Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL

METODE PENELITIAN KUALITATIF

“PENGARUH POLA ASUH OTORITER ORANGTUA TERHADAP


PRILAKU AGRESIF ANAK”

DOSEN PENGAMPU: HERLINA FITRIANA, M.Si

DISUSUN OLEH

Angudhi Annas Cahyati


180303086

BIMBINGAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKAS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2020
A. LATAR BELAKANG

Perilaku agresif didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dimaksudkan untuk


menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut Buss dan Perry
(1992) perilaku agresif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya
untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun verbal, meliputi aspek physical
aggression, verbal aggression, anger, hostility. Perilaku agresif pada dasarnya tidak hanya
terkait dengan masalah kekerasan secara fisik semata namun juga dapat berupa perilaku
agresif yang dimulai dari perkataan (verbal), ataupun olok-olokan yang dirasakan
menyakitkan oleh individu yang menjadi korban dan berakhir pada perilaku agresif fisik
berupa pemukulan, penusukan, penganiayaan dan bentuk perilaku agresif lainnya yang dapat
berujung pada tindakan kriminalitas (Badriyah, 2013).1 Perilaku agresif dapat muncul
disemua kalangan tidak terkecuali pada anak atau remaja. Faktor penyebab munculnya
perilaku agresif pada diri individu dapat berasal dari dua sumber yaitu sumber yang berasal
dari dalam individu dan sumber yang berasal dari luar diri individu. Sumber yang berasal
dari dalam individu seperti terjadinya perubahan fisik dan hormonal yang menyebabkan
suasana hati berubah-ubah, emosi labil dan perasaan rendah diri. Sementara sumber yang
berasal dari luar individu adalah pola asuh orangtua.2

Pola asuh merupakan interaksi yang terjalin antara orang tua dengan anaknya. Pola
asuh yang diterapkan orang tua merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam
pembentukan kepribadian anak. Pola asuh yang menerapkan bahwa anak harus patuh akan
nilai dan prinsip yang orang tua pegang, pemberian hukuman terutama hukuman fisik dan
menuntut anak menuruti kehendak orang tuanya sering disebut dengan pola asuh otoriter
(authoritarian parenting style). Baumrind (dalam Santrock, 2007) menekankan orang tua

1
Ni Putu Ayu Resitha dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati. “Hubungan Antara Kecenderungan
Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting Style) dengan Gejala Perilaku Agresif Pada
Remaja”. Jurnal Psikologi Udayana. Vol.3 No.1, 2016, hal. 109.
2
Dwi Karunia Saputra dan Dian Ratna Sawitri. “Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dan Agresivitas
Pada Remaja Pertengahan Di SMK Hidayah Semarang”. Jurnal Empati. Vol.4 No.4, Oktober
2015, hal. 321.
yang menerapkan gaya otoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas
terhadap anak serta kurang memberikan peluang kepada anak untuk berdialog secara verbal
atau mengeluarkanpendapat dalam keluarga. Cross (2009) mengungkapkan bahwa pola asuh
otoriter yang diterapkan oleh orang tua dapat diukur dengan aspek-aspek yaitu maturity
demands, structure, anger, activity, displeasure, dan anxiety. Pengasuhan secara otoriter yang
memberikan hukuman fisik kepada anak ketika tidak mampu memenuhi standar yang orang
tua tetapkan memberikan dampak pada anak. Anak akan merasa marah dan kesal kepada
orang tuanya akan tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahan yang dirasakan dan
melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif (Sarwono, 1988).3

