Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENGAMBILAN KEPUTUSAN

PELATIHAN DISKUSI KASUS ANTI BULLYING BERSAMA


FASILITATOR TEMAN SEBAYA SEBAGAI SOLUSI TINDAK BULLYING
DI SEKOLAH MENENGAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengambilan Keputusan

Dosen Pengampu: Dra. MM. Wahyuningrum, MM.

Oleh :

Farra Ahlya Nastiti

17101241042

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


PENDIDIKAN JURUSAN ADMINISTRASI
PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik
dan psikis. Remaja juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati
dengan berbagai kesulitan. Dalam tugas perkembangannya, remaja akan melewati
beberapa fase dengan berbagai tingkat kesulitan permasalahannya sehingga dengan
mengetahui tugas-tugas perkembangan remaja dapat mencegah konflik yang
ditimbulkan oleh remaja dalam keseharian yang sangat menyulitkan masyarakat, agar
tidak salah persepsi dalam menangani permasalahan tersebut. Pada masa ini juga
kondisi psikis remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian jati diri.
Biasanya mereka selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru dilihat atau
diketahuinya dari lingkungan sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman
sepermainan dan masyarakat. Semua pengetahuan yang baru diketahuinya diterima
dan ditanggapi oleh remaja sesuai dengan kepribadian masing-masing. Disinilah peran
lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membentuk kepribadian seorang remaja.

Lemahnya emosi seseorang akan berdampak pada terjadinya masalah di kalangan


remaja, misalnya bullying yang sekarang kembali mencuat di media. Kekerasan di
sekolah ibarat fenomena gunung es yang nampak ke permukaan hanya bagian kecilnya
saja. Akan terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat dan berkesinambungan dari
akar persoalannya.

Budaya bullying (kekerasan) atas nama senioritas masih terus terjadi di kalangan
peserta didik. Karena meresahkan, pemerintah didesak segera menangani masalah ini
secara serius. Bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang
dilakukan teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih ‘rendah’ atau lebih lemah
untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi
berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara sistematis. Dari menjamurnya,
kasus – kasus bullying yang ada di lembaga pendidikan di Indonesia khususnya
lingkungan sekolah, penulis mengambil tema yang berkaitan dengan perilaku bullying
di jenjang pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan bullying?
2. Bagaimana bullying dapat terjadi di sekolah menengah?
3. Bagaimana dampak dari perilaku bullying di sekolah?
4. Bagaimana kasus bullying yang terjadi pada siswa sekolah menengah di Daerah
Istimewa Yogyakarta?
5. Bagaimana solusi dan pengambilan keputusan yang digunakan untuk menekan
angka bullying di sekolah menengah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu bullying.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya bullying di sekolah menengah.
3. Untuk mengetahui dampak dari perilaku bullying di sekolah.
4. Untuk mengetahui kasus bullying yang terjadi pada siswa sekolah menengah di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
5. Untuk mengetahui solusi dan pengambilan keputusan yang digunakan untuk
menekan angka bullying di sekolah menengah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Bullying

Barbara Coloroso (2003:44) mendefinisikan “Bullying adalah tindakan


bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk
menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan terror.
Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan bersifat nyata atau
hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk
diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau
kelompok anak.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan


berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi
kekuatan yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan
mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah
laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari
ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu. Pelaku mengambil
keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang. Tindakannya bisa dengan
mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan korban.

B. Faktor Pemicu Bullying di Sekolah

Faktor yang pertama adalah iklim sekolah. Jika iklim sekolah positif maka
semakin rendah potensi bullying akan terjadi, namun jika iklim sekolah negatif maka
semakin tinggi pula potensi perilaku bullying terjadi.
Faktor kedua berasal lingkungan kelompok teman sebaya. Jika seorang pelajar
berteman atau bergaul dengan anak-anak yang memiliki masalah dalam lingkungan
sekolahnya dan berperilaku tidak sopan, maka pelajar tersebut dapat terpengaruh untuk
melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan temannya tersebut.
Faktor ketiga adalah perhatian pihak sekolah terhadap bullying yang terjadi di
lingkungan sekolah. Cukup banyak sekolah yang mengabaikan
perilaku bullying sehingga menjadi satu kekuatan yang cukup untuk pelajar
melancarkan perilaku bullying.
Faktor terakhir adalah lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah dimana guru
berbuat kasar kepada siswanya menyebabkan kegiatan belajar menjadi tidak
menyenangkan dan efektif, peraturan dan kebijakan yang tidak konsisten atau
peraturan dan kebijakan yang terlalu ketat membuat pelajar ingin melanggar peraturan
tersebut, serta guru yang tidak memperhatikan pergaulan yang dilakukan siswanya
selama di sekolah.
C. Dampak Terjadinya Bullying di Sekolah

