Anda di halaman 1dari 5

Muhammad Syauqi Akbar

Mahasiswa Psikologi UMM

Kaum Penindas Diri Sendiri

Pengantar

Standarisasi sosial adalah standar perilaku yang referensinya dirujuk pada


“Kata banyak orang” jenisnya beragam dalam masyarakat sekarang.
Contohnya seperti, cantik syaratnya kulit putih glowing dan bertubuh
langsing, Syarat pintar adalah kuliah di universitas negri atau nilai IPK 3,99 ,
Parameter beriman dinilai dari panjangnya jilbab atau baju gamis yang
dikenakan. Ini semua adalah bentuk standarisasi sosial. Standar-standar ini
memiliki penganut fanatiknya, mereka adalah orang-orang yang menikmati
standar-standar bodoh ini, meskipun seringkali terluka oleh realitasnya.
Fenomena ini aneh, tapi peminatnya melimpah. Fenomena ini perlu
diwaspadai, karena banyak menguras cadangan kesejahteraan mereka yang
meyakininya.

Tertindas atau Menindas

Paulo freire merangkai gagasan yang sangat spektakuler tentang masalah


standarisasi ini, tetapi yang beliau soroti lebih banyak pada standarisasi yang
dilakukan oleh para penindas pada mereka yang tak berdaya di sector
pendidikan dan pekerja. Tulisannya yang berjudul “Pendidikan Kaum
Tertindas”, membahas tentang kaum yang tertindas oleh tatanan yang tidak
adil ciptaan para penindas. Terinspirasi dari tulisan Paulo Freire, saya
menemukan kaum yang lebih memprihatinkan dari kaum tertindas. Yaitu
kaum yang sengaja menindas dirinya sendiri.

Kaum tertindas menurut Paulo Freire adalah orang-orang yang kehilangan


harkatnya sebagai manusia akibat dari tatanan yang tidak adil (Freire, 2007).
Mereka ini adalah kaum yang sukar untuk merdeka, karena kehendak untuk
merdeka memiliki beban konsekuensi yang berat. Dan seringkali para
penindas sengaja memprogram mereka untuk tetap tertindas. Sehingga
tindakan untuk merdeka itu, sulit untuk dibayangkan oleh mereka.
Sedangkan, kaum yang menindas dirinya sendiri adalah orang-orang yang
kehilangan harkatnya sebagai manusia akibat tatanan sosial bodoh yang
mereka yakini. Mereka ini adalah kaum yang malas memerdekakan dirinya,
karena takut akan konsekuensi-konsekuensi remeh yang dibesar-besarkan
imajinasinya. Mereka ini bukan abg labil yang sedang tertindas oleh dorongan-
dorongan biologisnya, mereka adalah orang yang perangkat berpikirnya sudah
bekerja secara optimal. Mereka bukan orang-orang tidak berdaya, yang tidak
mampu merdeka, mereka adalah orang-orang yang sengaja menindas dirinya,
bahkan menikmati ketertindasan dirinya karena alasan ‘Tren’.
Khayalan Kecantikan

Cerminan kaum ini termanifestasi jelas pada banyak perempuan. Perempuan


yang sangat mempedulikan penampilannya, biasanya mudah terperangkap
fenomena ini. Kendati memang wajar jika perempuan sangat mempedulikan
penampilannya, tetapi menjadi masalah jika dia mulai membanding-
bandingkan kondisi fisiknya dengan Suzy atau Lisa Blackpink. Dia akan mulai
merasa malu dengan kondisi fisiknya, merasa cemas, menarik diri, atau
bahkan merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya. Lalu kemudian untuk
memenuhi khalayan-khayalannya akan kecantikan, dia rela melakukan
intervensi apapun, demi mempercantik dirinya. Dia rela berdiri di depan
cermin berjam-jam untuk melukis wajahnya, rela jalan berjinjit dengan high
heelsnya. Mereka ini adalah orang-orang tidak hanya membatasi ruang
geraknya, tetapi juga menyiksa dirinya demi memenuhi khalayan-khayalan
kecantikan. Perempuan yang memilih untuk mepercayai mitos kecantikan
adalah perempuan yang mengurung dirinya sendiri. Dia meng-objekkan
dirinya untuk memenuhi ekspetasi laki-laki. Mereka adalah orang-orang yang
sengaja merenggut kebebasannya.