Berdasarkan paparan diatas orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter dalam
mengasuh anak, maka kemungkinan anak tersebut akan berperilaku agresif ketika keluar dari
lingkungan keluarga karena ketika berada di dalam rumah atau di lingkungan keluarga, anak
tidak dapat mengekspresikan apa yang dirasakan dan tidak mampu mengutarakan
pendapatnya. Hal ini diperkuat berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya seperti dari
Monks (1999) yang mengatakan bahwa masa remaja awal itu adalah masa dimana remaja
lebih dekat dengan teman sebaya dan fase ini adalah fase dimana masa transisi dari anak-
anak ke remaja jadi dalam fase ini biasanya remaja masih sangat patuh terhadap peraturan
yang diberikan oleh orang tua. Ketika remaja memasuki usia remaja pertengahan, remaja
cenderung lebih banyak mengalami masalah dibandingkan pada fase-fase lainnya, karena
dalam fase ini remaja melakukan pencarian identitas diri dan mengalami masa krisis.
Penelitian Sumbaga (2012) pada 181 subjek dimasa kanak-kanak akhir menunjukkan bahwa
ada perbedaan agresivitas pada anak laki-laki dan anak perempuan. Tingkat agresivitas anak
laki-laki lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak perempuan. Adapun hasil penelitian
yang dilakukan oleh Singh (2014) mengenai agresivitas yang ditinjau dari perbedaan jenis
kelamin yang dilakukan kepada 200 mahasiswa, menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan
tingkat agresivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pola asuh otoriter orang tua dan jenis kelamin berpeluang untuk memiliki
kaitan dengan agresivitas pada remaja.4

3
Ni Putu Ayu Resitha Dewi dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati, Op.Cit., hal. 109-110.
4
Dwi Karunia Saputra dan Dian Ratna Sawitri, Op.Cit., 321-322.
Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta (2010), pelajar
SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08% atau sekitar 1.318 siswa dari
total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan 26 di antaranya meninggal dunia. Menurut data
pelanggaran hak anak yang dikumpul-kan Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjuk-
kan, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak
13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 ka-sus. Sedangkan selama
periode Januari hingga Ju-ni 2008, Komnas Anak mencatat sebanyak 21.872 anak menjadi
korban kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sosialnya, yaitu sekolah dan tempat ber-
mainnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa orang tua yang menerapkan
pola asuh otoriter kepada anaknya, kemungkinan besar akan menimbulkan perilaku agresif
pada anak karena anak merasa terkekang dan kurang mendapat kebebasan untuk
mengekspresikan diri serta berpendapat, sehingga anak tersebut saat keluar dari lingkungan
keluarga akan melampiaskannya kepada orang lin dalam bentuk perilaku agresif. Gender atau
jenis kelamin juga berpeluang untuk memiliki kaitan dengan agresivitas remaja dan dari hasil
penelitian laki-laki memiliki tingkat agresivitas lebih tinggi dari perempuan. Sehingga dalam
penelitian ini, peneliti ingin membuktikan bahwa pola asuh otoriter yang diterapkan orang
tua sangat berpengaruh terhhadap perilaku agresif anak dengan mengangkat judul
“PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU AGRESIF ANAK”.
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada orang tua ataupun
masyarakat bahwa pentingnya pola asuh terhadap perkembangan perilaku dan pribadi anak,
serta dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menerapkan pola asuh yang baik untuk
mempersiapkan kehidupan yang baik pula bagi anak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pola asuh otoriter?
2. Apa itu agresivitas pada anak?
3. Bagaimana pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku agresif anak?
4. Pola asuh seperti apa yang seharusnya diterapkan oleh orang tua kepada anaknya?
C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan paparan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui seperti apa pola asuh otoriter


2. Untuk mengetahui seperti apa agresivitas anak
3. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku agresif anak
4. Untuk mengetahui pola asuh seperti apa yang seharusnya diterapkan orang tua kepada
anak

D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan teoritis, sebagai berikut:
a. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada orang tua ataupun
masyarakat bahwa pentingnya pola asuh terhadap perkembangan perilaku dan pribadi
anak, serta dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menerapkan pola asuh yang
baik untuk mempersiapkan kehidupan yang baik pula bagi anak. Karena pola asuh
yang baik akan membantu menghindarkan anak dari perilaku agresif, serta
membentuk pribadi anak yang lebih baik.
b. Manfaat teoritis
Selain manfaat praktis, penelitian ini juga memiliki manfaat teoritis yaitu untuk
memberikan landasan bagi para peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis
dalam rangka meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.

