Louis Boshoff
Oleh Reza A.A Wattimena
Apakah anda tahu George Carlin, seorang komedian terkenal asal Amerika
Serikat? Jika belum, coba cari tahu. Gaya komedinya tidak hanya lucu, tetapi juga
amat sangat mendidik. Saya teringat satu perkataannya, “Jangan remehkan
kekuatan orang-orang tolol dalam jumlah besar.”
Satu orang tolol saja sudah menyusahkan banyak orang. Apalagi, jika orang-orang
tolol itu berkumpul, dan menyuarakan ketololannya? Itu pasti menjadi bencana
besar. Walaupun begitu, kita perlu tahu terlebih dahulu, apa itu tolol?
Ketololan adalah kebodohan yang keras kepala. Orang tak sadar, bahwa ia berpikir
dengan pola yang salah, tetapi tetap ngotot merasa benar. Tidak hanya itu, ia
bahkan menjadi kasar terhadap orang lain, guna membela kesalahan berpikirnya.
Inilah ketololan.
Virus Ketololan
Pertama, ketololan itu merusak. Orang-orang yang terjangkit virus ketololan, atau
orang-orang tolol, adalah pencipta konflik dan perang di dalam sejarah manusia.
Mereka bisa saja berpendidikan tinggi. Namun, pikiran mereka lemah, dan sama
sekali tidak kritis, sehingga tak mampu menata hasrat-hasrat agresif yang bercokol
di dalam batinnya. Alhasil, mereka tak mampu menyelesaikan masalah dengan
jalan-jalan damai, lalu kerap jatuh ke dalam konflik.
Dua, ketololan itu membuat semua hal jadi rumit. Orang-orang tolol hidup dengan
semboyan, „Jika bisa sulit, mengapa harus dibuat mudah?“ Orang-orang yang
berurusan dengan birokrasi pemerintah kerap kali mengalami langsung arti dari
semboyan ini. Di banyak negara, birokrasi pemerintahlah yang justru menjadi
penghalang kemajuan, dan pencipta kemiskinan terbesar.
Tiga, ketololan menutup semua jalan dialog. Orang-orang tolol amat sensitif.
Perbedaan pendapat mengancam kepercayaan diri mereka, sehingga mereka
menjadi marah dan kecewa. Jika sudah begitu, mereka dengan mudah menyerang
rekan dialognya dengan kata-kata kasar, atau kekerasan fisik. Ketololan mungkin
merupakan masalah terbesar di politik Indonesia sekarang ini.
Empat, ketololan itu keras kepala. Ia menolak untuk berubah. Di dalamnya
bercokol ketakutan dan kemarahan yang amat dalam. Argumen yang dibangun
dengan akal sehat, serta data-data terbaru, diabaikannya dengan begitu mudah,
sambil terus tenggelam ke dalam arus ketololan yang ada.
Ironisnya, orang-orang tolol ini cenderung menjadi korban dari kepentingan politik
dan ekonomi kotor yang lebih besar. Mereka sering disewa menjadi preman
bayaran untuk menyebarkan rasa takut dan ketidakpastian di dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, mereka juga sering dimintai uang untuk mendukung kepentingan
politik dan ekonomi tertentu yang biasanya bersembunyi di balik slogan-slogan
agama. Memang, jadi orang tolol itu banyak ruginya.
Akar Ketololan
Mengapa orang menjadi tolol? Patut diingat, orang-orang tolol ini bisa amat cerdas
secara akademik. Namun, karena miskin pemikiran kritis dan reflektif, mereka
terjebak di dalam ketololan. Ada beberapa hal yang bisa dipetakan lebih jauh.
Pertama, ketololan berakar pada keenganan untuk belajar. Dunia ini memang
kompleks, apalagi dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sekarang ini.
Orang harus terus belajar dalam hidupnya. Sayangnya, orang-orang tolol ini
merasa minder di hadapan dunia yang kompleks ini, sehingga mereka menolak
untuk membuka diri, dan untuk belajar.
Dua, ketololan berakar dalam pada rasa takut, terutama takut akan perbedaan.
Orang-orang tolol hidup begitu nyaman di dalam kepompong sempit mereka.
Ketika perbedaan muncul, mereka kaget, dan menjadi kasar. Padahal, perbedaan
adalah hakikat kehidupan. Menolak perbedaan berarti juga menolak kehidupan itu
sendiri.
Tiga, ketololan juga berakar pada ketakutan akan perubahan. Tradisi dan identitas
lama terancam oleh perubahan besar yang terjadi di tingkat internasional. Orang-
orang lalu memegang erat identitas lokalnya secara buta, lalu terjebak ke dalam
ketololan. Sama seperti perbedaan, perubahan adalah kehidupan itu sendiri.
Menolak perubahan juga berarti menolak kehidupan.
Ketololan itu merugikan, baik masyarakat secara luas, maupun pribadi yang
terjebak di dalamnya. Berbagai petaka peradaban, mulai dari kemiskinan sampai
dengan perang dunia, disebabkan oleh keputusan yang dibuat oleh orang-orang
tolol. Sudah waktunya, ia dilepas dari kehidupan pribadi maupun bersama kita.
Taruhannya terlalu besar, apalagi di tengah berbagai krisis yang melanda dunia ini,
mulai dari krisis lingkungan, bencana alam terus menerus, korupsi di berbagai
sektor pemerintahan sampai dengan ancaman perang besar antara Cina dan
Amerika Serikat.
Jika kita tidak bisa menawarkan jalan keluar, setidaknya jangan turut memperbesar
masalah yang sudah ada, apalagi menambah masalah baru. Mari kita melepaskan
virus ketololan yang mungkin menjangkiti pikiran kita masing-masing.
Di dalam hidup, kita juga berpolitik. Sayangnya, kita belum berpolitik dengan akal
sehat. Politik masih dilihat sebagai ajang perebutan kekuasaan dan pengumbaran
kerakusan. Akibatnya, banyak keputusan politik justru merugikan rakyat banyak,
dan menghancurkan dunia politik itu sendiri.
Kita juga hidup dengan agama sebagai warisan. Sayangnya, kita juga belum
beragama dengan akal sehat. Agama masih menjadi selubung untuk kesombongan,
kerakusan dan hasrat-hasrat liar yang bejat. Tidak hanya itu, agama bahkan sering
dijadikan alasan untuk malas berpikir.
Untuk hidup, kita juga perlu bekerja. Namun, sayangnya, kita belum juga bekerja
dengan akal sehat. Kita masih sibuk menjatuhkan lawan, dan bersikap curiga
terhadap kawan. Peningkatan karir pun juga kerap kali bukan karena mutu kerja
yang meningkat, tetapi karena jilat menjilat ataupun tikam tikaman dengan orang
lain.
Hubungan pribadi kita dengan orang lain pun tak dilandasi dengan akal sehat.
Begitu banyak hubungan didasari oleh kebohongan. Pengorbanan untuk orang lain
menjadi kata yang begitu aneh di masa sekarang ini. Orang hanya memikirkan
ambisi pribadinya masing-masing, bahkan ketika ambisi itu menghancurkan
hubungannya dengan orang lain.
Menggunakan akal sehat berarti melihat dari berbagai sudut pandang. Akal sehat
bukanlah cara berpikir yang bisa digunakan untuk mengabdi tujuan-tujuan yang
tak masuk akal, seperti kerakusan, kebohongan dan pengumbaran kerakusan. Akal
sehat justru adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, apakah hidupku sudah
di arah yang tepat, atau belum.
Akal sehat juga perlu digunakan untuk mengembangkan sikap kritis. Sikap kritis
berarti kita berani mempertanyakan cara berpikir maupun cara hidup yang lama.
Hanya dengan keberanian untuk bertanya, perubahan ke arah yang lebih baik bisa
tercipta. Sudah terlalu lama bangsa kita hidup di dalam kebodohan yang disucikan
sebagai tradisi.
Di 2018 dan 2019 ini, akal sehat juga amat penting di dalam membuat keputusan.
Kita tidak lagi bisa mengandalkan tradisi lama untuk membuat keputusan. Kita
juga tidak bisa mengandalkan agama di dalam membuat keputusan, terutama
karena agama kerap kali terjebak oleh kepentingan politik dan ekonomi yang
memecah belah. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan, kecuali nalar sehat di dalam
diri kita sendiri.
Kiranya kita bisa belajar dari Immanuel Kant, pemikir Jerman, tentang penggunaan
akal di dalam hidup bersama (öffentlicher Gebrauch der Vernunft). Ini berarti,
ketika membuat kebijakan terkait dengan hidup bersama, kita tidak lagi mengacu
pada tradisi dan agama secara buta, melainkan berdiskusi dengan menggunakan
nalar sehat untuk sampai pada kesepakatan. Ini merupakan jalan untuk
mewujudkan demokrasi yang sehat di dalam masyarakat majemuk, seperti
Indonesia. Hanya dengan jalan ini, masyarakat majemuk yang adil dan makmur
bisa terwujud.
Maka dari itu, gunakanlah akal sehat anda di dalam hidup. Ini merupakan
pemberian alam yang sudah membantu manusia bertahan hidup selama ratusan
ribu tahun. Jika kita berhenti memakai akal sehat, maka kita akan punah. Jika
Indonesia tidak menggunakan akal sehat, bangsa ini pun akan punah.
Kajian gender juga banyak melakukan kritik epistemologis yang amat halus dan
dalam. Menurut para pemikirnya, pola berpikir dan bertutur soal gender pun sudah
mengandung penindasan di dalamnya, yakni penindasan yang berakar pada cara
berpikir lama. Maka, segala bentuk klasifikasi, seperti yang dilakukan di atas, pun
harus dilepas. Gender manusia harus dibiarkan mengalir sealami mungkin sebagai
bagian dari alam.
Tujuannya
Kiranya, ada dua hal yang menjadi tujuan utama kajian gender. Yang pertama
adalah terciptanya masyarakat sadar gender. Dualisme lama pria dan wanita pun
secara perlahan dilepas. Masyarakat menjadi sadar, bahwa kenyataan lebih
beragam, daripada cara berpikir lama yang berkembang di dalam tradisi tentang
pria dan wanita, serta hubungan antar keduanya.
Yang kedua, cita-cita yang lebih tinggi adalah kesetaraan gender. Beragam gender
memiliki hak untuk hidup dan berkembang. Mereka memiliki hak-hak asasi dan
sepenuhnya dilindungi oleh hukum yang ada. Beragam gender itu memiliki peran
sosial yang berbeda, namun setara dalam hubungan satu dengan yang lain.
Kedua hal ini ditantang oleh beragam tradisi, budaya dan agama yang ada.
Perdebatan pun muncul, sering juga berakhir dengan pertengkaran, terutama di
Indonesia. Sebabnya pun beragam, mulai dari ketidaktahuan sampai dengan
ketakutan. Setiap budaya dan agama harus memikirkan soal ini dalam konteks
agama dan budayanya masing-masing.
Protopia
Seperti semua gerakan sosial lainnya, kajian dan gerakan pembebasan gender juga
tidak selalu mulus. Satu langkah kemajuan seringkali dibarengi dengan beberapa
langkah kemunduran. Perjuangannya pun lalu harus mengambil bentuk protopia,
yakni perkembangan tahap demi tahap yang membutuhkan kesabaran dan usaha
bersama secara berkelanjutan. Tidak ada perubahan revolusioner yang besar dan
mendadak.
Ini juga merupakan tanda kedewasaan sebuah bangsa. Bangsa yang dewasa mampu
menghargai segala perbedaan yang muncul dalam kehidupan. Segala bentuk
kehidupan pun bisa berkembang secara utuh, sejauh ia menghargai bentuk-bentuk
kehidupan lainnya. Batasnya adalah hukum negara yang dibuat melalui
kesepakatan yang bebas dan rasional bersama-sama. Apakah Indonesia sudah
menjadi bangsa semacam itu?
Begitu banyak orang sibuk dengan beragam aktivitas, mulai dari berjualan rokok
sampai dengan sekedar duduk menunggu untuk menjemput keluarga tercinta.
Kerumitan ini berbuah kemacetan lalu lintas, terutama ketika orang pergi dan
pulang dari tempat kerja.
Apa yang bisa saya sumbangkan melalui filsafat yang saya pelajari di tanah asing
dengan harga darah dan air mata? Atau mungkin, pendekatannya bisa sedikit
dibalik, mengapa orang-orang ini, dan saya, “tidak perlu” belajar filsafat?
Filsafat Tidak Perlu, Jika…
Beberapa ide tercetus di kepala. Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita ingin
hidup ikut arus.
Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita mau sekedar mengikuti kebiasaan
lingkungan sosial kita. Ketika mereka berlari, kita berlari, walaupun arah lari
tersebut menuju jurang penuh nestapa, baik dalam bentuk kehancuran diri kita,
walaupun kehancuran alam.
Kita juga tidak perlu filsafat, jika kita ingin ditipu. Ditipu oleh siapa? Oleh
beragam pihak, yakni mulai dari iklan bujuk rayu penuh kepalsuan, sampai dengan
politikus busuk tanpa kesadaran politik yang sekedar butuh suara di dalam
pemilihan umum.