Bullying memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua
pihak yang terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang
menyaksikan tindakan bullying. Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence
Prevention Resource Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa
bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi
konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila
bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem
siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan
remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang
lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa
membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).

Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara


berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa
depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying,
terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau
tidak mau menolongnya. Haltersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi
akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif
untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam
pengasingan.

D. Pengambilan Keputusan Strategis Melalui Program Diskusi Kasus sebagai


Solusi Tindak Bullying di Sekolah

Aktivitas pengambilan keputusan strategis merupakan salah satu tanggung jawab


pokok setiap kepala sekolah. Menurut Elbing ada lima langkah dalam proses
pengambilan keputusan: 1) Identifikasi dan Diagnosa masalah, 2) Pengumpulan dan
Analisis data yang relevan, 3) Pengembangan dan Evaluasi alternatif-alternatif., 4)
Pemilihan Alternatif terbaik, 5) Implementasi keputusan

Menurut Sanjaya (2006), Djamarah & Zain (1995) metode diskusi kasus diartikan
sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah, untuk menjawab pertanyaan dalam
pengambilan keputusan. Diskusi kasus mengajarkan siswa agar berusaha memecahkan
persoalan dengan padangan dan pendekatan yang berbeda untuk menghasilkan
semangat kreatifitas dalam berdiskusi, mereka menyeleksi data, menganalisis, melihat
kembali pengalaman yang telah mereka jalani, menarik kesimpulan sehingga mereka
berada pada situasi yang baru (Boehrer & Linsky, 1990).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pemecahan Masalah Bullying di Sekolah Menengah Daerah Istimewa Yogyakarta


Kepala Sekolah sebagai pengambil keputusan tertinggi di sekolah menyusun
beberapa alternatif program untuk menekan angka bullying yang terjadi dengan proses
pengambilan keputusan sebagai berikut:
1. Identifikasi dan Diagnosa Masalah
Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada
pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang
umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan
psikis bagi korbannya. Bully dilakukan oleh anak usia sekolah, salah satu
karakteristik anak usia sekolah adalah adanya egosentrisme (segala sesuatu terpusat
pada dirinya) yang masih dominan. Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya,
anak masih menganggap bahwa semua itu adalah karena dirinya. Bentuk dan modus
bullying:
Fisik (tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lempar benda, meludahi,
mencubit, merusak, membotaki, mengeroyok, menelanjangi, push up berlebihan,
menjemur, mencuci WC, lari keliling lapangan yang berlebihan/ tidak mengetahui
kondisi siswa, menyundut rokok, dan lain-lain).
Verbal (mencaci maki, mengejek, memberi label/ julukan jelek, mencela,
memanggil dengan nama bapaknya, mengumpat, memarahi, meledek, mengancam,
dan lain-lain).
Psikis (pelecehan seksual, memfitnah, menyingkirkan, mengucilkan, mendiamkan,
mencibir, penghinaan, menyebarkan gosip).

