Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PENELITIAN

“Perbedaan Perilaku Agresi Remaja Ditinjau dari Keluarga yang Utuh dan
Tidak Utuh”

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Daharnis, M.Pd., Kons

Lisa Putriani, M.Pd., Kons

DISUSUN OLEH:

Adinda Salsabila Rahmi (21006104)

Risda Mardha Tillah (21006083)

Rizky Fadhlullah (

Viona Azura Asril (

Yunia Ritika (21006102)

BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia lahir dalam kondisi yang tidak berdaya, tidak tahu
apa-apa tentang dunia. Seseorang anak hidup tergantung pada orang tua
dan tergantung pada lingkungan masyarakat tempat dimana individu
tersebut tinggal. Manusia sebagai makhluk sosial memang akan selalu
membutuhkan orang lain. Seorang anak yang lahir diharapkan memiliki
sebuah keluarga baik, sebab keluarga merupakan lingkungan pertama
yang dikenal anak dalam kehidupannya. Sikap dan tingkah laku seorang
anak tidak lepas dari pengaruh dan pendidikan yang diberikan orangtua.
Orangtua memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan
tingkah laku dan kepribadian anak dalam berbagai tingkatan umur
mereka, mulai dari masa kanak-kanak, remaja, hingga masa dewasa.

Remaja, menurut WHO adalah individu yang telah menginjak usia


10 sampai 19 tahun. Masa remaja ini adalah masa peralihan dari anak-
anak ke masa dewasa. Dimana seseorang akan mengalami pertumbuhan
dan perkembangan biologis serta psikologisnya. Perkembangan
psikologis ini terjadi, dimana sikap dan perasaan, keinginan serta emosi
yang labil dan tidak menentu. Remaja memiliki tugas-tugas
perkembangan yang harus diselesaikan dengan bantuan dari orang-orang
disekitar dan salah satunya keluarga. Dalam perkembangannya, remaja
mengalami penyesuaian diri, dengan kata lain remaja mencari jalan
keluar dan altenatif dari berbagai masalah yang dihadapinya. Sehingga
pada masa remaja, penyesuaian diri menjadi sangat penting. Remaja
dituntut untuk bisa berkembang serta menyesuaikan dirinya dengan
lingkungannya, supaya dapat menjadi modal utama saat mereka berada di
masyarakat luas. Namun, apabila remaja tidak bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, maka remaja akan memiliki sikap negatif dan
tidak bahagia (Hidayati, 2016).

Sejalan dengan pendapat Hidayati, Hapsari (2016) menjelaskan


bahwa remaja yang mengalami masalah perilaku pada tahap
perkembangan emosi cenderung akan mengekspresikan emosi negatif
dengan melakukan tindakan agresif. Perilaku agresif ini dilakukan
karena berbagai faktor, seperti faktor amarah, faktor biologis, faktor
kesenjangan, faktor lingkungan, dan faktor lainnya. Perilaku agresif ini
juga dilakukan oleh siapa saja, baik itu anak-anak, remaja, maupun
dewasa. Ketika perilaku itu dilakukan secara sengaja untuk menyakiti,
melukai dan menyerang orang lain, maka itu termasuk perilaku agresif.

Dalam kehidupan sehari-hari, Perilaku agresif merupakan sebuah


bentuk perilaku negatif yang bertujuan untuk melukai dan menyakiti
orang lain, tidak peduli itu akan menyerang fisik atau psikologis orang
yang diserang. Munawaroh (2021) mengemukakan bahwa perilaku
agresif merupakan sebuah tindak kekerasan dengan tujuan menyakiti
orang lain atau merusak suatu benda secara verbal maupun fisik yang
disebabkan oleh salah satunya yaitu kurangnya kontrol diri.

