Anda di halaman 1dari 10

KONSEP DIRI NEGATIF PADA REMAJA

ABSTRAK

Konsep diri rentan terganggu pada usia remaja. Konsep diri dibentuk bukan dari faktor hereditas,
konsep diri dibentuk dan berkembang melalui pengalaman dan hubungan dengan orang lain.
Remaja dengan konsep diri positif, tingkat kenakalannya rendah, dan remaja dengan konsep diri
negatif tingkat kenakalannya tinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang
berpengaruh terhadap konsep diri remaja. Jenis penelitian ini adalah study literatur. Kasus data
yang saya ambil adalah dari jurnal di beberapa situs internet dan saya gabungkan dengan teori-
teori pada buku. Salah satu dari jurnal tersebut adalah “Faktor-faktor yang Memepengareuhi
Konsep Diri Remaja di SMPN 13 Yogyakarta’. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa
variabel yang paling berpengaruh terhadap konsep diri remaja adalah teman sebaya.

LATAR BELAKANG MASALAH

Masa remaja di kenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi
individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat, bahkan seringkali bagi
polisi. Hal ini disebabkan karena masa remaja adalah masa transisi antar masa kanak-kanak dan
masa dewasa. Menurut World Health Organization (WHO) sekitar seperlima dari penduduk
dunia adalah remaja usia 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di Negara berkembang, sementara
di Indonesia terdeapat sekitar 60 juta jiwa penduduk adalah remaja. Remaja memiliki tugas-tugas
perkembangan utama, pada masing-masing tugas perkembangan terkandung adanya krisis
dimana remaja harus menanggulanginya. Menurut Erikson salah satu tugas utamamasa remaja
adalah memecahkan krisis identitas versus (VS) kebingungan peran. Identitas dan peran yang di
maksud dengan tugas utama perkembangan remaja termasuk ke dalam konsep diri.

Konsep diri (selft-concept) merupakan kesadaran seseorang mengenai siapa dirinya.


