Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT MANUSIA dan

Terapi Peran Gender

UNIVERSITAS GUNADARMA

Fakultas Psikologi
Jl. Akses Kelapa Dua,Cimanggis 16951
A. BIOGRAFI
Corolyn Zebre Enns, Ph. D adalah professor psikologi, dia adalah seorang yang
aktif berpartisipasi di program pembelajaran wanita di Conell college di Mt. Varnon,
Lowa. Enns menjadi tertarik pada terapi kewanitaan sejak dia menyelesaikan gelar Ph. D
nya, di psikologi konseling, universitas Barbaro.Dia sangat menyukai pekerjaannya yang
mempelajari perbedaan-perbedaan teori yang ada pada teori kewanitaan. Enns yakin
bahwa dalam terapi kewanitaan memiliki ragam teori yang memiliki dampak yang besar
bagi nilai-nilai terhadap teori kewanitaan, dan hal itu dibahasnya dalam bukunya: “terapi
kewanitaan dan psikoterapi kewanitaan.” Asal, latar belakang dan perbedaan sebagai
perluasaan komitmen untuk perubahan sosial, Enns melayani dari tahun 1994 sampai
1998 sebagai ketua devisi 17 psikologi Amerika.Dia juga sebagai wakil ketua di lembaga
konseling psikologi bersama para perempuan.Dia memiliki peranan penting dan sangat
berperan penting pada terapi kewanitaan.Dia memperkenalkan terapi kewanitaan di dunia
dan dia menulis tentang macam-macam budaya terapi kewanitaan.

B. FILOSOFI
1. Biologi dan Gender
Yang mendasari isu peran gender adalah seberapa jauh jenis kelamin mirip secara
biologis. Dari sudut pandang psikologi evolusioner, laki-laki dan perempuan seharusnya
memiliki karakteristik yang sama dalam situasi tatkala mereka menghadapi masalah
adaptif yang sama atau serupa. Akan tetapi, laki-laki dan perempuan akan
mengembangkan karakteristik yang berbeda dalam situasi tatkala tuntutan adaptifnya
berbeda secara secara substansial (Buss, 1995, Darwin 1871).
Moir dan Jessel mereview penelitian yang menunjukkan bahwa sejak lahir laki-
laki dan perempuan itu berbeda.Perbedaan perilaku utamanya adalah agresi bawaan
alamiah laki-laki.Moir dan Jessel melaporkan bahwa laki-laki lebih baik dibanding
perempuan dalam keterampilan-keterampilan yang memerlukan keterampilan
spasial.Agresi dan keterampilan kemampuan spasial adalah karakteristik yang mungkin
berasal dari peran laki-laki di tahap-tahap evolusi yang lebih awal.
Paling tidak ada tiga kemungkinan untuk dapat mengatasi kontroversi nature-
nurture secara positif. Salah satu kemungkinannya adalah “maskulinitas” dan
“femininitas” menjadi konsep yang ketinggalan zaman karena penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa kedua jenis kelamin sangat mirip secara biologis. Kemungkinan
lainnya adalah bahwa ada perbedaan-perbedaan seks biologis penting dan bahwa laki-laki
dan perempuan mampu untuk saling memanfaatkan kekuatan lawan jenisnya demi
keuntungan bersama.Yang ketiga adalah dari waktu ke waktu laki-laki maupun
perempuan berevolusi, yang bisa dipercepat oleh nurturing yang tepat guna, sehingga
perbedaan-perbedaa seks biologis tidak terlalu menyolok lagi.
2. Maskulinitas, Femininitas, Androgini, dan Skema Gender
Di masyarakat Barat, ciri-ciri psikologis tertentu secara tradisional telah dianggap
feminin, maskulin, atau netral. Peneliti Amerika, Sandra Bem (1974) mengembangkan
Bem Sex-Role Inventory (BSRI) dengan maksud mengakterisasikan seseorang sebagai
feminim, maskulin, atau androgini. Cara lain untuk mendefinisikan androgini termasuk
mengupayakan keseimbangan antara ciri-ciri maskulin dan feminin atau kemampuan
memilih ciri-ciri maskulin dan feminin yang paling diinginkan. Pertimbangan lain yang
berhubungan dengan tipe-tipe seks, termasuk androgini, adalah mereka sangat
dipengaruhi oleh norma-norma kultural tentang apa yang merupakan maskulinitas,
femininitas, dan androgini.
Penggolongan seks sebagian berasal dari kesiapan tergeneralisasi untuk
memproses informasi berdasarkan informasi terkait seks yang merupakan skema gender
(1981: 354). Masyarakat seharusnya menjadi skematik dan berhenti memproyeksikan
gender ke dalam siatuasi-situasi yang tidak relevan dengan perbedan-perbedaan yang
sejatinya biologis. Jika hal ini terjadi, perilaku dan atribut-atribut kepribadian manusia
tidak akan memiliki gender lagi.
3. Perempuan dan Peran Gender
Feminisme
Ketidaksetaraan distribusi kekuasaan adalah isu sentral dalam pemikiran
feminis.Jika Freud berpikir bahwa perempuan iri kepada laki-laki karena mereka
memiliki penis, analisis neo-Freudian, Karen Horney, menganggap bahwa iri hati
perempuan adalah karena laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih besar dan status yang
lebih tinggi di masyarakat (Chaplin, 1999). Enns (1993,2004; Enns & Sinacore, 2001)
telah mengidentifikasi empat filosofi feminisme yang sedikit tumpang tindih yang
menyebabkan para praktisi menginterpretasikan terapi feminis dengan cara yang
beragam.
 Feminis liberal
 Feminis kultural
 Feminis radikal
 Feminis sosialis
 Feminis postmodern
 Women of colour feminist
 Feminis lesbian
 Feminis global-internasional
Penindasan Terhadap Perempuan
Hal yang sentral bagi pemikiran banyak feminis adalah ide bahwa laki-laki telah
memanfaatkan posisi kekuasan dan pengaruh mereka untuk menindas perempuan baik di
dalam maupun di luar rumah. Sue dan Sue (2003) melihat budaya laki-laki kulit putih
arus utama terbias terhadap minoritas etnik rasial, perempuan, homo/lesbian, dan
kelompok-kelompok yang berbeda secara budaya lainnya. Penindasan terhadap
perempuan juga menonjol dalam kelompok-kelompok minoritas, begitu juga komponen-
komponen penindasan.
 Memercayai superioritas laki-laki
 Memercayai inferioritas perempuan
 Kekuasan untuk menerapkan standar
 Manifestasi di dalam institusi
 Cadar yang tak terlihat
Salah satu cara untuk merekonsiliasikan penjelasan-penjelasan ini adalah
menerima bahwa bukan hanya karena laki-laki memiliki kekuasan yang lebih besar,
tetapi tindakan sosial perempuan yang tidak cukup besar untuk melawan hal itu, dulu dan
mungkin sampai sekarang, adalah yang mungkin membuat penindasan perempuan itu
bertahan dan masih terus dipertahankan.
Pengalaman Perempuan dan Isu-isu
Salah satu cara melihat pengalaman perempuan adalah dalam kaitannya dengan
interaksi sosial, politik, dan personal. Cara lain untuk melihat pengalaman perempuan
adalah dalam kaitannya dengan tantangan-tantangan khas sepanjang hidup karena
menjadi seorang perempuan: misalnya, ketegangan pramenstruasi, infertilitas dan
keguguran, melahirkan, depresi pasca melahirkan, menjadi ibu, menopause, dan berumur
lebih panjang dari pada suaminya. Masih ada acara lain untuk melihat pengalaman
perempuan, yaitu dalam kaitannya dengan masalah-masalah kekerasan dalam rumah
tangga, pelecehan seksual, penganiayan seksual, tekanan tanpa belas kasihan untuk
cantik, anoreksia, bulimia, perkosaan, aborsi, menjadi orang tua tunggal, sikap-sikap
yang menghambat pemilihan karier, diskriminasi tempat kerja, dan depresi serta
kelelahan karena harus memikul bagian tanggung jawab pekerjaan/keluarga yang lebih
besar (Greer, 1999).
Perkembangan Identitas Perempuan
Cheatham dan rekan-rekan sejawatnya (1997) juga menyodorkan model lima
tahap perkembangan identitas perempuan yang menggunakan lima tahap yang sama
seperti yang mereka gunakan dalam model perkembangan identitas budaya mereka,
yaitu: naivety, encounter, naming, reflection on self a gender being, dan multi-
perspective internalization.Model-model penahapan feminis dan perkembangan identitas
perempuan adalah hipotesis-hipotesis yang merefleksikan situasi budaya, historis, dan
politis pada saat perkembangannya.
4. Laki-laki dan Peran Gender
Gerakan Laki-laki
Dalam banyak hal penting, gerakan laki-laki lebih bersifat komplementer dari
pada menetang gerakan perempuan. Keduanya mengupayakan kesetaraan diantara jenis-
jenis kelamin dan liberasi manusia, apa pun jenis kelaminnya, untuk berkembang menjadi
manusia seutuhnya tanpa batas-batas preskripsi peran gender yang kaku.
Gerakan kaum laki-laki semakin kurang menekankan tentang memfeminisasi laki-
laki dan lebih menekankan mengembangkan citra positif kejantanan dan kehidupan serta
pengalaman batin laki-laki.Faktor lain dalam bangkitnya gerakan kaum laki-laki adlah
kemarahan terhadap beberapa feminis yang telah berhasil memotret perempuan sebagai
korban dan laki-laki sebagai “penjahatnya”. Selain itu, para penulis feminis yang
memotret laki-laki sebagai penindas mungkin tidak cukup mengakui tanggung jawab
perempuan dalam penindasannya sendiri dan kontribusi perempuan pada penyosialisasian
stereotip peran gender opresif pada anak-anak laki-laki maupun perempuan.

C. PSIKOPATOLOGI
1. Konflik Peran Gender Kaum Laki-laki
Dengan berbagai keterbatasan enkulturasi laki-laki, banyak laki-laki menemukan
bahwa dirinya “tidak sesuai dengan cetakannya”. O’Neil dan rekan-rekan sejawatnya
(1986) telah mengembangkan Gender Role Conflict Scale (GRCS) yang mengidentifikasi
empat pola faktor konflik peran gender untuk laki-laki, yaitu
 Success, power, andcompetition
 Restrictive emotionality
 Restrictive affectionate behavior between men
 Conflict between work and family relations
Ide yang mendasari di balik GRCS adalah proses sosialisasi laki-laki meciptakan
konflik, stres, dan kecemasan bagi laki-laki jika mereka menyimpang dari ideal maskulin.
Kajian tentang konflik peran gender menyoroti fakta bahwa laki-laki dan perempuan bisa
merasa terjebak oleh sosialisasi peran gendernya. Penelitian konflik peran menunjukkan
bahwa ada tempat bagi perkembangan identitas laki-laki dan perempuan dalam kaitannya
dengan peran gender. Saat ini banyak laki-laki memiliki kesadaran yang rendah tentang
efek pengondisian gender pada kesejahteraan psikologisnya.
2. Pengalaman Laki-laki dan Isu-isu
Ada berbagai masalah psikologis yang menimpa laki-laki maupun perempuan,
misalnya masalah perilaku di sekolah, kepedihan akibat ketidakhadiran atau
ketidakpedulian ayah yang kadang-kadang disebut “father hunger”, stres terkait
pekerjaan, alkoholisme, kekerasan fisik, tekanan untuk menginisiasi hubungan dengan
lawan jenis, tekanan untuk perform secara seksual, dll.Di samping itu, banyak laki-laki
ditantang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan pada pasanganya akibat
gerakan kaum perempuan. Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa masalah lain bagi
laki-laki mungkin adalah karena mereka lebih tidak mau mengakui masalahnya dan
mencari bantuan psikologis pada saat dirinya sendiri mengalami kesulitan dan pada saat
menciptakan kesulitan bagi orang lain.

D. TERAPI
1. Tujuan Terapi
Tujuan umumnya termasuk membantu masing-masing klien untuk menggunakan
kekuatan dan potensinya, membuat pilihan yang tepat guna, memperbaiki keterampilan
yang buruk, dan mengembangkan konsep diri yang positif dan fleksibel.
2. Tujuan Terapi untuk Perempuan
Worell dan Remer (2003) mengatakan bahwa tujuan akhir terapi feminis adalah
untuk menciptakan semacam masyarakat dimana seksisme, bersama jenis-jenis
diskriminasi lainnya, tidak ada lagi.Konsekuensinya, tujuan terapi feminis adalah
membantu mereka untuk mendapatkan strategi yang lebih baik, sebuah pendekatan yang
menghindari “menyalahkan korban” atas masalahnya.
Pernyataan tentang tujuan-tujuan terapi yang mempertimbangkan isu-isu seks dan
gender dapat memfokuskan pada isu-isu seumur hidup perempuan dan pada masalah-
masalah yang jauh lebih lazim dihadapi oleh perempuan dan laki-laki (Huffman &
Myers, 1999).
3. Tujuan Terapi untuk Laki-laki
Salah satu tujuan yang lebih luas mungkin untuk meningkatkan jumlah laki-laki
yang siap menghadapi peran gender dan masalah-masalah lainnya dalam
terapi.Konsekuensinya, tujuan terapi lainnya, bilamana mungkin, adalah membuat laki-
laki menyadari sejauh mana pikiran, perasaan, dan perilakunya telah dan masih banyak
ditentukan oleh sosialisasi peran gender di masa lalu maupun saat ini.
Tujuan terapi untuk laki-laki dapat mencakup menangani paling tidak tiga isu
yang diidentifikasi dalam Gender Role Conflict Scale, yakni kebutuhan eksesif untuk
sukses, kekuasan dan persaingan, emosionalitas yang terbatas dan perilaku kasih sayang
(affectionate) yang terbatas di antara kaum laki-laki. Tujuan terapi lain untuk klien laki-
laki termasuk berhenti melakukan kekerasan fisik baik di dalam maupun di luar rumah,
mengatasi stres terkait kerja, mengatasi kecenderungan untuk memperlakukan perempuan
sebagai objek seksual, dan mengembangkan keterampilan merawat kesehatan yang lebih
baik.