E. RUANG LINGKUP DAN SETTING PENELITIAN


Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki berusia 18-20 tahun yang
menampakan perilaku agresif. Setting penelitian ini bertempat di kampung Panca Warga,
Labuan, Sumbawa Besar khususnya pada remaja yang berperilaku agresif di lingkungannya.
F. TELAAH PUSTAKA
Pada penelitian sebelumnya membahas tema mengenai pola asuh otoriter yang
mempengaruhi agresivitas anak dengan judul “Hubungan Antara Kecenderungan Pola Asuh
Otoriter (Authoritarian Parenting Style) dengan Gejala Perilaku Agresif Pada Remaja”.
Penelitian tersebut dilakukan di sekolah menengah pada remaja berusia 13-18 tahun,
menggunakan metode kuantitatif dengan teknik sampling. Dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecenderungan pola asuh
otoriter dengan gejala perilaku agresif pada remaja. Hal ini dapat diartikan bahwa apabila
terjadi peningkatan pada pola asuh otoriter maka akan terjadi peningkatan pula pada perilaku
agresif. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan pola asuh otoriter maka perilaku agresif juga
mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian sebelumnya, perilaku agresif anak juga
dipengaruhi oleh jenis kelamin. Terdapat perbedaan agresivitas antara remaja laki-laki dan
perempuan, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja laki-laki mempunyai
tingkat agresivitas yang lebih tinggi dari remaja perempuan.
Dalam proposal ini penulis menggunakan tema yang sama yaitu mengenai pola asuh
otoriter yang mempengaruhi agresivitas remaja, namun dengan judul yang berbeda. Penulis
melakukan penelitian terhadap remaja berusia 18-20 tahun di kampung Panca Warga,
Labuan, Sumbawa Besar yang menampakan perilaku agresif di lingkungan khususnya remaja
laki-laki. Di khususkan pada remaja laki-laki, karena penulis mengamati dari penelitian-
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih tinggi tingkat
agresivitasnya dari remaja perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
teknik wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian
sebelumnya, bahwa pola asuh otoriter memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
munculnya perilaku agresif anak.

G. KERANGKA TEORI
Pola asuh otoriter menurut Hurlock (1980) merupakan suatu metode disiplin yang
diterapkan oleh orang tua kepada anak. Kemudian menurut Baumrind (dalam Santrock,
2007) pola asuh otoriter merupakan pola asuh orang tua yang menerapkan gaya otoritarian
menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap anak serta kurang memberikan
peluang kepada anak untuk berdialog secara verbal atau mengeluarkan pendapat dalam
keluarga.5 Sedangkan pola asuh otoriter menurut Santrock (2011) pola asuh otoriter adalah
gaya membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk
mengikutiarahan mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Santrock (2011)
juga mengemukakan bahwa anak-anak dariorang tua otoriter sering tidak bahagia, takutdan
ingin membandingkan dirinya denganorang lain, gagal untuk memulai aktivitas dan memiliki
komunikasi yang lemah, berperilaku agresif.6 Dari definisi menurut para ahli di atas, dapat di
simpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah gaya pola asuh yang diterapkan orang tua kepada
anaknya yang membatasi setiap kegiatan anak, tidak memberikan kebebasan pada anak dan
kurang mendengarkan pendapat anak sehingga membuat anak merasa tertekan.
Menurut Taylor, Peplau, & Sears (2009) perilaku agresif didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain. Kemudian menurut
Buss dan Perry (1992) perilaku agresif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan
perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun verbal, meliputi
aspek physical aggression, verbal aggression, anger, hostility.7 Sedangkan Breakwell (1998)
mengatakan bahwa agresivitas adalah suatu keinginan untuk berprilaku secara agresif dalam
setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang
bertentangan dengan kemauan orang itu.8 Dari definisi menurut para ahli di atas, dapat di
simpulkan bahwa perilaku agresif merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dengan
maksud untuk menyakiti orang lain baik secara verbal maupun fisik.

Dari paparan di atas mengenai definisi perilaku agresif, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Menurut Anantasari (2006: 64-66) mengemukakan beberapa penyebab
perilaku agresif, yaitu:
1. Faktor psikologis terdiri dari perilaku naluriah dan perilaku yang dipelajari. Perilaku
naluriah menurut Freud terdapat dua macam, yakni eros dan thanatos. Perilaku agresif
termasuk thanatos, yakni energi yang tertuju untuk perusakan atau pengakhiran

5
Ni Putu Ayu Resitha dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati, Loc.it.
6
Nur Istiqomah Hidayati. “Pola Asuh Otoriter Orang Tua,Kecerdasan Emosi Dan Kemandirian
Anak SD”. Jurnal Psikologi Indonesia. Vol.3 No.1, 2014, hal. 3.
7
Ni Putu Ayu Resitha dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati, Loc.it.
8
Dwi Karunia Saputra dan Dian Ratna Sawitri. Loc.it.
kehidupan. Perilaku yang dipelajari menurut Bandura sehubungan dengan perilaku
agresif, yakni perilaku tersebut dipelajari manusia melalui pengalaman pada masa
lampau.
2. Faktor sosial terdiri dari frustrasi, provokasi langsung, dan pengaruh tontonan.
Perilaku agresif merupakan salah satu akibat dari frustrasi yang dialami seseorang,
tetapi tidak semua frustrasi menimbulkan perilaku agresif karena dapat mengarah ke
perilaku yang lain seperti depresi dan penarikan diri. Pencederaan fisikal dan
ejekanverbal dari orang lain sebagai bentuk provokasi langsung dapat memicu
perilaku agresif. Pengaruh tontonan kekerasan di televisi bersifat kumulatif, artinya
semakin panjang tontonan kekerasan maka semakin meningkatkan perilaku agresif.
3. Faktor lingkungan meliputi pengaruh polusi udara, kebisingan, dan kesesakan karena
jumlah manusia yang terlalu banyak sehingga memicu terjadinya perilaku agresif.
4. Faktor Biologis. Para peneliti yang menyelidiki kaitan antara cedera kepala dan
perilaku agresif mengindikasikan kombinasi pencederaan fisikal yang pernah dialami
dan cedera kepala, mungkin ikut menyebabkan munculnya perilaku agresif.
5. Faktor Genetik. Pengaruh faktor genetik antara lain ditunjukkan oleh kemungkinan
yang lebih besar untuk melakukan perilaku agresif dari kaum pria yang mempunyai
kromosom XYY.9
Adapun karakteristik dari perilaku agresif tersebut. Menurut Gallagher & Ashford (2016),
karakteristik perilaku agresif terdapat 4 karakteristik, yaitu:
1. Agresi fisik (physical aggression) yaitu merupakan perilaku menyerang orang lain
dengan menggunakan bagian tubuh yang keras atau dengan menggunakan benda lain
yang mengakibatkan korbannya luka fisik.
2. Agresi verbal (verbal aggression)yaitu merupakan perilaku verbal terhadap orang lain
berupa ancaman atau penolakan, sehingga mengakibatkan korbannya luka secara
psikis.
3. Kemarahan (anger) yaitu respon emosional seseorang yang menunjukkan perasaan
marah dan frustrasi.