Kita juga tidak perlu mendalami filsafat, jika kita ingin diadu domba satu sama lain
oleh kepentingan dan kekuasaan di balik layar.
Filsafat juga tidak diperlukan, ketika kita menikmati hidup dalam irasionalitas.
Artinya, kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita tidak perlu memahami rantai
sebab akibat yang membentuk hidup kita sekarang ini.
Ini juga berarti, kita hidup dalam kebodohan. Kita melempar kesalahan ke orang
lain atau justru kepada Tuhan, dan lupa berkaca untuk melihat ke dalam diri kita
sendiri.
Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita senang berpikir kacau balau. Artinya, kita
berpikir tanpa hubungan logis yang jelas, serta dengan mudah menarik kesimpulan
yang salah.
Jika pikiran kita kacau, tindakan kita pun juga kacau. Beragam masalah yang kita
hadapi justru menjadi besar, dan melahirkan masalah-masalah baru.
Untuk orang yang menikmati kekacauan seperti ini, filsafat jelas tidak diperlukan.
Lintas Tradisi
Namun, filsafat yang hanya menekankan pemikiran belaka juga berbahaya. Kita
akhirnya tidak bisa membedakan, mana kenyataan yang sebenarnya, dan mana
yang merupakan ciptaan dari pikiran kita.
Kita sibuk dengan konsep, dan lupa kembali ke kenyataan yang sejatinya tanpa
nama dan tanpa konsep. Jika ini terjadi, kita hidup dalam penderitaan, dan akhirnya
membuat orang lain juga menderita.
Oleh karena itu, kita juga perlu belajar jalan pembebasan di tradisi Timur, yakni
filsafat Zen. Zen membebaskan kita dari beragam konsep yang mengepung kepala
kita.
Zen mengajak kita melihat kenyataan apa adanya, sebelum kenyataan tersebut
dibungkus oleh konsep, penilaian dan analisis yang dibuat pikiran kita. Namun,
jika kita senang hidup dalam ilusi yang berbuah penderitaan, Zen juga tidak
diperlukan.
Percikan pikiran ini lahir dari persentuhan saya dengan kehidupan masyarakat
Indonesia. Ia juga lahir dari upaya saya untuk memahami, siapa diri saya
sebenarnya, tidak hanya dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi
juga sebagai warga semesta yang meliputi jutaan jenis mahluk hidup maupun
benda-benda angkasa lainnya.
Percikan pikiran ini juga lahir dari dorongan batin untuk mencapai pencerahan,
baik bagi diri saya maupun bagi semua mahluk hidup. Jika anda tidak
membutuhkan pencerahan dan kejernihan di dalam hidup anda, anda bisa
melupakan tulisan ini.
Namun, di Eropa, pemahaman tentang filsafat Asia amatlah kurang. Belahan dunia
lainnya, seperti Asia, Amerika, Afrika dan Australia, memang dianggap tidak
menelurkan pemikiran filsafat tertentu. Jika pun ada kuliah ataupun penelitian
filsafat tentang peradaban di luar Eropa, nuansa orientalisme masih amatlah kuat.
Dalam arti ini, orientalisme adalah pandangan yang berusaha memahami
kebudayaan lain dengan menggunakan kaca mata pemikiran Eropa. Pola ini tentu
akan jatuh ke dalam kesalahpahaman.
Pada hemat saya, Indonesia tidak memiliki ajaran filsafat tertentu. Yang dimiliki
oleh Indonesia, sebagai sebuah bangsa-negara yang begitu majemuk, adalah
beragam pandangan dunia (Weltanschauungen) atau alam pikir yang telah ada
serta berkembang selama ribuan tahun. Pandangan dunia ini menjadi bagian dari
budaya, lalu menghasilkan beragam produk budaya, seperti tata nilai, ritual,
pakaian, makanan, pola perilaku dan sebagainya. Inilah yang lebih banyak dikenal
sebagai kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) Indonesia.
Pandangan dunia adalah sekumpulan pemahaman tentang segala hal terkait hidup
pribadi maupun hidup bersama yang tertanam di dalam sebuah kelompok budaya
tertentu, serta menjadi bagian dari identitas mereka. Pandangan dunia bisa
dipahami dari lima titik.
Titik kedua adalah teologi. Teologi adalah pandangan tentang Tuhan yang dianut
oleh sebuah kelompok budaya tertentu. Teologi biasanya terkait dengan institusi
agama yang telah ada, termasuk di dalamnya nilai-nilai moral, ritual, hirarki dan
tempat fisik. Setiap kelompok budaya, juga di Indonesia, memiliki pemahaman
tentang Tuhan yang khas sesuai dengan keadaan kehidupan mereka.
Titik ketiga adalah aksiologi. Aksiologi adalah pandangan tentang nilai yang
tertanam di dalam kelompok budaya tertentu. Termasuk di dalamnya adalah
pandangan sekaligus penjelasan tentang segala yang dianggap bernilai, seperti
tindakan yang dianggap baik, perkataan yang dianggap baik, perilaku yang
dianggap baik, ajaran yang dianggap baik, dan sebagainya. Aksiologi sebuah
kelompok budaya tertentu mengikat orang-orang di dalamnya ke dalam komunitas
nilai tertentu.
Titik keempat adalah epistemologi, yakni pandangan tentang asal usul pengetahuan
yang ada di dalam suatu kelompok budaya tertentu. Di dalamnya terkandung
penjelasan tentang bagaimana sebuah pengetahuan, misalnya tentang penciptaan
alam semesta, bisa tercipta. Epistemologi kental dengan penjelasan yang berpijak
pada akal budi, tentu sebagaimana kelompok budaya tersebut memahami akal
budi. Disinilah kita bisa memahami bahwa “bernalar” pun tidak merupakan sesuatu
yang absolut dan universal, melainkan tertanam dalam pada pandangan dunia yang
khas dan hidup.
Titik kelima adalah ajaran sosial politik, yakni pandangan tentang bagaimana suatu
kelompok budaya menata hidup bersama, mulai dari struktur masyarakat sampai
dengan pandangan soal kekuasaan. Di dalam ajaran sosial politik ini terdapat pula
upaya sebuah kelompok budaya mengelola konflik yang ada, pembagian sumber
daya ekonomi, pengaturan soal keluarga dan sebagainya. Kelima titik ini bisa
digunakan untuk memahami beragam pandangan dunia yang tersebar di seluruh
Indonesia. Ini merupakan titik tolak untuk merumuskan suatu “Filsafat Indonesia”.
Filsafat Indonesia
Filsafat berasal dari kata philo (pencinta) dan sophia (kebijaksanaan). Kata ini
berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang juga dikenal sebagai tempat kelahiran
filsafat. Sulit untuk memastikan, apakah Yunani Kuno sungguh merupakan
penemu filsafat. Beberapa ahli sejarah filsafat bahkan menyatakan, bahwa Yunani
mengambil pemahaman filosofis dari India dan Afrika Utara. Saya tidak akan
masuk ke dalam perdebatan ini.
Yang khas di dalam filsafat adalah penggunaan akal budi secara utuh dan kritis
untuk memahami segala yang ada. Filsafat tidak berpijak pada iman agama
tertentu. Filsafat juga tidak berpijak pada mitologi tertentu yang berkembang di
sebuah kelompok budaya. Filsafat bersandar pada akal budi dan diskusi kritis
untuk semakin mendekati kebenaran, serta menjadi manusia yang bijaksana.
Kedua, beragama pandangan dunia yang berharga tersebut bisa menjadi inspirasi
untuk pembangunan di masa sekarang. Indonesia tidak lagi melulu melihat ke luar
negeri untuk mencari teori ataupun model pembangunan, tetapi bisa melihat ke
dalam kekayaan budayanya sendiri yang begitu beragam dan berharga. Dengan
cara ini, Indonesia bisa menerapkan pembangunan yang berpijak pada nilai-nilai
Ke-Indonesiaan, dan tidak lagi tunduk pada nilai-nilai Barat ataupun Arab, seperti
sekarang ini.
Filsafat Indonesia bisa mendorong proses Indonesia menjadi bangsa yang besar.
Bangsa yang besar tidak hanya ternama di antara bangsa-bangsa lainnya, tetapi
juga menjadi amat manusiawi terhadap warganya. Ini semua membutuhkan
panduan nilai maupun filsafat yang jelas. Harapannya sederhana, kita bisa berdiri
tegak sebagai orang Indonesia di kancah politik dunia internasional, dan
menawarkan pencerahan yang membawa pada perdamaian dunia dan kemakmuran
global.
Tulisan ini diinspirasikan dari diskusi mendalam dengan Komaruddin Hidayat dan
Pamela Cardinale di Jakarta.
Inti dari ilmu pengetahuan modern adalah metode berpikir. Inilah yang juga
dikenal sebagai metode penelitian ilmiah (scientific method). Di dalam metode ini,
hanya bukti-bukti nyata (bisa ditangkap dengan panca indera) yang bisa diterima.
Hukum sebab akibat menjadi kunci untuk memahami segala yang ada.
Kesimpulan juga tidak bisa ditarik sembarangan. Para ilmuwan mesti menekuni
berbagai penelitian yang ada sebelumnya. Ia lalu membuat percobaan untuk
menemukan sesuatu yang baru. Penarikan kesimpulan lalu dibuat, namun tidak
dengan kepercayaan mutlak, melainkan sebagai dasar bagi penelitian berikutnya.
Cara berpikir ini membawa banyak hal baik bagi kehidupan manusia. Berbagai
bentuk teknologi ditemukan, guna mempermudah kehidupan manusia. Dunia
kedokteran juga berkembang pesat, sehingga manusia bisa hidup sehat sampai usia
tua. Namun, dengan berjalannya waktu, berbagai tantangan baru yang lebih rumit
datang mengunjungi.
Tiga tantangan terbesar jaman kita adalah masalah kerusakan lingkungan hidup,
kesenjangan sosial ekonomi global yang sangat besar serta tersebarnya radikalisme
agama di berbagai belahan dunia. Ketiga tantangan tersebut menuntut manusia
untuk mengubah cara berpikirnya. Model penelitian yang terkotak-kotak dalam
berbagai bidang keilmuan tidak lagi mencukupi. Kita membutuhkan kerja sama
dari berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Bentuk kerja sama kedua adalah penelitian lintas keilmuan, atau interdisipliner.
Bentuk ini menghubungkan berbagai bidang keilmuan sebagai satu kesatuan, guna
memahami sesuatu. Ini adalah pendekatan yang menyeluruh untuk menjawab
berbagai tantangan yang muncul di dunia sekarang ini. Bentuk penelitian inilah
yang harus semakin dikembangkan di abad 21.
Sikap Kritis
Sikap kritis amatlah penting di dalam pola pikir lintas dan trans-keilmuan. Dengan
sikap kritis, orang tidak lagi menerima begitu saja apa yang ia lihat dan dengar. Ia
juga mempertanyakan anggapan-anggapan tersembunyi yang ada di dalam cara
berpikirnya. Dialog untuk sampai pada pemahaman menjadi alat utama untuk
pengembangan pengetahuan.
Ada dua contoh yang bisa diberikan. Pertama, partai fasis Jerman, NAZI,
memperoleh kekuasaan melalui jalan-jalan demokratis (partai politik dan pemilu).
Namun, mereka lalu menghancurkan demokrasi, dan menggantinya dengan sistem
pemerintahan totaliter. Ini yang terjadi, jika kelompok-kelompok radikal anti
demokrasi dibiarkan begitu saja, atas nama perlindungan hukum dan HAM.
Drama terkait Ratna Sarumpaet dan Tim Koalisi Prabowo-Sandi juga adalah ujung
yang tampak dari dahaga akan sensasi. Orang mencari popularitas dengan
menyebarkan kebohongan yang menggemparkan. Padahal, ada masalah lain yang
jauh lebih menuntut perhatian, yakni bencana yang menimpa saudari-saudara kita
di Lombok dan Sulawesi Tengah. Dahaga akan sensasi berujung tidak hanya pada
pengalihan fokus masyarakat, tetapi juga ancaman kekalahan telak salah satu calon
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Sensasi
Apa itu sensasi? Ia adalah kenikmatan sesaat. Ia muncul, menghibur dan pergi
dalam sekejap mata. Ia dicari dan dirindukan, namun sayang justru kerap berakhir
dengan kehampaan.
Orang mencari sensasi, juga karena ia takut akan rasa bosan. Bosan membuat
hidup terasa hampa dan sepi. Ini bahkan lebih menyakitkan, daripada rasa sakit dan
penderitaan itu sendiri. Tak heran, orang bersedia melakukan hal-hal berbahaya,
guna menghindari rasa bosan.
Dahaga yang sama yang membuat orang kalap berbelanja. Orang membeli dan
menumpuk hal-hal yang ia tak perlukan, dengan uang yang tak ia punya, karena
hatinya hampa. Industri kapitalis global mengenali hal ini. Jasa kartu kredit persis
untuk mengisi kebutuhan yang tak masuk akal ini.
Dahaga akan sensasi juga mendorong orang memakai narkoba dalam segala
bentuknya. Orang merasa, hidup ini begitu dangkal dan tak bermakna. Akibatnya,
untuk menciptakan pengalihan dari perasaan semacam itu, narkoba pun terlihat
sebagai jalan keluar. Dahaga akan sensasi pun berubah wujud menjadi dahaga akan
zat adiktif.
