Anda di halaman 1dari 10

Etika Periklanan, 6th 1

Agenda
1. EPI Bab III.A. butir 1.19 s/d 1.27
2. Diskusi kasus-kasus

EPI Bab III.A. – 1.19. Perbandingan

1.19.1. Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-


aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama.

1.19.2. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi,


sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas.
Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan
atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut.

1.19.3. Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak
menyesatkan khalayak.

Butir di Etika Pariwara di atas menegaskan bahwa berbeda dengan Tata Krama
dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI), EPI telah mengakomodasi iklan
yang bersifat perbandingan langsung selama perbandingan tersebut dilakukan
untuk aspek-aspek yang berhubungan dengan teknis produk dan dengan
kriteria yang tepat sama. Hal ini dimaksudkan agar konsumen dapat dengan
mudah menganalisa perbandingan tersebut tanpa harus mencari-cari
data/informasi lainnya. Pengertian “perbandingan langsung” adalah bahwa
suatu produk dapat menampilkan dalam iklannya produk dari pesaingnya
secara utuh (lengkap dengan nama produk pesaing tersebut) seperti contoh
iklan berikut:

Iklan di samping ini adalah iklan dari


produk kondom merek Fiesta. Dalam
iklan ini, ditampilkan secara lengkap
kemasan dan merek dari produk
pesaingnya; yaitu kondom merek
Durex. Di bawah masing-masing
kemasan produk tersebut disebutkan
beberapa aspek teknis yang
diperbandingkan. Iklan seperti ini
dinilai tidak bertentangan dengan butir
di atas.

Konsekuensi dari iklan seperti ini


adalah bahwa produk yang memulai
membuat iklan perbandingan harus
siap menghadapi iklan “balasan” dari
pesaingnya.

Pendekatan perbandingan haruslah


dilakukan dengan hati-hati, karena bila
Etika Periklanan, 6th 2

tidak dapat melakukan perbandingan dengan tepat maka iklan tersebut dapat
dinilai melanggar butir EPI 1.21 di bawah, khususnya kejadian pelanggaran ini
makin besar probabilitiasnya bila pada iklan perbandingan tersebut tidak
disebutkan secara spesifik produk apa yang menjadi pembandingnya
(disamarkan). Contohnya dapat dilihat pada iklan di bawah ini:

Iklan dari produk Vitazone di atas ingin menyampaikan kepada konsumennya


bahwa produknya tanpa pengawet dan mereka melakukan tes sederhana untuk
menyakinkan konsumen mereka dengan cara mengisi 2 botol (satu botol
Vitazone dan satu lagi botol dari pesaing mereka yang tidak ditampilkan dengan
jelas identitasnya) dengan air panas. Masalah yang paling mendasar adalah
bahwa tidaklah mudah bagi konsumen untuk memahami pengisian botol
Vitazone dengan materi yang panas adalah suatu jaminan pasti bahwa produk
tersebut tidak mengandung pengawet. Di sisi lain, visual yang diberikan
tidaklah memberikan gambaran yang jelas kepada konsumen, pada suhu air
berapakah sebenarnya ke dua botol tersebut di tes.

Vitazone sebenarnya dapat dengan mudah melakukan perbandingan dengan


fokus pada ada atau tidaknya bahan pengawet dengan (misalnya) menampilkan
daftar isi dari botol Vitazone yang dibandingkan dengan daftar isi dari produk
pesaingnya. Bila hal ini dilakukan, sebenarnya tidak akan bertentangan dengan
EPI.

Contoh yang lain di bawah ini adalah suatu iklan produk permen lolipop Milkita
yang membandingkan kandungan yang ada pada produk itu dengan produk
susu. Dalam iklannya, tersebut pernyataan bahwa: “Dua lolipop Milkita sama
dengan segelas susu”. Perhatikan kata “sama dengan” yang diperkuat dengan
visual tanda “ = “ pada iklannya.
Etika Periklanan, 6th 3

Pernyataan tersebut sangat berbahaya bagi konsumen dan sangat tidak tepat
karena sebenarnya produk permen lolipop tersebut tidaklah dibuat 100% dari
bahan susu. Dalam penyelidikan selanjutnya, pihak pengiklan hanya dapat
berargumen bahwa kandungan kalsium pada 2 lolipop Milkita sama dengan
kandungan kalsium pada segelas susu. Badan Pengawas Periklanan tetap
menyarankan agar iklan ini tidak ditayangkan karena dalam satu gelas susu
isinya tidaklah hanya sekedar kalsium, tapi banyak kandungan gizi, mineral dan
vitamin lainnya yang tidak terdapat pada permen lolipop Milkita.

EPI Bab III.A. – 1.20. Perbandingan Harga

Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan


produk, dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.

