Muhajir MA
Pegiat Literasi Paradigma Institute
muhajirunm@gmail.com
Abstrak
Body shaming adalah tindakan mengomentari, hingga mengolok-olok tubuh seseorang. Body shaming
didasari adanya upaya menilai tubuh seseorang dengan mengacu pada citra tubuh ideal, sehingga
individu mengalami body shame, yakni perasaan malu akan salah satu bentuk bagian tubuh ketika
penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu.
Melalui diskursus budaya populer, kajian ini ingin menelusuri asal-usul citra tubuh ideal yang kerap
menjadi landasan seseorang dalam melakukan body shaming, serta mengurai dampak body shaming
terhadap perilaku korban. Kajian ini menemukan, citra tubuh ideal tercipta melalui konstruksi media
massa dan budaya populer. Citra tubuh ideal itu menjadi standar seseorang menilai penampilan fisik
sendiri dan orang lain. Seseorang yang merasa malu dengan tubuhnya akibat cibiran orang lain akan
mendorongnya untuk mengubah penampilan fisiknya melalui konsumsi. Tujuannya adalah mencapai
kepuasan, kepenuhan dan pengakuan. Muaranya, memberikan keuntungan pada ekonomi kapitalis,
memperbesar laba kapitalis.
Kata Kunci: Body shaming, citra tubuh, budaya populer, media massa, konsumsi
78
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019
didasari oleh sebuah image (citra) mengenai Pandangan tersebut masuk akal, mengingat
sebuah ajaran agama ideal yang tidak seluruh standarisasi kecantikan, ketampanan,
dimiliki oleh seseorang yang dikritiknya. ukuran fisik ideal dari masyarakat selalu
Dari situlah dia melakukan kritik, bahkan berasal dari pemaknaan yang dipatok oleh
hinaan pada seseorang karena agama yang kebudayaannya.
dianut seseorang tersebut dianggap salah, Jika dalam suku Mentawai, Kalimantan,
sebab tak sesuai dengan citra agama ideal di perempuan dianggap cantik jika giginya
dalam persepsinya. Begitu pun jika runcing. Maka bagi masyarakat yang
seseorang melakukan body shaming. Karena bersentuhan dengan teknologi informasi,
adanya citra tubuh ideal dalam pemahaman media massa dan budaya populer,
pelaku body shaming, dia akhirnya perempuan umumnya dianggap cantik jika
melakukan kritik dan hinaan pada seseorang
bertubuh langsing, putih, bersih dan
yang memiliki penampilan tubuh yang tak berbusana sesuai tren yang disukai khalayak
sesuai dengan citra tubuh idealnya. luas. Maka dari itu budaya populer, yang
“Citra tubuh sendiri mengacu kepada penyebarannya dilakukan melalui media
pikiran, perasaan, dan sikap seseorang massa, sanggup mewujudkan citra tubuh
terhadap tubuhnya sendiri” (Schwartz, dalam ideal dalam masyarakat. Melalui asumsi ini,
Frangky 2012:27). Setiap orang pasti penulis ingin menunjukkan jika citra tubuh
memiliki pemikiran mengenai citra tubuh ideal yang kerap menjadi landasan
ideal terlepas apakah sudah sesuai dengan melakukan body shaming sedikit banyak
penampilan tubuhnya atau tidak. tercipta melalui konstruksi budaya populer.
