام ْب ِن ع‬I‫ةَ ع َْن ِه َش‬Iَ‫اوي‬


‫ر‬Iْ ِ ‫و ُم َع‬Iُ‫ا أَب‬Iَ‫ َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ يَحْ يَى أَ ْخبَ َرن‬I‫و َح‬
ْ َ‫َواللَّ ْفظُ لَهُ َح َّدثَنَا َع ْب َدةُ هُ َو ابْنُ ُسلَ ْي َمانَ ع َْن ِه َش ٍام ع َْن أَبِي ِه ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬
‫ َز َّو َجنِي النَّبِ ُّي‬Iَ‫ت ت‬
َ‫ْع ِسنِين‬ ُ ‫ت ِسنِينَ َوبَنَى بِي َوأَنَا بِ ْن‬
ِ ‫ت تِس‬ ُ ‫م َوأَنَا بِ ْن‬Iَ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
ِّ ‫ت ِس‬ َ
(MUSLIM - 2548) : “Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya
telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin 'Urwah.
Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Numair sedangkan lafazhnya dari dia, telah menceritakan kepada kami
'Abdah yaitu Ibnu Sulaiman dari Hisyam dari ayahnya dari 'Aisyah dia
berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku ketika saya
berumur enam tahun, dan beliau memboyongku (membina rumah tangga
denganku) ketika saya berumur sembilan tahun."8
7
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Yogyakarta: Lembaga Ladang
Kita, 2015), Hal. 257
8
Kitab 9 Imam, Lidwa Pusaka i-Software

6
5. Hadits Nabi SAW dalam Shahih Muslim
‫ا‬II‫ دَانِ ُّي َج ِمي ًع‬I‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ يَحْ يَى التَّ ِمي ِم ُّي َوأَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَبِي َش ْيبَةَ َو ُم َح َّم ُد بْنُ ْال َعاَل ِء ْالهَ ْم‬
َ‫ ة‬I‫را ِهي َم ع َْن ع َْلقَ َم‬I ِ ‫ةَ ع َْن اأْل َ ْع َم‬Iَ‫اوي‬
َ I‫ش ع َْن إِ ْب‬ ِ ‫و ُم َع‬IIُ‫اويَةَ َواللَّ ْفظُ لِيَحْ يَى أَ ْخبَ َرنَا أَب‬
ِ ‫ع َْن أَبِي ُم َع‬
‫ ِد‬I‫ا َع ْب‬IIَ‫ا أَب‬IIَ‫انُ ي‬II‫هُ ع ُْث َم‬Iَ‫ال ل‬I
َ Iَ‫ت أَ ْم ِشي َم َع َع ْب ِد هَّللا ِ بِ ِمنًى فَلَقِيَهُ ع ُْث َمانُ فَقَا َم َم َعهُ يُ َح ِّدثُهُ فَق‬ ُ ‫قَالَ ُك ْن‬
َ Iَ‫ضى ِم ْن زَ َمانِكَ قَا َل فَق‬
‫ ُد‬I‫ال َع ْب‬I َ ‫ْض َما َم‬ َ ‫اريَةً َشابَّةً لَ َعلَّهَا تُ َذ ِّكرُكَ بَع‬ ِ ‫ك َج‬ َ ‫الرَّحْ َم ِن أَاَل نُ َز ِّو ُج‬
‫ب َم ْن‬ َّ ‫ َر‬I ‫ْش‬
ِ ‫بَا‬I ‫الش‬ َ ‫ا َمع‬IIَ‫م ي‬Iَ َّ‫ل‬I ‫ ِه َو َس‬I‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬I ‫ص‬
َ ِ ‫و ُل هَّللا‬I ‫ا َر ُس‬IIَ‫ال لَن‬I َ Iَ‫ ْد ق‬I َ‫هَّللا ِ لَئِ ْن قُ ْلتَ َذاكَ لَق‬
ِ ْ‫ر‬IIَ‫نُ لِ ْلف‬I‫ص‬
‫ ِه‬I‫تَ ِط ْع فَ َعلَ ْي‬I‫ج َو َم ْن لَ ْم يَ ْس‬ َ ْ‫ ِر َوأَح‬I‫ص‬ َ َ‫ج فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِ ْلب‬Iْ ‫ع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّو‬
Iَ ‫ا ْستَطَا‬
‫را ِهي َم‬Iَ I‫ش ع َْن إِ ْب‬ِ ‫ ٌر ع َْن اأْل َ ْع َم‬I‫ َّدثَنَا َج ِري‬I‫ ْيبَةَ َح‬I‫م فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء َح َّدثَنَا ع ُْث َمانُ بْنُ أَبِي َش‬Iِ ْ‫صو‬
َّ ‫بِال‬
َ َ‫د بِ ِمنًى إِ ْذ لَقِيَهُ ع ُْث َمانُ بْنُ َعفَّانَ فَق‬Iٍ ‫ال إِنِّي أَل َ ْم ِشي َم َع َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو‬
‫ال هَلُ َّم‬ َ َ‫ع َْن ع َْلقَ َمةَ ق‬
‫ال يَا‬َ ‫ال لِي تَ َع‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫اجةٌ ق‬ َ ‫ت لَهُ َح‬ْ ‫يَا أَبَا َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن قَا َل فَا ْست َْخاَل هُ فَلَ َّما َرأَى َع ْب ُد هَّللا ِ أَ ْن لَ ْي َس‬

