Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT MANUSIA DAN THERAPI COGNITIVE

Universitas Gunadarma, Depok


Terapi Kognitif

1. Tokoh : Dr.Aaron Beck


Konseling kognitif selalu dikaitkan dengan karya Aaron T. Beck (Corey,
2009; Flanagan & Flanagan, 2004; Seligman, 2006; Sharf, 2012; Parrot III, 2003).
Lahir pada tahun 1921, Beck menerima gelar sarjana dari Brown University dan
gelar doktor kedokterannya dari YaleUniversitas pada tahun 1946. Dari tahun
1946 sampai 1948 ia magang di patologi di Rhode Island Hospital di Providence.
Setelah pengalaman itu, ia adalah seorang yang berkecimpung di bidang
neurologi, kemudian menjadi psikiatri di Cushing Veterans Administration
Hospital di Framingham, Massachusetts.
Selain itu, ia adalah seorang rekan di psikiatri di Austen Riggs Center di
Stockbridge, Massachusetts. Pada tahun 1953, ia telah disertifikasi dalam psikiatri
oleh American Board of Psychiatryand Neurology. Pada tahun 1956, ia lulus dari
Philadelphia Psychoanalytic Institute. Dia bergabung dengan fakultas dari
Departemen Psikiatri dari Medical School of the University of Pennsylvania, di
mana dia sekarang Profesor Emeritus. Penelitian awal tentang depresi (Beck,
1961, 1964) menyebabkan publikasi Depression: Clinical, Experimental, and
Theoretical Aspects (1967), yang membahas pentingnya kognisi dalam mengobati
depresi. Sejak itu ia telah menulis atau turut menulis lebih dari 500 artikel dan 25
buku yang terkait dengan terapi kognitif dan pengobatan berbagai gangguan
emosional. Putrinya, Judith S. Beck, psikolog, saat ini direktur Beck Institute for
Cognitive Therapy and Research dekat Philadelphia, Pennsylvania, dan Aaron
Beck adalah presidennya.
Awalnya Beck adalah praktisi psikoanalisa. Beck (2001) mengamati
verbalisasi dan asosiasi bebas dari pasiennya. Terkejut bahwa pasien mengalami
pikiran yang hampir tidak sadar dan tidak melaporkan sebagai bagian dari asosiasi
bebas mereka, ia menarik perhatian pasiennya untuk pikiran-pikiran ini. Tampil
dengan cepat dan otomatis, pikiran-pikiran ini atau kognisi yang tidak berada
dalam kendali pasien. Seringkali pikiran-pikiran otomatis yang tidak pasien sadari
diikuti oleh perasaan tidak menyenangkan bahwa mereka sangat menyadarinya.
Dengan meminta pasien menceritakan pengalaman mereka saat ini, Beck mampu
mengidentifikasi tema negatif, seperti kekalahan atau tidak mampu, yang ditandai
pandangan mereka tentang masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Setelah dilatih sebagai psikoanalis, Beck membandingkan pengamatan
pikiran otomatis dengan konsep Freud tentang prasadar. Beck tertarik pada apa
yang orang katakan kepada diri mereka sendiri dan cara mereka sendiri – mereka
dipantau sistem komunikasi internal sendiri. Dari komunikasi internal dalam diri
mereka sendiri, individu membentuk pola keyakinan. Dari keyakinan ini, individu
merumuskan aturan atau standar untuk diri mereka sendiri, yang disebut skema,
atau pola pikir yang menentukan bagaimana pengalaman akan dianggap atau
ditafsirkan. Beck menyadari bahwa pasiennya, terutama mereka yang mengalami
depresi, menggunakan percakapan internal yang dikomunikasikan menyalahkan
diri sendiri dan self-critic. Pasien tersebut sering memprediksi kegagalan atau
bencana bagi diri mereka sendiri dan interpretasi negatif yang dibuat di mana
yang positif akan menjadi lebih tepat.
Dari pengamatan ini, Beck merumuskan konsep pergeseran kognitif
negatif, di mana individu mengabaikan banyak informasi positif yang relevan
dengan diri mereka sendiri dan berfokus pada informasi negatif tentang diri
mereka sendiri. Untuk melakukannya, pasien dapat mendistorsi pengamatan
peristiwa dengan melebih-lebihkan aspek negatif, melihat hal-hal seperti semua
hitam atau putih semua. Komentar seperti “Saya tidak pernah bisa melakukan