Sars (Susantyo, 2011) mengartikan perilaku agresif sebagai


perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain atau adanya perasaan ingin
menyakiti orang lain yang terdapat dalam diri seseorang. Menurut Subqi
(2019) perilaku agresif adalah tingkah laku yang ditujukan pada orang
lain dalam bentuk melukai, mengejek, mencelakakan, mengancam dan
mengintimidasi, yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat kepada orang
yang lebih lemah darinya secara fisik maupun psikologis. Selanjutnya
Subqi juga mengartikan perilaku agresif sebagai perilaku yang bertujuan
untuk melawan orang lain yang ditunjukkan dengan kekerasan, serangan,
merusak, membunuh atau ditujukan pada diri sendiri dalam bentuk
melukai anggota tubuh, juga bisa berupa kata-kata kasar, perusakan diri
bahkan bunuh diri.
Firdaus (2013) mengemukakan bahwa faktor perilaku agresif pada
remaja adalah faktor dari dalam individu yaitu karena keinginan
bercanda, frustasi, kebiasaan, keinginan meluapkan perasaan dan emosi,
serta kebutuhan, sehingga menyebabkan remaja melakukan perilaku
agresif. Sedangkan faktor dari luar yaitu, faktor lingkungan seperti
kurangnya perhatian orang tua, lalu adanya konflik dengan remaja lain,
adanya konflik dengan keluarga, serta pengaruh pergaulan dan
lingkungan yang salah.

Perilaku agresif oleh remaja, akhir-akhir ini cenderung meningkat.


Semakin maraknya perilaku agresif dikalangan remaja membuat remaja
semakin berani melakukan tindakan tersebut. Perilaku agresif tu didasari
oleh berbagai faktor juga salah satunya lingkungan. Lingkungan menjadi
salah satu faktor yang berperan penting yang menjadi perilaku agresif ini.
Terkhusus lingkungan keluarga yang menjadi lingkungan pertama yang
mengajarkan perilaku seorang anak dan juga menjadi contoh bagi si anak
dalam bertingkah laku. Faturochman (Munawaroh, 2021)
mengemukakan bahwa perilaku agresif yang tinggi pada remaja
disebabkan olah berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor keluarga
yang merupakan lingkungan terdekat seorang anak.

Kartono (Nisfiannoor, 2005) mengemukakan bahwa faktor


keluarga merupakan salah satu aspek penting yang disinyalir terkait
dengan pola perilaku agresif pada remaja. Nando dan Pandjaitan (2012)
menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal
remaja mempengaruhi itensitas perilaku agresif remaja. Dari beberapa
kajian mengenai perilaku agresif remaja seperti, Patterson (Lauer &
Lauer, 2000) mengatakan bahwa remaja berperilaku agresif cenderung
tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan tidak harmonis. Selanjutnya
Amato & Keit (Papalia, 2001) mengatakan bahwa keluarga yang bercerai
cenderung menyebabkan remaja berperilaku agresif.
Penelitian yang dilakukan oleh Mei Tuhfah Firdaus, H. Muhari,
Elisabeth Cristiana, dan Titin Indah Pratiwi yang berjudul Faktor-Faktor
penyebab Perilaku Agresif Pada Siswa di SMP Kelurahan Kedung Asem
Surabaya, menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab perilaku agresi
siswa di SMP Kedung Asem bermacam-macam dan dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal dari siswa.

Lalu hasil penelitian yang dilakukan oleh Widya Wulan Dari yang
berjudul Hubungan antara Keharmonisan Keluarga Dengan Perilaku
Agresif pada Remaja di SLTP Yayasan Perguruan Islam Amir Hamzah,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif. Dibuktikan dengan
koefisien korelasi = -0,437; p (0,000) < 0,050. Dalam artian, apabila
perilaku agresif seseorang semakin tinggi, maka semakin rendah
keharmonisan keluarganya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah
perilaku agresif maka semakin tinggi keharmonisan keluarga.

Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja yang


berasal dari keluarga bercerai lebih agresif, baik secara fisik maupun
verbal jika dibandingkan dengan remaja dari keluarga utuh.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, ada beberapa masalah yang
menyebabkan remaja memiliki perilaku agresif yang erat kaitanya dalam
lingkungan keluarga utuh maupun tidak utuh. Masalah yang muncul dalam
kegiatan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Banyaknya perilaku agresi yang terjadi pada siswa ataupun remaja
2. Banyaknya siswa yang mengganggu temannya seperti menjahili,
mengejek bahkan menyakiti temannya.
3. Perilaku agresi terjadi dikarenakan faktor lingkungan keluarga utuh dan
tidak utuh

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perilaku agresi yang terjadi pada remaja?
2. Bagaimana kondisi keluarga bisa mempengaruhi perilaku agresi
seseorang?
3. Bagaimana perbedaan perilaku agresi pada remaja yang memiliki
keluarga utuh dengan remaja yang memiliki keluarga tidak utuh?

D. Batasan Masalah
Batasan Masalah penelitian sangat penting dalam mendekatkan
pada pokok permasalahan yang akan dibahas. Hal ini agar tidak terjadi
kerancuan ataupun kesimpangsiuran dalam menginterpretasikan hasil
penelitian. Berdasarkan perumusan identifikasi masalah dalam penelitian
yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini batasan masalahnya
adalah :
1. Gambaran perilaku agresi yang dilakukan individu.
2. Gambaran lingkungan keluarga utuh dan tidak utuh.
3. Perbedaan perilaku agresi remaja yang memiliki keluarga utuh dan
tidak utuh.

E. Asumsi Penelitian
Asumsi penelitian adalah hal yang menjadi pedoman dalam
mencari kebenaran. Adapun penelitian ini bertolak pada:
1. Setiap remaja berpotensi untuk menunjukkan perilaku agresif

2. Keadaan dan kondisi keluarga berpengaruh terhadap perilaku agresif


pada remaja.

F. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Mengetahui penyebab terjadinya perilaku agresi pada remaja
2. Mengetahui perbedaan yang terjadi antara remaja yang memiliki
keluarga yang utuh dengan keluarga yang tidak utuh
3. Mengetahui tingkat kecenderungan agresivitas pada remaja.
4. upaya yang dilakukan oleh konselor dalam menangani perilaku agresi
remaja

G. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan
menambah informasi agar dapat menambah pengetahuan terkait
perilaku agresi dan perbedaannya dilihat dari keadaan keluarga.
2. Manfaat Praktis
Manfaat dilakukannya penelitian ini ditujukan pada beberapa pihak.
Pihak-pihak itu adalah sebagai berikut:
a. Bagi Orang Tua
Agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam pembinaan
hubungan keluarga serta mengetahui betapa pentingnya keluarga
dalam proses pembentukan perilaku si anak.
b. Bagi Peneliti
Diharapkan hasil penelitian ini bisa menambah pengetahuan peneliti
serta membuat peneliti mengerti betapa pentingnya pengaruh
keluarga dalam membentuk perilaku anak.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Agar penelitian ini mampu menjadi referensi bagi peneliti
selanjutnya dalam upaya pengembangan penelitian yang lebih baik
lagi ke depannya.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Perilaku Agresif
1. Pengertian Perilaku Agresif

Perilaku agresif ini adalah perilaku yang ditunjukkan oleh seorang


individu yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain.
Menurut Myers (2012) perilaku agresif merupakan perilaku fisik
ataupun perilaku verbal yang diniatkan untuk melukai, menyakiti,
merugikan dan menghancurkan objek yang menjadi sasaran agresi.
Perilaku agresif merupakan tanggapan yang bisa memberikan stimulus
merusak/merugikan terhadap organisme lain. (Hanurawan, 2010).

Agresif didefinisikan sebagai setiap tindakan yang dimaksudkan


untuk menyakiti atau melukai orang lain. Agresi merupakan tindakan
melukai yang disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang
atau institusi yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2009).

Robert Baron (Dayakisni dan Hudaniah, 2009) menjelaskan bahwa


perilaku agresif ini merupakan sebuah tingkah laku individu yang
ditunjukkan untuk mencelakakan atau melukai individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi yang
dikemukakan Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku. Pertama,
tujuan untuk mencelakakan dan melukai. Kedua, Individu yang menjadi
pelaku. Ketiga, individu yang menjadi korban. Keempat, ketidakinginan
korban dalam menerima tingkah laku tersebut. Berkowitz (Sarwono,
2014) menjelaskan bahwa agresif merupakan tindakan melukai yang
disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang/ atau institusi lain
yang sejatinya disengaja.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku


agresif adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk melukai baik itu
secara verbal dan nonverbal terhadap individu lain yang di sengaja
sehingga dapat merugikan orang lain.

2. Tipe-Tipe Agresif
Perilaku agresif mempunyai banyak jenis, ada agresif yang
merugikan, dan tidak merugikan. Secara umum menurut Myers (2010)
membagi agresi dalam dua jenis, yaitu:
a. Agresi rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression),
ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi.
Pada pelaku agresi ini dia tidak peduli dengan akibat
perbuatannya dan lebih banyak menimbulkan kerugian daripada
manfaatannya. Hostile aggression berasal dari kemarahan yang
bertujuan untuk melukai, merusak, atau merugikan.
b. Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental
aggression), umumnya tidak disertai dengan emosi. Bahkan
antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada hubungan
pribadi. Agresi disini hanya untuk mencapai tujuan lain.
Instrumental aggression bertujuan untuk melukai, merusak, atau
merugikan, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan
lainnya.
Menurut Buss (dalam Dayakisni, 2009: 212) mengelempokkan
agresi manusia dalam delapan jenis, yaitu:
a. Agresi fisik langsung, tindakan agresi fisik yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung
dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan
terjadi kontak fisik secara langsung, seperti: memukul,
mendorong, menendang.
b. Agresi fisik pasif langsung, tindakan agresi fisik yang dilakukan
oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak
terjadi kontak fisik secara langsung, seperti: demonstrasi, aksi
mogok, aksi diam.
c. Agresi fisik aktif tidak langsung, tindakan agresi fisik yang
dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak
berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban,
membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan sebagainya.
d. Agresif fisik pasif tidak langsung, tindakan agresif fisik yang
dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak
berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya tidak terjadi kontak fisik secara
langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh.
e. Agresif verbal aktif langsung, yaitu tindakan agresif fisik yang
dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara berhadapan
secara langsung dengan individu/kelompok lain, seperti
menghina, memaki, marah, mengumpat.
f. Agresif verbal pasif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara berhadapan
dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak
verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
g. Agresi verbal aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal
yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak
berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu
domba.
h. Agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal
yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak
berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi
targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti
tidak memberikan dukungan, tidak menggunakan hak suara. Jadi
dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe-tipe
agresif terdiri dari agresif verbal dan agresif fisik baik itu yang
merugikan maupun yang menguntungkan, baik itu untuk orang
lain maupun diri sendiri.
3. Aspek-Aspek Agresif
Menurut Baron dan Byrne (2005) ada beberapa aspek perilaku
agresif remaja diantaranya:
a. Agresi fisik.
Perilaku yang dimaksudkan menyakiti fisik individu lain.
Misalnya: memukul, menendang.
b. Agresi verbal
Perilaku yang dimaksud mengancam, memaki, dan lain
sebagainya.
c. Agresi pasif
Perilaku dimaksudkan menyakiti individu lain tapi tidak dengan
fisik ataupun verbal melainkan dengan menolak bicara, tidak
menjawab pertanyaan dan tidak peduli. Berdasarkan penjelasan
diatas, peneliti menggunakan aspek-aspek perilaku agresif yaitu
agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal
aggression), kemarahan (anger), dan permusuhan (hostility),
aspek fisik, aspek verbal, dan aspek pasif.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Agresi
Krahe (2005) menyatakan faktor penyebab anak berperilaku agresif
adalah sebagai berikut:
a. Faktor Biologis
Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetic,
neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor
ketiganya. yang jelas, ada hubungan antara tubuh dan perilaku,
sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab biologis dari
gangguan perilaku atau emosional. misalnya, ketergantungan
ibu pada alcohol ketika janin masih dalam kandungan dapat
menyebabkan anak berkebutuhan khususan berbagai gangguan
termasuk emosi dan perilaku. Ayah yang peminum alkohol
menurut penelitaian juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku
agresif pada anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak
yang orang tuanya penderita psikopat (gangguan kejiwaan).
Semua anak sebenarnya lahir dengan keadaan biologis tertentu
yang menentukan gaya tingkah laku atau temperamennya,
meskipun temperamen dapat berubah sesuai pengasuhan. Selain
itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi
penyebab timbulnya gangguan emosi atau tingkah laku.
b. Faktor Keluarga
Faktor keluarga yang dapat menyebabkan anak perilaku agresif
dapat diidentifikasikan seperti berikut:
1) Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak
konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika
anak berani melakukan hal yang menyimpang. Tetapi ketika
perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak hukuman
tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak
bingung karena tidak ada standar yang jelas. hal ini memicu
perilaku agresif pada anak. Ketidakonsistenan penerapan
disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh
antara kedua orang tua, misalnya si Ibu kurang disiplin dan
mudah melupakan perilaku anak yang menyimpang, sedang
si ayah ingin memberikan hukuman yang keras.
2) Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap
orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk
menghentikan perilaku menyimpang anaknya, sehingga
cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap
permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap.
3) Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang
terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan
kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab
dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum
aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi
keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.
4) Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman
justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua
dan meningkatkan sikap perilaku agresif anak.
5) Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan
hukuman untuk perilaku prososial.
6) Kelengkapan keluarga, keluarga yang tidak utuh atau tidak
lengkap akan memberi pengaruh buruk bagi tingkah laku
anak.
c. Faktor Sekolah
Beberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku
sebelum mereka mulai masuk sekolah, sedangkan beberapa anak
yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika
mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain:
teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, para guru, dan disiplin
sekolah.
a. Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan
penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian
juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial.
b. Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya
masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru
dapat dijadikan model oleh anak.
c. Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di
lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang
masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan
sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang
memperhatikan dirinya. Bentuk pehatian itu dapat berupa
hukuman, kritikan ataupun sanjungan.
d. Faktor Budaya
Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui
penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama
televisi dan film. Menurut Bandura (Masykouri, 2005)
mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di
media, sebagai berikut:
1) Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum
bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.
2) Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan
rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga
perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.
3) Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan
penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial).
4) Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung
menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk
hidup.
B. Keadaan Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah bagian atau elemen sosial terkecil yang universal,