Pemahaman terhadap citra tubuh ideal itu Tulisan ini juga sekaligus ingin
selalu dijadikan referensi untuk menilai
mengkaji bahwa seseorang yang menjadi
tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain. Body korban body shaming tak hanya mengalami
shaming terjadi ketika seseorang melakukan depresi, kecemasan, gangguan makan,
penilaian terhadap tubuh orang lain sosiopati subklinis, dan harga diri yang
berdasarkan pemahamannya terhadap citra rendah, namun juga rentan menjadi subjek
tubuh ideal. Hinaan dilancarkan karena yang konsumtif. Di sini, penulis ingin
terdapat banyak kekurangan pada tubuh menyimpulkan jika ketidakpuasan atas tubuh
orang lain, berdasarkan pada perbandingan yang dikarenakan penilaian sinis dari
antara tubuh aktual orang lain dan tubuh seseorang, membuat korban body shaming
ideal dalam persepsinya. tergerak untuk terus memenuhi standar tubuh
Lantas, dari mana seseorang memiliki ideal dengan melakukan konsumsi, hingga
citra tubuh ideal itu? Menurut Schwartz penampilan fisiknya telah mendapatkan
“citra tubuh sebagai hal yang bersifat pengakuan dari orang lain. Perilaku
multidimensional dan dipengaruhi oleh konsumtif ini berawal dari adanya dorongan
berbagai faktor, antara lain sosialisasi hasrat untuk bergaya, memiliki tubuh
budaya, terpaan media, dan pengalaman sebagaimana citra tubuh ideal. Seseorang
seseorang antar pribadi” (Frangky 2012:27). akhirnya mengidentifikasikan dirinya dengan
Yang menarik dalam pandangan tersebut diri –diri ideal dan menginternalisasi atribut
adalah, bahwa citra tubuh ternyata adalah diri ideal tersebut. Mengikuti gaya, tampilan
hasil dari kontruksi kultural dan bisa juga tubuh, hingga perilaku ego ideal tersebut.
terbentuk melalui pengaruh media massa. Proses peniruan tersebut dilakukan dengan
Muhajir MA
80
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019
kategori kebutuhan palsu” (2016:8). budaya massa sebagian besar bukan lain
adalah pertanyaan tentang peran media
Kategori kebutuhan palsu yang
massa dalam perkembangan budaya massa.”
dibilangkan Marcuse, bisa juga berlaku pada
bentuk-bentuk lain. Ketika seseorang merasa “Media massa, dalam bahasa disiplin
butuh memperbaiki penampilan fisiknya, komunikasi, adalah sebuah alat untuk
maka kebutuhan untuk cantik, langsing, menyampaikan pesan atau untuk
sixpack, tampan, putih, itu semua bisa jadi berkomunikasi. Dalam konteks masyarakat
adalah kebutuhan palsu, jika hal tersebut modern, ia merupakan instrumen dengan apa
hasil dari hegemoni kapitalisme. berbagai bentuk komunikasi dilangsungkan”
Pembentukan selera dan kebutuhan palsu (Budiman, 2002:57). Berdasarkan definisi
bisa terjadi, karena kapitalisme memiliki tersebut, medium promosi yang efektif agar
instrumen yang efektif untuk memanipulasi sebuah produk dapat menyentuh manusia
kebutuhan, selera masyarakat dan dalam skala yang luas adalah media massa.
membangun image mengenai tubuh ideal. Dalam hal ini, media massa dimanfaatkan
untuk menyampaikan sejumlah pesan
Instrumen tersebut adalah media massa.
mengenai informasi terkait suatu produk. Di
Melalui media massa, komoditas
sinilah peran media massa dalam membujuk,
diperkenalkan dengan teknik bujuk rayu
mempengaruhi, merangsang konsumen dan
tertentu, agar individu merasa komoditas
menciptakan selera dan kebutuhan baru di
bersangkutan adalah seleranya,
dalam masyarakat.
kebutuhannya. Proses itu secara otomatis
akan membentuk gambaran mengenai Mengutip Budiman (2002:57), “Melalui
fashion ideal, kecantikan ideal, ukuran tubuh media massa, para produsen bukan saja
ideal. Karena pada saat yang sama individu memberikan informasi tentang produk yang
sudah punya selera tertentu mengenai bisa dikonsumsi, melainkan juga membanjiri
fashion, kecantikan, atau ukuran tubuh. Dan konsumen dengan informasi tentang produk-
pada saat itu pula individu merasa produk baru. Media telah mengajari
membutuhkannya. konsumen untuk bergerak melewati batas
kebutuhan fisiknya dan mulai mengenali
Berbicara mengenai bagaimana budaya
keinginan-keinginan psikologis baru yang
populer diperkenalkan, bagaimana
sengaja diciptakan.” Maka tak heran,
kecenderungan masyarakat akan suatu
Sosiolog Perancis, Jean Baudrillard
bentuk budaya populer dibentuk, tak akan
(2004:83), mengatakan, “Apa yang benar
bisa dilepaskan dari operasi media massa,
bukanlah kebutuhan sebagai buah dari
sebagai salah satu artefak budaya populer.
