Anda di halaman 1dari 13

Retorika Pendidikan Indonesia

Ditulis oleh hafidzi di/pada Oktober 25, 2007

Prolog

Dalam pergaulan Orang tidak dilihat Pangkat, gelar, jabatan dan kedudukannnya
melainkan apa yang orang tersebut lakukan sahabat, Baikkah perbuataannya?, burukkah
perbuataannya? atau terhinakah perbuataannya?.Jangan dikira dengan menjadi sarjana
diriku bangga, bukan sahabat , justru dengan menjadi doktor di bidangku sejuta tanggung
jawab menanti di pundakku , sejuta godaan juga di hadapannku .Seandainya aku boleh
memilih dahulu aku akan menjadi manusia biasa dengan title biasa dari pada menjadi
sarjana . Manusia akan merasa kurang dan kurang ketika sebuah harapan telah di capai.
Harapan itulah yang membuat ambisi menjadi sebuah Kristal yang menggumpal ,
harapan pulalah yang menjadikan manusia lebih Tendesius untuk kepastian . Dalam hal
ini saya pribadi sangat respek dengan anda di usia masih muda bisa menggungkapkan
sebuah konsep, yang benar-benar menuntut saya untuk mengimbangi kecepatan anda
dalam bertindak. Akurasi anda dalam menganalisa. Marilah kita bedah Konsep Retorika
Pendidikan Indonesia untuk kita terapkan dalam dunia kecil kita Negeri Dongeng
nantinya dunia yang dimana jauh dari rasa iri dengki, kesombongan yang menerpa
manusia ketika menerima sebuah

jabatan. Konsep ini tidak membutuhkan manusia yang pintar, sombong, dengki, iri, dan
seluruh ketamakaan manusia lainnya, melainkan konsep untuk tetap rendah, mawas dan
memahami serta mengalirkan hidup menuju Ketuhanan. Saduran dari pendapat
Dr.James Foo ,MM, MBA ,ph.D

A. Karakter Manusia BANGSA INDONESIA

SIAPA bilang bangsa kita tidak beragam. Dominasi program lawak di televisi
menunjukkan,bangsa kita gemar membanyol. Ketika dunia berlomba mengejar inventor
hi-tech yang naik pesat, tingkat partisipasi korupsi kita-menurut koran-sudah sampai
kelurahan. Bahkan sudah pula merambah dunia pendidikan di Indonesia . yang lebih
membanyolkan diri dengan entengnya prof - prof di Indonesia mengatakan itu hal yang
biasa terjadi di masa tranformasi dari masa reformasi . kalau hal itu biasa lantas yang
mana akan menjadi luar biasa ? sulit bukan menjawab pertanyaan tersebut. tapi tidak
perlu bingung, karena itulah karakter bangsa kita.

Seperti yang kita ketahui, sudah sekian puluh tahun kita rajin memelihara wabah demam
berdarah, misalnya. Kocaknya, keluarga korban demam berdarah yang tak tertolong
masih ada yang tidak gusar. Padahal, bagi seorang rakyat Belanda yang knalpot mobilnya
rusak gara-gara pemerintah membiarkan jalan jeglok saja mencak- mencak menuntut
GANTI RUGI . Konyol bukan ? Makanya jangan heran kalo kejadian ini terjadi di
Indonesia, yaa pasti dibiarkan saja oleh pemerintah, tidak ada kerjaan lain kecuali
KORUPSI, dan memperkaya diri.

Mungkin di situ enaknya (maaf) menggembala rakyat Indonesia. Selain rasa humornya
tinggi,mereka susah marah, pandai tersenyum, mudah trenyuh, dan gampang menangis
bahkan dibohongi.

Namun satu hal harus diakui, bangsa kita mudah curiga, sangkaan yang kuat, dan lekas
tersinggung. Kata seorang sosiolog, boleh jadi karena wujud kekocakan karakter biar
miskin asal sombong . Kocaknya,BENCI kepada orangnya, tetapi mau MENERIMA
sumbangannya.

Pernah pula menyaksikan sekian banyak penumpang bus luar kota yang sudi duduk di
lantai bus padahal membayar ongkos penuh. Atau mereka tak marah diturunkan
seenaknya di tengah jalan sebelum tiba ke tujuan dan mereka masih tertawa. Aneh
ngga? ?? Kita mafhum, boleh jadi karena sejak bayi bangsa kita selain rajin diajak
tersenyum, juga belajar pandai tertawa ,ironis sekali , bukan ? katanya banyak Orang
yang merasa sudah berpendidikan tinggi, dengan titel berjubel, tetapi kenapa begitu naf
membiarkan orang bergelantungan di atas bus tanpa AC ? lantas bagaimana layanan
publik Kita? Sudah begitu parahkah hingga Dunia Perguruan Tinggi /Universitas tidak
mampu melakukan riset mengenai bagaimana mengatasai kemacetan lalu lintas yang di
buat sendiri sehingga orang bergelantungan di atas bus umum tanpa layanan yang
memadai ? Cobalah Berpikir wahai???

