Anda di halaman 1dari 64

Tentang “Ketololan”

Louis Boshoff
Oleh Reza A.A Wattimena
Apakah anda tahu George Carlin, seorang komedian terkenal asal Amerika
Serikat? Jika belum, coba cari tahu. Gaya komedinya tidak hanya lucu, tetapi juga
amat sangat mendidik. Saya teringat satu perkataannya, “Jangan remehkan
kekuatan orang-orang tolol dalam jumlah besar.”

Satu orang tolol saja sudah menyusahkan banyak orang. Apalagi, jika orang-orang
tolol itu berkumpul, dan menyuarakan ketololannya? Itu pasti menjadi bencana
besar. Walaupun begitu, kita perlu tahu terlebih dahulu, apa itu tolol?
Ketololan adalah kebodohan yang keras kepala. Orang tak sadar, bahwa ia berpikir
dengan pola yang salah, tetapi tetap ngotot merasa benar. Tidak hanya itu, ia
bahkan menjadi kasar terhadap orang lain, guna membela kesalahan berpikirnya.
Inilah ketololan.

Menyimak perdebatan publik di Indonesia beberapa minggu belakangan ini, entah


mengapa, kata ini lalu muncul di kepala saya. Saya tidak lagi bisa berkata-kata.
Gairah menulis juga menurun, karena kerap kali merasa, bahwa tulisan apapun
tetap tak berguna. Walaupun begitu, ada beberapa hal tentang ketololan yang
kiranya bisa dipahami lebih jauh.

Virus Ketololan
Pertama, ketololan itu merusak. Orang-orang yang terjangkit virus ketololan, atau
orang-orang tolol, adalah pencipta konflik dan perang di dalam sejarah manusia.
Mereka bisa saja berpendidikan tinggi. Namun, pikiran mereka lemah, dan sama
sekali tidak kritis, sehingga tak mampu menata hasrat-hasrat agresif yang bercokol
di dalam batinnya. Alhasil, mereka tak mampu menyelesaikan masalah dengan
jalan-jalan damai, lalu kerap jatuh ke dalam konflik.

Dua, ketololan itu membuat semua hal jadi rumit. Orang-orang tolol hidup dengan
semboyan, „Jika bisa sulit, mengapa harus dibuat mudah?“ Orang-orang yang
berurusan dengan birokrasi pemerintah kerap kali mengalami langsung arti dari
semboyan ini. Di banyak negara, birokrasi pemerintahlah yang justru menjadi
penghalang kemajuan, dan pencipta kemiskinan terbesar.

Tiga, ketololan menutup semua jalan dialog. Orang-orang tolol amat sensitif.
Perbedaan pendapat mengancam kepercayaan diri mereka, sehingga mereka
menjadi marah dan kecewa. Jika sudah begitu, mereka dengan mudah menyerang
rekan dialognya dengan kata-kata kasar, atau kekerasan fisik. Ketololan mungkin
merupakan masalah terbesar di politik Indonesia sekarang ini.
Empat, ketololan itu keras kepala. Ia menolak untuk berubah. Di dalamnya
bercokol ketakutan dan kemarahan yang amat dalam. Argumen yang dibangun
dengan akal sehat, serta data-data terbaru, diabaikannya dengan begitu mudah,
sambil terus tenggelam ke dalam arus ketololan yang ada.

Ironisnya, orang-orang tolol ini cenderung menjadi korban dari kepentingan politik
dan ekonomi kotor yang lebih besar. Mereka sering disewa menjadi preman
bayaran untuk menyebarkan rasa takut dan ketidakpastian di dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, mereka juga sering dimintai uang untuk mendukung kepentingan
politik dan ekonomi tertentu yang biasanya bersembunyi di balik slogan-slogan
agama. Memang, jadi orang tolol itu banyak ruginya.

Akar Ketololan
Mengapa orang menjadi tolol? Patut diingat, orang-orang tolol ini bisa amat cerdas
secara akademik. Namun, karena miskin pemikiran kritis dan reflektif, mereka
terjebak di dalam ketololan. Ada beberapa hal yang bisa dipetakan lebih jauh.

Pertama, ketololan berakar pada keenganan untuk belajar. Dunia ini memang
kompleks, apalagi dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sekarang ini.
Orang harus terus belajar dalam hidupnya. Sayangnya, orang-orang tolol ini
merasa minder di hadapan dunia yang kompleks ini, sehingga mereka menolak
untuk membuka diri, dan untuk belajar.

Dua, ketololan berakar dalam pada rasa takut, terutama takut akan perbedaan.
Orang-orang tolol hidup begitu nyaman di dalam kepompong sempit mereka.
Ketika perbedaan muncul, mereka kaget, dan menjadi kasar. Padahal, perbedaan
adalah hakikat kehidupan. Menolak perbedaan berarti juga menolak kehidupan itu
sendiri.

Tiga, ketololan juga berakar pada ketakutan akan perubahan. Tradisi dan identitas
lama terancam oleh perubahan besar yang terjadi di tingkat internasional. Orang-
orang lalu memegang erat identitas lokalnya secara buta, lalu terjebak ke dalam
ketololan. Sama seperti perbedaan, perubahan adalah kehidupan itu sendiri.
Menolak perubahan juga berarti menolak kehidupan.

Ketololan itu merugikan, baik masyarakat secara luas, maupun pribadi yang
terjebak di dalamnya. Berbagai petaka peradaban, mulai dari kemiskinan sampai
dengan perang dunia, disebabkan oleh keputusan yang dibuat oleh orang-orang
tolol. Sudah waktunya, ia dilepas dari kehidupan pribadi maupun bersama kita.
Taruhannya terlalu besar, apalagi di tengah berbagai krisis yang melanda dunia ini,
mulai dari krisis lingkungan, bencana alam terus menerus, korupsi di berbagai
sektor pemerintahan sampai dengan ancaman perang besar antara Cina dan
Amerika Serikat.
Jika kita tidak bisa menawarkan jalan keluar, setidaknya jangan turut memperbesar
masalah yang sudah ada, apalagi menambah masalah baru. Mari kita melepaskan
virus ketololan yang mungkin menjangkiti pikiran kita masing-masing.

Gunakan Akal Sehat


Trauma by Animesh Nandi
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Kita sudah hidup. Namun, kita belum hidup dengan akal sehat. Pikiran kita dijajah
oleh emosi dan tradisi. Kita bahkan tak mampu melihat kemungkinan-
kemungkinan di luar tradisi, baik itu tradisi budaya maupun agama yang
diwariskan kepada kita.

Di dalam hidup, kita juga berpolitik. Sayangnya, kita belum berpolitik dengan akal
sehat. Politik masih dilihat sebagai ajang perebutan kekuasaan dan pengumbaran
kerakusan. Akibatnya, banyak keputusan politik justru merugikan rakyat banyak,
dan menghancurkan dunia politik itu sendiri.
Kita juga hidup dengan agama sebagai warisan. Sayangnya, kita juga belum
beragama dengan akal sehat. Agama masih menjadi selubung untuk kesombongan,
kerakusan dan hasrat-hasrat liar yang bejat. Tidak hanya itu, agama bahkan sering
dijadikan alasan untuk malas berpikir.

Untuk hidup, kita juga perlu bekerja. Namun, sayangnya, kita belum juga bekerja
dengan akal sehat. Kita masih sibuk menjatuhkan lawan, dan bersikap curiga
terhadap kawan. Peningkatan karir pun juga kerap kali bukan karena mutu kerja
yang meningkat, tetapi karena jilat menjilat ataupun tikam tikaman dengan orang
lain.

Hubungan pribadi kita dengan orang lain pun tak dilandasi dengan akal sehat.
Begitu banyak hubungan didasari oleh kebohongan. Pengorbanan untuk orang lain
menjadi kata yang begitu aneh di masa sekarang ini. Orang hanya memikirkan
ambisi pribadinya masing-masing, bahkan ketika ambisi itu menghancurkan
hubungannya dengan orang lain.

Menggunakan akal sehat berarti melihat dari berbagai sudut pandang. Akal sehat
bukanlah cara berpikir yang bisa digunakan untuk mengabdi tujuan-tujuan yang
tak masuk akal, seperti kerakusan, kebohongan dan pengumbaran kerakusan. Akal
sehat justru adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, apakah hidupku sudah
di arah yang tepat, atau belum.
Akal sehat juga perlu digunakan untuk mengembangkan sikap kritis. Sikap kritis
berarti kita berani mempertanyakan cara berpikir maupun cara hidup yang lama.
Hanya dengan keberanian untuk bertanya, perubahan ke arah yang lebih baik bisa
tercipta. Sudah terlalu lama bangsa kita hidup di dalam kebodohan yang disucikan
sebagai tradisi.

Di 2018 dan 2019 ini, akal sehat juga amat penting di dalam membuat keputusan.
Kita tidak lagi bisa mengandalkan tradisi lama untuk membuat keputusan. Kita
juga tidak bisa mengandalkan agama di dalam membuat keputusan, terutama
karena agama kerap kali terjebak oleh kepentingan politik dan ekonomi yang
memecah belah. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan, kecuali nalar sehat di dalam
diri kita sendiri.

Kiranya kita bisa belajar dari Immanuel Kant, pemikir Jerman, tentang penggunaan
akal di dalam hidup bersama (öffentlicher Gebrauch der Vernunft). Ini berarti,
ketika membuat kebijakan terkait dengan hidup bersama, kita tidak lagi mengacu
pada tradisi dan agama secara buta, melainkan berdiskusi dengan menggunakan
nalar sehat untuk sampai pada kesepakatan. Ini merupakan jalan untuk
mewujudkan demokrasi yang sehat di dalam masyarakat majemuk, seperti
Indonesia. Hanya dengan jalan ini, masyarakat majemuk yang adil dan makmur
bisa terwujud.
Maka dari itu, gunakanlah akal sehat anda di dalam hidup. Ini merupakan
pemberian alam yang sudah membantu manusia bertahan hidup selama ratusan
ribu tahun. Jika kita berhenti memakai akal sehat, maka kita akan punah. Jika
Indonesia tidak menggunakan akal sehat, bangsa ini pun akan punah.

Protopia Kesetaraan Gender


Gomez Gonzales-Mallo Ana Maria
Oleh Reza A.A Wattimena
Alam menciptakan hidup ini amat beragam. Mulai dari dasar laut terdalam, sampai
dengan puncak gunung tertinggi, semua dipenuhi kehidupan dalam segala
bentuknya. Keberagaman bukanlah sekedar teori, melainkan kenyataan kehidupan.
Mengingkari keberagaman berarti mengingkari kehidupan.

Perkembangan Kajian Gender


Hal yang sama terjadi dalam soal gender. Pandangan lama menegaskan, bahwa
hanya ada dua jenis gender, yakni pria dan wanita. Pandangan ini lalu dipatahkan,
ketika kajian gender berkembang sebagai ilmu pengetahuan. Gender manusia
merentang jauh lebih dari sekedar pria dan wanita, mulai dari pria yang “sangat
pria” sampai dengan pria yang “sangat wanita”, dan mulai dari wanita yang
“sangat wanita” sampai dengan wanita yang “sangat pria”. Rentangnya amatlah
panjang dan beragam.
Orientasi seksual pun juga menjadi beragam. Pandangan lama mengatakan, bahwa
pria harus bersama wanita. Tidak ada pilihan lain. Penelitian-penelitian kajian
gender menegaskan, bahwa kenyataan tak pernah sesederhana itu. Kenyataan jauh
lebih kaya dan beragam, daripada pandangan lama yang sudah ketinggalan jaman
tersebut.

Kajian gender juga banyak melakukan kritik epistemologis yang amat halus dan
dalam. Menurut para pemikirnya, pola berpikir dan bertutur soal gender pun sudah
mengandung penindasan di dalamnya, yakni penindasan yang berakar pada cara
berpikir lama. Maka, segala bentuk klasifikasi, seperti yang dilakukan di atas, pun
harus dilepas. Gender manusia harus dibiarkan mengalir sealami mungkin sebagai
bagian dari alam.

Tujuannya
Kiranya, ada dua hal yang menjadi tujuan utama kajian gender. Yang pertama
adalah terciptanya masyarakat sadar gender. Dualisme lama pria dan wanita pun
secara perlahan dilepas. Masyarakat menjadi sadar, bahwa kenyataan lebih
beragam, daripada cara berpikir lama yang berkembang di dalam tradisi tentang
pria dan wanita, serta hubungan antar keduanya.

Yang kedua, cita-cita yang lebih tinggi adalah kesetaraan gender. Beragam gender
memiliki hak untuk hidup dan berkembang. Mereka memiliki hak-hak asasi dan
sepenuhnya dilindungi oleh hukum yang ada. Beragam gender itu memiliki peran
sosial yang berbeda, namun setara dalam hubungan satu dengan yang lain.

Kedua hal ini ditantang oleh beragam tradisi, budaya dan agama yang ada.
Perdebatan pun muncul, sering juga berakhir dengan pertengkaran, terutama di
Indonesia. Sebabnya pun beragam, mulai dari ketidaktahuan sampai dengan
ketakutan. Setiap budaya dan agama harus memikirkan soal ini dalam konteks
agama dan budayanya masing-masing.

Protopia
Seperti semua gerakan sosial lainnya, kajian dan gerakan pembebasan gender juga
tidak selalu mulus. Satu langkah kemajuan seringkali dibarengi dengan beberapa
langkah kemunduran. Perjuangannya pun lalu harus mengambil bentuk protopia,
yakni perkembangan tahap demi tahap yang membutuhkan kesabaran dan usaha
bersama secara berkelanjutan. Tidak ada perubahan revolusioner yang besar dan
mendadak.

Ini juga merupakan tanda kedewasaan sebuah bangsa. Bangsa yang dewasa mampu
menghargai segala perbedaan yang muncul dalam kehidupan. Segala bentuk
kehidupan pun bisa berkembang secara utuh, sejauh ia menghargai bentuk-bentuk
kehidupan lainnya. Batasnya adalah hukum negara yang dibuat melalui
kesepakatan yang bebas dan rasional bersama-sama. Apakah Indonesia sudah
menjadi bangsa semacam itu?

Mengapa “Tidak” Perlu Belajar Filsafat?


The Null Device
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, tinggal di Jakarta
Sepulang ke tanah air, saya mencoba memikirkan ulang, apa peran filsafat bagi
perkembangan kehidupan manusia sekarang ini. Memasuki kota Jakarta, suasana
rumit sudah mulai terasa.

Begitu banyak orang sibuk dengan beragam aktivitas, mulai dari berjualan rokok
sampai dengan sekedar duduk menunggu untuk menjemput keluarga tercinta.
Kerumitan ini berbuah kemacetan lalu lintas, terutama ketika orang pergi dan
pulang dari tempat kerja.

Apa peran filsafat untuk mereka? Itu pertanyaan kecil saya.

Apa yang bisa saya sumbangkan melalui filsafat yang saya pelajari di tanah asing
dengan harga darah dan air mata? Atau mungkin, pendekatannya bisa sedikit
dibalik, mengapa orang-orang ini, dan saya, “tidak perlu” belajar filsafat?
Filsafat Tidak Perlu, Jika…
Beberapa ide tercetus di kepala. Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita ingin
hidup ikut arus.

Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita mau sekedar mengikuti kebiasaan
lingkungan sosial kita. Ketika mereka berlari, kita berlari, walaupun arah lari
tersebut menuju jurang penuh nestapa, baik dalam bentuk kehancuran diri kita,
walaupun kehancuran alam.

Kita juga tidak perlu filsafat, jika kita ingin ditipu. Ditipu oleh siapa? Oleh
beragam pihak, yakni mulai dari iklan bujuk rayu penuh kepalsuan, sampai dengan
politikus busuk tanpa kesadaran politik yang sekedar butuh suara di dalam
pemilihan umum.

Kita juga tidak perlu mendalami filsafat, jika kita ingin diadu domba satu sama lain
oleh kepentingan dan kekuasaan di balik layar.
Filsafat juga tidak diperlukan, ketika kita menikmati hidup dalam irasionalitas.
Artinya, kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita tidak perlu memahami rantai
sebab akibat yang membentuk hidup kita sekarang ini.

Ini juga berarti, kita hidup dalam kebodohan. Kita melempar kesalahan ke orang
lain atau justru kepada Tuhan, dan lupa berkaca untuk melihat ke dalam diri kita
sendiri.

Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita senang berpikir kacau balau. Artinya, kita
berpikir tanpa hubungan logis yang jelas, serta dengan mudah menarik kesimpulan
yang salah.

Jika pikiran kita kacau, tindakan kita pun juga kacau. Beragam masalah yang kita
hadapi justru menjadi besar, dan melahirkan masalah-masalah baru.

Untuk orang yang menikmati kekacauan seperti ini, filsafat jelas tidak diperlukan.

Lintas Tradisi
Namun, filsafat yang hanya menekankan pemikiran belaka juga berbahaya. Kita
akhirnya tidak bisa membedakan, mana kenyataan yang sebenarnya, dan mana
yang merupakan ciptaan dari pikiran kita.

Kita sibuk dengan konsep, dan lupa kembali ke kenyataan yang sejatinya tanpa
nama dan tanpa konsep. Jika ini terjadi, kita hidup dalam penderitaan, dan akhirnya
membuat orang lain juga menderita.

Oleh karena itu, kita juga perlu belajar jalan pembebasan di tradisi Timur, yakni
filsafat Zen. Zen membebaskan kita dari beragam konsep yang mengepung kepala
kita.

Zen mengajak kita melihat kenyataan apa adanya, sebelum kenyataan tersebut
dibungkus oleh konsep, penilaian dan analisis yang dibuat pikiran kita. Namun,
jika kita senang hidup dalam ilusi yang berbuah penderitaan, Zen juga tidak
diperlukan.

Percikan pikiran ini lahir dari persentuhan saya dengan kehidupan masyarakat
Indonesia. Ia juga lahir dari upaya saya untuk memahami, siapa diri saya
sebenarnya, tidak hanya dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi
juga sebagai warga semesta yang meliputi jutaan jenis mahluk hidup maupun
benda-benda angkasa lainnya.
Percikan pikiran ini juga lahir dari dorongan batin untuk mencapai pencerahan,
baik bagi diri saya maupun bagi semua mahluk hidup. Jika anda tidak
membutuhkan pencerahan dan kejernihan di dalam hidup anda, anda bisa
melupakan tulisan ini.

Anda tidak perlu filsafat…

Mengembangkan Filsafat Indonesia


Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Cukup lama, saya mengunjungi berbagai kelas filsafat di Eropa. Tentu saja, filsafat
Barat amat kental berkembang di sana. Banyak ahli yang mendalami satu bidang
tertentu di dalam filsafat Barat, misalnya filsafat Yunani kuno atau filsafat Jerman,
lalu mengajar di berbagai universitas. Dengan cara ini, filsafat Barat, atau lebih
tepatnya filsafat Eropa, mampu memelihara dan mengembangkan identitasnya.

Namun, di Eropa, pemahaman tentang filsafat Asia amatlah kurang. Belahan dunia
lainnya, seperti Asia, Amerika, Afrika dan Australia, memang dianggap tidak
menelurkan pemikiran filsafat tertentu. Jika pun ada kuliah ataupun penelitian
filsafat tentang peradaban di luar Eropa, nuansa orientalisme masih amatlah kuat.
Dalam arti ini, orientalisme adalah pandangan yang berusaha memahami
kebudayaan lain dengan menggunakan kaca mata pemikiran Eropa. Pola ini tentu
akan jatuh ke dalam kesalahpahaman.

Lalu, bagaimana dengan filsafat Indonesia? Apakah mungkin Indonesia


mempunyai ajaran filsafat tersendiri? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, kita
perlu memahami arti dari Indonesia dan arti dari filsafat itu sendiri.
Indonesia
Sebagai sebuah bangsa dan tata negara, Indonesia lahir dari penjajahan negara-
negara Eropa, terutama Belanda. Sebelum masa penjajahan, atau masa
kolonialisme, tidak ada yang disebut sebagai Indonesia. Yang ada adalah beragam
kerajaan mandiri dengan budaya dan keunikannya masing-masing. Setelah 1945,
berkat kesamaan nasib hidup penjajahan selama ratusan tahun, lahirlah Indonesia
sebagai sebuah kesadaran, pemahaman, sebagai bangsa dan tata negara (berikutnya
ditambahkan beberapa daerah lainnya).

