Anda di halaman 1dari 14

BODY SHAMING, CITRA TUBUH, DAN PERILAKU KONSUMTIF

(KAJIAN BUDAYA POPULER)

Muhajir MA
Pegiat Literasi Paradigma Institute
muhajirunm@gmail.com

Abstrak

Body shaming adalah tindakan mengomentari, hingga mengolok-olok tubuh seseorang. Body shaming
didasari adanya upaya menilai tubuh seseorang dengan mengacu pada citra tubuh ideal, sehingga
individu mengalami body shame, yakni perasaan malu akan salah satu bentuk bagian tubuh ketika
penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu.
Melalui diskursus budaya populer, kajian ini ingin menelusuri asal-usul citra tubuh ideal yang kerap
menjadi landasan seseorang dalam melakukan body shaming, serta mengurai dampak body shaming
terhadap perilaku korban. Kajian ini menemukan, citra tubuh ideal tercipta melalui konstruksi media
massa dan budaya populer. Citra tubuh ideal itu menjadi standar seseorang menilai penampilan fisik
sendiri dan orang lain. Seseorang yang merasa malu dengan tubuhnya akibat cibiran orang lain akan
mendorongnya untuk mengubah penampilan fisiknya melalui konsumsi. Tujuannya adalah mencapai
kepuasan, kepenuhan dan pengakuan. Muaranya, memberikan keuntungan pada ekonomi kapitalis,
memperbesar laba kapitalis.

Kata Kunci: Body shaming, citra tubuh, budaya populer, media massa, konsumsi

dalam berkomunikasi. Namun juga


PENDAHULUAN dimudahkan untuk menyebarluaskan
Tak dapat dipungkiri, penilaian fisik aktivitas keseharian dengan cara
adalah hal yang paling sering kita lakukan menunjukkan pada publik keberadaan dan
ketika berjumpa dengan seseorang. aktivitas kita melalui postingan foto.
Misalnya, saat bertemu dengan sejawat lama. Seseorang bisa hadir dalam bentuk citra
Setelah saling sapa, maka penampilan fisik di beranda Facebook atau Instagram
kerap menjadi penilaian sebagai bahan followers-nya. Para followers-nya pun bisa
obrolan selanjutnya. Kita tak segan-segan mengamati penampilan tubuhnya, dan
melancarkan kalimat, “wah, kamu tambah dengan bebas memberi penilaian tertulis
gemuk, Bro”. Atau, kalimat seperti “kamu melalui kolom komentar yang tersedia di
tambah cantik”, “wajah kamu kok kelihatan seluruh aplikasi medsos. Karena sifatnya
tua yah, padahal umurmu masih muda”. interaksi jarak jauh, publik lebih punya
Penilaian fisik kadang bersifat positif dan keberanian untuk melancarkan komentar
malah negatif. Bahkan, nada ucapan yang baik bersifat pujian atau bernada sinis. Yang
kadang kita lontarkan terkesan mengolok- mengkhawatirkan adalah jika citra diri
olok tubuh seseorang. Di era digital saat ini, seseorang di medsos menjadi bahan ejekan
kebiasaan mengomentari penampilan fisik dan olok-olok warganet. Maka dengan
semakin tinggi. Saat interaksi sosial semakin sendirinya dia menjadi objek diskriminasi.
cair dengan hadirnya media sosial (medsos), Kelakuan seperti itulah yang belakangan ini
saat itu pula publik memiliki banyak akrab disebut sebagai body shaming.
kesempatan untuk menilai tubuh seseorang.
Karena di medsos, tak hanya dimudahkan Menurut Oxford Dictionaries, body
Muhajir MA

shaming adalah kritik, berpotensi menyakiti hati istrinya dan membuat


mempermalukan ukuran atau berat badan kepercayaan diri istrinya hilang. Dian Nitami
seseorang (www.yourdictionary.com). adalah satu dari banyaknya orang yang telah
Namun, saat ini arti dari body shaming mengalami body shaming. Bahkan, mungkin
semakin luas, mengingat bentuk penilaian saja kita adalah satu di antara banyak orang
atas tubuh juga bermacam-macam. Body yang pernah mengalami atau menjadi pelaku
shaming bahkan bisa diartikan sebagai body shaming.
tindakan kritik, mengomentari, menilai Perhatian khusus pada body shaming
penampilan fisik seseorang dalam arti yang memang perlu dilakukan. Karena perilaku
lebih luas. Hal tersebut bisa dilihat dari ciri- tersebut ternyata punya dampak yang cukup
ciri body shaming yang dikemukakan besar. Dalam kajian psikoilogi, korban
Vargas: 1) Mengkritik penampilan sendiri,
hinaan fisik bisa mengalami body shame,
melalui penilaian atau perbandingan dengan yakni perasaan malu akan salah satu bentuk
orang lain (seperti: saya sangat jelek bagian tubuh ketika penilaian orang lain dan
dibandingkan dia.” “Lihatlah betapa luas penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri
bahuku.”) 2) Mengkritik penampilan orang ideal yang diharapkan individu (Nol &
lain di depan mereka, (seperti: “Dengan paha Frederickson dalam Damanik 2018). Jika
itu, Anda tidak akan pernah mendapatkan body shaming adalah perilaku menghina
teman kencan.” 3) Mengkritik penampilan penampilan tubuh seseorang, maka body
orang lain tanpa sepengetahuan mereka. shame adalah implikasi psikologis dari
(seperti: Apakah Anda melihat apa yang dia individu yang mengalami body shaming.
kenakan hari ini? Tidak menyanjung.” Bahwa body shaming dapat menimbulkan
“Paling tidak Anda tidak terlihat seperti perasaan malu pada korban, tentu juga
dia!”) (dalam Chairani, 2018). menghasilkan gejala psikologis lainnya.
Body shaming bisa dialami oleh siapa Gejala psikologis tersebut menurut penelitian
saja baik orang biasa maupun publik figur. psikologis adalah depresi, kecemasan,
Di Indonesia, sudah banyak artis yang telah gangguan makan, sosiopati subklinis, dan
mengalami berbagai macam body shaming harga diri yang rendah (APA dictionary
dari publik. Salah satunya yang pernah dalam Chairani 2018).
heboh pada akhir Desember 2018 lalu adalah Namun, dalam kajian ini, penulis tidak
kasus body shaming yang menimpa Istri akan terlalu banyak mengelaborasi dampak
Anjasmara, Dian Nitami. Dia pernah kejiwaan dari body shaming. Penulis lebih
mengalami body shaming di akun tertarik dengan sebuah pertanyaan dasar,
Instagramnya oleh salah seorang warganet
mengapa seseorang senang melakukan body
pemilik akun @corissa.putrie. Dalam sebuah shaming? Sebagai salah satu bentuk hinaan
foto yang diunggah Dian Nitami pada 26 dan kritik, body shaming terjadi karena
Desember 2018 lalu di akun Instagramnya, didasari oleh persepsi ideal pelaku tidak
pemilik akun @corissa.putrie mengomentari sesuai dengan keadaan aktual dari sasaran
salah satu bagian tubuh Dian Nitami dalam ejekannya. Body shaming didasari adanya
foto tersebut dengan nada sinis dan upaya menilai tubuh seseorang dengan
mengolok-olok. Hingga Anjasmara mengacu pada citra tubuh ideal. Misalnya,
melaporkan pemilik akun @corissa.putrie ke ketika seseorang melakukan kritik terhadap
kepolisian karena menganggap pelaku telah agama yang dianut orang lain, itu karena