produksi, tetapi sistem kebutuhan adalah
Kata Budiman (2002:53), “Para kritikus seni
produk dari sistem produksi”. Jika kebutuhan
bisa berdebat sampai kelelahan
itu dianggap produk, maka otomatis
mempersoalkan kualitas produk-produk
kebutuhan memang sengaja diciptakan
budaya massa, dan para teoritisi sosial akan
bersamaan dengan diciptakannya sebuah
mendapatkan inspirasi-inspirasi baru untuk
komoditi, agar masyarakat tertarik
kritiknya terhadap masyarakat kontemporer,
mengonsumsi.
tapi semua tidak bisa lepas dari satu
pertanyaan tentang bagaimana dan melalui Tentu, yang tercipta bukan hanya
apa budaya massa tersebar ke seluruh dunia. keinginan-keinginan yang bersifat
Pertanyaan tentang medium penyebaran psikologis. Namun, sekaligus menciptakan
82
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019
persepsi dan imajinasi mengenai apa yang Jika pencitraan ini efektif, citra tubuh
dicita-citakan, dikehendaki dan diangan- ideal bisa melekat dalam bayangan
angankan. Ketika televisi, melalui iklan, konsumen, yang akhirnya terus tertanam
menginformasikan tentang produk kosmetik dalam memorinya, bahwa kecantikan adalah
terbaru, tentu selalu akan mengikutkan sebagaimana penampilan tubuh artis yang
informasi mengenai kemampuan produk disaksikan dalam iklan produk tersebut.
tersebut dalam mempercantik konsumennya, Proses ini tentu akan memanipulasi selera
dengan memutihkan atau membantu konsumen dan merasa membutuhkan produk
konsumen untuk melangsingkan tubuh, yang bisa membuat penampilan fisiknya
misalnya. mencapai standar kecantikan yang dibuat-
buat oleh budaya populer. “Citra
Dalam konteks tersebut, media massa
mengkomunikasikan konsep diri (self) setiap
telah membangun citra tubuh ideal yang
orang yang dipengaruhinya: kesempurnaan
sebaiknya dimiliki masyarakat: putih,
diri, tubuh, kepribadian” (Piliang, 2003:288).
langsing. Yang mulanya masyarakat tak
perlu butuh menjadi putih hanya untuk Berdasarkan pembahasan di atas, terlihat
tampil cantik, kini menjadikan putih sebagai jelas jika “komoditi di dalam masyarakat
kebutuhan. Maka solusi yang ditawarkan kapitalis merupakan sebuah wacana
produsen adalah produk kosmetiknya yang pengendalian selera, gaya, gaya hidup,
kemudian menjadi komoditas yang merasa tingkah laku, aspirasi, serta imajinasi-
dibutuhkannya. Di dalam media massa, imajinasi kolektif masyarakat secara luas
peran iklan sangat penting dalam (massa) oleh para elit (kapitalis), lewat
mempromosikan suatu produk. Karena iklan berbagai citra yang diciptakan, yang
memang sengaja dirancang dengan kemasan sesungguhnya tidak berkaitan dengan
citra tertentu, untuk mewedarkan makna- substansi sebuah produk yang ditawarkan”
makna yang kemudian mengonstruksi selera, (Piliang, 2003:288).
kebutuhan dan persepsi masyarakat akan hal- Persoalan lain muncul. Bagaimana citra-
hal ideal, termasuk fantasi mengenai tubuh citra yang tumpah ruah dalam iklan bisa
ideal. menjadi lumbung makna guna memproduksi
Yasraf Amir Piliang (2003:279), pesan mengenai standar tubuh ideal? Itu
mengatakan, “Pencitraan (imagology), atau karena, citra itu sendiri adalah sistem
teknologi citra adalah sebuah strategi penting komunikasi, yang bertutur dan berujar
di dalam sistem periklanan, yang di sebagaimana bahasa. Jika ia adalah alat
dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide- komunikasi, maka citra dapat menyampaikan
ide, dikemas dan ditanamkan pada sebuah pesan dan makna. Penulis akan
produk, untuk dijadikan memori publik menggunakan analisis semiologi Roland
(public memory), dalam rangka Barthes untuk melihat bagaimana budaya
mengendalikan diri mereka.” Melalui populer dan media massa memproduksi
representasi tubuh perempuan yang putih, makna. Seperti penjelasan sebelumnya, citra
langsing, seksi, dengan ornamen-ornamen memiliki mekanisme seperti bahasa dalam
fashion yang menyelimutinya di dalam menghasilkan makna. Sebagaimana yang
sebuah iklan, citra kecantikan, keindahan, dikatakan Roland Barthes, wicara (tuturan
sensualitas, diciptakan untuk merangsang dan ujaran) tidak hanya sebatas lisan. Namun
keinginan konsumen. bisa berbentuk teks atau gambar (citra)
Muhajir MA
seperti film, fotografi, pertunjukan (2006). objek, sedangkan mitos sebagai sistem
semiologi tatanan kedua adalah metabahasa.
