Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN KECENDERUNGAN

BERPERILAKU BULLYING DI SMA NEGERI 2 BANGUNTAPAN

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh:

ST Aisah
Nim: 04.17.4536

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
HUBUNGAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN KECENDERUNGAN
BERPERILAKU BULLYING DI SMA NEGERI 2 BANGUTAPAN

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta
Disusun Oleh :
St Aisah
NIM: 04.17.4536

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat
diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal. Sedangkan menurut Sudarsono
(2012), kenakalan remaja adalah perubahan atau kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan
oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti susilan dan menyalahi norma-norma
agama. Adapun kenakalan remaja yang sering terjadi di sekolah adalah perilaku bullying.
Menurut Santrok (2007).
Remaja merupakan salah satu tahap tumbuh kembang yang unik yang terjadi pada usia
11-20 tahun (Stuart, 2013) dimana terjadi tahap tumbuh kembang baik itu fisik, kognitif, dan
emosional yang dapat menimbulkan kondisi stress dan memicu perilaku unik pada remaja.
Pada masa ini mereka sedang dalam tahap pencarian identitas diri sehingga menjadi rentan
terhadap timbulnya permasalahan seperti permasalahan dengan orang tua, permasalahan
disekolah dan dengan teman sebaya, salah satu permasalahan yang kerap muncul pada masa
remaja adalah kenakalan remaja. Tetapi jika seseorang mengembangkan penilaian negatif
tentang dirinya sendiri berarti memiliki harga diri yang buruk. Selanjutnya Adam dan Corner
(2008) juga mengatakan bahwa lingkungan psikososial sekolah ikut mempengaruhi bullying.
Iklim sekolah menggaris bawahi nilai-nilai individu, perilaku dan normal kelompok. Bahwa
iklim sekolah menjadi penentu pembentukan sikap dan kognisi tentang diri masing-masing
siswa dan akhirnya berkontribusi pada hasil keluaran.mempengaruhi perilaku bullying seperti,
konsep diri, self esteem, pengaruh media massa, pengaruh teman sebaya dan iklim sekolah.
salah satu tugas perkembangan remaja terkait penyesuaian nilai-nilai yang selaras dengan
dunia orang dewasa adalah tugas untuk mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung
jawab. Dalam perkembangan remaja, kegagalan menyelesaikan sebuah tugas perkembangan
terkait perilaku sosial yang bertanggung jawab, dapat membuat remaja rentan melakukan
perilaku agresif atau melakukan kekerasan yang lazim disebut sebagai bullying. Menurut
Hurlock (purnaningtyas dan Masykur, 2015: 187).
Menurut WHO (2014), diperkirakan kelompok usia remaja di dunia berjumlah 1,2
milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010
menunjukkan demografi remaja pada usia 10 hingga 19 di Indonesia sekitar 43,5 juta (18%)
dari jumlah penduduk (kemenkes,2014). Hasil survei penduduk antar sensus tahun 2015 yang
menunjukkan bahwa data penduduk usia remaja mencapai 42.061,2 juta atau sebesar 16,5
persen dari total penduduk indonesia (kusumaryani, 2017 dalam febrianti 2020). Hasil dari
proyeksi penduduk yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada usia remaja ini akan
mengalami peningkatan hingga pada tahun 2030 (word Popula on prospects, UN Popula on
Division) 2015; dikutip kusumaryani, 2017 dalam febrianti 2020).
Usia remaja ditandai dengan individu yang mulai aktif melakukan sosialisasi dengan
masyarakat sehingga lingkungan sosialnya cakupannya akan menjadi lebih luas. Remaja pada
umumnya akan mengalami perubahan pada sosialisasinya yaitu mulai bertambah luas dan
adanya interaksi sesama teman sebaya sehingga keterampilan sosial remaja akan meningkat.
Jika nilai-nilai yang ditanamkan dapat dipahami oleh remaja, maka remaja akan mengalami
peningkatan kemampuan dan keterampilan dalam bersosialisasi. Dampak nilai-nilai
sosialisasi yang kurang baik diserap remaja, maka akan menimbulkan terhambatnya
perkembangan perilaku dan psikososialnya sehingga menyebabkan individu tersebut akan
menunjukkan perilaku patologis yang tidak baik seperti perilaku bullying (Febrianti Anisa
2020).