dengan kata lain di seluruh masyarakat di dunia memiliki keluarga.
Dalam pengertian psikologis, keluarga ini merupakan sekumpulan
orang yang tinggal di suatu tempat yang sama, hidup secara bersama-
sama dan antar anggota keluarga akan saling memperhatikan,
memperdulikan, dan mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Latipun (2005) keluarga adalah lingkungan sosial yang
terbentuk erat karena sekelompok orang bertempat tinggal, berinteraksi
dalam pembentukan pola pikir, kebudayaan, serta sebagai mediasi
hubungan anak dengan lingkungan. Lebih lanjut, Latipun mengatakan
bahwa keluarga yang lengkap dan fungsional dapat meningkatkan
kesehatan mental serta kestabilan emosional para anggota keluarganya.
Menurut Lestari (2012) keluarga adalah rumah tangga yang memiliki
hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya
fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif
keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Coleman dan Cressey (Muadz dkk, 2010) menambahkan, keluarga
adalah sekelompok orang yang dihubungkan oleh pernikahan,
keturunan, atau adopsi yang hidup bersama dalam sebuah rumah
tangga.
2. Keluarga Utuh
Keluarga utuh ini merupakan keluarga yang memiliki struktur
lengkap yaitu terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dan hidup
dalam suatu rumah serta saling berinteraksi dan melakukan peran
seperti anggota keluarga di masyarakat.
Menurut Munthe (2016)keluarga utuh adalah keluarga yang di
dalamnya terdapat ayah dan ibu yang masih lengkap, dan orang tua
akan melakukan peran dan fungsinya dengan baik selanjutnya Arentina
dan Fauzia (2015) suatu keluarga yang utuh itu merupakan keluarga
yang merasakan kehadiran kedua orang tuanya oleh para anaknya
dimana si anak akan merasa aman serta mendapatkan perlindungan dan
hidup yang harmonis.
Keutuhan sebuah keluarga membuat anak merasa dan memahami
bimbingan yang diberikan oleh orang tua walaupun mereka tidak hadir
secara fisik di hadapanya, kedua orang tua membimbing anaknya
dengan baik sehingga hal itu bisa dijadikan anak sebagai pedoman
hidup yang kuat dan anak mengetahui kemana arah hidupnya dan juga
terlindung dari pengaruh pergaulan negative (M. Nisfianoor, 2005)
Keluarga yang utuh menurut Yusuf (2004) memiliki ciri ciri
sebagai berikut:
1. Di landasi dan dipenuhi oleh rasa kasih sayang
2. Saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga
3. Terjalin kerja sama antar anggota keluarga dalam menyelesaikan
masalah
4. Orang tua dan anak saling mewujudkan kekompakan dan
kebersamaan.
Dahlan (2002) mengemukakan bahwa dalam suatu keluargaapabila
tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi seperti fungsional keluarga
berarti itu mengalami disfungsi yang nanti akan merusak kekokohan
keluarga tersebut. Keluarga utuh dapat disimpulkan sebagai keluarga
yang masih lengkap dan orang tua melaksanakan fungsinya dengan baik
bukan hanya sekedar berkumpul namun terdapat kasih sayang dan
komunikasi tetap terjalin untuk mewujudkan fungsional sebuah
keluarga.
2. Keluarga tidak utuh
Keluarga tidak utuh merupakan keluarga yang salah satu orang tua
atau keduanya tidak ada karena kematian atau perceraian. Keluarga
tidak utuh adalah istilah yang dipakai untuk menggambarka kondisi
keluarga yang bercerai berai karena orang tua yang sudah tidak ada lagi
mempedulikan kondisi, situasi, dan keadaan keluarganya. Keluarga
tidak utuh ialah keluarga yang anggotanya tidak lengkap, baik karena
salah satu atau keduanya dijemput kematian maupun suami istri yang
berpisah, biasanya ini mengacu pada kekacaaun keluarga yang berakhir
dengan perceraian. Keluarga seperti itu mungkin saja mengalami
kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan yang berantakan,
penyalahgunaan narkoba, atau apapun yang menggangu proses
pengasuhan anak ( Ratnottar, 2014).
Dampak negatif yang ditimbulkan dari ketidakutuhanya keluarga
salah satunya adalah menimbulkan pengaruh negatif bagi remaja baik
dalam pertumbuhanya maupun perkembangnya dalam menyelesaikan
tugas tugas perkembangan remaja. Keadaan keluarga yang kacau
menyebabkan anak melakukan hal hal negatif, juga bisa memberi
contoh yang kurang baik bagi anak.
Somantri (2012) menjelaskan bahwa keluarga tidak utuh( bercerai)
memiliki efek negative terhadap hidup anak seperti:
1. Masalah akademik, anak akan menjadi malas belajar dan
kehilangan semangat dalam menggapai prestasi
2. Masalah tingkah laku, anak akan menjadi pemberontak,
berperilaku berbicara kasar, mulai melakukan kebiasaan buruk dan
tidak peduli pada lingkungan sekitarnya.
3. Masalah seks, anak merasa dirinya kurang mendapatkan kasih
sayang dan melampiaskanya terhadap lawan nafsu.
4. Masalah agama, anak kehilangan sosok yang bisa mengarahkanya
kejalan yang benar.