9
Andani Fitrianisa, Skripsi: “Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agrsif Siswa SMK
Piri 3 Yogyakarta” (Yogyakarta: UNY, 2018), Hal. 28.
4. permusuhan (hostility) yaitu perilaku verbal yang diungkapkan seseorang secara
implisit berupa perasaan curiga kepada orang lain dengan tujuan untuk memproteksi
diri sendiri dari rangsangan yang dianggap berbahaya.10

Dari definisi yang sudah di paparkan di atas mengenai pola asuh otoriter, dapat kita lihat
beberapa karakteristik dari pola asuh otoriter ini, yaitu:

1. Orang tua cenderung melakukan kontrol secara ketat dengan standar perilaku yang
ditentukan oleh orang tua tanpa kompromi dan negosiasi dengan anak.
2. Orang tua kurang menunjukkan kasih sayang dan kehangatan dalam proses interaksi
dengan anak.
3. Cenderung menerapkan hukuman fisik kepada anak jika anak melanggar aturan.

Hal-hal ini dapat menjadi konsekuensi pada anak, menurut Baumrind (1971) anak menjadi
tergantung pada orang lain, kurang independen dan tidak menunjukkan tanggung jawab
sosial. Menurut Moore (1992) hal ini dapat menghambat perkembangan kompetensi sosial,
munculnya problem perilaku dan psikologis seperti kecemasan, depresi dan percaya diri yang
rendah.

H. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk deskriptif, yaitu data
yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, gambar, bukang angka-angka. Menurut Bogdan
dan Taylor, sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati. 11 Sementara itu, penelitian deskriptif adalah
suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

10
Yulvi Hardoni, Meri Neherta, Rika Sarfika. “Karakteristik Perilaku Agresif Remaja Pada
Sekolah Menengah Kejuruan”. Jurnal Keperawatan Jiwa. Vol.7 No.3, 2019, hal. 258.
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000),
11

hal. 3.
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun rekayasa manusia. 12
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Alasannnya adalah karena peneliti ingin berfokus meneliti satu kasus secara
terperinci dan mendalam.
2. Pendekatan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi, gambaran mengenai permasalahan
remaja dan mengetahui keterkaitannya dengan pola asuh otoriter orang tua. Oleh karena
itu, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian di lokasi kampung Panca Warga,
Labuan Sumbawa Besar. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena peneliti mengamati
bahwa daerah tersebut tingkat agresivitas remajanya cukup tinggi terutama remaja laki-
laki. Dari hasil data yang dikumpulkan berupa informasi, kata-kata dan gambaran maka
penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
3. Sumber data
Menurut Lofland dan Lofland sebagaimana yang telah dikutip oleh Lexy. J. Moleong
dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif, mengemukakan bahwa
sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya
berupa data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada
bagian ini jelas datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto
dan statistic.13 Sedangkan yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek
dari mana data dapat diperoleh. Apabila menggunakan wawancara dalam mengumpulkan
datanya maka sumber datanya disebut informan, yaitu orang yang merespon atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan baik secara tertulis maupun lisan. Apabila
menggunakan observasi maka sumber datanya adalah berupa benda, gerak, atau proses
sesuatu. Apabila menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang
menjadi sumber datanya. Dalam penelitian ini sumber data primer diperoleh dari
wawancara terhadap informan (remaja dan orangtua) yang meliputi berbagai hal
mengenai tanggapan atau respon remaja terhadap pola asuh orangtuanya dan tanggapan
atau respon orangtua terhadap kesalahan pola asuh yang diterapkan. Sedangkan sumber