Apa itu kebebasan sejati?

Tetapi, bukankah perempuan yang berdandan atau mempercantik diri


merupakan bentuk ekspresi yang mencerminkan kebebasan? Bukankah
keputusan untuk merias diri merupakan keputusan yang ia buat secara
sadar? Iya, itu merupakan bentuk kebebasan, tetapi kebebasan fiksi.
Kebebasan yang hanya ada dalam imajinasi mereka. Dan keputusan yang
mereka buat dari hasrat ingin diakui itulah yang mengekang mereka. Bahwa
memang hasrat untuk diakui dan hasrat untuk tidak ingin ditolak oleh
lingkungan itu ada dan alami. Tetapi jika kita hanya menuruti hasrat-hasrat
tersebut, itu bukanlah sebuah kebebasan. Kalau seseorang mengatakan
bahwa hidup itu seperti batu yang menggelinding turun dan membiarkan
hasrat itu mengendalikannya setiap kali dia menginginkanya sebagai
“kebebasan”, dia keliru. Hidup dengan cara demikian hanyalah hidup yang
diperbudak oleh hasrat dan dorongan hatinya. Kebebasan sejati adalah sikap
yang mirip mendorong diri sendiri naik (Kishimi & Toga, 2013). Kita adalah
manusia, bukan hanya batu yang menggelinding menuruti hukum gravitasi.
Kita punya kehendak untuk berhenti dan menanjak. Kita adalah mahluk yang
diberi kekuatan untuk melawan hasrat-hasrat diri dan dorongan hati. Lalu,
apa itu kebebasan? Kebebasan adalah berani melawan hasrat untuk diakui
dan berani untuk tidak disukai. Selama kita masih menuruti hasrat untuk
diakui, selama itulah kita masih terkurung.

Masa Bodoh, Solusinya?

Keinginan untuk diakui muncul dari minder. Minder bisa muncul karena kita
terlalu peduli. Loh kok peduli? Jadi, fenomena ini banyak terjadi pada orang-
orang yang terlalu mempedulikan banyak hal, orang-orang yang terlalu
mempedulikan kebisingan omong kosong orang lain dan terlalu mempedulikan
standar-standar sosial sialan ini. Sehingga dia kesulitan untuk memfokuskan
kepeduliannya pada satu hal yang substantif. Dokter Ryu Hasan, seorang
Neuroscientist, dalam salah satu potongan tweetnya mengatakan, “Melupakan
adalah proses kognitif yang sangat penting pada otak. Gangguan pada proses
ini konsekuensinya sangat besar. Karena melupakan adalah proses vital ketika
manusia ingin mengingat sesuatu.” Artinya, jika kita ingin mengingat hal-hal
yang penting, kita harus pandai melupakan hal-hal bodoh. Jika ingin cepat
move on, kita harus handal melupakan mantan. Sama, jika kita ingin peduli
pada hal-hal penting, kita harus pandai mengabaikan hal-hal remeh. Cuek
dan masa bodoh adalah cara yang sederhana untuk mengarahkan kembali
ekspetasi hidup kita dan memilih apa yang penting dan apa yang tidak. Usaha
untuk mengembangkan kemampuan ini mengarah pada sesautu yang saya
pikir bisa menjadi semacam “pencerahan praktis” (Manson, 2018).

Kesimpulan
Ketertindasan itu bukan sesuatu yang diberikan, tetapi sesuatu yang kita
ambil. Kendati ketertindasan memang disediakan, bukan berarti kita harus
mengambilnya. Mereka yang menindas dirinya sendiri, adalah orang-orang
yang memilih untuk mengurung dirinya. Sama seperti ketika anda diejek,
“Dasar gendut”, “dasar hitam”, “mukamu jelek”. Kita punya dua pilihan disitu,
kita bisa tersinggung dan menanggapi anggapan tersebut dengan sinis atau
mengabaikan ejekan itu. Selama kita tidak terperangkap pada hasrat ingin
diakui, kita adalah manusia yang bebas. Manusia adaiah penguasa atas
dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi
bebas (Freire, 2007).

Daftar Pustaka

Manson, Mark. 2018. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat. Penerbit PT
Granmedia Widiasarana Indonesia.

Freire, Paulo. 2007. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES.

Kishimi, Ichiro. Toga, Fumitake. 2013. Berani Untuk Tidak Disukai. Penerbit
PT Granmedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai