Anda di halaman 1dari 5

“Dampak Body Shaming Terhadap Anak Muda Perempuan di

Jakarta Barat"

A. Latar Belakang
“Kulit tampak lebih cerah putih merona” dan “Cantik itu kulit mulus bebas
bulu” ialah contoh tagline iklan produk kecantikan yang pernah ditampilkan oleh media.
Dapat dilihat, dari kedua tagline tersebut, iklan produk kecantikan cenderung
mengarahkan masyarakat untuk mengategorikan cantik seperti yang ditampilkan di
iklan. Iklan yang ditampilkan media ini dapat memberikan pengaruh yang menimbulkan
ketidakpuasan akan tubuh dan internalisasi tubuh ideal sesuai yang ditampilkan media.
Tidak hanya media elektronik, media cetak juga menyajikan iklan kecantikan yang
menampilkan bentuk tubuh yang cenderung langsing, kulit putih, hingga rambut lurus,
hitam, panjang dan lebat untuk perempuan.
Menurut Hariningsih (2005), perempuan dikatakan menarik jika bertubuh
langsing, pinggang kecil, pinggul dan pantat besar, dada berisi, mata bulat, bibir tipis,
rambut lurus. Sedangkan salah satu finalis L-Men of the year 2010 menyampaikan
bahwa bentuk tubuh atletis dengan perut sixpack, dan dada bidang merupakan kategori
yang laki-laki idamkan dan iklan sering menampilkan model demikian (Fazriyati,
2010). Penilaian-penilaian seperti yang dijelaskan sebelumnya, sering kali memicu
masyarakat tidak puas dengan tubuhnya dan membuat seseorang membandingkan
tubuhnya dengan individu lainnya serta menilai bahwa tubuhnya memalukan. Mengarah
kearah yang lebih luas, penilaian tentang tubuh yang dimaksud bukan terbatas fisik
tetapi dapat berkaitan juga dengan kepribadian, kemampuan atau hal lain yang dirasa
ada di orang lain namun tidak ada didirinya.
Cara pandang terhadap tubuh seperti ini dapat terjadi karena adanya objektifikasi
diri. Objektifikasi diri (self-objectification) adalah penilaian terhadap tubuh sendiri,
menginternalisasi perspektif pengamat yang fokus mengamati bagian tubuh seperti
bagaimana aku dilihat orang lain, dan kurang menilai berdasarkan penilaian yang
mengamati keunikan dan potensi apa yang dapat dilakukan tubuh serta bagaimana yang
dirasakan oleh tubuh (Fredrickson & Robert, 1997). Teori objektifikasi menunjukkan

1
bahwa self-objectification meningkatkan peluang seseorang merasa malu khususnya
malu akan suatu tubuh (Noll & Fredrickson, 1998).
Berdasarkan data yang diperoleh 90% dari 5053 perempuan merasa tidak
bahagia akan tubuhnya sedangkan 34% pria mengatakan bahwa tidak puas dengan
bentuk tubuhnya (Gallivan, 2014). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa body
shaming lebih banyak dialami oleh perempuan. Oleh karena itu, peneliti memilih
perempuan sebagai informan penelitian. Selain itu, peneliti memilih informan
perempuan karena perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh penilaian tubuh ideal yang
ditampilkan media dan membandingkannya dengan tubuhnya. Perempuan lebih mudah
menginternalisasi penilaian orang lain dibandingkan pria sehingga jumlah pria yang
menginternalisasi tubuh ideal media lebih sedikit (Knauss, dkk 2008). berdasarkan
Penilaian tubuh ideal ini menyebabkan banyak yang mengalami body shaming.
Body shaming merupakan perasaan malu yang muncul akan salah satu bagian tubuh
seseorang ketika penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri
ideal yang diharapkan dirinya sendiri (Nol & Frederickson, 1998).
Body shaming sedang marak terjadi di dunia saat ini dan fenomena ini bukanlah
fenomena yang baru. Sejak dulu fenomena ini sudah dialami oleh masyarakat di belahan
bumi barat (Dolezal, 2015). Data yang diperoleh dari sebuah survei majalah BLISS
menunjukkan 90% remaja dari 5053 tidak bahagia dengan bentuk tubuhnya. Body
shaming secara tidak sadar sering kali terjadi disekitar kita, terkhusus pada remaja.
Misalnya saat seorang sahabat memanggil sahabatnya dengan panggilan „ndut‟
(gendut) karena kondisi fisik yang gendut. Ada pula yang memanggil „blacky‟ karena
temannya memiliki pigmen warna cenderung gelap. Maksud panggilan ini tidak
selamanya dalam konteks negatif, beberapa orang mengaku memanggil dengan
panggilan tersebut sebagai panggilan kesayangan terhadap sahabatnya, akan tetapi para
sahabat abai untuk menanyakan bagaimana perasaan orang yang dipanggil dengan
demikian. Fenomena yang mirip dengan fenomena diatas sangat sering terjadi disekitar
kehidupan kita kerena kurangnya perhatian masyarkat terhadap isu body shaming
Dalam pertemanan dengan teman sebaya, baik itu melalui media sosial ataupun
interaksi tatap muka lebih sering terjadi di usia remaja, usia yang lebih memerlukan
peranan teman sebaya dalam pembentukan diri sehinga tidak dapat untuk dielakkan lagi
bahwa fisik tidak dapat keluar dari topik pembahasan dalam pertemanan. Mulai dari