78
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019

didasari oleh sebuah image (citra) mengenai Pandangan tersebut masuk akal, mengingat
sebuah ajaran agama ideal yang tidak seluruh standarisasi kecantikan, ketampanan,
dimiliki oleh seseorang yang dikritiknya. ukuran fisik ideal dari masyarakat selalu
Dari situlah dia melakukan kritik, bahkan berasal dari pemaknaan yang dipatok oleh
hinaan pada seseorang karena agama yang kebudayaannya.
dianut seseorang tersebut dianggap salah, Jika dalam suku Mentawai, Kalimantan,
sebab tak sesuai dengan citra agama ideal di perempuan dianggap cantik jika giginya
dalam persepsinya. Begitu pun jika runcing. Maka bagi masyarakat yang
seseorang melakukan body shaming. Karena bersentuhan dengan teknologi informasi,
adanya citra tubuh ideal dalam pemahaman media massa dan budaya populer,
pelaku body shaming, dia akhirnya perempuan umumnya dianggap cantik jika
melakukan kritik dan hinaan pada seseorang
bertubuh langsing, putih, bersih dan
yang memiliki penampilan tubuh yang tak berbusana sesuai tren yang disukai khalayak
sesuai dengan citra tubuh idealnya. luas. Maka dari itu budaya populer, yang
“Citra tubuh sendiri mengacu kepada penyebarannya dilakukan melalui media
pikiran, perasaan, dan sikap seseorang massa, sanggup mewujudkan citra tubuh
terhadap tubuhnya sendiri” (Schwartz, dalam ideal dalam masyarakat. Melalui asumsi ini,
Frangky 2012:27). Setiap orang pasti penulis ingin menunjukkan jika citra tubuh
memiliki pemikiran mengenai citra tubuh ideal yang kerap menjadi landasan
ideal terlepas apakah sudah sesuai dengan melakukan body shaming sedikit banyak
penampilan tubuhnya atau tidak. tercipta melalui konstruksi budaya populer.
Pemahaman terhadap citra tubuh ideal itu Tulisan ini juga sekaligus ingin
selalu dijadikan referensi untuk menilai
mengkaji bahwa seseorang yang menjadi
tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain. Body korban body shaming tak hanya mengalami
shaming terjadi ketika seseorang melakukan depresi, kecemasan, gangguan makan,
penilaian terhadap tubuh orang lain sosiopati subklinis, dan harga diri yang
berdasarkan pemahamannya terhadap citra rendah, namun juga rentan menjadi subjek
tubuh ideal. Hinaan dilancarkan karena yang konsumtif. Di sini, penulis ingin
terdapat banyak kekurangan pada tubuh menyimpulkan jika ketidakpuasan atas tubuh
orang lain, berdasarkan pada perbandingan yang dikarenakan penilaian sinis dari
antara tubuh aktual orang lain dan tubuh seseorang, membuat korban body shaming
ideal dalam persepsinya. tergerak untuk terus memenuhi standar tubuh
Lantas, dari mana seseorang memiliki ideal dengan melakukan konsumsi, hingga
citra tubuh ideal itu? Menurut Schwartz penampilan fisiknya telah mendapatkan
“citra tubuh sebagai hal yang bersifat pengakuan dari orang lain. Perilaku
multidimensional dan dipengaruhi oleh konsumtif ini berawal dari adanya dorongan
berbagai faktor, antara lain sosialisasi hasrat untuk bergaya, memiliki tubuh
budaya, terpaan media, dan pengalaman sebagaimana citra tubuh ideal. Seseorang
seseorang antar pribadi” (Frangky 2012:27). akhirnya mengidentifikasikan dirinya dengan
Yang menarik dalam pandangan tersebut diri –diri ideal dan menginternalisasi atribut
adalah, bahwa citra tubuh ternyata adalah diri ideal tersebut. Mengikuti gaya, tampilan
hasil dari kontruksi kultural dan bisa juga tubuh, hingga perilaku ego ideal tersebut.
terbentuk melalui pengaruh media massa. Proses peniruan tersebut dilakukan dengan
Muhajir MA

mengkonsumsi komoditas yang sekiranya yang berasosiasi kepadanya, dirancang untuk