Kenakalan remaja merupakan gejala patologis secara sosial pada remaja yang disebabkan
oleh satu bentuk pengobaian sosial, sehingga remaja mengembanngkan bentuk tingkah laku
yang menyimpang dan bersifat melawan hukum dan menyalahi normal-norma hukum (Tarwo
dan Aryani. 2010; Sudarsono, 2012). Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja yang
gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwa. Secara psikologis kenakalan remaja
merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-
kanak dan remaja. Sering didapatin adanya trauma masa lalu serta perlakuan kasar dan tidak
menyenangkan dari lingkungan sedangkan bentuk-bentuk kenakalan remaja dapat dibedakan
menjadi beberapa bentuk seperti berkelahi, Mencuri, pergaulan bebas, merokok, tidak masuk
sekolah dan perilaku Bullying (Mubarak, 2011).
Kecerdasaan spiritual remaja adalah sosok yang mudah terpengaruh karena masih
dalam pencarian identitas diri. Remaja khususnya remaja khususnya remaja madya berada di
fase kebingungan identitas yang rentan terhadap kekacauan jika berhasil dilewati dengan
baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kegagalan perkembangan remaja adalah kontrol
diri yang rendah. Kecerdasan spiritual yang tidak memadai merupakan salah satu hal yang
dianggap sebagai penyebab rendahnya kontrol diri remaja sehingga mereka cenderung
melakukan berbagai kenakalan. (Bella pratiwi 2010).
Kecerdasan spiritual laku yang tidak dapat diterima secara sosial hingga tindak kriminal.
Penelitian purwai (2012) yang menyatakan tidak adanya hubungan negatif yang signifikakan
antara kecerdasan spiritual dengan kenakalan bisa dikaitkan pada penyebab kenakalan itu
sendiri yang sangat kompleks, tidak hanya faktor tunggal. Kenakalan remaja dipengaruhi oleh
faktor eksternal yaitu keluarga, sekolah, teman sepermainan dan lingkungan masyarakat
sedangkan faktor internal seperti krisis identitas dan lemahnya kontrol diri dan emosi
(kartono,2015).
Bullying adalah jenis gangguan tingkat laku (condut disorder) dan perilaku antisosial
yang menjadikan kelompok anak dengan gangguan jiwa terbesar. Gangguan tingkat laku
tidak berbentuk perilaku agresi efektif (impulsif, tidak dapat dikontrol, tidak direncanakan
atau menyangkal) atau agresi predator (berorientasi tujuan, terencana, atau tersembunyi dapat
dilihat pada anak dengan kelainan tingkat laku (stuart, 2016).
Di sekolah, setiap murid akan menghadapi teman-teman yang sebaya, lebih mudah
dan teman yang lebih tua. Sekolah merupakan tempat terjadinya sosialisasi antar individu satu
dengan individu lainnya. Akan tetapi dalam sosialisasi, kebanyakan dari mereka belum dapat
memahami temannya satu sama lain. sehingga timbullah kesalah pahaman satu sama lain lalu
diiringi dengan pekelahian, intimidasi, pemalakan, pengucilan dan lainnya. Hal yang
seharusnya tidak terjadi dikalangan remaja kini menjadi tradisi yang bisanya dilakukan senior
kepada junior.