Menurut Deauxs, Dane, & Wrightsman (1993) konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan
perasaan seseorang mengenai dirinya.
Konsep diri adalah kesadaran individu tentang identitasnya sendiri. Citra diri, diri ideal dan
harga diri. Konsep diri di sekolah tampaknya dipengaruhi oleh citra dari orang-orang penting
lainnya (guru, orang tua, teman sebaya) dan dengan interaksi sosial dengan orang lain dalam
situasi yang sama (Tang, 2011). Lingkungan sosial yang berbeda akan mempengaruhi konsep
diri individu dengan cara yang berbeda. Perasaan diterima atau ditolak oleh seseorang akan
signifikan mempengaruhi cara pandang seseorang dalam mengevaluasi diri sendiri dan dunia
(Schmidt, Cagram, 2008). Merasa ditolak oleh orang lain akan menimbulkan konsep diri rendah,
ketidakstabilan emosional dan unresponsiveness, dan pandangan negatif dari dunia, sedangkan
perasaan diterima oleh orang lain akan mengakibatkan perasaan bahagia, konsep diri yang lebih
tinggi, stabilitas emosional dan responsiveness, dan pandangan positif dari dunia (Kail,
Cavanough, 2000). Konsep diri mengggambarkan tentang bagaimana diri kita dalam menguasai
bidang akademik, ranah sosial olahraga dan bidang bidang lainnya (Jordan, Porath,2006).
Pentingnya persepsi diri untuk pertumbuhan dan perkembangan anak telah dibuktikan dalam
penelitian yang menunjukkan bagaimana konsep diri dapat meningkatkan atau merusak tingkat
fungsi kognitif dan kinerja (Santrock, 2008). Harapan seorang anak tentang kemampuan sendiri
menentukan perilaku dan mempengaruhi motivasinya, usaha, dan ketekunan mengenai kesulitan
tugas.Penelitian telah jelas menunjukkan betapa pentingnya peran yang dimiliki guru dan
seberapa kuat pengaruh terhadap konsep diri yang mereka miliki dalam menciptakan hubungan
dengan siswa selama kegiatan sekolah .Proses yang menyebabkan peningkatan atau penurunan
konsep diri pelajar diawali den-gan interaksi antara guru dan siswa( Schmidt, Cagram,
2008).Konsep diri adalah persepsi diri tentang kekuatan, kelemahan, keadaan pikiran, dan nilai
dengan sosial dan interaksi lingkungan. Perilaku manusia dapat secara substansial dijelaskan
oleh konsep diri, yang dipengaruhi identitas diri, penghakiman orang lain dan persepsi sosial
dengan orang lain. Selain itu, pendidikan orang tua, kegagalan, depresi dan kritik internal juga
mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang (Razali, Razali, 2013). Konsep diri dapat
dibagi menjadi dua faktor yang berbeda; konsep diri akademik dan non-akademik. Konsep diri
akademik adalah persepsi diri dalam kegiatan akademik dalam kaitannya dengan mata pelajaran
tertentu, guru dan sekolah sementara konsep diri non-akademik adalah tentang persepsi diri
dalam kegiatan non-akademik yang meliputi diri fisik mereka dan hubungan mereka dengan
orang tua, teman, dan masyarakat (Marsh,Guay,Boivin,2003). Kehidupan dan perilaku seorang
individu, keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam kehidupan, dan kemampuannya menghadapi
tantangan dan tekanan kehidupan, sangat dipengaruhi oleh persepsi, konsep, dan evaluasi
individu tentang dirinya, termasuk citra yang ia rasakan dari orang lain tentang dirinya dan
tentang akan menjadi apa ia, yang muncul dari suatu kepribadian yang dinilai dari pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan. Atau dengan kata lain, kehidupan, perilaku, dan kemampuan
individutersebut dalam kehidupan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh apa yang diistilahkan
dengan konsepdiri (Rogers, 1961).Dalam pembentukan konsep diri ini, hal yang juga perlu
mendapat perhatian utama adalah konsepdiri remaja perempuan dan tentang perempuan.
Mengapa perempuan? Dalam kehidupan masyarakat,akibat nilai-nilai yang dikonstruksi dan
disosialisasikan masyarakat, perempuan kerap mengalami pandangan yang salah. Mereka
mendapat stereotip-stereotip yang cenderung merugikan. Di antara stereotip-stereotip tersebut
misalnya anggapan perempuan sebagai makhluk yang lemah (inferior), lebih menggunakan
emosi daripada rasionya, pelengkap laki-laki, dan lainlain (Deutsch, Hoffman, Wilcox,
2013).Stereotip ini kemudian berimplikasi pada cara memperlakukan perempuan secara berbeda
dengan laki-laki, termasuk dalam pemberian peran kepada mereka. Perempuan cenderung
ditempatkan dalam posisi subordiat. Perempuan kerap mengalami diskriminasi dalam bidang
pekerjaan, pendidikan, dan bidang-bidang kehidupan masyarakat lainnya. Nilai gender yang
dianut masyarakat yang telah tersistematis dan hegemonik tersebut tentu saja berdampak besar
pada konsep diri yang terbentuk dalam diri perempuan (Hensel, Fortenberry, O’sullivan & Orr,
2011).Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengalami rendahnya
rasa percaya diri, kurang mandiri. honnor effect berupa sindrom takut sukses (fear of success
syndrom) bila dihadapkan pada kondisi kompetitif dengan kaum laki-laki, dan timbulnya sifat
ketergantungan dan minta perlindungan. Perempuan bahkan seolah kurang mengenali siapa
dirinya, ke mana arah yang akan mereka tuju dan apa yang dapat mereka perbuat (Alzyoudi,
2007). Hal-hal yang dikemukakan di atas merupakan hal-hal yang menjadi kendala bagi
perempuan dalam mengaktualisasikan kemampuan potensialnya. Padahal, fakta dan sejarah telah
banyak membuktikan kiprah dan keunggulan perempuan di berbagai bidang yang tutur
mewarnai, bahkan mengubah dunia. Dengan demikian, dalam pembentukan konsep diri ini, perlu
upaya untukmembangun konsep diri yang benar.Di sinilah pendidikan diharapkan memainkan
peranannya. Untuk sampai pada hal tersebut, perlu diupayakan penelitian terlebih dahulu tentang
konsep diri remaja tersebut. Penelitian ini diarahkan pada hal itu, yaitu pada diri remaja Sekolah
Menengah Atas (SMA).
METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan metode literature yaitu dengan
menggambarkan objek dengan apa adanya sesuai dengan data yang di dapat. Pada jurnal yang
saya temukan salah satunya yaitu “Hubungan Konsep Diri Dengan Kenakalan Renaja Pelaku
Tato” dalam jurnal ini membahas bahwa Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari
jati diri atau disebut dengan identitas ego (ego Identity). Ini terjadi karena masa remaja
merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa.
Ditinjau dari segi fisiknya mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang
dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat
menunjukkan sikap dewasa. Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa
krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Perilaku
menyimpang tersebut pada kondisi tertentu akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni,
1993). Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan
sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan
perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di
masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja dalam studi
masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Perspektif perilaku
menyimpang dalam masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai
aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang
dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial.
Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur
baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Latar belakang perilaku menyimpang dapat dibedakan dari adanya perilaku menyimpang yang
tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan
yang ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan.
Becker (dalam Maria, 2007) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya
mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Perbuatan
menyimpang lebih disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan
untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi
kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang yang dianggap normal biasanya dapat
menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Kenakalan-kenakalan yang dilakukan
oleh remaja di bawah usia 21 tahun sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti
sosial tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut
seperti: kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada
perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum
seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang,
dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa (Amalia, 2005).

