Anda di halaman 1dari 21

SISI GELAP MASKULINITAS DALAM BUDAYA PATRIARKI

(Kajian Tentang Kefemininan Pada Laki-Laki Heteroseksual)

Proposal Skripsi
Program Sarjana (S-1)
JurusanLSosiologi

Oleh:
Cici Badriyah
1806026074

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2022
“PENDAHULUAN”
A. Latar belakang
Sudah menjadi hal yang biasa apabila perempuan dan laki-laki dilihat sebagai dua
wujud manusia yang berbeda. Bahkan perbedaan tersebut telah ditetapkan sejak manusia
lahir di dunia berdasarkan jenis kelamin mereka. Terdapat ayat yang secara tekstual
membedakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu QS. Ali Imran (3): 36 yang antara lain
redaksinya ialah “ (dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan)”. Namun tidak
seharusnya masyarakat melakukan hal tersebut karena alat kelamin seseorang
menunjukkan jenis kelamin biologis mereka dan bukan identitas gender mereka. Gender
merupakan atribut peran yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan, yang mana
atribut tersebut dibentuk dari konstruksi sosiokultural yang ada berdasarkan entitas
masyarakat (Fakih, 2016).
Konstruksi sosial pada intinya adalah bagaimana pemikiran subjektif tiap individu
diinstitusionalisasi/dilembagakan menjadi makna subjektif yang alami. Dalam hal ini,
jenis kelamin tidak memiliki keterkaitan dengan konsep gender karena jenis kelamin
adalan sesuatu yang mutlak dan sudah ditetapkan sejak manusia lahir. Sedangkan gender
kaitannya dengan konstruksi realitas sosial, pemaknaannya bisa saja berbeda. Sebagai
contoh, di Afrika pakaian tradisional mereka penuh warna dan motif, adapula yang seperti
daster/jubah (Boubou), meskipun terlihat seperti pakaian perempuan, pakaian tersebut
juga merupakan simbol maskulinitas bagi laki-laki Afrika. Sementara itu, di Indonesia
pakaian seperti daster sebagian besar dipakai oleh perempuan dan mencerminkan
kefemininan. Jika laki-laki yang memakainya, maka akan dianggap sebagai
penyimpangan norma gender yang selama berlaku.
Selain itu, kultur sosial budaya patriarki juga memiliki peran penting pada asumsi
gender. Istilah 'patriarki' sudah sangat tua, namun eksistensinya masih terus berlanjut
hingga hari ini. Ade Irma (2017) menjelaskan bahwa adanya ketidakadilan gender akibat
dari struktur patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat.
Patriarki dikonseptualisasikan sebagai suatu sistem yang menstrukturkan
ketidaksetaraan gender dan memunculkan diskrepansi di masyarakat. Peran gender untuk
laki-laki melingkupi konsep maskulinitas, sedangkan peran gender bagi perempuan
melingkupi konsep feminitas (Nelson, 2019, hal. 32)
Atribut yang dilihat sebagai “feminin” atau berkaitan dengan perempuan
seringkali kurang dihargai, sedangkan atribut yang dianggap sebagai “maskulin” atau
berkaitan dengan laki-laki diistimewakan. Dari adanya kondisi tersebut menyebabkan
1
munculnya pandangan bahwa laki-laki adalah makhluk yang kuat, aktif, dan rasional,
sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah, pasif, dan irasional (Bennett & Royle,
2016, hal. 168).
Adapun ayat Al-Qur'an yang kerap dipergunakan untuk memperlihatkan
keutamaan laki-laki adalah Surah al-Nisa(4:34) yang berbunyi:
Artinya : Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian (perempuan) lainnya, dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahi harta mereka. Maka wanita shalihah adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena
Allah telah memelihara (mereka). Para wanita yang kamu khawatirkan tentang nusyuz,
kamu harus menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur (ranjang terpisah),
dan (jika perlu) memukuli mereka. Tetapi jika mereka mematuhi Anda, maka jangan
mencari alasan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, Maha
Besar”.
Muhadjir Darwin (1999) menjelaskan bahwa pada lingkup patriarki, seorang laki-
laki diakui maskulinitasnya jika terlayani oleh perempuan, begitupun sebaliknya. Namun,
pemahaman tersebut seringkali membentuk keyakinan akan maskulinitas yang berlebihan
(hipermaskulinitas). Dan biasanya mengacu pada perilaku stereotip pria yang ekstrim.
Berbagai permasalahan yang muncul disetiap lapisan masyarakat kerap kali dianggap
sebagai hasil dari representasi nilai kemaskulinan itu sendiri, seperti; kekerasan,
pemerkosaan, homophobia, seksisme, maupun misogini (Connell, 2005). Konstruksi
budaya patriarki yang memiliki kecenderungan bersifat dominan menjadikan laki-laki
ketagihan (addicted) terhadap perilaku menindas, baik kepada perempuan maupun kepada
laki-laki lain. (Hasyim, 2020)
Liu” (2005) menyatakan bahwa penerimaan sosial laki-laki terhadap nilai-nilai
maskulin yang ideal menyebabkan terjadinya konflik ketika laki-laki mencoba atau gagal
memenuhi harapan tersebut. Ekspektasi dan kepercayaan sosial-budaya yang mengitari
bagaimana laki-laki seharusnya berlaku, acapkali menghantui mereka, sebab dari adanya
persepsi tersebut membentuk asumsi bagaimana seorang pria harus muncul secara fisik,
mental, dan emosional. Akan ada konsekuensi sosial ketika “mereka” menyimpang dari
standar maskulinitas yang menurut masyarakat harus dijunjung. Padahal, tidak semua
laki-laki dapat memenuhi ekspetasi kemaskulinan yang dilekatkan oleh masyarakat
tradisional terhadap diri mereka. Hal itu disebut dengan fenomena gender
noncomforming.
2
Menurut Green & Maurer (2016) gender noncomforming adalah orang yang
ekspresi gendernya dianggap tak konsisten dengan norma budaya yang diharapkan dari
gender itu. Singkatnya, secara eksplisit konfigurasi dari gender noncomforming ialah
laki-laki atau anak laki-laki yang berekspresi feminin, dan wanita atau anak perempuan
yang berekspresi maskulin. Sedangkan pada masyarakat patriarki, secara umum hanya
mengenal dua jenis gender yaitu laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin). Dalam
hal ini, laki-laki diidentikkan dengan ekspresi maskulin bukan feminin, jadi itulah
mengapa ketika laki-laki tidak dapat mememenuhi nilai-nilai kemaskulinannya, mereka
akan mendapatkan stigma negatif dan hal tersebut seringkali terjadi pada laki-laki feminin
dibandingkan perempuan yang maskulin.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Ai dan Suzy (2021) yang berjudul
“Studi Komunikasi Pengungkapan Diri Remaja Laki-Laki Feminin” bertujuan
menganalisis proses pengungkapan diri pada remaja laki-laki feminin dan gambaran
kehidupan yang dijalani, menemukan hasil bahwa pengungkapan diri remaja laki-laki
feminin tidak diterima oleh masyarakat, namun remaja laki-laki tersebut lebih nyaman
dengan menjadi dirinya sendiri yang bersifat feminin.
Penelitian lain dilakukan oleh Harry (2016) dengan judul “Mereka Bilang Aku
Bukan Laki-Laki: Sebuah Autobiografi Laki-Laki Feminin Dalam Memahami Realitas
Kehidupan Berdasarkan Konstruksi Sosial”, turut memperlihatkan bagaimana kondisi
laki-laki feminin menghadapi konstruksi sosial maskulinitas budaya patriarki. Penelitian
tersebut berbasis pada pengalaman pribadi Harry sebagai seorang feminin. Dalam
penelitiannya, ia mengungkapkan bahwa perilaku femininnya berasal dari dalam dirinya
sendiri dan hal tersebut diperkuat dengan adanya bullyan dari teman-teman maupun
keluarganya.kDiskriminasi dan stigma negatif seolah melekat pada dirinya, bahkan
kebanyakan orang menganggapnya bukan laki-laki hanya karena tidak berekspresi
maskulin seperti laki-laki pada umumnya. Melalui tulisannya, ia berusaha membuktikan
bahwa tidak ada salahnya menjadi laki-laki feminin.
Berdasarkan permasalahan diatas, konstruksi maskulinitas budaya patriarki dan
adanya hipermaskulinitas atau tindakan mengagungkan nilai-nilai maskulinitas budaya
patriarki oleh sebagian masyarakat itu sendiri yang menjadi “sisi gelap maskulinitas”.
Sebab, maskulinitas sendiri pada dasarnya tidak beracun, begitu pula minat dan perilaku
stereotip maskulin. Yang beracun adalah ketika standar maskulinitas performatif
dipaksakan pada laki-laki yang hanya ingin mengekspresikan diri mereka dengan bebas.

3
Menjadi laki-laki tidak mengharuskan menyukai hal tertentu atau melakukan hal-hal
tertentu atau menghindari hal-hal tertentu.
Hal tersebut menjadi salah satu sebab mengapa laki-laki sulit untuk
mengekspresikan perasaan alami mereka, karena ketika laki-laki menangis, mereka akan
dianggap lemah, ketika laki-laki berpakaian cerah akan dianggap feminin (banci) karena
seperti perempuan. Padahal, pada hakikatnya sebagai manusia laki-laki maupun
perempuan pasti memiliki sisi maskulin dan feminim pada diri mereka. Maskulinitas
toksik akibat adanya hipermaskulinitas sudah mengakar di masyarakat. Mereka hanya
terpaku pada pemikiran bahwa laki-laki feminin adalah perilaku menyimpang. Padahal
sebagai manusia, kita tidak dapat memilih ingin lahir dengan dominan maskulin atau
dominan feminin.
Urgensi penelitian ini terletak pada pergeseran makna maskulinitas sebagai hasil
dari konstruksi sosial masyarakat. Dimana dalam hal ini pemahaman mengenai konsep
maskulinitas semakin problematis dengan terciptanya keyakinan bahwa untuk menjadi
laki-laki mereka harus macho, agresif dan hiperseksual. Dari adanya fakta tersebut
menimbulkan paradigma negatif mengenai nilai maskulinitas yang sesungguhnya dan
mengarah pada manifestasi berbahaya dari norma sosial. Keyakinan ini menunjukkan
bahwa maskulinitas dan hipermaskulinitas adalah dua titik yang berbeda dan tidak sama.
Oleh sebab itu, tak dapat dipungkiri jika belakangan ini persoalan terkait ekspresi gender
kian semakin pelik. Karena masyarakat budaya patriarki menuntut laki-laki untuk
mengikuti standar sosial tertentu.
Hal itu semakin jelas ketika terdapat perbincangan terkait eksistensi laki-laki
feminin, yang pada nyatanya lingkungan sekitar seringkali mengabaikan dan menyebut
mereka banci. Seperti yang. dialami oleh IM, salah satu informan dalam penelitian ini.
Meskipun ia mengidentifikasi diri sebagai laki-laki heteroseksual/straight, tindak
perundungan tak luput ia dapatkan hanya karena tampil dengan ekspresi gender feminin.
Berbagai aksi peminggiran yang dilekatkan padanya terbilang lebih intens dibandingkan
pada teman-teman perempuannya. Memang ia cenderung berperilaku halus, bertuturkata
lebut, mudah bergaul dengan siapapun terutama perempuan. Namun siapa sangka, alasan
dibalik sikap humorisnya dan rela dijadikan bahan candaan, adalah agar ia diterima oleh
teman-teman dan lingkungannya, seperti yang dialami oleh FS. Dari adanya fakta
tersebut, konstruksi realitas gender memanipulasi tubuh menjadi norma tertentu untuk
diinterpretasikan kedalam hirarki tertentu (Escalante, 2021). Masyarakat perlu memahami
jika laki-laki dengan ekspresi gender feminin bukan berarti banci ataupun gay, dan laki-
4
laki maskulin juga belum tentu berorientasi seksual straight. Sebab, dominan maskulin
atau feminin bisa jadi karena faktor genetik.
Tidak semua laki-laki dan perempuan sesuai dengan pandangan dan standar
masyarakat. Karena ada begitu banyak pandangan masyarakat tentang bagaimana laki-
laki harus bertindak dan memperlakukan perempuan maupun laki-laki, oleh karena itu
penting untuk melihat pandangan ini. Asumsi gender dan ketidakadilan yang dirasakan
laki-laki feminin dalam lingkup patriarki inilah yang mendasari peneliti tertarik dengan
isu yang akan dikaji. Penelitian ini akan membahas mengenai pengekspresian identitias
laki-laki feminin ditengah-tengah lingkup budaya patriarki yang memberikan tekanan dan
ketidakterimaan untuk mereka mengekspresikan diri. Sekaligus dampak dominasi nilai-
nilai maskulinitas budaya patriarki terhadap laki-laki heteroseksual feminin. Maka dari itu
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Sisi Gelap Maskulinitas
dalam Budaya Patriarki (Kajian tentang kefemininan pada laki-laki heteroseksual)”
Harapan dengan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengungkap
bahwasannya dalam budaya patriarki bukan hanya perempuan yang dirugikan atas
supremasi nilai-nilai patriarki namun laki-laki juga turut dirugikan. Hal ini selaras dengan
yang di sampaikan oleh Nur Hasyim (2020) bahwa persoalan ketidakadilan dalam
masyarakat adalah persoalan sistem. Sedangkan laki-laki sebenarnya adalah korban dari
sebuah sistem yang tidak adil.
Terlebih lagi, belum banyak literatur yang membahas mengenai benang merah
antara maskulinitas dan budaya patriarki dari sudut pandang laki-laki feminin
heteroseksual. Sebagian besar literatur hanya terfokus pada budaya patriarki dan
perempuan.
B. Rumusan Masalah:
Berdasarkan latarbelakang diatas, maka dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana laki-laki heteroseksual feminin memandang dan mengekspresikan nilai-
nilai maskulinitas budaya patriarki dalam kehidupan sosial mereka?
2. Bagaimana dampak dominasi nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki terhadap
kehidupan laki-laki heteroseksual feminin?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

5
1. Untuk mengetahui bagaimana laki-laki heteroseksual feminin memandang dan
mengekspresikan nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki dalam kehidupan sosial
mereka
2. Untuk mengetahui bagaimana dampak dominasi nilai-nilai maskulinitas budaya
patriarki terhadap kehidupan laki-laki heteroseksual feminin
D. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua sektor, yaitu teoritis dan praktis sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan
keilmuan sosial khususnya dalam memberikan pengetahuan mengenai kosntruksi
maskulinitas dikalangan laki-laki feminin heteroseksual.
b) Selain itu, Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pandangan baru atau sebagai
bahan rujukan untuk penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya terkait dengan sisi
gelap maskulinitas budaya patriarki yang menimpa laki-laki feminin heteroseksual
2. Manfaat Praktis
a) Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengalaman secara
tidak langsung bagi peneliti mengenai bagaimana pandangan, kehidupan,
sekaligus dampak yang dialami laki-laki heteroseksual feminin akibat nilai-nilai
maskulinitas budaya patriarki di masyarakat.
b) Bagi masyarakat, penelitian ini harapannya dapat dijadikan sebagai bahan edukasi
bahwa meyakini nilai maskulinitas budaya patriarki secara berlebihan dapat
berdampak pada siapa saja.
c) Selain itu, dengan adanya penelitian ini, diharapkan laki-laki feminin
heteroseksual bebas berekspresi dengan kepribadian yang mereka miliki namun
tetap mematuhi nilai dan norma yang berlaku.
E. Tinjauan Pustaka
Sehubungaan dengan telaah terhadap penelitian sebelumnya, terdapat sejumlah kajian
bersumber dari jurnal dan skripsi yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan yang
akan diteliti oleh peneliti. Lebih lanjut, penelitian terdahulu tersebut dijadikan pijakan
oleh peneliti sebagai bahan eksplorasi sekaligus dijadikan sebagai alat untuk melihat
celah masalah yang belum dikaji oleh penelitian sebelumnya. Berikut penjelasan masing-
masing kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini disajikan secara tematis
dengan mengangkat tema penelitian tentang maskulinitas yang dijelaskan sebagai berikut:
6
1. Maskulinitas
Data penelitian yang diperoleh melalui”jurnal dan skripsi terkait dengan
tema”maskulinitas, diantaranya mengenai konstruksi maskulinitas itu sendiri telah
dilakukan oleh Arum Budiastuti & Nur Wulan (2014) dimana artikel tersebut
membahas mengenai definisi maskulinitas ideal melalui konsumsi budaya populer
yang dibangun oleh remaja perkotaan. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh
Florentina Rumahorbo (2016) memfokuskan diri pada bagaimana mahasiswa
FISIP USU memandang konstruksi maskulinitas macho dari sisi etnisitas.
Sementara itu, Nur Wulan (2015) dalam penelitiannya membincangkan persoalan
bentuk norma maskulinitas yang dianggap ideal oleh mahasiswa Muslim di
Surabaya. Hasil dari adanya kajian terdahulu, menggambarkan bentuk-bentuk
konstruksi nilai maskulinitas yang serupa. Adapun bentuk nilai maskulinitas yang
dianggap ideal tersebut berkaitan dengan kekuatan otot badan dan keperkasaan,
tanggungjawab, berwibawa, kematangan emosional, dan mampu memimpin
rumah tangga.
Lebih lanjut, terdapat pula persamaan dan perbedaan mengenai apa yang akan
dikaji oleh peneliti. Adapun yang menjadi persamaan dengan penelitian terdahulu
ialah perihal tema yang akan ditinjau. Meskipun sama-sama membahas mengenai
konstruksi nilai-nilai maskulinitas, subjek dari penelitian terdahulu nampaknya
tidak terlalu digambarkan secara spesifik, sedangkan yang menjadi sasaran utama
dalam kajian ini ialah pengungkapan konstruksi nilai-nilai maskulinitas dari sudut
pandang laki-laki heteroseksual feminin.
2. Budaya Patriarki
Kajian mengenai eksistensi budaya patriarki telah diteliti oleh Israpil (2017)
dimana konsepi budaya patriarki dan tindak kekerasan terhadap perempuan
menjadi isu penting dalam makalah tersebut. Ia mengungkapkan bahwa perbedaan
perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan telah terbentuk secara turun menurun
dan hanya berpusat pada dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam segala
aspek. Misalnya seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal eksklusif
dan membawa nama belakang), otonomi pribadi dalam hubungan sosial, hak-hak
anak sulung, partisipasi dalam status publik dan politik, dan lain sebagainya.
Sejalan dengan Israpil, Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti A (2017) yang
dalam kajiannya menekankan adanya konsistensi nilai budaya patriarki di tatanan
masyarakat Indonesia hingga kini. Eksistensi kultur sosial patriarki seringkali
7
dinarasikan dalam bentuk sinema/film, alah satunya adalah film berjudul
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, yang kemudian dianalisis oleh Sri
Nurliyati (2018) dalam penelitiannya untuk menunjukkan esensi dari representasi
laki-laki yang dominan terhadap perempuan dalam budaya patriarki. Sementara
itu, Irma Suriani (2017) dalam kajiannya, memperlihatkan kedudukan perempuan
yang keberadaannya tidak lagi dipandang sebelah mata. Dari kajian-kajian
tersebut dapat disimpulkan, meskipun implementasi nilai budaya patriarki mulai
mengalami perubahan namun eksistensi atau dampaknya masih terasa hingga kini.
Berdasarkan keempat penelitian diatas, terdapat persamaan dengan penelitian
yang akan dikaji dalam kaitannya terhadap pengaruh atau eksistensi budaya
patriarki. Hanya saja penelitian diatas terfokus pada dampak budaya patriarki
yang dihadapi oleh perempuan dan laki-laki turut menjadi pelaku utama dalam
kasus tersebut. Yang menjadi pembeda adalah peneliti membahas mengenai
kedudukan laki-laki feminin dalam budaya patriarki yang tersubordinasi sama
halnya dengan yang terjadi pada perempuan.
3. Laki-Laki Feminin
Kajian mengenai laki-laki feminin yang didapat peneliti bersumber dari skripsi
dan jurnal. Diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Resi Yulia (2016)
yang berjudul “Diskriminasi Pada Pria Bergaya Feminin”. Penelitian tersebut
menunjukkan gambaran diskriminasi pada pria bergaya feminin yang dibuktikan
dengan marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban ganda di
kalangan laki-laki feminin dalam masyarakat. Sementara itu, telaah yang
dilakukan oleh Cipta Adi (2006) dengan tajuk “Laki-laki Feminin (studi kualitatif
tentang simbol interaksi dan pemaknaan laki-laki feminin pada salah satu PTN di
Surabaya)”. Merujuk pada kesan berupa penampilan, tindak tanduk, dan bahasa
yang dibentuk oleh laki-laki. Yang mana penciptaan kesan tersebut digolongkan
menjadi dua macam berupa makna adjektif dan makna obyektif.
Kemudian, Rizal ikhsan, dkk. (2019) pun turut melakukan penelitian dengan
menganalisis solidaritas sosial antar feminin laki-laki pada komunitas A+
Organizer di Padang dengan menerapkan teori solidaritas sosial Emile Durkheim
sebagai kerangka analisis. Disisi lain, Sayyida Azzura dan Genny Gustiana Sari
(2019) membahas mengenai motif pengelolaan kesan maskulinitas pria feminin di
Kota Pekanbaru. Hal tersebut dilakukan karena laki-laki feminin mengalami kasus
bullying, diskriminasi, dan labeling.
8
Berdasarkan penelitian pada poin ketiga yang membahas perihal laki-laki
feminin, terdapat perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang dikaji oleh
peneliti, antara lain: Studi yang dilakukan oleh Cipta Adi (2006) membahas
mengenai upaya laki-laki feminin di lingkungan akademik menciptakan kesan
atau simbol-simbol sebagai laki-laki feminin dalam proses interaksinya dan
bagaimana pemaknaan menjadi laki-laki dan perempuan bagi laki-laki feminin.
Sedangkan dalam penelitian ini akan membahas mengenai pengekspresian laki-
laki feminin heteroseksual terkait nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki dalam
kehidupan sosial mereka. Selain itu, penelitian yang akan dikaji juga memiliki
persamaan dengan penelitian Resi Yulia (2016)yang kurang lebih mengulas
mengenai implikasi perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan khususnya
laki-laki feminim yang berupa diskriminasi. Yang menjadi pembeda ialah dalam
pemilihan informan yang menggunakan metode purposive sampling, sedangkan
dalam penelitian ini pemilihan informan dilakukan dengan metode snowball
sampling yang meskipun sudah menentukan informan kunci namun tidak menutup
kemungkinan adanya informan tambahan untuk memperkaya data.
Ada pula penelitian oleh Rizal Ikhsan (2019) yang membahas mengenai
solidaritas sosial antar laki-laki feminin pada komunitas A+Organizer dengan
teori solidaritas sosial milik Emile Durkheim. Pembedanya yaitu, dalam penelitian
ini peneliti akan membahas mengenai kosntruksi nilai-nilai maskulinitas
menggunakan teori Konstruksi sosial Peter L. Berger & Thomas Luckman.
Adapun relevansinya dengan penelitian yang akan dikaji adalah sama-sama
membahas mengenai laki-laki feminin. Yang terakhir, penelitian oleh Sayyida
Azzura (2019) yang memfokuskan pada motif pengelolaan kesan maskulinitas
pria feminin. Penelitian tersebut tak jauh beda dengan apa yang akan dikaji oleh
penulis, hanya saja dalam penelitian tersebut terdapat asumsi yang mengharuskan
laki-laki feminin bertindak selayaknya laki-laki pada umumnya, sedangkan dalam
penelitian ini, peneliti ingin mengungkapkan bahwa ekspresi gender seseorang
bisa sesuai dengan identitas gender, bisa juga tidak.
Berdasarkan beberapa literatur di atas, sejauh penelusuran yang telah peneliti lakukan
terhadap penelitian terdahulu, dapat digaris bawahi bahwa penelitian yang membahas
mengenai “Sisi Gelap Maskulinitas Budaya Patriarki (Kajian Terhadap
Kefemininan Laki-Laki Heteroseksual)” sejauh ini belum pernah diteliti sebelumnya.
F. Landasan teori
9
Dalam penelitian ini, peneliti menerapkan pemikiran yang dicetuskan oleh Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann mengenai konstruksi realitas sosial, dimana istilah
tersebut mulai terkenal sejak diterbitkannya karya mereka yang bertajuk “The Social
Construction of Reality,Ka Treatise in the Sociological of Knowledge”K(1966). Berger
dan Luckmann menyatakan bahwasanya “realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi
ilmu pengetahuan (sociology of knowledge) sebagai alat untuk menyelisik bagaimana
realitas terjadi. Dalam teorinya, “realitas” dan “pengetahuan” dijadikan sebagai istilah
kunci teori konstruksi sosial (Poloma, 2010). “Realitas” dimaknai sebagai “ a quality
appertaining to phenomena that we recognize as having a being independent of our own
volition” (kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak
kita). Sedangkan “pengetahuan” diartikan sebagai “the certainty that phenomena are real
and that they possess specific characteristics”L(keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan
mereka mempunyai karakeristik tertentu) (hal. 13). Singkatnya, “realitas” merupakan
fakta sosial yang bersifat eksternal atau diluar kesadaran individu, terlepas dari
dikehendaki atau tidak oleh individu tersebut “realitas” akan tetap ada dan “pengetahuan”
merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu (bersifat subjektif) (Samuel,
2012).
Berger mengatakan bahwa manusia akan selalu berinteraksi, baik secara
individual maupun kolektif (Sukidin, 2015). Pemikiran Berger dan Luckmann mengenai
konstruksi realitas dipengaruhi oleh landasan kehidupan sehari-hari (Berger & Luckmann,
1966). Dalam hal ini, manusia membangun kenyataan sosial melalui proses subyektif
yang kemudian diobyektifkan (human beings constructs social reality in which subjective
processes can become objectified). Kenyataan tersebutlah yang kemudian dijadikan
sebagai dua obyek pokok dalam realitas, yaitu masyarakat sebagai realitas objektif dan
masyarakat sebagai realitas subyektifL (Waters, 1994).
Masyarakat merupakan kenyataan obyektif, dan sekaligus kenyataan subjektif.
Sebagai kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan
dengannya; sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat
sebagai bagian yang tidak terpisahkan (hal. 16). Dapat dikatakan bahwa realitas obyektif
merupakan suatu fakta sosial, karena masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan
proses pelembagaanL(institusionalisasi)Ldiawali oleh eksternalisasi yang dilakukan
berulang-ulang yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi) (Sulaiman,
2016). Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif
dimaknai secara subyektif oleh individu. Dalam proses memaknai itulah berlangsung
10
internalisasi. Realitas subyektif ialah pengetahuan individu yang merupakan hasil suatu
konstruksi melalui proses internalisasi.
Kunci teori konstruksi realitas terletak pada dialektika Berger ;eksternalisasi,
obyektivasi, internalisasi :
1. Eksternalisasi : Bungin (2008) mengatakan bahwa, tahap eksternalisasi
berlangsung ketika produk sosial tercipta dalam masyarakat, kemudian
individu tersebut menyesuaikan diri kedalam dunia sosisokulturalnya atau
dapat dikatakan sebagai suatu momen di mana individu beradaptasi terhadap
lingkungannya (Prasetyo, 2017). Singkatnya, eksternalisasi merupakan proses
mengkonstruksi realitas sosial (Berger P. L., 1990). Pada penelitian ini,
sebagai hasil dari budaya patriarki masa lampau, masyarakat turut
mendefinisikan maskulinitas yang melambangkan dominasi atas perempuan,
digambarkan sebagai laki-laki yang kuat, bertanggungjawab, tangguh, pekerja
keras dengan menonjolkan bentuk fisik berotot.
2. Objektivasi : Bila eksternalisasi merupakan proses memproduksi kepercayaan
baru, maka objektivasi adalah “pengokohan” kepercayaan tersebut menjadi
sesuatu yang sah (Kurniawan, 2020). Mengikuti konsep konstruksi sosial
Berger, realitas sosial maskulinitas terjaga dengan ditelaah-nya di Alquran,
hadits, buku-buku/ manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini (Sulaeman,
2016). Dimana ayat-ayat tersebut dijadikan alat legitimasi dalam
pengkonstruksian nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki.
3. Internalisasi : Momen dimana individu mengidentifikasi diri atau dapat
dikatakan sebagai proses penerimaan makna sosial dalam diri individu di
tengah-tengah lembaga sosial. Dalam hal ini, internalisasi dapat dinyatakan
berhasil apabila “si individu” menerima makna secara subjektif, yang mana
proses penerimaan makna tersebut dilakukan melalui sosialisasi primer dan
sekunder.