bisa membuat dirinya menjadi sebagaimana merangsang kelompok terbesar (massa) dari
ego ideal, hingga mendapatkan kepuasan, populasi masyarakat (dalam Budiman,
kepenuhan dan pengakuan. Tapi, ternyata 2002). Sementara Striani (2016:13)
muara dari peristiwa tersebut hanyalah mendefinisikan “budaya massa adalah
menguntungkan ekonomi kapitalisme. budaya populer yang dihasilkan melalui
teknik-teknik industrial produksi massa dan
Budaya Populer, Media massa, dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan
Produksi Citra Tubuh kepada khalayak konsumen massa. Budaya
Jika ada seseorang selalu mengalami massa adalah budaya populer yang
body shaming, itu karena salah satunya— diproduksi untuk pasar massal”. Berdasarkan
untuk tidak mengabaikan faktor lain— pada dua definisi di atas, bisa disimpulkan
penampilan tubuhnya tidak sesuai dengan jika budaya populer adalah produk budaya
citra tubuh ideal dalam pemahaman pelaku. dalam berbagai jenis yang antara satu dan
Citra tubuh tersebut kemudian menjadi lainnya memiliki kesamaan, diproduksi
referensi seseorang menilai tubuhnya sendiri dengan kekuatan rangsangan tertentu untuk
dan menilai tubuh orang lain. Citra tubuh menarik konsumen dengan tujuan
ideal pasti memiliki asal usul sehingga dapat mendapatkan keuntungan ekonimis.
mewujud dalam tatanan pemahaman Jika budaya populer sengaja
masyarakat, dan menjadi acuan standar dirancang untuk merangsang massa, artinya
masyarakat akan penampilan fisik. Citra budaya populer punya daya tarik yang kuat
tubuh ideal sengaja dirancang bersamaan untuk menjangkau manusia secara luas, baik
dengan produksi massal budaya populer. fisik maupun mentalnya. Pertanyaannya
Image mengenai standar kecantikan, adalah, muatan apa yang dikandung oleh
ketampanan, kegagahan, feminitas dan budaya populer sehingga memiliki daya tarik
maskulinitas, ‘ditanamkan’ dalam komoditas yang bisa merangsang masyarakat luas untuk
untuk mengguncang hasrat konsumtif mengonsumsinya? Budaya populer sendiri
masyarakat. Selera masyarakat pun ikut diproduksi melalui mesin-mesin kapitalisme,
terbentuk. Karena citra tubuh ideal atau industri budaya dalam istilah mazhab
merangsang keinginan individu memiliki Frankfurt. Dengan semangat meraih laba
penampilan sesuai dengan apa yang dicita- yang besar, sebuah industri budaya sengaja
citakan. Bagi yang merasa tak puas pada merancang komoditas dengan daya tarik
penampilan tubuhnya, akan menceburkan tertentu agar bisa diterima oleh masyarakat
diri dalam budaya massa agar penampilan luas. Daya tarik ini kemudian mendorong
tubuhnya sesuai dengan standar masyarakat keinginan massa agar menyukai komoditas
yang berlaku, yang sengaja diciptakan oleh yang dipasarkan dan akhirnya tertarik untuk
industri budaya. mengkonsumsi. Itulah mengapa Mazhab
Dalam Collin Dictionary of Frankfurt meyakini “industri budaya
Sociology (1991) Jary dan Jary memberi membentuk selera dan kecenderungan
batasan bahwa budaya massa adalah produk- massa, sehingga mencetak kesadaran mereka
produk budaya yang relatif terstandarisasi dengan cara menanamkan keinginan mereka
dan homogen, baik berupa barang maupun atas kebutuhan-kebutuhan palsu” (Striani,
jasa, dan pengalaman-pengalaman kultural 2016:74-75).

80
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019

Selera di sini bisa bermacam-macam. mengenai penciptaan kebutuhan palsu.


Terkait dengan selera akan sebuah Ketika seseorang merasa malu dan tidak
penampilan fisik ideal, maka industri budaya puas dengan keadaan aktual penampilan
merancang komoditas yang bisa membentuk tubuhnya, itu karena dia merasa tubuhnya
citra masyarakat akan kecantikan, tidak sesuai citra tubuh ideal baik
ketampanan, keindahan atau maskulinitas. berdasarkan penilaiannya sendiri maupun
Seperti persepsi bahwa cantik harus putih, berdasarkan penilaian orang lain melalui
langsing, muda. Selera, keinginan, citra kritik dan penghinaan fisik. Sementara
tubuh ideal ini yang kemudian terkonstruksi diketahui jika selera, citra, dan standar tubuh
dalam diri masyarakat, hingga menjadi ideal adalah hasil konstruksi dari
standarisasi yang berlaku. Maka produk serangkaian proses hegemoni budaya
yang ditawarkan pun dirancang agar bisa populer. Perasaan malu dan tak puas akan
mengakomodasi keinginan masyarakat untuk kondisi tubuh membuat seseorang merasa
tampil putih, langsing, muda, agar butuh mengubah penampilan tubuhnya
kepentingan peningkatan laba bisa efektif berdasarkan citra ideal dan selera masyarakat
dilakukan oleh sistem kapitalisme. Tentu melalui proses konsumsi. Dalam kajian
pada tahapan ini penulis hanya membincang budaya populer, kebutuhan mengonsumsi
efek psikis dan epistemologis pada relasi produk budaya kapitalisme dianggap hanya
antara industri budaya dan konsumennya, sebatas kebutuhan palsu belaka, yang
yang berujung pada pembentukan citra dikonstruksi dalam diri subjek dan muaranya
tubuh. Namun, relasi tersebut sebenarnya untuk kepentingan meraup keuntungan
juga bersifat politis dan ideologis. ekonimis.
Theodor Adorno, generasi pertama Kebutuhan palsu ini pernah dikaji secara
Mazhab Frankfurt yang pertama kali komprehensif oleh Herbert Marcuse, salah
membicarakan industri budaya bersama Max seorang teoritisi Mazhab Frankfurt. Marcuse
Horkheimer mengatakan, komoditas budaya berpendapat, kebutuhan palsu adalah
yang dihasilkan industri budaya menciptakan kebutuhan yang dibebankan pada individu
konformitas dan kesepahaman (Striani, oleh adanya kepentingan sosial khusus
2016). Bahwa komoditas yang hadir dalam represinya. Mereka berpikir apa yang
dihadapan subjek dianggap selaras dan ingin dimiliki adalah sesuai dengan
sesuai dengan keingininnya yang sebenarnya keinginannya. Padahal itu hanyalah
semu. Proses ini, lanjut Adorno, kebutuhan yang manipulatif. Jika ada
menciptakan kepatuhan subjek pada sistem kepentingan khusus dalam manipulasi
kapitalisme, sehingga massa dengan kebutuhan itu, maka kepentingan itu adalah
sendirinya menjaga stabilitas status quo membuat manusia mengalami stagnasi, pasif,
(Striani, 2016). Kepatuhan tersebut terjadi demi langgengnya sistem kapitalisme. Lebih
karena massa hanya menyerap kostruksi jauh Marcuse mengatakan, “kebanyakan
selera dan kebutuhan palsu yang diciptakan kebutuhan-kebutuhan untuk bisa rileks,
industri budaya. Itulah mengapa Adorno untuk senang-senang, untuk berperilaku dan
menyebut konsumen bukan sebagai subjek mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan iklan-
namun hanya sebatas objek, yang bergantung iklan yang ada, untuk mencintai dan
dan pasif. membenci apa yang dicintai dan dibenci
orang lain, semua tadi termasuk di dalam
Dalam konsep industri budaya adalah
Muhajir MA