Jika citra memiliki kemiripan dengan
Atau, dalam bahasa Jhon Storey, level
bahasa sebagai medium berkomunikasi,
pemaknaan pertama bisa disebut pemaknaan
maka citra dengan sendirinya adalah sistem
primer dan level pemaknaan kedua bisa
tanda yang terdiri atas dua unsur, penanda
disebut pemaknaan sekunder. Storey (2006)
(signifier) dan petanda (signified). Barthes,
mengilustrasikannya dengan menggunakan
dengan mengutip Saussure, menjelaskan
contoh ‘kucing’. Penanda ‘kucing’
penanda adalah citra akustik, petanda adalah
menghasilkan petanda kucing: seekor
konsep dan hubungan antar keduanya
binatang berkaki empat yang mengeong. Dia
disebut sebagai tanda (2006). Lebih jelasnya,
menyebutnya pemaknaan primer.
penanda adalah kesan bunyi yang dapat
diimajinasikan, sedangkan petanda adalah Tanda ‘kucing’ yang dihasilkan melalui
konsep yang ditunjuk oleh penanda. level pemaknaan pertama tersebut menjadi
Misalnya kata ‘mawar’ (penanda) penanda ‘kucing’ pada level pemaknaan
menghasilkan konsep mawar (petanda): jenis kedua. Bahwa penanda ‘kucing’
tanaman semak dari genus rosa. Petanda menghasilkan petanda ‘kucing’, yakni
tersebut menjadi makna, isi, pesan. seorang perempuan yang menggosip dengan
penuh kebencian yang kemudian menjadi
Hal inilah yang menjadi alasan,
pemaknaan sekunder. Penjelasan tersebut
mengapa citra-citra yang terhampar pada
mengindikasikan adanya duplisitas
sebuah iklan memiliki makna tertentu yang
penandaan.
bisa dipahami oleh penontonnya. Namun,
dalam bahasa atau gambar dalam iklan, kita Untuk lebih jelasnya penulis kembali
tidak hanya berhadapan dengan makna mengambil contoh dari iklan produk
harfiah objek atau penanda dalam dirinya kecantikan Pond’s White Beauty for Oil
sendiri. Misalnya, pada sebuah iklan produk Skin. Pada iklan tersebut terdapat duplisitas
kecantikan Pond’s White Beauty for Oil Skin penanda. Bahwa, dalam iklan tersebut tidak
(video bisa disimak di akun Youtube Pond’s hanya terdapat bahasa objek, pemaknaan
Indonesia) penonton disuguhkan tontonan primer, level pemaknaan pertama (seorang
mengenai seorang perempuan (sang perempuan yang gelisah karena satu butir
perempuan adalah aktris dari Filipina jerawat di pipinya). Namun juga metabahasa,
bernama Nadine Luster) yang gelisah karena yang berada pada sistem semiologi tingkatan
satu butir jerawat di pipinya. kedua atau pemaknaan sekunder. Bahwa, ada
upaya menciptakan perbedaan antara tubuh
Secarah harfiah dan apa yang tampak,
ideal yang dinginkan dan dicita-citakan
makna peristiwa tersebut adalah kejengkelan
dengan penampilan yang kurang mempesona
seorang wanita terhadap jerawat di pipinya.
dan tak memuaskan. Tubuh ideal adalah
Namun, sebuah citra pada level tertentu bisa
tubuh tanpa jerawat, sedangkan tubuh
menandai melebihi dirinya sendiri. Yang
dengan jerawat adalah kondisi yang tak
kedua ini dibilangkan Barthes sebagai mitos.
memuaskan.