MELIHAT gejala seperti itu seorang psikolog bilang, Mungkin itu sebabnya mengapa
bangsa kita tergolong tahan banting. Dari muda mereka terbiasa hidup berdampingan
secara damai dengan tekanan, krisis, konflik, dan frustrasi. Daya tahan stresnya menjadi
kokoh. Oleh karena itu, boleh jadi dalam menghadapi tiap kematian; sia-sia, atau mati
konyol anggota keluarga sekalipun, mereka terlihat masih tegar

Sejelek-jelek layanan publik yang pernah dialami masyarakat , masih ada pihak yang
mereka sanjung. Penderitaan dan kesusahan jelas-jelas mereka alami karena human error,
masih disangka Gods decision.Tengok mereka yang bergelantungan di bus kota tiap hari,
tanpa berpendingin merayap dijalan macet, dan macetnya akibat buatan manusia dan ulah
penguasa yang sibuk menjadi Tokoh yang aneh . Atau, beratnya menempuh buruknya
jalan desa, tetapi mereka TABAH menerima. Padahal, setelah lebih dari setengah abad
merdeka, sudah selayaknya semua kesusahan itu tak mereka alami. Namun
kocaknya,bagi mereka, semua itu bukan masalah.
Tampaknya, dalam urusan badan, mereka boleh lelah dan letih, juga boleh nyeri, asal hati
tetap ayem, mereka tak mudah menjadi berang. Asalkan tidak sengaja menusuk hati,
bangsa kita enak diajak bergaul. Turis asing senang datang ke negeri kita bisa jadi salah
satunya karena dalam serba KEKURANGAN BANGSA kita masih bertegur sapa dan
tulus tersenyum. Sutradara film mungkin melihatnya sebagai sebuah puisi. Masih ada
senyuman tulus di balik kegetiran hidup. Bagi setiap filsuf, potret itu juga sebuah
kekocakan hidup.Di negeri orang lain, warga terantuk batu saja sudah berteriak keras.
Kocaknya bangsa kita,meski sudah lama terinjak, mungkin diinjak, masih saja ada
senyum yang tidak dibuat-buat ala Mr Bean.

Bangsa lain mungkin sudah menjerit, bangsa kita MENAHAN rasa perih pedih
kehidupan tanpa mengaduh. Perhatian kecil dari penguasa membuat rakyat sumringah-
nya luar biasa. Apalagi jika sampai bisa membuat mereka kecukupan makan tiap hari.
Kocaknya pula, bangsa kita masih sering takut kepada polisi kendati tidak bersalah.
Masih tetap menaruh hormat kepada pamong, kendati proyek jalan desa dikorupsi dan
sawah dibiarkan puso , yang lebih konyolnya lagi masih menggantungkan harapan besar
untuk bisa menjadi Mahasiswa PTN padahal NEGARA tempat Kita bernaung tidak
memberikan jaminan kepastian apakah anak kita bisa bekerja atau malah jadi
penggangguran intelektual ketika lulus Perguruan Tingi ?

Kita ingin menyetir gejala orang-orang di negara sosialis, yang saking beratnya hidup,
tanpa boleh berontak dan mengaduh sehingga yang muncul ungkapan satir dan gereget
humor sebagai katarsis. Dari situ ada tangkai-tangkai humanisme yang mungkin terpetik.
Kalau di sana, misalnya, tumbuh fenomena sosial Mati Ketawa Cara Rusia , rasanya
bukannya dibuat buat bila di sini ada pula spesies hidup berbangsa dengan kekocakan
karakter Mati Ketawa Cara Indonesia apakah anda mau coba ?

B. Mengurai Benang Kusut Pendidikan

JIKA pelaku Pemogokkan buruh dan mengorganisir rakyat kecil melawan kapitalis
belanda itu lulusan sekolah khusus samin , maka lembaga pendidikan mereka berhasil
menjalankan visi dan misinya:mendidik orang menjadi Seorang Samin yang handal, setia
pada tujuan. Saya tidak berbicara baik- buruk, benar-salah, atau mulia-jahatnya tindakan
tersebut dan cara yang dipilih untuk mencapai tujuan. Saya menilik bagaimana visi-misi
pendidikan diimplementasikan sehingga peserta didik menghidupi dan menjalankannya
secara total dan all out.Yang jelas, proses pendidikan di sekolah Samin telah
menumbuhkan keberanian dan kemauan bertindak lulusannya, yang konyol di mata kita,
tetapi merupakan indikator sukses guru-gurunya. Pembaiatan menjadi semacam wisuda
untuk mengukuhkan keberanian dan kemauan itu. Lembaga-lembaga pendidikan formal
kita, dan lembaga pendidikan umum di mana pun, jelas tidak dimaksudkan untuk
mendidik orang samin . Lembaga-lembaga pendidikan kita memiliki tujuan filsafati
luhur. Saking luhurnya lupa bahwa yang didik adalah masyarakat yang masih perlu di
sadarkan lebih jauh.

