Anda di halaman 1dari 9

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Bullying Peserta Didik

Putri Aprilia, Tritjahjo Danny Soesilo, Sapto Irawan


Jurnal Bimbingan dan Konseling Vol. 7 No. 3, Bulan Agustus Tahun 2023

LATAR BELAKANG
Periode remaja adalah dianggap masa transisi dalam periode anak anak ke
periode dewasa, periode ini dianggap sebagai masa masa yang sangat penting
dalam kehidupan seseorang yang khususnya dalam pembentukan kepribadian
individu. Periode remaja merupakan klimaks dari periode periode perkembangan
sebelumnya, dalam periode ini apa yang diperoleh dalam masa masa sebelumnya
diuji dan dibuktikan sehingga dalam periode selanjutnya individu telah
mempunyai suatu pola pribadi yang lebih mantap.
Dewasa ini remaja tumbuh dan berkembang dalam proses pencarian
identitas diri atau keutuhan diri. Pada umumnya para remaja mengalami banyak
persoalan dikarenakan adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya maupun
pada lingkungan sosialnya. Pentingnya pengendalian diri pada remaja
mempunyai banyak manfaat karena remaja bisa mengontrol diri sendiri agar tidak
terjadi perilaku atau perbuatan yang negatif.
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan sosial remaja yang jauh lebih
luas dari pada lingkungan sosial di rumah atau wilayah tempat tinggal (Gunarsa
& Yulia, 2003). Sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang tidak hanya
mengajarkan peserta didiknya pengetahuan secara kognitif akan tetapi juga
mengajarkan kepada peserta didiknya pembelajaran secara psikomotorik dan
perilaku. Adanya kecerdasan emosional yang baik maka akan mencegah peserta
didik melakukan perilaku negatif yang dilakukan banyak peserta didik
dilingkungan sekolah, seperti perkelahian antar peserta didik, maraknya geng
antar peserta didik yang menyudutkan salah satu peserta didik lain, olokolokan
antar peserta didik (bullying) dan masih banyak perilaku negatif lainnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, sekolah yang seharusnya digunakan sebagai
tempat menuntut ilmu, dalam beberapa kasus di beberapa sekolah justru
digunakan sebagai tempat untuk meluapkan dan mengekspresikan perilaku
negatif. “Ciri remaja yang sedang berkembang adalah sebagai permunculan
tingkah laku yang negatif, seperti suka
melawan, gelisah, periode badai, tidak stabil, dan berbagai label buruk lainnya”,
Yusri (Susanto, 2014). Remaja melakukan tindakan negatif karena lingkungan
tidak memperlakukan remaja itu sendiri sesuai dengan tuntutan dan tahap
perkembangannya. Sehubungan dengan hal tersebut terbukti dengan maraknya
perilaku bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Berdasarkan data yang
dihimpun oleh Gondohutomo (2022) , merujuk pada data KPAI tahun 2022,
terdapat sedikitnya 226 kasus kekerasan fisik, psikis dan bullying yang dilakukan
anak sekolah, yang mana angka tersebut termasuk tinggi dan meningkat dari tahun
sebelumnya. Hal tersebut berkaitan dengan sedikitnya upaya yang dilakukan oleh
para guru dan orang tua untuk mengatasi perilaku bullying, baik di sekolah
maupun di lingkungan sosial. Sebagian lagi karena memang pada umumnya
korban tidak mau melapor kepada pihak berwenang. Sekelompok orang juga
menganggap hal itu sudah merupakan resiko yang harus ditanggung dan diatasi
sendiri.
Pada umumnya, remaja gemar mencoba hal-hal yang baru yang
menciptakan para remaja mudah terpengaruh dari teman sebaya dan lingkungan,
moral sangat berpengaruh di masa peralihan yang menyebabkan para remaja
mencoba hal-hal baru dan mulai berani melanggar aturan-aturan yang ada di
sekitarnya. Remaja mulai memiliki kebutuhan mencintai dan dicintai oleh lawan
jenis. Tetapi bukan hanya faktor lingkungan saja yang mempengaruhi remaja
dalam pembentukan moral namun budaya pula sangat berpengaruh besar baik
budaya lingkungan keluarga, sekolah, juga masyarakat.
Menurut Coloroso (Maysarah & Bengkel, 2023) bullying adalah tindakan
intimidasi yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah.
Tindakan penindasan ini diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau kekuatan
untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan,
trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa berupa fisik seperti memukul,
menampar, dan memalak. Bersikap verbal seperti memaki, menggosip, dan