2
persoalan ketertarikan dengan lawan jenis yang tentunya berkaitan erat dengan penilain
fisik seseorang, hingga guyonan ala remaja yang bisa saja menjadikan fisik sebagai
pokok bahasannya.
Berdasarkan data yang diperoleh 90% dari 5053 perempuan merasa tidak
bahagia akan tubuhnya sedangkan 34% pria mengatakan bahwa tidak puas dengan
bentuk tubuhnya (Gallivan, 2014). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa body
shaming lebih banyak dialami oleh perempuan. Oleh karena itu, peneliti memilih
perempuan sebagai informan penelitian. Selain itu, peneliti memilih informan
perempuan karena perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh penilaian tubuh ideal yang
ditampilkan media dan membandingkannya dengan tubuhnya. Perempuan lebih mudah
menginternalisasi penilaian orang lain dibandingkan pria sehingga jumlah pria yang
menginternalisasi tubuh ideal media lebih sedikit (Knauss, dkk 2008).
Berdasarkan uraian diatas, penulis berpandangan bahwa kondisi masa remaja
perempuan yang belum stabil dalam hal fisik maupun karakter, menjadikan penilaian
mengenai fisik adalah suatu hal yang perlu diperhatikan karena secara tidak langsung
sering kali tanpa disadari hal tersebut mengganggu mental remaja perempuan. Dengan
demikian, perilaku yang disebut dengan body shaming yang dilakuakan oleh lingkungan
sekitarnyadapat berdampak buruk bagi perkembangan sosial serta kognitifnya baik pada
masa remajanya maupun masa seterusnya. Selain itu, penulis akan melihat fenomena ini
di wilayah Jakarta Barat. Hal tersebut dilakukan oleh penulis karena belum adanya
penelitian terkait fenomena body shaming yang dilakukan kepada anak muda atau
remaja perempuan di wilayah Jakarta Barat.
Maka dari itu, penulis memiliki rumusan masalah sebagai berikut : bagaimana
dampak body shaming terhadap anak muda perempuan di Jakarta Barat? sehingga
penelitian ini memiliki judul “Dampak Body Shaming Terhadap Anak Muda
Perempuan di Jakarta Barat" untuk menjawab pertanyaan yang sudah dirumuskan.

B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
- Untuk mengetahui bagaimana fenomena body shaming terhadap anak muda
perempuan di wilayah Jakarta Barat

3
- Untuk melihat dan menganalisis dampak-dampak yang ditimbulkan akibat
adanya fenomena body shaming terhadap anak muda perempuan di wiliayah
Jakarta Barat

C. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta menjadi referensi
mengenai tindakan body shaming yang dilakukan terhadap anak perempuan
khusunya di wilayah Jakarta Barat
2. Manfaat Praktis
- Bagi Penulis
Manfaat penelitian ini untuk penulis ialah dapat menambah wawasan penulis
mengenai pengetahuan tentang fenomena serta dampak body shaming
khususnya di wilayah Jakarta Barat
- Bagi Anak Muda Perempuan
Penelitian ini membantu anak muda perempuan khususnya wilayah Jakarta
Barat untuk menyadari mereka mengenai penilaian tubuh yang tidak
seharusnya serta adanya fenomena body shaming yang dialami diri mereka.
- Bagi Masyarakat Umum
Bagi masyarakat diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan
mengenai pengetahuan tentang fenomena serta dampak body shaming
khususnya di wilayah Jakarta Barat sehingga nantinya dapat
meminimalisrkan fenomena yang terjadi dilingkungan terdekat.
- Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi
untuk mengemangkan penelitian selanjutnya mengenai body shaming.

4
DAFTAR PUSTAKA

Dolezal, L. (2015). The body and shame: Phenomenology, feminism, and the socially
shaped body. Lexington Books.
Fazriyati (2010). Tubuh ideal di mata pria. Kompas.com (Kompas.com-19/07/2010,
15.47 WIB. Diakses pada 08 November 2022).
Fredrickson, B. L., & Roberts, T. A. (1997). Objectification theory: Toward
understanding women's lived experiences and mental health risks. Psychology
of women quarterly, 21(2), 173-206.
Gallivan, H. R. (2014). Teens, social media and body image. Park, Nicollett Melrose
Center.
Hariningsih, Eti. (2005). Studi Deskritif perilaku remaja Putri untuk memenuhi tubuh
kriteria ideal.
Knauss, C., Paxton, S. J., & Alsaker, F. D. (2008). Body dissatisfaction in adolescent
boys and girls: Objectified body consciousness, internalization of the media
body ideal and perceived pressure from media. Sex roles, 59(9), 633-643.
Noll, S. M., & Fredrickson, B. L. (1998). A mediational model linking self‐
objectification, body shame, and disordered eating. Psychology of women
quarterly, 22(4), 623-636.

Anda mungkin juga menyukai