Anda di halaman 1dari 28

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA


KELAS V SD NEGERI 1 WAMEO

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Menyelesaikan Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Meteologi Penelitian

DISUSUN OLEH :
YONGKY INDRAWAN

NPM. 032101035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
BAUBAU
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional ; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.

Pendidikan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan juga untuk mengembangkan

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

Pendidikan tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga mencakup

aspek-aspek karakter dan emosional siswa. Oleh karena itu, pemahaman dan

pengembangan kecerdasan emosional menjadi bagian integral dalam

mencapai tujuan pendidikan yang komprehensif.


Kecerdasan emosional merupakan hal yang paling penting dalam

menentukan keberhasilan siswa karena dengan emosi yang lepas dapat

membuat siswa yang pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosional,

siswa tidak akan mampu menggunakan kemampuan (Melida, 2021). Goleman

(Sumiati, 2012) mengemukakan suatu temuan bahwa EQ (emostional

quuotion) menyumbang 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam

kehidupan, dibandingkan dengan IQ (intellingece quotion) yang menyumbang

20% saja.

Tujuan pendidikan nasional adalah sebagai pengembangan potensi

peserta didik. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dalam pendidikan

sangat dipengaruhi oleh suasana yang kondusif yang diciptakan oleh semua

komponen dalam mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan yang

diharapkan sehingga dapat mencapai kecerdasan emosional secara positif dan

terhindar dari perilaku bullying.

Bullying menurut Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) adalah sebagai

suatu bentuk kekerasan fisik dan psikologis jangka panjang yang dilakukan

seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu

mempertahankan diri dalam suatu situasi yang mana ada hasrat untuk melukai

atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan

tidak berdaya. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri

dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di

kalangan pelajar. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena


mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab yang semestinya dalam

menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara-cara yang

bermartabat. Para pelaku umumnya mencontoh situasi serupa yang terjadi di

lingkungannya ataupun melalui apa yang dilihat dari siaran televisi.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat

sebanyak 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI

hingga Agustus 2023. Dari jumlah tersebut rinciannya yaitu anak sebagai

korban bullying/perundungan 87 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas

pendidikan 27 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 24 kasus, anak

korban kekerasan fisik dan/atau psikis, 236 kasus, anak korban kekerasan

seksual 487 kasus, serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke

KPAI (Republika Online 2023).

Fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah,

maraknya kasus bullying di lakukan di sekolah yang beritakan di televisi dan

media sosial hanyalah sebagian dari gunung es yang muncul di permukaan.

Apalagi saat ini dengan penggunaan gadget yang digunakan unutuk

pengunaan media sosial yang membuat mereka sering mendapatkan bullying

di media sosial atau dikenal dengan nama cyberbullying.

Dari hasil observasi yang di lakakukan peneliti di SD Negeri 1

Wameo khususnya di kelas V menunjukan beberapa siswa memang

melakukan tindakan bullying baik mereka sadari ataupun tanpa mereka sadari.

Sepertti contohnya ada anak yang kurang pintar dalam kelas yang selalu
mendapatkan ejekan oleh beberapa temannya, seperti mendapatkan hinaan,

makian dari temannya yang biasa di ikuti dengan kekerasan fisik karena anak

tersebut bertubuh kecil.

Kecerdasan emosional menjadi salah satu faktor terjadinya bullying,

Perilaku bullying sering muncul akibat keadaan emosi. Emosi sangat

berpengaruh terhadap fungsi-fungsi psikis, sehingga individu dapat

memberikan tanggapan atau respon berupa perilaku dengan baik jika ia

memiliki emosi yang baik. Media masa, media cetak maupun media

elektronik akhir-akhir ini banyak memaparkan kasus bullying yang terjadi di

kalangan pelajar. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya tindakan kekerasan

baik yang dilakukan secara individu, dilakukan secara bersama-sama

sekelompok anak bahkan ada pula yang dilakukan secara masal. Sejak lahir

manusia merupakan kesatuan psiko-fisis yang terus mengalami pertumbuhan

dan perkembangan, dalam pertumbuhan dan perkembangannya tersebut

manusia memiliki karakteristik yang khas.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, solusi empiris

yang diajukan adalah dengan meningkatkan pemahaman dan pengembangan

kecerdasan emosional siswa. Teori-teori pendukung, seperti teori kecerdasan

emosional Daniel Goleman, telah terbukti berhasil dalam meningkatkan

kualitas interaksi sosial dan emosional individu. Penelitian empiris

sebelumnya menunjukkan bahwa implementasi program pendidikan

kecerdasan emosional dapat mengurangi tingkat perilaku bullying di sekolah


dasar. Dalam konteks ini, diperlukan upaya untuk menyusun dan menerapkan

program yang sesuai dengan karakteristik siswa SD guna meningkatkan

pemahaman dan keterampilan kecerdasan emosional mereka.