Ada proses dan pengukuran. Ada pengukuhan janji dalam wisuda. Namun, tidak sedikit
lulusan dunia pendidikan kita yang tidak menunjukkan keberanian dan kemauan
bertindak menurut tujuan dan nilai-nilai di mana mereka pernah dididik. Dalam arti
terbatas ini, sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan formal telah gagal menjalankan
visi-misinya. Ironisnya, justru kegagalan inilah membedakannya dari pendidikan ala
Samin .Kita telah mematri pendidikan mengemban misi penyadaran (conscientitation)
atau istilahistilah serupa lain, seperti pemerdekaan dan pemanusiaan. Ini misi dasar
mulia. Pendidikan harus membuat orang kian sadar akan jati diri dan asal-usul, dunia dan
lingkungan alam-sosial, serta tanggung jawabnya. Pendek kata, pendidikan dimaksudkan
membawa orang pada kesadaran insani.Sejauh ini tujuan pendidikan kita ada karena
tuntutan normatif sosial. Ia tidak tumbuh bersemai dalam diri insan peserta didik, menjadi
bagian tujuan hidupnya. Proses pendidikan kita tidak membuat peserta didik memahami
ideal di balik tujuan pendidikan.

Tujuan dicapai demi tujuan itu sendiri, sehingga kesediaan berkorban dalam perjuangan
mendekati ideal amatlah kecil, karena jiwa mereka yang terdidik tidak disatukan dengan
tujuan pendidikan itu. Di sinilah letak pentingnya ideologisasi tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan menjadi target sekaligus semangat praksis pendidikan. Pencapaiannya bersifat
imperatif dan dilakukan dengan semacam drilling tujuan, sebagai semangat ideologis
yang harus diwujudkan. Ini perkara metodologi, agar praksis pendidikan tidak
dipisahkan-tidak dialienasikan-dari tujuan pendidikan sendiri.

C. Hak belajar , atau Wajib Belajar ?

Jika diamati dengan saksama, gagasan wajib belajar merupakan suatu absurditas atau
kontradiksi. Pertama, proses belajar tidak mungkin pernah berjalan efektif jika ada suatu
pemaksaan pada diri pembelajar. Gagasan student centeredness atau pendidikan yang
berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan dan mengharuskan pembelajar
menyadari serta bertanggung jawab atas proses belajar yang dijalaninya. Ini didasarkan
pada prinsip bahwa dorongan atau keinginan belajar dari diri sendiri merupakan unsur
utama dalam proses belajar. Kecuali itu, proses belajar yang dipaksakan tidak akan
pernah sustained atau bertahan.

Kedua, wajib belajar tampaknya telah rancu dengan wajib bersekolah. Wajib bersekolah
memang mudah sekali mengamatinya. Seorang siswa atau siswi yang tak pergi ke
sekolah pada saat jam sekolah jelas menyalahi wajib bersekolah. Sangat jelas dan mudah
menentukan seseorang melanggar wajib bersekolah atau tidak. Namun, bagaimana
dengan wajib belajar? Pada sisi yang lain, kita perlu mencatat bahwa seseorang yang
bersekolah belum dapat diartikan sedang belajar.

Jika belajar merupakan suatu kewajiban, indikator apa yang menentukan seseorang lalai
belajar atau tidak? Bagaimana pula operasi pelaksanaan pengamatannya nanti? Betapa
sulitnya mengukur apakah seseorang sedang belajar? Seorang anak yang bermain di
pematang sawah atau tepi pantai mencari ikan apakah sedang tidak belajar? Seorang anak
yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar? Seseorang anak
berumur 10 tahun yang sedang melamun di bawah pohon pada pinggiran sungai pada
pukul 08.00, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajarnya? Memang,
kewajiban bersekolah mungkin dilanggarnya, tetapi kewajiban belajar? Kalau dia
ditanya, dia mungkin menjawab bahwa dia sedang belajar berpikir. Nah, lalu, bagaimana
pula kita dapat menyangkalnya? Nah . Serba bingung serba rancu serba berebut menjadi
dicision maker di dunia pendidikan .

Atau nanti jangan-jangan ketika menteri pendidikan di resuffle oleh persidennya ganti
pula kebijaksanaan dan kurikulumnya dengan dalil menyempurnakaan Kebijaksanaan .
Ironis rakyat lagi yang kena harus beli buku , beli seragam , beli perlengkapan untuk
kurikulum yang baru.

Apa itu yang namanya Sibuk membingungkan diri sendiri?

Oleh karena itu, jelas sekali bahwa wajib belajar merupakan suatu gagasan yang
kontradiktif sekaligus sangat tidak operasional.