Teori konstruksi realitas sosial Berger dan Luckmann dianggap relevan dengan isu
yang akan dikaji. Sebab dalam penelitian ini, peneiti berusaha menggali sudut pandang
laki-laki heteroseksual feminin dalam memandang sekaligus mengekspresikan nilai-nilai
maskulinitas budaya patriarki dalam kehidupan mereka melalui tiga konsep dialektis
Berger.

11
Dimana ketiga dialektika Berger ini berjalan secara bersamaan, dengan adanya sebuah
objek dan sistem kepercayaan yang dikonstruksi (objektivasi), proses penerimaan makna
maskulinitas dalam diri individu (internalisasi), dan dorongan individu untuk
melestarikan dan mengkonstruksi kembali makna yang termuat dalam objek tersebut
(eksternalisasi) (Kurniawan, 2020). Atau dapat dikatakan bahwa, realitas sosial pada
dasarnya merupakan hasil konstruksi manusia (melalui mekanisme eksternalisasi dan
objektivasi), “berbalik” membentuk manusia (melalui mekanisme internalisasi). Dan
dalam proses saling membentuk tesis, antitesis, sintesis inilah yang dimaksud dengan
hubungan diantara manusia dan masyarakat yang bersifat dialektis (Samuel, 2012).
G. Metode penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian dengan metode kualitatif, dimana penelitian
kualitatif merupakan suatu metode inquiry yang menitiberatkanKpencarian makna,
pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu
fenomena (Yusuf, 2014). Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang dapat
digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami esensi dari konflik sosial atau
kemanusiaan. Dalam hal ini, peneliti berusaha membangun makna tentang suatu
fenomena berdasankan pandangan-pandangan dari para partisipan
Studi iniKdieksplorasi menggunakan pendekatan fenomenologi sebagai
kerangka pikir utama, dimana studi fenomenologi menderskripsikan pemaknaan
umum dari individu terhadap berbagai pengalaman atau fenomena yang mereka alami
(Creswell, 2018).
Dasar peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi lantaran fokus utama penelitian ini mencoba menggali makna
berdasarkan pengalaman subjek penelitian. Makadari itu, dibutuhkan metode yang
dapat menggambarkan sebuah proses pemahaman perilaku individu dalam budaya
dan lingkungannya.
2. Sumber data
Data merupakan fakta empiris yang disatukan oleh peneliti untuk kepentingan
pemecahan masalah atau guna menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian (Siyoto &
Sodik, 2015). Berdasarkan sumbernya, data penelitian dibedakan menjadi dua yaitu
sebagai berikut:
a. Data Primer