kategori kebutuhan palsu” (2016:8). budaya massa sebagian besar bukan lain
adalah pertanyaan tentang peran media
Kategori kebutuhan palsu yang
massa dalam perkembangan budaya massa.”
dibilangkan Marcuse, bisa juga berlaku pada
bentuk-bentuk lain. Ketika seseorang merasa “Media massa, dalam bahasa disiplin
butuh memperbaiki penampilan fisiknya, komunikasi, adalah sebuah alat untuk
maka kebutuhan untuk cantik, langsing, menyampaikan pesan atau untuk
sixpack, tampan, putih, itu semua bisa jadi berkomunikasi. Dalam konteks masyarakat
adalah kebutuhan palsu, jika hal tersebut modern, ia merupakan instrumen dengan apa
hasil dari hegemoni kapitalisme. berbagai bentuk komunikasi dilangsungkan”
Pembentukan selera dan kebutuhan palsu (Budiman, 2002:57). Berdasarkan definisi
bisa terjadi, karena kapitalisme memiliki tersebut, medium promosi yang efektif agar
instrumen yang efektif untuk memanipulasi sebuah produk dapat menyentuh manusia
kebutuhan, selera masyarakat dan dalam skala yang luas adalah media massa.
membangun image mengenai tubuh ideal. Dalam hal ini, media massa dimanfaatkan
untuk menyampaikan sejumlah pesan
Instrumen tersebut adalah media massa.
mengenai informasi terkait suatu produk. Di
Melalui media massa, komoditas
sinilah peran media massa dalam membujuk,
diperkenalkan dengan teknik bujuk rayu
mempengaruhi, merangsang konsumen dan
tertentu, agar individu merasa komoditas
menciptakan selera dan kebutuhan baru di
bersangkutan adalah seleranya,
dalam masyarakat.
kebutuhannya. Proses itu secara otomatis
akan membentuk gambaran mengenai Mengutip Budiman (2002:57), “Melalui
fashion ideal, kecantikan ideal, ukuran tubuh media massa, para produsen bukan saja
ideal. Karena pada saat yang sama individu memberikan informasi tentang produk yang
sudah punya selera tertentu mengenai bisa dikonsumsi, melainkan juga membanjiri
fashion, kecantikan, atau ukuran tubuh. Dan konsumen dengan informasi tentang produk-
pada saat itu pula individu merasa produk baru. Media telah mengajari
membutuhkannya. konsumen untuk bergerak melewati batas
kebutuhan fisiknya dan mulai mengenali
Berbicara mengenai bagaimana budaya
keinginan-keinginan psikologis baru yang
populer diperkenalkan, bagaimana
sengaja diciptakan.” Maka tak heran,
kecenderungan masyarakat akan suatu
Sosiolog Perancis, Jean Baudrillard
bentuk budaya populer dibentuk, tak akan
(2004:83), mengatakan, “Apa yang benar
bisa dilepaskan dari operasi media massa,
bukanlah kebutuhan sebagai buah dari
sebagai salah satu artefak budaya populer.
produksi, tetapi sistem kebutuhan adalah
Kata Budiman (2002:53), “Para kritikus seni
produk dari sistem produksi”. Jika kebutuhan
bisa berdebat sampai kelelahan
itu dianggap produk, maka otomatis
mempersoalkan kualitas produk-produk
kebutuhan memang sengaja diciptakan
budaya massa, dan para teoritisi sosial akan
bersamaan dengan diciptakannya sebuah
mendapatkan inspirasi-inspirasi baru untuk
komoditi, agar masyarakat tertarik
kritiknya terhadap masyarakat kontemporer,
mengonsumsi.
tapi semua tidak bisa lepas dari satu
pertanyaan tentang bagaimana dan melalui Tentu, yang tercipta bukan hanya
apa budaya massa tersebar ke seluruh dunia. keinginan-keinginan yang bersifat
Pertanyaan tentang medium penyebaran psikologis. Namun, sekaligus menciptakan

82
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019

persepsi dan imajinasi mengenai apa yang Jika pencitraan ini efektif, citra tubuh
dicita-citakan, dikehendaki dan diangan- ideal bisa melekat dalam bayangan
angankan. Ketika televisi, melalui iklan, konsumen, yang akhirnya terus tertanam
menginformasikan tentang produk kosmetik dalam memorinya, bahwa kecantikan adalah
terbaru, tentu selalu akan mengikutkan sebagaimana penampilan tubuh artis yang
informasi mengenai kemampuan produk disaksikan dalam iklan produk tersebut.
tersebut dalam mempercantik konsumennya, Proses ini tentu akan memanipulasi selera
dengan memutihkan atau membantu konsumen dan merasa membutuhkan produk
konsumen untuk melangsingkan tubuh, yang bisa membuat penampilan fisiknya
misalnya. mencapai standar kecantikan yang dibuat-
buat oleh budaya populer. “Citra
Dalam konteks tersebut, media massa
mengkomunikasikan konsep diri (self) setiap
telah membangun citra tubuh ideal yang
orang yang dipengaruhinya: kesempurnaan
sebaiknya dimiliki masyarakat: putih,
diri, tubuh, kepribadian” (Piliang, 2003:288).
langsing. Yang mulanya masyarakat tak
perlu butuh menjadi putih hanya untuk Berdasarkan pembahasan di atas, terlihat
tampil cantik, kini menjadikan putih sebagai jelas jika “komoditi di dalam masyarakat
kebutuhan. Maka solusi yang ditawarkan kapitalis merupakan sebuah wacana
produsen adalah produk kosmetiknya yang pengendalian selera, gaya, gaya hidup,
kemudian menjadi komoditas yang merasa tingkah laku, aspirasi, serta imajinasi-
dibutuhkannya. Di dalam media massa, imajinasi kolektif masyarakat secara luas
peran iklan sangat penting dalam (massa) oleh para elit (kapitalis), lewat
mempromosikan suatu produk. Karena iklan berbagai citra yang diciptakan, yang
memang sengaja dirancang dengan kemasan sesungguhnya tidak berkaitan dengan
citra tertentu, untuk mewedarkan makna- substansi sebuah produk yang ditawarkan”
makna yang kemudian mengonstruksi selera, (Piliang, 2003:288).
kebutuhan dan persepsi masyarakat akan hal- Persoalan lain muncul. Bagaimana citra-
hal ideal, termasuk fantasi mengenai tubuh citra yang tumpah ruah dalam iklan bisa
ideal. menjadi lumbung makna guna memproduksi
Yasraf Amir Piliang (2003:279), pesan mengenai standar tubuh ideal? Itu
mengatakan, “Pencitraan (imagology), atau karena, citra itu sendiri adalah sistem
teknologi citra adalah sebuah strategi penting komunikasi, yang bertutur dan berujar
di dalam sistem periklanan, yang di sebagaimana bahasa. Jika ia adalah alat
dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide- komunikasi, maka citra dapat menyampaikan
ide, dikemas dan ditanamkan pada sebuah pesan dan makna. Penulis akan
produk, untuk dijadikan memori publik menggunakan analisis semiologi Roland
(public memory), dalam rangka Barthes untuk melihat bagaimana budaya
mengendalikan diri mereka.” Melalui populer dan media massa memproduksi
representasi tubuh perempuan yang putih, makna. Seperti penjelasan sebelumnya, citra
langsing, seksi, dengan ornamen-ornamen memiliki mekanisme seperti bahasa dalam
fashion yang menyelimutinya di dalam menghasilkan makna. Sebagaimana yang
sebuah iklan, citra kecantikan, keindahan, dikatakan Roland Barthes, wicara (tuturan
sensualitas, diciptakan untuk merangsang dan ujaran) tidak hanya sebatas lisan. Namun
keinginan konsumen. bisa berbentuk teks atau gambar (citra)
Muhajir MA

seperti film, fotografi, pertunjukan (2006). objek, sedangkan mitos sebagai sistem
semiologi tatanan kedua adalah metabahasa.
Jika citra memiliki kemiripan dengan
Atau, dalam bahasa Jhon Storey, level
bahasa sebagai medium berkomunikasi,
pemaknaan pertama bisa disebut pemaknaan
maka citra dengan sendirinya adalah sistem
primer dan level pemaknaan kedua bisa
tanda yang terdiri atas dua unsur, penanda
disebut pemaknaan sekunder. Storey (2006)
(signifier) dan petanda (signified). Barthes,
mengilustrasikannya dengan menggunakan
dengan mengutip Saussure, menjelaskan
contoh ‘kucing’. Penanda ‘kucing’
penanda adalah citra akustik, petanda adalah
menghasilkan petanda kucing: seekor
konsep dan hubungan antar keduanya
binatang berkaki empat yang mengeong. Dia
disebut sebagai tanda (2006). Lebih jelasnya,
menyebutnya pemaknaan primer.
penanda adalah kesan bunyi yang dapat
diimajinasikan, sedangkan petanda adalah Tanda ‘kucing’ yang dihasilkan melalui
konsep yang ditunjuk oleh penanda. level pemaknaan pertama tersebut menjadi
Misalnya kata ‘mawar’ (penanda) penanda ‘kucing’ pada level pemaknaan
menghasilkan konsep mawar (petanda): jenis kedua. Bahwa penanda ‘kucing’
tanaman semak dari genus rosa. Petanda menghasilkan petanda ‘kucing’, yakni
tersebut menjadi makna, isi, pesan. seorang perempuan yang menggosip dengan
penuh kebencian yang kemudian menjadi
Hal inilah yang menjadi alasan,
pemaknaan sekunder. Penjelasan tersebut
mengapa citra-citra yang terhampar pada
mengindikasikan adanya duplisitas
sebuah iklan memiliki makna tertentu yang
penandaan.
bisa dipahami oleh penontonnya. Namun,
dalam bahasa atau gambar dalam iklan, kita Untuk lebih jelasnya penulis kembali
tidak hanya berhadapan dengan makna mengambil contoh dari iklan produk
harfiah objek atau penanda dalam dirinya kecantikan Pond’s White Beauty for Oil
sendiri. Misalnya, pada sebuah iklan produk Skin. Pada iklan tersebut terdapat duplisitas
kecantikan Pond’s White Beauty for Oil Skin penanda. Bahwa, dalam iklan tersebut tidak
(video bisa disimak di akun Youtube Pond’s hanya terdapat bahasa objek, pemaknaan
Indonesia) penonton disuguhkan tontonan primer, level pemaknaan pertama (seorang
mengenai seorang perempuan (sang perempuan yang gelisah karena satu butir
perempuan adalah aktris dari Filipina jerawat di pipinya). Namun juga metabahasa,
bernama Nadine Luster) yang gelisah karena yang berada pada sistem semiologi tingkatan
satu butir jerawat di pipinya. kedua atau pemaknaan sekunder. Bahwa, ada
upaya menciptakan perbedaan antara tubuh
Secarah harfiah dan apa yang tampak,
ideal yang dinginkan dan dicita-citakan
makna peristiwa tersebut adalah kejengkelan
dengan penampilan yang kurang mempesona
seorang wanita terhadap jerawat di pipinya.
dan tak memuaskan. Tubuh ideal adalah
Namun, sebuah citra pada level tertentu bisa
tubuh tanpa jerawat, sedangkan tubuh
menandai melebihi dirinya sendiri. Yang
dengan jerawat adalah kondisi yang tak
kedua ini dibilangkan Barthes sebagai mitos.
memuaskan.
Dalam hal ini Barthes (2006:303)
mengatakan, “mitos merupakan sistem Hal tersebut bisa diamati dari bagaimana
semiologis tatanan kedua (second-order kondisi perempuan tersebut saat memiliki
semiological system)”. Jika sistem jerawat dan saat tanpa jerawat. Kondisi
semiologis tatanan pertama adalah bahasa pertama, ada perasaan yang gelisah,