JIKA kita ingin menerapkan gagasan student centeredness, kita harus memberikan
tanggung jawab belajar pada siswa. Tentunya ini tidak berarti bahwa kita boleh
membiarkan anak atau murid kita tidak belajar. Justru sebaliknya, kita-guru dan orangtua-
perlu menyadarkan atau mencerahkan anak-anak akan pentingnya belajar bagi kehidupan
mereka. Kita perlu terusmenerus menyadarkan anak-anak atas hak belajarnya. Keluarga
perlu senantiasa berupaya menyuburkan bertumbuh kembangnya motivasi belajar anak-
anak. Kendati demikian, yang paling utama menentukan terjadi atau tidaknya proses
belajar adalah siswa sendiri. Kita, orangtua maupun guru, bukan pelaku utama dalam
proses belajar anakanak kita.

Jika kita sudah sering berwacana gagasan siswa sebagai subyek dalam proses pendidikan,
maka mengembalikan tanggung jawab belajar pada siswa merupakan suatu aktualisasi
dan penerapan gagasan tersebut. Ini juga merupakan realisasi pemberdayaan siswa
melalui proses belajar.Cara pandang di atas sangat sejalan dengan makna belajar sebagai
hak setiap insan untuk mengembangkan dirinya. Jadi, akan lebih tepat jika pemerintah
pusat beserta pemerintah daerah wajib menyediakan program sekolah sembilan tahun
yang terjangkau atau, jika mungkin, gratis bagi warganya. Artinya, pemerintah wajib
untuk menyediakan pendidikan sekolah bagi warganya. Adalah hak warga negara untuk
memanfaatkan penyediaan program pendidikan tersebut. Adalah hak warga negara untuk
belajar dalam program yang disediakan pemerintah. Jangan sampai terjadi kebalikannya,
yakni rakyat berkewajiban belajar sembilan tahun dan negara berhak menyediakan
pendidikan bagi rakyatnya. Kalaulah hal itu terjadi maka Bisa di katakan seperti Bagong
yang jadi raja Vs mbilung yang keblinger . Konyol dan sangat tidak habis di pikir
jadinya.

Belajar merupakan kegiatan yang dapat berjalan efektif melalui institusi formal seperti
sekolah maupun tak formal. Seorang anak belajar tidak hanya di dalam kelas sewaktu
berinteraksi dengan gurunya, melainkan terjadi pula pada saat dia bermain dengan
temannya atau pada saat bekerja membantu orangtuanya menjahit, misalnya. Prinsip
bahwa belajar tidak perlu melalui institusi formal juga harus diyakini pembuat kebijakan
pendidikan nasional. Namun, jika kita melihat kegiatan warga negara melalui kacamata
kekuasaan, yakni dari arah atas ke bawah, maka memang gagasan wajib belajar cocok
dengan nuansa instruksi atau perintah. Belajar perlu diperintah. Mungkin dianggapnya
warga negara tidak mau belajar jika tidak diwajibkan atau rakyat masih tidak tahu bahwa
belajar itu perlu maka perlu di perintah Namun, jika kita ingin memosisikan setiap warga
negara sebagai pelaku utama dalam proses belajar bangsa, maka hak belajar akan jauh
lebih cerdas dan efektif daripada wajib belajar karena rakyatlah yang akhirnya akan
memilih sejauh mana kebijaksanaan yang tepat bagi mereka , bukan pemerintah.

D. Kenapa kita bersekolah ?

Pertanyaan saya diatas adalah sangat mendasar kenapa Kita Bersekolah? Hal diatas
tentunya Lebih Mengacu pada mengapa kita bersekolah dalam artian dan Konteks untuk
bisa baca tulis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa atau bersekolah untuk
sebagai gengsi belaka bahwa di sebut kaum Intelektual ? yang notabene Pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi .

Ada beberapa hal yang membuat saya trenyuh dan prihatin dengan Kondisi yang di
hadapi Kita semua sebagai bagian kecil bangsa Indonesia . Hal tersebut yang menggugah
saya untuk sadar tidak hanya mementingkan Bisnis semata.

1. Sekolah menciptakan Orang Pandai atau Orang yang bijaksana ?


Jika pertanyaan itu di lemparkan ke saya maka jawaban yang akan saya keluarkan adalah
Bagaimana Seorang yang bersekolah mengenal karekteristik dirinya sendiri. Tidak bisa di
pungkiri bahwa yang namanya sebuah pendidikan sangat komunal , akan tetapi komunal
yang bagaimana untuk bisa mencapai tahapan yang di inginkan ? Masih ingat di kepalaku
bagaimana seorang Murid SLTA yang memiliki rangking 1 justru tidak diterima dalam
ujian Pegawai Negeri Sipil, padahal sekolah itu telah menciptakan orang pandai seperti
anak tersebut hingga mendapatkan rangking 1 hingga semua institusi sekolah
menggangapnya sebagai tolak ukur sebagai siswa yang pandai. Tapi ketika berebut
mendaftar sebagai CPNS justru tidak ada prioritas sama sekali untuk mendapatkan
sebuah dispensasi untuk diterima , justru Anak yang tidak bisa apa-apa dalam artian tidak
memiliki Rangking mendapatkan tempat yang sangat layak di pemerintahaan karena
(Kekrabatan} di lingkungannya . Sekali lagi Bangsa ini sudah sangat tidak mengenal
Bahasa symbol sehingga para pemegang kebijaksanaan negeri ini sibuk dengan tokoh
Mbilungnya mereka yang bersikap Samin terhadap rakyatnya sendiri