mengejek serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan,
dan mendiskriminasi. Selanjutnya, bullying juga merupakan “tindakan
penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik atau
psikologis, atau keduanya“ (Lipkins, 2008).
Selanjutnya, Olweus (Kathryn, 2012) juga berpendapat bahwa bullying
ialah “sebuah tindakan atau perilaku agresif yang disengaja, yang dilakukan oleh
sekelompok orang atau seseorang secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu
terhadap seseorang korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya dengan
mudah”. Tingkah laku agresif tersebut merupakan salah satu bentuk
penyimpangan perilaku sosial. Penyimpangan perilaku sosial sendiri merupakan
bagian dari proses interaksi sosial seorang individu di dalam kelompoknya.
Remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan,
atau rasa hormat terhadap orang lain.
Perilaku bullying sendiri dipengaruhi beberapa faktor. Misalnya saja, bahwa
perilaku bullying dipengaruhi oleh a) kepribadian, dimana kepribadian
extraversion dan juga unemotional cenderung memiliki asosiasi positif dengan
tindak bullying; b) keluarga, dimana faktor yang besar pengaruhnya adalah pola
asuh orang tua dan fungsi keluarga; c) Adverse Children Experience, atau
pengalaman buruk di masa lalu yang menyebabkan perkembangan psikologis
anak menjadi tidak sehat; dan d) lingkungan sekolah, dimana lingkungan sekolah
yang tidak nyaman cenderung berkaitan dengan bullying verbal dan relasional
(Muhopilah & Tentama, 2019).
Perilaku bullying yang terjadi dikalangan remaja juga seringkali
dipengaruhi oleh sebab lain yakni tingkat pengendalian emosi remaja yang
bersangkutan. Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh D.J
& Indrawati (2019) yakni
“indivdu yang mudah dikuasai emosi negatif, dimana tidak adanya kemampuan
individu tersebut untuk mengendalikan emosi yang timbul dari dalam diri atau
seringkali disebut sebagai kecerdasan emosional, dapat menyebabkan remaja
mudah dalam melakukan perilaku bullying”. Oleh karenanya, kecerdasan
emosional berperan penting terhadap terjadi atau tidaknya perilaku bullying.
Kecerdasan emosional adalah keterampilan kognitif karena ketika
digunakan secara seimbang oleh seorang individu, dapat digunakan sesuai potensi
dan tumbuh menjadi individu yang lebih tangguh dalam menghadapi masalah
(Windayani & Anwar, 2017). Dalam konteks yang sama, kecerdasan emosi
diartikan sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan meghadap
frustasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa (Goleman, 2015). Kecerdasan
emosional merupakan satu jenis kecerdasan yang bisa meraih sukses pada
kehidupannya. Goleman menyatakan bahwa kecerdasan inteligensi semata-mata
hanya bisa memprediksi kesuksesan hidup seseorang sebesar 20% saja,
sedangkan 80% sisanya ditentukan dengan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya; a) faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam diri sendiri,
terutama otak dan pikiran; b) faktor keluarga, yang mana merupakan tempat
pertama dan utama seseorang belajar mengenai emosi, perasaan dan memberi
tanggapan terhadap diri sendiri ataupun orang lain; serta c) faktor lingkungan,
seperti lingkungan sosial masyarakat dan sekolah (Goleman, 2015). Adapun
beberapa aspek untuk mengukur kecerdasan emosional, yakni;
a) mengenali emosi diri atau self awareness; b) mengelola emosi atau self
regulation; c) memotivasi diri atau motivation oneself; d) empati; dan e) membina
hubungan atau interpersonal relationship (Goleman, 2015).
Berkaitan dengan paparan di atas, penelitian sebelumnya pernah dilakukan
oleh (Permadani, 2016) dengan judul “Hubungan Kecerdasan Emosional dengan
Perilaku Bullying Peserta didik Kelas XI IPS SMA N 4 Kediri”, menemukan
bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
perilaku bullying peserta didik kelas XI IPS SMA Negeri 4 Kediri Tahun Pelajaran
2015/2016, yang ditunjukkan dari nilai hasil uji korelasi Product Moment sebesar
-0,437. Nilai tersebut lebih besar dari r tabel dengan taraf signifikan 5%. Artinya,
semakin tinggi kecerdasan emosi semakin rendah perilaku bullying. Sebaliknya,
semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula perilaku
bullying.
Penelitian lain juga dilakukan oleh (Prakoso, 2020) dengan judul
“Hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku bullying” mengatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan
perilaku bullying melalui temuan nilai korelasi rxy = 0,461 dengan taraf
signifikansi p = 0,000 (p < 0,05). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Cikal
Agustanadea et al., 2019) dengan judul Hubungan antara Tingkat Stress dan
Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying pada Remaja Kota Pontianak,
menunjukkan hasil yang sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,
ditunjukkan bahwa nilai signifikansi atau nilai p = 0,627 > 0,05 dan nilai korelasi
Spearman Rank yang menunjukkan perolehan sebesar -0,026 yang menunjukkan
arah negatif dan kekuatan korelasi sangat lemah. Sehingga dapat diartikan bahwa
tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying remaja
Kota Pontianak.
Mengacu pada beberapa hasil penelitian relevan di atas, yakni oleh
Permadani (2016), Prakoso (2020) dan Agustanadea et al (2019) dapat dipahami
bahwa terdapat perbedaan hasil penelitian yang mana hal tersebut merupakan
kesenjangan atau gap mengenai hasil penelitian manakah yang paling benar, ada
atau tidaknya hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku bullying. Atas
dasar hal tersebutlah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ulang dengan
judul serupa yang dilakukan di SMK PGRI 2 Salatiga.
Selain penjelasan hasil penelitian di atas, kenyataannya perilaku bullying
juga terjadi dalam anak didik SMK PGRI 2 Salatiga. Berdasarkan hasil
wawancara dengan guru BK SMK PGRI 2 Salatiga mengenai perilaku bullying
anak didik SMK PGRI 2 Salatiga, menyampaikan bahwa pernah terdapat
beberapa tindakan bully yang terjadi. Hal tersebut disebabkan karena anak yang
mem-bully merasa lebih superior dari anak yang ter-bully (prinsip superior dan
inferioritas). Adanya sikap superior dan inferior tersebut terjadi akibat rendahnya
kecerdasan emosional peserta didik atau anak didik itu sendiri, yang mana anak
didik masih menganggap bahwa lawannya merupakan individu yang tidak lebih
kuat atau tinggi kedudukannya dibandingkan dirinya. Hal ini menurut Guru BK
sering terjadi pada peserta didik kelas XII terhadap angkatan di bawahnya.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, menggugah penulis untuk melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan
Perilaku Bullying pada Peserta didik Kelas XII SMK PGRI 2 Salatiga Tahun
Ajaran 2022/2023”. Alasan penulis memilih kelas XII SMK PGRI 2 Salatiga
untuk penelitian karena seperti yang sudah disampaikan di atas, bahwa kasus
bullying kerap terjadi dan dilakukan oleh kelas XII terhadap angkatan di
bawahnya. Selain itu, ada beberapa alasan subjektif seperti penulis tertarik dengan
tempat yang strategis dan peserta didik memiliki pergaulan yang beranekaragam,
serta penelitan ini didukung oleh informasi dari Guru BK SMK PGRI 2 Salatiga.
Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini nantinya agar dapat menjadi
wawasan tentang pentingnya pencegahan bullying sehingga dapat dijadikan
sebagai wahana dalam pengembangan kompetensi bergaul dengan orang lain,
serta penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi Guru BK dalam
memberikan layanan konseling sehingga perilaku bullying di kalangan peserta
didik SMK PGRI 2 Salatiga.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan negatif signifikan antara kecerdasan emosional dengan
perilaku bullying peserta didik kelas XII SMK PGRI 2 Salatiga. Hasil tersebut
didukung dengan temuan nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 (< 0,01) dan juga
nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,556, yang artinya bahwa kecerdasan
emosional berkorelasi negatif dengan perilaku bullying. Lebih lanjut, hasil
tersebut didukung oleh hasil analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa
mayoritas distribusi frekuensi kecerdasan emosional peserta didik kelas XII SMK
PGRI 2 Salatiga berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 57,1%
sedangkan distribusi frekuensi perilaku bullying peserta didik kelas XII SMK
PGRI 2 Salatiga berada pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 63,1%.
KEPRIBADIAN DAN CINTA PADA DEWASA AWAL YANG MENJALANI
HUBUNGAN JARAK JAUH
Catur Prasetyo Adi1, Ratriana Yuliastuti Endang Kusmiati2
Jurnal Bimbingan dan Konseling Vol.3 No. 13, Bulan Mei Tahun 2023