Pada hemat saya, Indonesia tidak memiliki ajaran filsafat tertentu. Yang dimiliki
oleh Indonesia, sebagai sebuah bangsa-negara yang begitu majemuk, adalah
beragam pandangan dunia (Weltanschauungen) atau alam pikir yang telah ada
serta berkembang selama ribuan tahun. Pandangan dunia ini menjadi bagian dari
budaya, lalu menghasilkan beragam produk budaya, seperti tata nilai, ritual,
pakaian, makanan, pola perilaku dan sebagainya. Inilah yang lebih banyak dikenal
sebagai kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) Indonesia.
Pandangan dunia adalah sekumpulan pemahaman tentang segala hal terkait hidup
pribadi maupun hidup bersama yang tertanam di dalam sebuah kelompok budaya
tertentu, serta menjadi bagian dari identitas mereka. Pandangan dunia bisa
dipahami dari lima titik.

Sistematika Pandangan Dunia


Titik pertama adalah kosmologi. Kosmologi adalah pandangan sebuah kelompok
budaya tentang alam yang mereka tempati, termasuk di dalamnya pandangan
tentang penciptaan semesta, proses terbentuk sampai dengan kehancurannya.
Setiap kelompok budaya memahami alam mereka dengan caranya yang khas,
misalnya pemahaman tentang gunung, sungai, gurun ataupun hutan. Pandangan
semacam ini tersebar begitu banyak dan beragam di berbagai kelompok budaya di
Indonesia.

Titik kedua adalah teologi. Teologi adalah pandangan tentang Tuhan yang dianut
oleh sebuah kelompok budaya tertentu. Teologi biasanya terkait dengan institusi
agama yang telah ada, termasuk di dalamnya nilai-nilai moral, ritual, hirarki dan
tempat fisik. Setiap kelompok budaya, juga di Indonesia, memiliki pemahaman
tentang Tuhan yang khas sesuai dengan keadaan kehidupan mereka.

Titik ketiga adalah aksiologi. Aksiologi adalah pandangan tentang nilai yang
tertanam di dalam kelompok budaya tertentu. Termasuk di dalamnya adalah
pandangan sekaligus penjelasan tentang segala yang dianggap bernilai, seperti
tindakan yang dianggap baik, perkataan yang dianggap baik, perilaku yang
dianggap baik, ajaran yang dianggap baik, dan sebagainya. Aksiologi sebuah
kelompok budaya tertentu mengikat orang-orang di dalamnya ke dalam komunitas
nilai tertentu.

Titik keempat adalah epistemologi, yakni pandangan tentang asal usul pengetahuan
yang ada di dalam suatu kelompok budaya tertentu. Di dalamnya terkandung
penjelasan tentang bagaimana sebuah pengetahuan, misalnya tentang penciptaan
alam semesta, bisa tercipta. Epistemologi kental dengan penjelasan yang berpijak
pada akal budi, tentu sebagaimana kelompok budaya tersebut memahami akal
budi. Disinilah kita bisa memahami bahwa “bernalar” pun tidak merupakan sesuatu
yang absolut dan universal, melainkan tertanam dalam pada pandangan dunia yang
khas dan hidup.

Titik kelima adalah ajaran sosial politik, yakni pandangan tentang bagaimana suatu
kelompok budaya menata hidup bersama, mulai dari struktur masyarakat sampai
dengan pandangan soal kekuasaan. Di dalam ajaran sosial politik ini terdapat pula
upaya sebuah kelompok budaya mengelola konflik yang ada, pembagian sumber
daya ekonomi, pengaturan soal keluarga dan sebagainya. Kelima titik ini bisa
digunakan untuk memahami beragam pandangan dunia yang tersebar di seluruh
Indonesia. Ini merupakan titik tolak untuk merumuskan suatu “Filsafat Indonesia”.

Filsafat Indonesia
Filsafat berasal dari kata philo (pencinta) dan sophia (kebijaksanaan). Kata ini
berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang juga dikenal sebagai tempat kelahiran
filsafat. Sulit untuk memastikan, apakah Yunani Kuno sungguh merupakan
penemu filsafat. Beberapa ahli sejarah filsafat bahkan menyatakan, bahwa Yunani
mengambil pemahaman filosofis dari India dan Afrika Utara. Saya tidak akan
masuk ke dalam perdebatan ini.
Yang khas di dalam filsafat adalah penggunaan akal budi secara utuh dan kritis
untuk memahami segala yang ada. Filsafat tidak berpijak pada iman agama
tertentu. Filsafat juga tidak berpijak pada mitologi tertentu yang berkembang di
sebuah kelompok budaya. Filsafat bersandar pada akal budi dan diskusi kritis
untuk semakin mendekati kebenaran, serta menjadi manusia yang bijaksana.

Apakah Indonesia memiliki filsafat semacam ini? Jawabannya tidak. Indonesia


memiliki ragam pandangan dunia yang luhur dan khas, namun bukan filsafat. Di
dalam beragam pandangan dunia tersebut kerap kali terdapat ajaran-ajaran yang
sudah tidak lagi cocok dengan perkembangan jaman, misalnya ajaran yang
menomorduakan perempuan, memperbolehkan anak di bawah umur bekerja,
perbudakan, poligami, diskriminasi terhadap kaum LGBT dan sebagainya.
Supaya bisa menjadi filsafat, beragam pandangan dunia yang ada di Indonesia
harus diangkat menjadi tema pembicaraan yang rasional, terbuka dan kritis.
Dengan kata lain, beragam pandangan dunia yang ada harus dianggap dari tingkat
pra-pemahanan (yang dilakukan secara otomatis dalam hidup sehari-hari, bahkan
cenderung tabu untuk dibicarakan) ke tingkat pemahaman (yang disadari
sepenuhnya sebagai sesuatu yang terbuka untuk perubahan). Ada tiga keuntungan
dari hal ini.

Pertama, Indonesia bisa melepaskan diri dari pandangan-pandangan dunia yang


menyembunyikan beragam penindasan. Indonesia bisa belajar dari kesalahan masa
lalunya, dan berubah ke arah yang lebih baik dan terbuka. Beragam praktek
perbudakan, diskriminasi dan kesempitan berpikir yang berkembang di masa lalu
bisa dianggap sebagai proses belajar dan pendewasaan budaya. Hanya dengan
beginilah Indonesia bisa menjadi bangsa besar.

Kedua, beragama pandangan dunia yang berharga tersebut bisa menjadi inspirasi
untuk pembangunan di masa sekarang. Indonesia tidak lagi melulu melihat ke luar
negeri untuk mencari teori ataupun model pembangunan, tetapi bisa melihat ke
dalam kekayaan budayanya sendiri yang begitu beragam dan berharga. Dengan
cara ini, Indonesia bisa menerapkan pembangunan yang berpijak pada nilai-nilai
Ke-Indonesiaan, dan tidak lagi tunduk pada nilai-nilai Barat ataupun Arab, seperti
sekarang ini.

Ketiga, pengembangan filsafat Indonesia juga memiliki peran besar di dalam


hubungan antar bangsa. Dengan panduan nilai dan filsafat yang jelas, Indonesia
bisa berdiri sejajar dengan peradaban-peradaban besar lainnya di dunia, seperti
peradaban Cina, India dan Eropa. Dialog pun bisa dilakukan dalam keduduan
setara, dan bukan dengan sikap tidak percaya diri, seperti yang sekarang ini banyak
terjadi.

Filsafat Indonesia bisa mendorong proses Indonesia menjadi bangsa yang besar.
Bangsa yang besar tidak hanya ternama di antara bangsa-bangsa lainnya, tetapi
juga menjadi amat manusiawi terhadap warganya. Ini semua membutuhkan
panduan nilai maupun filsafat yang jelas. Harapannya sederhana, kita bisa berdiri
tegak sebagai orang Indonesia di kancah politik dunia internasional, dan
menawarkan pencerahan yang membawa pada perdamaian dunia dan kemakmuran
global.

Apa lagi yang kita tunggu?

Tulisan ini diinspirasikan dari diskusi mendalam dengan Komaruddin Hidayat dan
Pamela Cardinale di Jakarta.

Merobohkan Tembok-tembok Keilmuan


Oleh Reza A.A Wattimena
Semua ilmu pengetahuan modern dimulai dari filsafat. Filsafat, dengan kata lain,
adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan modern, seperti kita kenal sekarang ini.
Fisika, biologi, kedokteran, kimia serta turunannya, seperti teknik, dikenal sebagai
filsafat alam (natural philosophy). Sementara, hukum dan politik dikenal sebagai
filsafat sosial (social philosophy).
Berawal dari Filsafat
Awal dari filsafat adalah rasa kagum terhadap segala yang ada. Keindahan dan
keteraturan dari alam semesta juga membuat orang penasaran. Dari dua hal inilah
lalu para filsuf pertama mencoba untuk memahami dunia dengan menggunakan
penalaran akal sehat (rational reasoning). Mitos, tradisi dan agama sebagai
penjelasan pun ditinggalkan.
Sejalan dengan berkembangnya pengetahuan manusia, filsafat pun dipecah
menjadi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam hendak
memahami dunia alamiah, seperti fisika, biologi, geologi, kimia dan segala
turunannya. Ilmu pengetahuan manusia hendak memahami dunia sosial, seperti
ekonomi, politik, budaya dan berbagai turunannya. Dengan berkembangnya waktu,
ilmu pengetahuan menjadi terkotak-kotak ke dalam berbagai cabang yang tidak
saling berhubungan satu sama lain.

Inti dari ilmu pengetahuan modern adalah metode berpikir. Inilah yang juga
dikenal sebagai metode penelitian ilmiah (scientific method). Di dalam metode ini,
hanya bukti-bukti nyata (bisa ditangkap dengan panca indera) yang bisa diterima.
Hukum sebab akibat menjadi kunci untuk memahami segala yang ada.
Kesimpulan juga tidak bisa ditarik sembarangan. Para ilmuwan mesti menekuni
berbagai penelitian yang ada sebelumnya. Ia lalu membuat percobaan untuk
menemukan sesuatu yang baru. Penarikan kesimpulan lalu dibuat, namun tidak
dengan kepercayaan mutlak, melainkan sebagai dasar bagi penelitian berikutnya.

Cara berpikir ini membawa banyak hal baik bagi kehidupan manusia. Berbagai
bentuk teknologi ditemukan, guna mempermudah kehidupan manusia. Dunia
kedokteran juga berkembang pesat, sehingga manusia bisa hidup sehat sampai usia
tua. Namun, dengan berjalannya waktu, berbagai tantangan baru yang lebih rumit
datang mengunjungi.

Tiga tantangan terbesar jaman kita adalah masalah kerusakan lingkungan hidup,
kesenjangan sosial ekonomi global yang sangat besar serta tersebarnya radikalisme
agama di berbagai belahan dunia. Ketiga tantangan tersebut menuntut manusia
untuk mengubah cara berpikirnya. Model penelitian yang terkotak-kotak dalam
berbagai bidang keilmuan tidak lagi mencukupi. Kita membutuhkan kerja sama
dari berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Kesatuan Ilmu Pengetahuan


Bentuk kerja sama pertama adalah penelitian multikeilmuan, atau multidisipliner.
Di dalam bentuk penelitian ini, berbagai bidang ilmu menawarkan sudut
pandangnya. Namun, tembok-tembok keilmuan masih terlihat jelas. Pandangan ini,
pada hemat saya, masih kurang memadai.

Bentuk kerja sama kedua adalah penelitian lintas keilmuan, atau interdisipliner.
Bentuk ini menghubungkan berbagai bidang keilmuan sebagai satu kesatuan, guna
memahami sesuatu. Ini adalah pendekatan yang menyeluruh untuk menjawab
berbagai tantangan yang muncul di dunia sekarang ini. Bentuk penelitian inilah
yang harus semakin dikembangkan di abad 21.

Bentuk ketiga adalah penelitian transkeilmuan, atau transdisipliner. Bentuk ini


bergerak lebih jauh dari penelitian lintas ilmu. Fokusnya adalah melahirkan
pengetahuan yang secara langsung bisa diterapkan untuk menghadapi berbagai
tantangan kehidupan. Penelitian ini tidak hanya terjadi di dalam dunia akademik.
Dunia bisnis, politik, budaya dan masyarakat sipil juga berperan besar di dalam
penelitian ini.

Penelitian transkeilmuan hendak kembali ke asal muasal semua pengetahuan,


yakni filsafat yang bersifat menyeluruh. Visinya adalah kesatuan ilmu
pengetahuan. Tujuannya adalah memahami dengan lebih jernih dan kritis keadaan
dunia sekarang ini. Dengan pemahaman ini, jalan keluar atas berbagai tantangan
dunia pun bisa ditemukan.

Sikap Kritis
Sikap kritis amatlah penting di dalam pola pikir lintas dan trans-keilmuan. Dengan
sikap kritis, orang tidak lagi menerima begitu saja apa yang ia lihat dan dengar. Ia
juga mempertanyakan anggapan-anggapan tersembunyi yang ada di dalam cara
berpikirnya. Dialog untuk sampai pada pemahaman menjadi alat utama untuk
pengembangan pengetahuan.

Sikap kritis juga menjauhkan orang dari kepatuhan buta. Radikalisme,


fundamentalisme dan fanatisme lenyap secara alamiah di hadapan sikap kritis. Ia
mengajak orang untuk meninggalkan ilusi, serta melihat kenyataan sebagaimana
adanya. Kesatuan ilmu pengetahuan, dengan sikap kritis sebagai jantung hatinya,
akan mendorong pengetahuan melampaui batas-batasnya sendiri, dan menyentuh
kebijaksanaan.

Demokrasi dan Intoleransi


Moki – Untitled 04
Oleh Reza A.A Wattimena
Masyarakat demokratis adalah masyarakat terbuka. Artinya, berbagai pemikiran
dan paham berkembang di masyarakat tersebut. Kebebasan berpikir dan
berpendapat menjadi tulang punggung dari masyarakat demokratis modern, seperti
Indonesia. Pertanyaan kecil yang ingin dijawab di dalam tulisan ini adalah, apakah
demokrasi boleh memberi ruang untuk kelompok-kelompok radikal yang memiliki
paham intoleran dan tertutup?

Ada tiga pertimbangan yang perlu dipikirkan. Pertama, demokrasi adalah


pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di dalam masyarakat
majemuk yang besar jumlahnya, seperti Indonesia, rakyat diwakilkan oleh
parlemen dan partai politik. Sistem semacam ini memang tidak ideal, karena
memberi peluang bagi korupsi. Namun, sampai detik ini, belum ada jalan lain yang
bisa diajukan.
Dua, kunci dari keberhasilan demokrasi adalah jaminan hukum dan hak-hak asasi
manusia bagi semua warganya. Hukum yang ada juga tidak dibuat semena-mena,
melainkan hasil kesepakatan bebas dan rasional antara semua pihak yang nantinya
terkena dampak dari hukum tersebut. Dasar dari semua hukum adalah konstitusi
negara yang sah, dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945 untuk Indonesia.
Tiga, dengan pertimbangan ini, maka cukup jelaslah, bahwa kelompok-kelompok
dengan paham tertutup dan intoleran tidak dapat hidup di masyarakat demokratis.
Demokrasi, kepatuhan hukum dan jaminan HAM menekankan kesalingan antara
berbagai kelompok yang ada. Artinya, berbagai kelompok di dalam masyarakat
demokratis saling menghormati hukum, HAM dan kebebasan yang ada.
Kelompok-kelompok yang bersifat tertutup, apalagi radikal dan teroristik, jelas
bertentangan dengan prinsip kesalingan ini. Mereka tidak dapat ada di dalam
masyarakat demokratis.

Kelompok-kelompok radikal anti demokrasi seringkali menuduh negara sebagai


pemerintahan totaliter dan tidak menghargai HAM, karena melarang kehadiran
mereka. Pendapat ini jelas salah kaprah. Perlindungan hukum dan HAM hanya
diberikan kepada kelompok-kelompok yang mengakui kekuatan hukum dan HAM
yang berlaku di masyarakat tersebut. Jika tidak ada pengakuan, maka kelompok-
kelompok radikal anti demokrasi tidak dapat ada di dalam masyarakat demokratis.
Masyarakat demokratis, walaupun terbuka, tetap memiliki batas-batas yang ketat,
terutama jika dihadapkan pada kehadiran kelompok-kelompok radikal anti
demokrasi.

Ada dua contoh yang bisa diberikan. Pertama, partai fasis Jerman, NAZI,
memperoleh kekuasaan melalui jalan-jalan demokratis (partai politik dan pemilu).
Namun, mereka lalu menghancurkan demokrasi, dan menggantinya dengan sistem
pemerintahan totaliter. Ini yang terjadi, jika kelompok-kelompok radikal anti
demokrasi dibiarkan begitu saja, atas nama perlindungan hukum dan HAM.

Dua, Indonesia juga punya banyak sekali pengalaman dengan kelompok-kelompok


radikal anti demokrasi. Mereka secara jelas menolak konstitusi, dan ingin
mengganti sistem politik Indonesia. Selama beberapa saat, kehadiran mereka
diperbolehkan atas nama HAM dan demokrasi. Namun, sudah terbukti, masyarakat
semakin merasa resah dan tidak aman. Politik juga menjadi penuh kebencian dan
perpecahan. Pemerintahan Jokowi sudah mengambil langkah yang tepat dengan
menyingkirkan berbagai kelompok radikal anti demokrasi ini.

Demokrasi tidak bisa digunakan untuk membenarkan kehadiran kelompok-


kelompok intoleran yang radikal dan tertutup. Masyarakat demokratis ada untuk
mendorong keterbukaan berpikir dan berpendapat yang berpijak pada pengakuan
terhadap hukum dan HAM yang berpijak pada konstitusi. Ketika suatu kelompok
menolak hukum, HAM dan konstitusi yang ada, maka ia tidak dapat ada di dalam
masyarakat demokratis. Kekuatan dan keberlangsungan sebuah negara amat
tergantung pada ketegasan semacam ini.
Dahaga akan Sensasi
Art People Gallery
Oleh Reza A.A Wattimena
Pada dasarnya, kita adalah mahluk yang merindukan sensasi. Ada semacam
kehausan akan sensasi bercokol di kodrat kita sebagai manusia. Sayangnya, ia
cenderung tak dikenali, dan diabaikan. Dampaknya pun beragam, mulai dari
kenikmatan sesaat sampai dengan tindakan yang merusak.

Drama terkait Ratna Sarumpaet dan Tim Koalisi Prabowo-Sandi juga adalah ujung
yang tampak dari dahaga akan sensasi. Orang mencari popularitas dengan
menyebarkan kebohongan yang menggemparkan. Padahal, ada masalah lain yang
jauh lebih menuntut perhatian, yakni bencana yang menimpa saudari-saudara kita
di Lombok dan Sulawesi Tengah. Dahaga akan sensasi berujung tidak hanya pada
pengalihan fokus masyarakat, tetapi juga ancaman kekalahan telak salah satu calon
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Sensasi
Apa itu sensasi? Ia adalah kenikmatan sesaat. Ia muncul, menghibur dan pergi
dalam sekejap mata. Ia dicari dan dirindukan, namun sayang justru kerap berakhir
dengan kehampaan.

Orang mencari sensasi, juga karena ia takut akan rasa bosan. Bosan membuat
hidup terasa hampa dan sepi. Ini bahkan lebih menyakitkan, daripada rasa sakit dan
penderitaan itu sendiri. Tak heran, orang bersedia melakukan hal-hal berbahaya,
guna menghindari rasa bosan.

Dahaga yang sama yang membuat orang kalap berbelanja. Orang membeli dan
menumpuk hal-hal yang ia tak perlukan, dengan uang yang tak ia punya, karena
hatinya hampa. Industri kapitalis global mengenali hal ini. Jasa kartu kredit persis
untuk mengisi kebutuhan yang tak masuk akal ini.