Pada dasarnya, korupsi juga merupakan perwujudan dari dahaga akan sensasi.
Orang merasa tak puas dengan apa yang ada, lalu mencuri, guna memperoleh
lebih. Segala cara ditempuh, termasuk mencuri, memfitnah dan bahkan
membunuh. Dahaga akan sensasi pun berubah menjadi kekejaman tanpa ampun.
Sampai batas tertentu, pertengkaran antar manusia juga terjadi, karena dahaga akan
sensasi. Dua orang jenuh dengan keseharian. Pertengkaran pun menjadi semacam
tarian yang, sekalipun terlihat brutal, menyembunyikan cinta yang dalam. Dalam
hal ini, pertengkaran adalah wujud dari dahaga akan sensasi.
Mengenali Sensasi
Dahaga akan sensasi pula yang mendorong terjadinya perang dan krisis di berbagai
belahan dunia. Seperti kata Herakleitos, seorang pemikir Yunani, perang membuat
manusia waspada dan kuat. Perang juga menjadi warna dari keseharian yang
seringkali terasa begitu hampa. Dahaga akan sensasi, sayangnya, bisa menjelma
menjadi dahaga untuk saling memusnahkan.
Kerinduan akan hoaks (apusan) juga berada di jalur yang sama. Orang tahu, bahwa
ia mendengar hoaks. Namun, ia tetap memakannya, bahkan menyebarkannya.
Dahaga akan sensasi, dibalut pada kerinduan untuk dibohongi, membuat orang
yang cerdas pun memakan hoaks, tanpa rasa ragu.
Sensasi tak perlu diikuti. Ia juga tak perlu ditekan. Sensasi hanya perlu dikenali
dan disadari. Dengan begitu, kita tak lagi diperbudak olehnya.
Katrok
ThoughtCo
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita memang hidup di jaman katrok. Dalam arti ini, katrok menggambarkan sikap
tidak mau belajar, sehingga ketinggalan jaman. Orang yang katrok akan terus
ketinggalan kereta perubahan. Negara yang katrok juga akan terus ketinggalan
kereta peradaban.
Bangsa Katrok
Dalam hal politik, sikap katrok dengan amat mudah ditemukan. Identitas
primordial dimainkan untuk mendulang suara dan membohongi rakyat. Politik
bukannya memberikan pendidikan, tetapi justru pembodohan. Politik katrok
menjauh dari cita-cita masyarakat demokratis modern yang adil dan beradab, dan
kembali menampilkan kebohongan, serta sikap-sikap primitif yang merusak.
Tata ekonomi kita di Indonesia pun masih katrok. Kesenjangan antara si kaya dan
si miskin amatlah besar, dan bahkan terus membesar. Uang dan kekayaan hanya
dikuasai segelintir orang semata. Sebagian besar rakyat hidup pas-pasan, bahkan
berkekurangan. Solidaritas, yang merupakan wujud dari keadilan sosial, pun nyaris
tak terasa.
Hal serupa terjadi dalam bidang agama. Seluruh dunia bergerak dari agama
institusional ke arah spiritualitas yang merupakan inti terdalam dari semua agama.
Di dalamnya, orang akan menemukan kedamaian, kebijaksanaan dan cinta yang
merupakan nilai-nilai tertinggi semua agama. Di Indonesia, agama terjebak pada
formalisme, yakni hanya sibuk mengurusi ritual-ritual dan aturan-aturan yang
sudah ketinggalan jaman. Akibat pola inilah intoleransi antar agama, dan di dalam
agama, masih cukup tinggi di Indonesia.
Dunia pendidikan di Indonesia pun masih amat katrok. Pola hafalan dan pilihan
ganda masih dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Formalisme agama pun
menjajah masuk, sehingga anak tidak dididik untuk berpikir mandiri, melainkan
tunduk patuh pada ajaran yang sudah ketinggalan jaman. Tak heran, manusia-
manusia Indonesia pun terjebak pada mental katrok.
Indonesia juga masih sangat katrok dalam soal penanggulangan bencana. Gempa
dan tsunami yang menghantam Palu dan sekitarnya sungguh harus membuat kita
berkaca. Daerah ini merupakan daerah rawan gempa, namun dengan sistem deteksi
gempa yang amat ketinggalan jaman. Sampai detik tulisan ini dibuat, jumlah
korban masih terus bertambah, sebagian karena kelalaian kita untuk membangun
sistem tanggap bencana.
Bukan Takdir
Satu hal yang pasti, bahwa katrok bukanlah takdir. Katrok adalah pilihan. Ia dibuat
dengan sadar, dan dimaknai dari hari ke hari. Ada tiga hal yang kiranya perlu
diperhatikan.
Pertama, katrok dapat dilampaui dengan belajar berpikir terbuka. Artinya, kita
belajar untuk melihat jaman yang terus berubah. Tradisi dan pemikiran kita pun
disesuaikan dengan perubahan tersebut, tanpa kehilangan keunikan kita sebagai
pribadi, dan sebagai bangsa. Ini adalah syarat utama untuk menghancurkan sikap
katrok.
Dua, di atas langit masih ada langit. Banyak bangsa di dunia ini lebih baik dari kita
dalam segala unsur tata kelola pemerintahan dan pembangunan. Kita perlu
sungguh mengakui ini dengan rendah hati, dan belajar dari mereka. Hanya dengan
begitu, kita bisa terhindari dari mental katrok yang begitu dalam tertanam, seperti
sekarang ini.
Tiga, semua ini menjadi percuma, tanpa adanya keinginan untuk berubah. Salah
satu tantangan terbesar berbagai institusi di Indonesia adalah kemalasan sekaligus
ketakutan untuk berubah. Perubahan memang membawa ketidakpastian, namun
juga peluang untuk perbaikan. Kemauan untuk terus berubah menanggapi berbagai
perkembangan jaman adalah kunci memusnahkan mental katrok.
Tentang Perempuan
Mayhem & Muse
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Ah, betapa sulitnya menjadi perempuan. Seperti kata Jean-Jacques Rousseau,
seorang pemikir Perancis, manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia
dipenjara. Begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia
dipenjara.
Siapa yang memilih untuk menjadi perempuan? Ketika lahir, alat kelamin sudah
ditentukan oleh alam. Namun, dengan perbedaan kelamin, perbedaan peran sosial
pun lahir. “Perempuan” adalah peran sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dan
bukan oleh alam.
Semua orang memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar
manusia menjadi penghuni rahim perempuan sembilan bulan lamanya. Disanalah
kehidupan tercipta, ketika benih pejantan membuahi telur betina. Disanalah
keajaiban yang sesungguhnya terjadi.
Ketika pertama kali menginjak dunia, setiap orang juga dibimbing oleh
perempuan. Cara-cara dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan.
Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa
perempuan, keluarga akan tersesat di jalan.
Sayangnya
Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budaya
memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak
pernah sungguh dihargai.
Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang
menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya,
semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para pria.
Ketika krisis dan perang tiba, perempuan juga menjadi korban. Mereka diperkosa,
tanpa ampun. Beberapa dibunuh, setelah diperkosa. Lainnya harus hidup dengan
trauma dan rasa malu.
Menanti Pembebasan
Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan. Ia mesti
sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Pilihan ada
di tangannya, asal didasari kesadaran, bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka.
Ia mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan kepadanya oleh
masyarakat.
Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci
perubahan sosial adalah perubahan di dalam cara perempuan memandang
dunianya. Kaum perempuan bisa bekerja sama dengan gerakan-gerakan
pembebasan lainnya. Namun, pengalaman perempuan tetaplah sebuah pengalaman
yang unik, yang tak tergantikan oleh apapun juga.
Inilah yang disebut sebagai moralitas dangkal. Moral semacam ini hanya
merupakan tampilan luar semata. Orang terlihat patuh, rapi dan bersih, namun
penuh dengan pikiran busuk di dalamnya. Orang-orang dengan moral dangkal akan
menjadi koruptor dan provokator perpecahan, walaupun tampilannya tampak
agamis, rapi dan santun.
Moralitas Dalam
Moralitas dalam memiliki arah yang berbeda. Ia lahir dari kesadaran penuh akan
kehidupan. Ia tidak muncul dari paksaan. Ia tidak muncul dari ketakutan terhadap
tekanan sosial dari luar.
Moralitas dalam bergerak dari kesadaran, bahwa segala yang ada di semesta ini
adalah satu kesatuan. Inilah yang disebut ciri kesalingterhubungan dari kehidupan
itu sendiri. Dengan kesadaran ini, orang tidak akan merusak atau menyakiti
apapun, karena ia melihat dirinya di dalam segala sesuatu. Sikap santun dan
hormat terhadap mahluk hidup lainnya akan muncul secara alami.
Moralitas dalam juga akan melahirkan empati. Empati adalah kemampuan untuk
melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati akan membuat orang
memiliki sifat welas asih yang muncul secara alami dari dalam dirinya. Inilah dasar
moralitas yang sejati.
Karena lahir secara alami, moralitas dalam juga jauh dari kemunafikan. Kebaikan
lahir dari ketulusan, dan bukan sikap pura-pura. Seringkali, orang mungkin terlihat
tak santun. Akan tetapi, niatnya baik, yakni untuk kepentingan bersama. Mantan
Gubernur Jakarta, Ahok, adalah wujud nyata dari moralitas dalam semacam ini.
Moralitas dalam juga tahan lama. Ia tidak berubah, ketika tekanan dari luar hilang.
Karena berpijak pada ketulusan, moralitas dalam juga tetap teguh di tengah godaan
untuk berbuat jahat. Orang dengan moralitas dalam tidak lari di tengah tekanan,
apalagi bersembunyi di balik-balik alasan-alasan suci yang penuh kemunafikan.
Saya mulai berpikir soal asal muasal agama. Mengapa agama ada? Mengapa ia
bisa begitu tersebar di berbagai belahan dunia?
Agama dan Alam
Sudah sejak awal, alam selalu menjadi misteri bagi manusia. Begitu banyak hal
yang di luar kendalinya. Perubahan cuaca sampai dengan bencana alam, semuanya
menciptakan rasa takut di dalam diri manusia. Di hadapan alam yang penuh
ketidakpastian ini, hidup manusia terasa kecil dan tak berarti.
Tak hanya itu, alam juga mengundang rasa kagum di dalam diri manusia.
Keindahan alam, dengan gunung dan lautnya, membuat hati manusia bergetar. Ia
merasa kecil, sekaligus merasa bangga menjadi bagian dari alam ini. Dititik inilah
agama tercipta.
Dalam hal ini, agama adalah kombinasi antara rasa takut dan rasa kagum terhadap
ketidakpastian hidup. Agama juga berkembang, karena dua hal itu terus
berkembang di dalam diri manusia. Ilmu pengetahuan modern dan teknologi sudah
berupaya melepaskan manusia dari ketakutan ini. Namun, upayanya baru berhasil
sebagian.
Sayangnya, ini juga merupakan sisi baik sekaligus sisi buruk dari agama. Di
hadapan kesenjangan dan ketidakadilan sosial, seperti diungkapkan oleh
Marx, agama mendorong orang untuk menerima keadaan, bahkan bersyukur.
Dalam hal ini, agama menjadi halangan untuk mendorong terjadinya perubahan
sosial. Agama tidak hanya menjadi hiburan bagi orang miskin, sebagaimana kata
Marx, tetapi juga menjadi pelestari dari kemiskinan itu sendiri.
Di Indonesia, apalagi sejak pilkada Jakarta 2017, agama diperalat oleh penguasa
politik. Agama digunakan sebagai alat untuk mendulang suara. Akibatnya, agama
tidak lagi menjadi hiburan dan sumber kedamaian, tetapi menjadi sumber konflik.
Pilpres 2019 juga berpeluang mengalami hal serupa.
Dua, agama juga tidak boleh dipermainkan oleh kekuasaan politik. Ketika agama
berbaur dengan politik kekuasaan, maka keduanya akan hancur. Perpecahan dan
konflik akan menjadi kenyataan. Semua memiliki peran dan kedudukannya
masing-masing, apalagi di dalam masyarakat majemuk demokratis, seperti
Indonesia.
Setelah minum seteguk air, saya menjawab pertanyaan teman saya tersebut.
Agama bisa begitu berkembang di Indonesia, karena kita masih diselimuti oleh
rasa takut yang besar terhadap kehidupan. Kita merasa tak berdaya di hadapan
ketidakadilan sosial, dan ancaman bencana alam tanpa henti. Karena itu, kita masih
butuh hiburan dari agama.
“Sampai kapan?”, ia bertanya… Saya tak tahu jawabannya.
Filsafat menjadi jalan keluar dari dua masalah ini. Filsafat mengajak manusia
untuk berpikir tentang hal-hal besar di dalam hidup, seperti tujuan, makna dan
keberadaan semesta itu sendiri. Pendekatan filsafat juga bersifat rasional, logis,
sistematis dan kritis. Ini tentunya merupakan obat manjur untuk melawan segala
bentuk radikalisme agama-ideologi, maupun kesempitan berpikir.