Penelitian relevan yang di lakukan sebelumnya, misalnya penelitian

Winda dan Endang, (2019) menyatakan terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku bullying. Semakin

tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah perilaku bullying,

demikian sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin

tinggi perilaku bullying. Adapun kecerdasan emosional memberikan

sumbangan sebesar 12,4% terhadap perilaku bullying, dansisanya 87,6%

merupakan faktor-faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi perilaku

bullying.

Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan

Perilaku Bullying pada Siswa Kelas V SD Negeri 1 Wameo ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dari penelitian ini

adalah : apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku

bullying pada siswa SD Negeri 1 Wameo ?

C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencaritahu ada keterkaitan

hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku bullying pada siswa

kelas V SD Negeri 1 Wameo.

D. Manfaat Penelitian

1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi pendidikan, perkembangan dan memperkaya hasil penelitian yang

telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai hubungan kecerdasan

emosional dengan perilaku bullying anak.

2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu

memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor sekolah

dan guru dalam upaya membimbing siswa untuk mengatasi dan mencegah

hal-hal yang bisa memunculkan perilaku bullying anak di Sekolah Dasar.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosianal

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan dan

mengambil keputusan yang terbaik dalam suatu permasalahan dengan

melihat dari kondisi ideal suatu kebenaran atas dasar pembelajaran

pengalaman dan penyesuaian lingkungan. Emosi yaitu suatu perasaan yang

mendorong individu untuk merespon atas rangsangan yang muncul dari

dalam dirinya maupun dari luar dirinya, sehingga individu dapat merasakan

suatu perubahan sistem terhadap fisologis dan psikologisnya dalam waktu

yang cepat.

Kecerdasan emosional adalah menunjuk pada suatu kemampuan

untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain,

kemampuan untuk memotivasi diriya sendiri dan menata dengan baik

emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan

orang lain. Goleman (Sri Wahyuni Saragi, 2019) mengartikan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan

sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,

dan kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan

dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional dalam


pengertian Goleman tampaknya lebih ditujukan pada upaya mengenali,

memahami, dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat. Selain itu satu

hal penting dalam kecerdasan emosional ini adalah upaya untuk mengelola

emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah

kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia. Reuver

Bar On (Goleman, 1997) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah

serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial untuk berhasil dalam

mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Salovey dan Mayer (1990)

mendefinisikan kecerdasan emosional adalah bagian kemampuan untuk

mengatur perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, dan menggunakan

informasi emosi tersebut untuk memandu proses berpikir dan bertingkah

laku.

Menurut Goleman (1995) menyatakan bahwa setinggi-tingginya IQ

hanya menyumbang 20% dari keberhasilan seseorang dalam hidup dan

Emotional Intelligence (EI) atau kecerdasan emosional menyumbang

sekitar 80% kelebihannya. IQ dan kecerdasan emosional (EQ) bukanlah

keterampilan-keterampilan yang saling bertentangan, melainkan

keterampilan-keterampilan yang sedikit terpisah. Semua mencampurkan

ketajaman akal dengan ketajaman emosi; orang dengan IQ tinggi tetapi

kecerdasan emosional rendah (atau IQ rendah dengan kecerdasan

emosional tinggi) relatif langka kendati adanya stereotip-stereotip itu.

Sungguh ada sedikit korelasi antara IQ dan beberapa aspek kecerdasan


emosional meskipun korelasi itu cukup kecil sehingga jelas-jelas kedua hal

itu pada umumnya adalah hal yang terpisah.

Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan

kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola dan

mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain,

pemecahan masalah serta berpikir realistis sehingga mampu merespon

secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi

tersebut.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Salovey (Gitosaroso, 2012) membagi kecerdasan emosional dalam

lima wilayah :

a. Mengenal Emosi Diri

Kesadararan diri, mengenali perasan itu terjadi merupakan dasar

emosional. Adanya untuk mencermati perasaan sehingga ia akan menjadi

pedoman bagi kehidupan , karena mempunyai kepekaan yang lebih

tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya akan pengambilan

keputusan-keputusan masalah pribadi yang dimiliki setiap individu.

b. Mengelolah Emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan baik,

dimana penguasaan diri yaitu kemampuan untuk menghadapi badai

emosi yang ada, pengendalian tindakan emosi yang berlebihan.

c. Memotivasi Diri
Merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi

perhatian dan memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan

berkreasi. Kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan

mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan berbagai

bidang. Orang-orang yang memiliki kemampuan memotivasi diri,

cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa saja yang

mereka kerjakan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita

terhadap emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan.

kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana

perasaan orang lain, ikut berperan dari segala bentuk kegiatan yang

dilakukan dalam kehidupan kita.

e. Membina Hubungan

Dengan adanya landasan keterampilan dalam membina hubungan

dengan orang lain, penyesuaian dengan tuntutan orang lain tentunya

membutuhkan sedikit ketenangan dalam diri seseorang. Kemampuan

seseorang untuk menangani emosi orang lain merupakan inti dari sendiri

membina hubungan. Kemampuan ini memungkinkan seseorang

membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain,

membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi,

membuat orang-orang lain merasa nyaman.


Kesiampulannya kecerdasan emosional pada anak adalah keterampilan

berpikir realistis dan optimis, keterampilan memecahkan masalah,

keterampilan sosial, keterampilan untuk memotivasi diri dan berprestasi,

mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi

orang lain dan membina hubungan.

3. Faktor-faktor Kecerdasan emosional

Goleman (Septiyana, 2019) menyebutkan faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosi adalah:

a. Faktor internal, merupakan faktor yang timbul dari dalam individu yang

dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak emosional

dipengaruhi oleh keadaan amigdala, neokorteks system limbic, lobus

prefrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang datang dari luar individu dan

mempengaruhi atau mengubah sikap. Pengaruh luar yang bersifat

individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu

mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak

langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak

maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa internet.

Kesimpulannya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosi pada anak yaitu faktor lingkungan keluarga, lingkungan

non keluarga, kondisi fisik, kondisi kesehatan, tingkat inteligensi.

B. Perliaku Bullying
1. Pengertian Perilaku Bullying

Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada

pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang

lain yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya berupa stress.

Perilaku bullying adalah suatu keinginan atau tindakan negatif untuk

melukai baik fisik verbal ataupun psikologis yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang kepada orang lain secara berulang-ulang, terjadi

ketidak seimbangan kekuatan antara pelaku dan korban dan menimbulkan

kepuasan dari pelaku dalam melakukan perilaku tersebut (Septiyana, 2019).

Bullying adalah pola perilaku agresif yang melibatkan ketidak seimbangan

kekuatan yang didesain untuk membuat orang lain merasa tidak nyaman,

takut, dan terluka. Hal ini seringkali didasarkan padaperbedaan

penampilan, budaya, ras, agama,orientasi seksual dan identitas serta jenis

kelamin orang lain (Masyithoh, 2023).

Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang

dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek,

bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup

lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan

terintimidasi. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan Djuwita

(Mellor, 2007) bahwa bullying adalah penggunaan kekuasaan atau

kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban


merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin

terjadi berulang.

Hal yang penting di sini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi

apa dampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang

siswa mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa

terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang,

maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa

takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan

bullying.

Definisi yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus (Saragi,

2019) yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah

ketika siswa secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif

terhadap seorang atau lebih siswa lain. Tindakan negatif di sini adalah

ketika seseorang secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau

membuat seseorang tidak nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat

dalam definisi perilaku agresif.

Dari berbagai pengertian bullying, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan dengan

sengaja dengan tujuan untuk melukai atau mencoba melukai, atau membuat

seseorang tidak nyaman. Perilaku tersebut dilakukan secara berulang-

ulang.

2. Bentuk-Bentuk Bullying
Menurut Storey, dkk (Hertinjung 2013) bahwa bullying terjadi dalam

beberapa bentuk, dengan variasi keparahan yang berbeda-beda. Bentuk-

bentuk bullying adalah bullying fisik, verbal, dan bullying tidak langsung.