Dahaga akan sensasi juga mendorong orang memakai narkoba dalam segala
bentuknya. Orang merasa, hidup ini begitu dangkal dan tak bermakna. Akibatnya,
untuk menciptakan pengalihan dari perasaan semacam itu, narkoba pun terlihat
sebagai jalan keluar. Dahaga akan sensasi pun berubah wujud menjadi dahaga akan
zat adiktif.

Pada dasarnya, korupsi juga merupakan perwujudan dari dahaga akan sensasi.
Orang merasa tak puas dengan apa yang ada, lalu mencuri, guna memperoleh
lebih. Segala cara ditempuh, termasuk mencuri, memfitnah dan bahkan
membunuh. Dahaga akan sensasi pun berubah menjadi kekejaman tanpa ampun.
Sampai batas tertentu, pertengkaran antar manusia juga terjadi, karena dahaga akan
sensasi. Dua orang jenuh dengan keseharian. Pertengkaran pun menjadi semacam
tarian yang, sekalipun terlihat brutal, menyembunyikan cinta yang dalam. Dalam
hal ini, pertengkaran adalah wujud dari dahaga akan sensasi.

Mengenali Sensasi
Dahaga akan sensasi pula yang mendorong terjadinya perang dan krisis di berbagai
belahan dunia. Seperti kata Herakleitos, seorang pemikir Yunani, perang membuat
manusia waspada dan kuat. Perang juga menjadi warna dari keseharian yang
seringkali terasa begitu hampa. Dahaga akan sensasi, sayangnya, bisa menjelma
menjadi dahaga untuk saling memusnahkan.

Tersembunyi di dalamnya adalah dahaga akan masalah. Hidup tanpa masalah,


seperti kata Jean-Paul Sartre, seorang pemikir Prancis, bagaikan minum anggur
tanpa rasa. Masalah membuat hidup menjadi berarti dan warna warni. Tentu saja,
dahaga akan sensasi, bergandengan dengan dahaga akan masalah, akan berbuah
kerusakan-kerusakan yang tak perlu.

Kerinduan akan hoaks (apusan) juga berada di jalur yang sama. Orang tahu, bahwa
ia mendengar hoaks. Namun, ia tetap memakannya, bahkan menyebarkannya.
Dahaga akan sensasi, dibalut pada kerinduan untuk dibohongi, membuat orang
yang cerdas pun memakan hoaks, tanpa rasa ragu.

Sensasi tak perlu diikuti. Ia juga tak perlu ditekan. Sensasi hanya perlu dikenali
dan disadari. Dengan begitu, kita tak lagi diperbudak olehnya.

Katrok
ThoughtCo
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita memang hidup di jaman katrok. Dalam arti ini, katrok menggambarkan sikap
tidak mau belajar, sehingga ketinggalan jaman. Orang yang katrok akan terus
ketinggalan kereta perubahan. Negara yang katrok juga akan terus ketinggalan
kereta peradaban.

Bangsa Katrok
Dalam hal politik, sikap katrok dengan amat mudah ditemukan. Identitas
primordial dimainkan untuk mendulang suara dan membohongi rakyat. Politik
bukannya memberikan pendidikan, tetapi justru pembodohan. Politik katrok
menjauh dari cita-cita masyarakat demokratis modern yang adil dan beradab, dan
kembali menampilkan kebohongan, serta sikap-sikap primitif yang merusak.
Tata ekonomi kita di Indonesia pun masih katrok. Kesenjangan antara si kaya dan
si miskin amatlah besar, dan bahkan terus membesar. Uang dan kekayaan hanya
dikuasai segelintir orang semata. Sebagian besar rakyat hidup pas-pasan, bahkan
berkekurangan. Solidaritas, yang merupakan wujud dari keadilan sosial, pun nyaris
tak terasa.

Hal serupa terjadi dalam bidang agama. Seluruh dunia bergerak dari agama
institusional ke arah spiritualitas yang merupakan inti terdalam dari semua agama.
Di dalamnya, orang akan menemukan kedamaian, kebijaksanaan dan cinta yang
merupakan nilai-nilai tertinggi semua agama. Di Indonesia, agama terjebak pada
formalisme, yakni hanya sibuk mengurusi ritual-ritual dan aturan-aturan yang
sudah ketinggalan jaman. Akibat pola inilah intoleransi antar agama, dan di dalam
agama, masih cukup tinggi di Indonesia.

Dunia pendidikan di Indonesia pun masih amat katrok. Pola hafalan dan pilihan
ganda masih dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Formalisme agama pun
menjajah masuk, sehingga anak tidak dididik untuk berpikir mandiri, melainkan
tunduk patuh pada ajaran yang sudah ketinggalan jaman. Tak heran, manusia-
manusia Indonesia pun terjebak pada mental katrok.

Indonesia juga masih sangat katrok dalam soal penanggulangan bencana. Gempa
dan tsunami yang menghantam Palu dan sekitarnya sungguh harus membuat kita
berkaca. Daerah ini merupakan daerah rawan gempa, namun dengan sistem deteksi
gempa yang amat ketinggalan jaman. Sampai detik tulisan ini dibuat, jumlah
korban masih terus bertambah, sebagian karena kelalaian kita untuk membangun
sistem tanggap bencana.

Bukan Takdir
Satu hal yang pasti, bahwa katrok bukanlah takdir. Katrok adalah pilihan. Ia dibuat
dengan sadar, dan dimaknai dari hari ke hari. Ada tiga hal yang kiranya perlu
diperhatikan.

Pertama, katrok dapat dilampaui dengan belajar berpikir terbuka. Artinya, kita
belajar untuk melihat jaman yang terus berubah. Tradisi dan pemikiran kita pun
disesuaikan dengan perubahan tersebut, tanpa kehilangan keunikan kita sebagai
pribadi, dan sebagai bangsa. Ini adalah syarat utama untuk menghancurkan sikap
katrok.

Dua, di atas langit masih ada langit. Banyak bangsa di dunia ini lebih baik dari kita
dalam segala unsur tata kelola pemerintahan dan pembangunan. Kita perlu
sungguh mengakui ini dengan rendah hati, dan belajar dari mereka. Hanya dengan
begitu, kita bisa terhindari dari mental katrok yang begitu dalam tertanam, seperti
sekarang ini.

Tiga, semua ini menjadi percuma, tanpa adanya keinginan untuk berubah. Salah
satu tantangan terbesar berbagai institusi di Indonesia adalah kemalasan sekaligus
ketakutan untuk berubah. Perubahan memang membawa ketidakpastian, namun
juga peluang untuk perbaikan. Kemauan untuk terus berubah menanggapi berbagai
perkembangan jaman adalah kunci memusnahkan mental katrok.

Mental katrok adalah mental terbelakang. Ia menghambat perkembangan berbagai


segi kehidupan, sehingga tercipta berbagai masalah sosial, mulai dari kemiskinan
sampai terorisme. Ia tidak bisa didiamkan begitu saja, seperti yang terjadi di
Indonesia sekarang ini. Taruhannya terlalu besar.

Tentang Perempuan
Mayhem & Muse
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Ah, betapa sulitnya menjadi perempuan. Seperti kata Jean-Jacques Rousseau,
seorang pemikir Perancis, manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia
dipenjara. Begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia
dipenjara.

Siapa yang memilih untuk menjadi perempuan? Ketika lahir, alat kelamin sudah
ditentukan oleh alam. Namun, dengan perbedaan kelamin, perbedaan peran sosial
pun lahir. “Perempuan” adalah peran sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dan
bukan oleh alam.
Semua orang memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar
manusia menjadi penghuni rahim perempuan sembilan bulan lamanya. Disanalah
kehidupan tercipta, ketika benih pejantan membuahi telur betina. Disanalah
keajaiban yang sesungguhnya terjadi.

Ketika pertama kali menginjak dunia, setiap orang juga dibimbing oleh
perempuan. Cara-cara dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan.
Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa
perempuan, keluarga akan tersesat di jalan.
Sayangnya
Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budaya
memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak
pernah sungguh dihargai.

Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang
menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya,
semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para pria.

Ajaran beberapa agama mengekangnya begitu erat. Tubuhnya dipenjara, karena


takut mengundang nafsu pria. Perempuan bahkan tak bisa memilih, pakaian apa
yang sesuai dengan dorongan hatinya. Ia harus tunduk pada ajaran masyarakat
yang menindas.

Peradaban lain menelanjanginya. Lekukan tubuhnya dijadikan komoditi dagang.


Keindahan ragawinya dijadikan tontonan murahan. Jati diri perempuan
disempitkan menjadi semata obyek kepuasan para pria.

Ketika krisis dan perang tiba, perempuan juga menjadi korban. Mereka diperkosa,
tanpa ampun. Beberapa dibunuh, setelah diperkosa. Lainnya harus hidup dengan
trauma dan rasa malu.

Beberapa perempuan sudah menyerah. Mereka melihat penindasan sebagai takdir


yang mesti dijalani. Mereka menyerap penjajahan menjadi bagian dari hidup
mereka sendiri. Mereka justru ingin dijajah, dan dijadikan komoditi.

Beberapa perempuan berusaha melawan. Mereka ingin mengungkap berbagai


penindasan yang terjadi. Mereka ingin melakukan perubahan sosial. Musuh
utamanya adalah mental patriarki, yakni mental yang menindas perempuan dengan
menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan serampangan.

Menanti Pembebasan
Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan. Ia mesti
sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Pilihan ada
di tangannya, asal didasari kesadaran, bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka.
Ia mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan kepadanya oleh
masyarakat.

Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci
perubahan sosial adalah perubahan di dalam cara perempuan memandang
dunianya. Kaum perempuan bisa bekerja sama dengan gerakan-gerakan
pembebasan lainnya. Namun, pengalaman perempuan tetaplah sebuah pengalaman
yang unik, yang tak tergantikan oleh apapun juga.

Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga


berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang
jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong
pembebasan kaum perempuan. Sekarang.

Koruptor yang Santun


Saatchi Art
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Salah satu sekolah di Jakarta mengeluh, karena murid-muridnya banyak
berperilaku kurang ajar. Mereka cenderung tak bisa diatur. Mereka juga cenderung
tak hormat terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lebih tua. Mereka juga
menjadi pengguna berlebihan beragam gadget teknologi yang ada sekarang, tanpa
bisa dikontrol.

Akhirnya, sekolah ini memutuskan untuk memberikan pelatihan terhadap murid-


murid tersebut dalam bentuk latihan dasar kepemimpinan. Alasannya sederhana.
Mereka ingin, supaya murid-murid sekolah tersebut bisa lebih patuh. Mereka ingin,
supaya murid-muridnya menjadi lebih mudah dikendalikan, sesuai dengan
keinginan keluarga dan sekolah.
Moralitas Dangkal
Gejala ini banyak terjadi di Indonesia. Keluarga dan sekolah ingin anak-anaknya
menjadi robot yang gampang diatur. Keluarga dan sekolah berperan menjadi
institusi otoriter yang ingin mengendalikan murid-murid sekolah secara mutlak.
Mereka tak peduli, bahwa pola ini justru membunuh seluruh proses pendidikan
yang ada.

Inilah yang disebut sebagai moralitas dangkal. Moral semacam ini hanya
merupakan tampilan luar semata. Orang terlihat patuh, rapi dan bersih, namun
penuh dengan pikiran busuk di dalamnya. Orang-orang dengan moral dangkal akan
menjadi koruptor dan provokator perpecahan, walaupun tampilannya tampak
agamis, rapi dan santun.

Ketika masyarakat hanya menekankan moralitas dangkal, maka kemunafikan akan


tercipta. Kata-kata sopan dan penampilan rapih. Namun, itu semua hanya tampilan
luar belaka yang menutupi kebusukan. Tak heran, para terdakwa koruptor langsung
berpenampilan agamis, ketika disidang di pengadilan.
Tidak hanya itu, moralitas dangkal juga menciptakan penderitaan. Orang berbuat
baik, karena terpaksa. Orang patuh, bukan karena paham dan tulus, tetapi hanya
karena tekanan masyarakat. Penderitaan yang muncul dari pola moralitas semacam
ini amatlah besar.

Moralitas Dalam
Moralitas dalam memiliki arah yang berbeda. Ia lahir dari kesadaran penuh akan
kehidupan. Ia tidak muncul dari paksaan. Ia tidak muncul dari ketakutan terhadap
tekanan sosial dari luar.

Moralitas dalam bergerak dari kesadaran, bahwa segala yang ada di semesta ini
adalah satu kesatuan. Inilah yang disebut ciri kesalingterhubungan dari kehidupan
itu sendiri. Dengan kesadaran ini, orang tidak akan merusak atau menyakiti
apapun, karena ia melihat dirinya di dalam segala sesuatu. Sikap santun dan
hormat terhadap mahluk hidup lainnya akan muncul secara alami.

Moralitas dalam juga akan melahirkan empati. Empati adalah kemampuan untuk
melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati akan membuat orang
memiliki sifat welas asih yang muncul secara alami dari dalam dirinya. Inilah dasar
moralitas yang sejati.

Karena lahir secara alami, moralitas dalam juga jauh dari kemunafikan. Kebaikan
lahir dari ketulusan, dan bukan sikap pura-pura. Seringkali, orang mungkin terlihat
tak santun. Akan tetapi, niatnya baik, yakni untuk kepentingan bersama. Mantan
Gubernur Jakarta, Ahok, adalah wujud nyata dari moralitas dalam semacam ini.

Moralitas dalam juga tahan lama. Ia tidak berubah, ketika tekanan dari luar hilang.
Karena berpijak pada ketulusan, moralitas dalam juga tetap teguh di tengah godaan
untuk berbuat jahat. Orang dengan moralitas dalam tidak lari di tengah tekanan,
apalagi bersembunyi di balik-balik alasan-alasan suci yang penuh kemunafikan.

Kita harusnya mengajarkan moralitas dalam di dalam sistem pendidikan kita.


Moral dangkal, yang menekankan kepatuhan semu, haruslah dihilangkan. Hanya
dengan begitu, kita bisa melenyapkan secara total para koruptor dan provokator
yang bersembunyi di balik kesantunan moral dan agamis. Sudah cukup lama
bangsa kita ditipu oleh para koruptor dan provokator pemecah belah semacam ini.
Agama, Kemiskinan dan Politik Kekuasaan
Evening Standard
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Seorang teman bertanya, mengapa orang Indonesia begitu fanatik dengan
agamanya? Ia berasal dari negara yang tak peduli pada agama. Maka dari itu, ia
heran, mengapa orang Indonesia sangat gandrung dengan agama. Saya terdiam di
hadapan pertanyaan tersebut.

Saya mulai berpikir soal asal muasal agama. Mengapa agama ada? Mengapa ia
bisa begitu tersebar di berbagai belahan dunia?
Agama dan Alam
Sudah sejak awal, alam selalu menjadi misteri bagi manusia. Begitu banyak hal
yang di luar kendalinya. Perubahan cuaca sampai dengan bencana alam, semuanya
menciptakan rasa takut di dalam diri manusia. Di hadapan alam yang penuh
ketidakpastian ini, hidup manusia terasa kecil dan tak berarti.

Tak hanya itu, alam juga mengundang rasa kagum di dalam diri manusia.
Keindahan alam, dengan gunung dan lautnya, membuat hati manusia bergetar. Ia
merasa kecil, sekaligus merasa bangga menjadi bagian dari alam ini. Dititik inilah
agama tercipta.

Di hadapan yang tak dapat dikendalikannya, manusia menciptakan agama. Ia


merasa, ada sesuatu yang mengatur segalanya. Ia memiliki beragam nama,
misalnya Tuhan, Dewa, Allah dan sebagainya. Jika manusia memuji dan
menjalankan kehendaknya, maka ia akan selamat. Jika tidak, maka petaka sudah
menanti.

Dalam hal ini, agama adalah kombinasi antara rasa takut dan rasa kagum terhadap
ketidakpastian hidup. Agama juga berkembang, karena dua hal itu terus
berkembang di dalam diri manusia. Ilmu pengetahuan modern dan teknologi sudah
berupaya melepaskan manusia dari ketakutan ini. Namun, upayanya baru berhasil
sebagian.

Di Indonesia, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya berperan sebagai barang


pakai. Indonesia belum, (atau tidak mau?), mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologinya sendiri. Akibatnya, walaupun terlihat canggih dan modern di luar,
jiwanya masih penuh ketakutan primitif terhadap ketidakpastian hidup. Maka dari
itu, agama, beserta sisi gelap fanatisme bodoh dan perpecahan yang dilahirkannya,
berkembang begitu pesat di Indonesia.
Agama dan Kemiskinan
Di hadapan tekanan kemiskinan, agama seringkali menjadi sumber harapan.
Agama menjadi penghiburan satu-satunya, ketika dunia terasa begitu kejam dan
tak adil. Agama memberikan janji, bahwa penderitaan, jika dijalani dengan mulia,
akan bermuara pada surga. Inilah juga yang terjadi di Indonesia.

Di Indonesia, kesenjangan sosial masih begitu terasa. Beberapa kelompok elit


menguasai begitu banyak sumber daya, dan menjadi begitu kaya. Sementara,
sebagian besar warga masih hidup dengan susah payah, bahkan di bawah garis
kemiskinan. Agama berperan besar di dalam memberikan penghiburan bagi kaum
miskin, supaya mereka bisa menjalankan hidup mereka dengan mulia.

Sayangnya, ini juga merupakan sisi baik sekaligus sisi buruk dari agama. Di
hadapan kesenjangan dan ketidakadilan sosial, seperti diungkapkan oleh
Marx, agama mendorong orang untuk menerima keadaan, bahkan bersyukur.
Dalam hal ini, agama menjadi halangan untuk mendorong terjadinya perubahan
sosial. Agama tidak hanya menjadi hiburan bagi orang miskin, sebagaimana kata
Marx, tetapi juga menjadi pelestari dari kemiskinan itu sendiri.

Di Indonesia, apalagi sejak pilkada Jakarta 2017, agama diperalat oleh penguasa
politik. Agama digunakan sebagai alat untuk mendulang suara. Akibatnya, agama
tidak lagi menjadi hiburan dan sumber kedamaian, tetapi menjadi sumber konflik.
Pilpres 2019 juga berpeluang mengalami hal serupa.

Agama dan Keadilan


Ini semua tentu harus disadari oleh para pemeluk agama di Indonesia. Pertama,
jangan sampai agama menjadi pelestari kemiskinan. Keadilan sosial tetap harus
diperjuangkan. Jika ditafsirkan dengan tepat, agama juga bisa memberikan dasar
teologis bagi perjuangan mewujudkan keadilan sosial bagi semua, tanpa kecuali.

Dua, agama juga tidak boleh dipermainkan oleh kekuasaan politik. Ketika agama
berbaur dengan politik kekuasaan, maka keduanya akan hancur. Perpecahan dan
konflik akan menjadi kenyataan. Semua memiliki peran dan kedudukannya
masing-masing, apalagi di dalam masyarakat majemuk demokratis, seperti
Indonesia.

Setelah minum seteguk air, saya menjawab pertanyaan teman saya tersebut.
Agama bisa begitu berkembang di Indonesia, karena kita masih diselimuti oleh
rasa takut yang besar terhadap kehidupan. Kita merasa tak berdaya di hadapan
ketidakadilan sosial, dan ancaman bencana alam tanpa henti. Karena itu, kita masih
butuh hiburan dari agama.
“Sampai kapan?”, ia bertanya… Saya tak tahu jawabannya.

Indonesia Darurat Filsafat


Oleh Reza A.A Wattimena
Dalam banyak hal, Indonesia memang sedang darurat akal sehat. Ini berarti,
Indonesia sedang darurat filsafat, karena filsafat merupakan alat utama untuk
mengembangkan akal sehat manusia. Filsafat pula yang melahirkan pemikiran-
pemikiran besar yang mengubah dunia. Di peradaban Eropa, filsafat yang
melahirkan ilmu pengetahuan modern dan teknologi, sebagaimana bisa dirasakan
sekarang ini.

Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan


Di Indonesia, filsafat nyaris tak mendapat tempat. Kita lebih terpukau dengan
agama dan ilmu pengetahuan modern. Ada dua masalah disini. Pertama, agama
selalu berpijak pada kepercayaan mutlak terhadap tradisi, sehingga kerap kali
menutup akal sehat dan pemikiran kritis. Ini merupakan salah satu sebab
berkembangnya radikalisme agama di Indonesia sekarang ini.
Dua, ilmu pengetahuan seringkali terlalu sempit lingkupnya, sehingga tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar hidup manusia, seperti tujuan dan
makna keberadaan kita di dunia ini. Ilmu pengetahuan telah menjadi begitu
terspesialisasi sekarang ini, sehingga buta terhadap hal-hal lain yang bukan
bidangnya. Ini menciptakan masalah tersendiri, tidak hanya bagi perkembangan
hidup pribadi sebagai manusia, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.

Filsafat menjadi jalan keluar dari dua masalah ini. Filsafat mengajak manusia
untuk berpikir tentang hal-hal besar di dalam hidup, seperti tujuan, makna dan
keberadaan semesta itu sendiri. Pendekatan filsafat juga bersifat rasional, logis,
sistematis dan kritis. Ini tentunya merupakan obat manjur untuk melawan segala
bentuk radikalisme agama-ideologi, maupun kesempitan berpikir.

Berpikir dan Berargumen


Di ruang publik Indonesia, perdebatan seringkali bermuara pada pertengkaran. Ini
terjadi, karena banyak orang tidak mampu berpikir secara runtut dan rasional, serta
tidak mampu menyampaikan pemikiran mereka dengan cara-cara yang beradab.
Emosi pun mengisi hati dan kata-kata. Jika sudah begitu, konflik pun tak bisa
dihindari.

Dalam hal ini, filsafat bisa membantu dalam dua hal. Pertama, filsafat mengajarkan
orang untuk berpikir secara runtut, logis, rasional dan kritis. Jika kemampuan ini
tersebar, maka ini sudah merupakan kemajuan besar untuk Indonesia. Perdebatan
di masyarakat luas, terutama terkait dengan kepentingan banyak orang, bisa
dilakukan dengan cara-cara yang beradab.

Perkembangan Jaman
Dalam banyak hal, Indonesia selalu ketinggalan dari negara lain. Ini terjadi, karena
kita jarang sekali mengikuti perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terjadi. Pun jika kita akhirnya mengikuti kemajuan yang ada, kita
sudah tertinggal. Alhasil, kita justru mendapatkan dampak-dampak negatif dari
perubahan jaman, mulai dari perubahan iklim, krisis energi sampai dengan krisis
moralitas (terbelakang dalam menghadapi perubahan jaman).

Filsafat dapat membantu kita untuk keluar dari keterbelakangan ini. Tema-tema
yang dikembangkan filsafat selalu sesuai dengan perkembangan jaman, mulai dari
soal hubungan politik dan agama, soal lingkungan hidup, etika aborsi sampai
dengan diskusi soal kecerdasan buatan. Semua tema ini dibicarakan dengan
rasional, sistematis dan kritis di dalam filsafat. Ini merupakan sebuah proses
pendidikan yang berharga untuk masyarakat Indonesia, supaya bisa menyingkapi
berbagai semua perubahan yang terjadi secara tepat dan jernih.

Hidup yang Bermutu


Karena miskin pemahaman, banyak orang di Indonesia kacau hidupnya. Di satu
sisi, ada orang-orang yang gila harta dan kuasa. Mereka melakukan segala cara
untuk memperoleh kekuasaan dan uang, termasuk dengan korupsi. Ini dengan
mudah dilihat di panggung pemilihan Presiden Indonesia sekarang ini.

Di sisi lain, banyak orang yang terjebak ke dalam radikalisme agama. Pemahaman
mereka tentang agama sangat terbelakang, bahkan merusak. Mereka menjadi
intoleran terhadap perbedaan, dan bahkan terjebak ke dalam terorisme. Dewasa ini,
Indonesia memang terserang dua virus mematikan, yakni neoliberalisme dan
radikalisme agama.

Filsafat bisa menjadi jalan keluar dari semua ini. Filsafat mengajak orang untuk
menemukan pola yang hidup yang bermutu, yakni yang memberi kedamaian, baik
di tingkat pribadi maupun sosial. Pijakan filsafat bukanlah tradisi yang sudah
usang, apalagi yang dilihat sebagai kebenaran mutlak. Pijakan filsafat adalah
kejernihan berpikir yang dibangun dalam dialog dengan pemikir-pemikir besar
dunia lintas peradaban.

Oleh karena itu, filsafat haruslah menjadi bagian dari pendidikan nasional secara
umum, sekaligus diskusi di masyarakat luas di Indonesia. Di titik ini, filsafat yang
harus dikembangkan bukanlah filsafat agama tertentu, melainkan filsafat murni
yang bersifat lintas peradaban. Jika ini tak diperhatikan, bangsa kita akan pecah,
dan akan terus terjebak dalam kebanggaan semu, juga dalam persaingan yang semu
dengan bangsa lain.

Antara Petarung dan Penyatu


Drawdeck
Oleh Reza A.A Wattimena
Dunia terbelah oleh dua keutamaan sekarang ini. Di satu sisi, keutamaan petarung
lahir dan berkembang. Di sisi lain, keutamaan penyatu juga tersebar di berbagai
tempat. Di dalam kolomnya di New York Times, David Brooks menyebut kedua
keutamaan ini sebagai keutamaan Athena (petarung) dan keutamaan Jerusalem
(penyatu). (Brooks, 2018)
Keutamaan petarung adalah keutamaan kekuatan dan kekuasaan. Keberanian
menjadi unsur utama di dalam keutamaan ini. Keberanian juga harus dibalut
dengan kekuatan maupun kekuasaan yang besar. Tujuan utamanya adalah untuk
mengalahkan musuh-musuh yang dianggap menganggu.
Sementara, keutamaan penyatu adalah keutamaan pencipta perdamaian. Segala
perbedaan dicari titik temunya. Kedamaian dan ketenangan di antara berbagai
perbedaan adalah tujuan yang ingin dicapai. Keutamaan penyatu penuh dengan
welas asih dan sikap rendah hati.

Di dalam dunia yang ideal, kedua keutamaan ini berdampingan satu sama lain. Di
hadapan musuh yang mengancam, keutamaan petarung muncul dan menjalankan
tugasnya. Ketika mengelola hidup bersama, keutamaan penyatu muncul dan
menjalankan perannya. Sayangnya, kedua keutamaan ini tidak seimbang sekarang
ini.

Di Indonesia, keutamaan petarung berkembang pesat. Orang saling bermusuhan


satu sama lain, terutama menjelang pemilihan umum ini. Isu agama dimainkan,
bahkan dengan menginjak-injak kesucian arti agama itu sendiri. Saat ini, Indonesia
butuh sosok penyejuk yang justru amat sulit ditemukan.

Di tempat lain, keutamaan penyatu berkembang tanpa arah. Sikap welas asih dan
rendah hati memang baik di keadaan-keadaan tertentu. Namun, penindasan dan
ketidakadilan tidak bisa dibalas dengan sikap diam dan menerima. Perjuangan
untuk mengubah keadaan perlu untuk dilakukan.

Keutamaan petarung dan penyatu adalah baik di keadaan-keadaan tertentu. Kita


membutuhkan kejernihan untuk tahu, jenis keutamaan apa yang sebaiknya
diterapkan. Ketika keadaan penuh penindasan dan ketidakadilan, keutamaan
petarung perlu muncul dan berjuang. Ketika konflik dan kebencian terlalu lama
berkobar, keutamaan penyatu perlu tampil ke depan, dan mewujudkan perdamaian.

Siapapun pemimpin Indonesia di masa depan, mereka perlu untuk memahami hal
ini. Di hadapan korupsi, radikalisme dan terorisme yang bernapaskan agama,
seperti yang banyak tersebar sekarang ini, mereka perlu menjadi petarung yang
berani dan kuat untuk melawan. Di hadapan kesalahpahaman yang memecah
persatuan bangsa, mereka perlu menjadi penyatu yang lembut dan penuh welas
asih.

Pemimpin yang bijaksana menari antara keutamaan petarung dan penyatu. Ia


memainkan peran yang dibutuhkan oleh keadaan. Sikap terbuka, kejernihan
berpikir dan kejelian melihat keadaan amat dibutuhkan disini. Semoga ini bukan
harapan sia-sia.

Kebodohan Orang-orang Cerdas


Schirn Kunsthalle Frankfurt
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Banyak orang cerdas di dunia ini. Mereka tersebar di berbagai tempat. Mereka
dilahirkan dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Di banyak tempat,
kecerdasan intelektual semacam ini dikagumi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat
setempat.

Hidup yang Mulus


Mereka mungkin pandai menghitung. Matematika dan fisika bukanlah sesuatu
yang sulit bagi mereka. Teknik dan komputer pun dengan mudah mereka kuasai.
Sekolah bukanlah sesuatu yang sulit untuk dikerjakan.
Mereka juga bisa pandai menghafal. Beberapa bahkan memiliki ingatan fotografik.
Mereka mampu mengingat secara persis apa yang mereka lihat dan mereka dengar.
Ujian-ujian sekolah dan universitas pun dengan mudah dikerjakan secara
sempurna.

Orang-orang cerdas ini biasanya mempunyai pendidikan tinggi. Walaupun lahir


dari keluarga miskin, kesempatan mereka untuk mendapatkan beasiswa cukup
tinggi. Mereka biasanya bergelar master atau doktor dari institusi pendidikan
ternama. Beberapa bahkan mendapatkan gelar tinggi dari negara-negara dengan
tingkat pendidikan yang sudah maju.

Mereka juga biasanya sukses dalam karir. Ada yang bekerja di perusahaan swasta,
dan menduduki posisi tinggi. Ada yang menjadi pejabat pemerintah, dan memiliki
kekuasaan besar. Apapun bidangnya, orang-orang cerdas ini sungguh dikagumi
oleh lingkungan sekitarnya.

Kebodohan Orang-orang Cerdas


Sayangnya, orang-orang cerdas ini kerap kali tidak mampu melihat dunia secara
keseluruhan. Mereka dibutakan oleh kecerdasan mereka sendiri. Mereka menjadi
sombong, dan kehilangan empati. Mereka tidak mampu melihat dunia dari sudut
pandang yang berbeda, atau merasakan penderitaan orang lain di sekitarnya.

Mereka hidup dalam ilusi, bahwa mereka adalah mahluk-mahluk unggul. Para
ilmuwan biasanya terjebak dalam ilusi dan kesombongan semacam ini. Mereka tak
merasa bersalah menjadikan tumbuhan, hewan ataupun mahluk lain sebagai bahan
eksperimen mereka. Mereka merusak alam atas nama penemuan ilmiah dan
terobosan teknologi.

Orang-orang cerdas seringkali tidak kritis. Mereka tidak mempertanyakan


pandangan-pandangan yang mereka anut. Mereka mengira, pikiran yang muncul di
kepala mereka adalah kebenaran. Akhirnya, mereka kerap kali melakukan
kesalahan yang merusak, tanpa mereka sadari.

Mereka juga kerap kali bermulut besar. Mereka gemar mengumbar janji. Mereka
gemar juga memberikan harapan-harapan besar yang, sayangnya, palsu. Orang
hanya perlu sedikit kritis, guna melihat kepalsuan yang dibalut dengan
kesombongan di dalam diri orang-orang cerdas ini.

Orang-orang cerdas ini seringkali juga penuh dengan kontradiksi. Misalnya,


mereka mengaku membela rakyat dengan mencuri uang rakyat. Mereka berbicara
soal menyelamatkan alam dengan terlebih dahulu merusak alam. Mereka berbicara
soal hal-hal luhur, sambil menjadi maling yang tak terlihat.

Inilah kebodohan orang-orang cerdas. Jangan terpesona dengan gelar pendidikan


tinggi, ataupun jabatan tinggi. Sebenarnya, merekalah justru perusak kehidupan
sosial maupun alam, tempat kita semua hidup. Jika kebodohan orang-orang cerdas
ini didiamkan, dunia kita akan hancur.

Mari buka mata kita.

Seluk Beluk Cuci Otak


Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Bagaimana memaksa orang melakukan hal yang tak ia inginkan? Jalan pertama
adalah dengan tekanan senjata. Namun, hal ini amat rapuh dan sementara, karena
mereka akan melakukan dengan setengah hati dan terpaksa. Jalan lain yang lebih
ampuh adalah dengan cuci otak. Orang saleh bisa berubah menjadi kaum radikal
yang siap membawa bom bunuh diri, karena cuci otak.

Cuci otak adalah upaya terencana untuk membuat orang percaya pada paham
tertentu melalui cara-cara yang manipulatif. Cuci otak membunuh sikap kritis, akal
sehat dan hati nurani. Ia melahirkan kesetiaan buta terhadap seperangkat ajaran
ataupun tokoh tertentu. Bisa dibilang, cuci otak adalah cara tercepat menghasilkan
seorang teroris.
Cuci otak juga digunakan di dalam kolonialisme baru yang dimulai setelah perang
dunia kedua. Ia menggunakan pola hegemoni, yakni menjajah tanpa perlu pasukan.
Pihak yang terjajah pun tidak merasa hidup dalam penjajahan. Bahkan, mereka
menikmati penjajahan yang terjadi, karena sudah dicuci otak.
Seluk Beluk Cuci Otak
Ada tujuh hal yang menjadi unsur utama cuci otak. Pertama, cuci otak dimulai
dengan mengulang-ulang sebuah ajaran secara terus menerus. Walaupun ajaran
tersebut sesat, namun jika diulang secara berkala, maka akan berubah menjadi
sesuatu yang wajar, bahkan masuk akal. Ini kiranya seusuai dengan diktum
propaganda Nazi Jerman: kebohongan yang terus diulang akan ditangkap sebagai
kebenaran.
Dua, cuci otak terkait erat dengan proses propaganda. Secara sederhana,
propaganda adalah upaya untuk mengaitkan paham yang salah dengan sesuatu
yang dianggap luhur oleh suatu masyarakat. Misalnya, bom bunuh diri dikaitkan
dengan perjuangan membela agama. Dua hal yang amat berbeda dikaitkan,
sehingga akhirnya tampak luhur, dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
Tiga, cuci otak dilakukan dengan mengaitkan ajaran dengan figur otoritas tertentu.
Figur ini bisa dalam bentuk tokoh yang dianggap terhormat di masyarakat, baik
politisi, pemuka agama atau pebisnis kaya. Di abad 21, Tuhan pun dijadikan figur
otoritas untuk melakukan cuci otak. Paham yang merusak dan sesat bisa seolah
menjadi benar dan luhur, karena dikaitkan dengan figur-figur semacam ini.
Empat, cuci otak juga semakin manjur, jika ada kelompok yang bisa dijadikan
musuh bersama. Inilah logika kambing hitam, sebagai dijelaskan oleh Rene Girard,
seorang pemikir Prancis. Kelompok kambing hitam ini dianggap sebagai sumber
dari semua masalah yang ada, maka layak untuk diserang dan dihancurkan. Mereka
biasanya kelompok minoritas di dalam masyarakat.
Lima, cuci otak juga membutuhkan seperangkat aturan bersama. Aturan tersebut
haruslah jelas dan sederhana. Aturan ini menciptakan perasaan senasib dan
sepenanggungan di dalam satu organisasi. Dengan ini, para korban cuci otak lalu
merasa memiliki “keluarga” yang memiliki nilai-nilai yang sama.
Enam, tujuan utama dari proses cuci otak adalah menciptakan manusia-manusia
fanatik terhadap satu paham tertentu. Setelah berhasil, hadirnya kelompok fanatik
akan menjaga keutuhan organisasi yang melakukan cuci otak, sekaligus
memperluas pengaruhnya. Mereka bisa dianggap sebagai penjaga kemurnian dari
ajaran sesat yang ada.
Tujuh, upaya cuci otak juga memerlukan ritual-ritual tertentu, seperti parade, atau
festival, yang memperkuat paham sesat mereka. Ritual-ritual ini bertujuan untuk
memberikan pengalihan sementara, supaya unsur sesat dari paham yang ada tidak
terlihat. Kesesatan yang dirayakan secara meriah dapat dengan mudah berubah
menjadi “tampak benar”. Semakin meriah ritual yang dilakukan, semakin besar
kesesatan yang disembunyikan.
Melampaui Cuci Otak
Cuci otak amat takut pada sikap kritis, akal sehat dan hati nurani. Sikap kritis
adalah sikap untuk mempertanyakan apa yang dianggap sebagai benar di dalam
masyarakat. Sikap kritis menuntut pendasaran, supaya bisa menemukan kebenaran
yang lebih dalam. Sikap kritis berpijak pada akal sehat dan hati nurani, supaya
orang tak mudah tertipu oleh propaganda dan cuci otak yang dilakukan oleh
beragam kelompok sesat.
Peran negara dengan beragam institusinya juga penting di dalam memerangi segala
bentuk cuci otak. Sikap kritis dan metal berpikir ilmiah amat tepat diterapkan
sebagai garda depan di dalam memerangi cuci otak. Ketegasan dan koordinasi
cepat berbagai lembaga pemerintahan juga amat diperlukan dalam hal ini. Jika
ditemukan sejak dini, beragam bentuk cuci otak, terutama yang mengarah pada
radikalisme dan terorisme, bisa dicegah dengan cukup mudah.

Mengelola Penolakan
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Setiap orang yang pernah hidup pasti pernah mengalami penolakan. Bentuknya
beragam, mulai dari ditolak cinta sampai dengan ditolak lamaran kerja. Ada
penolakan yang berakhir bahagia, yakni ketika orang menemukan jalan untuk
membuka peluang baru. Namun, tak sedikit orang yang jatuh ke dalam depresi,
kecanduan narkoba bahkan bunuh diri, karena tak mampu mengelola penolakan.

Di dunia politik Indonesia, kita melihat penolakan yang membuat seorang pemikir
nasionalis, sekaligus mantan menteri, menjadi gubernur radikal yang
dipertanyakan integritas pribadinya. Ia dipecat dari jabatan sebelumnya, karena tak
mampu bekerja dengan baik. Akhirnya, ia mengingkari hati nuraninya, serta
menjadi bagian dari kelompok radikal dan koruptor. Penolakan bisa mengubah
ideologi hidup seseorang.
Satu hal yang pasti, penolakan adalah bagian dari kehidupan. Ia tak terhindarkan.
Orang yang terlihat berhasil pun pasti mengalami berbagai penolakan dalam
hidupnya. Seninya bukanlah menghindari penolakan, tetapi mengelolanya secara
bijaksana.

Mengelola Penolakan
Ada dua hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, kita harus menempatkan
penolakan dalam kerangka yang tepat. Penolakan haruslah dimaknai sebagai
kesempatan untuk berbenah diri, sekaligus membuka peluang baru. Disini
dibutuhkan kepekaan di dalam membaca keadaan.
Satu-satunya kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan untuk memaknai
setiap peristiwa secara jernih dan kreatif, apapun bentuk peristiwanya. Ini juga
berlaku, ketika orang berhadapan dengan penolakan. Kemampuan memberi makna
secara jernih dan kreatif ini sudah selalu ada di dalam diri manusia. Ia hanya perlu
disadari dan digunakan secara tepat.

Dua, penolakan seringkali membangkitkan emosi merusak di dalam diri. Orang


seringkali merasa tak berguna dan tak berharga, ketika dihantam penolakan
bertubi-tubi. Emosi ini sungguh menyiksa, sehingga beberapa orang bersedia
melakukan apapun untuk mengusirnya. Emosi ini perlu disadari sebagai sesuatu
yang sementara: ia datang dan segera berlalu, jika dipeluk dalam kepenuhan
kesadaran.
Sebagai manusia, diri kita yang asli bukanlah emosi ataupun pikiran kita. Itu
semua bagaikan tamu yang datang dan pergi. Diri kita yang asli adalah kesadaran
yang berada di belakang semua emosi dan pikiran tersebut. Ia bersifat tetap, jernih
dan damai. Inilah yang perlu dipahami betul, terutama ketika orang menghadapi
penolakan yang merangsang berbagai emosi merusak.