2. Pengumpulan dan Analisis Data yang Relevan


Data kasus bullying di DIY
Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Juwita di Yogyakarta menunjukkan
bahwa kasus bullying ditemukan pada 70,65% SMP dan SMA di Yogyakarta, lebih
tinggi daripada kasus di Jakarta dan Surabaya. Direktur UNICEF Perwakilan Pulau
Jawa, Arie Rukmantara mengatakan bahwa 2 dari 10 siswa di DIY pernah
mengalami perundungan. Hasil survei pendahuluan dengan kuisioner yang
dilakukan oleh peneliti terhadap 37 orang guru, menunjukkan bahwa sebanyak
89,2% guru mengetahui atau pernah mendapat laporan bahwa bullying terjadi di
sekolah tempat para guru tersebut mengajar.
Kasus-kasus bullying yang terjadi di sekolah pada dasarnya terjadi karena
penciptaan suatu lingkungan dimana setiap orang dapat memahami bahwa perilaku-
perilaku bullying tidak dapat diterima, merusak, akan tetapi juga dapat dicegah
masih belum terjadwal atau tersistem dengan baik.
3. Pengembangan dan Evaluasi Alternatif-Alternatif
Disusun beberapa alternatif program sekolah untuk menekan angka bullying:
a. Pelatihan Guru Peduli Bullying
Pelatihan guru yang diselenggarakan sekolah yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan guru dalam
menangani bullying. Guru yang telah mengikuti pelatihan “Guru Peduli”
diharapkan menjadi semakin peka dan unggul atau terampil dalam mengatasi
bullying.
Kelebihan dari program ini yaitu memberikan pemahaman baru dan materi
yang komprehensif kepada guru mengenai tindak bullying. Modul pelatihan
disusun dengan mengacu pada program berskala Internasional yaitu Quit it! dan
Steps to Respect: A Bullying Prevention Program. Setelah pelatihan selesai,
guru juga akan terdorong untuk mengaplikasikan ilmunya secara langsung di
lapangan.
Kekurangan dari program ini yaitu hanya terfokus pada satu pihak saja
yaitu guru, sehingga siswapun masih minim pengetahuan mengenai bullying.
Materi yang diberikan juga bersikap teoritikal yang mana dalam
pengaplikasiannya apabila guru tidak memahami dengan baik akan kurang
berjalan dengan maksimal.

b. Pelatihan Diskusi Kasus Anti Bullying bersama Fasilitator Teman Sebaya


Pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan keterampilan memandu diskusi
kasus kepada siswa yang nantinya akan menjadi fasilitator teman sebaya dalam
menyampaikan informasi antibullying di sekolahnya. Metode diskusi kasus
memanfaatkan studi kasus, yaitu deskripsi tentang suatu situasi yang disajikan
entah secara tertulis, lewat rekaman audio, atau lewat remakan video, untuk
disimak atau dipelajari oleh peserta dan kemudian mendiskusikannya dengan
panduan pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh fasilitator. Dalam metode
ini fasilitator akan menyajikan beberapa kasus yang nantinya akan didiskusikan
oleh peserta, dengan tujuan agar mereka bisa saling memberikan pendapatnya,
ide, berbagi pengetahuan tentang fenomena bullying, cara mencegahnya serta
solusi untuk menangani perilaku bullying tersebut.
Kelebihan dari program ini yaitu salah satu karakteristik anak remaja yang
dipertimbangkan yaitu kecenderungan untuk lebih memilih membicarakan
permasalahannya kepada sesama teman dengan gaya remaja, dibandingkan
dengan berdiskusi dengan orangtua maupun orang dewasa, bahkan konselor
sekalipun, sehingga program ini akan lebih efektif. Proses pembelajaran juga
mengacu pada pembelajaran melalui pengamatan yang akan lebih disukai oleh
siswa, serta guru berperan pula dalam mendampingi jalannya program.
Kekurangan dari program ini yaitu tidak semua siswa tertarik untuk
melakukan suatu diskusi kasus sehingga memerlukan sosialisasi yang tepat dan
solusi khusus untuk masalah tersebut.

4. Pemilihan Alternatif Terbaik


Berdasarkan analisis dan evaluasi masing-masing alternatif yang sudah
dilakukan, kepala sekolah memutskan untuk memilih alternatif kedua yaitu pelatihan
diskusi kasus anti bullying bersama fasilitator teman sebaya. Program tersebut
dinilai lebih efektif untuk menekan angka bullying di sekolah menengah dengan
mempertimbangkan kondisi psikologis remaja yang cenderung lebih mendengarkan
teman sebayanya. Disisi lain, melatih siswa dalam suatu diskusi kasus akan
mengembangkan jiwa kepepimpinan dan ketrampilan softskill siswa yang mana akan
menjadi nilai lebih untuk pembentukan kualitas siswa.
Dalam menyikapi kekurangan program ini, kepala sekolah bersama guru akan
mendesign program diskusi kasus dengan semenarik mungkin pelaksanaannya serta
melakukan sosialisasi awal untuk mengenalkan program antibullying ini. Sekolah
juga akan menyiapkan reward bagi siswa yang berprestasi dan aktif mengikuti
program diskusi kasus ini sehingga membangkitkan ketertarikan siswa.
Adapun tahap-tahap (alur) yang akan digunakan dalam memimpin sebuah
diskusi kasus adalah sebagai berikut:

a. Menyajikan kasus
b. Menghimbau kepada peserta untuk membaca dan menganalisis kasusnya
sebagai persiapan diskusi
c. Fasilitator mulai dan membimbing alur diskusi, dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melakukan pendalaman, dan memberikan ringkasan.
d. Fasilitator menggunakan flipcharts atau papan tulis atau slaid untuk
mendokumentasikan hasil-hasil diskusi
e. Fasilitator meringkas learning points atau butir-butir belajaran pada kasus yang
bisa dipelajari lebih lanjut guna mencegah terjadi kembali hal yang sama.
f. Menutup diskusi
5. Implementasi Keputusan
Program pelatihan diskusi kasus anti bullying bersama fasilitator teman sebaya
akan diimplementasikan di sekolah menengah untuk menekan angka bullying
dengan menerapkan fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan
controlling dengan hati-hati dan memaksimalkan ketercapaian tujuan dari program
ini dilaksanakan. Harapannya program ini akan meningkatkan kesadaran para
remaja mengenai bahayanya dampak dari tindak bullying.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bullying adalah serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal,
yang dilakukan dalam posisi kekuatan yang secara situasional didefinisikan untuk
keuntungan atau kepuasan pelaku sendiri.
2. Bullying dapat terjadi di sekolah menengah karena iklim sekolah, lingkungan
kelompok teman sebaya, perhatian pihak sekolah yang minim, dan lingkungan
sekolah itu sendiri.
3. Bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi
konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah.
Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-
esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri,
menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Juwita di Yogyakarta menunjukkan bahwa
kasus bullying ditemukan pada 70,65% SMP dan SMA di Yogyakarta. Direktur
UNICEF Perwakilan Pulau Jawa, Arie Rukmantara mengatakan bahwa 2 dari 10
siswa di DIY pernah mengalami perundungan.
5. Program pelatihan diskusi kasus anti bullying bersama fasilitator teman sebaya
akan diimplementasikan di sekolah menengah untuk menekan angka bullying
dengan menerapkan fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan
controlling dengan hati-hati dan memaksimalkan ketercapaian tujuan dari
program.

B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan yaitu sebaiknya guru memantau perubahan sikap
dan tingkah laku siswa di dalam maupun di luar kelas dan perlu kerjasama yang
harmonis antara guru BK, guru-guru mata pelajaran, serta staf dan karyawan sekolah.
Disisi lain, sebaiknya orang tua menjalin kerjasama dengan pihak sekolah untuk
tercapainya tujuan pendidikan secara maksimal tanpa adanya tindakan bullying antar
pelajar di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mohamad dan Asrori Mohamad, (2006). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.

Jakarta : Bumi Aksara.

Ambarini, Ririn, dkk. 2018. Antisipasi Pencegahan Bullying Sedini Mungkin: Program Anti

Bullying Terintegrasi untuk Anak Usia Dini. JDC Vol. 2 No. 2

Aryuni, Muthia. 2017. Strategi Pencegahan Bullying Melalui Program “Sekolah Care” Bagi

Fasilitator Sebaya. Asian Journal of Environment, History and Heritage. Vol. 1, Issue. 1,
p.211-222

Muhdi, dkk. (2017). Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Menentukan Model Manajemen

Pendidikan Menengah. Manajemen Pendidikan, Vol. 4 No. 2

Saptandari, Wulan Edilburga. 2013. Mengurangi Bullying melalui Program Pelatihan “Guru

Peduli”. Jurnal Psikologi Volume 40, NO. 2, 193 – 210.

Zahraini, Dian Ayu. 2019. Model Program Intervensi Anti Bullying Berbasis Sekolah.

Universitas PGRI Semarang. Volume 15 Nomor 2

Anda mungkin juga menyukai