Sehingga bisa dilihat bahwa keluarga tidak utuh akibat perceraian


orang tua akan berdampak negative pada anak. Mereka akan merasa
frustasi dan kesepian dengan keadaan orangtua mereka yang sudah
tidak utuh lagi. Akibatnya, anak akan melampiaskan dan meluapkan
perasaan dan emosinya melalui perilaku agresif.

C. Perbedaan Perilaku Agresif dengan Keluarga Utuh dan Tidak Utuh


Keluarga terutama orang tua seharusnya bisa memberikan
kehangatan ataupun rasa cinta dan kasih sayang terhadap anak dengan
cara memahami apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga anak tersebut
dapat mengembangkan dirinya dengan baik. Perhatian serta waktu yang
cukup untuk anak dapat membuat anak merasa bahwa dirinya dihargai,
dan setiap individu menginginkan orang tuanya hadir sebagai teman
baik dalam hidup yang paling dekat dengannya, serta dapat bertukar
pikiran mengenai seperti apa kehidupan dan aktivitas sehari-hari
sehingga orang tua dapat menjadi kekuatan bagi anak-anak dalam
menciptakan suasana ataupun perasaan dan pandangan positif tentang
dirinya (Aini, 2012)
Perilaku agresif pada seorang remaja yang berasal dari keluarga
tidak utuh tentunya berbeda dari keluarga utuh karena remaja tersebut
mengalami situasi yang berbeda dari remaja keluarga utuh secara
umum. Salah satunya ialah latar belakang dalam pola asuh orang tua
dan perubahan lingkungan sosial yang dialami remaja yang mengalami
keadaan keluarga tidak utuh mulai dari keadaan keluarga secara utuh,
kemudian remaja yang keluarganya tidak utuh (bercerai) menjadikan
remaja menjadi anak yang broken home yang akan berdampak dalam
perilaku serta mempengaruhi kepribadiannya.
D. Peran Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling adalah salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada siswa.
Seseorang yang bertanggung jawab dalam melaksanakan bimbingan dan
konseling di sekolah ialah guru BK atau konselor sekolah. Hal tersebut
tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa konselor ialah salah satu
tenaga pendidik sebagaimana guru, dosen, dan tenaga pendidik lainnya.
Dari pernyataan tersebut guru BK bertanggung jawab terhadap siswa
yang menjadi sasaran dan tujuan pendidikan.
Bimbingan dan Konseling adalah layanan untuk memberikan siswa
atau peserta didik dengan tujuan membantu peserta didik dalam
mengenal dan menerima dirinya dalam lingkungan secara positif,
terutama pada saat peserta didik pada masa remaja. Masa remaja
merupakan masa dimana peralihan antara masa kanak-kanan menuju
masa dewasa. Hal tersebut tentunya menyebabkan terjadinya
permasalahan yang dialami baik pada diri remaja itu sendiri maupun
kegiatan dalam hal belajarnya.
Untuk jenis layanan yang dapat diberikan oleh guru BK yang
berkenaan dengan perilaku agresif ialah sebagai berikut:
1. Layanan Informasi
Menurut Prayitno (2012) layanan informasi adalah salah satu
bagian layanan bimbingan dan konseling yang memiliki tujuan agar
individu menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial,
belajar, karir atau jabatan, dan pendidikan lanjutan secara terarah.
Dalam layanan ini guru BK memberikan materi tentang bertingkah
laku yang baik dan cara bergaul, dengan tujuan agar peserta didik
lebih terarah dalam berperilaku yang positif dan terhindar dari
perilaku agresi.
2. Layanan Konseling Individual
Menurut Prayitno (2012) layanan konseling individual adalah salah
satu layanan bimbingan dan konseling yang diberikan oleh guru BK
atau konselor terhadap peserta didik dengan tujuan membantu peserta
didik dalam mengentaskan permasalahan pribadinya yang berkaitan