Melampaui Penolakan
Di hadapan penolakan, orang perlu melakukan apa yang perlu dilakukan secara
jernih dan damai. Mungkin, ia perlu berbenah diri. Mungkin pula, ia perlu melihat
kemungkinan lain yang tersedia. Apapun itu, keputusan haruslah dibuat dengan
berpijak dari “diri yang asli” (true self) masing-masing pribadi.
Setiap peristiwa mengajarkan sesuatu kepada kita untuk menyelam lebih dalam ke
kehidupan. Kita bisa saja menolak untuk belajar. Namun, sesuatu tidak akan
selesai, sampai semua pelajaran yang ada sudah dipetik dan dihayati. Inilah
kebenaran yang tak lekang ditelan waktu.

Menyelamatkan Pengetahuan
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Manusia adalah mahluk yang ingin tahu. Di dalam hatinya, ada dorongan untuk
memahami segala yang ada, dari gosip terbaru sampai dengan struktur alam
semesta. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah buah dari berkembangnya rasa
ingin tahu tersebut.

Sayangnya, pengetahuan sekarang ini telah mengalami penyempitan. Ia dilihat


bukan lagi sebagai ekspresi dari sisi terdalam manusia, melainkan sekedar sebagai
alat untuk mengabdi pada penguasa. Dengan kata lain, pengetahuan telah menjadi
budak bagi kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun bisnis.
Di abad neoliberal ini, pengetahuan disempitkan hanya sebagai upaya untuk
mencari uang. Pengetahuan menjadi kerdil dan bahkan merusak. Ia dilacurkan
untuk menciptakan berbagai senjata destruktif, dari senjata atom sampai senjata
biologis, dan juga untuk menciptakan sistem finansial yang melahirkan
ketidakadilan global.

Ini jelas berbahaya. Pengetahuan perlu dikembalikan ke tujuan asalinya, yakni


membebaskan manusia dari kebodohan yang menghancurkan hidupnya, termasuk
dari kemiskinan dan kekerasan. Untuk itu diperlukan suatu pandangan baru di
dalam melihat pengetahuan, termasuk dunia pendidikan yang menjadi ranah
penghasil utama pengetahuan.

Pedagogi Kritis
Pedagogi kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Henry Giroux, seorang pemikir
Kanada, kiranya bisa menjadi kemungkinan jalan keluar. Baginya, pendidikan
haruslah mengajak peserta didik untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan
yang membentuk masyarakat. Inilah yang disebutnya sebagai pengetahuan kritis
yang membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan.

Untuk itu, pedagogi kritis memberikan ruang yang amat besar untuk kreativitas.
Peserta didik didorong untuk aktif terlibat penuh di dalam proses pembelajaran.
Ruang untuk bertanya dan berbeda pendapat dibuka sebesar mungkin, guna
melatih pola berpikir kritis dan kreatif.

Proses ini akan membuka wawasan peserta didik tentang keadaan dunia. Keluasan
wawasan ini membuat mereka mampu menanggapi secara tepat perubahan dunia
yang tak terduga. Mereka juga terbiasa untuk melihat suatu masalah dari beragam
sudut, sehingga amat kreatif di dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan
keputusan.

Keluasan wawasan juga membantu peserta didik untuk berpikir reflektif. Dalam
arti ini, berpikir reflektif berarti melihat ke diri sendiri, guna menemukan hal yang
mesti diperbaiki. Berpikir reflektif adalah kunci untuk pengembangan diri.

Dari proses reflektif semacam ini lahirlah kepekaan moral. Peserta didik terasah
kepekaan baik dan buruknya, ketika melihat keadaan dunia di sekitarnya. Ia keluar
dari sikap masa bodoh yang begitu luas tersebar di kalangan generasi muda
sekarang ini.

Pedagogi kritis mendorong para peserta didik untuk terlibat di dalam perubahan
sosial. Ruang kelas hanya merupakan alat untuk merencanakan gerakan sosial.
Sisanya, melalui minat dan kepedulian masing-masing, setiap peserta didik terlibat
langsung di dalam perubahan sosial di masyarakatnya.

Demokrasi
Pedagogi kritis juga amat cocok untuk masyarakat demokratis, seperti Indonesia.
Demokrasi membutuhkan warga negara yang peduli, berwawasan luas, memiliki
pemahaman tentang hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat, serta
kepekaan moral di dalam melihat masalah. Tanpa ini semua, demokrasi dengan
mudah terpeselet ke dalam politik uang dan korupsi, seperti yang sekarang ini
banyak terjadi di Indonesia.
Dunia pendidikan Indonesia perlu untuk memeluk pedagogi kritis di dalam proses
menyelamatkan pengetahuan dari cengkraman kekuasaan politik dan bisnis yang
rakus. Pengetahuan haruslah ditempatkan kembali sebagai alat untuk
menyelamatkan manusia dari kebodohan, penindasan dan kemiskinan. Untuk itu,
pengetahuan perlu diselamatkan terlebih dahulu melalui penerapan pedagogi kritis
di dalam dunia pendidikan.

Tuna Nalar Global


Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Tiga negara, yakni Amerika Serikat, Prancis dan Inggris, menyerang Suriah
minggu ini. Alasannya: diduga Suriah menggunakan senjata kimia di dalam
konflik dalam negeri mereka. Donald Trump, Presiden AS, langsung
memerintahkan serangan militer terhadap Suriah dengan dukungan sekutunya,
yakni Inggris dan Prancis. Hanya karena dugaan, serangan militer yang
menghancurkan kehidupan Suriah, bahkan ketika mereka sedang mengalami
konflik internal, dilakukan. Nalar apa yang bekerja disini?

Di dalam hukum internasional, dugaan selalu menuntut penyelidikan, bukan


serangan militer. AS punya reputasi buruk soal ini. Perang Korea, Perang Vietnam
dan Perang Irak kedua pada 2003 lalu dilakukan atas dugaan yang justru nantinya
terbukti salah. Masalahnya, perang semacam ini memakan banyak sekali korban
jiwa, harta-benda serta menciptakan penderitaan yang amat besar bagi mereka
yang selamat. Ini tentunya tidak bisa dibenarkan.
PBB dan Komunitas Internasional
Bukankah ada hukum internasional? PBB bisa membuat tim khusus yang secara
cepat dan tepat untuk melakukan penyelidikan ke Suriah. Bagaimana dengan jalur
diplomasi atau bantuan kemanusiaan terhadap korban? Bukankah ini jauh lebih
layak dipertimbangkan, daripada serangan militer sepihak?

Lagi pula, dimana PBB? Salah satu mandat PBB adalah menjaga perdamaian
dunia. Sampai sekarang, banyak negara, termasuk PBB sebagai institusi
internasional terbesar, masih diam membisu. Dugaan, bahwa PBB hanya
merupakan kaki tangan AS dan sekutunya di Eropa Barat, mulai terasa sebagai
kenyataan.

Sudahlah, kita tak usah berharap pada PBB. Bagaimana dengan komunitas
internasional? Uni Afrika dan ASEAN masih diam saja. Apakah kita semua takut,
atau hanya tak peduli, karena sudah lelah dengan keadaan Timur Tengah dengan
drama perang mereka yang tak henti-henti?
Berbagai analisis muncul. Salah satu yang paling sering disuarakan adalah soal gas
bumi. AS dan sekutunya berkepentingan untuk menguasai Suriah dengan
pemerintah boneka, supaya pipa gas bisa mengarah dari Timur Tengah ke Eropa
dengan lancar dan damai. Ini tentu ditambah soal minyak yang memang sangat
banyak ditemukan di Suriah. Pemerintah resmi Suriah sendiri sudah lama bersikap
kritis terhadap sepak terjang AS di tingkat internasional.

Politik Bully
Politik global memang sama persis seperti politik anak Sekolah Dasar yang suka
berebut bermain perosotan. Ada sekelompok anak berbadan besar yang suka
menindas anak-anak lainnya. Guru dan murid lain pun juga diam saja. Semua pura-
pura tak tahu, tak peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Inilah mental pengecut yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Kita diam di
hadapan ketidakadilan. Kita cari aman, dan tak peduli pada penderitaan orang lain.
Kita sibuk mengurusi kenikmatan dan kesuksesan hidup kita semata.
Menyedihkan.

Padahal, jika Suriah dengan mudah diserang, seluruh dunia sebenarnya tak aman.
Jika berseberangan dengan kepentingan penguasa global, serangan militer adalah
harga yang mesti dibayar. Hanya diperlukan sedikit olah nalar untuk memahami
hal ini. Atau jangan-jangan, nalar kita pun sudah raib dihancurkan oleh sikap
pengecut dan ketidakpedulian? Apakah kita mengalami keadaan tuna nalar di
tingkat global?

Sementara di dalam Negeri


Gejala tuna nalar semakin tampak di dalam negeri. Puisi orang menjadi sumber
diskusi dan keributan besar. Pendapat orang tentang agama sebagai fiksi/fiktif
membuat heboh banyak orang. Pasal penistaan agama pun dimainkan. Ini ditambah
dengan politisi gagal yang berdiskusi tentang partai setan.

Apakah kita sadar, betapa konyolnya ini? Ini semua wacana yang tidak produktif
untuk kemajuan bangsa. Ini semua wacana yang justru membuat Indonesia menjadi
lemah, karena terpecah belah. Banyak hal lain yang layak menjadi wacana
bersama, dan amat membutuhkan perhatian kita bersama.

Urusan E-KTP masih terus harus diawasi publik. Urusan BLBI masih belum
selesai sampai sekarang. Banyak juga kepala daerah yang tertangkap korupsi.
Semua ini harus dikawal oleh kita bersama.

Di luar negeri, serangan militer terhadap Suriah adalah pelanggaran hukum dan
etiket internasional. Ini merupakan tindakan yang mengancam perdamaian dunia.
Persoalan Rohingya di Myanmar masih juga membutuhkan perhatian kita bersama.
Dukungan terhadap para korban pelanggaran HAM dan bencana alam di berbagai
belahan dunia masih harus terus diberikan.

Sadarkah kita, bahwa kita sedang mengalami pengalihan isu dan pendangkalan
wacana? Kita sibuk dengan hal-hal yang tidak penting untuk perkembangan
bangsa. Sementara, hal-hal yang penting justru terabaikan. Wacana dan diskusi
publik kita menjadi bermutu rendah, karena diisi dengan tema yang tidak penting,
dan dilakukan dengan penuh kebencian serta kemarahan.

Tuna Nalar
Apakah kita semua, dan juga dunia, sedang mengalami tuna nalar? Apakah nalar
kita menjadi begitu pendek dan sempit, sehingga kehilangan kemampuan moral
dan komunikatifnya? Apakah kita terjebak menjadi manusia satu dimensi yang
hanya sibuk soal perut dan kenikmatan pribadi kita? Apakah kita lupa, bahwa
dunia ini saling terhubung satu sama lain, sehingga satu masalah di satu bagian
dunia adalah masalah bagi kita semua?

Apakah kita tidak mampu melihat hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak adil
di tingkat internasional sekarang ini? Apakah kita tidak sadar sadar, bahwa di
Indonesia, kita mengalami pengalihan isu dan pendangkalan wacana? Apakah kita
tidak sadar, bahwa kita sedang dipecah belah? Apakah kita tidak sadar, bahwa kita
sedang membuang waktu dan energi percuma untuk bertengkar sia-sia?

Jika kita kehilangan kepekaan pada semua hal di atas, maka kita mengalami tuna
nalar. Nalar kita tidak berfungsi dengan baik. Kita hidup dikuasai hasrat berkuasa
dan kenikmatan belaka. Kita kehilangan kemanusiaan yang justru sebenarnya
merupakan inti hidup kita.

Heidegger, “Ada” dan Utopia


Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Ilmu pengetahuan modern lahir dari rahim filsafat. Filsafat sendiri dapat dilihat
sebagai upaya manusia untuk memahami segala yang ada secara kritis, rasional
dan sistematik. Buah dari filsafat adalah pengetahuan tentang kehidupan.
Walaupun begitu, menurut Martin Heidegger, filsafat haruslah bergerak lebih
dalam dengan mempertanyakan dasar dari keberadaan segala sesuatu itu sendiri,
atau yang disebutnya sebagai “Ada” (Sein).
Filsafat berkembang melalui pertanyaan tentang alam. Inilah yang disebut sebagai
kosmosentrisme. Alam menjadi obyek utama berbagai diskusi dan refleksi
filosofis. Inilah akar dari ilmu fisika modern, sebagaimana dipahami sekarang ini.
Walaupun begitu, alam adalah bagian dari Ada, dan bukan merupakan Ada itu
sendiri.
Filsafat pun mengalihkan pertanyaan ke arah Tuhan. Inilah yang kemudian dikenal
sebagai Teosentrisme. Tuhan menjadi obyek kajian dan renungan filosofis.
Walaupun begitu, ketika Tuhan disempitkan menjadi semata konsep, maka ia pun
bukan merupakan Ada yang merupakan dasar dari keberadaan itu sendiri.

Masa berikutnya ditandai dengan pergulatan tentang manusia. Filsafat pun


memasuki masa antroposentrisme. Manusia menjadi titik tolak dari renungan dan
kajian filosofis. Namun, manusia pun merupakan bagian dari Ada, dan bukan Ada
itu sendiri.

Heidegger menyebut filsafat yang gagal memahami Ada ini


sebagai Seinsvergessenheit, atau kelupaan akan Ada. Filsafat mencoba mendekati
dasar dari kenyataan, namun gagal, karena terjebak hanya pada unsur-unsur dari
kenyataan itu sendiri. Filsafat sibuk pada permukaan, dan lupa pada inti. Maka dari
itu, Heidegger mencoba mengarahkan kembali filsafat pada apa yang sungguh
penting, yakni Ada sebagai dasar dari keberadaan itu sendiri.
Walaupun begitu, sejauh saya amati, Heidegger pun jatuh pada salah kaprah baru.
Ia menyamakan Ada sebagai dasar dari keberadaaan yang bisa didekati melalui
manusia, bahasa dan pikiran. Ada pun lalu kembali menjadi konsep dan bahasa. Ini
berarti Ada kembali disempitkan pada sesuatu yang bukan-Ada.

Pendek kata, Heidegger jatuh pada apa yang menjadi kritiknya sendiri terhadap
filsafat. Ini memang penyakit yang lumrah ditemukan di kalangan filsuf. Contoh
paling klasik adalah kritik Immanuel Kant terhadap metafisika tradisional yang
justru melahirkan metafisika baru. Walaupun begitu, perkembangan dan perubahan
di dalam filsafat justru terjadi, karena hal ini.

Lalu bagaimana dengan Ada itu sendiri? Ada itu, menurut saya, adalah utopia.
Dalam arti ini, utopia berarti “tanpa tempat”. Ia tidak ada dalam bahasa ataupun
pikiran, karena ia justru menjadi dasar dari bahasa ataupun pikiran itu sendiri.

Ada itu haruslah dicerap dalam keseluruhannya. Ia merupakan pengalaman


langsung serentak dengan dunia sebagai keseluruhan. Ketika dikurung dalam
konsep dan bahasa, ia kehilangan dirinya sendiri. Dengan kata lain, Ada harus
dibiarkan “ada”.
Tentang Ego yang Tak (Pernah) Ada
Peter Gric, “Dissolution of Ego IV”
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Ada dua misteri semesta yang masih menjadi pergulatan para ilmuwan. Yang
pertama adalah hakekat dari alam semesta, termasuk seberapa besar dan unsur-
unsur apa saja yang menyusunnya. Yang kedua adalah hakekat dari diri, atau ego,
termasuk eksistensi dan unsur-unsur pembentuknya. Yang kedua ini lebih menarik
untuk diperhatikan.

Sejarah “Ego”
Penyelidikan tentang ego sudah lama berlangsung di dalam sejarah pemikiran
manusia. Pemikiran Jawa kuno, misalnya, membedakan antara ego kecil dan ego
besar. Ego kecil adalah bentukan sosial, yakni hasil dari hubungan dengan keluarga
dan masyarakat secara luas. Ego besar adalah energi semesta yang sudah selalu
ada, dan menjadi sumber dari kebijaksanaan hidup yang tertinggi.
Pemikiran Eropa, terutama psikoanalisis Sigmund Freud, mencoba membagi ego
ke dalam tiga unsur, yakni id, ego dan superego. Id adalah dorongan-dorongan liar
manusia, termasuk di dalamnya hasrat dan keinginan yang tak rasional. Ego adalah
unsur pembuat keputusan dan pertimbangan. Superego adalah kumpulan ajaran
moral dari masyarakat yang mengatur perilaku maupun keputusan seseorang.

Freud juga menekankan, bahwa ego yang sadar hanyalah sebagian kecil dari
keseluruhan ego itu sendiri. Sebagian besar pribadi manusia terdiri dari unsur
ketidaksadaran (Unbewusstsein) yang justru amat mempengaruh cara berpikir dan
perilakunya. Pandangan ini dilanjutkan oleh Carl Gustav Jung di tingkat sosial,
yakni dengan merumuskan konsep ketidaksadaran kolektif (kollektives
Unbewusstsein). Pandangan Freud dan Jung masih menjadi acuan di dalam
melakukan terapi psikoanalisis sekaligus analisis sosial sekarang ini.
Eksistensi Ego
Di dalam kebijaksanaan Timur, ego dianggap ilusi. Ia tidaklah ada. Ego, sebagai
bentukan sosial, adalah hasil dari kesalahan berpikir yang berkembang menjadi
kebiasaan. Ilusi yang terus dipercaya akan seolah menjadi kenyataan yang tak bisa
disanggah.

Apa yang disebut sebagai “diri” atau ego adalah kumpulan dari berbagai unsur
yang terpisah, seperti tubuh dan pikiran. Tubuh sendiri bukanlah satu kesatuan,
melainkan juga kumpulan dari organ, darah, tulang dan saraf. Pikiran juga
merupakan hasil pembiasaan sosial (social conditioning) dalam hubungan dengan
keluarga dan masyarakat. Perpaduan dari semua ini membentuk ego yang tanpa
inti, tanpa esensi.
Pandangan ini juga didukung oleh penelitian neurosains. Beberapa pemikir besar,
seperti Thomas Metzinger dari Jerman, Anil Seth dari Inggris dan Daniel Dennet
dari Amerika Serikat, telah melakukan penelitian mendalam soal ego dari sudut
pandang filsafat dan neurosains. Mereka sampai pada kesimpulan serupa, bahwa
ego itu hanya bentukan yang tidak mempunyai inti nyata. Ego itu seperti asap atau
bayangan.

Untuk Hidup Kita


Apa implikasi dari beragam teori dan hasil penelitian yang sudah sedikit
disinggung sebelumnya? Jika ego tidak ada, maka pikiran dan emosi yang dialami
adalah tanpa inti. Mereka semua kosong. Mereka datang dan pergi, seperti asap.

Berbagai masalah muncul, karena orang mempercayai pikiran dan emosi yang
mereka rasakan. Mereka mengira, itu semua adalah kebenaran. Padahal, keduanya
adalah tanpa inti dan tanpa esensi. Bentuk dasar dari keduanya adalah kosong dan
ilusif.

Jika orang paham, bahwa pikiran dan emosinya adalah ilusi, maka masalah tidak
lagi menjadi berat. Penderitaan yang dirasakan juga tidak lagi menjadi berat dan
panjang. Semuanya hanya akan menjadi tamu yang numpang lewat, dan akan
segera pergi. Hidup pun akan jauh dari penderitaan batin yang tak perlu.

Ini kiranya sesuai dengan pandangan dari kebijaksanaan Timur, terutama ajaran
Buddha. Ego, dari sudut pandang Buddha, adalah sumber penderitaan. Dengan
ego, orang melihat dunia melulu dari sudut pandang kepentingan dirinya. Ambisi,
nafsu dan keserakahan lalu muncul tak terkendali. Padahal, ini semua adalah upaya
yang sia-sia, karena ego, sesungguhnya, tak pernah ada (Anatta).
Kesadaran akan tidak adanya ego membuat segala sesuatu menjadi ringan. Pikiran
dan emosi tidak lagi menekan begitu kuat. Penderitaan datang dan pergi dengan
cepat. Depresi dan beragam penyakit pikiran lainnya pun tak lagi muncul dan
berkembang. Ketika ego disadari sebagai tidak ada, maka kesadaran semesta di
dalam diri akan secara alami tumbuh. Kesadaran semesta inilah sumber
kebijaksanaan tertinggi yang bisa disadari oleh manusia.