Dalam hal ini Barthes (2006:303)
mengatakan, “mitos merupakan sistem Hal tersebut bisa diamati dari bagaimana
semiologis tatanan kedua (second-order kondisi perempuan tersebut saat memiliki
semiological system)”. Jika sistem jerawat dan saat tanpa jerawat. Kondisi
semiologis tatanan pertama adalah bahasa pertama, ada perasaan yang gelisah,
84
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019
sedangkan kondisi kedua memperlihatkan ideologi. Karena mitos memiliki pesan yang
perasaan yang bahagia. Artinya, iklan jelas, mudah dipahami dan terlihat masuk
tersebut berusaha membangun image bahwa akal.
kulit mulus adalah kulit yang selama ini Tentu saja, iklan hanyalah salah satu
didambakan setiap perempuan, dan solusi bentuk media massa yang bisa menjadi arena
kulit mulus adalah Pond’s. Pada pemaknaan tempat citra tubuh ideal dikonstruksi ke
atas iklan tersebut, akhirnya tercipta sebuah dalam pemahaman masyarakat. Film,
gambaran akan tubuh ideal, sekaligus termasuk medium yang efektif
membangun sebuah kebutuhan palsu: merasa membangkitkan pemaknaan tentang citra
butuh menggunakan Pond’s untuk tubuh. Sudah sangat familiar, produk
memuluskan kulit melebihi kebutuhan- sinetron dalam dunia perfilman selalu
kebutuhan riilnya.
menempatkan tokoh bertubuh gemuk sebagai
Penjelasan di atas bisa diperkuat dengan sosok yang tidak berkarismatik, jadi bahan
contoh terkenal dari Barthes (2006) untuk guyonan, dan kadang sebagai sosok yang
menggambarkan keberadaan ganda penanda. gagal dalam dunia percintaan karena
Pada halaman depan Paris-Match yang dicitrakan sebagai sosok yang bukan standar
diamati Barthes saat berada di kios tukang perempuan.
cukur, terlihat seorang Negro berseragam Sementara tokoh bertubuh sixpack,
Prancis sedang memberi penghormatan dengan cukuran rambut yang rapi selalu
terhadap bendera Prancis. Barthes menyebut menjadi tokoh yang dicintai perempuan.
pemaknaan tersebut sebagai makna gambar Sementara perempuan putih dan langsing
(bahasa objek). Namun, di sisi lain, Barthes selalu dicitrakan sebagai sosok yang cantik.
tak memungkiri jika ada hal lain yang coba
Pada sisi lain, film selalu menjadi medium
ditunjukkan gambar tersebut kepada dirinya: yang efektif mempromosikan gaya hidup
bahwa Prancis merupakan sebuah kekaisaran artis, fashion yang lagi trend, dan promosi
besar, semua putranya tanpa diskriminasi produk-produk terbaru sebuah industri
warna kulit, dan setia berbakti di bawah fashion. Selera penonton akan sebuah
benderanya. fashion dan gaya hidup diciptakan melalui
Makna kedua ini memuat pesan tentang citra-citra yang tampil silih berganti.
keprancisan dan kemiliteran. Duplisitas Manipulasi kebutuhan terjadi dalam setiap
penanda dalam setiap wicara, baik lisan, dua jam durasi film.
tulisan maupun gambar-gambar dan Perkembangan teknologi dan informasi
peristiwa, selalu akan memiliki makna saat ini bahkan menyediakan lebih banyak
ganda. Biasanya, sistem semiotis di lagi medium penyebaran produk. Audiens
tingkatan kedua, ideologi, kepentingan, yang disentuhnya jauh lebih besar dibanding
kekuasaan beroperasi. Maka, mitos itu media massa konvensional. Medsos sebagai
sendiri selalu mengandung ideologi yang fenomena revolusi komunikasi dan
tidak bisa diinterupsi lagi. Menurut Donny informasi, tak hanya sebagai ruang interaksi
gahral Adian (2011), Barthes menggunakan masyarakat melalui dunia maya, namun juga
kata “mitos” tidak dalam arti tradisionalnya, sebagai medium produk bisnis dan industri
tapi sebagai sistem komunikasi yang selalu dipromosikan. Instagram, misalnya, menjadi
menghindar untuk dibicarakan. Itulah medsos yang paling digemari oleh baik
mengapa Adian melihat mitos terkait dengan pengusaha kecil maupun perusahaan besar
Muhajir MA
86
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019
88
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019
90