84
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019

sedangkan kondisi kedua memperlihatkan ideologi. Karena mitos memiliki pesan yang
perasaan yang bahagia. Artinya, iklan jelas, mudah dipahami dan terlihat masuk
tersebut berusaha membangun image bahwa akal.
kulit mulus adalah kulit yang selama ini Tentu saja, iklan hanyalah salah satu
didambakan setiap perempuan, dan solusi bentuk media massa yang bisa menjadi arena
kulit mulus adalah Pond’s. Pada pemaknaan tempat citra tubuh ideal dikonstruksi ke
atas iklan tersebut, akhirnya tercipta sebuah dalam pemahaman masyarakat. Film,
gambaran akan tubuh ideal, sekaligus termasuk medium yang efektif
membangun sebuah kebutuhan palsu: merasa membangkitkan pemaknaan tentang citra
butuh menggunakan Pond’s untuk tubuh. Sudah sangat familiar, produk
memuluskan kulit melebihi kebutuhan- sinetron dalam dunia perfilman selalu
kebutuhan riilnya.
menempatkan tokoh bertubuh gemuk sebagai
Penjelasan di atas bisa diperkuat dengan sosok yang tidak berkarismatik, jadi bahan
contoh terkenal dari Barthes (2006) untuk guyonan, dan kadang sebagai sosok yang
menggambarkan keberadaan ganda penanda. gagal dalam dunia percintaan karena
Pada halaman depan Paris-Match yang dicitrakan sebagai sosok yang bukan standar
diamati Barthes saat berada di kios tukang perempuan.
cukur, terlihat seorang Negro berseragam Sementara tokoh bertubuh sixpack,
Prancis sedang memberi penghormatan dengan cukuran rambut yang rapi selalu
terhadap bendera Prancis. Barthes menyebut menjadi tokoh yang dicintai perempuan.
pemaknaan tersebut sebagai makna gambar Sementara perempuan putih dan langsing
(bahasa objek). Namun, di sisi lain, Barthes selalu dicitrakan sebagai sosok yang cantik.
tak memungkiri jika ada hal lain yang coba
Pada sisi lain, film selalu menjadi medium
ditunjukkan gambar tersebut kepada dirinya: yang efektif mempromosikan gaya hidup
bahwa Prancis merupakan sebuah kekaisaran artis, fashion yang lagi trend, dan promosi
besar, semua putranya tanpa diskriminasi produk-produk terbaru sebuah industri
warna kulit, dan setia berbakti di bawah fashion. Selera penonton akan sebuah
benderanya. fashion dan gaya hidup diciptakan melalui
Makna kedua ini memuat pesan tentang citra-citra yang tampil silih berganti.
keprancisan dan kemiliteran. Duplisitas Manipulasi kebutuhan terjadi dalam setiap
penanda dalam setiap wicara, baik lisan, dua jam durasi film.
tulisan maupun gambar-gambar dan Perkembangan teknologi dan informasi
peristiwa, selalu akan memiliki makna saat ini bahkan menyediakan lebih banyak
ganda. Biasanya, sistem semiotis di lagi medium penyebaran produk. Audiens
tingkatan kedua, ideologi, kepentingan, yang disentuhnya jauh lebih besar dibanding
kekuasaan beroperasi. Maka, mitos itu media massa konvensional. Medsos sebagai
sendiri selalu mengandung ideologi yang fenomena revolusi komunikasi dan
tidak bisa diinterupsi lagi. Menurut Donny informasi, tak hanya sebagai ruang interaksi
gahral Adian (2011), Barthes menggunakan masyarakat melalui dunia maya, namun juga
kata “mitos” tidak dalam arti tradisionalnya, sebagai medium produk bisnis dan industri
tapi sebagai sistem komunikasi yang selalu dipromosikan. Instagram, misalnya, menjadi
menghindar untuk dibicarakan. Itulah medsos yang paling digemari oleh baik
mengapa Adian melihat mitos terkait dengan pengusaha kecil maupun perusahaan besar
Muhajir MA

dalam menyebarluaskan komoditasnya. korban, yang tentunya memberikan


keuntungan ekonomi buat kapitalisme.
Dengan menggunakan jasa selebgram
Ketika body shaming bisa membuat korban
(istilah yang menunjuk publik figur di
malu atas tubuhnya sendiri, maka tercipta
Instagram) komoditas diperkenalkan ke jagat
kondisi psikologis rasa ketidakpuasan atas
maya melalui citra foto. Selebgram bergaya
penampilan fisik aktual yang saat ini
bak model sambil memegang komoditas.
dimilikinya. Pada saat itu, potensi menjadi
Publik tak hanya disuguhkan informasi
subjek konsumer cukup besar. karena sang
mengenai komoditas bersangkutan, namun
korban terdorong untuk memanipulasi
juga ekspresi gaya hidup selebgram, citra-
tubuhnya berdasarkan citra tubuh ideal dan
citra tubuh, dan sedikit rangsangan seksual.
standar penilaian masyarakat atas tubuh.
Perdagangan melalui akun Instagram
Bagaimana hal tersebut terjadi? psikoanalisis
selebgram tentu sangat efektif, mengingat
mengatakan, tindakan tersebut terjadi atas
selebgram memiliki jutaan followers.
adanya dorongan hasrat. Selanjutnya, penulis
Namun, tentu publik dibombardir dengan
akan memaparkan analisisnya.
permainan tanda. Pesan-pesan mengenai
gaya hidup, keindahan tubuh, fashion,
Dari Rasa Malu, Menuju Perilaku
interpretasi mengenai Konsumtif
kecantikan/ketampanan, tumpah ruah dalam
sebuah foto yang dirancang apik melalui Bayangkan jika Anda merasa malu
teknik fotografi. dengan penampilan fisik diri sendiri karena
penilaian orang lain. Anda mungkin saja
Sejauh ini, dapat ditarik kesimpulan, mengalami depresi. Namun, dalam banyak
citra tubuh ideal, standar penampilan fisik kasus, orang-orang yang merasa malu
yang berlaku di masyarakat, pada kadar dan terhadap tubuhnya menimbulkan
level tertentu dikonstruksi melalui hegemoni ketidakpuasan. Orang seperti ini akan
budaya populer, melalui mekanisme bujuk mengambil tindakan untuk menjadi diri ideal
rayu dan pemaknaan citra-citra yang sesuai standar yang berlaku di
tumpang tindih di ruang virtual media massa. lingkungannya. Ada keinginan untuk
Citra tubuh yang selama ini menjadi ukuran berubah, agar bisa diakui di hadapan teman-
menilai penampilan fisik diri sendiri dan temannya, orangtuanya, dan di hadapan
melakuakan body shaming dibentuk oleh orang-orang yang selalu menghina
kapitalisme. Tentu, hal tersebut adalah kekurangan fisiknya.
kesimpulan yang tak bisa dijadikan
generalisasi, meski efek-efek budaya populer Dalam kajian psikoanalisis, keinginan
dan media massa memang sangat terasa selalu terkait dengan wilayah tak sadar
dalam pembentukan image mengenai tubuh manusia yang disebut sebagai hasrat.
ideal. Bahkan selera dan kebutuhan Pesohor psikoanalisis, Sigmund Freud
masyarakat sanggup dimanipulasi. mengasosiasikan “hasrat ini sebagai harapan
atau keinginan yang bersifat tidak disadari.
Sebagaimana dalam bagian Freud melihat hasrat berhubungan dengan
‘Pendahuluan’ dijelaskan bahwa, body kepenuhan. Freud memahami hasrat ini
shaming dapat menimbulkan depresi karena tersimpan dalam wilayah tak-sadar dan
rasa malu terhadap tubuh sendiri. Pada aspek menjadi pendorong bagi tindakan seseorang,
yang lebih ideologis, body shaming bisa yaitu mencari pemenuhan atas hasratnya”
memicu bangkitnya hasrat konsumtif sang

86
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019

(Lukman,2011:49). Berdasarkan pandangan dihasrati oleh yang lain.