12
Data primer atau data utama dalam suatu penelitian. Dimana dalam hal ini,
data primer berkaitan dengan serangkaian kata-kata dan bentuk verbal yang
disampaikan oleh informan yang berkenan pada penelitian (Sodik, 2015). Dalam
penelitian ini, data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara secara
langsung dengan informan perihal bagaimana mereka memandang dan
mengekspresikan nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki dalam kehidupan sosial
informan.
b. Data Sekunder
Menurut Sugiyono (2008, hal. 402) data sekunder ialah, sumber data yang
diperoleh secara tidak langsung oleh pengumpul data. Atau dapat dikatakan
bahwa data sekunder merupakan data yang didapat melalui pihak kedua dari
subjek penelitian atau melalui studi kepustakaan yang biasanya berupa dokumen,
rekaman, naskah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, peneliti menggunakan data
sekunder yang bersumber dari jurnal, buku teori, surat kabar, dan penelitian
sejenis yang memiliki kaitan erat dengan penelitian untuk memperkaya
pengetahuan.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data, merupakan suatu kaidah sistematis dan standar
untuk memperoleh sasaran tentang suatu objek penelitian di lokasi penelitian (Mamik,
2015). Dalam hal ini perekrutan informan dilakukan dengan prosedur purposive
sampling (sampelLbertujuan), yang biasanya didasarkan atas kriteria-kriteria tertentu
(Faisal, 2015). Adapun kriteria yang dijadikan acuan dalam pemilihan informan
meliputi:
 laki-laki heteroseksual;
 bertutur kata lembut, pendengar yang baik, tidak segan menuntaskan peran
yang biasanya oleh dilakukan perempuan;
 berusia 17-25 tahun;
Peneliti memperoleh 4 informan yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan. Selain itu, guna memperoleh data yangKrelevan dengan tujuan penelitian,
maka peneliti menggunakan 3 teknik pengumpulan data, yakni:
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian. Sederhananya, wawancara (interview) merupakan