Menurut (Hasibuan dan Wulandari, 2015:11) menyatakan saat ini berbagai masalah
tengah melingkapi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu permasalahan yang cukup marah
saat ini adalah permasalahan kekerasan atau agresivitas yang terjadi di lingkungan sekolah
baik dari guru terhadap siswanya maupun antar siswa itu sendiri. Kekerasan di sekolah
ternyata tidak hanya terjadi oleh kakak kelas kepada adik kelasnya, namun dapat juga terjadi
pada teman sebayanya. Kekerasan yang dilakukan pun bermacam bentuknya, baik secara fisik
maupun non fisik. Perilaku bullying adalah sebuah bullying non fisik, dan bullying mental
atau psikologis
Tim yayasan Semai jiwa (Amini, 2008) menyatakan ada beberapa jenis dan wujud
bullying, tapi secara umum praktik-praktik dapat dikelompokkan ketiga kategori, yakni;
bullying fisik, cacat, tertutup, pandai, cantik, atau mempunyai ciri tubuh tertentu yang
dijadikan bahan ejekan. Perilaku bullying dapat terjadi ketika didukung oleh lingkungan dan
pihak-pihak yang terlibat menganggap wajar. Lingkungan pendidikan merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap berlangsunganya proses pendidikan. Jadi lingkungan
sekolah adalah kesatuan ruang dalam lembaga pendidikan formal yang memberikan pengaruh
pembentukan sikap dan pengembangan potensi siswa. Terlebih lagi sekolah merupakan
tempat menuntut ilmu sosialisasi.
Hasil riset yang dilakukan oleh National Association of school pschologist
menunjukkan bahwa lebih dari 160.000 remaja di Amerika Serikat bolos sekolah setiap hari
karena takut di bullying (sari, 2010). Lembaga swadaya masyarakat (LMS) plan International
dan International Center for Research on women (ICRW), menemukan bahwa tujuh dari 10
anak indonesia terkena tindak kekerasan disekolah, menurut hasil kajian konsorsium
pendidikan Nasional pengembangan Sekolah Karakter pada 2014, hampir setiap sekolah di
Indonesia terjadi bullying dalam bentuk bullying verbal maupun bullying psikologis/mental
salah satunya adalah body shaming, Berdasarkan pemaparan kasus bullying yang kompleks
tersebut, indonesia sudah masuk kategori darurat bullying di sekolah (Rini,2014).
Pada tahun 2015 Di kota Bukitinggi seorang siswa perempuan disalah satu sekolah
swasta di bullying siswa laki-laki teman sekolahnya, siswa laki-laki memukul dan menendang
siswa perempuan. Korban mengalami trauma dan takut untuk datang kesekolah. Di
Kabupaten pasaman seorang pelajar SMK menusuk teman kelas dengan senjata tajam hingga
tewas karena tak tahan di bullying oleh temanya tersebut. Pada tahun 2015 telah meninggal
seorang siswa laki-laki, korban kekerasan oleh seniornya di sekolah usaha perikanan
menengah (SUPM) pariaman setelah sempat dirawat selama 16 hari. Pada tahun 2014 seorang
pelajar disalah satu SMK di Buktitinggi melakukan bullying terhadap junior dengan cara
memukuli korban sehingga, korban mengalami luka dibagian mata (setyawan, 2014).
Pada penelitian Febriyanti (2015) hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku
bullying remaja menunjukkan 81,25 % yang melakukan perilaku bullying ringan sampai
berat, pada penelitian Astarini (2013) Hubungan perilaku ove profective orang tua dengan
kecenderungan perilaku bullying menunjukkan 71,64% disekolah pada penelitian
Yuniartiningtyas (2013) tentang hubungan antara pola asuh orang tua pada klasifikasi pola
tipe kepribadian dengan perilaku bullying di sekolah menunjukkan pola asuh orang tua pada
klasifikasi pola asuh permisif (69%) berhubungan dengan perilaku bullying.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku Bullying yaitu faktor dari remaja atau
sendiri (internal) dan faktor dan luar (eksternal). Faktor internal diantaranya krisis identitas
diri, kontrol dari yang lemah, rasa trauma akan masa lalu. Sedangkan yang termasuk faktor
eksternal terjadinya perilaku bullying adalah pola asuh orang tua yang salah salah, keluarga
yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis, melihat atau menonton tayangan
kekerasan. Salah satu faktor eksternal yang menyebabkan perilaku bullying adalah keluarga
yang meliputi pola asuh orang tua, perselisihan anggota keluarga yang bisa memicu perilaku
negatif pada remaja. Keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan
keterlibatan seseorang pada perilaku bullying.
Pada penelitian Febriyanti (2015) hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku
bullying remaja menunjukkan 81,25 % yang melakukan perilaku bullying ringan sampai
berat, pada penelitian Astarini (2013) Hubungan perilaku ove profective orang tua dengan
kecenderungan perilaku bullying menunjukkan 71,64% disekolah pada penelitian
Yuniartiningtyas (2013) tentang hubungan antara pola asuh orang tua pada klasifikasi pola
tipe kepribadian dengan perilaku bullying di sekolah menunjukkan pola asuh orang tua pada
klasifikasi pola asuh permisif (69%) berhubungan dengan perilaku bullying.
Prevelensi bullying di dunia diperkirakan 50% terjadi di beberapa negara seperti,
Asia, Amerika, dan Eropa. Sebuah studi dilakukan baru-baru ini di Amerika Serikat.
Menemukan tingkat bullying lebih tinggi di Amerika daripada di beberapa negara lain. Dan
anak-anak di Norwegia yang berusia 8-16 tahun melaporkan mengalami intimidasi. Hasil
studi oleh ahli intervensi bullying. Dr. Army Huneck mengungkapkan bahwa 10-60% siswa
di Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan
ataupun dorongan sedikitnya sekali dalam seminggu (Ari 2013).
Hasil observasi penelitian idealnya para siswa di SMA Negeri 2 Bangutapan dapat saling
memahami atau saling menghargai satu sama lain, hal ini dimaksud agar siswa di SMA
Negeri 1 Banguntapan dapat berteman baik dengan teman sebayanya. Namun begitu
berdasarkan hasil studi pendahuluan dan wawancara dengan guru (BK) di SMA Negeri 2
Banguntapan 1 dan 2 orang siswa yang dilakukan pada tanggal 24 April 2021 di peroleh
informasi dari guru bimbingan konseling bahwa beberapa siswa masih banyak yang mengejek
temanya sendiri salah satunya X karena mereka sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan
nya, dan hasil wawancara dari salah satu siswa kelas X yaitu responden memiliki kulit yang
hitam dan temannya dan responden selalu sedih, responden tersebut juga mengatakan jika
waktunya sholat dzuhur berjamaah mereka sering bersembunyi di kantin kemudian ketika
sholat dzuhur berjamaah selesai mereka baru menuju ke mushola untuk melaksanakan sholat
sendirian, tetapi responden hanya bisa intropeksi diri dan kejadian ini dianggap sebagai
motivasi dirinya untuk berubah tetap responden tidak pernah untuk bimbingan konseling.
Hal inilah yang melatar belakangi peneliti untuk melakukan penelitian tentang
‘’Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying Di SMA
Negeri 2 Bangutanpan.’’
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul apakah ada
Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying di SMA
Negeri 2 Banguntapan
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahui hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku bullying pada siswa
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kecerdasan spiritual pada siswa di SMA Negeri 2 Banguntapan
b. Untuk mengetahui perilaku bullying pada siswa di SMA Negeri 2 Banguntapan
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis (bagi ilmu kesehatan jiwa dan anak)
Penelitian ini harapkan sebagai bahan masukan dan informasi serta menambah
pengetahuan khususnya keperawatan jiwa dan keperawatan anak sehingga menjadi bahan
referensi bagi perawat yang memberikan asuhan keperawatan yang berkaitan dengan
hubungan kecerdasan spiritual denga perilaku bullying pada remaja.
2. Praktis
a. Bagi Siswa SMA Negeri 2 Banguntapan
Siswa akan lebih memahami dampak dari pelaku dan korban kejadian bullying.
b. Bagi Kepala Sekolah dan Guru SMK Negeri 2 Banguntapan
Penelitian ini sebagai bahan acuan bagi pihak sekolah untuk memberikan penyuluhan
kepada siswa tentang dampak pengaruhnya kecerdasan spiritual terhadap pelaku dan
korban bullying pada siswa.
c. Bagi Orang Tua Siswa
Peran orang tua juga penting untuk selalu mengawasi kegiatan-kegiatan anak di
lingkungan rumah, selain itu orang tua mengajarkan mengenai saling menghormati
dan cara berteman dengan baik sehingga anak tidak melakukan perilaku bullying.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Menambah referensi untuk bahan informasi penelitian selanjutnya dalam meneliti
variabel lain tehadap hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku bullying pada
siswa.