Bullying fisik misalnya menonjok ,mendorong, memukul, menendang, dan

menggigit; bullying verbal antara lain menyoraki, menyindir, mengolok-

olok, menghina, dan mengancam. Bullying tidak langsung antara lain

berbentuk mengabaikan, tidak mengikut sertakan, menyebarkan

rumor/gosip, dan meminta orang lain untuk menyakiti.

Sejiwa (Septiyana, 2019) menyebutkan bentuk bullying ada 3 (tiga)

yaitu :

1. Bullying fisik yang secara kasat mata bisa dilihat karena terjadi

sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya, misalnya

menampar, menimpuk, menginjak kaki dan memalak.

2. Bullying verbal yang juga bisa terdeteksi karena bisa ditangkap indra

pendengaran, misalnya memaki, menghina, menjuluki dan menolak.

3. Bullying mental atau psikologis. Bentuk bullying ini yang paling

berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga jika individu tidak

cukup awas mendeteksinnya. Contoh dari bullying psikologis adalah

memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat pesan,

memandang yang merendahkan, memelototi, dan mencibir.

Berdasarkan uraian dan penjelasan mengenai aspek-aspek bullying di

atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa prilaku bullying mencakup


diantaranya yaitu: bullying fisik, bullying verbal dan bullying mental atau

psikologis atau psikis, karena bentuk-bentuk bullying tersebut sudah

mencakup seluruh perilaku bullying.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Menurut Davidoff (Nadeak, 2016) perilaku bullying anak dipengaruhi

oleh beberapa faktor :

1. Faktor biologis

Ada beberapa factor biologis yang mempengaruhi perilaku bullying,

yaitu :

[a.] Gen : tampaknya berpengaruh pada pembentukan system neural

otak yang mengatur perilaku bullying.

a.[b.] Sistem Otak : Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi

ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit netral yang

mengendalikan agresi dari perilaku bullying.

[c.] Kimia Darah : Kimia darah (khususnya hormone seks yang

sebagian ditentukan faktorfactor keturunan) juga dapat

mempengaruhi perilaku bullying.

2. Faktor Lingkungan

Yang mempengaruhi perilaku bullying anak adalah :

a. Kemiskinan : Anak yang tumbuh dalam lingkungan kemiskinan,

maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan.

Hal yang dapat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut


terjadinya krisis ekonomi dan moneter menyebabkan

pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini

berarti potensi meledaknya tingkat agresi perilaku bullying

semakin besar.

[b.] Anoniomitas : Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif

membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara 1 orang

dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi,

setiap individu cenderung menjadi anonym (tidak mempunyai

identitas diri). Jika seseorang merasa anonym ia cenderung

berperilaku semuanya sendiri, karena ia merasa tidak terikat

dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati dengan orang

lain.

[c.] Suhu udara yang panas : Suhu lingkungan yang tinggi memiliki

dampak terhadap tingkah laku social berupa peningkatan

agresifitas yang menyebabkan perilaku bullying.

b.[d.] Kesenjangan generasi : Adanya perbedaan atau jurang pemisah

(gap) antara generasi anak dengan orangtuanya dapat terlihat alam

bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan

seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara

orangtua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya

perilaku bullying pada anak.


[e.] Amarah : Marah merupakah emosi yang memiliki ciri-ciri

aktifitas sistim saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan

tidak suka yang kuat yang biasanya disebabkan karena adanya

kesalahan yang mungkin nyata atau mungkin tidak. Pada saat

marah, ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan,

atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikirian yang kejam.

Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku bullying.

[f.] Peran belajar model kekerasan : Tokoh pahlawan di berbagai film

seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak

kekerasan. Hal ini menjadikan penonton akan semakin mendapat

penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan

dan dapat dijadikan suatu sistim nilai bagi dirinya. Dengan

menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar

peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk

terciptanya perilaku bullying.

c.[g.] Frustasi : Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu

hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan,

pengharapan atau tindakan tertentu. Bullying merupakan salah

satu merespon terhadap frustasi. Anak miskin yang nakal adalah

akibat dari frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu

menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan


yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya

mereka menjadi mudah marah dan berperilaku bullying.