Freud, pencarian identitas ideal yang dialami Pendapat ini menjadi menjadi alasan,
korban body shaming digerakkan oleh hasrat, orang-orang yang merasa malu atas
keinginan tak sadar. penampilan tubuhnya akibat hinaan orang
Dalam keadaan tersebut, subjek lain, akan selalu menyusun kediriannya agar
berusaha mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan selera orang lain dengan
dengan diri –diri ideal untuk memenuhi tujuan mendapatkan pengakuan.
hasratnya akan kepenuhan. Yakni menyusun Penghargaan, pengakuan itu adalah proses
identitas berdasarkan pada citra ideal yang orang lain menghasrati sang subjek karena
diinginkan lingkungannya agar telah berhasil memenuhi ekspektasi orang
kekurangannya dapat mewujud kepenuhan. kebanyakan. Pada saat itulah subjek merasa
Donny gahral Adian (2005:XXXV) dalam mendapatkan kepuasannya.
kata pengantarnya atas buku Jacques Lacan, Langkah yang akan ditempuh oleh
Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar subjek saat hendak memenuhi standar orang
Kritik-Budaya psikoanalisis karya Mark lain agar mencapai kepuasan diri dan
Bracher mendefinisikan identifikasi sebagai
pengakuan adalah dengan larut dalam
“proses di mana individu menginternalisasi aktivitas konsumsi: membeli kosmetik,
atribut orang lain dan mentransformasinya melakukan operasi sedot lemak, melakukan
lewat imajinasi tak sadar. operasi plastik, menggunakan jasa
Identifikasi ini kemudian menjadi barbershop demi mendapatkan penampilan
bagian dari individu melalui inkorporasi: rambut yang lagi trend, dst. Itulah mengapa
pengambilalihan objek—sebagian atau industri perlu memanipulasi selera dan
seluruhnya—untuk menyusun basis dari kebutuhan masyarakat. Karena ada saat
ego”. Atribut orang lain di sini bisa siapa orang-orang mencapai kondisi ketidakpuasan
saja sejauh dianggap oleh subjek sebagai ego tertentu, dan mencoba mencari jalan keluar
ideal. Proses identifikasi atribut ego ideal untuk mendapatkan kepenuhannya.
tersebut membuat subjek terdorong untuk
Berusaha merengkuh identitas ideal
bergaya, berperilaku, bertubuh sebagaimana sebagaimana standar ideal masyarakat yang
yang dimiliki ego ideal, karena dianggap juga diproduksi oleh kapitalisme. Ujung-
sebagai cerminan dari standar yang berlaku ujungnya berusaha mendapatkan pengakuan
di masyarakat banyak, sejalan dengan citra dari orang lain yang juga sebagai syarat
tubuh ideal. mencapai kepuasan. Mereka tak hanya akan
Karena pencapaian kepenuhan subjek menjadi kelompok atau masyarakat
selalu melalui identifikasi terhadap ego ideal konsumer, namun juga menjadi apa yang
liyan, maka psikoanalisis postrukturalis asal disebut Tom Wolfe sebagai kelompok
Prancis, Jacques Lacan kemudian menyebut culturati. kelompok culturati atau kaum
hasrat adalah hasrat terhadap liyan (Bracher, kulturasi adalah “mereka yang mencoba
2005). Tak hanya itu. Lacan juga untuk menatadan menyesuaikan diri dengan
berpendapat hasrat seseorang adalah hasrat kecenderungan atau trend yang ada. Dengan
dari yang lain, yang berarti hasrat seseorang kata lain mereka mencoba untuk menjadi
adalah menjadi hasrat dari orang lain trendy, bergerak mengikuti angin budaya.
(Lukman, 2011). Sehingga, seseorang tak mereka berusaha untuk menyesuaikan diri
hanya menghasrati yang lain, tapi juga ingin dengan selera budaya yang tengah laku keras
Muhajir MA

di pasaran” (Budiman, 1997:157) mewujud dalam logika sosial: kenyamanan


dan prestise.
Dalam Mitos Kecantikan, Naomi Wolf
(2004) merekam gairah manipulasi tubuh Namun, apakah seseorang bisa benar-
yang dilakukan manusia demi tampil ideal, benar terpuaskan? Baudrillard (2004)
yang sedikit banyak mengandung risiko. mengatakan, keinginan-keinginan yang
Pada periode 1970-an bedah intestinal mendasari konsumsi adalah luapan hasrat
dikembangkan, dan telah melakukan yang sebenarnya tidak akan pernah ada
pembedahan sebanyak 50 ribu kali ketika habisnya, karena didasarkan atas kekurangan
memasuki periode 1983. Namun obsesi yang selalu dialami subjek. Untuk itu
tubuh indah itu akhirnya banyak Baudrillard meyakini, keinginan tidak akan
mencelakakan banyak orang. Bedah organ- pernah terpuaskan. Kondisi tersebut
organ intestial memungkinkan munculnya membuat seseorang mengkonsumsi objek
komplikasi 37 jenis penyakit termasuk di secara bergantian. Maka ketidakpuasan itu
antaranya ranya kekurangan gizi, kerusakan membuat manusia melakukan penjelajahan
ginjal, gagal ginjal detak jantung yang tidak konsumsi dari produk satu dan produk
teratur, kerusakan otak dan syaraf, kanker lainnya, secara terus menerus.
perut, turunnya kekebalan tubuh, animea Untuk itulah, Storey (2006:146)
akut bahkan kematian. membahasakan, “ideologi konsumerisme
Imajinasi kenikmatan berakhir dengan bisa dilihat sebagai salah satu strategi
penderitaan. Dalam banyak kasus, praktik pengalihan; salah satu contoh mengenai
konsumsi berlebihan selalu akan pencarian yang tiada akhir, pergerakan hasrat
mendatangkan banyak risiko. Namun kita metonomik yang tak ada habisnya. Janji
tahu bahwa, proses pemuasan diri tak akan yang dibuatnya adalah bahwa (seperti
pernah melibatkan pertimbangan rasional. ‘cinta’) konsumsi adalah jawaban dari semua
Karena, pengejaran kepuasan selalu berasal problem kita; konsumsi membuat kita utuh
dari operasi hasrat. lagi; membuat kita lengkap lagi konsumsi
akan mengembalikan pada kondisi imajiner
Konsumsi dalam hal ini, dioperasikan
yang diliputi kebahagiaan”.
melalui hasrat. Kita mengkonsumsi bukan
atas dasar kebutuhan-kebutuhan riil, namun Ketakpuasan manusia saat mengonsumsi
keinginan-keinginan yang berdasarkan pada karena pada dasarnya manusia tidak akan
fantasi kesenangan dan kepuasan. Merujuk pernah mencapai suatu keutuhan. Lacan
pada Baudrillard (2004), masyarakat hari ini membahaskan, subjek adalah selalu subjek
tidak lagi melakukan konsumsi atas dasar yang terpecah. Subjek pun tak dapat
kebutuhan sebagai tujuan rasional dari menghindar dari keterpecahan ini. Sehingga
konsumsi, namun berdasarkan pada ada yang retak dalam diri subjek yang
keinginan-keinginan, determinasi logika membuat subjek tak akan bisa mencapai
sosial yang tak disadari. Piliang (2003:150) keutuhan (Lukman, 2011). Hasrat konsumtif
memberi penegasan, “konsumsi tak lagi tanpa batas tersebut justru sangat
didasari logika kebutuhan namun logika menguntungkan kapitalisme. Semakin
hasrat”. Baudrillard (2004) kemudian masyarakat bergairah dalam mengkonsumsi,
memberi contoh, mesin cuci, yang memiliki semakin bisnis kapitalis meraup banyak
nilai guna sebagai alat rumah tangga, namun keuntungan, mendapatkan laba yang besar.
juga memiliki elemen nilai tanda yang