13
proses interaksi yang terjadi diantaraPpewawancara (interviewer) dengan
informan atau orang yang diwawancarai (interviewee) melalui komunikasi
langsung (Yusuf, 2014). Dialog antara peneliti dengan informan berusaha
menggali data yang bersifat word view, untuk mengungkapkan makna yang
terkandung pada permasalahan yang dikaji (Rukajat, 2018). Dalam hal ini, untuk
menggali informasi, peneliti menggunakan metode in-depth interview (wawancara
mendalam) dengan maksud untuk mendapatkan permasalahan secara lebih
terbuka. Proses wawancara dilakukan secara langsung dengan informan di
beberapa tempat yang berbeda.
b. Observasi non partisipan
Observasi atau pengamatan merupakan bentuk aktivitas yang sitematis
terhadap gejala-gejala baik bersifat fisikal maupun mental (Rukajat, 2018).
Observasi sebagai teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati
suatu kejadian atau peristiwa melalui pancaindra atau dengan menggunakan alat
elektronik (Suwendra, 2018). Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan
metode non-partisipan, dimana peneliti tidak turun atau mengikuti kegiatan
informan secara langsung, melainkan mengamati dari kejauhan. Adapun hal yang
di observasi berupa interaksi informan dengan lingkungannya serta bagaimana
ekspresi, tingkah laku, dan respon informan pada saat proses penggalian data.
Tentunya hal tersebut dilakukan dengan menghubungi informan, baik secara
langsung maupun melalui media whatsapp terlebih dahulu untuk bertemu secara
tatap muka.
c. Dokumentasi
Studi dokumen yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi foto kegiatan
bersama informan, gambaran umum informan berupa autobiografi dan
pengalaman informan, skripsi, jurnal ilmiah, dan kunjungan perpustakaan.
4. Teknik analisis data
Bogdan dan Biklen memaparkan bahwa analisis data merupakan serangkaian
proses kegiatan mencari sekaligus mengelola secara sistematis hasil observasi, studi
dokumentasi maupun wawancara. Fossey dalam (Yusuf, 2014, hal. 400)
menyampaikan batasan mengenai proses analisis data penelitian kualitatif sebagai
berikut: Qualitative analysis is a process of reviewing, synthesizing and interpreting
data to describe and explain the phenomena or social worlds being studied. Intinya,
ia menegaskan bahwa analisis data kualitatif adalah proses mempertimbangkan
14
kembali fenomena sosial yang sedang dikaji. Sedangkan menurut Spradley (1980)
mengatakan bahwa analisis merupakan cara berpikir.
Selain itu, seperti yang ditunjukkan oleh Moustakas (1994) bahwasannya prosedur
penelitian dimulai dengan mengidentifikasi fenomena yang akan diteliti. Prosedur
umum yang dilakukan dalam penelitian fenomenologi biasanya meliputi
pengidentifikasian pernyataan signifikan dalam bentuk data dari informan,
mengelompokkan pernyataan tersebut kedalam unit makna dan tema. Selanjutnya,
peneliti mensintesis tema menjadi deskripsi pengalaman individu (deskripsi tekstual
dan struktural), dan kemudian membangun deskripsi gabungan makna dan esensi dari
pengalaman. Apabila dijabarkan, tahapannya adalah sebagai berikut :
a) Tahap Horizontalizing
Pada tahapan ini, peneliti melakukan pencatatan data yang relevan
berdasarkan fenomena yang diteliti. Apabila didapati peryataan yang tidak
signifikan dengan fenomena yang diselidiki atau terdapat ambiguitas, maka
peneliti harus mengabaikan pernyataan tersebut (Yüksel & Yildirim, 2015)
b) Tahap Thematic Clustering
Pada langkah ini, peneliti melakukan pengelompokkan data yang
diperoleh sebelumnya ke dalam tema atau unit-unit makna yang didefinisikan
sebagai “inti-inti tema pengalaman” dari fenomena tersebut. Kemudian
dilakukan pensintesisan tema melalui dua tahap berikutnya, yaitu:
- Membangun deskripsi tekstual : dimana peneliti menggambarkan
pengalaman informan yang berkaitan dengan fenomena yang
dikaji.
- Membangun deskripsi struktural : peneliti membangun deskripsi
mengenai konteks atau latarbelakang yang mempengaruhi
bagaimana para informan mengalami fenomena tersebut (Creswell,
2018).
c) Esensi
Ditahap ini, peneliti membangun eksplanasi keseluruhan dari peristiwa
atau mempresentasikan makna dari fenomena yang dialami informan.
Langkah ini merupakan sintesis dari semua narasi secara keseluruhan.
d) Tahapan yang terakhir adalah menyampaikan hasil penelitian terkait fenomena
yang dikaji, dengan maksud memperlihatkan fakta apabila terdapat esensi
krusial pada fenomena tersebut.
15
H. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan merupakan kerangka dari skripsi secara umum yang bertujuan
untuk memberi petunjuk mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Maka peneliti menyusun sistematika penulisan skripsi ini ke dalam lima bab sebagai
berikut :
BAB I Pendahuluan
Yang meliputi latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II Konstruksi Realitas Sosial Sebagai Kerangka Analisis


Bab ini akan menjelaskan landasan teoritis dan definisi konseptual
mengenai budaya patriarki, gender, identitas gender. Adapun teori
yang digunakan adalah teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann.
BAB III Gambaran Umum Profil Informan
Bab ini akan mengulas sekilas mengenai laki-laki heteroseksual
feminin sekaligus gambaran umum profil informan sebagai subjek
penelitian, dan kaitannya dengan sisi gelap maskulinitas budaya
patriarki.
BAB IV Pandangan dan Ekspresi Laki-Laki Heteroseksual Feminin
Terhadap Nilai-Nilai Maskulinitas Budaya Partiarki
Bab ini akan membahas mengenai bagaimana laki-laki heteroseksual
feminin mengkonstruksikan nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki
dalam kehidupan mereka, yang meliputi pandangan serta
pengekspresian nilai-nilai maskulinitas budaya patriarki berdasarkan
konsep dialektis Berger.
BAB V Dampak Dominasi Nilai-Nilai Maskulinitas Budaya Patriarki
Dalam bab ini, akan memuat dampak dominasi nilai-nilai maskulinitas
budaya patriarki yang dialami laki-laki heteroseksual feminin dari segi
sosial dan psikologis.
BAB IV Penutup
Bab ini berisi Kesimpulan dan Saran. Pada bagian akhir terdapat pula
Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran.

16
17
Daftar Pustaka

Adi, C. (2006). Lak-laki Feminin (studi kualitatif tentang simbol interaksi dan pemaknaan
laki-laki feminin pada salah satu PTN di Surabaya). Surabaya: Universitas Airlangga.

Astuti, B., & Wulan, N. (2014). Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya
Populer oleh Remaja Perkotaan (The Construction of Ideal Masculinity Through the
Consumption of Popular Culture by Urban Teenagers). Mozaik, Vol 14 , 1-14.