Ketika ini dialami, maka kesehatan mental dan kedamaian batin adalah buahnya.
Orang menjadi sepenuhnya rileks di dalam menjalani hidupnya, tanpa terjatuh ke
dalam kemalasan dan sikap tak peduli. Inilah kunci terdalam perdamaian dunia
yang bergerak lebih mendasar daripada berbagai dialog dan kebijakan politik di
tingkat global. Kesadaran akan ketiadaan ego bisa menggiring orang pada
kedamaian batin dan perdamaian dunia
Peduli
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Rasa peduli rupanya menjadi barang langka di dunia sekarang ini. Orang hanya
hidup untuk kepuasaan dirinya semata. Kepentingan orang lain dikorbankan, tanpa
rasa salah. Alam pun rusak, karena manusia memeras alam, demi kepuasan dirinya
semata.

Rasa Peduli
Padahal, seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, filsuf Jerman, di dalam bukunya
yang berjudul Sein und Zeit, rasa peduli (Sorge) adalah hubungan dasariah antara
manusia dengan dunianya. Manusia hidup di dalam dunia yang tak ia pilih. Ia
“terlempar”, begitu kata Heidegger. Mutu hidup manusia ditentukan dari sejauh
mana ia mampu mengembangkan rasa peduli ini di dalam hubungannya dengan
dunia.
Rasa peduli juga didasari oleh empati. Empati, dalam arti ini, adalah kemampuan
manusia untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Rasa peduli bergerak
lebih jauh dengan memikirkan apa yang menjadi kebutuhan orang lain, dan
tindakan nyata apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan itu.

Sebenarnya, rasa peduli amatlah penting di dalam hidup bersama. Solidaritas juga
tumbuh dari rasa peduli ini. Sayangnya, di berbagai bidang kehidupan, kita
menyaksikan krisis rasa peduli. Krisis ini lalu menjadi sumber bagi beragam krisis
lainnya.

Krisis Rasa Peduli


Di bidang politik, kita menyaksikan banyak politisi busuk dan korup. Kepala
daerah yang terbukti melakukan korupsi. Bahkan, ketua lembaga yang mewakili
kepentingan rakyat pun terjebak di dalam dugaan korupsi raksasa. Begitu
banyaknya politisi tanpa rasa peduli inilah yang membuat masyarakat curiga pada
dunia politik sebagai keseluruhan.

Padahal, kepedulian adalah inti dari politik di dalam masyarakat demokratis,


seperti Indonesia. Rakyat memiliki para wakil dan pemimpinnya, karena mereka
dianggap peduli pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dalam arti ini,
pemimpin publik berarti pelayan publik. Rasa peduli adalah bagian yang amat
penting di dalam pelayanan.

Hal yang sama dapat ditemukan di bidang bisnis. Orang dibutakan oleh uang dan
kenikmatan yang datang dari uang tersebut. Segala hal pun dilakukan, termasuk
merugikan pekerja dan masyarakat secara umum, guna mendapatkan keuntungan
sebesar mungkin. Hidup mereka dibimbing oleh hasrat kerakusan.

Ini tentunya bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam membangun bisnis yang


bermutu, menguntungkan dan berkelanjutan. Markus Vogt, di dalam bukunya yang
berjudul Prinzip Nachhaltigkeit: Ein Entwurf aus theologisch-ethischer
Perspektive, menegaskan pentingnya nilai-nilai yang dibalut di dalam rasa peduli
untuk mengembangkan organisasi di dalam berbagai bentuknya. Pembangunan
yang berkelanjutan (nachhaltige Entwicklung), demikian katanya, berpijak pada
dua hal, yakni solidaritas dan kebebasan pribadi.
Bisnis bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga soal menciptakan sesuatu yang
bernilai untuk masyarakat. Nilai tersebut bisa berupa barang ataupun jasa.
Keuntungan hanyalah dampak dari tingginya mutu dari nilai yang disediakan oleh
sebuah organisasi. Pandangan dasar ini tidaklah boleh dilupakan.

Dunia pendidikan juga dilanda dengan krisis rasa peduli. Peserta didik dilihat
sebagai mesin-mesin yang harus patuh mengikuti pelajaran dan ujian. Mereka
diberikan kemampuan untuk bisa berkompetisi di dunia bisnis. Sayangnya, di
dalam proses itu, pemikiran kritis dan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial
juga terkikis.

Inilah yang disebut oleh Henry Giroux, di dalam bukunya yang berjudul On
Critical Pedagogy, sebagai pedagogi neoliberal. Pendidikan menjadi budak dari
bisnis dan ekonomi. Uang menjadi ukuran utama keberhasilan hidup. Nilai-nilai
luhur kehidupan dan pendidikan pun tersingkir secara perlahan namun pasti.
Padahal, rasa peduli adalah jantung hati pendidikan. Tanpa rasa peduli, pendidikan
hanyalah sekedar pelatihan semata. Ia tidak memberikan inspirasi, membentuk dan
mengubah karakter. Ia hanya mengajar, layaknya memindahkan pengetahuan dari
komputer satu ke komputer lainnya.

Akhir kata, rasa peduli memang tidak akan pernah hilang. Ia adalah bagian dari
kehidupan yang ada di dalam diri setiap mahluk. Namun, ia bisa terlupakan,
terutama oleh manusia yang dijajah oleh rasa rakus yang tak terkendali. Tugas
kitalah untuk mengingatnya, dan menerapkannya dalam keseharian.

Kompetisi dan Komparasi: Dua Racun


Mematikan Pendidikan
Words like Poison (•Katie)
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta, Sedang Menulis Buku Berjudul “Pendidikan sebagai
Pembebasan: Terobosan untuk Pendidikan Abad 21’”
Secara global, keadaan pendidikan amatlah memprihatinkan. Pendidikan
berubah menjadi proses dehumanisasi, dimana orang kehilangan kemanusiaannya
justru dengan belajar untuk mengembangkan dirinya. Inilah ironi pendidikan
terbesar di abad 21. Tak heran jika Noam Chomsky, salah satu pemikir terbesar
dunia sekarang ini, menulis di dalam bukunya yang berjudul Class Warfare, bahwa
pendidikan justru membunuh kecerdasan, kepekaan moral dan kebahagiaan yang
merupakan tiga ciri utama kemanusiaan.
Kompetisi dan Komparasi
Mari kita cermati keadaan pendidikan global sekarang ini. Di semua negara, dua
prinsip pendidikan diterapkan, tanpa ada sikap kritis, yakni kompetisi dan
komparasi, atau perbandingan. Kompetisi dianggap sebagai prinsip suci yang tak
boleh dibantah. Anak didorong untuk berkompetisi menjadi yang terbaik dari
antara teman-temannya, jika perlu dengan mengorbankan kebahagiaan maupun
kecerdasan alami yang ia punya.
Kompetisi menjadi ukuran di berbagai tingkat pendidikan. Sang juara dipuja
layaknya dewa. Sementara, nomor dua dan seterusnya dianggap pecundang yang
terus terabaikan. Tak heran, banyak anak justru kehilangan keceriaan dan
kebahagiaan alaminya, karena ia pergi ke sekolah untuk memperoleh pendidikan.

Prinsip kedua adalah komparasi, atau perbandingan. Di dunia pendidikan, ranking


menjadi nomor satu. Komparasi memang tak bisa dipisahkan dari kompetisi.
Keduanya bertaut erat tidak hanya di dalam menghancurkan keluhuran pendidikan,
tetapi juga di dalam membunuh vitalitas kehidupan itu sendiri.

Akibatnya, anak tak pernah merasa puas dan bahagia dengan dirinya sendiri. Ia
selalu merasa tertekan, guna memenuhi keinginan lingkungan sosialnya, terutama
dengan memenangkan kompetisi dan menjadi yang terbaik dibandingkan dengan
teman-temannya. Tak heran pula, tingkat bunuh diri anak usia sekolah meningkat
di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di berbagai negara, lemahnya dukungan
keluarga dan terus meningkatnya beban pendidikan di sekolah menjadi faktor
utama, sebagaimana dijelaskan oleh para peneliti di The University of Southern
Mississippi di dalam penelitian yang berjudul Student Suicide: A Negligence Issue
in Higher Education.
Pendidikan Ketinggalan Jaman
Ada dua hal yang kiranya menjadi penyebab. Pertama, pendidikan di dunia,
termasuk di Indonesia, masih menggunakan cara berpikir di masa revolusi industri
pertama. Di dalam cara berpikir ini, pendidikan itu adalah proses manufaktur,
seperti di pabrik. Semua bahan diolah dengan cara yang sama, dan kemudian
keluar dalam bentuk dan mutu yang sama. Keseragaman menjadi ukuran utama
dari keberhasilan pabrik yang bernama pendidikan.

Ken Robinson, di dalam bukunya yang berjudul Creative Schools: The Grassroots
Revolution That’s Transforming Education, berulang kali menegaskan hal ini.
Pendidikan yang dilihat seperti pabrik justru membunuh unsur utama pendidikan
itu sendiri, yakni kreativitas. Kreativitas muncul dari keberagaman dan perbedaan.
Ia juga muncul dari kemanusiaan dan kebahagiaan yang dibiarkan tumbuh secara
alami di dalam pendidikan.
Dua, pendidikan di abad 21 juga sudah terkena virus neoliberalisme. Di dalam
paham ini, segala unsur kehidupan diukur semata dengan nilai ekonomi. Uang
menjadi dewa, dan segala nilai lain terpinggirkan. Akibatnya, pendidikan justru
merusak budaya demokrasi yang membutuhkan pemikiran kritis dan kepekaan
moral kemanusiaan, serta menjadi semata pengabdi kepentingan pasar.

Inilah argumen yang ditawarkan oleh Henry Giroux di dalam bukunya yang
berjudul On Critical Pedagogy. Neoliberalisme telah memasuki tidak hanya sistem
birokrasi adminstratif pendidikan, tetapi juga roh pendidikan itu sendiri. Kompetisi
dan komparasi dilihat sebagai sesuatu yang jauh lebih berharga, daripada kerja
sama dan keberagaman minat serta dorongan alami manusia. Yang tersisih adalah
mereka yang miskin, karena tak mampu mendapatkan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu, atau bahkan mendapatkan pendidikan
sama sekali.
Revolusi Mental Pendidikan
Menanggapi racun-racun pendidikan di atas, dua hal kiranya bisa dilakukan.
Pertama, arah dan filsafat dasar pendidikan harus diubah sama sekali. Pendidikan
sebagai pabrik dan pendidikan yang mengabdi pada kepentingan pasar haruslah
diubah sampai ke akarnya. Yang kemudian diterapkan adalah pendidikan kritis dan
humanis, sebagaimana dirumuskan oleh Julian Nida-Rümelin, pemikir Jerman, di
dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung.
Pendidikan kritis adalah pendidikan yang mengedepankan pertanyaan dan analisis
terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat. Analisis ini
kemudian dibalut dengan kepekaan moral dan rasa kemanusiaan tertentu, guna
menentukan langkah yang tepat untuk mengubah keadaan. Ini semua lalu
mendorong tindakan bersama dalam ragam bentuk gerakan sosial untuk
mendorong perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih adil, demokratis dan
makmur. Pendidikan yang kritis dan humanis, demikian kata Nida-Rümelin, akan
membuat pendidikan kembali relevan untuk kehidupan manusia sebagai
keseluruhan.

Dua, pandangan Jaggi Vasudev, di dalam bukunya yang berjudul Inner


Engineering: A Yogi’s Guide to Joy, kiranya juga penting untuk diperhatikan. Ia
menekankan, bahwa pendidikan yang pertama dan terutama adalah pendidikan
untuk memahami jati diri manusia yang sebenarnya sebagai mahluk semesta. Ia
berdiri setara dengan semua mahluk yang ada di alam semesta ini. Inilah inti utama
dari pendidikan kosmopolit, sebagaimana juga dirumuskan oleh para pemikir Stoa,
terutama Markus Aurelius di dalam bukunya yang berjudul Meditations.
Sebagai warga semesta, perbedaan lalu dilihat sebagai kulit semata. Pada intinya,
semua mahluk itu sama dan setara, baik secara biologis maupun metafisis.
Kesamaan ini lalu mendasari berbagai keberagaman yang dirayakan dalam
perdamaian dan kebahagiaan. Dalam keadaan seperti ini, jauh dari kompetisi dan
komparasi, kemampuan alami manusia bisa bertumbuh dengan gemilang.

Kompetisi dan komparasi memang merupakan dua racun mematikan pendidikan.


Ia membunuh pendidikan itu sendiri, beserta kemanusiaan para pendidik dan
peserta didik. Kebahagiaan dan spontanitas kehidupan dilenyapkan atas dasar
kepatuhan buta dan ambisi untuk menjadi yang nomor satu. Mau sampai kapan kita
menyiksa anak-anak kita dengan cara seperti ini?

Kecerdasan Spiritual
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Mendengar kata kecerdasan spiritual, orang langsung teringat dengan agama,
beserta segala ritual maupun aturannya. Pandangan ini salah besar.

Kecerdasan spiritual tidak ada hubungannya dengan agama, termasuk dengan


segala ritual maupun aturan-aturannya. Yang seringkali terjadi, jika tidak
ditafsirkan secara bijak, agama justru bisa menghambat kecerdasan spiritual
seseorang, terutama dengan ritual serta aturannya yang sudah ketinggalan jaman.

Kecerdasan Spiritual
Konsep kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence) dirumuskan secara sistematis
oleh Robert Emmons di dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Is Spirituality an
Intelligence? Motivation, Cognition, and the Psychology of Ultimate Concern.
Tulisan ini diterbitkan di dalam sebuah jurnal ilmliah yang bernama International
Journal for the Psychology of Religion.
Konsep ini berkembang dari penelitian Howard Gardner tentang kecerdasan jamak
(Multiple Intelligences). Ia menekankan, bahwa kecerdasan manusia memiliki
banyak jenis, dan masing-masing harus dilihat secara unik, walaupun saling
terhubung satu sama lain.
Bagi Emmons, kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia untuk
menciptakan keutuhan di dalam dirinya. Ia tidak lagi terbelah oleh kekecewaan dan
kecemasan, melainkan satu dan utuh sebagai pribadi yang terhubung dengan dunia.
Inilah yang disebutnya sebagai transformasi intrapersonal (intrapersonal
transformation).
Bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual semacam ini? Ada empat hal
yang kiranya perlu diperhatikan.
Tujuan dan Makna
Pertama, kecerdasan spiritual berkembang, ketika orang paham akan tujuan dan
makna hidupnya. Tujuan dan makna hidup amatlah mendasar, yakni untuk hidup
sesuai dengan segala potensi yang ada untuk kebaikan sebanyak mungkin pihak.
Harus diakui, banyak orang hidup untuk sekedar hidup. Mereka tak paham tujuan
dan makna hidup mereka. Hidup mereka terasa kosong, karena diisi dengan
pengejaran pemenuhan kebutuhan-kebutuhan palsu, seperti harta, nama baik dan
kepuasan seksual.

Padahal, jika semua itu diikuti, orang akan terjebak pada kekecewaan dan
kekosongan batin. Kenikmatan dari luar selalu bersifat sementara, dan berakhir
dengan ketidakpuasan.

Maka dari itu, tujuan dan makna hidup haruslah dicari ke dalam diri manusia,
yakni menemukan jati diri sejatinya sebagai warga semesta. Hanya dengan begitu,
orang bisa hidup sepenuhnya, dan membaktikan semua dirinya untuk kebaikan
semua mahluk.

Mengelola Diri
Dua, kecerdasan spiritual juga berkembang sejalan dengan kemampuan orang
mengelola dirinya. Dalam arti ini, mengelola diri berarti mengelola segala pikiran,
emosi dan keinginan yang datang dan pergi.
Orang tidak lagi disiksa oleh pikiran-pikirannya, biasanya dalam bentuk
penyesalan dan kecemasan. Orang juga tidak lagi diperbudak oleh emosinya,
sehingga ia mudah sekali jatuh ke dalam kemarahan dan kesedihan mendalam.

Dua hal inilah yang rupanya sulit sekali dilakukan oleh manusia modern. Orang
cenderung mengira pikiran dan emosinya sebagai kenyataan, sehingga hanyut ke
dalamnya, dan terjebak ke dalam penderitaan yang tanpa faedah. Beragam
keinginan dikejar, tanpa sikap kritis dan reflektif, yang akhirnya bermuara pada
kekecewaan.

Kemampuan mengelola diri amatlah penting di dalam kehidupan. Ini dilakukan


dengan memahami dan mengalami sungguh kekosongan dari semua pikiran, emosi
dan keinginan yang muncul di dalam diri.

Kesadaran
Tiga, kecerdasan spiritual juga membutuhkan kesadaran. Dalam arti ini, kesadaran
adalah kemampuan untuk hidup dari saat ke saat dengan perhatian penuh terhadap
segala pikiran, emosi maupun keinginan yang muncul.
Orang pun lalu bisa bertindak dengan kesadaran penuh. Kemarahan dan tindakan
keras dilakukan juga dengan kesadaran penuh, jika memang keadaan sungguh
menuntut untuk itu.
Banyak orang tak bisa melakukan ini. Mereka melakukan semuanya tanpa
kesadaran dan perhatian, sehingga dampaknya pun cenderung tak terduga, mulai
dari melukai orang lain sampai dengan menghancurkan alam.

Jika sudah begitu, penyesalan dan kecemasan pun memenuhi pikiran. Kesadaran
dan perhatian adalah unsur yang amat penting di dalam membentuk kecerdasan
spiritual.

Melampaui Ego
Empat, kecerdasan spiritual membongkar ego diri, dan mengajak orang melampaui
kepentingan dirinya. Hidupnya diarahkan pada kepentingan semua mahluk, dan
bukan hanya fokus pada kenikmatan maupun kejayaan pribadi semata.
Ini mungkin hal yang paling sulit dilakukan. Orang cenderung terbiasa melihat
segala sesuatu dari kaca mata kepentingan dirinya. Kepentingan orang lain, apalagi
kepentingan alam, cenderung diabaikan, bahkan dikorbankan.

Kerakusan menjadi daya dorong tanpa kesadaran. Sikap jahat dan manipulatif
menjadi sesuatu yang alami dilakukan. Hal inilah yang menghancurkan tidak
hanya mutu kehidupan politik di Indonesia, tetapi juga mutu hidup pribadi orang-
orang yang ada di dalamnya.

Jika dilihat secara jeli, kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan terpenting yang
bisa dimiliki oleh manusia. Orang bisa memiliki kecerdasan logis-matematis atau
kecerdasan seni-estetik. Namun, jika ia tidak memiliki kecerdasan spiritual, maka
kecerdasan yang ia punya bisa tergelincir menjadi perusak diri maupun hidup
bersama.

Bukankah ini yang terjadi pada para politisi busuk dan pebisnis korup?
Paradoks Harapan
Mard Issa The Wasteland of Hope
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Manusia memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang
bisa bangun tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan
hidup yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu
menyelamatkan manusia.

Namun, harapan juga memiliki paradoks. Ia tidak hanya daya dorong kehidupan,
tetapi juga sumber kehancuran, terutama harapan yang tak terwujud. Ketika
harapan besar terhempas oleh gejolak kehidupan, patah hati, kebencian dan konflik
adalah buahnya. Ini terjadi di banyak tingkat, mulai dari tingkat pribadi sampai
dengan hubungan antar bangsa.
Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam memahami harapan. Darimana
datangnya harapan? Apa inti dari harapan? Bagaimana mengelola harapan, supaya
ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan sumber kekecewaan?

Harapan: Ciptaan Masyarakat


Sedari kecil, kita hidup di dalam lingkungan sosial. Kita menjalani pendidikan di
dalam sekolah yang didirikan oleh masyarakat. Kita menelan, seringkali tanpa
sikap kritis, apa yang diajarkan. Kita pun mempercayai dan menghidupi nilai-nilai
yang ada di masyarakat kita.

Segala pola pikir dan pola perilaku yang kita punya adalah bentukan masyarakat
kita. Perubahan tentu mungkin. Namun, itu seperti menambah program baru di
program yang sudah ada sebelumnya. Yang terbentuk adalah semacam
percampuran antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.