sesuatu dengan benar,” “Hidup tidak akan pernah memperlakukan saya dengan
baik,” dan “Saya putus asa” adalah contoh pernyataan yang overgeneralized,
berlebihan, dan abstrak. Beck menemukan pemikiran tersebut, khas orang yang
mengalami depresi, terjadi otomatis dan terjadi tanpa kesadaran. Banyak dari
pemikiran ini berkembang menjadi keyakinan tentang tidak berharga, yang
dicintai, dan sebagainya. Keyakinan tersebut, Beck berhipotesis, terbentuk pada
tahap-tahap awal dalam hidup dan menjadi skema kognitif yang signifikan.
Misalnya, seorang mahasiswa yang memiliki beberapa ujian datang dalam minggu
depan mungkin mengatakan kepada dirinya sendiri, “Aku tidak akan pernah lulus,
saya tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar.” Ekspresi seperti ini merupakan
verbalisasi dari skema kognitif menunjukkan kurangnya self-worth. Siswa dapat
mengekspresikan keyakinan tersebut meskipun fakta bahwa dia siap untuk ujian
dan telah dilakukan dengan baik sebelumnya di sekolahnya. Dengan demikian,
keyakinan bertahan meskipun bukti yang bertentangan mereka.
Meskipun pekerjaan awal Beck berfokus pada depresi, ia menerapkan
konsep tentang pikiran-pikiran otomatis, keyakinan terdistorsi, dan skema kognitif
dengan gangguan lain. Sebagai contoh, ia menjelaskan gangguan kecemasan
sebagai dominasi oleh ancaman kegagalan atau ditinggalkan. Dari pengamatan
pasien, Beck mengidentifikasi skema kognitif yang umum untuk orang-orang
dengan jenis gangguan emosional dan strategi yang dikembangkan untuk
mengobati mereka.
2. Filosofi
Sisi filosofis CBT adalah mengakui bahwa orang-orang memegang nilai-
nilai dan keyakinan tentang diri mereka sendiri, dunia, dan orang lain. Membantu
orang mengembangkan flexibel, non-extreme, dan sel-helping beliefs yang
membantu mereka beradaptasi dengan realitas dan mengejar tujuan mereka.
Seperti namanya, CBT juga menekankan pada tingkah laku. Banyak teknik CBT
melibatkan mengubah cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara
bersikap, CBT melibatkan identifikasi pikiran, kepercayaan dan makna yang
diaktifkan ketika klien merasa terganggu emosinya.
3. Psikopatologi
a. Gangguan Paranoid                                                                                                    
Penderita gangguan paranoid atau delusional senantiasa merasa  ada
seseorang yang akan menipu, membohongi, mengikuti dari belakang, atau
berencana mencelakai dirinya. Sebagai gejala lainnya, seseorang dengan
gangguan paranoid cenderung mudah marah, sedih, atau tersinggung.
Pasien juga kemungkinan mengalami halusinasi, seperti mendengar suara
atau mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Selain diberi terapi untuk mengenali diri sendiri, pasien juga diberi terapi untuk
belajar mengubah pola pikiran dan perilaku. Jadi, perilaku yang membuatnya
terus-menerus merasa cemas, takut, dan curiga, berangsur-angsur akan
hilang.Terapi dapat membantu pasien untuk belajar mengontrol gejala yang
dirasakan, mengenali tanda-tanda jika penyakit tersebut kambuh, dan
mencegah terjadinya kambuh.Mereka cenderung untuk menyendiri karena
merasa curiga entah ada orang lain yang berusaha membohongi, memanipulasi,
atau menyebarkan rahasia mereka. Akibatnya, orang dengan gangguan paranoid
bisa enggan mengikuti pengobatan yang disarankan.
b. Depresi
Terapi kognitif dapat menjadi cara yang efektif untuk meredakan pikiran-
pikiran. Ketika digunakan untuk depresi, terapi kognitif menyediakan
peralatan mental kit yang dapat digunakan untuk menantang pikiran
negatif. Selama jangka panjang, terapi kognitif untuk depresi dapat
mengubah cara orang yang depresi melihat dunia.Penelitian telah
menunjukkan bahwa terapi kognitif bekerja setidaknya serta antidepresan
dalam membantu orang dengan depresi ringan hingga sedang. Pengobatan