Dalam hal ini, filsafat bisa membantu dalam dua hal. Pertama, filsafat mengajarkan
orang untuk berpikir secara runtut, logis, rasional dan kritis. Jika kemampuan ini
tersebar, maka ini sudah merupakan kemajuan besar untuk Indonesia. Perdebatan
di masyarakat luas, terutama terkait dengan kepentingan banyak orang, bisa
dilakukan dengan cara-cara yang beradab.
Perkembangan Jaman
Dalam banyak hal, Indonesia selalu ketinggalan dari negara lain. Ini terjadi, karena
kita jarang sekali mengikuti perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terjadi. Pun jika kita akhirnya mengikuti kemajuan yang ada, kita
sudah tertinggal. Alhasil, kita justru mendapatkan dampak-dampak negatif dari
perubahan jaman, mulai dari perubahan iklim, krisis energi sampai dengan krisis
moralitas (terbelakang dalam menghadapi perubahan jaman).
Filsafat dapat membantu kita untuk keluar dari keterbelakangan ini. Tema-tema
yang dikembangkan filsafat selalu sesuai dengan perkembangan jaman, mulai dari
soal hubungan politik dan agama, soal lingkungan hidup, etika aborsi sampai
dengan diskusi soal kecerdasan buatan. Semua tema ini dibicarakan dengan
rasional, sistematis dan kritis di dalam filsafat. Ini merupakan sebuah proses
pendidikan yang berharga untuk masyarakat Indonesia, supaya bisa menyingkapi
berbagai semua perubahan yang terjadi secara tepat dan jernih.
Di sisi lain, banyak orang yang terjebak ke dalam radikalisme agama. Pemahaman
mereka tentang agama sangat terbelakang, bahkan merusak. Mereka menjadi
intoleran terhadap perbedaan, dan bahkan terjebak ke dalam terorisme. Dewasa ini,
Indonesia memang terserang dua virus mematikan, yakni neoliberalisme dan
radikalisme agama.
Filsafat bisa menjadi jalan keluar dari semua ini. Filsafat mengajak orang untuk
menemukan pola yang hidup yang bermutu, yakni yang memberi kedamaian, baik
di tingkat pribadi maupun sosial. Pijakan filsafat bukanlah tradisi yang sudah
usang, apalagi yang dilihat sebagai kebenaran mutlak. Pijakan filsafat adalah
kejernihan berpikir yang dibangun dalam dialog dengan pemikir-pemikir besar
dunia lintas peradaban.
Oleh karena itu, filsafat haruslah menjadi bagian dari pendidikan nasional secara
umum, sekaligus diskusi di masyarakat luas di Indonesia. Di titik ini, filsafat yang
harus dikembangkan bukanlah filsafat agama tertentu, melainkan filsafat murni
yang bersifat lintas peradaban. Jika ini tak diperhatikan, bangsa kita akan pecah,
dan akan terus terjebak dalam kebanggaan semu, juga dalam persaingan yang semu
dengan bangsa lain.
Di dalam dunia yang ideal, kedua keutamaan ini berdampingan satu sama lain. Di
hadapan musuh yang mengancam, keutamaan petarung muncul dan menjalankan
tugasnya. Ketika mengelola hidup bersama, keutamaan penyatu muncul dan
menjalankan perannya. Sayangnya, kedua keutamaan ini tidak seimbang sekarang
ini.
Di tempat lain, keutamaan penyatu berkembang tanpa arah. Sikap welas asih dan
rendah hati memang baik di keadaan-keadaan tertentu. Namun, penindasan dan
ketidakadilan tidak bisa dibalas dengan sikap diam dan menerima. Perjuangan
untuk mengubah keadaan perlu untuk dilakukan.
Siapapun pemimpin Indonesia di masa depan, mereka perlu untuk memahami hal
ini. Di hadapan korupsi, radikalisme dan terorisme yang bernapaskan agama,
seperti yang banyak tersebar sekarang ini, mereka perlu menjadi petarung yang
berani dan kuat untuk melawan. Di hadapan kesalahpahaman yang memecah
persatuan bangsa, mereka perlu menjadi penyatu yang lembut dan penuh welas
asih.
Mereka juga biasanya sukses dalam karir. Ada yang bekerja di perusahaan swasta,
dan menduduki posisi tinggi. Ada yang menjadi pejabat pemerintah, dan memiliki
kekuasaan besar. Apapun bidangnya, orang-orang cerdas ini sungguh dikagumi
oleh lingkungan sekitarnya.
Mereka hidup dalam ilusi, bahwa mereka adalah mahluk-mahluk unggul. Para
ilmuwan biasanya terjebak dalam ilusi dan kesombongan semacam ini. Mereka tak
merasa bersalah menjadikan tumbuhan, hewan ataupun mahluk lain sebagai bahan
eksperimen mereka. Mereka merusak alam atas nama penemuan ilmiah dan
terobosan teknologi.
Mereka juga kerap kali bermulut besar. Mereka gemar mengumbar janji. Mereka
gemar juga memberikan harapan-harapan besar yang, sayangnya, palsu. Orang
hanya perlu sedikit kritis, guna melihat kepalsuan yang dibalut dengan
kesombongan di dalam diri orang-orang cerdas ini.
Cuci otak adalah upaya terencana untuk membuat orang percaya pada paham
tertentu melalui cara-cara yang manipulatif. Cuci otak membunuh sikap kritis, akal
sehat dan hati nurani. Ia melahirkan kesetiaan buta terhadap seperangkat ajaran
ataupun tokoh tertentu. Bisa dibilang, cuci otak adalah cara tercepat menghasilkan
seorang teroris.
Cuci otak juga digunakan di dalam kolonialisme baru yang dimulai setelah perang
dunia kedua. Ia menggunakan pola hegemoni, yakni menjajah tanpa perlu pasukan.
Pihak yang terjajah pun tidak merasa hidup dalam penjajahan. Bahkan, mereka
menikmati penjajahan yang terjadi, karena sudah dicuci otak.
Seluk Beluk Cuci Otak
Ada tujuh hal yang menjadi unsur utama cuci otak. Pertama, cuci otak dimulai
dengan mengulang-ulang sebuah ajaran secara terus menerus. Walaupun ajaran
tersebut sesat, namun jika diulang secara berkala, maka akan berubah menjadi
sesuatu yang wajar, bahkan masuk akal. Ini kiranya seusuai dengan diktum
propaganda Nazi Jerman: kebohongan yang terus diulang akan ditangkap sebagai
kebenaran.
Dua, cuci otak terkait erat dengan proses propaganda. Secara sederhana,
propaganda adalah upaya untuk mengaitkan paham yang salah dengan sesuatu
yang dianggap luhur oleh suatu masyarakat. Misalnya, bom bunuh diri dikaitkan
dengan perjuangan membela agama. Dua hal yang amat berbeda dikaitkan,
sehingga akhirnya tampak luhur, dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
Tiga, cuci otak dilakukan dengan mengaitkan ajaran dengan figur otoritas tertentu.
Figur ini bisa dalam bentuk tokoh yang dianggap terhormat di masyarakat, baik
politisi, pemuka agama atau pebisnis kaya. Di abad 21, Tuhan pun dijadikan figur
otoritas untuk melakukan cuci otak. Paham yang merusak dan sesat bisa seolah
menjadi benar dan luhur, karena dikaitkan dengan figur-figur semacam ini.
Empat, cuci otak juga semakin manjur, jika ada kelompok yang bisa dijadikan
musuh bersama. Inilah logika kambing hitam, sebagai dijelaskan oleh Rene Girard,
seorang pemikir Prancis. Kelompok kambing hitam ini dianggap sebagai sumber
dari semua masalah yang ada, maka layak untuk diserang dan dihancurkan. Mereka
biasanya kelompok minoritas di dalam masyarakat.
Lima, cuci otak juga membutuhkan seperangkat aturan bersama. Aturan tersebut
haruslah jelas dan sederhana. Aturan ini menciptakan perasaan senasib dan
sepenanggungan di dalam satu organisasi. Dengan ini, para korban cuci otak lalu
merasa memiliki “keluarga” yang memiliki nilai-nilai yang sama.
Enam, tujuan utama dari proses cuci otak adalah menciptakan manusia-manusia
fanatik terhadap satu paham tertentu. Setelah berhasil, hadirnya kelompok fanatik
akan menjaga keutuhan organisasi yang melakukan cuci otak, sekaligus
memperluas pengaruhnya. Mereka bisa dianggap sebagai penjaga kemurnian dari
ajaran sesat yang ada.
Tujuh, upaya cuci otak juga memerlukan ritual-ritual tertentu, seperti parade, atau
festival, yang memperkuat paham sesat mereka. Ritual-ritual ini bertujuan untuk
memberikan pengalihan sementara, supaya unsur sesat dari paham yang ada tidak
terlihat. Kesesatan yang dirayakan secara meriah dapat dengan mudah berubah
menjadi “tampak benar”. Semakin meriah ritual yang dilakukan, semakin besar
kesesatan yang disembunyikan.
Melampaui Cuci Otak
Cuci otak amat takut pada sikap kritis, akal sehat dan hati nurani. Sikap kritis
adalah sikap untuk mempertanyakan apa yang dianggap sebagai benar di dalam
masyarakat. Sikap kritis menuntut pendasaran, supaya bisa menemukan kebenaran
yang lebih dalam. Sikap kritis berpijak pada akal sehat dan hati nurani, supaya
orang tak mudah tertipu oleh propaganda dan cuci otak yang dilakukan oleh
beragam kelompok sesat.
Peran negara dengan beragam institusinya juga penting di dalam memerangi segala
bentuk cuci otak. Sikap kritis dan metal berpikir ilmiah amat tepat diterapkan
sebagai garda depan di dalam memerangi cuci otak. Ketegasan dan koordinasi
cepat berbagai lembaga pemerintahan juga amat diperlukan dalam hal ini. Jika
ditemukan sejak dini, beragam bentuk cuci otak, terutama yang mengarah pada
radikalisme dan terorisme, bisa dicegah dengan cukup mudah.
Mengelola Penolakan
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Setiap orang yang pernah hidup pasti pernah mengalami penolakan. Bentuknya
beragam, mulai dari ditolak cinta sampai dengan ditolak lamaran kerja. Ada
penolakan yang berakhir bahagia, yakni ketika orang menemukan jalan untuk
membuka peluang baru. Namun, tak sedikit orang yang jatuh ke dalam depresi,
kecanduan narkoba bahkan bunuh diri, karena tak mampu mengelola penolakan.
Di dunia politik Indonesia, kita melihat penolakan yang membuat seorang pemikir
nasionalis, sekaligus mantan menteri, menjadi gubernur radikal yang
dipertanyakan integritas pribadinya. Ia dipecat dari jabatan sebelumnya, karena tak
mampu bekerja dengan baik. Akhirnya, ia mengingkari hati nuraninya, serta
menjadi bagian dari kelompok radikal dan koruptor. Penolakan bisa mengubah
ideologi hidup seseorang.
Satu hal yang pasti, penolakan adalah bagian dari kehidupan. Ia tak terhindarkan.
Orang yang terlihat berhasil pun pasti mengalami berbagai penolakan dalam
hidupnya. Seninya bukanlah menghindari penolakan, tetapi mengelolanya secara
bijaksana.
Mengelola Penolakan
Ada dua hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, kita harus menempatkan
penolakan dalam kerangka yang tepat. Penolakan haruslah dimaknai sebagai
kesempatan untuk berbenah diri, sekaligus membuka peluang baru. Disini
dibutuhkan kepekaan di dalam membaca keadaan.
Satu-satunya kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan untuk memaknai
setiap peristiwa secara jernih dan kreatif, apapun bentuk peristiwanya. Ini juga
berlaku, ketika orang berhadapan dengan penolakan. Kemampuan memberi makna
secara jernih dan kreatif ini sudah selalu ada di dalam diri manusia. Ia hanya perlu
disadari dan digunakan secara tepat.
Melampaui Penolakan
Di hadapan penolakan, orang perlu melakukan apa yang perlu dilakukan secara
jernih dan damai. Mungkin, ia perlu berbenah diri. Mungkin pula, ia perlu melihat
kemungkinan lain yang tersedia. Apapun itu, keputusan haruslah dibuat dengan
berpijak dari “diri yang asli” (true self) masing-masing pribadi.
Setiap peristiwa mengajarkan sesuatu kepada kita untuk menyelam lebih dalam ke
kehidupan. Kita bisa saja menolak untuk belajar. Namun, sesuatu tidak akan
selesai, sampai semua pelajaran yang ada sudah dipetik dan dihayati. Inilah
kebenaran yang tak lekang ditelan waktu.
Menyelamatkan Pengetahuan
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Manusia adalah mahluk yang ingin tahu. Di dalam hatinya, ada dorongan untuk
memahami segala yang ada, dari gosip terbaru sampai dengan struktur alam
semesta. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah buah dari berkembangnya rasa
ingin tahu tersebut.
Pedagogi Kritis
Pedagogi kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Henry Giroux, seorang pemikir
Kanada, kiranya bisa menjadi kemungkinan jalan keluar. Baginya, pendidikan
haruslah mengajak peserta didik untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan
yang membentuk masyarakat. Inilah yang disebutnya sebagai pengetahuan kritis
yang membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan.