Azzura, S., & Sari, G. G. (2019, Januari-Juni). Pengelolaan Kesan Maskulinitas Pada Laki-
Laki Feminin Di Kota Pekanbaru. JOM FISIP, Vol.6(1).

Bennett, A., & Royle, N. (2016). An Introduction to Literature, Criticism and Theory (5th
Edition ed.). London: Routledge.

Berger, P. L. (1990). the social reality of religion. penguin books.

Berger, P., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality A Treatise in the
Sociology of Knowledge. New York: Doubleday.

Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi


Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Bungin, B. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.

Ching, A., & Azeharie, S. (2021, Maret). Studi komunikasi pengungkapan diri remaja laki-
laki feminin. Koneksi, 5(1), 200-208.

Connell, R. (2005). Masculinities. Los Angeles: Polity Press.

Creswell, J. W. (2018). penelitian kualitatif & desain riset: memilih diantara lima
pendekatan. yogyakarta: pustaka pelajar.

Darwin, M. (1999, June 24). Maskulinitas: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis.
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University , 1-10.

Faisal, S. (2015). Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Fakih, M. (2016). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

faladhin, u. m. (2019, Januari). Belenggu patriarki pada peran laki-laki bangsawan jawa
dalam film kartini karya hanung bramantyo. Jurnal Populika, Vol. 7(No.1).

Fauzi, E. P. (2021). Konstruksi Sosial Soft Masculinity dalam Budaya Pop Korea. Jurnal
Ilmu Komunikasi, Vol 19(No. 1), 127-144.

Green, E. R., & Maurer, L. (2016). The Teaching Transgender Toolkit.

18
Harry. (2016). Mereka Bilang Aku bukan laki-laki: sebuah autobiografi laki-laki feminin
dalam memahami realitas kehidupan sosial berdasarkan konstruksi sosial. Skripsi,
Universitas Surabaya, Surabaya.

Hasyim, N. (2020). Good Boys Doing Feminism: Maskulinitas dan Masa Depan Laki-Laki
Baru. Sleman: Mojok Group.

Ikhsan, R., Erianjoni, & Khaidir, A. (2019). solidaritas sosial di kalangan laki-laki feminin:
studi kasus pada komunitas A+Organizer. SAWWA: Jurnal Studi Gender, Vol. 14(2),
225-240.

Israpil. (2017). Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah dan
Perkembangannya). Jurnal Pusaka, Vol. 5, No.2.

Kurniawan, K. N. (2020). Kisah Sosiologi: pemikiran yang mengubah dunia dan Relasi
Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Liu, W., Rochlen, A., & Mohr, J. (2005). Real and ideal gender role conflict: exploring
psyhological distress among men. psychology of men & masculinity, 6(2), 137-148.

Mamik. (2015). Metodologi Kualitatif. Sidoarjo: Zifatama Jawara.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: Sage.

Nelson, M. (2019). Traditional Gender Roles: The Culture of Toxic Masculinity and the
Effect on Male Rape Victims. In BSU Master’s Theses and Projects, Item 71.

Nurliyati, S. (2018). Representasi budaya patriarki dalam film tenggelamnya kapal van der
wijck. eJournal Ilkom Fisip Unmul, Vol. 6(3), 291-305.

Poloma, M. M. (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Pers.

Prasetyo, A. S. (2017). Konstruksi Sosial Atas Kekerasan Di Sekolah: Analisa ‘Tradisi’


Kekerasan di SMK Sint Joseph, Jakarta. Studia Philosophica et Theologica, Vol
17(No. 2), 142-161.

Rijali, A. (2018). Analisis Data Kualitatif. Jurnal Alhadharah, Vol.17(No.33), 94.

Rukajat, A. (2018). Pendekatan Penelitian Kualitatif (Qualitative Research Approach).


Yogyakarta: Deepublish.

Rumahorbo, F. (2016). “Konstruksi Maskulinitas Macho Dari Pandangan Etnisitas (Analisis


Gender pada Mahasiswa FISIP USU). Thesis, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sakina, A. I., & Siti, D. H. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. Social Work
Journal, Vol. 7(No. 1).

Samuel, H. (2012). PETER L. BERGER: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik.

19
Siti, A. I. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work Jurnal, Vol. 7(1),
71-80.

Siyoto, S., & Sodik, M. A. (2015). Dasar Metolologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi Media
Publishing.

Sodik, S. S. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi Media Publishing.

Spardley, J. P. (1980). Participant Observation . New York: Holt, Rinehart & Winston.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukidin, d. (2015). Pemikiran Sosiologi Kontemporer/oleh Sukidin, Pudjo Suharso. Jember:


Jember University Press.

Sulaeman, A. (2016). Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger. Jurnal Society,
Vol VI(No. I).

Suriani, I. (2017). Eksistensi Perempuan dalam Budaya Patriarki Pada Masyarakat Jawa Di
Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur. Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Makassar, Makassar.

Suwendra, I. W. (2018). metodologi penelitian kualitatif dalam ilmu sosial, pendidikan


kebudayaan, dan keagamaan . Bandung: Nilacakra.

Waters, M. (1994). Modern Sociological Theory. London: Sage Publication.

Wulan, N. (2015). “Cowok be Gentle”1: Maskulinitas Mahasiswa Laki-laki Muslim di


Surabaya. Jurnal Lakon, Vol. 4(No.1).

Yüksel, P., & Yildirim, S. (2015, January). Theoritical Frameworks, Methods, and
Procedures for Conducting Phenomenological Studies in Educational Settings.
Turkush Online Journal of Qualitative Inquiry, Vol 6(1).

Yulia, R., Yusuarsono, & SM, A. E. (2016, Juni). Diskriminasi Pada Pria Bergaya Feminin.
Jurnal Professional FIS UNIVED, Vol.3(1), 44.

Yusuf, M. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, Dan Penelitian Gabungan .


Jakarta: Kencana.

20

Anda mungkin juga menyukai