Dengan kejadian diatas bahwa anak yang pandai tidak mendapatkan tempat di
pemerintahaan atau pegawai negeri atau pegawai instasi lainnya menandakan bahwa anak
yang Pandai sekalipun tidak akan mendapatkan jaminan sebuah pekerjaan yang layak
sesuai dengan prestasinya. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi Sekolah
menciptakan Orang pandai atau orang yang bijaksana ? Lantas buat apa kita sekolah
kalau sekolah tidak ada Sebuah pengharapan yang di kejar , dalam artian percuma wajib
belajar karena ketika belajar dengan seksama dengan sungguh sungguh menjadikan kita
mendapatkan rangking terus tidak mendapatkan sebuah penghargaan terhadap prestasi
yang kita buat ? Konyol bukan ?

Kalau kita menilik lebih jauh sebenarnya yang namanya Sekolah dasar sampai dengan
Sekolah Menengah Umum kan milik pemerintah (Daerah) kenapa harus susah-susah
mencari pegawai negeri sipil dengan membuka pendaftaran di CPNS , kenapa tidak
mensyaratkan YANG BISA MENDAFTAR JADI CPNS ADALAH ANAK YANG
MEMILIKI RANGKING 1-15 Di SETIAP SEKOLAHNYA . Coba kita bayangkan jika
itu disyaratkan maka dengan susah payah pasti anak akan belajar dengan tekun dengan
giat dan rajin untuk mengejar bagaimana mendapatkan rangking sehingga mendapatkan
seterang harapan setelah lulus nantinya.

Ketika penerimaan dan tes pegawai jika ada anak yang tidak diterima itu menjadikan
Warning bagi sekolah yang bersangkutan untuk memacu pendidikannya lebih kencang
lagi untuk mengejar ketertinggalannya. Ironis memang masyarakat masih menganggap
PNS adalah tujuan hidup untuk mengubah nasib, karena keterjaminan masa tua,
keterjaminan pekerjaan keterjaminan Harkat dan martabat disebut priyayi . padahal
rebutan jadi PNS adalah peninggalan Kolonial belanda dalam menciptakan Stagnasi
perbedaan di masyarakat pada jaman itu dimana orang /kaum terpelajar dijadikan
pegawai pemerintahaan kerajaan belanda dan di sejajarkan dengan mereka.

Lantas dengan demikian dogma pemikiran masyarakat berbelok arah untuk menjadi
pegawai negeri sipil. Apa mereka enggak melihat dengan seksama bagaimana Beban
berat pemerintah untuk membiayai aparatur negara yang mulai Terbebani aparaturnya ,
dengan kinerja rendah tetapi masih menggaji , itu menandakan Cost yang berlebihan. Dan
apa mereka juga tidak berfikir sekarang ini untuk biaya pegawainya daerah dituntut
mandiri , sehingga dengan demikian jika tidak ada anggaran untuk itu akan menjadikan
Beban Hutang ? Konyol , gila dan tidak masuk akal. Lantas buat apa sekolah jika negara
saja tidak memberikan sebuah penghargaan atas prestasi anak-anak yang pandai.

Belum lagi bangunan sekolah yang rusak berat lantaran salah dalam
penerapan pembangunan ,setingkat sekolah dasar Inpres saja sudah
hancur dindingnya , lantas bagaimana dulu perencanaan
pembangunannya ? serius untuk membangun atau jangan-jangan
Kontraktor pelaksananya Justru berusahaa Mentogogkan Diri atas
semua kondisi yang di lakukan dahulu , dengan demikian apa tidak semakin parah yah.

2. Kenapa mahal bersekolah di Indonesia ?


Di negara-negara maju pendidikan sudah dipahami sebagai industri jasa yang sangat
prospektif. Sebab itu, investor pun mulai banyak yang secara terbuka berhasrat
menanamkan modalnya untuk bisnis pendidikan. Bahkan, di Australia pendidikan sudah
merupakan sumber devisa nomor tiga dan diharapkan meningkat menjadi nomor dua
beberapa tahun mendatang. Di Indonesia , jangankan pendidikan mau ke wc saja
mahalnya minta ampun , dengan alasan BBM naik lah , biaya kehidupan bertambah lah
dll , sehingga menjadikan Semuanya serba uang . Mahalnya biaya pendidikan di
Indonesia di picu dan dikarenakan pemerintah yang menganggap enteng dunia
pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendapatan negara nya hanya 2 %,
meskipun sudah di paksakan 20 % untuk tahun ini tetap terlambat, anak anak tetap di
tarik biaya untuk sekolah dengan berbagai alasanlah. Imbas dari hal itu Buku-buku cetak
yang seharusnya setiap pak menteri berkuasa hendaknya di sempurnakan, bukan ganti
pak menteri ganti pula Kebijaksanaan yang menjadi motor penggeraknya lantas
bagaimana Kondisi tersebut akan terata dengan baik jika setiap 5 tahun Orang yang
merasa Pintar di Pusdik Diknas merasa perlu mengganti kebijaksanaan terkait dengan
politisasi?.