Butir ini ingin menyatakan bahwa suatu iklan dari suatu produk bisa saja
menyatakan bahwa produknya lebih murah daripada produk sejenis lainnya
karena (misalnya): a) mengandung volume yang lebih banyak dengan harga
yang sama, atau b) harga yang lebih murah untuk volume yang sama. Selama
ini, BPP belum menemukan pelanggaran terhadap butir ini.

EPI Bab III.A. – 1.21. Merendahkan

Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak
langsung.

Seperti telah disebutkan dalam uraian atas butir 1.19 di atas, seringkali
pelanggaran terhadap butir 1.21 terjadi karena dimunculkannya perbandingan
yang tidak tepat. Satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah iklan cetak
Vitazone sebagai berikut:
Etika Periklanan, 6th 4

Iklan ini ingin menyampaikan bahwa produk


minuman berbahan pengawet adalah produk
yang berbahaya. Visual iklan ini
menampilkan gambar seorang pria yang
menghadapi sebuah kepala rusa yang
diawetkan. Di bawahnya tercetak kalimat:
“Belum saatnya anda diawetkan”. Di bagian
bawahnya tercetak kalimat: “Apakah selama
ini anda minum pengawet??? Hati-hati!!!
Tidak semua minuman bebas pengawet.”

Pernyataan-pernyataan di atas sangat


bersifat profokatif dan pernyataan tersebut
tidak saja menyerang produk pesaing
langsungnya (yaitu minuman isotonik) tapi
juga menyerang seluruh produk makanan
dan minuman yang berbahan pengawet.
Masalahnya, bahan pengawet yang
digunakan dengan ukuran yang tepat dan
sesuai daftar di Departemen Kesehatan RI ataupun Badan POM bukanlah
bahan berbahaya yang patut ditakuti oleh konsumen. Iklan ini dengan demikian
menakut-nakuti konsumen tanpa suatu dasar yang jelas dan obyektif. .

Untuk butir ini, BPP ingin memberikan catatan bahwa BPP akan mengusulkan
agar kata-kata “tidak langsung” dapat direvisi oleh Dewan Periklanan Indonesia
karena kata-kata tersebut dapat mengakibatkan interpretasi yang sangat luas
dan bahkan bisa bertentangan dengan butir 1.19 di atas (secara praktis, suatu
iklan perbandingan pasti akan berusaha menonjolkan produk dari produsen
yang beriklan dan memberikan posisi yang lebih rendah bagi produk
pesaingnya).

EPI Bab III.A. – 1.22. Peniruan

1.22.1. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing
sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun
menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut
meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi
musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model,
kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi
huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon
atau atribut khas lain, dan properti.

1.22.2. Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu
digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan
hingga kurun dua tahun terakhir.
Etika Periklanan, 6th 5

Untuk butir 1.22.1, BPP belum mempunyai kasus yang dapat dibahas di sini.
Dapat diasumsikan di sini bahwa industri periklanan menyadari bahwa suatu
iklan yang dibuat dengan cara meniru iklan produk pesaing tidaklah akan
efektif dan akan mengundang kontroversi yang hebat.

Dalam butir 1.22.2, yang dimaksud dengan ikon atau atribut khas adalah
(misalnya) suatu jargon yang digunakan dalam satu iklan, cara menyibakkan
rambut, atau gerakan-gerakan khas tertentu dari bagian tubuh.

Contoh iklan biskuit Mio Topping di atas menampilkan seorang tokoh anak
laki-laki yang beberapa bulan sebelumnya telah digunakan sebagai model iklan
untuk produk sejenis yaitu Gary Chocolate. Pada iklan ini, anak laki-laki
tersebut menggerakkan tangan kirinya (seperti membentuk huruf “V”) dan
mengucakan kata “lanjut”. Gerakan tangan dan kata “lanjut” tersebut juga
muncul/digunakan pada iklan Gary Chocolate tersebut. Pihak Gary Chocolate
mengajukan protes atas iklan Mio Topping tersebut dan BPP setuju bahwa iklan
ini melanggar butir 1.22.2.

EPI Bab III.A. – 1.23. Istilah Ilmiah dan Statistik

Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk


menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.

Iklan Margarine Forvita di bawah ini dapat menjadi contohnya:


Etika Periklanan, 6th 6

Dalam iklan ini disebutkan bahwa Margarine Forvita lebih baik daripada
margarine lainnya karena tidak mengandung “lemak jahat”. Tidak ada
penjelasan apapun juga mengapa margarine Forvita tidak mengandung “lemak
jahat” dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “lemak jahat”. Bila yang
dimaksud dengan “lemak jahat” adalah lemak hewani (dimana lemak hewani
mengandung kolesterol “jahat”), maka iklan ini menyesatkan konsumen karena
margarine apapun juga pasti tidak mengandung “lemak jahat/hewani” karena
margarine dibuat dari bahan tumbuh-tumbuhan. Bahan oles roti lainnya yang
berasal dari bahan hewani adalah “butter” yang berasal dari susu sapi.