12
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Op.cit., hal. 17.
13
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Op.cit., hal. 112.
data sekunder diperoleh dari hasil catatan pengamatan sikap remaja dan pengambilan
gambar sebagai dokumentasi.
4. Teknik pengumpulan data
 Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena
yang diselidiki. metode observasi menurut Mardalis, adalah hasil perbuatan jiwa
secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya suatu rangsangan tertentu
yang diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau
fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat.14
Dalam observasi ini, peneliti menggunakan observasi secara langsung, yaitu peneliti
akan terlibat dengan kegiatan subjek yang sedang diamati atau yang digunakan
sebagai sumber data penelitian. Observasi ini bertujuan untuk mengamati perilaku
yang muncul pada subjek saat beraktivitas seperti bahasa tubuh, intonasi berbicara,
hubungan dengan orang lain dan perilaku prososial yang muncul.
 Wawancara
Metode wawancara atau interview adalah suatu metode yang dilakukan dengan jalan
mengadakan jalan komunikasi dengan sumber data melalui dialog (Tanya-jawab)
secara lisan baik langsung maupun tidak langsung. Lexy J Moleong mendefinisikan
wawancara sebagai percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyan dan
yang diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.15
Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode wawancara langsung terhadap subjek.
Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin atau semi
terstruktur. Dalam wawancara tersebut, peneliti mengkombinasikan wawancara bebas
dengan wawancara terpimpin yang dalam pelaksananaannya peneliti sudah membawa
pedoman tentang apa yang akan ditanyakan secara garis besar yang kemudian
jawaban dari subjek dikembangkan lagi menjadi informasi baru.
 Dokumentasi

14
Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.
63
15
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Op.cit., hal. 135.
Dokumentasi, dari asal kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis. Dalam
pelaksanaan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan
sebagainya.16 Melalui dokumentasi ini, peneliti menggali data berupa dokumen
terkait seperti profil remaja, pengambilan gambar atau foto-foto.
 Reduksi data/triangulasi data
Reduksi data data digunakan untuk memastikan kebenaran dari data yang diperoleh.
Teknik-teknik yang digunakan untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini
adalah:
1. Ketekunan pengamatan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat
dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan
peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.17
2. Triangulasi data
Terdapat tiga macam triangulasi data, yaitu triangulasi sumber, triangulasi
teknik pengumpulan data, dan waktu. Dalam penelitian ini menggunakan
triangulasi sumber. Triangulasi sumber digunakan untuk pengecekan data
tentang keabsahannya, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen dengan memanfaatkan berbagai sumber data informasi sebagai
bahan pertimbangan. Dalam hal ini penulis mengambil sumber data
informasi dari saudara, tetangga atau orang disekitar lingkunngan subjek.
Peneliti juga membandingkan data hasil observasi dengan data hasil
wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan wawancara
lainnya.

5. Teknik analisis data

16
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2002, Cet.XII),hlm.149.
17
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. 6, hlm.272.
Analisis data yaitu proses pengumpulan data agar dapat ditafsirkan. Analisis data
dilakukan pada saat mengumpulkan data dan setelah pengumpulan data. Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis kualitatif yaitu
matode yang bertujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai subjek yang
diteliti dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis (Adi, 2004, h.117). Menurut
Miles dan Huberman (dalam Basrowi dan Suwandi, 2008, h. 209) ada tiga kegiatan yang
dilakukan dalam melakukan analisis data diantaranya dengan:
1. Reduksi Data Tahap ini merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian,
pengabstraksian dan pentransformasikan data kasar yang diambil dari lapangan.
Inti dari reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala
bentuk data menjadi bentuk tulisan yang akan dianalisis.
2. Penyajian Data Setelah data-data tersebut terkumpul kemudian peneliti
mengelompokkan hal-hal yang serupa menjadi kategori atau kelompok-
kelompok agar peneliti lebih mudah untuk melakukan pengambilan kesimpulan.
3. Menarik Kesimpulan Pada tahap ini, peneliti membandingkan data-data yang
sudah didapat dengan data-data hasil wawancara dengan subjek dan informan
yang bertujuan untuk menarik kesimpulan.18

18
Windaretta mardianinta, Skripsi: “Perilaku Prososial Pada Scooterist Vespa Ekstrim Di
Semarang” (Semarang: UNIKA, 2016), Hal. 51-52.

Anda mungkin juga menyukai