d.[h.] Proses pendisiplinan yang keliru : Pendidikan disiplin yang

otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan

memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai

pengaruh yang buruk bagi anak. Pendidikan disiplin seperti itu

akan membuat anak menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan

orang lain, membenci orang yang memberikan hukuman,

kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada

akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk bullying

kepada orang lain.

e.[i.] Kecerdasan emosional : Kecerdasan emosi adalah kemampuan-

kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat,

ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

Menurut Ariesto (Sebtiya, 2019) penyebab terjadinya bullying antara

lain :

a. Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang

bermasalah : orang tua yang sering menghukum anaknya secara

berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan

permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika

mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka,


dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada

konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-

cobanya itu, anak akan belajar bahwa “mereka yang memiliki

kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku

agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”.

Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying.

b. Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying

ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan

penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi

terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam

lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada

siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun

sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan

menghormati antar sesama anggota sekolah.

c. Faktor Kelompok Sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan

teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan

bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk

membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu,

meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku

tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku


pada korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang

yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan

menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku bullying, semakin

baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat

meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi perilaku bullying adalah faktor biologis seperti : gen, sistem

otak kimia darah, dan faktor lingkungan seperti : kemiskinan, anoniomitas,

dan suhu udara yang panas, kesenjangan generasi, amarah, peran belajar

model kekerasan, frustasi dan proses pendisiplinan yang keliru, keluarga

yang bermasalah, lingkungan sekolah, faktor kelompok sebaya dan juga

disebabkan oleh adanya pengaruh media massa, faktor budaya dan

kematangan atau kecerdasan emosi.

4. Dampak Bullying

1. Dampak Perilaku Bullying Terhadap Kehidupan Individu

SEJIWA (Saragi, 2019) menyebutkan penelitian tentang bullying telah

dilakukan baik didalam maupun di luar negeri. Penelitian-penelitian

tersebut mengungkapkan bahwa bullying memiliki efek-efek negatif

sebagai berikut:

a. Gangguan psikologis (seperti cemas dan kesepian).

b. Konsep diri korban bullying menjadi lebih negatif karena korban

merasa tidak diterima oleh teman-temannya.


c. Menjadi penganiaya ketika dewasa.

d. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal.

e. Korban bullying merasakan stress, depresi, benci terhadap pelaku,

dendam, ingin keluar sekolah, merana, malu, tertekan, terancam,

bahkan ada yang menyilet-nyilet lengannya.

f. Menggunakan obat-obatan atau alkohol.

g. Membenci lingkungan sosialnya.

h. Korban akan merasa rendah diri dan tidak berharga.

i. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan

kepribadian.

j. Keinginan untuk bunuh diri.

2. Dampak perilaku bullying terhadap kehidupan akademis

Bullying berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi,

penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga

menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa.

3. Dampak perilaku bullying terhadap kehidupan sosial

Aksi bullying menyebabkan seseorang menjadi terisolasi dari

kelompok sebayanya karena teman sebaya pelaku bullying tidak mau

berteman karna akhirnya mereka akan menjadi target bullying, hal ini

sejalan dengan Glew, Rivara, & Feudtner (Sonia, 2009) bullying dapat

menyebabkan sekolah menjadi tempat yang tidak menyenangkan dan


berbahaya. Ketakutan yang mereka alami dapat menimbulkan depresi,

harga diri rendah, dan sering absen.

Dampak bullying menurut Maretna, 2021 yaitu adanya rasa tidak suka

satu sama lain antara siswa yang di bully dan yang membully pada

akhirnya timbullah permusuhan di antara keduanya, walaupun permusuhan

itu tidak mereka tampakkan di depan kelas namun sangat jelas terlihat

bahwa siswa yang sering di-bully sangat risih untuk dekat dengan pelaku.

Adapun dampak lainnya yaitu, siswa menjadi tidak suka bermain bersama

dengan teman-teman yang lainnya, siswa yang sering di-bully lebih suka

bermain sendirian atau mencari teman yang se jalan dengan nya. Siswa

lebih merasa menjadi percaya diri apabila tidak terlalu banyak teman.