Di sini pendidikan belum terarah dengan baik , masih jalan di tempat , mereka masih jadi
slogan Asal Lulus , Asal dapat gelar , Asal sudah sekolah. Lantas buat apa ? menambah
angkatan pengangguran Intelektual lagi ujung ujungnya pemerintah juga yang pusing
menciptakan lapangan kerja. Bagaimana mau menciptakan lapangan kerja kalau
pemerintahaannya masih berebut Hegemoni Im the hero, saya yanag terbaik, saya yang
berkuasa. Konyol bukan ? Lebih konyol lagi investor pada lari dari bumi Indonesia
karena hegemoni tersebut , contoh singatnya Kenapa Sony Corpporation lebih senang
memindahkan Core bisnisnya ke Vietnam ? Karena di sana Biaya serba murah termasuk
tenaga kerja yang masih murah , di Indonesia ? Mahal pekerjanya masih suka demo dan
bertingkah . lulusan sarjananya belum mengerti dunia kerja 100 % karena memang tidak
di persiapkan dengan matang. Sangat konyol sekali apa yang dilakukan penguasa dan
aparaturnya , lebih lebih pendidikan nasionalnya .

Di eropa pendidikan adalah Sebuah jendela bathin seseorang untuk melihat kemana arah
tujuan hidupnnya ? Mereka berkreasi dengan arahan dari Pusat litbang setempat untuk
menemukan , meneliti , dan menggali masalah dengan baik. 10 tahun kedepan jika hal di
atas tidak di atasi akan menjadikan Ambruk pondasi negara kita sebenarnya mahalnya
pendidikan Indonesia bisa di atasi jika Pengusahaa besar yang bergabung dalam
konglomerasi menyisihkan 20 % pendapatannya untuk mengabdikan di jalur pendidikan ,
namun itu pun tidak di lakukan sehingga masih mengantungkan harapan besar ke
pemerintah Indonesia sebagai pelaksana.

3. Ramai-ramai Kuliah, Ramai-ramai Cari Kerja


Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan
ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru nyaris memenuhi halaman-
halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi PT untuk menjaring calon
mahasiswa sama gencarnya dengan peningkatan pengangguran lulusan.

Beberapa PT memberikan keringanan biaya, tetapi PT-PT dengan nama


besar memasang biaya masuk puluhan juta rupiah, yang justru dimaknai
tanda kebesaran dan mutu PT bersangkutan.

Maka, para calon mahasiswa ramai-ramai mendaftar kuliah, PT-PT


menerima mereka dengan sukacita, tetapi para pelaku pasar kerja bersiap-
siap menolaknya setelah lulus karena para sarjana tersebut dinilai tidak memiliki cukup
kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja. Dalam pandangan saya, pengangguran lulusan
dan tidak nyambung-nya PT dengan dunia kerja dimulai dari seleksi penerimaan
mahasiswa baru. Akibatnya, seleksi masuk ke sebuah PT semakin lebih ditentukan oleh
kemampuan calon mahasiswa membeli daripada kemampuan intelektualnya. Karena itu,
sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru perlu dibenahi.

Sistem passing grade yang mengandalkan skor rerata ujian masuk sama tidak
memadainya dengan sistem kuota, yang bergantung pada jumlah kursi yang tersedia di
suatu prodi PT. Gabungan sistem passing grade dan sistem kuota mungkin baik, namun
tetap belum menjamin mutu mahasiswa yang diterima.

Di Jerman dan Belanda proses seleksi ke PT telah dimulai dengan penjenjangan di tingkat
sekolah menengah. Saat pendaftaran ke PT, penerimaan mahasiswa baru dilakukan
dengan model gabungan sistem passing grade, kuota dan tes kompetensi dasar logika
bahasa dan logika matematika.
Untuk program tertentu, seperti kedokteran, berlaku seleksi numerus klausus yang sangat
ketat. Hanya 10 persen terpandai lulusan SLTA di tingkat nasional boleh mendaftar. Jika
setelah tes jumlah 10 persen itu masih melebihi kuota, maka diberlakukan lotre. Karena
ketatnya numerus klausus, maka pernah terjadi seorang dokter Indonesia dengan 12 tahun
pengalaman berpraktik di Papua diharuskan menempuh program persamaan selama dua
tahun sebelum diterima dalam program spesialisasi di Belanda.