dengan penyesuaian diri dan tingkah laku klien. Dalam layanan ini
guru BK memberikan materi yang berkaitan dengan pemahaman diri
dan cara bergaul yang baik sehingga peserta didik terbantu keluar dari
permasalahan yang sedang terjadi pada dirinya dengan meningkatkan
pemahaman diri serta cara bergaul yang baik. Sehingga siswa
terhindar dari perilaku agresif yang dapat merugikan dirinya da orang
lain.
3. Layanan Bimbingan Kelompok
Menurut Prayitno (2012), layanan bimbingan kelompok adalah
salah satu layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan
dengan format kelompok yang membantu peserta didik dalam
pengembangan diri, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar,
karir/jabatan dan pengambilan keputusan serta melakukan kegatan
yang sistematis dengan tuntutan karakter terpuji sesuai dengan
dinamika kelompok. Dalam layanan ini guru BK dapat memberikan
materi tentang etika bergaul dalam bersosialisai, sehingga dengan
materi tersebut, siswa mendapatkan pemahaman tentang bagaimana
cara bergaul dan bersosialisai yang seharusnya terhindar dari perilaku
agresif.
4. Layanan Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (2012), layanan onseling kelompok adalah salah
satu layanan bimbingan dan konseling yang membantu individu dalam
pembahasan serta pengengtasan masalah yang dihadapi melalui
dinamika kelompok. Dengan pemberian layanan ini diharapkan siswa
mempunyai pemahaman tentang kepedulian terhadap orang lain dan
meningkatkan rasa empati terhadap sesame, sehingga melalui
konseling kelompok ini siswa dapat lebih menghargai orang lain dan
terhindar dari perilaku agresif.
5. Layanan Konseling Keluarga
Menurut Sofyan (2013) konseling keluarga adalah upaya dalam
pemberian bantuan kepada peserta didik melalui sistem keluarga
dengan membenahi komunikasi agar berkembang potensi yang
dimiliki dan masalah peserta didik dapat diatasi atas dasar kemauan
membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan,
toleransi, dan kasih sayang. Dalam konseling ini dapat diberikan
materi mengenai bagaimana cara menciptakan suasana yang hangat,
nyaman, dan harmonis dalam keluarga. Tujuannya agar dapat
meminimalisirkan permasalahan yang timbul dalam keluarga dan
terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis dan bahagia.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Monika Veronika (2019) dengan
judul Perbedaan Konsep Diri Siswa Dari Keluarga Utuh dan Keluarga
Tidak Utuh pada Siswa SMPN 25 Padang tahun ajaram 2018/2019
didapati hasil yakni terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep diri
siswa dari keluarga utuh dan keluarga tidak utuh. Hal ini dapat dilihat
dari nilai t hitung lebih besar dari t tabel pada taraf signifikansi 1 %.
F. Kerangka Berpikir

Keluarga Utuh

Perilaku Agresi Perbedaan - - - Layanan BK


Keluarga Tidak
Utuh
1. Layanan Informasi
2. Layanan Konseling
Individual
3. Layanan Bimbingan
Kelompok
4. Layanan Konseling
Kelompok
5. Layanan Konseling

G. Hipotesis
Hipotesis bisa diartikan sebagai sebuah pernyataan atau
kesimpulan yang sifatnya sementara dan masih harus dibuktikan benar
atau tidaknya. Yusuf, A. M (2005) mengatakan terdapat dua jenis
hipotesis yaitu hipotesis kerja arau hipotesis alternatif (Ha) yang
menyatakan terdapat perbedaan yang disebabkan oleh variabel bebas dan
hipotesis nihil atau hipotesis nol (Ho) yang menyebutkan tidak adanya
perbedaan antara kedua objek yang diteliti.
Dalam penelitian ini, penulis mengajukan hipotesis Ha yaitu
“terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku agresif remaja dari
keluarga yang utuh dan keluarga yang tidak utuh.”

Anda mungkin juga menyukai