BAB VI
PEMBAHASAN
persepsi jenis pola asuh orang tua terhadap risiko perilaku bullying siswa di SMA
Triguna Utama Ciputat. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni 2013. Penelitian
Pengumupulan data menggunakan satu data demografi dan dua macam kuisioner
yang terdiri dari kuisioner persepsi jenis pola asuh orang tua dan kuisioner risiko
perilaku bullying. Berikut ini dijelaskan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari
A. Analisa Univariat
1. Gambaran Persepsi Jenis Pola Asuh Orang Tua Siswa di SMA Triguna
Utama ciputat
Triguna Utama Ciputat didapatkan untuk siswa yang mempersepsikan pola asuh
orang tuanya demokratis berjumlah 31 orang (43,7%), diikuti pola asuh otoriter
28 orang (39,4%), campuran 7 orang (9,9%), dan permisif 5 orang (7,0%). Disini
terlihat bahwa persepsi pola asuh yang paling dominan adalah demokratis dan
otoriter.
perilakunya lebih lanjut. objek persepsi yang dinilai tidak menyenangkan maka
72
berperilaku positif. Persepsi pola asuh orang tua yang positif akan membuat
dampak yang positif juga. Penyebabnya adalah orang tua dapat memberikan dasar
pembentukan sikap, watak, tingkah laku, moral dan pendidikan pada anak, yang
semua itu mampu di persepsi remaja secara positif, sehingga berdampak positif
pula pada kualitas kepribadian remaja, dalam hal ini pada perilaku disiplinya
(Rahman, 2008).
Pola asuh sendiri adalah aktivitas kompleks termasuk banyak perilaku spesifik
demokratis, karena remaja oleh orang tuanya didorong untuk mandiri namun
kehangatan dalam pengasuhanya. Ciri yang kental pada pola pengasuhan ini
adalah adanya diskusi antara anak dan orang tua, kerja sama yang berjalan baik
antara anak dan orang tua, anak diakui eksistensinya, dan kebebasan berekspresi
diberikan kepada anak dengan tetap berada dibawah pengawasan orang tua
Pola asuh yang paling dominan berikutnya adalah pola asuh ototiter yaitu
sebanyak 28 orang (39,4%). Pola asuh ini bersifat menghukum dan membatasi
dimana orang tua sangat memaksakan remaja mengikuti dan menghormati usaha-
usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, serta komunikasi tertutup, sehingga
pola asuh otoroter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol
yang kuat, maka tidak mengherankan pola asuh otoriter memiliki banyak akibat
dengan pola asuh otoriter tidak menyadari bahwa dengan pola yang lebih banyak
menuntut terhadap anak ini telah mengikis kehangatan hubungan dengan anak.
pikiran atau perasaanya. Padahal kehangatan dalam hubungan orang tua dan anak
74
merupakan prasyarat bagi kesejahteraan psikologis bagi anak maupun orang tua
(Widyarini, 2009).
Pola asuh campuran didapatkan peneliti yaitu sebanyak 7 orang (9,9 %), yang
terdiri campuran semua jenis pola asuh (demokratis, otoriter, dan permisif)
sebanyak 3 orang (42,8%) dan pola asuh campuran yang terdiri dari pola asuh
otoriter dan demokratis ada 4 siswa (57,2), dan tidak ditemukan pada penelitian
ini pola asuh demokratis dan permsif atau otoriter dan permisif.
Pola asuh permisif yang peneliti temukan adalah sebanyak 5 orang (7,0%), ini
merupakan persepsi pola asuh paling sedikit dibandingkan dengan persepsi siswa
tentang pola asuh lainya. hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Annisa (2012)
yang dilakukan di SMK Cikini, yang mana pola asuh ibu permisifnya cukup
Pola asuh permisif adalah gaya pengasuhan orang tua yang memberikan
kebebasan penuh kepada anaknya. Cirinya orang tua bersifat longgar, tidak terlalu
memberikan bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang. Kendali anak
sepenuhnya terdapat pada anak itu sendri. (Baumrind, 1971 dalam Santrock,
2011).
akan merasa bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka, pola asuh
permisif juga merupakan metode yang paling cepat menghancurkan masa depan
remaja. Selain itu menurut Palupi dan Puspita (2013) pola asuh permisif
menyebabkan dampak yang lebih buruk daripada pola asuh otoriter dalam hal
prestasi belajar.
75
semakin lama semakin terasa antara kedua belah pihak, hubungan dalam bentuk
melepaskan diri karena ingin berdiri sendiri. Disini mulailah masa penuh
kontraindikasi antara orang tua dan remaja. Disatu pihak remaja merasa tidak
dimengerti oleh orang tua. Sebaliknya orang tua tidak mengetahui isi hatinya
menyebabkan kehidupan yang berbeda (Gunarsa, 2012). Maka dari itu penting
bagi orang tua untuk melakukan komunikasi yang terbuka dengan remajanya agar
Dalam hubungan orang tua dan remaja yang perlu dicatat dan dijadikan
pegangan utama adalah persepsi remaja itu sendiri, bukan pandangan orang tua
atau orang dewasa lainya karena jika remaja memandang suatu hal sebagai
ketidakadilan, maka dia akan bereaksi sesuai dengan pandanganya itu sendiri,
walaupun semua orang mengatakanya sebagai hal yang biasa saja dan adil
(Sarwono, 2012).
Setiap orang tua tentunya memiliki gaya pengasuhan yang berbeda beda,
dari gaya pengasuhan, akan tetapi hanya satu gaya pengasuhan yang dominan
(Baumrind 1991, dalam Santrock, 2007). Perbedaan pola asuh terjadi karena
mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu : pola asuh yang diterima orang tua
ketika masih kecil, pendidikan orang tua, kelas sosial, konsep tentang peran orang
tua, kepribadian orang tua, kepribadian anak, faktor nilai yang dianut orang tua,
kali dari waktu ke waktu yang berdampak negatif dan dilakukan oleh satu siswa
atau lebih (Olweus, 1993 dalam Hazalden Foundation 2007). Sedangkan definisi
kelompok. Pihak yang kuat disini tidak hanya kuat secara fisik, akan tetapi bisa
juga kuat secara mental, dan korban bullying tidak mampu mempertahankan
dirinya karana lemah secara fisik maupun secara mental (Yayasan Sejiwa, 2008).
Sedangkan risiko perilaku bullying itu sendiri adalah risiko untuk melakukan
suatu bentuk agresi yang dilakukan oleh orang yang merasa berkuasa kepada orang
yang dianggap lemah untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri baik
dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk menyakiti korbanya
dan dilakukan dengan berulang-ulang. Maksud dari risiko disini karena perilaku
bullying yang ditelitinya belum terjadi dan peneliti melakukan penilaian dari
kuisioner yang dibagikan, jadi hasilnya dilhat tingkat risiko atau tingkat
adalah paling banyak risiko perilaku bullying tinggi yaitu berjumlah 35 siswa
(49,3%). maka ini menunjukan bahwa risiko perilaku bullying siswa yang paling
Hasil peneltian ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan Annisa
responden yang hampir sama, akan tetapi Annisa hanya membaginya menjadi dua,
yaitu melakukan bullying dan tidak melakukan bullying, yang hasilnya 56 orang
(61,5%) dari 92 orang melakukan bullying, dan yang tidak melakukan bullying
Hasil penelitian ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Basyiruddin (2010)
tentang penalaran moral dan perilaku bullying di santri Madrasah Aliyah Assaadah
Serang banten. Pada penelitianya ini skor bullying yang berada pada kategori
tinggi hanya 15 orang (19, %) dari 80 responden, dan yang paling banyak justru
pada kategori sedang 51 orang (63,3%), peneliti berasumsi bahwa perbedaanya ini
Pada penelitian ini tingkat risiko perilaku bullying yang tinggi paling banyak
pada responden kelas XI yaitu dari 35 responden yang berisiko perilaku bullying
tinggi, sebanyak 21 responden (60%) berasal dari responden kelas XI. Artinya
kelas XI disini lebih banyak yang berisiko perilaku bullying tinggi dibanding kelas
X. Ini sesuai dengan pendapat Astuti (2008), yang menjelaskan bahwa biasanya
bullying dilakukan dari senior ke junior, dikarenakan senior merasa lebih berkuasa
atau memang meneruskan tradisi yang sudah ada, sehingga berujung pada perilaku
bullying. Selain itu kelas XI juga adalah yang menjadi panitian MOS (masa
orientasi siswa) yang mana banyak dijadikan ajang pembulian dari mereka kelas X
sebagai siswa baru, dan ini sudah dianggap hal biasa di Indonesia.
lebih banyak dari pada laki-laki yaitu berjumlah 39 orang (55%). Hasilnya akan
berbeda apabila penelitian ini dilakukan di SMK yang mana jurusan yang ada
didalamnya lebih banyak yang diminati oleh laki-laki. Seperti pada penelitian
Annisa (2012) yang dilakukan di SMK Cikini, dimana jumlah responden laki-
B. Analisa Bivariat
dependen dan independen. Yaitu untuk mengetahui hubungan antara persepsi jenis
pola asuh orang tua terhadap risiko perilaku bullying. Analisa data yang digunakan
signifikan alpha 0,05. Apabila p-value lebih kecil dari alpha (0,05) maka ada
dan apabila p-value lebih besar dari alpha (0,05) maka tidak ada hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen. Hasil uji statistik yang peneliti
lakukan menunjukan bahwa ada hubungan yang sedang antara persepsi jenis pola
asuh orang tua terhadapa risiko perilaku bullying ( p = 0,000, r = 0,583). Hasil
bahwa ada hubungan antara pola asuh ibu denga perilaku bullying remaja dan
sesuai juga dengan Penelitian Mayasari (2008) yang mendapatkan bahwa ada
hubungan antara persepsi jenis pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja siswa
Penelitian lainya juga yang sesuai adalah penelitian Eyefni (2011) yang
mendapatkan hasil ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perilaku
agresif serta Murtiani (2011) ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan
kenakalan remaja.