Mengingat sekolah menengah di Indonesia hanya dua macam, proses seleksi calon
mahasiswa ke PT di Indonesia belum dapat dilakukan mulai jenjang pendidikan
menengah. Karena itu perlu model seleksi lain.Ujian menulis/mengarang dan wawancara
kiranya dapat diterapkan untuk meningkatkan daya seleksi gabungan sistem passing
grade dan kuota. Dari ujian menulis/mengarang dapat diketahui otentisitas, kemampuan
mengembangkan dan mengorganisasikan ide serta penguasaan bahasa yang merupakan
dasar sikap kritis dan daya analitis.Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi
apakah sebenarnya yang isyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan PT? Ini tidak
mudah dijawab. Studi-studi di Inggris dan Skotlandia dalam dekade 1960-1970 (Hunter,
1981), berbagai seminar di Belanda dalam dekade 1980 (Weert, 1989) dan sebuah studi
kasus di Australia di tahun 1990-an (Hart, Bowder, and Watters, 1999) ditujukan untuk
mencari jawaban dari para pencari tenaga kerja atas pertanyaan tersebut.Jawaban yang
diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi
akademik.

Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa vokasional
atau spesialistik mereka mengharapkan suatu prodi di PT. Kualifikasi seperti memiliki
kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para
pengelola PT daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja.Dalam sebuah
survei tahun 2001, mengajukan pertanyaan yang sama kepada para pencari tenaga kerja
pada sektor pendidikan, medis, hukum, perbankan, dan pertambangan di Yogyakarta,
Jakarta, dan Palembang. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari
tenaga kerja di ketiga kota di Indonesia itu dalam hal kualifikasi lulusan PT yang mereka
syaratkan.Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama
penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dan dalam praktik, kualifikasi yang
dinyatakan sebagai paling dicari oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi
kualifikasi yang paling menentukan diterima/tidaknya seorang lulusan PT dalam suatu
pekerjaan.

Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung
jawab,dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling
menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja
sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan.Namun, meskipun
sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK)
sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling
penting,paling dicari, ataupun paling menentukan.

Di sisi lain, reputasi institusi PT yang antara lain diukur dengan status akreditasi prodi
sama sekali tidak masuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari,
ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan PT oleh para pencari tenaga kerja.
Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja mengabaikan bidang studi lulusan PT.
Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank menegaskan, kesesuaian
kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan
diterima/tidaknya seorang lulusan PT. Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia
kerja tersebut penting diperhatikan pengelola PT untuk mengatasi tidak nyambung-nya
PT dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi
mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya,
perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses
pengolahan kompetensi dasar tersebut.

Untuk itu semua, kerjasama PT dan dunia kerja adalah perlu.Yang lebih
konyol dari itu semua adalah parody perguruan tinggi yang berlomba lomba
menjaring lulusan Sekolah menengah umum / Atas untuk masuk ke
perguruan tingginya. Yang membuat saya trenyuh dan sangat tidak habis
pikir adalah sudah tahu perguruan Tinggi tidak layak secara operasional
karena fasilitas kurang memenuhi masih menerima lulusan SLTA/U selayaknya sebuah
bisnis yang penting Untung. Atau jangan jangan ini kah bisnis PT untuk mendapatkan
keuntungan dengan mengkesampingkan misi mulia sebagai institusi pendidikan ?

Lulusan perguruan tinggi yang dihasilkan di Indonesia _+ 250.000-350.000 orang


pertahun. Dari jumlah itu, sekitar 90.000 yang terserap ke sektor formal dan sisanya
menganggur atau bekerja di sektor informal.Hal itu, jelas, menandakan bahwa semakin
banyak sarjana justru tidak mengindikasikan negara semakin makmur.

Justru sebaliknya, semakin banyak sarjana, semakin tinggi pula tingkat pengangguran.
Para sarjana itu bekerja di sektor informal bukan karena keinginan mereka, namun karena
keadaan yang memaksa dan keterbatasan lapangan kerja. Kualitas perguruan tinggi di
Indonesia juga semakin menurun dibandingkan dengan negara-negara Asia lain. Ini dapat
dilihat dari peringkat perguruan tinggi Indonesia yang semakin anjlok setiap tahun. dari
50 perguruan tinggi di Asia, Institut Teknologi Bandung (ITB) menempati peringkat 21,
tahun 2004. Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah
Mada termasuk di urutan belakang. Institut Pertanian Bogor malah tidak masuk
peringkat. Ini ironis. Padahal, agrobisnis merupakan bidang yang paling banyak
menyangkut hajat hidup penduduk kita lulusan perguruan tinggi di Indonesia bukan
merupakan tenaga siap pakai, tetapi siap tahu. Kondisi ini membuat sarjana harus
mendapat pelatihan lagi, idealnya tiga bulan, sebelum masuk ke dunia kerja.