Harapan juga sama. Ia adalah bentukan lingkungan sosial kita. Orang yang lahir di
keluarga pedagang cenderung berharap menjadi pedagang besar. Orang yang lahir
di keluarga akademisi pun cenderung berharap menjadi seorang pemikir besar.
Harapan, pendek kata, adalah hasil dari programming sosial.
Jika orang tak menyadari ini, dan mengira harapan yang ia punya adalah
harapannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam ilusi. Ia mengira dirinya bebas,
padahal tetap terpenjara di dalam dunia sosial. Ia hidup seperti robot, tunduk pada
pengakuan dan penolakan dari dunia sosial. Hidup seperti ini amat rentan pada
kekecewaan, patah hati, stress, depresi dan konflik.
Mengelola Harapan
Jika harapan adalah “sampah” dari lingkungan sosial, maka pilihlah sampah yang
baik. Ada empat hal yang kiranya bisa dilakukan. Pertama, dari semua harapan
yang ada, pilihlah harapan yang bergerak melampaui kepentingan diri kita semata.
Pilihlah dan hiduplah dengan harapan yang mampu membawa kebaikan tidak
hanya untuk hidup manusia, tetapi untuk alam semesta.
Dua, kita juga mesti paham dengan keadaan. Jangan memiliki harapan yang terlalu
tinggi, cukup bisa berguna untuk banyak orang, dan bisa diwujudkan dengan kerja
sama. Tentu saja, kita juga perlu meningkatkan kemampuan, supaya harapan kita
bisa menjangkau kebaikan yang lebih tinggi dan lebih luas. Itulah gunanya belajar
untuk pengembangan diri, yakni supaya kemampuan kita untuk mewujudkan
harapan bisa meningkat.
Tiga, harapan seringkali terhempas di tengah jalan, walaupun harapan itu baik dan
cukup realistis. Disini diperlukan kesabaran. Dalam arti ini, kesabaran adalah
kemampuan untuk bertahan mengejar harapan, walaupun beragam tantangan
datang menghadang. Tanpa kesabaran, harapan apapun tak akan terwujud,
walaupun didukung oleh kecerdasan dan modal yang besar.
Empat, walaupun begitu, kita tetap harus tahu, kapan harus berhenti berharap.
Berhenti disini bukanlah tanda kekalahan, melainkan tanda kebijaksanaan. Apa
yang punya awal haruslah memiliki akhir. Inilah hukum alam semesta yang tak
tergoyahkan.
Paradoks harapan adalah ciri dari harapan itu sendiri. Ia bisa dihindari, asal orang
bisa berharap dengan sadar, yakni sadar akan kenyataan dan keterbatasan, tanpa
jatuh ke dalam sikap putus asa. Harapan lahir dari hubungan dengan lingkungan
sosial yang ada. Ia bisa memenjara, tetapi juga bisa membebaskan, jika dikelola
dengan tepat.

Mari Mengejar Kenikmatan


Conspirators of Pleasure, Jan Svankmajer
Oleh Reza A.A Wattimena
Setiap jengkal kehidupan di alam semesta ini selalu mencari kebahagiaan, dan
menghindari penderitaan. Begitulah fakta semesta yang tak bisa dibantah. Salah
satu unsur pembentuk kebahagiaan adalah kenikmatan. Maka, ia tak bisa
dilangkahi begitu saja.

Di dalam hidup, kita harus mencari kenikmatan. Makanan yang nikmat akan
membuat kita merasa segar. Tidur yang nikmat akan mengisi tenaga kita kembali.
Persahabatan dan percintaan yang nikmat akan mengisi hidup kita dengan warna
warni keindahan.
Sayangnya, banyak orang salah paham. Mereka mencari kenikmatan tidak dengan
sepenuh hati. Mereka tidak mencari kenikmatan tertinggi yang bisa diraih manusia.
Padahal, kenikmatan yang tak sepenuh hati itu banyak efek samping yang
merugikan.

Contohnya adalah seks, makan berlebihan, belanja berlebihan sampai dengan


alkohol. Semuanya tentu memberi kenikmatan. Namun, bentuknya setengah hati,
dan memiliki efek samping yang merugikan, jika tidak dilakukan secara sadar.
Pendek kata, semuanya memberi kenikmatan sesaat dan setengah hati.

Kenikmatan tertinggi bisa diraih, jika orang paham jati diri mereka sebenarnya.
Inilah kesadaran halus dibalik segala pikiran dan emosi yang muncul. Kesadaran
ini menerima sepenuhnya apa yang terjadi disini dan saat ini. Kedamaian dan
kebahagiaan pun muncul secara alami di dalam diri.

Inilah kenikmatan tertinggi yang bisa diraih manusia. Semua bentuk kenikmatan
setengah hati, seperti seks, makan sampai dengan alkohol, menjadi tak lagi berarti.
Itu semua bisa dilakukan dengan kesadaran, dan tidak dengan dorongan tanpa arah.
Jika orang menemukan kenikmatan tertinggi di dalam dirinya ini, maka segala
bentuk kekecewaan dan penderitaan di dalam hidup bisa dijalani dengan penuh
kedamaian.

Maka, janganlah tanggung-tanggung di dalam mengejar kenikmatan. Kejarlah


kenikmatan yang tertinggi, yakni pemahaman jati dirimu yang sesungguhnya,
maka semuanya akan ditambahkan kepadamu. Inilah pengalaman saya, dan
pengalaman jutaan orang lainnya yang menekuni jalan ini sebelum saya.

Masyarakat “Mata Keranjang”


Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Kita hidup di masyarakat “mata keranjang”. Di dalam masyarakat semacam ini,
segala hal dikaitkan dengan seksualitas, tepatnya dengan hubungan seks. Tubuh
perempuan terbuka sedikit, pikiran banyak orang langsung ke arah seks. Tubuh
pria kekar sedikit, pikiran mereka pun langsung tertarik secara seksual.
Tak heran, di masyarakat semacam ini, banyak mata keranjang dan hidung belang.
Ini adalah julukan bagi orang-orang yang suka melihat orang lain secara seksual. Ia
hanya ingin menggunakan orang lain untuk kenikmatan dirinya, tanpa peduli pada
harkat dan martabat orang lain sebagai manusia. Tak heran pula, di masyarakat
semacam ini, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tindak
kriminal yang paling banyak terjadi.
Sebagai reaksi dangkal atas hal ini, banyak orang lalu menjadi tertutup. Mereka
memenjara tubuh dengan beragam kain, supaya tak mengundang rangsangan
seksual. Tubuh tertutup bagaikan ninja di siang hari bolong, sehingga jauh dari
tatapan mata para hidung belang dan mata keranjang. Tentu saja, reaksi semacam
ini justru menciptakan banyak masalah lain, mulai dari pelanggaran hak-hak asasi
manusia, kemunafikan moral sampai masalah kesehatan.

Mengapa?
Mengapa kita berubah menjadi masyarakat “mata keranjang”? Ada tiga hal yang
kiranya bisa diperhatikan. Pertama, energi seksual meletus secara kolektif di
dalam masyarakat, karena energi tersebut tak menemukan penyaluran yang cocok.
Ini terjadi, karena kita tidak memiliki cara dan pemahaman untuk mengelola energi
yang ada. Akibatnya, energi tersebut berubah menjadi frustasi, dan meletus ke
tempat-tempat yang tak semestinya, seperti konflik dan seks tanpa arah.
Dua, kita tidak memiliki cara dan pemahaman tentang energi kehidupan, karena
kita hidup dengan ajaran-ajaran yang salah. Alih-alih memahami energi, kita
menekan energi, terutama energi seksual, atas nama agama dan moralitas.
Akibatnya, energi itu mampet, dan meledak di berbagai ranah kehidupan lainnya,
seperti seks dan belanja tanpa arah. Tak heran, mata orang begitu mudah melotot,
ketika melihat tubuh cantik atau ganteng di jalan, dan langsung berpikir ke arah
seks.
Tiga, semua ini tentu tak lepas dari menyebarnya pornografi di masyarakat kita. Ini
merupakan salah satu sisi negatif dari berkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan kontrol. Namun,
usaha ini tak cukup, karena tayangan pornografi masih begitu mudah didapatkan
dan dilihat di Internet.
Bagaimana?
Pemahaman akan tiga hal di atas akan mengantarkan kita pada tiga hal lainnya
yang bisa dilakukan. Pertama, kita perlu belajar untuk memahami dan mengelola
energi di dalam diri. Ini bisa dilakukan dengan cara meditasi. Namun, meditasi
terkait dengan energi tidak hanya dengan duduk diam, melainkan meditasi dalam
gerak. Seni tari, musik dan bela diri bisa menjadi beberapa pilihan yang mungkin.
Dua, pemahaman ini hanya mungkin, jika kita mampu keluar dari ajaran-ajaran
masyarakat yang salah, yang menekan energi seksual atas nama moralitas dan
agama, sehingga jatuh ke dalam kemunafikan. Dengan kata lain, kita harus bisa
berbicara tentang seks secara sehat dan rasional sebagai manusia dewasa, dan
bukan sebagai manusia yang tunduk patuh buta terhadap tradisi. Tradisi memang
berharga. Namun, jika ia dipuja secara buta, ia akan menjadi penghalang terbesar
kehidupan manusia.
Tiga, mekanisme kontrol terhadap pornografi tetap harus dilakukan, dan
ditingkatkan. Namun, yang terpenting adalah kita memahami hakikat tubuh
manusia sebagai mahluk yang bermartabat. Tubuh yang cantik, ganteng dan seksi
tidak bisa menjadi obyek untuk kepuasan sesaat. Tubuh adalah subyek yang
memiliki martabat luhur, maka harus dihargai dan dihormati, tanpa jatuh pada
pemenjaraan baru.
Masyarakat “mata keranjang” akan ditinggalkan peradaban. Negara-negara lain
sudah memikirkan energi alternatif dan mencari peluang di planet baru di jagad
raya yang nyaris tak terbatas. Sementara itu, negara kita masih saja berperilaku
biadab. Revolusi mental adalah revolusi pemahaman di dalam mengelola energi
dan kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya soal membangun jembatan.

Jangan Mengejar Bayangan

Oleh Reza A.A Wattimena


Peneliti, Tinggal di Jakarta
Apakah anda tahu salah satu lagu dari Anggun C. Sasmi yang berjudul Bayang-
bayang Ilusi? Begini bunyi liriknya, “Haruskah ku hidup dalam angan anggan.
Meregu ribuan impian. Haruskah ku lari dan terus berlari. Kejar bayang-bayang
ilusi. Bayangan ilusi. Hanya fantasi. Bayangan ilusi.”
Lagu ini pernah menjadi hits di Indonesia pada awal tahun 1990-an lalu. Saya
tergoda untuk menanggapi pertanyaan di lagu tersebut. Haruskah kita hidup dalam
angan-angan dan bayangan ilusi? Jawabannya jelas: tidak.
Bayangan Ilusi
Apa yang dimaksud dengan bayangan ilusi? Ilusi adalah sesuatu yang tampak
nyata dan ada, tetapi sebenarnya tak ada. Ia bagaikan bayangan. Di dalam hidup
kita, banyak bayangan ilusi yang membuat hidup tak lagi jernih.

Ilusi tersebut antara lain harapan, pikiran, perasaan, emosi, pendapat dan segala
sesuatu yang diterima dari panca indera, yakni informasi dari mata, hidung, telinga,
kulit dan lidah. Semua hal tersebut tidak memiliki bentuk nyata di dalam diri kita.
Ia adalah bayangan ilusi, seolah ada, namun sebenarnya tak ada. Fisika modern
sudah menunjukkan kepada kita, bahwa materi di dunia pun pada dasarnya tidak
bisa berdiri sendiri, terlepas dari kesadaran manusia.

Apa yang terjadi, jika kita mengejar bayangan ilusi tersebut? Apa yang terjadi, jika
saya mengejar harapan, ide, impian dan ambisi yang saya punya? Apa yang terjadi,
jika saya membuat keputusan dengan berpijak pada emosi dan perasaan yang saya
punya?

Lingkaran Penderitaan
Jawabannya sederhana: anda akan memasuki lingkaran penderitaan. Setiap
manusia memiliki satu keanehan di dalam dirinya. Ketika ia mendapatkan apa
yang ia mau, ia tidak lagi menginginkannya. Keinginan itu menipu kita, dan
akhirnya menggiring kita pada pintu penderitaan.

Hidup yang diisi dengan mengejar bayangan ilusi bagaikan mengendarai wahana
halilintar di Dunia Fantasi, Jakarta. Anda akan naik turun, tanpa henti. Terkadang,
anda di atas, karena keinginan anda tercapai. Terkadang di bawah, karena apa yang
ada peroleh pasti mesti dilepas, entah dipisahkan oleh kematian, atau seseorang
mengambilnya dari tangan ada.

Hidup semacam ini adalah hidup yang serba salah. Keinginan itu memang serba
salah. Tidak dipenuhi, kita menderita. Jika dipenuhi, kita pun menderita. Hanya
ada satu cara untuk keluar dari lingkaran penderitaan ini.

Jangan Mengejar Bayangan


Ketika bayangan ilusi datang, apapun bentuknya, jangan dikejar. Kita cukup
menyadari bayangan yang ada, dan berada di dalam kesadaran tersebut. Inilah titik
awal yang berada sebelum segala pikiran dan emosi muncul. Di dalam titik ini, kita
akan menemukan kejernihan dan kedamaian.

Kita pun tidak lagi diperbudak oleh bayangan ilusi. Kita menjadi tuan atasnya. Kita
lalu bisa memilih pikiran ataupun perasaan apa yang layak untuk diikuti, sesuai
dengan keadaan yang tengah dihadapi. Kita bisa membuat keputusan dengan baik,
terutama keputusan yang menyangkut hidup orang lain.

Hidup dalam kesadaran, sebelum mengejar bayangan ilusi, adalah hidup yang
dipenuhi dengan kebebasan dan kebijaksanaan. Orang tidak lagi diperbudak oleh
pikiran maupun emosinya. Ia pun bisa bersikap tepat untuk menanggapi semua hal
yang terjadi di dalam hidupnya. Ketika waktunya tiba, ia bisa meninggalkan
tubuhnya dengan damai, karena ia tahu, dan mengalami langsung, bahwa
kesadaran itu abadi.
Bukankah itu hal tertinggi yang bisa dicapai di dalam hidup manusia?

Informasi, Pengetahuan dan Kebijaksanaan di


Masa Revolusi Industri Keempat
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Kita hidup di abad informasi. Setiap detiknya, jutaan informasi baru timbul
mengisi keseharian kita. Informasi begitu mudah didapat. Semua ini menjadi
mungkin, karena perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi
yang amat cepat.

Revolusi Industri Keempat


Kita juga hidup di jaman revolusi industri yang keempat. Sekedar informasi,
revolusi industri pertama dipicu dengan penemuan mesin uap dan air untuk
menggerakkan mesin produksi. Revolusi industri kedua dimulai dengan
penggunaan energi listrik untuk mendorong mesin produksi. Revolusi
industri ketiga didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
di dalam proses produksi.
Setiap revolusi industri baru berpijak pada revolusi industri sebelumnya. Revolusi
industri keempat juga bersandar pada revolusi industri ketiga. Ia sudah terjadi sejak
pertengahan abad 20. Ciri utamanya adalah percampuran teknologi dengan semua
unsur kehidupan manusia, yakni ketika unsur biologis, fisik dan digital kini
bercampur menjadi satu membentuk seluruh kehidupan.
Penemuan baru di bidang teknologi kini terus berlangsung dengan kecepatan yang
amat tinggi. Peningkatannya tidak lagi linear, melainkan eksponensial. Banyak
sekali model bisnis lama kini harus mengubah diri dengan cepat, atau gulung tikar.
Semua sistem produksi, ilmu pengetahuan dan tata kelola politik kini harus
memikirkan bentuk baru yang lebih sesuai.
Masa ini juga ditandai dengan beragam krisis. Pada tingkat yang lebih luas,
kesenjangan ekonomi, sosial dan politik justru semakin besar antara negara yang
kaya dan yang miskin. Kesenjangan ini menciptakan begitu banyak masalah sosial,
mulai dari radikalisme, terorisme sampai dengan masalah lingkungan hidup. Pada
tingkat yang lebih kecil, kita mengalami banjir informasi.

Informasi menjadi begitu mudah dan murah untuk didapat. Ini mudah sekali
disalahgunakan, mulai dari pelanggaran privasi sampai dengan pemerasan dan
penghancuran nama baik. Ini juga menciptakan kebingungan, karena orang tak lagi
memiliki waktu dan tenaga untuk mengolah informasi tersebut menjadi
pengetahuan, apalagi menjadi kebijaksanaan. Banjir informasi, pada akhirnya,
menciptakan ketidakpedulian yang berujung pada beragam masalah di dalam hidup
bersama, mulai dari krisis identitas, depresi yang terus menyebar sampai dengan
tingkat bunuh diri yang terus meningkat dari tahun ke tahun di berbagai belahan
dunia.

Informasi, Pengetahuan dan Kebijaksanaan


Informasi (Information) adalah data tentang sebuah keadaan di dunia. Ia bisa
berbentuk kuantitatif, misalnya dalam bentuk statistik. Ia juga berbentuk kualitatif,
yakni dalam bentuk penggambaran dengan menggunakan kata dan kalimat. Kita
bisa begitu mudah mendapatkan informasi sekarang ini, seperti sudah disinggung
sebelumnya.
Pengetahuan (Knowledge) berada di tingkat yang lebih tinggi, daripada informasi.
Pengetahuan adalah informasi yang bisa digunakan, baik untuk tujuan luhur
maupun untuk tujuan-tujuan jahat. Dengan pengetahuan, manusia bisa
menciptakan keadilan dan kemakmuran di dunia. Dengan pengetahuan pula,
manusia bisa menghancurkan semua yang ada.
Disinilah diperlukan kebijaksanaan (Wisdom). Kebijaksanaan adalah kemampuan
manusia untuk menggunakan semua pengetahuan dan informasi yang ada sesuai
dengan konteks, yakni untuk kebaikan semua mahluk yang ada, dan bukan hanya
manusia. Kebijaksanaan terletak di dalam pembuatan keputusan. Ia berakar tidak
hanya pada informasi dan pengetahuan, tetapi pada kesadaran (Awareness).
Kesadaran setidaknya memiliki tiga bentuk. Pertama adalah kesadaran yang
muncul di dalam setiap tindakan dan perilaku manusia. Ia adalah hidup sendiri.
Kita sebagai manusia adalah kesadaran yang menyala dari waktu ke waktu.
Kedua adalah kesadaran yang meluas. Kita mengalami ini, ketika kita menyadari
sesuatu tanpa penilaian, misalnya menyadari suara, bau atau sensasi di kulit. Kita
hanya mencerap, dan tidak memberi penilaian baik dan buruk. Kesadaran
menciptakan perasaan kesatuan dengan antara lingkungan sekitar dengan diri kita.
Yang ketiga adalah kesadaran murni. Ia berada di luar ruang dan waktu. Ia tidak
diciptakan dan juga tidak bisa dihancurkan. Kesadaran inilah yang memungkinkan
kita sebagai manusia untuk melihat apa yang kita lihat, dan mendengar apa yang
kita dengar.
Kebijaksanaan semacam ini adalah tingkat tertinggi yang bisa diraih oleh manusia
dalam hidupnya. Di tingkat ini, orang menyadari kehadiran Sang Pencipta di dalam
dirinya sendiri. Cinta, kesabaran, kebaikan dan sikap lemah lebut secara alami
mengalir dari dirinya. Moralitas tidak lagi diperlukan.

Di masa revolusi industri keempat ini, kita justru semakin membutuhkan


kebijaksanaan yang berakar pada kesadaran semacam ini. Kebijaksanaan ini
memungkinkan kita untuk menggunakan semua pengetahuan yang ada demi
tujuan-tujuan yang luhur. Kebijaksanaan ini memungkinkan kita untuk
menciptakan peradaban yang seimbang dalam hubungan dengan alam dan mahluk
hidup lainnya. Sayangnya, google, dan beragam mesin pencari berbasis teknologi
canggih lainnya, tidak mampu menyediakannya.

Anda harus melatih diri, guna mendapatkannya. Siapkah anda?