LATAR BELAKANG
Menurut May cinta adalah perasaan bahagia terhadap orang lain dan menegaskan nilai
serta perkembangan seperti milik kita sendiri. Disisi lain Erikson cinta adalah pengabdian
matang yang mengatasi perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita. Cinta yang matang berarti
komitmen, hasrat seksual, kerjasama, persaingan, dan pertemanan. Cinta dalam teori Sternberg
dikenal dengan istilah triangular theory of love menjelaskan cinta dapat dimengerti dengan
melihat 3 komponen secara bersamaan, ketiga komponen tersebut adalah keintiman , gairah ,
komitmen
.
Komponen cinta terdiri dari keintiman, gairah dan komitmen. Sternberg menjelaskan
komponen keintiman mengacu pada perasaan ketika menjalin hubungan dengan seseorang
seperti keterkaitan, keterhubungan dan kedekatan. Yang menonjol pada gairah adalah
kebutuhan seksual. Namun ada kebutuhan lain dalam komponen ini misalnya, harga diri,
afiliasi, dominasi, aktualisasi diri. Hal tersebut berbeda sesuai dengan jenis hubungannya,
misalnya kebutuhan seksual lebih besar dalam hubungan romantis tetapi tidak dalam hubungan
cinta dengan orang tua.

Sternberg komitmen adalah untuk mencintai seseorang dalam jangka panjang, selain
itu penting untuk menjaga cinta itu. Dalam komitmen terdiri dari dua aspek, komitmen jangka
panjang dan komitmen jangka pendek. Komitmen jangka panjang adalah keputusan untuk
menjaga dan tetap mencintai pasangannya, sedangkan komitmen jangka pendek adalah
keputusan seseorang untuk mencintai yang lain. Menurut Feist, Feist dan Roberts kepribadian
adalah konsep umum yang mengacu pada pola sifat, disposisi, atau karakteristik yang relatif
permanen dan memberikan sejumlah tingkat konsistensi pada perilaku seseorang. Kepribadian
seseorang adalah keseluruhan unsur-unsur, baik fisik maupun psikis, terakumulasi dalam satu
bentuk gestalt yang mewarnai penampilan dan pernyataan diri secara spontan setiap individu
. Sedangkan Allport dalam Friedman & Schustack, 2008 mendefinisikan kepribadian sebagai
organisasi dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan
pemikirannya. Costa dan McCrae menjelaskan big five personality sebagai sekumpulan
berbagai kecenderungan afektif, kognitif, dan perilaku yang spesifik yang dikelompokkan
dalam lima dimensi yaitu conscientiousness , extraversion , agreeableness , neuroticism dan
openness to experience .