EPI Bab III.A. – 1.24. Ketiadaan Produk

Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya
produk yang diiklankan tersebut.

BPP belum menemukan adanya kasus pelanggaran terhadap butir 1.24.


Pelanggaran terhadap butir ini umumnya akan mudah diketahui oleh
konsumen. Beberapa kasus di masa lalu biasanya berkaitan dengan
dipasangnya iklan untuk suatu produk di media massa yang bersifat nasional
tapi ternyata produknya hanya tersedia (misalnya) di Jakarta saja. Hal ini perlu
dicermati oleh pengiklan agar pada iklan produk-produk yang distribusinya
masih terbatas sebaiknya disebutkan dengan jelas keterbatasan distribusi
tersebut di iklannya.

EPI Bab III.A. – 1.25. Ketaktersediaan Hadiah

Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata
lain yang bermakna sama.

Pernyataan senada lain yang juga sering


digunakan misalnya “tempat terbatas”
atau “persediaan terbatas”. Masih cukup
sering butir 1.25 ini dilanggar oleh
pengiklan. Alasan mengapa butir ini
dicantumkan dalam EPI adalah bahwa
konsumen berhak mengetahui apakah
sebenarnya pengiklan benar-benar tulus
dalam melakukan promosi (memberikan
hadiah). Dengan pernyataan-pernyataan
seperti di atas, konsumen dalam posisi
yang sangat lemah dan sangat tidak
dimungkinkan konsumen melakukan
audit terhadap hadiah yang akan
dibagikan karena pernyataan tersebut
mempunyai interpretasi yang sangat luas.
Sebenarnya, pengiklan perlu sangat
memperhatikan hal ini karena dengan
Etika Periklanan, 6th 7

mencantumkan pernyataan-pernyataan seperti tersebut justru membuat


produknya mendapat citra yang negatif dari konsumen (apalagi bila kemudian
konsumen dikecewakan karena ternyata “hadiah telah habis”).

Alternatif yang jauh lebih positif adalah dengan menyebutkan, misalnya: a)


menetapkan periode tertentu masa promosi (dengan resiko bahwa jumlah
hadiah harus terus ada sampai periode tersebut berakhir), b) menetapkan
jumlah hadiah yang memang telah disiapkan oleh produsen (misalnya dengan
menyebutkan: “untuk 1.000 pembeli pertama”), c) menggabungkan
pembatasan jumlah hadiah dan periode promosi (sehingga walaupun hadiah
belum habis tapi periode sudah lewat maka promosi dapat dihentikan) atau d)
mencantumkan tanda khusus pada produk yang berhadiah (setiap konsumen
yang membeli produk bertanda khusus pasti akan memperoleh hadiah).

Contoh pelanggaran yang pernah dicatat oleh BPP antara lain iklan promosi
dari TV LG di atas.

EPI Bab III.A. – 1.26. Pornografi dan Pornoaksi

Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa
pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.

Untuk menambahkan informasi mengenai apa saja yang tercakup pada


pornografi dan pornoaksi, dapat dikutipkan di sini lampiran dari Standar
Program Siaran yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia mengenai
adegan seksual, sebagai berikut:

a. mengeksploitasi bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap dapat


membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin;
b. menayangkan penampakan alat kelamin, ketelanjangan atau kekerasan
seksual;
c. adegan gerakan tubuh atau tarian yang dapat membangkitkan gairah seks,
khususnya bagian tubuh sekitar dada, perut, pinggul/pantat;
d. adegan berpelukan mesra sambil bergumul antara lawan jenis maupun
sesama jenis yang dapat membangkitkan libido;
e. adegan menyentuh, meraba, atau meremas bagian tubuh yang dapat
membangkitkan birahi seperti pada paha, selangkangan, bokong, buah dada,
atau perut;
f. adegan ciuman bibir penuh nafsu dan adegan ciuman pada bagian-bagian
tubuh yang dapat membangkitkan birahi, seperti pada leher, buah dada,
telinga, atau perut;
g. adegan masturbasi atau mengesankan masturbasi secara terbuka atau
samar-samar (bayangan, siluet, atau suara);
h. percakapan atau adegan yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah
hubungan seks dan/atau persenggamaan;
Etika Periklanan, 6th 8

i. menampilkan persenggamaan atau hubungan seks heteroseksual,


homoseksual/lesbi, atau benda tertentu yang menjadi simbol seks secara
terbuka atau samar-samar (bayangan dan siluet);
j. suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya
kegiatan hubungan seks dan/atau persenggamaan;
k. percakapan atau adegan yang menggambarkan hubungan seks
antarbinatang secara vulgar, antara manusia dan binatang atau alat peraga
lainnya;
l. adegan yang menunjukkan terjadinya pemerkosaan atau kekerasan seksual;
m. lirik lagu yang secara eksplisit dapat membangkitkan hasrat seksual; atau
n. pembicaraan mengenai hubungan seksual secara gamblang,