dengan obat-obatan dan / atau psikoterapi dapat mempersingkat saja
depresi dan dapat membantu mengurangi gejala seperti kelelahan dan
miskin harga diri yang menyertai depresi. Baca terus untuk melihat
bagaimana terapi kognitif atau terapi bicara dapat membantu Anda mulai
berpikir dan merasa lebih baik jika Anda mengalami depresi.
1. Terapi kognitif bekerja serta obat-obatan antidepresan saja untuk
meningkatkan depresi ringan sampai sedang.
2. Terapi kognitif bekerja serta obat-obatan antidepresan untuk mencegah
kambuh depresi.
3. Terapi kognitif mengurangi gejala sisa depresi.
c. Sosial Fobia
Penderita sosial fobia seringnya memiliki pola pikir yang kurang sehat.
Mereka selalu cemas. Kecemasan pada sosial fobia umumnya karena
penderita sosial fobia tidak ingin mendapat penilaian yang jelek atau
penolakan dari orang lain. Beberapa kepercayaan atau pikiran pada diri
seorang penderita sosial fobia yang sering ditemui adalah:
1) bila tidak ada yang bisa saya omongkan atau sampaikan, itu akan jadi
bencana.
2) mereka akan mulai tidak menyukai saya.
3) saya harus kelihatan mampu
4) saya harus kelihatan menarik atau saya akan gagal
5) bila mereka melihat saya cemas atau gelisah, mereka akan menilai
bahwa saya lemah karenanya seorang penderita sosial fobia akan
selalu cemas dan menarik diri atau menghindar dari melakukan tuga
tugas dimana dia harus tampil atau kelihatan. Untuk itu, dalam
mengobati sosial fobia langkah yang harus dilakukan adalah:
a) Menata ulang setiap pikiran yang tidak realistis atau tidak
membantu (tidak sehat) dengan cara yang lebih mencerminkan
realitas situasi dan lebih membantu dalam kehidupannya.
b) Menempatkan keyakinan baru yang  lebih bermanfaat dalam
praktek dengan mendasarkan perilakunya pada pikiran atau
kepercayaan baru tersebut.
c) Belajar untuk mengidentifikasi pikiran yang lewat di kepala
penderita sosial fobia dalam menanggapi peristiwa, dan
interpretasi mereka  terhadap  peristiwa dan situasi tersebut.
d) Belajar bagaimana melihat setiap pikiran-pikiran secara objektif,
dan memutuskan apakah pikiran pikiran tersebut mewakili
penilaian yang wajar dari situasi (ini untuk menantang mereka
agar mempunyai pikiran atau kepercayaan alternatif ).         
4. Goals
Terapi kognitif memiliki tujuan eksplisit mengisi kembali energi reality
testing system (sistem pengujian realitas). Dengan derajat yang bervariasi, klien
dengan bermacam-macam gangguan psikopatalogis pasangan dengan hubungan
yang mengalami distress telah kehilangan kemampuannya untuk menguji realitas
interpretasi disfungsionalitas.
Terapi kognitif mengajarkan meta-kognisi bagaimana memikirkan tentang
pikirannya kepada klien sehingga klien dapat mengoreksi pemrosesan kogntifnya
yang keliru dan mengembangkan asumsi yang memungkinkannya untuk
mengatasi kesulitan. Meskipun terapi kognitif ada awalnya mencoba
menghilangkan gejala, tujuan akhirnya adalah untuk menghilangkan bias-bias
sistematik dalam cara berpikir klien. Selain itu, terapi kognitif bermaksud
memerikan keterampilan perilaku yang relevan dengan masalah klien, misalnya
keterampilan mendengarkan atau keterampilan komunikasi bagi pasangan yang
mengalami distress atau keterampilan asertif untuk orang-orang pemalu.
Klien diberitahu bahwa tujuan terapi kognitig adalah agar klien belajar
menjadi terapis bagi dirinya. Ketika menangani kognisi klien, tujuannya untuk
termasuk mengajarinya untuk: memonitor pikiran otomatik negatifnya, mengenali
hubungan antara kognisi, afek, dan perilaku; memeriksa dan menguji realitas
bukti –bukti yang mendukung dan berlawanan dengan pikiran otomatik yang
terdistorsi; menggantikan kognisi-kognisi terbias dengan interpretasi-interpretasi
yang realistis, dan belajar mengidentifikasi dan mengubah keyakinan yang
mempredisposisikannya untuk mendistorsi pengalamannya.