88
MIMIKRI : Volume 5 Nomor 1 Tahun 2019

PENUTUP menghasilkan fisik yang didambakan semua


Kajian ini memperlihatkan, citra tubuh orang. Peralatan gym dibeli demi melatih
ideal dikonstruksi dalam pemahaman tubuh agar sesuai standar ideal. Namun
masyarakat melalui budaya populer. semua itu bermuara pada kepentingan
Sehingga citra tubuh ideal sebagai acuan ekonomi kapitalisme. Penciptaan citra tubuh
seseorang melakukan body shaming adalah sudah menjadi sebuah strategi untuk
hasil ciptaan sistem kapitalisme. Dalam hal memancing masyarakat untuk mengonsumsi
ini, kapitalisme tidak hanya memproduksi tanpa batas demi laba.
komoditas, namun juga memproduksi makna
DAFTAR PUSTAKA
yang kemudian mewedarkan pesan mengenai
citra tubuh ideal. Citra tubuh tersebut akan Adian, D.G. 2011. Setelah Marxisme:
Sejumlah Teori ideologi Kontemporer.
mentukan selera masyarakat mengenai
Depok: Koekoesan.
sebuah komoditas. Masyarakat lebih Barthes, R. (2006). Membedah Mitos-Mitos
menggemari sebuah produk yang Budaya Massa: Semiotika atau
membuatnya berpenampilan sesuai standar Semiologi Tanda, Simbol, dan
ideal. Otomatis, tercipta sebuah kebutuhan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra.
untuk mengkonsumsi produk tersebut. (Naskah orisinil terbit tahun 1979).
Seseorang merasa sangat membutuhkan Baudrillard, J. 2004. Masyarakat Konsumsi.
(Cetakan ke-7) Bantul: Kreasi Wacana.
produk tersebut, karena dianggap bisa
(Naskah orisinil terbit tahun 1970).
mempecantik atau memperindah fisiknya. Bracher, M. (2005). Jacques Lacan,
Seseorang merasa butuh menjadi putih, Diskursus dan Perubahan Sosial:
langsing, mulus, butuh menggunakan fashion Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis.
yang dianggap mampu menyempurnakan (Cetakan ke-2) Yogyakarta: Jalasutra.
penampilannya. Kebutuhan tersebut selalu (Naskah orisinil terbit tahun 1997).
adalah kebutuhan palsu. Citra tubuh dan Budiman, H. (2002). Lubang Hitam
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
selera sengaja diproduksi. Pembentukan,
Budiman, H. (1997). Pembunuhan yang
citra tubuh, selera dan kebutuhan dilakukan Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis
melalui media massa. Media massa menjadi Rasionalitas Menurut Daniel Bell.
medium untuk mendikte masyarakat melalui (Cetakan ke-2) Yogyakarta: Pustaka
pesan-pesan agar mengenali kebutuhan dan Pelajar.
selera barunya. Melalui citra-citra, makna Chairani, L 2018. Body Shame dan
Gangguan Makan Kajian Meta-Analisis.
mengenai tubuh ideal disebarkan.
Buletin Psikologi, Vol 26, No. 1, 12-27.
Seseorang yang merasa malu dan tak Damanik, T.M. 2018. Dinamika Psikologis
puas pada penampilan fisiknya karena tak Perempuan Mengalami Body Shaming.
sesuai citra tubuh ideal, akan berusaha untuk Skripsi, Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Sanata
menutupi kekurangannya dengan melakukan
Dharma, Yogyakarta.
konsumsi. Hasratnya untuk mendapatkan Frangky, E. 2012. Pemaknaan Mengenai
kepuasan, kepenuhan dan pengakuan Nilai-Nilai Maskulinitas dan Citra
mendorongnya tenggelam dalam dunia Tubuh Dalam Program Komunikasi
komoditas. Belanja produk yang dirasa bisa Pemasaran Oleh Laki-laki Homoseksual
menyempurnakan penampilan fisiknya. dan Laki-laki Heteroseksual. Skripsi,
Menghamburkan banyak uang untuk operasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Komunikasi
sedot lemak, operasi plastik, demi
Universitas Indonesia, Depok.
Muhajir MA

Lukman, L. (2011). Proses Pembentukan Yogyakarta: Jalasutra. (Naskah orisinil


Subjek: Antropologi Filosofis Jacques terbit tahun 1996).
Lacan. Yogyakarta: Kanisius. Strinati, D. (2016). Popular Culture:
Marcuse, H. (2016). Manusia Satu-Dimensi. Pengantar Menuju Teori Budaya
Yogyakarta: Narasi. Populer. Jakarta: Narasi. (Naskah
Piliang, Y.A (2003). Hipersemiotika: Tafsir orisinil terbit tahun 1995).
Cultural Studies Atas Matinya Makna. Wolf, N. (2004). Mitos Kecantikan: Kala
Bandung: Jalasutra. Kecantikan Menindas Perempuan.
Storey, J. (2006) Cultural Studies dan Kajian Yogyakarta: Niagara. (Naskah orisinil
Budaya Pop: Pengantar Komprehensif terbit tahun 2002).
Teori dan Metode. (Cetakan ke-4)

90

Anda mungkin juga menyukai