Untuk itu, pedagogi kritis memberikan ruang yang amat besar untuk kreativitas.
Peserta didik didorong untuk aktif terlibat penuh di dalam proses pembelajaran.
Ruang untuk bertanya dan berbeda pendapat dibuka sebesar mungkin, guna
melatih pola berpikir kritis dan kreatif.
Proses ini akan membuka wawasan peserta didik tentang keadaan dunia. Keluasan
wawasan ini membuat mereka mampu menanggapi secara tepat perubahan dunia
yang tak terduga. Mereka juga terbiasa untuk melihat suatu masalah dari beragam
sudut, sehingga amat kreatif di dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan
keputusan.
Keluasan wawasan juga membantu peserta didik untuk berpikir reflektif. Dalam
arti ini, berpikir reflektif berarti melihat ke diri sendiri, guna menemukan hal yang
mesti diperbaiki. Berpikir reflektif adalah kunci untuk pengembangan diri.
Dari proses reflektif semacam ini lahirlah kepekaan moral. Peserta didik terasah
kepekaan baik dan buruknya, ketika melihat keadaan dunia di sekitarnya. Ia keluar
dari sikap masa bodoh yang begitu luas tersebar di kalangan generasi muda
sekarang ini.
Pedagogi kritis mendorong para peserta didik untuk terlibat di dalam perubahan
sosial. Ruang kelas hanya merupakan alat untuk merencanakan gerakan sosial.
Sisanya, melalui minat dan kepedulian masing-masing, setiap peserta didik terlibat
langsung di dalam perubahan sosial di masyarakatnya.
Demokrasi
Pedagogi kritis juga amat cocok untuk masyarakat demokratis, seperti Indonesia.
Demokrasi membutuhkan warga negara yang peduli, berwawasan luas, memiliki
pemahaman tentang hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat, serta
kepekaan moral di dalam melihat masalah. Tanpa ini semua, demokrasi dengan
mudah terpeselet ke dalam politik uang dan korupsi, seperti yang sekarang ini
banyak terjadi di Indonesia.
Dunia pendidikan Indonesia perlu untuk memeluk pedagogi kritis di dalam proses
menyelamatkan pengetahuan dari cengkraman kekuasaan politik dan bisnis yang
rakus. Pengetahuan haruslah ditempatkan kembali sebagai alat untuk
menyelamatkan manusia dari kebodohan, penindasan dan kemiskinan. Untuk itu,
pengetahuan perlu diselamatkan terlebih dahulu melalui penerapan pedagogi kritis
di dalam dunia pendidikan.
Lagi pula, dimana PBB? Salah satu mandat PBB adalah menjaga perdamaian
dunia. Sampai sekarang, banyak negara, termasuk PBB sebagai institusi
internasional terbesar, masih diam membisu. Dugaan, bahwa PBB hanya
merupakan kaki tangan AS dan sekutunya di Eropa Barat, mulai terasa sebagai
kenyataan.
Sudahlah, kita tak usah berharap pada PBB. Bagaimana dengan komunitas
internasional? Uni Afrika dan ASEAN masih diam saja. Apakah kita semua takut,
atau hanya tak peduli, karena sudah lelah dengan keadaan Timur Tengah dengan
drama perang mereka yang tak henti-henti?
Berbagai analisis muncul. Salah satu yang paling sering disuarakan adalah soal gas
bumi. AS dan sekutunya berkepentingan untuk menguasai Suriah dengan
pemerintah boneka, supaya pipa gas bisa mengarah dari Timur Tengah ke Eropa
dengan lancar dan damai. Ini tentu ditambah soal minyak yang memang sangat
banyak ditemukan di Suriah. Pemerintah resmi Suriah sendiri sudah lama bersikap
kritis terhadap sepak terjang AS di tingkat internasional.
Politik Bully
Politik global memang sama persis seperti politik anak Sekolah Dasar yang suka
berebut bermain perosotan. Ada sekelompok anak berbadan besar yang suka
menindas anak-anak lainnya. Guru dan murid lain pun juga diam saja. Semua pura-
pura tak tahu, tak peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing.
Inilah mental pengecut yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Kita diam di
hadapan ketidakadilan. Kita cari aman, dan tak peduli pada penderitaan orang lain.
Kita sibuk mengurusi kenikmatan dan kesuksesan hidup kita semata.
Menyedihkan.
Padahal, jika Suriah dengan mudah diserang, seluruh dunia sebenarnya tak aman.
Jika berseberangan dengan kepentingan penguasa global, serangan militer adalah
harga yang mesti dibayar. Hanya diperlukan sedikit olah nalar untuk memahami
hal ini. Atau jangan-jangan, nalar kita pun sudah raib dihancurkan oleh sikap
pengecut dan ketidakpedulian? Apakah kita mengalami keadaan tuna nalar di
tingkat global?
Apakah kita sadar, betapa konyolnya ini? Ini semua wacana yang tidak produktif
untuk kemajuan bangsa. Ini semua wacana yang justru membuat Indonesia menjadi
lemah, karena terpecah belah. Banyak hal lain yang layak menjadi wacana
bersama, dan amat membutuhkan perhatian kita bersama.
Urusan E-KTP masih terus harus diawasi publik. Urusan BLBI masih belum
selesai sampai sekarang. Banyak juga kepala daerah yang tertangkap korupsi.
Semua ini harus dikawal oleh kita bersama.
Di luar negeri, serangan militer terhadap Suriah adalah pelanggaran hukum dan
etiket internasional. Ini merupakan tindakan yang mengancam perdamaian dunia.
Persoalan Rohingya di Myanmar masih juga membutuhkan perhatian kita bersama.
Dukungan terhadap para korban pelanggaran HAM dan bencana alam di berbagai
belahan dunia masih harus terus diberikan.
Sadarkah kita, bahwa kita sedang mengalami pengalihan isu dan pendangkalan
wacana? Kita sibuk dengan hal-hal yang tidak penting untuk perkembangan
bangsa. Sementara, hal-hal yang penting justru terabaikan. Wacana dan diskusi
publik kita menjadi bermutu rendah, karena diisi dengan tema yang tidak penting,
dan dilakukan dengan penuh kebencian serta kemarahan.
Tuna Nalar
Apakah kita semua, dan juga dunia, sedang mengalami tuna nalar? Apakah nalar
kita menjadi begitu pendek dan sempit, sehingga kehilangan kemampuan moral
dan komunikatifnya? Apakah kita terjebak menjadi manusia satu dimensi yang
hanya sibuk soal perut dan kenikmatan pribadi kita? Apakah kita lupa, bahwa
dunia ini saling terhubung satu sama lain, sehingga satu masalah di satu bagian
dunia adalah masalah bagi kita semua?
Apakah kita tidak mampu melihat hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak adil
di tingkat internasional sekarang ini? Apakah kita tidak sadar sadar, bahwa di
Indonesia, kita mengalami pengalihan isu dan pendangkalan wacana? Apakah kita
tidak sadar, bahwa kita sedang dipecah belah? Apakah kita tidak sadar, bahwa kita
sedang membuang waktu dan energi percuma untuk bertengkar sia-sia?
Jika kita kehilangan kepekaan pada semua hal di atas, maka kita mengalami tuna
nalar. Nalar kita tidak berfungsi dengan baik. Kita hidup dikuasai hasrat berkuasa
dan kenikmatan belaka. Kita kehilangan kemanusiaan yang justru sebenarnya
merupakan inti hidup kita.
Pendek kata, Heidegger jatuh pada apa yang menjadi kritiknya sendiri terhadap
filsafat. Ini memang penyakit yang lumrah ditemukan di kalangan filsuf. Contoh
paling klasik adalah kritik Immanuel Kant terhadap metafisika tradisional yang
justru melahirkan metafisika baru. Walaupun begitu, perkembangan dan perubahan
di dalam filsafat justru terjadi, karena hal ini.
Lalu bagaimana dengan Ada itu sendiri? Ada itu, menurut saya, adalah utopia.
Dalam arti ini, utopia berarti “tanpa tempat”. Ia tidak ada dalam bahasa ataupun
pikiran, karena ia justru menjadi dasar dari bahasa ataupun pikiran itu sendiri.
Sejarah “Ego”
Penyelidikan tentang ego sudah lama berlangsung di dalam sejarah pemikiran
manusia. Pemikiran Jawa kuno, misalnya, membedakan antara ego kecil dan ego
besar. Ego kecil adalah bentukan sosial, yakni hasil dari hubungan dengan keluarga
dan masyarakat secara luas. Ego besar adalah energi semesta yang sudah selalu
ada, dan menjadi sumber dari kebijaksanaan hidup yang tertinggi.
Pemikiran Eropa, terutama psikoanalisis Sigmund Freud, mencoba membagi ego
ke dalam tiga unsur, yakni id, ego dan superego. Id adalah dorongan-dorongan liar
manusia, termasuk di dalamnya hasrat dan keinginan yang tak rasional. Ego adalah
unsur pembuat keputusan dan pertimbangan. Superego adalah kumpulan ajaran
moral dari masyarakat yang mengatur perilaku maupun keputusan seseorang.
Freud juga menekankan, bahwa ego yang sadar hanyalah sebagian kecil dari
keseluruhan ego itu sendiri. Sebagian besar pribadi manusia terdiri dari unsur
ketidaksadaran (Unbewusstsein) yang justru amat mempengaruh cara berpikir dan
perilakunya. Pandangan ini dilanjutkan oleh Carl Gustav Jung di tingkat sosial,
yakni dengan merumuskan konsep ketidaksadaran kolektif (kollektives
Unbewusstsein). Pandangan Freud dan Jung masih menjadi acuan di dalam
melakukan terapi psikoanalisis sekaligus analisis sosial sekarang ini.
Eksistensi Ego
Di dalam kebijaksanaan Timur, ego dianggap ilusi. Ia tidaklah ada. Ego, sebagai
bentukan sosial, adalah hasil dari kesalahan berpikir yang berkembang menjadi
kebiasaan. Ilusi yang terus dipercaya akan seolah menjadi kenyataan yang tak bisa
disanggah.
Apa yang disebut sebagai “diri” atau ego adalah kumpulan dari berbagai unsur
yang terpisah, seperti tubuh dan pikiran. Tubuh sendiri bukanlah satu kesatuan,
melainkan juga kumpulan dari organ, darah, tulang dan saraf. Pikiran juga
merupakan hasil pembiasaan sosial (social conditioning) dalam hubungan dengan
keluarga dan masyarakat. Perpaduan dari semua ini membentuk ego yang tanpa
inti, tanpa esensi.
Pandangan ini juga didukung oleh penelitian neurosains. Beberapa pemikir besar,
seperti Thomas Metzinger dari Jerman, Anil Seth dari Inggris dan Daniel Dennet
dari Amerika Serikat, telah melakukan penelitian mendalam soal ego dari sudut
pandang filsafat dan neurosains. Mereka sampai pada kesimpulan serupa, bahwa
ego itu hanya bentukan yang tidak mempunyai inti nyata. Ego itu seperti asap atau
bayangan.
Berbagai masalah muncul, karena orang mempercayai pikiran dan emosi yang
mereka rasakan. Mereka mengira, itu semua adalah kebenaran. Padahal, keduanya
adalah tanpa inti dan tanpa esensi. Bentuk dasar dari keduanya adalah kosong dan
ilusif.
Jika orang paham, bahwa pikiran dan emosinya adalah ilusi, maka masalah tidak
lagi menjadi berat. Penderitaan yang dirasakan juga tidak lagi menjadi berat dan
panjang. Semuanya hanya akan menjadi tamu yang numpang lewat, dan akan
segera pergi. Hidup pun akan jauh dari penderitaan batin yang tak perlu.
Ini kiranya sesuai dengan pandangan dari kebijaksanaan Timur, terutama ajaran
Buddha. Ego, dari sudut pandang Buddha, adalah sumber penderitaan. Dengan
ego, orang melihat dunia melulu dari sudut pandang kepentingan dirinya. Ambisi,
nafsu dan keserakahan lalu muncul tak terkendali. Padahal, ini semua adalah upaya
yang sia-sia, karena ego, sesungguhnya, tak pernah ada (Anatta).
Kesadaran akan tidak adanya ego membuat segala sesuatu menjadi ringan. Pikiran
dan emosi tidak lagi menekan begitu kuat. Penderitaan datang dan pergi dengan
cepat. Depresi dan beragam penyakit pikiran lainnya pun tak lagi muncul dan
berkembang. Ketika ego disadari sebagai tidak ada, maka kesadaran semesta di
dalam diri akan secara alami tumbuh. Kesadaran semesta inilah sumber
kebijaksanaan tertinggi yang bisa disadari oleh manusia.
Ketika ini dialami, maka kesehatan mental dan kedamaian batin adalah buahnya.
Orang menjadi sepenuhnya rileks di dalam menjalani hidupnya, tanpa terjatuh ke
dalam kemalasan dan sikap tak peduli. Inilah kunci terdalam perdamaian dunia
yang bergerak lebih mendasar daripada berbagai dialog dan kebijakan politik di
tingkat global. Kesadaran akan ketiadaan ego bisa menggiring orang pada
kedamaian batin dan perdamaian dunia
Peduli
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Rasa peduli rupanya menjadi barang langka di dunia sekarang ini. Orang hanya
hidup untuk kepuasaan dirinya semata. Kepentingan orang lain dikorbankan, tanpa
rasa salah. Alam pun rusak, karena manusia memeras alam, demi kepuasan dirinya
semata.