5. Teknik-teknik terapi kognitif


Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus
diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat
agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secar optimal. Dalam pelaksanaan teknik-
teknik ini harus dipadukan dengan kemampuan lain seperti teknik komter, milieu
therapy dan counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain: 
a. Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)
Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan pengamatan
terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturasasi
dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan
dan pemikiran yang mungkin muncul. Biasanya dengan menggunakan
pendekatan 5 kolom. Masing-masing kolom terdiri atas perasaan dan
pikiran yang muncul saat menghadapi masalah terutama yang dianggap
menimbulkan kecemasan saat ini.
b. Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan
pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk
memudahkan menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan
perawat saat memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk
mendukung keyakinan dan kepercayaannya. Klien yang mengalami
distorsi dalam pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama
terhadap semua sumber data atau data-data yang tidak disadarinya,
seringkali klien menganggap data-data itu mendukung pemikiran
buruknya. Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain dalam
masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan
tersebut dapat memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien
dibanding dengan pemikiran-pemikiran buruknya. Dalam hal ini
penemuan fakta dapat berfungsi sebagai penyeimbang pendapat klien
tentang pikiran buruknya. Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien
bisa mengambil kesimpulan yang tepat tentang perasaanya selama ini.
c. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Bayak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak
adanya alternative pemecahan lagi. Khususnya pada pasien depresi dan
percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan mencari alternatif-
alternatif pemecahan masalah klien bisa dilakukan antara klien dengan
bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk menuliskan masalahnya.
Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu. Kemudian mencari dan
menemukan alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan jiwa
lain menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai masalah
seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng bocor
dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling ringan biasanya klien bisa
menemukan alternatif – alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh
alternatif listrik belum dibayar klien boleh memikirkan tentang : mungkin
perlu surat keterangan tidak mampu, menerima pemutusan sementara,
mengganti dengan alat penerangan lain, gabung dengan tetangga,
bermusyawarah dengan keluarga yang lebih mampu dan sebagainya.
Disini penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar
berani berfikir “lain dari yang biasany “ atau berani “berpikir beda”.
d. Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa(the what-if
then ). Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi
terhadap situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara
berlebihan dari situasi alamiah untuk melatih beradaptasi dengan hal
terburuk debngan apa-apa yang mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:“ apa hal
terburuk yang akan terjadi bila…”
 “ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi…?
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari
kehidupan. Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi.
Sebagai contoh klien yang tinggal dipantai harus berani berfikir : “ apa yang
akan saya lakukan bila tsunami tiba-tiba datang?; gempa tiba-tiba melanda?;
suami tiba-tiba tenggelam?; dan sebagainya.
e. Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi
atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek
lain dari masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari
sudut pandang saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran
tentang keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal
ini dapat menolong klien melihat masalah secara seimbang dan melihat
dalam prespektif yang baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif
dari masalah yang dihadapi klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada klien untuk merubah dan
menemukan makna baru, sebab begitu makna berubah maka akan berubah
perilaku klien. Sebagai contoh, PHK dapat dipandang sebagai stressor
tetapi setelah klien merubah makna PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK
merupakan kesempatan untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman
baru, banyaknya waktu bersama keluarga, saatnya belajar home industry
dan meraih peluang kerja yang lainnya.
f. Thought Stopping
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola salju
bagi klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi
sulit dipecahkan. Teknik berhenti memikirkannya ( thought stoping )
sangat baik digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai
masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai.
Menghayalkan bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di
dinding yang digunakan untuk menghentikan berpikir dysfunctional.
Untuk memulainya, klien diminta untuk menceritakan masalahnya dan
mengatakan rangkuman masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela
khayalan klien dengan cara mengatakan keras-keras “berhenti”. Setelah itu
klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat.
Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi keseharian.
g. Learning New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam
meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat
diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah-masalah yang
disusun dalam beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan
observasi pada seseorang yang berhasil memecahkan masalah yang serupa
dengan klien dengan cara modifikasi dan mengontrol lingkungannya.
Setelah itu klien meniru perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya
klien melakukan pemecahan secara bersama dengan fasilitator.
Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai dengan
pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada
klien yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang
dulu sambil belajar bisnis atau berdagang dengan orang lain, setelah
mendapat pengalaman klien bisa melakukannya sendiri.
h. Membentuk Pola ( shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan
reinforcement. Misalnya anak yang bandel dan tidak akur bdengan orang
lain berniat untuk damai dan hangat dengan orang lain, maka pada saat
niatnya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.
i. Token Economy
Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering digunakan
pada kelompok anak-anak atau klien yang mengalami masalah psikiatrik.
Hal ini dilakukan secara konsisten pada saat klien mampu menghindari
perilaku buruk atau melakukan hal yang baik. Misalnya setiap berhasil
bangun pagi klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan mendapat
tanda silang atau gambar bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung
terus menerus sampai suatu saat jumlahnya diakumulasikan.
j. Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku
salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien
dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat
menilai dan belajar mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-
konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien biasa melihat akibat-akibat yang
akan terjadi melalui cerita yang disuguhkan. Misalnya klien melihat role
play tentang seorang pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi
dan sering merokok
k. Social skill Training
Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun
diperoleh sebagai hasil belajar. Beberapa prinsip untuk memperoleh
keterampilan baru bagi klien adalah:
 Feedback
Sebagai contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat diajarkan
keterampilan membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara
membersihkan lantai yang baik, selanjutnya perawat mengupayakan
agar klien mempraktikkan sendiri. Perawat melakukan feedback
dengan cara menilai dan memperbaiki kegiatan yang masih belum
selesai harapan.
l. Anversion Theraphy
Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan kebiasan-kebiasan
buruk klien dengan cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan
sesuatu yang tidak disukai. Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat
boring dengan cara membayangkan bahwa penghapus itu dianggap
sebagai cacing atau ulat yang menjijikan. Setiap klien kegemukan
melakukan kebiasaan ngemil makanan, maka ia dianjurkan untuk
membayangkan kotoran kambing yang dimakan terus.
m. Contingency Contracting
Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara
therapist dalam hal ini perawat jiwa dengan klien. Perjanjian dibuat
dengan punishment dan reward. Misalnya bila klien berhasil mandi tepat
waktu atau meninggalkan kebiasaan merokok maka pada saat bertemu
dengan perawat hal tersebut akan diberikan reward. Konsekuensi yang
berat telah disepakati antara klien dengan perawat terutama bila klien
melanggar kebiasaan buruk yang sudah disepakati untuk ditinggalkan.
Menurut Setyoadi, dkk (2011) teknik yang digunakan dalam melakukan
terapi kkognitif adalah sebagai berikut:
1. Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan
keyakinan yang menyebabkan khawatir.
2. Menggunakan teknik pertanyaan Socratic  yaitu meminta klien untuk
menggambarkan, menjelaskan dan menegaskan pikiran negative yang
merendahkan dirinya sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat
bahwa asumsi tersebut tidak logis dan tidak rasional.
3. Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realities mengenai diri sendiri,
nilai diri dan dunia. Dengan demikian, klien membentuk nilai dan
keyakinan baru, dan distress enmosional menjadi hilang.