Bagaikan Tidur Sambil Berjalan


Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Saya sedang membaca buku. Tiba-tiba, saya teringat, bahwa saya belum membayar
tagihan listrik. Saya pun mengambil telepon seluler untuk mentransfer uang.
Ternyata, banyak pesan di media sosial yang saya punya. Akhirnya, saya hanyut di
dalam media sosial tersebut.

Ketika melihat sebuah foto di media sosial, saya teringat sebuah kejadian di masa
lalu. Di dalam kejadian itu, saya bersama mantan kekasih saya. Kini, kami sudah
berpisah. Saya pun bertanya-tanya tentang kabarnya.

Tiba-tiba, terdengar suara tukang nasi goreng lewat. Perut tiba-tiba terasa lapar,
padahal saya sudah makan. Konsep nasi goreng kini memenuhi pikiran saya. Tapi
tunggu dulu, saya kan sedang diet?!

Apakah anda pernah mengalami hal tersebut? Pikiran melompat dari satu hal ke
hal lainnya, tanpa jarak dan tanpa sadar. Satu hal belum selesai, hal lain sudah
berdatangan. Tenang saja, anda tak sendiri. Saya, dan milyaran orang lainnya, juga
sering mengalaminya.
Menurut Thomas Metzinger, pemikir neurosains dari Jerman, gerak melompat dari
pikiran ini memenuhi sebagian besar hidup manusia. Ini semua terjadi antara
kesadaran dan ketidaksadaran. Artinya, terkadang kita sadar, bahwa pikiran
melompat, namun seringkali tidak. Kita bagaikan orang yang tidur, sambil
berjalan. Ada beberapa hal menarik dari penelitian Metzinger.
Pikiran yang Melompat
Pertama, setelah melalui beberapa penelitian lebih lanjut, ternyata jumlah saat-saat
sadar dalam hidup manusia jauh lebih sedikit, daripada saat-saat tidak sadar.
Artinya, sebagian besar pikiran kita di dalam hidup adalah pikiran yang melompat-
lompat secara tidak sadar, seperti contoh di atas. Hal ini berdampak luas. Jika
kesadaran hanya bagian kecil dalam hidup, lalu bagaimana dengan identitas dan
kebebasan kita sebagai manusia? Jika sebagian besar hidup kita diisi dengan
pikiran yang melompat tanpa arah, lalu apakah ada yang disebut sebagai “hidup
kita”?
Tema “pikiran yang melompat” ini memang sedang menjadi kajian para peneliti
neurosains di berbagai negara. Intinya adalah upaya untuk melihat pola pikiran
manusia dari saat ke saat. Hasilnya ternyata mengubah cara pandang kita terhadap
kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, moralitas dan politik. Apa yang kita
sebut sebagai pikiran bebas dan sadar ternyata hanya merupakan sebagian kecil
dari kehidupan kita.

Dua, secara rata-rata, orang menghabiskan dua pertiga hidupnya dalam beragam
lompatan pikiran. Mereka bagaikan tidur sambil berjalan. Mereka tidak sadar akan
isi dan arah pikiran mereka. Apa yang disebut sebagai “diri” atau “aku” pun
sebenarnya hanya disadari beberapa saat saja di dalam hidup.
Jika “diri” dan “aku” merupakan konsep yang tak jelas, maka kebebasan dan
kesadaran pun juga menjadi tak jelas. Jika kebebasan dan kesadaran adalah sesuatu
yang ambigu, maka moralitas dan hukuman terhadap pelaku kejahatan menjadi
bermasalah. Orang hanya dapat dinilai dan dihukum, jika ia melakukan sesuatu
secara bebas dan sadar. Pilihan politik, misalnya di dalam pilkada maupun pilpres,
pun lalu juga bukan hasil dari kebebasan dan kesadaran.

Tiga, di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern, ada pembicaraan lama
tentang kebebasan dan determinasi. Di satu sisi, ada paham tentang kebebasan dan
kehendak bebas manusia. Di sisi lain, ada paham yang menekankan, bahwa
kebebasan itu tidak ada. Semua sudah ditentukan alam dan masyarakat
sebelumnya.
Ada juga pembicaraan soal kesadaran dan ketidaksadaran. Ada paham yang
menekankan, bahwa manusia adalah mahluk yang sadar, dan maka ia bebas. Ada
paham yang menekankan, bahwa manusia adalah mahluk yang tidak sadar.
Perilakunya ditentukan oleh pola asuhnya dari kecil sampai ia besar.

Penelitian neurosains tentang pikiran yang melompat ini bisa memberikan jawaban
terhadap beragam diskusi tersebut. Kita bukanlah diri yang bebas dan sadar. Kita
juga bukan sekedar robot hasil dari masa lalu dan latar belakang sosial kita. Apa
yang kita sebut sebagai kesadaran dan kebebasan adalah hal yang datang dan pergi
dari saat ke saat di dalam hidup, seringkali tanpa bisa diatur.
Dampak dari Pikiran yang Melompat
Fakta tentang pikiran yang suka melompat ini juga berdampak besar bagi
kehidupan. Pertama, ketika orang hanyut ke dalam pikirannya yang suka
melompat, ia akan sulit fokus. Ia akan mengalami kesulitan menyelesaikan
pekerjaan di depan mata. Akibatnya, apapun yang ia lakukan akan terbengkalai,
karena terlalu sedikitnya fokus yang diberikan.
Prestasi kerja menurun. Prestasi belajar menurun. Hubungan dengan orang lain pun
menjadi tidak bermutu, karena orang lebih suka hanyut di dalam pikirannya
sendiri. Ketika orang susah berkonsentrasi melakukan apapun, maka hidupnya pun
akan mengalami banyak kesulitan.

Dua, jika pikiran yang suka melompat ini menjadi amat tak terkendali, maka
penderitaan adalah buahnya. Orang terlempar kembali ke masa lalu, dan hidup
dalam penyesalan. Orang terlempar ke masa depan, lalu terjebak dalam kecemasan.
Ini semua menciptakan ketidakseimbangan di dalam hidup yang kemudian
melahirkan beragam bentuk penyakit, baik penyakit batin maupun penyakit badan.
Tiga, ada dua bentuk penyakit batin yang kerap muncul, ketika pikiran seseorang
melompat tanpa arah, yakni depresi dan insomnia. Di dalam keadaan ini, pikiran
seperti kereta super cepat yang tak bisa dikendalikan. Orang kehabisan energi
hanya untuk sekedar berpikir tanpa arah. Banyak orang lalu lari ke narkoba dan
bahkan bunuh diri, guna melepaskan diri dari keadaan ini.
Beragam bentuk penyakit kronis, yakni kelainan organ, seperti jantung, darah
tinggi, kanker dan sebagainya, juga hasil dari ketidakseimbangan. Ini sebenarnya
bukanlah penyakit, melainkan gejala. Akarnya adalah pola hidup yang tak
seimbang, terutama pikiran-pikiran yang suka melompat tanpa arah, dan
menimbulkan ketegangan di dalam pikiran maupun badan.

Empat, akan tetapi, jika pikiran melompat ini bisa disadari, ia juga bisa menjadi
alat penyembuhan. Orang tak lagi terpaku pada pengalaman buruknya, tetapi bisa
mengarahkan pikirannya ke saat atau tempat yang menyenangkan. Dalam arti ini,
pikiran yang melompat menjadi mekanisme pertahanan diri dari depresi dan
trauma. Ia bisa membawa orang ke tempat yang membahagiakan di dalam
pikirannya, walaupun hanya sesaat.
Lima, bagi para pekerja seni, pikiran yang melompat juga bisa menjadi sumber
kreativitas. Ide-ide baru muncul, bukan dari nalar sehari-hari, tetapi dari lompatan
logika yang tak terduga. Inilah sumber kejeniusan para pemikir dan seniman besar
dunia. Orang bisa melihat dunia dari kaca mata yang berbeda, ketika pikirannya
melompat ke berbagai arah.
Membangun Otonomi Batin
Tentu saja, kita ingin menjadi pribadi yang kreatif, namun jauh dari depresi dan
beragam penyakit lainnya. Kita ingin bisa memanfaatkan dampak baik dari pikiran
yang suka melompat tersebut, serta menjauh dari dampak negatifnya. Apakah ada
cara untuk melakukan ini? Ironisnya, penelitian yang baru saja dilakukan di bidang
neurosains ini juga sudah menjadi tema pergulatan para pemikir filsafat Timur,
seperti Shiva, Buddha dan Lao Tzu. Ada dua hal yang kiranya bisa dilakukan.

Pertama, memahami pikiran yang melompat dan memanfaatkan dampak baiknya


dapat disebut juga sebagai otonomi batin. Ini adalah kemampuan manusia untuk
menentukan arah maupun isi pikirannya. Hal ini memang tidak bisa dilakukan
seratus persen. Namun, dengan latihan yang tepat, orang bisa mengisi sebagian
besar hidupnya dengan kesadaran dan kebebasan.
Dua, latihan tepat yang dimaksud adalah yoga dan meditasi. Keduanya sudah
berkembang lama di dalam tradisi pemikiran Timur. Meditasi berarti berupaya
untuk sepenuhnya hidup dengan kesadaran penuh disini dan saat ini dari saat ke
saat, sehingga orang paham akan jati dirinya yang sebenarnya. Yoga adalah
sebentuk meditasi yang dilakukan dalam gerak. Keduanya berupaya
mengembalikan pikiran ke dalam tubuh, sehingga pikiran tidak lagi terlalu banyak
melompat tanpa arah.
Meditasi bukanlah sekedar duduk, tetapi juga merupakan gaya hidup. Gaya hidup
meditatif berarti orang hidup dalam kesadaran saat ke saat akan segala sesuatu
yang terjadi. Ia tidak hanyut dalam lompatan pikiran yang kerap kali tanpa arah,
dan menyiksa. Jika ini diterapkan dengan konsisten, orang akan memperoleh
otonomi batin yang membuat hidupnya lebih bermutu.

Isi dan arah pikiran pun bisa dipilih dengan sadar. Inilah kebebasan yang sejati.
Kita pun tidak lagi tidur sambil berjalan…
Kebebasan dan Empati
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita ingin menjadi manusia bebas. Kita ingin bisa membuat keputusan kita sendiri
terkait dengan hidup yang kita jalani. Kita ingin bisa berpikir bebas. Kita ingin bisa
bertindak bebas, seturut dengan pilihan yang kita buat.

Kita ingin bisa memilih hobi yang ingin kita tekuni. Kita ingin bisa memilih orang
yang kita cintai. Kita juga ingin bisa memilih agama yang kita anut. Namun,
kebebasan juga memiliki banyak tantangan.
Kita dibatasi oleh kemampuan kita. Kita dibatasi oleh keadaan diri kita. Kita
dibatasi oleh masyarakat yang ingin memenjara kita dengan norma-norma yang tak
masuk akal. Pada akhirnya, kita juga dibatasi dengan kematian.

Pada tingkat yang lebih dalam, kita dibatasi oleh hukum sebab akibat. Kehendak
bebas pun seolah menjadi ilusi. Dibaliknya terdapat kaitan sebab akibat yang tak
terhitung banyaknya. Semua pilihan sudah dapat diramal dengan perhitungan yang
tepat.

Namun, ironisnya, menyadari bahwa kita tidak bebas adalah sebuah bentuk
kebebasan. Menyadari bahwa kita hidup di bawah hukum sebab akibat adalah
sebentuk kebebasan. Kesadaran adalah simbol dari kebebasan. Dengan kesadaran,
semua hal menjadi mungkin.

Sayangnya, kerap kali, kita salah memahami arti kebebasan. Kita menyamakan
kebebasan dengan bertindak seenaknya. Kita mengumbar nafsu dan keserakahan
atas nama kebebasan, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini, kita
membutuhkan empati.

Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
Kita tidak ingin disakiti, maka kita tidak boleh menyakiti orang lain. Kita tidak
ingin ditipu, maka jangan menipu orang lain. Empati adalah dasar bagi hidup
bersama.

Jadi, kebebasan membutuhkan empati, dan empati membutuhkan kebebasan.


Keduanya tak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi. Jika salah satu hilang,
maka yang lainnya akan menjadi pincang, lalu justru merusak.

Jadi, silahkan jalani hidup anda dengan bebas dengan empati di dalamnya…

Emosi dan Pengampunan


Rate-P
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Para pengendara di Jakarta pasti pernah mengalami gejolak emosi yang kuat.
Cuaca yang panas datang berbarengan dengan macetnya jalan raya. Ini semua
ditambah dengan perilaku para pengendara yang kerap kali tidak patuh aturan, dan
mau seenaknya sendiri. Gejolak rasa marah memang telah menjadi sahabat akrab
para pengendara Jakarta.

Gejolak emosi yang kuat juga kerap kali muncul, ketika kita berhadapan dengan
keluarga di rumah. Fakta hubungan darah tidak mengurangi dorongan untuk
marah, ketika berhadapan dengan anggota keluarga yang menyebalkan, seperti
anak yang sulit diatur, sampai suami atau istri yang tidak menjalankan fungsi
sosialnya di dalam keluarga. Gejolak emosi marah biasanya bermuara pada
tindakan ataupun kata-kata kasar yang justru memperkeruh suasana. Yang paling
buruk, keluarga tersebut bisa pecah.
Gejolak emosi terkuat biasanya dialami di tempat kerja. Atasan yang bertindak
seenaknya, dan suka menindas, atau bawahan yang bekerja tanpa profesionalitas.
Ini semua ditambah dengan beban kerja yang terus meningkat dengan dateline
yang amat pendek. Gejolak emosi yang tak terkelola akan bermuara pada penyakit
fisik maupun mental yang beragam.

Keadaan, Keinginan dan Emosi


Gejolak emosi kuat terjadi, ketika keadaan tak berjalan sesuai dengan keinginan
kita. Artinya, kita tidak dapat mengatur keadaan sebagaimana kita inginkan. Semua
berjalan seolah tanpa arah, dan tak sesuai rencana. Rasa takut pun muncul yang
kemudian diikuti dengan rasa marah.

Marah dan takut adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Marah hanya dapat ada,
karena ada rasa takut. Takut muncul, karena orang merasa tak mampu mengatur
keadaan yang ada. Jika emosi marah dan takut tak dikelola, maka keduanya akan
bermuara pada beragam bentuk penderitaan dan penyakit, baik fisik maupun
mental.

Beragam kelainan organ, baik itu jantung, paru-paru, darah tinggi, ginjal, usus,
tumor dan bahkan kanker, muncul karena emosi yang terpendam. Emosi yang kuat
tak terkelola dengan baik, lalu menciptakan ketidakseimbangan di dalam diri.
Ketidakseimbangan inilah yang membuat beragam organ tubuh tak berfungsi
semestinya. Segala bentuk pengobatan kedokteran modern akan percuma, jika
tidak ada upaya untuk mengenali dan mengelola gejolak emosi kuat yang
terpendam.

Emosi dan Jejak-jejaknya


Kajian tentang emosi sudah cukup tua di dalam sejarah manusia. Sekitar 300 tahun
sebelum Masehi, Aristoteles, pemikir Yunani kuno, memahami emosi sebagai
semua bentuk perasaan yang terus berubah. Emosi tersebut mempengaruhi cara
berpikir dan kemampuan manusia di dalam membuat keputusan. Ia juga kerap kali
dibarengi dengan rasa sakit ataupun nikmat di bagian-bagian tubuh tertentu.

Di dalam penelitian ilmu pengetahuan modern, emosi juga secara sederhana dibagi
menjadi dua, yakni emosi baik dan emosi buruk. Emosi baik adalah emosi yang
memberikan kenyamanan untuk tubuh, sekaligus dapat diterima secara sosial,
misalnya menangis karena berduka, atau gembira karena mendapatkan hadiah.
Emosi buruk adalah emosi yang menyakiti tubuh, karena menciptakan ketegangan
dan ketidakseimbangan, seperti marah dan takut. Sebuah gejolak emosi juga
dianggap buruk, jika ia tidak dapat diterima secara sosial, misalnya marah besar di
depan umum, dan sebagainya.

Emosi juga tidak hanya merupakan gejala mental, tetapi juga fisik. Ketika
memahami manusia, mental dan fisik memang tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Gejolak emosi yang kuat juga selalu dibarengi dengan gejolak fisik yang kuat,
mulai dengan pola napas, tekanan darah sampai dengan keringat di tubuh. Emosi
yang amat sangat kuat bahkan bisa memicu kematian, terutama ketika pembuluh
darah pecah, karena tekanan darah yang terlalu tinggi.

Emosi dan Pengampunan


Kebanyakan emosi manusia bersifat normal. Tubuh masih bisa mengelolanya
secara alami. Namun, beberapa gejolak emosi negatif yang kuat, seperti marah dan
takut, meninggalkan jejak-jejaknya di dalam tubuh. Dampaknya pun beragam,
mulai dari keresahan batin, sakit di badan, melemahnya daya tahan tubuh
(sehingga orang mudah terkenal infeksi bateri ataupun virus dari luar) sampai
dengan kelainan fungsi organ.

Bagaimana mengelola emosi negatif yang kuat yang meninggalkan jejaknya di


dalam tubuh? Ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama,emosi negatif yang
muncul perlu untuk dikenali. Pengenalan ini penting dilakukan, supaya orang tidak
hanyut ke dalamnya.
Dua, pengenalan emosi negatif lalu diikuti dengan pemberian ruang. Artinya,
emosi negatif tersebut harus diberikan ruang di dalam diri. Ia tidak ditolak dan juga
tidak diikuti. Ia diberikan ruang dengan disadari sepenuhnya keberadaannya.
Tiga, emosi negatif yang kuat itu pada dasarnya merusak tubuh. Tubuh menjadi
tidak seimbang, ketika emosi negatif yang kuat datang berkunjung. Maka dari itu,
orang harus belajar mengampuni semua emosi negatif yang muncul di dalam
dirinya. Pengampunan bukanlah penolakan terhadap emosi, melainkan upaya
mengembalikan keseimbangan dengan menerima emosi negatif tersebut apa
adanya sebagai bagian dari diri.
Pengampunan ini bagaikan sihir yang membersihkan diri. Ketika kita mengampuni
emosi-emosi negatif yang bercokol di dalam diri, kita akan merasakan kelegaan
dan kedamaian yang luar biasa besar. Kita akan memperoleh pembebasan dari
kesalahpahaman yang selama ini menjadi beban hidup kita. Mengampuni jejak-
jejak emosi di dalam diri juga berarti mengampuni diri kita sendiri, beserta segala
kesalahan, kekecewaan dan rasa bersalah yang dibawanya selama ini.

Hanya jika kita bisa mengampuni diri kita sendiri, kita lalu bisa mengampuni orang
lain sepenuhnya. Setelah pengampunan datang, cinta yang sejati pun juga
bertumbuh, yakni cinta yang tanpa pamrih. Ketenangan, kedamaian dan
keseimbangan adalah buah dari proses ini. Orang lalu menjadi dirinya sendiri yang
penuh welas asih dan kedamaian yang sejati.

Bagaimana?
Bagaimana caranya? Cukup pejamkan mata, rasakan sensasi di tubuh, tarik napas,
dan ketika mengeluarkan napas, katakan, “Aku mengampuni semua emosi negatif
di dalam diriku.” Hening sejenak, dan rasakan sensasi di tubuh. Lalu tarik napas
lagi, dan ketika mengeluarkan napas, katakan, “Aku mengampuni semua
kemarahan di dalam diriku.” Kalimat ketiga pada saat mengeluarkan napas adalah,
“Aku mengampuni semua ketakutan di dalam diriku.”

Lakukan beberapa kali, lalu coba rasakan kedamaian yang muncul di dalam hati
selama beberapa saat. Lakukan ini secara rutin di setiap kesempatan yang
mungkin. Idealnya, ini dilakukan minimal 15 menit dalam sehari. Namun, beragam
kesempatan juga bisa dimanfaatkan, semisal ketika macet di jalan raya atau sedang
menunggu seseorang.

Selama melakukan ini, jangan lupa untuk tersenyum. Senyum memberikan rasa
tenang. Senyum adalah dampak sekaligus sebab bagi kebahagiaan. Silahkan
dicoba. Saya tunggu sharing-nya di comment section.

Anda mungkin juga menyukai