Ironis bukan ? sangat menyedihkan bagiamana Anak anak bangsa kita harus menelan pil
pahit yang tidak seharusnya di telan mereka saat ini , tetapi apa boleh buat pemerintah
telah menggiring Nuansanya ke arah jurang yang salah , ibarat Lokomotif maka
Masinisnya telah menjatuhkan kereta beserta gerbongnya jatuh tersungkur ke dalam
jurang yang lebih dalam.

APAKAH DENGAN BEGITU MASIHKAH BANGGAKAH MENYANDANG


GELAR SARJANA ?

Baik S-1 - Doktor ? bahkan professor ? sedangkan lulusan yang diciptakan tidak siap
pakai tidak siap kerja tidak tahu apa yang harus dilakukan dan terpaksa karena Kuliah ,
karena di terimanya di sana yah harus di sana.Lantas dengan sarjana yang didapatkan apa
sudah bisa membahagiakan anda ? sebuah pertanyaan dasar yang harus di jawab setiap
Insan yang ada di dunia Pendidikan apakah itu yang di cari Gelar tanpa pekerjaan yang
layak ?

Coba kalau semuanya berlaku seperti orang SAMIN , tidak ada rasa malu untuk
mengakui kesalahaanya , kekurangannya dan kejujurannya Tidak ada Arogansi ,
idealisme untuk menjadi yang terdepan karena Lulusan Perguruan Tinggi ternama di
Indonesia. Dalam kamus bisnis saya Lulusan tinggi manapun tidak akan siap pakai,
bahkan jika di bandingkan dengan anak lulusan SD otodidak yang bersifat samin
Mungkin saya akan membayar Jutaan dolar untuk gajinya karena sudah pasti tidak
ambivalen dalam memimpin.

Asumsi orang di Indonesia masih beranggapan bahwa yang namanya Sarjana sudah ahli
di bidangnya , Justru saya katakan Keblinger karena belum tentu yang di kuasai adalah
hal yang benar benar Cumlade di bidangnya. Gelar dan Lulusan tidak ada dalam kamus
perusahaan saya, karena Perusahaan saya mencetak Sarjana tanpa Title dan gelar. Biar
tidak di akui yang jelas kenyataan memang mengatakan dia layak mengapa tidak di sebut
Sarjana? sekali lagi Kembali ke Idiealisme Manusia yang duduk di pendidikan tidak bisa
bersikap samin untuk mengatakan baiknya. Masih bangga dengan Gelar yang di
sandangnya padahal Kesarjanaan yang di sandang belum tentu bisa mendapatkan sebuah
jawaban Kenapa Kita bersekolah sampai Perguruan tinggi jika di perguruan tinggi
ternyata mencetak pengangguran Intelektual?.

UNIVERSITAS
Seharusnya yang namanya Universitas adalah sebuah lembaga dimana didalamnya
terdapat lembaga institusi gelar dan sertifikasi sarjana dan tempat mencetak sarjana harus
mampu menyerap pasar dan keinginan pasar untuk bersaing. Kelemahan Universitas di
Indonesia adalah :

1. Masih rancunya Lembaga Riset yang dimiliki BBPT , LIPI dan Lembaga Riset
Departement dengan Lembaga Riset Universitas . Menurut saya pribadi Harusnya BBPT
atau LIPI di hilangkan dalam artian tenaga Tenaga Risetnya di ganti dari Dosen / tenaga
pengajar dari Universitas sehingga hasil riset tersebut tidak hanya untuk di Tumpuk
dalam perpustakaan saja tetapi sangat Implikatif dengan pengajaran dimana Studi
pengajaran mahasiswa berkembang dengan sendirinya dari riset tersebut , bukannya
Dosen di suruh Kompetensi cari Dana Riset . Sehingga dengan demikian tidak ada lagi
cerita Dosen Mengacu pada satu Buku mata kuliah saja dimana referensi tahun tahun
lama melainkan referensi berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dosen tersebut. hal itu
memungkinkan Lulusan Universitas dan perguruan tinggi Kompetitif sekali.

2.Dengan Hilangnya BPPT/LIPI di ganti menjadi Dewan Riset nasional dengan tenaga
riset seluruh Dosen dari universitas dan perguruan tinggi sehingga yang namanya
Kurikulum Perguruan tinggi tidak Statis tetapi berdasarkan Metode pengembangan riset
tersebut.

3.Masih di perbolehkannya PTN/PTS yang tidak berkualitas secara operasional dan


masih rancunya kurikulum di universitas yang Tumpang tindih sehingga menjadikan
Dunia pendidikan jauh dari dunia kerja.

Tidak ada yang tidak mungkin untuk di lakukan jika kita bisa, Pendidikan adalah cara
mudah dalam regenerasi sebuah kaum , maka untuk melanjutkan komunitas konsep
pendidikan ini di butuhkan pendidikan ala orang samin yang lugu ,polos dan membaca
kenyataan apa adanya.

Terus apakah harus terus menerus demikian??? cobalah berpikir.

Anda mungkin juga menyukai