Anda di halaman 1dari 4

Bicara mengenai gengsi sosial, konsep ini memang sangat abstrak untuk

diartikan, tetapi secara garis besar gengsi sosial adalah sesuatu yg terdapat
pada diri kita sendiri yang terkadang membuat kita berbuat sesuatu yang tidak
ingin kita lakukan, kita melakukannya hanya untuk mendapat pengakuan,
atau mungkin sebaliknya, membuat kita tidak mau melakukan sesuatu
karena dianggap bisa menurunkan gengsi.

Percaya atau tidak, gengsi sosal ini memang sudah ada pada
masyarakat Indonesia diseluruh kalangan, dari masyarakat yang
kompleks yang hidup di perkotaan sampai pada masyarakat yang ada di
pedesaan yang kuat sekali kultur kedaerahan, dalam artian gengsi sosial
sekarang ini telah ada disetiap tatanan masyarakat. Gengsi sosial
berkaitan erat dengan status sosial. Dia berusaha mempertahankan status
sosial dan pengakuan sosial, kira-kira untuk membangkitkan keengganan
orang lain atau mengangkat harkat dan martabatnya. Pernah lihat orang yang
menggunakan kawat gigi padahal giginya tidak perlu atau bentuk atau
tatanan pada giginya, atau melihat orang yang menggunakanhandphone yang
lagi booming, tanpa tau apa fungsi dari handphone tersebut. Yah, yang
penting adalah gengsi, agar tidak ketinggalan jaman atau tidak terlihat
miskin.

Saya pikir gengsi sosial bisa juga diartikan sebagai harga diri. Biasanya
mereka memperjuangkan harga diri mereka dengan meningkatkan kelas
sosial dan status sosial mereka dimata masyarakat. Kita juga terkadang
melupakan atau menutup mata kita dengan apa yang kita beli, maksudnya
terkadang kita membeli smart phone, tanpa tau fungsi smart phone itu, yg kita
tahu hanya sms dan telpon saja, lalu apa bedanya dengan HP Esia yg
harganya mungkin hanya 100 Rb Rupiah? Atau misalnya kita mungkin tahu
fungsinya tapi kita sebenarnya tidak terlalu butuh dengan barang tersebut. Ini
memang merupakan pengertian dari konsumtivisme, tapi klo kita liat dibalik
mengapa kita begitu konsumtif, pasti kita akan mengatakan bahwa gengsi
adalah dalang dari semuanya.

Yap kebanyakan orang Indonesia merupakan pemburu gengsi, makanya hal


ini dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan dagang. Terlebih lagi dan
parahnya gengsi ini berkembang lagi, bahwa produk-produk luar negri lebih
bergengsi dibandingkan produk dalam negri, malangnya negara kita

Salah satu cara menjelaskan kebutuhan gengsi bisa dengan menggunakan


teori tingkatan kebutuhan manusia atau hirarki kebutuhan, teori dari
Maslow. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan yang paling dasar dari
manusia adalah kebutuhan fisik. Ini adalah kebutuhan yang berhubungan
dengan makanan dan minuman. Setelah itu, adalah kebutuhan yang bersifat
keamanan dan perasaan telah terbiasa dengan lingkungan sekitar.
Selanjutnya adalah kebutuhan bersosialisasi. Bila ini sudah tercapai maka
kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan self-esteem. Mereka akan
menempatkan gengsi, status dan pencapaian sebagai kebutuhan utama.
Kebutuhan tertinggi adalah self-actualization. Pada titik ini, mereka mulai
mengisi kebutuhan yang sesuai dengan kesenangan mereka. Mereka mulai
membagi dengan orang lain dan tidak terlalu peduli dengan apa yang
dikatakan orang lain.

Nah dalam hal ini, gengsi sosial terletak pada Kebutuhan Esteem, ketika
tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga diri bisa
menjadi dominan. Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk
seseorang mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki
kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat
dari orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan
berharga sebagai orang di dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa
rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga.

Kebutuhan-kebutuhan digambarkan seperti piramida, kebutuhan pertama


dengan gambaran yang lebih besar, kemudian kebutuhan kedua, dst.

Tetapi teori Maslow mengenai hirarki kebutuhan seringkali menjadi


perdebatan, banyak yang mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut
sebenarnya tidak selalu berurutan, dalam artian misalnya walaupun
kebutuhan tingkat ketiga belum terpenuhi, maka bisa juga langsung menuju
kebutuhan keempat, dst.