ِ ‫ُك يَا أَبَا َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن َج‬


‫ ُع‬I‫ رًا لَ َعلَّهُ يَرْ ِج‬I‫ةً بِ ْك‬I َ‫اري‬ Iَ ‫ال لَهُ ع ُْث َمانُ أَاَل نُ َز ِّوج‬
َ َ‫ت فَق‬ُ ‫ع َْلقَ َمةُ قَا َل فَ ِج ْئ‬

ِ ‫ث أَبِي ُم َع‬
َ‫اويَة‬ ِ ‫إِلَ ْيكَ ِم ْن نَ ْف ِسكَ َما ُك ْنتَ تَ ْعهَ ُد فَقَا َل َع ْب ُد هَّللا ِ لَئِ ْن قُ ْلتَ َذاكَ فَ َذ َك َر بِ ِم ْث ِل َح ِدي‬
(MUSLIM - 2485) : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At
Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al Ala` Al
Hamdani semuanya dari Abu Mu'wiyah -lafazh dari Yahya - telah
mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Ibrahim
dari 'Alqamah ia berkata; Aku pernah berjalan bersama Abdullah di Mina,
lalu ia dijumpai oleh Utsman. Maka ia pun berdiri bersamanya dan
menceritakan hadits padanya. Utsman berkata, "Wahai Abu Abdurrahman,
maukah Anda kami nikahkan dengan seorang budak wanita yang masih
gadis, sehingga ia dapat mengingatkan masa lalumu." Abdullah berkata;
Jika Anda berkata seperti itu, maka sungguh, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam telah bersabda kepada kami: "Wahai para pemuda, siapa di
antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menghidupi rumah
tangga), menikahlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu
menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum
mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan
meredakan hawa nafsu." Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu
Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A'masy dari Ibrahim
dari Alqamah ia berkata; Aku pernah berjalan bersama Abdullah bin
Mas'ud di Mina. Tiba-tiba Utsman bin Affan menemuinya dan berkata;
Kemarilah wahai Abu Abdurrahman. Utsman lalu mengajaknya berbicara

7
empat mata. Dan ketika Abdullah melihat tidak ada lagi kepentingan lain, ia
memanggilku, "Kemarilah ya Alqamah." Maka aku pun segera datang.
Kemudian Utsman berkata kepada Abdullah, "Wahai Abu Abdurrahman,
maukah Anda kami nikahkan dengan seorang budak wanita yang masih
gadis, sehingga kesemangatanmu kembali lagi seperti dulu?" Abdullah
menjawab, "Jika Anda berkata demikian…" Maka ia pun menyebutkan
hadits yang serupa dengan haditsnya Abu Mu'awiyah.”9
6. Kaidah fikih dalam Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izzuddin
Abd al-Salam Jilid 1 halaman 51:
‫ه‬I‫ائل فمن وفق‬II‫ل الوس‬I‫د هي أفض‬I‫ل المقاص‬I‫يلة إلى أفض‬I‫الو س‬II‫للوسائل أحكام المقاصد ف‬
I‫وف‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII‫للوق‬
‫على ترتيب المصالح عرف فاضلها من مفضولها‬
“hukum sarana sebagaimana hukum maksud yang dituju. Sarana menuju
maksuh yang paling utama merupakan sarana yang paling utama.
Barangsiapa
yang diberikan karunia Allah untuk menentukan urutan kemaslahatan
niscaya ia
tahu hal yang lebih utama.”10
7. Pandangan Jumhur Fuqaha, yang membolehkan pemikiran usia dini.11
8. Pendapat Ibn Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, sebagaimana disebutkan
dalam Fath al-Bari juz 9, halaman 237 yang menyatakan bahwa pernikahan
usia dini hukumnya terlarang, dan menyatakan bahwa praktek nikah Nabi
dengan Aisyah adalah sifat kekhususan Nabi.12
9. Pendapat Ibn Hazm yang memilah antara pernikahan anak lelaki kecil
dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil
oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan pernikahan anak lelaki yang kecil
dilarang..13
9
Kitab 9 Imam, Lidwa Pusaka i-Software
10
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Yogyakarta: Lembaga Ladang
Kita, 2015), Hal. 259
11
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010,… Hal. 259
12
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010,… Hal. 259
13
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010,… Hal. 260

8
B. Kritik
Menyikapi masalah mengenai pernikahan dini, jika mengacu kepada kaidah-
kaidah hukum Islam, jika terjadi dua kemashalatan. maka kita dituntut untuk
menimbang atau
menakar mana maslahat yang lebih baik atau utama untuk dilaksanakan. Kaidah
tersebut jika dikaitkan dengan usia pernikahan dini. Maka nampaknya bersifat
individual relatif. Apabila ia menikah di usia muda mampu mengarungi bahtera
rumah tangga sampai hari tua bernilai maka itulah yang terbaik. Sebaliknya jika
dengan menunda pernikahan sampai usia matang, mengandung nilai positif dan
mampu menahan diri dari gelimangan dosa, maka itulah yang
terbaik.Pernikahan anak dibawah umur masih menjadi kontroversi di tengah
masyarakat. Persoalan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara
pihak-pihak yang terkait dalam hal menyikapi pernikahan dini. Pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dapat menjadi penengah diantara
kelompok yang berbeda pendapat dan mampu menegakkan regulasi terkait
pernikahan anak dibawah umur. Sinergi tersebut mampu mengurangi agar
pernikahan anak dibawah umur tidak marak lagi. Ditinjau dari sudut anak, maka
anak sebagai generasi muda penerus dan pelanjut sejarah, merupakan potensi
dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, karena anak modal dalam
pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan
hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan
dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah
sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan system terhadap anak sebagai
kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau dibawah umur (UU No.
23 Tahun 2002). Oleh karena itu fenomena kematian ibu muda maupun bayi,
dan keretakan rumah tangga, atau lebih khusus gagalnya perkawinan
penyebabnya adalah pernikahan yang terlalu dini. Perkawinan yang belum
mampu mengemban rumah tangga bahagia. Jika perkawinan hanya merupakan
tuntutan agama, secara nyata telah membawa perkawinan ke dalam bentuk
plaksanaan agama yang kurang memperhatikan sisi baik dan buruk, dimana
perkawinan diartikan sekedar sebagai “lembaga pengesahan” hasrat biologis

9
manusia. Oleh karena itu, banyak perkawinan atau kehidupan rumah tangga di
Indonesia berlangsung di bawah mentalitas yang salah.
Untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia dini yang berdampak pada
hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan, seharusnya
pemerintah diminta untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1
tentang perkawinan. Selain itu pemerintah, ulama dan masyarakat diminta untuk
memberikan sosialisasi tentang hikmah perkawinan dan menyiapkan calon
mempelai, baik laki-laki maupun perempuan. Ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan fikih Islam mengenai
pernikahan dan tidak sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan perlu untuk disinkronasikan.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fatwa pernikahan usia dini ditetapkan sebagai perkawinan yang sah tapi menjadi
haram ketika ada mudharrah. Keabsahan pernikahan ini didasarkan pada konsep-
konsep ulama klasik yang menjadikan ukuran keabsahan pernikahan itu
bertumpu pada terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Sedangkan dasar
keharamannya didasarkan selain pada metode siyāsah syar’iyyah juga pada
konsep-konsep metodologis yang dikembangkan ulama modern yang
menjadikan ukuran keharaman pernikahan bertumpu pada nilai-nilai
kemaslahatan dan mudharrah. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan fatwa MUI mengenai perkawinan lebih dominan dipengaruhi oleh
factor sosial dan budaya. Secara sosiologis, fatwa ini dipengaruhi oleh kondisi
sosial masyarakat. Mengidentifkasi aspek kemaslahatan atau kemudharatan
dalam sebuah lembaga perkawinan akan dapat diketahui dan dipahami melalui
analisa terhadap fenomenanya yang muncul dalam masyarakat. Secara budaya,
fatwa-fatwa ini ditetapkan oleh sekelompok ulama yang memiliki keberagaman
dan tingkat pendidikan, wawasan, pengalaman dan keilmuan yang berbedabeda.
Ada pula ulama tradisional yang cenderung mengikuti konsepkonsep lama dan
berupaya mengakomodir perubahan yang ada dan ada ulama modern yang
cenderung melakukan penafsiran baru terhadap nas atau teks untuk disesuaikan
dengan perkembangan zaman.

11
DAFTAR PUSTAKA

Kitab 9 Imam, Lidwa Pusaka i-Software


Rahmawati. Dinamika Pemikiran Ulama Dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam
Di Indonesia: Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010.
(Yogyakarta: Lembaga Ladang Kita, 2015).
Sa’adi, Zainut Tauhid. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Pandangan Akademisi: Peran
Fatwa MUI Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. (Majelis Ulama Indonesia,
2017).

12

Anda mungkin juga menyukai