Anda di halaman 1dari 13

71

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara

persepsi jenis pola asuh orang tua terhadap risiko perilaku bullying siswa di SMA

Triguna Utama Ciputat. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni 2013. Penelitian

dilakukan dengan sampel sebanyak 71 siswa/siswi SMA Triguna Utama Ciputat.

Pengumupulan data menggunakan satu data demografi dan dua macam kuisioner

yang terdiri dari kuisioner persepsi jenis pola asuh orang tua dan kuisioner risiko

perilaku bullying. Berikut ini dijelaskan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari

analisa univariat, bivariat, dan keterbatasan penelitian.

A. Analisa Univariat

1. Gambaran Persepsi Jenis Pola Asuh Orang Tua Siswa di SMA Triguna
Utama ciputat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 71 siswa di SMA

Triguna Utama Ciputat didapatkan untuk siswa yang mempersepsikan pola asuh

orang tuanya demokratis berjumlah 31 orang (43,7%), diikuti pola asuh otoriter

28 orang (39,4%), campuran 7 orang (9,9%), dan permisif 5 orang (7,0%). Disini

terlihat bahwa persepsi pola asuh yang paling dominan adalah demokratis dan

otoriter.

Hurlock (2005) menyatakan bahwa persepsi individu dapat memotivasi

perilakunya lebih lanjut. objek persepsi yang dinilai tidak menyenangkan maka
72

perilakunya negatif, sebaliknya individu yang mempersepsikan suatu objek secara

positif akan mengkondisikan individu secara psikologis sebagai motivasi untuk

berperilaku positif. Persepsi pola asuh orang tua yang positif akan membuat

dampak yang positif juga. Penyebabnya adalah orang tua dapat memberikan dasar

pembentukan sikap, watak, tingkah laku, moral dan pendidikan pada anak, yang

semua itu mampu di persepsi remaja secara positif, sehingga berdampak positif

pula pada kualitas kepribadian remaja, dalam hal ini pada perilaku disiplinya

(Rahman, 2008).

Pola asuh sendiri adalah aktivitas kompleks termasuk banyak perilaku spesifik

yang dikerjakan secara individu dan bersama-sama untuk mempengaruhi

pembentukan karakter anak (Santrock, 2004).

Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi pola asuh demokratis dan

otoriter adalah yang paling mendominasi. Remaja mempersepsikan pola asuh

demokratis, karena remaja oleh orang tuanya didorong untuk mandiri namun

masih dibatasi dan dikendalikan aksi-aksinya, diberikan komunikasi terbuka dan

kehangatan dalam pengasuhanya. Ciri yang kental pada pola pengasuhan ini

adalah adanya diskusi antara anak dan orang tua, kerja sama yang berjalan baik

antara anak dan orang tua, anak diakui eksistensinya, dan kebebasan berekspresi

diberikan kepada anak dengan tetap berada dibawah pengawasan orang tua

(Baumrind, 1971 dalam Fathi, 2011).


73

Pola pengasuhan demokratis memiliki banyak manfaat. Surbakti (2009)

menjelaskan tentang manfaat pola asuh demokratis yaitu : dapat menghargai

pendapat orang lain, menghormati perbedaan pendapat, membangun dan

membina dialog, menghindarkan sikap mau menang sendiri, memupuk

persaudaraan dan persahabatan, mengedepankan sikap tenggang rasa,

membangun kerja sama, kepemimpinan kolektif, menumbuhkan sikap kritis,

menghormati kesetaraan peran, menumbuhkan semangat gotong rotong,

mengembangkan potensi diri.

Pola asuh yang paling dominan berikutnya adalah pola asuh ototiter yaitu

sebanyak 28 orang (39,4%). Pola asuh ini bersifat menghukum dan membatasi

dimana orang tua sangat memaksakan remaja mengikuti dan menghormati usaha-

usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, serta komunikasi tertutup, sehingga

tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi secara verbal

(Baumrind, 1971 dalam Fathi, 2011). Widyarini (2009) mengemukakan bahwa

pola asuh otoroter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol

yang kuat, maka tidak mengherankan pola asuh otoriter memiliki banyak akibat

negatif terhadap anak.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut diatas, kita dapat menyimpulkan orang tua

dengan pola asuh otoriter tidak menyadari bahwa dengan pola yang lebih banyak

menuntut terhadap anak ini telah mengikis kehangatan hubungan dengan anak.

Anak tidak menemukan suasana yang memungkinkan untuk mengekspresikan

pikiran atau perasaanya. Padahal kehangatan dalam hubungan orang tua dan anak
74

merupakan prasyarat bagi kesejahteraan psikologis bagi anak maupun orang tua

(Widyarini, 2009).

Pola asuh campuran didapatkan peneliti yaitu sebanyak 7 orang (9,9 %), yang

terdiri campuran semua jenis pola asuh (demokratis, otoriter, dan permisif)

sebanyak 3 orang (42,8%) dan pola asuh campuran yang terdiri dari pola asuh

otoriter dan demokratis ada 4 siswa (57,2), dan tidak ditemukan pada penelitian

ini pola asuh demokratis dan permsif atau otoriter dan permisif.

Pola asuh permisif yang peneliti temukan adalah sebanyak 5 orang (7,0%), ini

merupakan persepsi pola asuh paling sedikit dibandingkan dengan persepsi siswa

tentang pola asuh lainya. hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Annisa (2012)

yang dilakukan di SMK Cikini, yang mana pola asuh ibu permisifnya cukup

besar, yaitu 21 orang (23,1%) dari 91 orang responden.

Pola asuh permisif adalah gaya pengasuhan orang tua yang memberikan

kebebasan penuh kepada anaknya. Cirinya orang tua bersifat longgar, tidak terlalu

memberikan bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang. Kendali anak

sepenuhnya terdapat pada anak itu sendri. (Baumrind, 1971 dalam Santrock,

2011).

Surbakti (2009) menjelaskan akibat penerapan pola asuh permisif remaja

akan merasa bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka, pola asuh

permisif juga merupakan metode yang paling cepat menghancurkan masa depan

remaja. Selain itu menurut Palupi dan Puspita (2013) pola asuh permisif

menyebabkan dampak yang lebih buruk daripada pola asuh otoriter dalam hal

prestasi belajar.
75

Pada masa remaja juga seseorang akan mengalami perubahan hubungan

dengan orang tua, yaitu akan mengalami kerenggangan. Kerenggangan ini

semakin lama semakin terasa antara kedua belah pihak, hubungan dalam bentuk

percakapan semakin jarang. Akhirnya hubungan mereka mengesankan usaha

melepaskan diri karena ingin berdiri sendiri. Disini mulailah masa penuh

kontraindikasi antara orang tua dan remaja. Disatu pihak remaja merasa tidak

dimengerti oleh orang tua. Sebaliknya orang tua tidak mengetahui isi hatinya

para remaja. Kesimpangsiuran dalam hal pandangan dan pendapat ini

menyebabkan kehidupan yang berbeda (Gunarsa, 2012). Maka dari itu penting

bagi orang tua untuk melakukan komunikasi yang terbuka dengan remajanya agar

remaja merasa lebih dimengerti dan didengarkan, namun tetap memberikan

kontrol yang baik.

Dalam hubungan orang tua dan remaja yang perlu dicatat dan dijadikan

pegangan utama adalah persepsi remaja itu sendiri, bukan pandangan orang tua

atau orang dewasa lainya karena jika remaja memandang suatu hal sebagai

ketidakadilan, maka dia akan bereaksi sesuai dengan pandanganya itu sendiri,

walaupun semua orang mengatakanya sebagai hal yang biasa saja dan adil

(Sarwono, 2012).

Setiap orang tua tentunya memiliki gaya pengasuhan yang berbeda beda,

namun dalam kehidupan sehari-hari orang tua mungkin melakukan kombinasi

dari gaya pengasuhan, akan tetapi hanya satu gaya pengasuhan yang dominan

(Baumrind 1991, dalam Santrock, 2007). Perbedaan pola asuh terjadi karena

banyak faktor, menurut Hurlock (2012) menjelaskan faktor-faktor yang


76

mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu : pola asuh yang diterima orang tua

ketika masih kecil, pendidikan orang tua, kelas sosial, konsep tentang peran orang

tua, kepribadian orang tua, kepribadian anak, faktor nilai yang dianut orang tua,

dan usia anak.

2. Gambaran Risiko Perilaku Bullying Siswa di SMA Triguna Utama Ciputat

Bullying adalah penindasan tehadap seorang siswa yang dilakukan berulang

kali dari waktu ke waktu yang berdampak negatif dan dilakukan oleh satu siswa

atau lebih (Olweus, 1993 dalam Hazalden Foundation 2007). Sedangkan definisi

lain menyebutkan bahwa bullying adalah suatu keadaan dimana terjadi

penyalahgunaan kekuasaan/kekuatan yang dilakukan oleh seseorang atau

kelompok. Pihak yang kuat disini tidak hanya kuat secara fisik, akan tetapi bisa

juga kuat secara mental, dan korban bullying tidak mampu mempertahankan

dirinya karana lemah secara fisik maupun secara mental (Yayasan Sejiwa, 2008).

Sedangkan risiko perilaku bullying itu sendiri adalah risiko untuk melakukan

suatu bentuk agresi yang dilakukan oleh orang yang merasa berkuasa kepada orang

yang dianggap lemah untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri baik

dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk menyakiti korbanya

dan dilakukan dengan berulang-ulang. Maksud dari risiko disini karena perilaku

bullying yang ditelitinya belum terjadi dan peneliti melakukan penilaian dari

kuisioner yang dibagikan, jadi hasilnya dilhat tingkat risiko atau tingkat

kecenderungan dari perilaku bullying. Hasil dari pengkuranya adalah tinggi,

sedang dan rendah.


77

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, risiko perilaku bullying siswa

adalah paling banyak risiko perilaku bullying tinggi yaitu berjumlah 35 siswa

(49,3%). maka ini menunjukan bahwa risiko perilaku bullying siswa yang paling

banyak di SMA Triguna Utama Ciputat adalah tinggi

Hasil peneltian ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan Annisa

(2012) tentang perilaku bullying siswa SMK Cikini, dengan karakteristik

responden yang hampir sama, akan tetapi Annisa hanya membaginya menjadi dua,

yaitu melakukan bullying dan tidak melakukan bullying, yang hasilnya 56 orang

(61,5%) dari 92 orang melakukan bullying, dan yang tidak melakukan bullying

berjumlah 35 orang (38,5%). Peneliti berasumsi bahwa hal ini menunjukan

memang terjadi bullying di tingkat SMA/SMK.

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Basyiruddin (2010)

tentang penalaran moral dan perilaku bullying di santri Madrasah Aliyah Assaadah

Serang banten. Pada penelitianya ini skor bullying yang berada pada kategori

tinggi hanya 15 orang (19, %) dari 80 responden, dan yang paling banyak justru

pada kategori sedang 51 orang (63,3%), peneliti berasumsi bahwa perbedaanya ini

karena perbedaan lingkungan, dalam hal ini Basyiruddin (2010) melakukanya di

lingkungan pesantren yang lebih positif. Penelitian Maghfiroh & Rachawati

(2009) menunjukan bahwa semakin baik iklim/lingkungan sekolah, semakin

sedikit kecenderungan perilaku bullying, iklim sekolah sendri memberikan

sumbangan sebesar 21% terhadap perilaku bullying.


78

Pada penelitian ini tingkat risiko perilaku bullying yang tinggi paling banyak

pada responden kelas XI yaitu dari 35 responden yang berisiko perilaku bullying

tinggi, sebanyak 21 responden (60%) berasal dari responden kelas XI. Artinya

kelas XI disini lebih banyak yang berisiko perilaku bullying tinggi dibanding kelas

X. Ini sesuai dengan pendapat Astuti (2008), yang menjelaskan bahwa biasanya

bullying dilakukan dari senior ke junior, dikarenakan senior merasa lebih berkuasa

atau memang meneruskan tradisi yang sudah ada, sehingga berujung pada perilaku

bullying. Selain itu kelas XI juga adalah yang menjadi panitian MOS (masa

orientasi siswa) yang mana banyak dijadikan ajang pembulian dari mereka kelas X

sebagai siswa baru, dan ini sudah dianggap hal biasa di Indonesia.

Pada penelitian di SMA Triguna Utama ini jumlah responden perempuan

lebih banyak dari pada laki-laki yaitu berjumlah 39 orang (55%). Hasilnya akan

berbeda apabila penelitian ini dilakukan di SMK yang mana jurusan yang ada

didalamnya lebih banyak yang diminati oleh laki-laki. Seperti pada penelitian

Annisa (2012) yang dilakukan di SMK Cikini, dimana jumlah responden laki-

lakinya lebih banyak yaitu (85,7%)

B. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

dependen dan independen. Yaitu untuk mengetahui hubungan antara persepsi jenis

pola asuh orang tua terhadap risiko perilaku bullying. Analisa data yang digunakan

adalah uji korelasi Lambda. Hasil penelitian dibandingkan p-value dengan


79

signifikan alpha 0,05. Apabila p-value lebih kecil dari alpha (0,05) maka ada

hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen

dan apabila p-value lebih besar dari alpha (0,05) maka tidak ada hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen. Hasil uji statistik yang peneliti

lakukan menunjukan bahwa ada hubungan yang sedang antara persepsi jenis pola

asuh orang tua terhadapa risiko perilaku bullying ( p = 0,000, r = 0,583). Hasil

penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Annisa (2012) yang menyatakan

bahwa ada hubungan antara pola asuh ibu denga perilaku bullying remaja dan

sesuai juga dengan Penelitian Mayasari (2008) yang mendapatkan bahwa ada

hubungan antara persepsi jenis pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja siswa

kelas XI SMU Laboratorium Malang.

Penelitian lainya juga yang sesuai adalah penelitian Eyefni (2011) yang

mendapatkan hasil ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perilaku

agresif serta Murtiani (2011) ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan

kenakalan remaja.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa siswa yang mempersepsikan

pola asuh orang tua demokratis ada 31 orang (43,7 %), dengan risiko perilaku

bullying rendah 24 orang (77,4%), sedang 4 orang (12,9%), dan tinggi 3 orang

(9,7%). Siswa yang mempersepsikan pola asuh orang tuanya otoriter ada 28 orang

(39,4%), dengan risiko perilaku bullying rendah 7 orang (25%), sedang tidak ada,

tinggi 21 orang (75,0%). Siswa yang mempersepsikan pola asuh orang tuanya

permisif ada 5 orang (7,0 %) yang mana seluruh dari siswa ini (100%) memiliki
80

risiko perilaku bullying tinggi. Selajutnya siswa yang mempersepsikan pola asuh

orang tuanya campuran ada 7 orang (9,9%), denga risiko perilaku bullying rendah

1 orang (14,3%), sedang tidak ada, dan tinggi 6 orang (85,7%).

Pola asuh yang paling ideal yang dapat diterapkan orang tua (ayah dan

ibu) dalam pengasuhan remaja adalah pengasuhan demokratis. Cole dan Hall

(1970 dalam Rahman, 2008) mengemukakan bahwa suasana terbuka dan kondusif

yang ada pada pola asuh demokratis menyebabkan remaja menjadi lebih

berkembang serta memiliki kemampuan menghadapi konflik yang terjadi dengan

orang lain. Hal tersebut dipertegas oleh Shapiro (2001 dalam Rahman, 2008) yang

menjelaskan bahwa ayah dan ibu dengan pola asuh demokratis menyebabkan anak

tidak tergantung dan tidak berperilaku kekanak-kanakan, mendorong untuk

berprestasi, kreatif dan disukai banyak orang serta responsif.

Pola asuh demokratis dari hasil penelitian menunjukan bahwa risiko

perilaku bullying rendah sebanyak 77,4 %, sedang 12,9 %, dan tinggi 9,7%. Hal

ini jelas bahwa pola asuh demokratis ini paling banyak risiko perilaku bullying

rendah, meskipun masih ada yang sedang dan tinggi, ini dikarenakan masih ada

faktor lain seperti teman sebaya, lingkungan/iklim sekolah, media, dll. Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Annisa (2012) yang menunjukan

bahwa sebagian besar yang menerima pola asuh demokratis adalah non-perilaku

bullying.
81

Kaitanya dengan persepsi pola asuh yang terjadi pada remaja adalah

semakin positif remaja mempersepsikan pola asuh ayah dan ibunya, semakin

positif pula perilaku disiplin remaja tersebut. Rahman (2008) menyebutkan bahwa

persepsi remaja terhadap pola asuh demokratis ayah dan ibu dapat mempengaruhi

terbentuknya perilaku disiplin remaja, karena peran keluarga dapat memberikan

dasar pembentukan sikap, watak, tingkah laku, moral dan pendidikan pada anak,

yang semua itu mampu di persepsi remaja secara positif.

Persepsi siswa terhadap jenis pola asuh orang tua otoriter menunjukan

sebanyak 75% yang memiliki risiko perilku bullying tinggi. Hasil ini sesuai

dengan penelitian Annisa (2012) bahwasanya pola asuh ibu otoriter yang paling

banyak perilaku bullying yaitu 82,8%. Penelitian lainya juga menunjukan hal yang

sama yaitu persepsi pola asuh otoriter mempunyai hubungan yang signifikan

dengan kecenderungan perilaku agresi pada remaja (Anggaraningtyas dkk, 2010).

Widyarini (2009) menyebutkan bahwa pola asuh otoriter memiliki ciri

pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat. Hal ini berbeda

dengan pola asuh demokratis yang memberikan kebebasan dan menerapkan

kontrol. Berbeda pula dengan pola asuh permisif yang berciri bebas, tetapi tanpa

memberikan kontrol. Dengan pendekatan yang tidak demokratis dan pemberian

kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter, maka tidak mengherankan pola asuh

otoriter memiliki banyak akibat negatif terhadap anak (widyarini, 2009).


82

Dibandingkan dengan jenis pola asuh yang lainya, pola asuh demokrasi

merupakan pola asuh yang paling memadai diterapkan kepada remaja dan anggota

keluarga lainya, karena dalam sistem pola asuh demokrasi aspirasi setiap individu

terakomodasi dengan baik sehingga individu dihormati sesuai dengan kapasitas

dan kapabilitasnya (Surbakti, 2009). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh

Steinberg & Silk (2002 dalam Santrock, 2007) pola pengasuhan otoritatif

(demokratis) merupakan pola pengasuhan yang paling efektif, karena ;

a. Orang tua otoritattif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian

dan otonomi, memberikan peluang kepada anak-anak dan remaja untuk

mengembangkan kemandirian sambil memberika standar, batasan dan

bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak (Rauter & Conger, 1995)

b. Orang tua otoritatif cenderung lebih banyak melibatkan anak-anaknya dalam

dialog verbal dan membiarkan mereka mengeksprsikan pandangan-

pandanganya (Kuczynski & Lollis, 2002). Jenis diskusi keluarga seperti ini

dapat membantu anak-anak memahami relasi sosial dan hal-hal yang

dibutuhkan untuk menjadi seorang yang kompeten,

c. Kehangatan dan keteribatan yang diberikan oleh orang tua yang demokratis

membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua (Sim, 2000).

C. Keterbatasan Peneliti

Dalam melakukan penelitian ini masih terdapat keterbatasan peniliti, sehingga

masih perlu disempurnakan lagi, berikut adalah keterbatasan peneliti :


83

1. Penelitian ini dilakukan hanya pada kelas X dan XI karena kelas XII sudah

libur setelah menghadapi UN, sehingga tidak menggambarkan risiko perilaku

bullying secara keseluruhan di SMA Triguna Utama Ciputat,yaitu kelas X, XI,

dan XII.

2. Penelitian ini tidak melihat responden apakah tinggal dengan kedua orang

tuanya, hanya salah satu dari orang tua, atau tidak diasuh oleh orang tuanya.

3. Peneltian ini dilakukan setelah siswa melakukan ujian kenaikan kelas, yang

dikhawatirkan siswa sudah merasa lelah dan tidak fokus dalam mengisi

kuisioner penelitian yang dibagikan.

Anda mungkin juga menyukai