Tetapi walaupun banyak sekali perdebatan dengan teori ini, tetap saja para
ahli ekonomi kita seringkali memakai teori ini. Kenapa? Karena secara garis
besar teori ini bisa dipertanggungjawabkan.

Sebenarnya teori Maslow ini berkembang pada ilmu psikologi, karena Maslow
melihat dari dalam diri si Individu itu sendiri untuk melihat gengsi sosial, tetapi
dalam ilmu antropologi, perilaku seorang individu bukan dilihat dari keadaan
psikologis si individu, tapi bagaimana lingkungan sosial membentuk dirinya
hingga melakukan sesuatu, menurut saya itulah yang dilakukan antropologi.
Jadi kalau dilihat dari teori Maslow ini, bahwa self esteem seseorang lah yang
membentuk, mengapa seseorang begitu mengedepankan self esteem-nya.

Bila dilihat dari sisi antropologi, hal ini terjadi karena adanya konstruksi sosial
yang berkembang dalam masyarakat perkotaan, pada awalnya. Konstruksi
sosial ini yang membuat kita memiliki self esteem yang tinggi. Perubahan
sosial pada masyarakat juga bisa dilihat dari zaman era awal kemerdekaan
hingga saat ini. Perubahan-perubahan sosial masyarakat itu berkembang
dengan pesatnya seiring dengan perkembangan zaman.

Mungkin permulaan memang dimulai dari era kemerdekaan hingga tahun 80-
an. Pada tahun 80-an, kita seringkali mendengar kalau tahun 80-an adalah
tahun yanggaul. Lihat saja dari film-film yang bermunculan yang identik
dengan anak muda. Misalnya saja Lupus dan catatan si Boy. Lihat juga film-
film Rano Karno pada gita cinta dari SMA dan juga film lanjutannya yaitu
Puspa Indah ditaman hati. Di film-film tersebut terlihat betul betapa
pentingnya gengsi sosial tersebut, dan sangat terlihat jelas pada film catatan
si Boy, dimana pemerannya diberi karakter yang kaya raya. Film merupakan
kemajuan zaman yang dapat mempengaruhi pola pikir dan psikologis dari
seseorang, percaya atau tidak dan sadar atau tidak, karena konstruksi sosial
terbentuk tapa kita sadari.

Pada tahun 80-an ini, kita mulai mengerti kata gaul dan berkeinginan untuk
menjadi seseorang yang gaul agar tidak dinilai kuper (kurang pergaulan
konotasi negatif). Penilaian masyarakat itulah yang membentuk konstruksi
sosial pada masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu dan
perkembangan zaman, pada tahun-tahun berikutnya nilai gaul juga
mengalami perubahan yang progresif. Kegaulan seseorang mengalami
kemajuan yang sangat pesat dan kita dipaksa untuk mengikutinya, kalau tidak
berarti kita harus siap menerima cap sebagai orang yang kuper. Melihat orang
lain menggunakan simbol-simbol kegaulan, maka para remaja biasanya
sangat mudah terpengaruh karena remaja adalah usia dimana mereka
mencari jati diri mereka dan biasanya juga mereka masih dalam usia yang
labil.

Hal itulah yang menyebabkan mengapa kita selalu membeli simbol-simbol


kegaulan demi gengsi sosial. Akhirnya semakin lama, gengsi sosial menjadi
sebuah konsep yang melekat pada diri kita dan sifatnya adalah wajib.
Antropologi melihat hal tersebut adalah karena bentukan dari lingkungan
sosial, terlepas dari konsep psikologi yang melihat gengsi sosial dari si
indivisunya itu sendiri

Sebenarnya kedua konsep ilmu yang melihat dari perspektif yang berbeda
mengenai gengsi sosial, bisa juga digabungkan menurut saya. Sebenarnya
kedua hal ini adalah berkaitan, antara lingkungan sosial dan juga psikis dari si
individu. Penjelasannya pertama dimulai dari bentukan media yang
merupakan aktor dari segalanya. Media memberikan konsep tentang gaul
atau tidaknya seseorang. Kemudian lingkungan sosial si objek mulai
mengikuti media tersebut, sehingga mau tidak mau seseorang menginginkan
hal yang sama dengan temannya tersebut. Kemudian mulai lah self esteem
tersebut berkembang pada dirinya dan kemudian orang-orang yang lainnya
mulai mengikuti hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai