Pemahaman Gender
Bahan acuan yang sering digunakan untuk mengawali suatu pembahasan mengenai
masalah jenis kelamin dan gender ialah buku ahli antropologi Margaret Mead mengenai
seksualitas dan tempramen di tiga kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965). Mengapa
hasil penelitian Mead dianggap sedemikian penting? Karena Mead mengemukakan
bahwa dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat dikenal pembedaan kepribadian
laki-laki dan perempuan. Dalam sejarah klasifikasi tersebut (lihat Macionis, 1996)
perempuan unumnya dikaitkan dengan ciri kepribadian tertentu seperti watak keibuan,
tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan,
peduli terhadap keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminim. Laki-laki, di
pihak lain, dikaitkan dengan ciri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas
kuat.
Namun dalam penelitianya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang
tinggal di pengunungan, suku Mundurgumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku
Tschambuli yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut
ternyata tidak berlaku bagi ketiga kelompok etnik tersebut (lihat Mead, 1965). Menurut
Mead, kepribadian kaum perempuan maupun laki-laki di kalangan suku Arapesh
cenderung ke arah sifat tolong-menolong, tidak agresif dan penuh perhatian terhadap
kepentingan orang lain: di sana tidak dijumpai seksualitas kuat maupun dorongan kuat
ke arah kekuasaan. Pada suku Mundurgumor, di pihak lain, baik laki-laki maupun
perempan diharapkan untuk berkepribadian agresif, perkasa dan keras disertai
seksualitas kuat sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibuan dan watak
melindungi hampir tidak nampak. Sedangkan pada suku etnik Arapesh, menurut temuan
Mead, dijumpai keadaan yang bertentangan dengan masyarakat Barat, karena disana
kaum perempuan justru menguasai sedangkan kaum laki-laki berkepribadian emosional
dan kurang bertanggung jawab. Dari temuannya dilapangan mengenai tidak adanya
hubungan antara kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa
kepribadian laki-laki dan perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin
melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat
maupun antarindividu, menurut Mead, merupakan hasil proses sosialisasi, terutama
pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
1
Sosiologi Komunikasi 12
Hasil penelitian Mead tersebut mengantarkan kita ke perbahasan mengenai seks dan
gender. Apa yang dimaksudkan dengan kedua konsep tersebut, dan apa perbedaannya?
Jenis Kelamin
Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki : pada perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Sebagaimana
dikemukakan Moore dan Sinclair (1995:117): “Sex refers to the biological differencer
between men and women, the result of differences in the chromosomes of the embryo.”
Definisi konsep seks tersebut menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh
perbedaan kromosom pada janin. Dengan demikian, manakala kita berbicara mengenai
perbedaan jenis kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya
dijumpai antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi
serta berat badan, pada struktur organ reproduksi dan fungsinya, pada suara, pada bulu
badan dan sebagainya. Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), jenis kelamin
bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat diubah. Contoh yang
diberikannya : hanya perempuanlah yang dapat melahirkan; hanya laki-lakilah yang
dapat menjadikan seorang perempuan hamil.
Gender
Apa perbedaan dengan konsep gender yang digunakan oleh sejumlah ilmuan sosial.
Menurut definisi (Giddens, 1989:158), konsep gender menyangkut ”tentang
psycholigical, social and cuktural differences between males dan females” — perbedaan
psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240)
mendefinisikan gender sebagai : ”the significance a society attaches to biological
categories of female dan male” – arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori
biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan Lasswell dan Lassweel (1987:51)
mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and awarness, whether conscious pr
unconscoius, that one belong to one sex and not to the other” – pada pengetahuan dan
kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu
jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain.
Kalau Giddens menekankan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-
laki dan perempuan, maka ahli lain menekankan pada perbedaan yang di konstruksikan
secara sosial (Moore dan Sinclair, 1995), perbedaan budaya, perilaku, kegiatan, sikap
(Macionis, 1996), perbedaan perilaku (Horton dan Hunt, 1984:152), atau pada
perbedaan pebedaan pengetahuan dan kesadaran seseorang (Lasswell dan Lasswell).
Dari berbagai perumusan tersebut kita dapat melihat bahwa konsep gender tidak
mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, melaikan pada
2
Sosiologi Komunikasi 12
perbedaan psikologi, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan
perempuan.
Contoh mengenai perbedaan gender ini dapat kita lihat, antara lain, pada suku Chambuli
yang dipelajari Margaret Mead. Mead menemukan bahwa perbedaan psikologis antara
laki-laki dan perempuan pada suku Chambuli berlawanan dengan apa yang biasanya
dijumpai pada masyarakat Barat. Kaum laki-laki Chambuli bersifat pemalu bila
berhadapan dengan orang laki-laki lebih tua dalam keluarganya, seperti orang tua atau
kakaknya. Perasaan mereka sangat peka; bilamana perasaan mereka tersinggung
mereka akan cenderung mengundurkan diri dari klannya dan pindah ke tempat tinggal
kerabat dari klan lain. Ciri lain kaum laki-laki Chambuli ialah bahwa mereka pada
umumnya merupakan seniman yang menguasai berbagai cabang kesenian seperti seni
tari, seni rupa, seni rias, seni musik, dan seni pertunjukan dan menganggap kesenian
sebagai bagian terpenting dalam hidupnya.
“We are born male or female, but we learn to be masciline or feminine”. (Lasswell dan
Lasswell, 1982:31)
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis melainkan
dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari
melalui sosialisasi. oleh sebab itu, menurutnya, gender dapat berubah. Contoh yang
diberikannya: baik laki-laki maupun perempuan dapat bekerja sebagai guru, buruh dan
insinyur, dan dapat mengasuh anak dan merawat orang usia lanjut. Proses sosialiasi
yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam sosiologi dinamakan
sosialisasi gender (gender socialization). Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada
umumnya (lihat Bab 3), maka dalam sosialisasi gender agen penting yang berperan pun
terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media masa.
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun berawal
pada keluarga. Keluargalah yang mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki untuk
menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin.
Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses pembelajaran
fimininitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran
gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah semenjak seorang bayi
dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sudah sering diberi busana yang jenis dan
warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana yang dikenakan bayi laki-laki, dan
perbedaan jenis busana dan warnanya semakin mencolok manakala mereka bertambah.
Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda; oleh orang tua dan kerabat lain
3
Sosiologi Komunikasi 12
bayi laki-laki sering diperlakukan lebih kasar daripada bayi perempuan. Korner
mengemukakan, misalnya, bahwa dalam berbagai masyarakat Barat bayi perempuan
cenderung diangkat dan ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong
di kala menangis daripada bayi laki-laki (lihat, antara lain, Korner, dalam Lasswell dan
Lasswell, 1987). Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi sang ibu, bapak,
kerabat lain maupun orang dewasa sering memperlakukan bayi perempuan secara
berbeda dengan bayi laki-laki. Bayi laki-laki, misalnya, diberi julukan maskulin seperti
tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminin seperti cantik
atau manis.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah
mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin (sex-
differentiated toys atau gender-typed toys). Lihat Giddens, 1989 dan Moore dan Sinclair,
1995. Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun
boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang
diberikan kepada bayi perempuan. Kalau bayi perempuan diberi boneka yang
menggambarkan seorang perempuan cantik ataupun seekor hewan halus seperti kelinci
dan bebek, maka bayi laki-laki diberi boneka yang menggambarkan seorang laki-laki
gagah atau seekor hewan buas seperti macan dan beruang. Dengan semakin
meningkatnya usia anak, jenis kelamin yang diberikan pun semakin mengarah ke
peranan gender. Anak perempuan diberi mainan yang berbentuk peralatan
rumahtangga seperti perlengkapan memasak dan menjahit, sedangkan anak laki-laki
diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, ala pertukangan atau
senjata.
Buku ceritera kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisai gender.
Selain menggarisbawahi peran gender, buku-buku demikian sering menonjolkan tokoh
laki-laki yang penuh ambisi, sedangkan perempuan yang berstatus sebagai gadis, istri
ataupun ibu diberi peran sebagai tokoh pembantu yang lebih pasif. Dalam berbagai
ceritera kanak-kanak perempuan diberi peran antagonis, seperti ratu ataupun ibu tiri
yang jahat, atau sebagai nenek sihir.
Kesadaran akan adanya sosialisasi gender melalui pola asuh anak ini telah menimbulkan
keinginan untuk menerapkan pola asuh yang tidak bersifat seksis (yang oleh Giddens
disebut non sexist child-rearing). Namun dalam praktik terbukti bahwa ide semacam ini
tidak mudah dilaksanakan.
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk
perilaku dan sikap kanak-kanak. Di bidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain
menjalankan peran cukup besar. Dijumpainya segregasi menurut jenis kelamin-anak
perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki bermain dengan anak
laki-laki – merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender.
4
Sosiologi Komunikasi 12
Pola segresi menurut seks yang bermula di usia prasekolah ini cenderung bertahan di
kala anak-anak memasuki sekolah, dan bahkan sering dapat berlanjut sampai jenjang
pendidikan tinggi.
Di kala berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cenderung
memainkan jenis permainan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan
fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok bermain perempuan anak perempuan
cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama.
Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai memperhatikan lawan jenis, mereka pun
mulai belajar berbagai teknik untuk menghadapi lawan jenis mereka. Remaja laki-laki
belajar dari teman-temannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif
terhadap perempuan serta mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat ”merebut”
dan ”menaklukkan” mereka. Anak perempuan, di pihak lain, dididik oleh sesamanya
bahwa perempuan harus cenderung pasif, bertahan, mampu mempertahankan
kehormatannya seraya mempertahankan haknya untuk memilih siapa di antara para
pria yang memndekatinya pantas mendapat perhatiannya.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota
yang tidak menaati aturannya. Seorang anak laki-laki yang memilih untuk bermain
dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya, cenderung
dicap ”sissy” atau ”banci” dan menghadapi risiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak
perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan
mereka, yang dapat dicap sebagai tomboy.
Pembelajaran gender di sekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang
digunakan. Ada, misalnya, buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung
mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan serta kesenian. Pun ada buku pelajaran olehraga dan kesehatan yang
dalam mengajarkan berbagai olahraga mengabaikan olahragawati dengan hanya
menonjolkan olahragawan.
Bentuk pembelajaran lain berlangsung melalui apa yang oleh Moore dan Sinclair (1995)
dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum): para guru sering memperlakukan
5
Sosiologi Komunikasi 12
siswi secara berbeda dengan siswa. Perilaku dan sikap yang ditolelir bila dilakukan siswa,
misalnya, ada yang tidak dapat ditolelir bila dilakukan oleh siswi.
Pemisahan yang mengarah ke segresi menurut jenis kelamin sering manakala siswa
mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu. Siswi sering dikelompokkan ke bidang
ilmu sosial dan humaniora, sedangkan siswa cenderung dikelompokkan ke bidang ilmu
pengetahuan alam. Segregasi yang berawal di jenjang pendidikan menengah ini
cenderung berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi.
Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial di kalangan kaum
perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan.
Gerakan ini dinamakan feminisme, yang menurut Giddens (1989:181) telah bermula di
Perancis pada abad 18 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa,
Amerika, Afrika dan Asia. Di bidang politik, gerakan ini terpusat pada perjuangan
persamaan hak pilih dengan laki-laki dan telah menghasilkan hak pilih di banyak negara.
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan
bahkan melarang keikursertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Ada nilai
yang mengemukakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
akhirnya akan ke dapur juga, ada yang mengatakan bahwa perempuan harus
menempuh pendidikan yang oleh orang tuanya dianggap sesuai dengan kodrat
perempuan, dan ada yang berpandangan bahwa seorang gadis sebaiknya menikah pada
usia muda agar tidak menjadi perawan tua. Atas dasar nilai dan aturan demikian, ada
masyarakat yang mengizinkan perempuan bersekolah tetapi hanya sampai jenjang
pendidikan tertentu saja atau dalam jenis atau jalur pendidikan tertentu saja; pun ada
masyarakat yang sama sekali tidak membenarkan anak gadisnya untuk bersekolah.
Sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat
dapat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal. Prestasi
akademik ataupun motivasi belajar sering bukan merupakan penghambat partisipasi
perempuan, karena siswi berprestasi pun sering tidak melanjutkan pendidikannya ke
jenjang lebih tinggi.
6
Sosiologi Komunikasi 12
Sejalan dengan ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak awal abad
yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan jenis pendidikan
pun meningkat dengan pesat pula, baik angka absolutnya maupun proporsi perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian hingga kini kesenjangan kesempatan
pendidikan antara laki-laki masih tetap menandai dunia pendidikan, dan pendidikan bagi
semua orang masih merupakan suatu harapan yang masih jauh dari kenyataan di
lapangan.
Di samping itu, sering dilupakan pula bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan
perempuan di ranah domestik, yaitu penyediaan barang dan jasa bagi sesama anggota
keluarga termasuk suami, merupakan suatu pekerjaan produktif. Jenis pekerjaan ini
menyita banyak waktu dan tenaga dan menguntungkan suami, keluarga serta
masyarakat, namun tidak diberi imbalan materi dan umumnya dianggap sebagai
pekerjaan yang rendah.
7
Sosiologi Komunikasi 12
Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan di berbagai masyarakat ialah
adanya diskriminasi terhadap perempuan (sex discrimination) di bdang pekerjaan. Kasus
ekstrem adalah aturan yang melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik. Pun
ada masyarakat yang menerapkan berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan
seperti dalam hal rekrutmen, pelatihan, magang, atau pemutusan hubungan kerja.
Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerjaan perempuan ialah diskriminasi
terhadap orang hamil (pregnancy discrimination). Diskriminasi terhadap orang hamil
tersebut dapat berbentuk penolakan untuk mempekerjakannya, pemutusan hubungan
kerja, keharusan cuti, dan sanksi lain.
Membicarakan media massa dan gender akan sangat erat kaitanya dengar
memunculkan beberapa pertanyaan antara lain : bagaimana posisi perempuan dan
manajemen Media Massa?, bagaimana potret perempuan dalam periklanan?,
bagaimana potret perempuan dan sinetron indonesia?, bagaimana perempuan dan
program hiburan media televisi?, dan bagaimana pemberitaan masalah perempuan dila
ditinjau dari konstruksi bahasa?
Untuk menjawab beberapa hal tersebut kita langsung saja melihat pada realitas yang
terjadi pada kondisi perempuan dan media massa yang ada di Indonesia.
8
Sosiologi Komunikasi 12
Tidak itu saja simbol-simbol kewanitaan juga menjadi komuditas sendiri dalam
wajah iklan kita, yang dikait-kaitkan untuk menarik rasa penasaran pemirsa yang
berujung pada rasa ingin tahu dan bahkan membeli satu produk tertentu.
Misalnya :
Fenomena Inul Si Raja Ngebor, goyang patah-patah si Anisa Bahar, Trio Macan
dengan aksi fantastisnya, Uut permatasari dengan Goyang Kayang-nya merupakan
wajah ekspolitasi perempuan dalam jagad hiburan kita.
9
Sosiologi Komunikasi 12
Perempuan dalam program hiburan televisi kembali digunakan untuk merebut pasar
dunia hiburan. Ekspolitasi terhadap perempuan dengan berbagai daya tarik
seksualitas menjadi senjata yang paling ampuh untuk memenangkan persaingan di
dunia hiburan.
Secara global struktur muatan pemberitaan media massa pada umumnya belum
secara berimbang perespons kepentingan perempuan. Pemberitaan media massa
umumnya masih mendominasi ruang publik bagi laki-laki. Kalaupun ada
pemberitaan perempuan hanya sebatas persoalan-persoalan kecantikan,
keterampilan rumah tangga, pengasuh anak. Sangatlah terbatas persolan politik,
militer, olahraga, pemerintahan lokal yang memuat tentang perempuan.
Penggunaan kata dan kalimat seperti contoh diatas merupakan konstruksi bahasa
yang digunakan media massa untuk menggambarkan perempuan korban perkosaan.
Sebagaimana halnya dengan buku keritera untuk kanak-kanak dan remaja serta buku
pelajaran di sekolah, maka media massa pun sangat berperan dalam sosialisasii gender,
baik melalui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang
dipasang di dalamnya. Media massa, baik media cetak maupun elektronik, sering
memuat iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan
yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti zat pembersih
lantai, pembasmi serangga, sabun cuci, tapal gigi, bumbu masak, minyak goreng, bakmi
cepat saji, misalnya, cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu
rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk
mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung
menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah
publik berjumlah banyak, namun iklan demikian sering menekankan pada jenis
pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah
dalam organisasi, seperti misalnya peran sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris,
10
Sosiologi Komunikasi 12
atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur
bank atau kapten penerbangan.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah mulai
membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan media massa kini sudah mulai
menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender dan menonjolkan
persamaan peran gender. Meskipiun demikian, gerakan tersebut hingga kini masih
belum mampu menganggulangi praktik pemuatan iklan yang mengandung stereotip
gender.
Daftar Pustaka
11