Rasa Peduli
Padahal, seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, filsuf Jerman, di dalam bukunya
yang berjudul Sein und Zeit, rasa peduli (Sorge) adalah hubungan dasariah antara
manusia dengan dunianya. Manusia hidup di dalam dunia yang tak ia pilih. Ia
“terlempar”, begitu kata Heidegger. Mutu hidup manusia ditentukan dari sejauh
mana ia mampu mengembangkan rasa peduli ini di dalam hubungannya dengan
dunia.
Rasa peduli juga didasari oleh empati. Empati, dalam arti ini, adalah kemampuan
manusia untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Rasa peduli bergerak
lebih jauh dengan memikirkan apa yang menjadi kebutuhan orang lain, dan
tindakan nyata apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan itu.
Sebenarnya, rasa peduli amatlah penting di dalam hidup bersama. Solidaritas juga
tumbuh dari rasa peduli ini. Sayangnya, di berbagai bidang kehidupan, kita
menyaksikan krisis rasa peduli. Krisis ini lalu menjadi sumber bagi beragam krisis
lainnya.
Hal yang sama dapat ditemukan di bidang bisnis. Orang dibutakan oleh uang dan
kenikmatan yang datang dari uang tersebut. Segala hal pun dilakukan, termasuk
merugikan pekerja dan masyarakat secara umum, guna mendapatkan keuntungan
sebesar mungkin. Hidup mereka dibimbing oleh hasrat kerakusan.
Dunia pendidikan juga dilanda dengan krisis rasa peduli. Peserta didik dilihat
sebagai mesin-mesin yang harus patuh mengikuti pelajaran dan ujian. Mereka
diberikan kemampuan untuk bisa berkompetisi di dunia bisnis. Sayangnya, di
dalam proses itu, pemikiran kritis dan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial
juga terkikis.
Inilah yang disebut oleh Henry Giroux, di dalam bukunya yang berjudul On
Critical Pedagogy, sebagai pedagogi neoliberal. Pendidikan menjadi budak dari
bisnis dan ekonomi. Uang menjadi ukuran utama keberhasilan hidup. Nilai-nilai
luhur kehidupan dan pendidikan pun tersingkir secara perlahan namun pasti.
Padahal, rasa peduli adalah jantung hati pendidikan. Tanpa rasa peduli, pendidikan
hanyalah sekedar pelatihan semata. Ia tidak memberikan inspirasi, membentuk dan
mengubah karakter. Ia hanya mengajar, layaknya memindahkan pengetahuan dari
komputer satu ke komputer lainnya.
Akhir kata, rasa peduli memang tidak akan pernah hilang. Ia adalah bagian dari
kehidupan yang ada di dalam diri setiap mahluk. Namun, ia bisa terlupakan,
terutama oleh manusia yang dijajah oleh rasa rakus yang tak terkendali. Tugas
kitalah untuk mengingatnya, dan menerapkannya dalam keseharian.
Akibatnya, anak tak pernah merasa puas dan bahagia dengan dirinya sendiri. Ia
selalu merasa tertekan, guna memenuhi keinginan lingkungan sosialnya, terutama
dengan memenangkan kompetisi dan menjadi yang terbaik dibandingkan dengan
teman-temannya. Tak heran pula, tingkat bunuh diri anak usia sekolah meningkat
di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di berbagai negara, lemahnya dukungan
keluarga dan terus meningkatnya beban pendidikan di sekolah menjadi faktor
utama, sebagaimana dijelaskan oleh para peneliti di The University of Southern
Mississippi di dalam penelitian yang berjudul Student Suicide: A Negligence Issue
in Higher Education.
Pendidikan Ketinggalan Jaman
Ada dua hal yang kiranya menjadi penyebab. Pertama, pendidikan di dunia,
termasuk di Indonesia, masih menggunakan cara berpikir di masa revolusi industri
pertama. Di dalam cara berpikir ini, pendidikan itu adalah proses manufaktur,
seperti di pabrik. Semua bahan diolah dengan cara yang sama, dan kemudian
keluar dalam bentuk dan mutu yang sama. Keseragaman menjadi ukuran utama
dari keberhasilan pabrik yang bernama pendidikan.
Ken Robinson, di dalam bukunya yang berjudul Creative Schools: The Grassroots
Revolution That’s Transforming Education, berulang kali menegaskan hal ini.
Pendidikan yang dilihat seperti pabrik justru membunuh unsur utama pendidikan
itu sendiri, yakni kreativitas. Kreativitas muncul dari keberagaman dan perbedaan.
Ia juga muncul dari kemanusiaan dan kebahagiaan yang dibiarkan tumbuh secara
alami di dalam pendidikan.
Dua, pendidikan di abad 21 juga sudah terkena virus neoliberalisme. Di dalam
paham ini, segala unsur kehidupan diukur semata dengan nilai ekonomi. Uang
menjadi dewa, dan segala nilai lain terpinggirkan. Akibatnya, pendidikan justru
merusak budaya demokrasi yang membutuhkan pemikiran kritis dan kepekaan
moral kemanusiaan, serta menjadi semata pengabdi kepentingan pasar.
Inilah argumen yang ditawarkan oleh Henry Giroux di dalam bukunya yang
berjudul On Critical Pedagogy. Neoliberalisme telah memasuki tidak hanya sistem
birokrasi adminstratif pendidikan, tetapi juga roh pendidikan itu sendiri. Kompetisi
dan komparasi dilihat sebagai sesuatu yang jauh lebih berharga, daripada kerja
sama dan keberagaman minat serta dorongan alami manusia. Yang tersisih adalah
mereka yang miskin, karena tak mampu mendapatkan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu, atau bahkan mendapatkan pendidikan
sama sekali.
Revolusi Mental Pendidikan
Menanggapi racun-racun pendidikan di atas, dua hal kiranya bisa dilakukan.
Pertama, arah dan filsafat dasar pendidikan harus diubah sama sekali. Pendidikan
sebagai pabrik dan pendidikan yang mengabdi pada kepentingan pasar haruslah
diubah sampai ke akarnya. Yang kemudian diterapkan adalah pendidikan kritis dan
humanis, sebagaimana dirumuskan oleh Julian Nida-Rümelin, pemikir Jerman, di
dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung.
Pendidikan kritis adalah pendidikan yang mengedepankan pertanyaan dan analisis
terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat. Analisis ini
kemudian dibalut dengan kepekaan moral dan rasa kemanusiaan tertentu, guna
menentukan langkah yang tepat untuk mengubah keadaan. Ini semua lalu
mendorong tindakan bersama dalam ragam bentuk gerakan sosial untuk
mendorong perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih adil, demokratis dan
makmur. Pendidikan yang kritis dan humanis, demikian kata Nida-Rümelin, akan
membuat pendidikan kembali relevan untuk kehidupan manusia sebagai
keseluruhan.
Kecerdasan Spiritual
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Mendengar kata kecerdasan spiritual, orang langsung teringat dengan agama,
beserta segala ritual maupun aturannya. Pandangan ini salah besar.
Kecerdasan Spiritual
Konsep kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence) dirumuskan secara sistematis
oleh Robert Emmons di dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Is Spirituality an
Intelligence? Motivation, Cognition, and the Psychology of Ultimate Concern.
Tulisan ini diterbitkan di dalam sebuah jurnal ilmliah yang bernama International
Journal for the Psychology of Religion.
Konsep ini berkembang dari penelitian Howard Gardner tentang kecerdasan jamak
(Multiple Intelligences). Ia menekankan, bahwa kecerdasan manusia memiliki
banyak jenis, dan masing-masing harus dilihat secara unik, walaupun saling
terhubung satu sama lain.
Bagi Emmons, kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia untuk
menciptakan keutuhan di dalam dirinya. Ia tidak lagi terbelah oleh kekecewaan dan
kecemasan, melainkan satu dan utuh sebagai pribadi yang terhubung dengan dunia.
Inilah yang disebutnya sebagai transformasi intrapersonal (intrapersonal
transformation).
Bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual semacam ini? Ada empat hal
yang kiranya perlu diperhatikan.
Tujuan dan Makna
Pertama, kecerdasan spiritual berkembang, ketika orang paham akan tujuan dan
makna hidupnya. Tujuan dan makna hidup amatlah mendasar, yakni untuk hidup
sesuai dengan segala potensi yang ada untuk kebaikan sebanyak mungkin pihak.
Harus diakui, banyak orang hidup untuk sekedar hidup. Mereka tak paham tujuan
dan makna hidup mereka. Hidup mereka terasa kosong, karena diisi dengan
pengejaran pemenuhan kebutuhan-kebutuhan palsu, seperti harta, nama baik dan
kepuasan seksual.
Padahal, jika semua itu diikuti, orang akan terjebak pada kekecewaan dan
kekosongan batin. Kenikmatan dari luar selalu bersifat sementara, dan berakhir
dengan ketidakpuasan.
Maka dari itu, tujuan dan makna hidup haruslah dicari ke dalam diri manusia,
yakni menemukan jati diri sejatinya sebagai warga semesta. Hanya dengan begitu,
orang bisa hidup sepenuhnya, dan membaktikan semua dirinya untuk kebaikan
semua mahluk.
Mengelola Diri
Dua, kecerdasan spiritual juga berkembang sejalan dengan kemampuan orang
mengelola dirinya. Dalam arti ini, mengelola diri berarti mengelola segala pikiran,
emosi dan keinginan yang datang dan pergi.
Orang tidak lagi disiksa oleh pikiran-pikirannya, biasanya dalam bentuk
penyesalan dan kecemasan. Orang juga tidak lagi diperbudak oleh emosinya,
sehingga ia mudah sekali jatuh ke dalam kemarahan dan kesedihan mendalam.
Dua hal inilah yang rupanya sulit sekali dilakukan oleh manusia modern. Orang
cenderung mengira pikiran dan emosinya sebagai kenyataan, sehingga hanyut ke
dalamnya, dan terjebak ke dalam penderitaan yang tanpa faedah. Beragam
keinginan dikejar, tanpa sikap kritis dan reflektif, yang akhirnya bermuara pada
kekecewaan.
Kesadaran
Tiga, kecerdasan spiritual juga membutuhkan kesadaran. Dalam arti ini, kesadaran
adalah kemampuan untuk hidup dari saat ke saat dengan perhatian penuh terhadap
segala pikiran, emosi maupun keinginan yang muncul.
Orang pun lalu bisa bertindak dengan kesadaran penuh. Kemarahan dan tindakan
keras dilakukan juga dengan kesadaran penuh, jika memang keadaan sungguh
menuntut untuk itu.
Banyak orang tak bisa melakukan ini. Mereka melakukan semuanya tanpa
kesadaran dan perhatian, sehingga dampaknya pun cenderung tak terduga, mulai
dari melukai orang lain sampai dengan menghancurkan alam.
Jika sudah begitu, penyesalan dan kecemasan pun memenuhi pikiran. Kesadaran
dan perhatian adalah unsur yang amat penting di dalam membentuk kecerdasan
spiritual.
Melampaui Ego
Empat, kecerdasan spiritual membongkar ego diri, dan mengajak orang melampaui
kepentingan dirinya. Hidupnya diarahkan pada kepentingan semua mahluk, dan
bukan hanya fokus pada kenikmatan maupun kejayaan pribadi semata.
Ini mungkin hal yang paling sulit dilakukan. Orang cenderung terbiasa melihat
segala sesuatu dari kaca mata kepentingan dirinya. Kepentingan orang lain, apalagi
kepentingan alam, cenderung diabaikan, bahkan dikorbankan.
Kerakusan menjadi daya dorong tanpa kesadaran. Sikap jahat dan manipulatif
menjadi sesuatu yang alami dilakukan. Hal inilah yang menghancurkan tidak
hanya mutu kehidupan politik di Indonesia, tetapi juga mutu hidup pribadi orang-
orang yang ada di dalamnya.
Jika dilihat secara jeli, kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan terpenting yang
bisa dimiliki oleh manusia. Orang bisa memiliki kecerdasan logis-matematis atau
kecerdasan seni-estetik. Namun, jika ia tidak memiliki kecerdasan spiritual, maka
kecerdasan yang ia punya bisa tergelincir menjadi perusak diri maupun hidup
bersama.
Bukankah ini yang terjadi pada para politisi busuk dan pebisnis korup?
Paradoks Harapan
Mard Issa The Wasteland of Hope
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Manusia memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang
bisa bangun tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan
hidup yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu
menyelamatkan manusia.
Namun, harapan juga memiliki paradoks. Ia tidak hanya daya dorong kehidupan,
tetapi juga sumber kehancuran, terutama harapan yang tak terwujud. Ketika
harapan besar terhempas oleh gejolak kehidupan, patah hati, kebencian dan konflik
adalah buahnya. Ini terjadi di banyak tingkat, mulai dari tingkat pribadi sampai
dengan hubungan antar bangsa.
Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam memahami harapan. Darimana
datangnya harapan? Apa inti dari harapan? Bagaimana mengelola harapan, supaya
ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan sumber kekecewaan?
Segala pola pikir dan pola perilaku yang kita punya adalah bentukan masyarakat
kita. Perubahan tentu mungkin. Namun, itu seperti menambah program baru di
program yang sudah ada sebelumnya. Yang terbentuk adalah semacam
percampuran antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.
Harapan juga sama. Ia adalah bentukan lingkungan sosial kita. Orang yang lahir di
keluarga pedagang cenderung berharap menjadi pedagang besar. Orang yang lahir
di keluarga akademisi pun cenderung berharap menjadi seorang pemikir besar.
Harapan, pendek kata, adalah hasil dari programming sosial.
Jika orang tak menyadari ini, dan mengira harapan yang ia punya adalah
harapannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam ilusi. Ia mengira dirinya bebas,
padahal tetap terpenjara di dalam dunia sosial. Ia hidup seperti robot, tunduk pada
pengakuan dan penolakan dari dunia sosial. Hidup seperti ini amat rentan pada
kekecewaan, patah hati, stress, depresi dan konflik.
Mengelola Harapan
Jika harapan adalah “sampah” dari lingkungan sosial, maka pilihlah sampah yang
baik. Ada empat hal yang kiranya bisa dilakukan. Pertama, dari semua harapan
yang ada, pilihlah harapan yang bergerak melampaui kepentingan diri kita semata.
Pilihlah dan hiduplah dengan harapan yang mampu membawa kebaikan tidak
hanya untuk hidup manusia, tetapi untuk alam semesta.
Dua, kita juga mesti paham dengan keadaan. Jangan memiliki harapan yang terlalu
tinggi, cukup bisa berguna untuk banyak orang, dan bisa diwujudkan dengan kerja
sama. Tentu saja, kita juga perlu meningkatkan kemampuan, supaya harapan kita
bisa menjangkau kebaikan yang lebih tinggi dan lebih luas. Itulah gunanya belajar
untuk pengembangan diri, yakni supaya kemampuan kita untuk mewujudkan
harapan bisa meningkat.
Tiga, harapan seringkali terhempas di tengah jalan, walaupun harapan itu baik dan
cukup realistis. Disini diperlukan kesabaran. Dalam arti ini, kesabaran adalah
kemampuan untuk bertahan mengejar harapan, walaupun beragam tantangan
datang menghadang. Tanpa kesabaran, harapan apapun tak akan terwujud,
walaupun didukung oleh kecerdasan dan modal yang besar.
Empat, walaupun begitu, kita tetap harus tahu, kapan harus berhenti berharap.
Berhenti disini bukanlah tanda kekalahan, melainkan tanda kebijaksanaan. Apa
yang punya awal haruslah memiliki akhir. Inilah hukum alam semesta yang tak
tergoyahkan.
Paradoks harapan adalah ciri dari harapan itu sendiri. Ia bisa dihindari, asal orang
bisa berharap dengan sadar, yakni sadar akan kenyataan dan keterbatasan, tanpa
jatuh ke dalam sikap putus asa. Harapan lahir dari hubungan dengan lingkungan
sosial yang ada. Ia bisa memenjara, tetapi juga bisa membebaskan, jika dikelola
dengan tepat.
Di dalam hidup, kita harus mencari kenikmatan. Makanan yang nikmat akan
membuat kita merasa segar. Tidur yang nikmat akan mengisi tenaga kita kembali.
Persahabatan dan percintaan yang nikmat akan mengisi hidup kita dengan warna
warni keindahan.
Sayangnya, banyak orang salah paham. Mereka mencari kenikmatan tidak dengan
sepenuh hati. Mereka tidak mencari kenikmatan tertinggi yang bisa diraih manusia.
Padahal, kenikmatan yang tak sepenuh hati itu banyak efek samping yang
merugikan.
Kenikmatan tertinggi bisa diraih, jika orang paham jati diri mereka sebenarnya.
Inilah kesadaran halus dibalik segala pikiran dan emosi yang muncul. Kesadaran
ini menerima sepenuhnya apa yang terjadi disini dan saat ini. Kedamaian dan
kebahagiaan pun muncul secara alami di dalam diri.
Inilah kenikmatan tertinggi yang bisa diraih manusia. Semua bentuk kenikmatan
setengah hati, seperti seks, makan sampai dengan alkohol, menjadi tak lagi berarti.
Itu semua bisa dilakukan dengan kesadaran, dan tidak dengan dorongan tanpa arah.
Jika orang menemukan kenikmatan tertinggi di dalam dirinya ini, maka segala
bentuk kekecewaan dan penderitaan di dalam hidup bisa dijalani dengan penuh
kedamaian.
Mengapa?
Mengapa kita berubah menjadi masyarakat “mata keranjang”? Ada tiga hal yang
kiranya bisa diperhatikan. Pertama, energi seksual meletus secara kolektif di
dalam masyarakat, karena energi tersebut tak menemukan penyaluran yang cocok.
Ini terjadi, karena kita tidak memiliki cara dan pemahaman untuk mengelola energi
yang ada. Akibatnya, energi tersebut berubah menjadi frustasi, dan meletus ke
tempat-tempat yang tak semestinya, seperti konflik dan seks tanpa arah.
Dua, kita tidak memiliki cara dan pemahaman tentang energi kehidupan, karena
kita hidup dengan ajaran-ajaran yang salah. Alih-alih memahami energi, kita
menekan energi, terutama energi seksual, atas nama agama dan moralitas.
Akibatnya, energi itu mampet, dan meledak di berbagai ranah kehidupan lainnya,
seperti seks dan belanja tanpa arah. Tak heran, mata orang begitu mudah melotot,
ketika melihat tubuh cantik atau ganteng di jalan, dan langsung berpikir ke arah
seks.
Tiga, semua ini tentu tak lepas dari menyebarnya pornografi di masyarakat kita. Ini
merupakan salah satu sisi negatif dari berkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan kontrol. Namun,
usaha ini tak cukup, karena tayangan pornografi masih begitu mudah didapatkan
dan dilihat di Internet.
Bagaimana?
Pemahaman akan tiga hal di atas akan mengantarkan kita pada tiga hal lainnya
yang bisa dilakukan. Pertama, kita perlu belajar untuk memahami dan mengelola
energi di dalam diri. Ini bisa dilakukan dengan cara meditasi. Namun, meditasi
terkait dengan energi tidak hanya dengan duduk diam, melainkan meditasi dalam
gerak. Seni tari, musik dan bela diri bisa menjadi beberapa pilihan yang mungkin.
Dua, pemahaman ini hanya mungkin, jika kita mampu keluar dari ajaran-ajaran
masyarakat yang salah, yang menekan energi seksual atas nama moralitas dan
agama, sehingga jatuh ke dalam kemunafikan. Dengan kata lain, kita harus bisa
berbicara tentang seks secara sehat dan rasional sebagai manusia dewasa, dan
bukan sebagai manusia yang tunduk patuh buta terhadap tradisi. Tradisi memang
berharga. Namun, jika ia dipuja secara buta, ia akan menjadi penghalang terbesar
kehidupan manusia.
Tiga, mekanisme kontrol terhadap pornografi tetap harus dilakukan, dan
ditingkatkan. Namun, yang terpenting adalah kita memahami hakikat tubuh
manusia sebagai mahluk yang bermartabat. Tubuh yang cantik, ganteng dan seksi
tidak bisa menjadi obyek untuk kepuasan sesaat. Tubuh adalah subyek yang
memiliki martabat luhur, maka harus dihargai dan dihormati, tanpa jatuh pada
pemenjaraan baru.
Masyarakat “mata keranjang” akan ditinggalkan peradaban. Negara-negara lain
sudah memikirkan energi alternatif dan mencari peluang di planet baru di jagad
raya yang nyaris tak terbatas. Sementara itu, negara kita masih saja berperilaku
biadab. Revolusi mental adalah revolusi pemahaman di dalam mengelola energi
dan kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya soal membangun jembatan.
Ilusi tersebut antara lain harapan, pikiran, perasaan, emosi, pendapat dan segala
sesuatu yang diterima dari panca indera, yakni informasi dari mata, hidung, telinga,
kulit dan lidah. Semua hal tersebut tidak memiliki bentuk nyata di dalam diri kita.
Ia adalah bayangan ilusi, seolah ada, namun sebenarnya tak ada. Fisika modern
sudah menunjukkan kepada kita, bahwa materi di dunia pun pada dasarnya tidak
bisa berdiri sendiri, terlepas dari kesadaran manusia.
Apa yang terjadi, jika kita mengejar bayangan ilusi tersebut? Apa yang terjadi, jika
saya mengejar harapan, ide, impian dan ambisi yang saya punya? Apa yang terjadi,
jika saya membuat keputusan dengan berpijak pada emosi dan perasaan yang saya
punya?
Lingkaran Penderitaan
Jawabannya sederhana: anda akan memasuki lingkaran penderitaan. Setiap
manusia memiliki satu keanehan di dalam dirinya. Ketika ia mendapatkan apa
yang ia mau, ia tidak lagi menginginkannya. Keinginan itu menipu kita, dan
akhirnya menggiring kita pada pintu penderitaan.
Hidup yang diisi dengan mengejar bayangan ilusi bagaikan mengendarai wahana
halilintar di Dunia Fantasi, Jakarta. Anda akan naik turun, tanpa henti. Terkadang,
anda di atas, karena keinginan anda tercapai. Terkadang di bawah, karena apa yang
ada peroleh pasti mesti dilepas, entah dipisahkan oleh kematian, atau seseorang
mengambilnya dari tangan ada.
Hidup semacam ini adalah hidup yang serba salah. Keinginan itu memang serba
salah. Tidak dipenuhi, kita menderita. Jika dipenuhi, kita pun menderita. Hanya
ada satu cara untuk keluar dari lingkaran penderitaan ini.
Kita pun tidak lagi diperbudak oleh bayangan ilusi. Kita menjadi tuan atasnya. Kita
lalu bisa memilih pikiran ataupun perasaan apa yang layak untuk diikuti, sesuai
dengan keadaan yang tengah dihadapi. Kita bisa membuat keputusan dengan baik,
terutama keputusan yang menyangkut hidup orang lain.
Hidup dalam kesadaran, sebelum mengejar bayangan ilusi, adalah hidup yang
dipenuhi dengan kebebasan dan kebijaksanaan. Orang tidak lagi diperbudak oleh
pikiran maupun emosinya. Ia pun bisa bersikap tepat untuk menanggapi semua hal
yang terjadi di dalam hidupnya. Ketika waktunya tiba, ia bisa meninggalkan
tubuhnya dengan damai, karena ia tahu, dan mengalami langsung, bahwa
kesadaran itu abadi.
Bukankah itu hal tertinggi yang bisa dicapai di dalam hidup manusia?
Informasi menjadi begitu mudah dan murah untuk didapat. Ini mudah sekali
disalahgunakan, mulai dari pelanggaran privasi sampai dengan pemerasan dan
penghancuran nama baik. Ini juga menciptakan kebingungan, karena orang tak lagi
memiliki waktu dan tenaga untuk mengolah informasi tersebut menjadi
pengetahuan, apalagi menjadi kebijaksanaan. Banjir informasi, pada akhirnya,
menciptakan ketidakpedulian yang berujung pada beragam masalah di dalam hidup
bersama, mulai dari krisis identitas, depresi yang terus menyebar sampai dengan
tingkat bunuh diri yang terus meningkat dari tahun ke tahun di berbagai belahan
dunia.
Ketika melihat sebuah foto di media sosial, saya teringat sebuah kejadian di masa
lalu. Di dalam kejadian itu, saya bersama mantan kekasih saya. Kini, kami sudah
berpisah. Saya pun bertanya-tanya tentang kabarnya.
Tiba-tiba, terdengar suara tukang nasi goreng lewat. Perut tiba-tiba terasa lapar,
padahal saya sudah makan. Konsep nasi goreng kini memenuhi pikiran saya. Tapi
tunggu dulu, saya kan sedang diet?!
Apakah anda pernah mengalami hal tersebut? Pikiran melompat dari satu hal ke
hal lainnya, tanpa jarak dan tanpa sadar. Satu hal belum selesai, hal lain sudah
berdatangan. Tenang saja, anda tak sendiri. Saya, dan milyaran orang lainnya, juga
sering mengalaminya.
Menurut Thomas Metzinger, pemikir neurosains dari Jerman, gerak melompat dari
pikiran ini memenuhi sebagian besar hidup manusia. Ini semua terjadi antara
kesadaran dan ketidaksadaran. Artinya, terkadang kita sadar, bahwa pikiran
melompat, namun seringkali tidak. Kita bagaikan orang yang tidur, sambil
berjalan. Ada beberapa hal menarik dari penelitian Metzinger.
Pikiran yang Melompat
Pertama, setelah melalui beberapa penelitian lebih lanjut, ternyata jumlah saat-saat
sadar dalam hidup manusia jauh lebih sedikit, daripada saat-saat tidak sadar.