Faktor yang mempengaruhi perilaku kenakalan pada remaja adalah konsep diri yang
merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut
kelebihan maupun kekurangan diri sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
keseluruhan perilaku yang ditampilkan. Shavelson dan Roger (1982) menyatakan bahwa konsep
diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan,
penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya. Bagaimana orang lain memperlakukan
individu dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai
dirinya sendiri. Masa remaja merupakan saat individu mengalami kesadaran akan dirinya tentang
bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya. Kesadaran dalam diri remaja timbul karena
kemampuan kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu
membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan berusaha
pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang dirinya dapat berpengaruh pada bagaimana
individu menilai dirinya sendiri. Conger (1997) menyatakan bahwa remaja nakal biasanya
mempunyai sifat memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga, implusif dan
menunjukan 5amper5 batin yang kurang. Sifat-sifat tersebut mendukung perkembangan konsep
diri yang amper. Rais (1983) mengatakan bahwa remaja yang didefinisikan sebagai anak nakal
biasanya mempunyai konsep diri lebih amper dibandingkan dengan anak yang tidak bermasalah.
Remaja yang memiliki konsep diri amper biasanya tidak berfikir panjang jika ingin melakukan
sesuatu tetapi lebih banyak menggunakan emosi. Konsep diri pada hakikatnya merupakan suatu
pengalaman individu yang sifatnya subyektif yang diperoleh individu dari hasil interaksi
individu dengan individu yang lain (Gunarsa, 1988). Pada kenyataannya, tidak setiap remaja
dapat memenuhi kebutuhan akan konsep dirinya, sehingga konsep diri remaja tersebut menjadi
amper. Konsep diri yang amper mempengaruhi tingkah laku yang bertentangan, berlawanan
dengan norma-norma dalam masyarakat. Remaja dengan konsep diri amper akan menunjukkan
kondisi psikis dan sosial yang amper pula, yang meliputi kecemasan, depresi, dan kenakalan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Semarang, Hariyadi (dalamAmalia, 2005) mengatakan
bahwa bentuk-bentuk kenakalan remaja sangat beragam; bohong, membolos, kabur dan
menentang orang tua, keluyuran, bersenjata tajam,pergaulan yang tidak baik, berpesta dan
berhura-hura, membaca pornografi, mengkompas, melacurkan diri, sampai berpakaian tidak
pantas dan berpenampilan fisik berbeda dari para remaja lainnya termasuk memakai tindik dan
tato. Marianto, kepala peneliti di Institut SeniIndonesia (ISI) Yogyakarta yang secara konsisten
dan kontinyu melakukan penelitian mengenai tato di Indonesia khususnya Yogyakarta
mengatakan bahwa kedudukan tato di Indonesia sudah bergeser. Mereka mengatakan bahwa tato
yang pada sekitar tahun 1983-1984 diidentikkan dengan kriminalitas, saat ini (era tahun 2000-an)
jauh lebih baik kedudukannya di mata masyarakat menjadi “kenakalan atau penyimpangan sosial
anak muda perkotaan yang dapat dimaafkan” dan identik dengan “semangat pemberontakan
remaja” meskipun belum sepenuhnya dapat diterima sebagai salah satu cabang seni murni
(Marianto, 2001). Keterangan dari Marianto ini sesuai dengan pra penelitian yang dilakukan
peneliti terhadap pemakai tato di Kota Surakarta yang mengatakan bahwa mereka mentato tubuh
hanya untuk sekedar gaya, mengikuti tren mode, serta bisa masuk dan diterima di lingkungan
pergaulan mereka. Berdasar pra survey pula peneliti mengetahui bahwa para remaja bertato ini
mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kenakalan, meski tidak sampai pada tingkat
kejahatan dengan pelanggaran 6ampe yang berat. Bentuk kenakalan yang mereka lakukan adalah
membolos, ngebut di jalan raya, berpenampilan berbeda dari kebanyakan remaja lain, merokok,
dan mencoba minuman beralkohol dengan kandungan 6amper6 ringan. Penelitian mengenai
hubungan antara konsep diri dengan kenakalan pada pelaku tato remaja, sejauh yang diketahui
penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Peneliti sejenis yang pernah dilakukan adalah
penelitian oleh Booth et.al. (2008) tentang perbedaan kenakalan yang dilakukan anak laki-laki
dan perempuan. Penelitian ini menunjukkan perbedaan perlakuan berdasarkan gender sejak
anak-anak dan pengawasan yang diperolehnya. Hasilnya adalah anak perempuan memiliki
6amper6 diri yang lebih kuat dari pada anak laki-laki. Penelitian memperlihatkan laki-laki lebih
signifikan melakukan kenakalan setelah selfdan sosial kontrolnya juga diteliti. Itulah yang
menyebabkan anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan jika dilihat dari sudut pandang
7amper7 diri. Penelitian oleh Rachim dan Nashori (2007) tentang Nilai Budaya Jawadan
Perilaku Nakal Remaja Jawa yang ditujukan untuk mengetahui tinggi rendahnya ng berakibat
pada meningkatnya perilaku-perilaku menyimpang pada remaja JawaPenelitian tersebut
meyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara nilaibudaya Jawa dengan perilaku
nakal remaja Jawa. Semakin tinggi sikap dan perilaku yang sesuai dengan budaya Jawa maka
semakin sedikit perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa. Sebaliknya semakin sedikit sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa maka semakin tinggi tingkat perilaku nakal yang
ada pada remaja Jawa. Penelitian oleh Ulfah (2007) tentang Peran Persepsi Keharmonisan
Keluarga dan Konsep Diri terhadap Kecederungan Kenakalan Remaja yang ditujukan untuk
mengetahui peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan
kenakalan remaja. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada peran persepsi keharmonisan
keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungankenakalan remaja. Konsep diri sangat
mempunyai peranan penting dimana anak mulai mencari jati diri pada masa ini sehingga konsep
dirinya belum begitu jelas atau masih labil, apabila remaja mempunyai konsep diri yang positif
maka ia akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan
demi keberhasilan di masa yang akan datang. Adapun Armstrong dan McConnel (dalam Lynne
dan Roxanne, 2002) menemukan bahwa dari 624 sampel anak muda pelaku tato yang ditelitinya
7amper semua termotivasi melakukan tato karena ingin mendapatkan citra positif dari
lingkungan dan menemukan identitas diri. Mereka juga mendapatkan angka yang kurang untuk
skala konsep diri. Berdasarkan hasil penelitian, data, dan pra survey di atas, yang menyebutkan
di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Medan sering terjadi
kenakalan remaja, termasuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja bertato di mana remaja
bertato ini sering diidentikkan dengan rmaja yang memiliki konsep diri yang rendah. Peneliti
tertarik melakukan penelitian ini diKota Surakarta. Selain karena di Kota Surakarta ditemukan
banyak remajayang menggunakan tato, juga karena menurut keterangan beberapa kelompok
remaja di Kota Surakarta yang mengatakan meskipun remaja bertato biasanyadiidentikkan
dengan kenakalan dan percaya diri (konsep diri) yang rendah, namun pada kenyataannya di
sekitar mereka justru banyak remaja bertato yang bersekolah di sekolah favorit, berprestasi
akademis, maupun berprestasi di bidang yang lain seperti seni dan olah raga. Berdasarkan pada
uraian latar belakang penelitian di atas, makaperumusan masalah dalam penelitian ini adalah
apakah ada hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja pelaku tato.
ANALISIS KASUS