Menurut beberapa siswa, apabila mempunyai banyak teman, ia akan

kesulitan untuk menjadi diri sendiri, ia akan ikut-ikutan dengan teman nya,

karena menurut pemikiran beberapa siswa teman adalah orang yang akan

berpengaruh di kehidupannya, apabila ia berteman dengan seorang juara

kelas, tidak menutup kemungkinan dia juga akan menjadi juara kelas atau

paling tidak nilai nya akan semakin tinggi, begitupula apabila seseorang

berteman dengan seorang pemalas, tidak menutup kemungkinan, cepat atau

lambat ia juga akan menjadi pemalas seperti temannya, namun rata- rata

siswa tidak saling bermusuhan hanya saja mereka tidak terlalu akrab,

berbicara ketika ada yang penting saja, saling memperingati apabila salah

satu dari mereka ada yang salah dan sebagainya.


Bullying tidak hanya berdampak pada korban saja tetapi juga di

rasakan oleh pelaku Sanders (Anesty, 2009) National Youth Violence

Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini

memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula,

cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan,

tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang

rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan

kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap

targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Coloroso (2006) mengungkapkan bahwa siswa akan

terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan

hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain,

tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai

sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan

datang. Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa

mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-

menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan

terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku

kriminal lainnya.

Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang

menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang

diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan
bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan

beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun

dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.

Berdasarkan dampak bullying dapat disimpulkan bahwa bullying

memiliki dampak negatif bagi kehidupan baik bagi korban, pelaku maupun

orang lain yang menyaksikannya. Dapat kita lihat bahwa bullying

memiliki dampak yang luas terhadap semua orang yang terlibat di

dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka

pendek dan dalam jangka panjang.

C. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Perikalu Bullying

Anak adalah makhluk yang membutuhkan kasih sayang, pemeliharaan

dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari

keluarga, dan keluarga memberi kesempatan kepada anak untuk belajar

tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam

kehidupan bersama. Hurlock (2003) menjelaskan bahwa masa kanak-kanak

merupakan masa terpanjang dalam rentang kehidupan saat di mana

individu relatif tidak berdaya dan bergantung pada orang lain.

Perilaku bullying erat kaitannya dengan kekerasan, penindasan, dan

intimidasi yang seharusnya tidak terjadi, jika seseorang itu mampu

mengendalikan, mengelola emosi, memahami diri sendiri, berempati serta

tidak bersikap dendam dan iri hati kepada orang lain (Astuti, 2008).

Kemampuan mengelola emosi dan mengendalikan diri merupakan salah


satu kunci untuk mengurangi terjadinya perilaku bullying, karena individu

dengan pengendalian diri, dapat merasakan bangga dan senang pada

keadaan dirinya Astuti (Septiyanah, 2019).

Menurut Davidoff (Nadeak, 2016) salah satu faktor lingkungan yang

mempengaruhi terjadinya bullying adalah kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan-kemampuan yang mencakup

pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri. Menurut Baron (Dayaksini & Hudaniah, 2006)

bullying dalam bentuk perilaku agresif merupakan tingkah laku individu

yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak

menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Dalam definisi tersebut

terdapat empat faktor tingkah laku antara lain : tujuan untuk melukai,

individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban, dan

ketidakinginan korban mendapat tingkah laku tersebut. Semua emosi pada

dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk

mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh

evolusi (Goleman, 1997).

Menurut Goleman (1997) kecerdasan emosional adalah kemampuan

untuk mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan

untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan untuk mengelola emosi

dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Keberhasilan siswa tidak hanya ditandai dengan prestasi akademisnya saja,


tetapi juga harus dilihat dari kemampuan dalam mengendalikan

perilakunya dalam beretika di lingkungan sekolah. Emosional dalam hal ini

sangat dibutuhkan, emosional menentukan apakah seseorang dapat atau

tidak mengendalikan perilakunya, khususnya perilaku bullying. Goleman

(1997) menyatakan bahwa dengan adanya pengelolaan emosional, maka

akan berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan gangguan lainnya, lebih

mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi,

berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri, lingkungan

kampus maupun keluarga, lebih baik dalam menangani ketenangan jiwa,

dan berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

Pendekatan

5.

[C.] Penelitian Relevan

[D.] Kerangka Berpikir

D.[E.] Hipotesis Tindakan


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

B. Subjek Penelitian

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

D. Sumber Data

E. Insrumen Penelitian

F. Teknik Pengumpulan Data

G. Teknik Analisis Data

Anda mungkin juga menyukai