pola asuh orang tua demokratis ada 31 orang (43,7 %), dengan risiko perilaku
bullying rendah 24 orang (77,4%), sedang 4 orang (12,9%), dan tinggi 3 orang
(9,7%). Siswa yang mempersepsikan pola asuh orang tuanya otoriter ada 28 orang
(39,4%), dengan risiko perilaku bullying rendah 7 orang (25%), sedang tidak ada,
tinggi 21 orang (75,0%). Siswa yang mempersepsikan pola asuh orang tuanya
permisif ada 5 orang (7,0 %) yang mana seluruh dari siswa ini (100%) memiliki
80
risiko perilaku bullying tinggi. Selajutnya siswa yang mempersepsikan pola asuh
orang tuanya campuran ada 7 orang (9,9%), denga risiko perilaku bullying rendah
Pola asuh yang paling ideal yang dapat diterapkan orang tua (ayah dan
ibu) dalam pengasuhan remaja adalah pengasuhan demokratis. Cole dan Hall
(1970 dalam Rahman, 2008) mengemukakan bahwa suasana terbuka dan kondusif
yang ada pada pola asuh demokratis menyebabkan remaja menjadi lebih
orang lain. Hal tersebut dipertegas oleh Shapiro (2001 dalam Rahman, 2008) yang
menjelaskan bahwa ayah dan ibu dengan pola asuh demokratis menyebabkan anak
perilaku bullying rendah sebanyak 77,4 %, sedang 12,9 %, dan tinggi 9,7%. Hal
ini jelas bahwa pola asuh demokratis ini paling banyak risiko perilaku bullying
rendah, meskipun masih ada yang sedang dan tinggi, ini dikarenakan masih ada
faktor lain seperti teman sebaya, lingkungan/iklim sekolah, media, dll. Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Annisa (2012) yang menunjukan
bahwa sebagian besar yang menerima pola asuh demokratis adalah non-perilaku
bullying.
81
Kaitanya dengan persepsi pola asuh yang terjadi pada remaja adalah
semakin positif remaja mempersepsikan pola asuh ayah dan ibunya, semakin
positif pula perilaku disiplin remaja tersebut. Rahman (2008) menyebutkan bahwa
persepsi remaja terhadap pola asuh demokratis ayah dan ibu dapat mempengaruhi
dasar pembentukan sikap, watak, tingkah laku, moral dan pendidikan pada anak,
Persepsi siswa terhadap jenis pola asuh orang tua otoriter menunjukan
sebanyak 75% yang memiliki risiko perilku bullying tinggi. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Annisa (2012) bahwasanya pola asuh ibu otoriter yang paling
banyak perilaku bullying yaitu 82,8%. Penelitian lainya juga menunjukan hal yang
sama yaitu persepsi pola asuh otoriter mempunyai hubungan yang signifikan
pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat. Hal ini berbeda
kontrol. Berbeda pula dengan pola asuh permisif yang berciri bebas, tetapi tanpa
kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter, maka tidak mengherankan pola asuh
Dibandingkan dengan jenis pola asuh yang lainya, pola asuh demokrasi
merupakan pola asuh yang paling memadai diterapkan kepada remaja dan anggota
keluarga lainya, karena dalam sistem pola asuh demokrasi aspirasi setiap individu
dan kapabilitasnya (Surbakti, 2009). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh
Steinberg & Silk (2002 dalam Santrock, 2007) pola pengasuhan otoritatif
pandanganya (Kuczynski & Lollis, 2002). Jenis diskusi keluarga seperti ini
c. Kehangatan dan keteribatan yang diberikan oleh orang tua yang demokratis
membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua (Sim, 2000).
C. Keterbatasan Peneliti
1. Penelitian ini dilakukan hanya pada kelas X dan XI karena kelas XII sudah
dan XII.
2. Penelitian ini tidak melihat responden apakah tinggal dengan kedua orang
tuanya, hanya salah satu dari orang tua, atau tidak diasuh oleh orang tuanya.
3. Peneltian ini dilakukan setelah siswa melakukan ujian kenaikan kelas, yang
dikhawatirkan siswa sudah merasa lelah dan tidak fokus dalam mengisi