E. STRATEGI / PENDEKATAN
Membuat Terapi-terapi yang Sudah Ada Lebih Peka terhadap Gender
Salah satu pendekatan psikodinamik yang disuguhkan dalam buku ini, terapi
analitik Jung jauh lebih menekankan pentingnya femininitas daripada psikoanalisis
Freud.Jung (1982) mengakui pentingnya arketip ibu, yang tampak pada banyak aspek.Di
samping itu, Jung menganggap manusia biseksual secara psikologis, bahwa laki-laki
memiliki anima dan perempuan memiliki animus.Psikologi Jungian menyedeiakan dasar
untuk mengeksplorasi isu-isu peran gender dengan tingkat kesadaran yang bervariasi
(Schaverin, 1999).
Pendekatan konseling dan terapi humanistik juga dapat digunakan dan
diadaptasikan untuk menangani isu-isu peran gender. Klien dalam terapi person centered
dapat mengalami dan mengeksplorasi isu-isu yang berhubungan dengan sosialisasi peran
gender sebelumnya dan isu-isu peran gender saat ini serta konflik-konflik dalam iklim
emosional yang aman dan memercayai. Terapi gestalt dapat menggunakan intervensi-
intervensi, seperti eksperimen kesadaran, penggunaan kursi kosong, dan analisis mimpi
untuk memfokuskan pada pembelajaran peran gender dan perilaku-perilaku yang
memblokir kesenangan dan kehidupan sejati.Di samping itu, dalam analisis transaksional,
terapis dapat membantu klien untuk mengeksplorasi petunjuk skrip tentang perilaku-
perilaku peran gender dan mencapai kebebasan memilih untuk membuang hal-hal yang
bersifat merusak.Pendekatan-pendekatan kognitif perilaku juga memberikan fokus pada
isu-isu peran gender.Misalnya, dalam REBT, keyakinan irasional terkait gender dapat
dideteksi, di dispute, dan dibuang atau disajikan kembali menjadi lebih rasional.
Kompetensi Konseling dan Terapi Relevan Gender
Pernyataan ini dapat diadaptasi untuk kompetensi konseling dan terapi relevan
gender yang terdiri atas tiga dimensi utama: kesadaran asumsi, nilai dan bias; memahami
pandangan klien yang berbeda jenis tentang dunia; dan mengembangkan strategi dan
teknik yang tepat guna. Masing-masing dimensi dibagi menjadi keyakinan, sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.Presumsi dasar dalam menyatakan kompetensi-
kompetensi ini adalah semua terapis perlu melihat tingkat perkembangan identitas
gendernya dan kemampuannya untuk menawarkan pelayanan sensitif gender.