Artinya, sebagian besar pikiran kita di dalam hidup adalah pikiran yang melompat-
lompat secara tidak sadar, seperti contoh di atas. Hal ini berdampak luas. Jika
kesadaran hanya bagian kecil dalam hidup, lalu bagaimana dengan identitas dan
kebebasan kita sebagai manusia? Jika sebagian besar hidup kita diisi dengan
pikiran yang melompat tanpa arah, lalu apakah ada yang disebut sebagai “hidup
kita”?
Tema “pikiran yang melompat” ini memang sedang menjadi kajian para peneliti
neurosains di berbagai negara. Intinya adalah upaya untuk melihat pola pikiran
manusia dari saat ke saat. Hasilnya ternyata mengubah cara pandang kita terhadap
kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, moralitas dan politik. Apa yang kita
sebut sebagai pikiran bebas dan sadar ternyata hanya merupakan sebagian kecil
dari kehidupan kita.
Dua, secara rata-rata, orang menghabiskan dua pertiga hidupnya dalam beragam
lompatan pikiran. Mereka bagaikan tidur sambil berjalan. Mereka tidak sadar akan
isi dan arah pikiran mereka. Apa yang disebut sebagai “diri” atau “aku” pun
sebenarnya hanya disadari beberapa saat saja di dalam hidup.
Jika “diri” dan “aku” merupakan konsep yang tak jelas, maka kebebasan dan
kesadaran pun juga menjadi tak jelas. Jika kebebasan dan kesadaran adalah sesuatu
yang ambigu, maka moralitas dan hukuman terhadap pelaku kejahatan menjadi
bermasalah. Orang hanya dapat dinilai dan dihukum, jika ia melakukan sesuatu
secara bebas dan sadar. Pilihan politik, misalnya di dalam pilkada maupun pilpres,
pun lalu juga bukan hasil dari kebebasan dan kesadaran.
Tiga, di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern, ada pembicaraan lama
tentang kebebasan dan determinasi. Di satu sisi, ada paham tentang kebebasan dan
kehendak bebas manusia. Di sisi lain, ada paham yang menekankan, bahwa
kebebasan itu tidak ada. Semua sudah ditentukan alam dan masyarakat
sebelumnya.
Ada juga pembicaraan soal kesadaran dan ketidaksadaran. Ada paham yang
menekankan, bahwa manusia adalah mahluk yang sadar, dan maka ia bebas. Ada
paham yang menekankan, bahwa manusia adalah mahluk yang tidak sadar.
Perilakunya ditentukan oleh pola asuhnya dari kecil sampai ia besar.
Penelitian neurosains tentang pikiran yang melompat ini bisa memberikan jawaban
terhadap beragam diskusi tersebut. Kita bukanlah diri yang bebas dan sadar. Kita
juga bukan sekedar robot hasil dari masa lalu dan latar belakang sosial kita. Apa
yang kita sebut sebagai kesadaran dan kebebasan adalah hal yang datang dan pergi
dari saat ke saat di dalam hidup, seringkali tanpa bisa diatur.
Dampak dari Pikiran yang Melompat
Fakta tentang pikiran yang suka melompat ini juga berdampak besar bagi
kehidupan. Pertama, ketika orang hanyut ke dalam pikirannya yang suka
melompat, ia akan sulit fokus. Ia akan mengalami kesulitan menyelesaikan
pekerjaan di depan mata. Akibatnya, apapun yang ia lakukan akan terbengkalai,
karena terlalu sedikitnya fokus yang diberikan.
Prestasi kerja menurun. Prestasi belajar menurun. Hubungan dengan orang lain pun
menjadi tidak bermutu, karena orang lebih suka hanyut di dalam pikirannya
sendiri. Ketika orang susah berkonsentrasi melakukan apapun, maka hidupnya pun
akan mengalami banyak kesulitan.
Dua, jika pikiran yang suka melompat ini menjadi amat tak terkendali, maka
penderitaan adalah buahnya. Orang terlempar kembali ke masa lalu, dan hidup
dalam penyesalan. Orang terlempar ke masa depan, lalu terjebak dalam kecemasan.
Ini semua menciptakan ketidakseimbangan di dalam hidup yang kemudian
melahirkan beragam bentuk penyakit, baik penyakit batin maupun penyakit badan.
Tiga, ada dua bentuk penyakit batin yang kerap muncul, ketika pikiran seseorang
melompat tanpa arah, yakni depresi dan insomnia. Di dalam keadaan ini, pikiran
seperti kereta super cepat yang tak bisa dikendalikan. Orang kehabisan energi
hanya untuk sekedar berpikir tanpa arah. Banyak orang lalu lari ke narkoba dan
bahkan bunuh diri, guna melepaskan diri dari keadaan ini.
Beragam bentuk penyakit kronis, yakni kelainan organ, seperti jantung, darah
tinggi, kanker dan sebagainya, juga hasil dari ketidakseimbangan. Ini sebenarnya
bukanlah penyakit, melainkan gejala. Akarnya adalah pola hidup yang tak
seimbang, terutama pikiran-pikiran yang suka melompat tanpa arah, dan
menimbulkan ketegangan di dalam pikiran maupun badan.
Empat, akan tetapi, jika pikiran melompat ini bisa disadari, ia juga bisa menjadi
alat penyembuhan. Orang tak lagi terpaku pada pengalaman buruknya, tetapi bisa
mengarahkan pikirannya ke saat atau tempat yang menyenangkan. Dalam arti ini,
pikiran yang melompat menjadi mekanisme pertahanan diri dari depresi dan
trauma. Ia bisa membawa orang ke tempat yang membahagiakan di dalam
pikirannya, walaupun hanya sesaat.
Lima, bagi para pekerja seni, pikiran yang melompat juga bisa menjadi sumber
kreativitas. Ide-ide baru muncul, bukan dari nalar sehari-hari, tetapi dari lompatan
logika yang tak terduga. Inilah sumber kejeniusan para pemikir dan seniman besar
dunia. Orang bisa melihat dunia dari kaca mata yang berbeda, ketika pikirannya
melompat ke berbagai arah.
Membangun Otonomi Batin
Tentu saja, kita ingin menjadi pribadi yang kreatif, namun jauh dari depresi dan
beragam penyakit lainnya. Kita ingin bisa memanfaatkan dampak baik dari pikiran
yang suka melompat tersebut, serta menjauh dari dampak negatifnya. Apakah ada
cara untuk melakukan ini? Ironisnya, penelitian yang baru saja dilakukan di bidang
neurosains ini juga sudah menjadi tema pergulatan para pemikir filsafat Timur,
seperti Shiva, Buddha dan Lao Tzu. Ada dua hal yang kiranya bisa dilakukan.
Isi dan arah pikiran pun bisa dipilih dengan sadar. Inilah kebebasan yang sejati.
Kita pun tidak lagi tidur sambil berjalan…
Kebebasan dan Empati
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita ingin menjadi manusia bebas. Kita ingin bisa membuat keputusan kita sendiri
terkait dengan hidup yang kita jalani. Kita ingin bisa berpikir bebas. Kita ingin bisa
bertindak bebas, seturut dengan pilihan yang kita buat.
Kita ingin bisa memilih hobi yang ingin kita tekuni. Kita ingin bisa memilih orang
yang kita cintai. Kita juga ingin bisa memilih agama yang kita anut. Namun,
kebebasan juga memiliki banyak tantangan.
Kita dibatasi oleh kemampuan kita. Kita dibatasi oleh keadaan diri kita. Kita
dibatasi oleh masyarakat yang ingin memenjara kita dengan norma-norma yang tak
masuk akal. Pada akhirnya, kita juga dibatasi dengan kematian.
Pada tingkat yang lebih dalam, kita dibatasi oleh hukum sebab akibat. Kehendak
bebas pun seolah menjadi ilusi. Dibaliknya terdapat kaitan sebab akibat yang tak
terhitung banyaknya. Semua pilihan sudah dapat diramal dengan perhitungan yang
tepat.
Namun, ironisnya, menyadari bahwa kita tidak bebas adalah sebuah bentuk
kebebasan. Menyadari bahwa kita hidup di bawah hukum sebab akibat adalah
sebentuk kebebasan. Kesadaran adalah simbol dari kebebasan. Dengan kesadaran,
semua hal menjadi mungkin.
Sayangnya, kerap kali, kita salah memahami arti kebebasan. Kita menyamakan
kebebasan dengan bertindak seenaknya. Kita mengumbar nafsu dan keserakahan
atas nama kebebasan, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini, kita
membutuhkan empati.
Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
Kita tidak ingin disakiti, maka kita tidak boleh menyakiti orang lain. Kita tidak
ingin ditipu, maka jangan menipu orang lain. Empati adalah dasar bagi hidup
bersama.
Jadi, silahkan jalani hidup anda dengan bebas dengan empati di dalamnya…
Gejolak emosi yang kuat juga kerap kali muncul, ketika kita berhadapan dengan
keluarga di rumah. Fakta hubungan darah tidak mengurangi dorongan untuk
marah, ketika berhadapan dengan anggota keluarga yang menyebalkan, seperti
anak yang sulit diatur, sampai suami atau istri yang tidak menjalankan fungsi
sosialnya di dalam keluarga. Gejolak emosi marah biasanya bermuara pada
tindakan ataupun kata-kata kasar yang justru memperkeruh suasana. Yang paling
buruk, keluarga tersebut bisa pecah.
Gejolak emosi terkuat biasanya dialami di tempat kerja. Atasan yang bertindak
seenaknya, dan suka menindas, atau bawahan yang bekerja tanpa profesionalitas.
Ini semua ditambah dengan beban kerja yang terus meningkat dengan dateline
yang amat pendek. Gejolak emosi yang tak terkelola akan bermuara pada penyakit
fisik maupun mental yang beragam.
Marah dan takut adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Marah hanya dapat ada,
karena ada rasa takut. Takut muncul, karena orang merasa tak mampu mengatur
keadaan yang ada. Jika emosi marah dan takut tak dikelola, maka keduanya akan
bermuara pada beragam bentuk penderitaan dan penyakit, baik fisik maupun
mental.
Beragam kelainan organ, baik itu jantung, paru-paru, darah tinggi, ginjal, usus,
tumor dan bahkan kanker, muncul karena emosi yang terpendam. Emosi yang kuat
tak terkelola dengan baik, lalu menciptakan ketidakseimbangan di dalam diri.
Ketidakseimbangan inilah yang membuat beragam organ tubuh tak berfungsi
semestinya. Segala bentuk pengobatan kedokteran modern akan percuma, jika
tidak ada upaya untuk mengenali dan mengelola gejolak emosi kuat yang
terpendam.
Di dalam penelitian ilmu pengetahuan modern, emosi juga secara sederhana dibagi
menjadi dua, yakni emosi baik dan emosi buruk. Emosi baik adalah emosi yang
memberikan kenyamanan untuk tubuh, sekaligus dapat diterima secara sosial,
misalnya menangis karena berduka, atau gembira karena mendapatkan hadiah.
Emosi buruk adalah emosi yang menyakiti tubuh, karena menciptakan ketegangan
dan ketidakseimbangan, seperti marah dan takut. Sebuah gejolak emosi juga
dianggap buruk, jika ia tidak dapat diterima secara sosial, misalnya marah besar di
depan umum, dan sebagainya.
Emosi juga tidak hanya merupakan gejala mental, tetapi juga fisik. Ketika
memahami manusia, mental dan fisik memang tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Gejolak emosi yang kuat juga selalu dibarengi dengan gejolak fisik yang kuat,
mulai dengan pola napas, tekanan darah sampai dengan keringat di tubuh. Emosi
yang amat sangat kuat bahkan bisa memicu kematian, terutama ketika pembuluh
darah pecah, karena tekanan darah yang terlalu tinggi.
Hanya jika kita bisa mengampuni diri kita sendiri, kita lalu bisa mengampuni orang
lain sepenuhnya. Setelah pengampunan datang, cinta yang sejati pun juga
bertumbuh, yakni cinta yang tanpa pamrih. Ketenangan, kedamaian dan
keseimbangan adalah buah dari proses ini. Orang lalu menjadi dirinya sendiri yang
penuh welas asih dan kedamaian yang sejati.
Bagaimana?
Bagaimana caranya? Cukup pejamkan mata, rasakan sensasi di tubuh, tarik napas,
dan ketika mengeluarkan napas, katakan, “Aku mengampuni semua emosi negatif
di dalam diriku.” Hening sejenak, dan rasakan sensasi di tubuh. Lalu tarik napas
lagi, dan ketika mengeluarkan napas, katakan, “Aku mengampuni semua
kemarahan di dalam diriku.” Kalimat ketiga pada saat mengeluarkan napas adalah,
“Aku mengampuni semua ketakutan di dalam diriku.”
Lakukan beberapa kali, lalu coba rasakan kedamaian yang muncul di dalam hati
selama beberapa saat. Lakukan ini secara rutin di setiap kesempatan yang
mungkin. Idealnya, ini dilakukan minimal 15 menit dalam sehari. Namun, beragam
kesempatan juga bisa dimanfaatkan, semisal ketika macet di jalan raya atau sedang
menunggu seseorang.
Selama melakukan ini, jangan lupa untuk tersenyum. Senyum memberikan rasa
tenang. Senyum adalah dampak sekaligus sebab bagi kebahagiaan. Silahkan
dicoba. Saya tunggu sharing-nya di comment section.