Menurut McCrae dan Costa menjelaskan beberapa dimensi big five personality
sebagai berikut: a.Extraversion: orang yang tinggi pada dimensi ini cenderung penuh
semangat, antusias, dominan, ramah dan komunikatif. Orang yang sebaliknya akan cenderung
pemalu, tidak percaya diri, submisif, dan pendiam.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif korelasional. Variabel
bebas (X) dalam penelitian ini adalah big five personality (conscientiousness, extraversion,
agreeableness, neuroticism dan openness to experience), sedangkan variabel terikat (Y) adalah
cinta (triangular theory of love).
Partisipan dalam penelitian ini dipilih menggunakan teknik accidental sampling dengan
kriteria yang peneliti buat. Menurut Roscoe (dalam Azwar, 2017) sampel berukuran 30-500
sudah cukup layak untuk riset, bisa sampel dipecah maka ukuran sampel minimal n=30. Oleh
karena itu dalam penelitian ini akan menjaring 50 partisipan. Adapun kriteria partisipan
penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Memiliki pasangan.
2. Terakhir bertemu pasangan minimal 3 bulan.
3. Atau menjalani hubungan jarak jauh dengan jarak yang memisahkan 40km.
4. Dewasa muda usia 19-40 tahun
Penelitian ini terdiri dari dua kuesioner, kuesioner pertama tentang kepribadian (big five
personality) dan kuesioner kedua tentang triangular theory of love. Instrumen pertama untuk
mengukur kepribadian (big five personality) menggunakan skala Big Five Inventory-44 (BFI-
44) dibuat oleh John dan Srivastava berdasarkan teori dari McCrae & Costa. Skala tersebut
terdiri dari 44 item, dimana 8 item untuk extraversion, 9 item untuk agreeableness, 9 item
untuk conscientiousness, 8 item untuk neuroticism dan 10 item untuk openness dengan item
favorable dan unfavorable yang disusun secara acak serta menggunakan skala Likert dengan
5 jawaban dari “sangat tidak setuju” hingga “sangat setuju”.
Instrumen kedua mengukur triangular theory of love menggunakan Triangular Love
Scale (TLS) yang diciptakan oleh Sternberg (1997). Skala ini terdiri dari 45 item, dimana 15
item untuk intimacy, 15 item untuk passion, 15 item untuk commitment dengan keseluruhan
adalah item favorable. serta menggunakan skala Likert dengan 4 jawaban dari “sangat tidak
sesuai” hingga “sangat sesuai”..

Pembahasan

Hasil kategorisasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel cinta berada dalam
kategori sedang sebanyak 21 orang . Untuk variabel big five personality dimensi ekstraversi
berada pada kategori sedang sebanyak 26 orang . Untuk agreeableness berada di kategori
sedang sebanyak 22 orang . Dimensi conscientiousness berada di kategori tinggi sebanyak 16
orang dan sedang sebanyak 16 orang . Neurotism pada penelitian ini berada di kategori sedang
sebanyak 18 orang . Hal tersebut didukung penelitian Soyer dan Gizir dimana agreeableness
dan conscientiousness memiliki hubungan yang signifikan dengan triangular of love pada
mahasiswa yang menjalani hubungan romantis. McCrae dan Costa individu dengan
keramahpatutan cenderung kooperatif, ramah, dan mudah percaya. Zhou, Wang, Chen, Zhang,
dan Zhou menemukan bahwa agreeableness merupakan variabel yang berperan paling kuat
dan stabil terhadap kualitas hubungan yang terdiri dari kepuasan, cinta, komitmen,
kepercayaan, keintiman, dan gairah.

Ekstraversi cenderung penuh semangat, antusias, ramah dan komunikatif . Disisi lain menurut
Costa dan McCrae, individu dengan extraversion tinggi memiliki dukungan sosial yang
memadai karena mampu menjalin interaksi dengan individu lain dan penuh kasih sayang.
Openness to experience tidak ditemukan hubungan signifikan dengan triangular theory of love.
Opennes adalah orang yang memiliki keterbukaan tinggi terhadap pengalaman ditandai
dengan rasa ingin tahu yang intelektual, imajinatif, perhatian terhadap perasaan batin, kreatif
. Hal itu sejalan dengan penelitian Rachmawati dan Tobing dimana openness to experience/
intellect tidak berperan secara signifikan terhadap keintiman dalam hubungan romantis.
Individu neuroticism menurut McCrae dan Costa cenderung gugup, sensitif, tegang dan mudah
cemas.
Analisis Kecanduan Game Online Terhadap Kepribadian Sosial Anak
Latifatul Ulya, Sucipto, Irfai Fatuhurohman
Jurnal Bimbingan dan Konseling Vol.7 No.3, Bulan Mei Tahun 2023

Pendahuluan

Perkembangan teknologi di era globalisasi sangat pesat . Perkembangan teknologi yang pesat
secara tidak langsung memberikan pengaruh besar bagi kehidupan manusia dalam berbagai
aspek dan dimensi . Teknologi yang menjadi kebutuhan dasar manusia didukung dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Perkembangan teknologi berkembang secara
drastis dan terus berevolusi hingga sekarang dan semakin mendunia. Hal ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya inovasi dan penemuan yang sederhana hingga sangat rumit. Perkembangan
zaman tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
teknologi yang juga semakin pesat perkembangannya sebut saja handphone dan permainan
modern, sehingga anakanak lebih senang berada di dalam rumah dengan fasilitas handphone
yang diberikannya. Fenomena ini menunjukan betapa teknologi game sudah meluas ke
berbagai sektor kehidupan. Game dapat diperoleh dengan mudah melalui aplikasi dalam
handphone dan media internet. Pertumbuhan game masih akan sangat fenomenal di masa
mendatang. Berbagai gadget baru dengan aplikasi game canggih pun bermunculan
.
Game adalah permainan yang menggunakan media elektronik, berbentuk multimedia yang
dibuat semenarik mungkin agar pemain dapat mendapatkan kepuasan batin . Game menjadi
salah satu budaya dan kegiatan keseharian masyarakat. Budaya bermain game menjadi gaya
hidup yang banyak digemari oleh masyarakat terutama generasi muda bahkan anak-anak di
usia sekolah dasar, baik di daerah pedasaan atau perkotaan . Dampak negatif dari game yaitu,
mengurangi waktu belajar, anak menjadi tertutup, dua kali lebih hiperaktif, mudah gelisah dan
depresi. Game juga memiliki dampak positif bagi anak yaitu, dapat mengenalkan teknologi
komputer, melatih konsentrasi, dan merangsang keterampilan bagi kehidupan mereka .
Pada usia pekembangannya, anak-anak yang sering melakukan aktivitas game akan
mengurangi kegiatan positif seperti belajar dan berinteraksi dengan teman sebaya. Anak yang
mempunyai ketergantungan pada game, akan mengurangi waktu bersosialisasi dengan teman
sebaya, karena game sangat berpotensi mengucilkan anak-anak dari lingkungan sosial .
Sedangkan anakanak perlu memiliki kemampuan bersosialisasi untuk membina hubungan
pertemanan, menyelesaikan konflik, serta untuk bekerjasama dengan baik dalam kelompok .
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk individu dan sosial, manusia membutuhkan
pergaulan dengan orang-orang lain, dalam rangka saling memberi dan salingmengambil
manfaat . Salah satu penyimpangan akibat kecanduan game online antara lain berbohong.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu Desa yang berada di Kota Jepara, yaitu Desa
Jondang Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Lokasi desa ini terletak di Jondang RT.1 RW.01
di Desa Jondang Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Dilihat dari jenis penelitian yang
dilaksanakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut pendapat Moleong (2007: 6) bahwa
penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti harus mampu mengungkapkan kebenaran yang
objektif, karena keabsahan data dalam penelitian kualitatif sangat penting sehingga bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sugiyono (2015:129) mengemukakan bahwa pengujian
keabsahan data pada penelitian kualitatif meliputi uji credibility, transferability, dependability,
dan confirmability. Hal tersebut dilakukan untuk menguji kebenaran data yang diperoleh
peneliti.
Data utama dalam penelitian kualitatif ini berupa tindakan nyata, pengamatan, kata-kata,
selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen. Data dalam penelitian ini adalah
keterangan bahan bukti nyata yang dapat di jadikan bukti dan bahan dasar kajian penelitian.
Data yang dibutuhkan oleh peneliti adalah data yang berkaitan dengan kecanduan game online
terhadap kepribadian sosial anak yang ada di Desa Jondang Kecamatan kedung Kabupaten
Jepara. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan cara reduksi data, display
data, dan kesimpulan serta verifikasi.