F. TEKNIK
Terapi Feminis
Dalam analisis peran gender, seorang terapis feminis mengeksplorasi dampak
ekspetasi peran gender di masa lalu pada klien, dan terapis bersama klien menggunakan
informasi ini untuk membuat keputusan tentang perilaku-perilaku peran gender di masa
mendatang (Herlihy & Corey, 2005). Salah satu isu dalam terapi feminis adalah apakah
klien dihadapkan dengan isu-isu seksisme dan cara mereka menghadapinya. Di samping
itu, terapis perlu membantu klien perempuan untuk mengantisipasi dan menghadapi
konsekuensi perubahan peran gendernya.Salah satu bahaya dari terlalu cepat
memunculkan isu-isu seksisme adalah klien menolak penjelasan-penjelasannya dan tidak
melihat relevansinya.
Banyak terapis feminis mengembangkan pendekatan-pendekatannya untuk
menangani klien.Misalnya, terapis Inggris Jocelyn Chaplin (1999) telah mengembangkan
sebuah pendekatan “feminisme kognitif”. Terapi mulai dengan tahap trust building
mothering. Tahap kedua melibatkan memfokuskan pada isu-isu spesifik, mengidentifikasi
tema-tema, dan memilahkan hal-hal yang berlawanan.Tahap ketiga mengeksplorasi masa
lalu untuk memahami dari mana hal-hal yang berlawanan dan hierarki-hierarki batiniah
berasala.Tahap selanjutnya melibatkan membubarkan hierarki-hierarki batin. Kemudian
terapi berlanjut ke tahap akhir dimana klien membuat keputusan dan berperilaku dengan
cara yang berbeda di dunia. Selama tahap ini latihan asertivitas membantu banyak
perempuan untuk mengekspresikan diri secara lebih efektif.
Terapi Laki-laki
Seperti halnya gerakan kaum laki-laki yang dapat dilihat sebagai setengah bagian
yang hilang dari gerakan kaum perempuan, terapi laki-laki juga dapat dilihat sebagai
setengah bagian yang hilang dari terapi feminis. Tujuan terapi laki-laki seperti tujuan
terapi feminis, yaitu menghargai diri sendiri berdasarkan standar yang ditetapkannya,
membebaskan diri dari stereotip peran jenis, meningkatkan perasaan sama dengan laki-
laki lain, dan mengupayakan perubahan sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Bem, S. L. (1974) “The measurement of psychological androgyny”, Journal of
Consulting and Clinical Psychology, 42: 155-162.
Bem, S. L. (1981) “Gender schema theory: a cognitive account of sex typing”,
Psychological Review, 88: 354-364.
Buss, D. M. (1995) “Psychological sex differences: origins through sexual
selection”, American Psychologist, 50: 164-168.
Chaplin, J. (1999) Feminist Counselling in Action (2nd edn). London: Sage.
Cheatham, H., Ivey, A. E., Ivey, M. B., Pedersen, P., Rigazio-DiGillio, S., Simek-
Morgan, L. dan Sue, D. W. (1997) “Multicultural counselling and therapy:
1 Metatheory taking theory into practice; 2 Integrative practice”, dalam A.
E. Ivey, M. B. Ivey dan L. Simek-Downing, Counseling and
Psychotherapy: A Multicultural Perspective (4th edn). Boston: Allyn &
Bacon. hlm. 133-205.
Darwin, C. (1871) The Descent of Man and Selection in Relation to Sex. London:
Murray.
Enns, C. Z. (1993) “Twenty years of feminist counseling and theraphy: from
naming biases to implementing multifaceted practice”, The Counseling
Psychologist, 21: 3-87.
Enns, C. Z. (2004) Feminist Theories and Feminist Psychotherapies: Origins,
Themes, and Diversity (2ndedn). New York: Haworth.
Enns, C. Z. dan Sinacore, A. L. (2001) “Feminist theories”, dalam J. Worell (ed.),
Encyclopedia of Gender (Vol. 1). San Diego: Academic Press. hlm. 469-
80.
Greer, G. (1999) The Whole Woman. London: Anchor.
Herlihy, B. dan Corey, G. (2005) “Feminist therapy”, dalam G. Corey, Theory
and Practice of Counseling & Psychotherapy (7th edn). Belmont, CA:
Thomson Brooks/Cole. hlm 338-381.
http://www.psychologymania.net/2010/04/gangguan-identitas-gender-gender.html

Huffman, S. B. dan Myers, J. E. (1999) “Counseling women in midlife: an


integrative approach to menopause”, Journal of Counseling and
Development, 77: 258-266.
Jung, C. G. (1982) Aspects of the Feminine. London: Routledge.
Moir, A. dan Jessel, D. (1989) Brain Sex: The Real Difference Between Men &
Women. London: Mandarin.
O’Neill, J. M., Helms, B. J., Gable, R. K., David, L. dan Wrightsman, L. S.
(1986) “Gender Role Conflict Scale: college men’s fear of feminity”, Sex
Roles, 14: 335-350.
Schaverin, J. (1999) “Jung, the transference and the psychological feminine”,
dalam I. B. Seu dan M. C. Heenan (eds), Feminism &
Psychotherapy: Reflections on Contemporary Theories and
Practices. London: Sage. hlm. J 72-88.
Sue, D. W. dan Sue, D. W. (2003) Counseling the Culturally Diverse: Theory and
Practice (4th edn). New York: John Wiley.

Anda mungkin juga menyukai