kenakalan remaja sering kali muncul dalam media massa, dimana sering terjadi di kota-
kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah
tawuran yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja. Data di Jakarta tahun 1992 tercatat 157
kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10
pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota
masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri,
dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun
jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari
terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001). Lebih jauh
dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya
dilakukan oleh remaja, selain itu diIndonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga
cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia
15-20 tahun sebanyak angka 30% dari 40-150.000, dan Irwanto menyebut angka 87.000
pelacuranak atau 50% dari total penjaja seks (Dep. Sos, 2004). Data UNICEF Indonesia (2009)
berdasarkan dari data kepolisian menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat 11.344 kasus
kenakalan remaja. Bulan Januari sampai dengan Mei 2002 mengalami kenaikan sebanyak 4.325
kasus kenakalan remaja. Kenakalan yang terdeteksi oleh Depsos dan lembagakemasyarakatan
yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak remaja mengalami kenaikan sebesar 84,2%. Data
ini belum termasuk data yang ada di Polsek, Polres, Polda, dan Mabes. Selama periode Januari
dampai dengan Mei 2002, terdapat 9.465 anak remaja yang terdaftar 8amper88 rehabilitasi
seperti Depsos dan lembaga kemasyarakatan. Terjadinya kenakalan remaja pada umumnya tidak
disebabkan oleh karena sebab yang tunggal, namun karena sebab yang kompleks dan beruntun.
Sebab yang kompleks berarti bahwa suatu sebab dapat menimbulkan sebab yang lain dan sebab-
sebab itu berkaitan antara satu dengan yang lainnya (Walgito, 1989).