KESIMPULAN
Bermain game dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian sosial anak, seperti tingkah
laku pembangkangan anak, sikap agresi anak, sikap berselisih/bertengkar anak, sikap
persaingan anak, sikap kerjasama anak, sikap tingkah laku berkuasa anak, sikap
mementingkan diri sendiri/ egois anak dan sikap simpati anak. Anak ketika bermain game akan
fokus pada permainan dan tidak menghiraukan lingkungan sekitar. Berdasarkan Data yang
diperoleh melalui observasi dan wawancara dampak game online pada kepribadian sosial
anak. Jenis game on-line dan off-line yang dimainkan oleh subjek dan intensitas bermain yang
dapat berdampak bagi pemiannya. Bermain game dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadian sosial anak, seperti tingkah laku pembangkangan anak, sikap agresi anak, sikap
berselisih/bertengkar anak, sikap menggoda anak, sikap persaingan anak, sikap kerjasama
anak, sikap tingkah laku berkuasa anak, sikap mementingkan diri sendiri/ egois anak dan sikap
simpati anak. Anak ketika bermain game akan fokus pada permainan dan tidak menghiraukan
lingkungan sekitar.

Game online memiliki dampak terhadap kepedulian sosial anak itu sendiri, maupun semua itu
bisa terjadi tergantung bagaimana kita mempergunakan game online dengan baik dan
benar. Penelitian saya menunjukan bahwa dampak game online ada yang positif dan ada yang
negatif, untuk yang positif anak lebih tau tentang perkembangan teknologi, lebih mudah
belajar berbagai bahasa sesuai yang ada di game nya. Dampak negatifnya anak lebih suka
menyendiri dikamar dengan bermain gadget atau game online, bermain hanya dengan anak
yang bermain game online karena menurut mereka lebih nyambung dalam
komunikasinya, dirumah anak hanya bermain gadget jarang berkomunikasi dengan
keluarganya sendiri, belajar jadi lebih malas. Game membuat anak menjadi terisolir dengan
lingkungan sekitar, karena terlalu sering bermain game sehingga menjadi lupa dengan
hubungan sosial dalam kehidupannya. Apabila terlalu sering akan berakibat pada gangguan
psikologis. Perilaku seseorang yang bermain game dapat berubah dan mempengaruhi pola
pikir, karena pikiran akan selalu tertuju pada game yang serig dimainkan. Game juga
menjadikan anak akan mengalami masalah mental. Dampak dari game bisa menyebabkan
anak menjadi dua kali lebih hiperaktif dan akan menurunkan daya konsentrasi belajar
anak. Anakakan mudah terserang penyakit gelisah, depresi dan perkembangan sosial yang
buruk. Bermain game merupakan sebuah pemborosan secara waktu, apabila game telah
menjadi candu.