6. Strategi Terapi Kognitif


Normalnya terapi kognitif dibatasi antara 15-20 pertemuan, masing-
masing membutuhkan waktu 50 menit, sekali seminggu. Meskipun demikian,
untuk kasus-kasus depresi yang lebih parah perlu dua kali pertemuan setiap
minggunya untuk 4-5 minggu pertama. Pendekatan yang digunakan biasanya
yaitu behavioral kemudian kognitif. Semakin berat depresi semakin ditekankan
pada teknik behavioral. Dalam komponen kognitif, proses terapi dimulai dari
diskusi tentang pikiran-pikiran yang sedehana dan jelas kesalahan
interpretasinya kearah asumsi-asumsi yang lebih komplek.
Karakteristik pertemuan-pertemuan terapi:
1. Terapis menyusun agenda.
2. Terapis mengatur waktu terapi.
3. Terapis membuat ringkasan secara periodik selama wawancara, kemudian
minta tanggapan klien terhadap ringkasan yang dibuat.
4. Dominasi pendekatan dengan terapis banyak bertanya.
5. Langkah akhir, ada 2 tugas terapis:
 Memberikan tugas rumah yang didasarkan pada topik atau masalah yang
nampak muncul sebagai masalah pokok selama session yang baru dijalani.
 Meminta pasien untuk membuat ringkasan tentang apa yang telah
dikerjakan di dalam session yang baru dijalani, dan merincikan apa yang
harus dikerjakan dalam pekerjaan rumah. Pasien didorong untuk menunjuk
pokok-pokok topik diskusi yang kurang tepat, yang dirasa menyakitkan ,
yang membantu mencapai kemajuan dalam pengentasan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.alodokter.com/jangan-takut-dengan-paranoid-karena-bisa-
disembuhkan

http://phobiasosial.blogspot.com/2015/04/terapi-perilaku-lognitif-bagi-
penderita.html

http://studentners.blogspot.co.id/2013/11/terapi-kognitif.html

Maiasalam.blogspot.co.id/2009/11/terapi-kognitif.html

bungapsikologi.wordpress.com/2012/03/12/terapi-kognitif/

Anda mungkin juga menyukai