E. Ruang Lingkup Masalah
1. Variabel yang diteliti
a. Variabel bebas (independen) kecerdasan spiritual
b. Variabel terikat (dependen) berperilaku bullying
2. Ruang lingkup responden
Responden dalam penelitian ini adalah siswa di SMA Negeri 2 Banguntapan
3. Harus penelitian stupen di SMA Negeri 2 Banguntapan
4. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 2 Banguntapan
F. Keaslian Penelitian
1. Syarifuddin Dahlan, (2019) masalah dalam penelitian ini adalah perilku bullying siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku bullying siswa SMK Negeri 2
Bandar Lampung tahun ajaran 2018/2019. Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah deskriptif kuantitatif dan teknik analisis data menggunkan analisis deskriptif
presentase. Teknik pengumpulan data menggunakan Angket perilaku Bullying. Sampel
penelitian ini sebanyak 277 siswa dari 1.851 siswa SMK Negeri 2 Bandar Lampung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 95% (263 siswa) melakukan perilaku bullying.
Bentuk perilaku bullying yang paling banyak dilakukan oleh siswa adalah bullying verbal
yaitu 87% (243 siswa). Bullying verbal yang dilakukan berupa perilaku mencela dengan
menyoraki. Memberikan dan memanggil dengan nama yang negatif dan bergosip tentang
keburukan orang lain. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitaf dengan
metode desktiptif. Metode deskriptif suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat
alamiah ataupun rakayasa manusia yang dikaji dalam bentuk aktivitas. Karakteristik,
perubahan, hubungan kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena lain. Penelitian
dekskripstif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan penyusunan data. Tapi
juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data tersebut. Persamaan penelitian ini
adalah deskriptif kuantitatif dan teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif
presentase perbedaan teknik pengumpulan data menggunakan angket perilku Bullying.
2. (Nurul Latifah), Dera Alfiyanti) Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadi
penyalahgunaan kekuatan dan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang. Bentuk yang
paling umum terjadi pada kasus bullying di sekolah adalah verbal, fisik dan psikologis.
Berbagai macam bentuk bullying yang terjadi memilki dampak negatif yang dapat
mempengaruhi perilaku dan sikap pada korban bullying (victins) dan dampak pada siswa
di SD Negeri 01 ngesrep kota semarang. Metode penelitian yang dilakukan adalah
deskriptif kuantitatif. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling,
dengan jumlah responden 66 siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perilaku bullying terbanyak pada
responden yaitu bullying fisik (72,7%), dengan kategori bullying yang terjadi pada
kategori bullying sedang (64,2%). Sedangkan dampak terbanyak pada siswa akibat
perilaku bullying yaitu korban menyimpan rasa dendam terhadap perilaku bullying
(59.1%), dengan dampak bullying yang terjadi pada siswa dalam kategori sedang
(60,6%). Penelitian selanjutnya perlu mengembangkan penelitian lebih lajut tentang
faktor-faktor mempengaruhi perilaku bullying pada siswa sekolah dasar. Persamaan
metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif kuantitatif dan perbedaan teknik
sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
3. Arya Ramadia (2019). Metode penelitian ini deskriptif korelatif dengan pendekatan cross
sectional dan sampel dalam penelitian ini 90 orang dengan teknik sampel yang digunakan
cluster sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner hasil penelitian univariat
menunjukkan bahwa 41.1% responden dengan pola asuh demokratis. 35,6% responden
dengan pola asuh otoriter sedangkan 23.3% responden dengan pola asuh pemisif hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan
perilaku bullying remaja di SMK Negeri Kota Buktinggi Analisis data menggunakan uji
chi-square menghasilkan p-value sebesar 0.001. dapat disimpulkan bahwa pola asuh
orang tua berhubungan dengan perilaku remaja di Bullying siswa SMK Negeri di kota
Buktitinggi. Persamaan penelitian ini deskriptif korelatif dengan pendekatan cross
sectional dansampel dan perbedaan sampel yang digunakan cluster sampling.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner.

Anda mungkin juga menyukai