Kepribadian sosial merupakan hubungan sosial yang berkaitan dengan hubungan antar
individu, antar individu dengan kelompok serta kelompok dengan kelompok. Jika tidak ada
interaksi sosial maka didunia ini tidakada kehidupan bersama. Berikut beberapa dampak game
online terhadap interaksi sosial anak:1.Interaksi dengan orang tua tergangguAnak cenderung
lebih suka bermain gadgetatau game onlinemenyendiri dikamar ketimbang berbincang dengan
orang tua atau keluarganya, tidak bisa bertukar cerita setelah selesai makan dengan keluarga
karena pada asik main gadgetsendiri sendiri.2.Interaksi sosial anak tergangguKetika sedang
bermain dirumah maupun diluar sekolah, anak lebih suka memegang gadgetnya masing
masing ketimbang bertukar cerita mengenai hal lucu yang terjadi disekolahan. Kehidupan
manusia selalu dihadapkan dengan hubungan bersama, antara individu satu dengan yang
lain, hubugan ini diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar waktu
mereka habis untuk bermain gadget . Akibatnya tidak hanya kurangnya kedekatan antara
orang tua anak-anak juga cenderung menjadi introvert. Selain itu juga dapat mempengaruhi
perkembangan otak anak. Upaya yang dilakukan orangtua untuk mengatasi dampak negatif
penggunaan gadget di desa Geneng kecamatan Mijen kabupaten Demak sebagai berikut:
orang tua terhadap kecanduan game online pada anak.

Orang tua memiliki pandangan yang berbeda beda. Orang tua berpandangan bahwa gadget
atau bermain game online tidak seharusnya digunakan oleh anak usia dini karena banyak
dampak negatif yang beresiko untuk kesehatan anak. Psikolog Prima Pandangan orang tua
terhadap dampak bermain game online pada anak
Bermain game online menggunakan gadger yang dilakukan oleh anak bagai dua mata pisau. Di
satu sisi memberikan banyak manfaat bagi perkembangan anak, namun di sisi lain juga
memberikan dampak yang berbahaya bagi pengembangan karakternya. Salah satu dampak
positif pada anak yaitu dapat dilihat dari konten yang di gunakan oleh anak. Sebagai orang
tua, memang perlu mewaspadai game komputer atau internet karena banyak dari game tersebut
yang mengandung unsur yang tidak sesuai untuk anak. Maka pilihlah permainan yang bersifat
edukatif.

Bermain Game Online juga membentuk kebiasaan yang cenderung hanya menyimak tanpa ada
tindakan fisik secara nyata dan memicu terjadinya sifat malas. Awalnya malas
bergerak, lamalama menjadi malas dalam banyak hal, seperti malas makan, malas
mandi, malas belajar, malas bermain, malas keluar rumah, malas bermain bersama teman, dan
sebagainya. Secara teori menurut psikolog Prima Upaya yang telah dilakukan orang tua untuk
mengatasi kecanduan bermain game online
Setiap orang tua memiliki caranya masing masing dalam berupaya mencegah kecanduan
bermain game online. Bentuk-bentuk pencegahan yang dilakukan orang tua terhadap anak
dilakukan dengan cara yang mudah diterima oleh anak. Salah satu hal yang dapat dilakukan
olehh orang tua yaitu Bersikap tegas dengan melarang anak apabila sudah bermain terlalu lama
kemudian langsung mengambil ponselnya sehingga anak terhenti bermain meskipun anak tua
harus bersikap tegas terhadap anak.

Anda mungkin juga menyukai