Beberapa contoh iklan yang pernah ditegur oleh BPP, misalnya iklan Durex
yang dikirim melalui telepon selular dalam format seperti permainan tetris:

Contoh yang lain adalah iklan TV dari produk permen Sukoka:

Iklan di atas mengusung unsur erotisme yang berlebihan dengan


mengeksploitasi bagian dada dari pemeran wanita (dikaitkan dengan
produknya yang merupakan permen campuran rasa susu dan kopi).

EPI Bab III.A. – 1.27. Khalayak Anak-anak

1.27.1. Iklan yang ditujukan kepada khalayak anak-anak tidak boleh


menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani
dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan,
kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka. (Lihat juga Penjelasan)

1.27.2 Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu
siaran khalayak anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan,
aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit
wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol
yang bermakna sama.
Etika Periklanan, 6th 9

Anak-anak; ialah orang atau kelompok orang di bawah usia 12 tahun,


kecuali dinyatakan lain.

Perlindungan terhadap khalayak anak-anak termasuk satu hal yang sangat


diperhatikan dalam etika periklanan di banyak negara. Hal ini disebabkan
secara psikologis anak-anak masih belum mampu memberikan justifikasi
obyektif atas isi pesan yang mereka terima melalui iklan. Interpretasi mereka
terhadap iklan seringkali lebih dipengaruhi oleh ketertarikan mereka terhadap
unsur-unsur “permukaan” dari suatu iklan (misalnya: model yang digunakan,
humor, jargon-jargon yang sedang populer, warna-warni yang menarik dan
sejenisnya).

Iklan seyogyanya tidak membuat khalayak anak-anak menjadi mempunyai


perilaku konsumtif tanpa dasar-dasar pengambilan keputusan yang obyektif.
Belum lagi bahaya yang ditimbulkan dari adanya iklan-iklan dari produk yang
ditujukan untuk anak-anak tetapi sebenarnya pengambilan keputusannya harus
dilakukan oleh orang-dewasa (misalnya: obat-obatan untuk anak-anak).

Satu contoh iklan yang dapat disampaikan di sini adalah iklan dari produk
wafer krim keju Oops.

Dalam iklan ini tokoh anak menggunakan teknik “merengek-rengek” kepada


tokoh ibu dengan mengucapkan berkali-kali “kejunya ma, kejunya ma”.
Rengekan si anak tersebut sangat besar kemungkinannya akan ditiru oleh
pemirsa anak-anak dan hal ini tentunya bukanlah suatu kebiasaan positif yang
pantas ditiru.

Tugas

1. Pelajari Etika Pariwara Indonesia Bab III.A. butir 2.1. sampai dengan 2.7
(dan penjelasannya bila perlu)
Etika Periklanan, 6th 10

2. Cari iklan-iklan yang menurut anda berpotensi melanggar butir-butir di atas


(petunjuk detil akan dikirim via mailing list)

Tugas Kelompok:

1. Buat kelompok maksimal 4 orang per kelompok (minimal 3 orang)


2. Buat analisa pro-con pelarangan total iklan rokok di media massa termasuk
kegiatan sponsorship dan events. bila iklan rokok tetap diperbolehkan di
Indonesia, apakah menurut kelompok anda, persyaratan penayangan iklan
rokok yang saat ini berlaku masih relevan ataukah perlu lebih diperketat?
Bila kelompok anda memutuskan untuk tetap menggunakan persyaratan
iklan rokok yang berlaku sekarang, apa alasannya? Bila kelompok anda
memutuskan untuk memperketat iklan rokok, sebutkan apa saja saran-saran
dari kelompok anda untuk memperketat persyaratan penayangan iklan
rokok di Indonesia?
3. Perincian mengenai penugasan ini dapat dilihat di mailing list.
4. Kirimkan dalam bentuk softcopy (MS Word) maksimal 4 halaman A4 satu
spasi ke ridwanh@yahoo.com pada tgl. 28/04/10

Referensi

 Dewan Periklanan Indonesia, Etika Pariwara Indonesia, cetakan ke 3,


2007
 Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, Laporan Badan Pengawas
Periklanan, 2005 - 2009
 Komisi Penyiaran Indonesia, Standar Program Siaran, 2009

---o0o---

Anda mungkin juga menyukai