ANALISIS HASIL

Konsep diri negatif dalam penelitian ini di gambarkan berdasarkan:


- di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Salah satu wujud dari kenakalan
remaja adalah tawuran yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja.

-Data di Jakarta tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar.

- Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar,

- tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat
lain.

- Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan

- tahun berikutnya yaitu 1999 korban meningkat dengan 37 korban tewas.

Jadi terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.
Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus
(Tambunan, 2001).

Lebih jauh dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 %
di antaranya dilakukan oleh remaja, selain itu diIndonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi
anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak
yang berusia 15-20 tahun sebanyak angka 30% dari 40-150.000, dan Irwanto menyebut angka
87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks (Dep. Sos, 2004). Data UNICEF Indonesia
(2009) berdasarkan dari data kepolisian menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat 11.344
kasus kenakalan remaja. Bulan Januari sampai dengan Mei 2002 mengalami kenaikan sebanyak
4.325 kasus kenakalan remaja. Kenakalan yang terdeteksi oleh Depsos dan lembaga
kemasyarakatan yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak remaja mengalami kenaikan
sebesar 84,2%. Data ini belum termasuk data yang ada di Polsek, Polres, Polda, dan Mabes.
Selama periode Januari dampai dengan Mei 2002, terdapat 9.465 anak remaja yang terdaftar
amper rehabilitasi seperti Depsos dan lembaga kemasyarakatan.

Kenakalan remaja ini berhubungan dengan konsep diri yang ada pada remaja. Konsep
diri mempengaruhi perilaku seseorang terutama dalam menanggapi dunia dan pengalaman
(Markus 1977). Konsep diri bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul. Pembentukan konsep diri di
pengaruhi oleh orang lain dalam interaksi sosial . menurut Coorley (1964), lewat analogi cermin
sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya, konsep diri seseorang di peroleh dari hasil
penilaian atau evaluasi orang lain terhadap dirinya. Apa yang di pikirkan orang lain kepada kita
merupakan sumber informasi tentang siapa diri kita.

Namun bukan berarti penilaian atau evaluasi orang lain adalah satu-satunya yang
membentuk konsep diri. ketika kita melakukan sesuatu hasil dari tindakan kita juga akan
membentuk konsep diri. Contoh : ketika seseorang mempelajari bahasa asing , kemudian ia
menyadari kemampuannya dalam memahami tata bahasa, menguasai kosa kata, dan
mengekspresikannya secara lisan melalui pengamatan atas hal-hal tersebut Ia menyadari apakah
ia orang yang mudam atau sulit mempelajari dan menguasai bahasa asing.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari “Konsep Diri Negatif Pada Remaja” adalah

Anda mungkin juga menyukai