Anda di halaman 1dari 8

Perilaku self injury disebabkan karena pola Asuh orang tua yang buruk

Note:

Perilaku melukai diri merupakan salah satu bentuk perilaku yang dilakukan untuk mengatasi gangguan
emosi atau rasa sakit emosional dengan cara menyakiti diri sendiri tanpa ada niat untuk bunuh diri

“Percakapan yang minim serta ketatnya aturan yang diterapkan orang tua pada anak memicu anak
melakukan perilaku melukai diri.” (Polk dan Liss, 2009)

“Koerner dan Fitzpatrick (2002) membaginya ke dalam empat kategori. Pertama ialah pola konsensual di
mana keluarga menerapkan komunikasi konsensual yang mendorong anak untuk terbuka pada orang
tua sehingga memiliki kemampuan kontrol diri yang baik, menghindari konflik, dan relasi yang baik
dengan lingkungannya. Kecenderungan anak untuk melukai diri pada keluarga ini sangat rendah. Kedua
ialah pola pluralistik. Tidak berbeda jauh dengan pola konsensual, komunikasi pluralistik ini membentuk
remaja untuk terbuka serta mampu menciptakan hubungan yang harmonis karena anak terlatih untuk
berpikir secara bebas, didorong untuk berkomunikasi dan bertukar ide secara terbuka, juga menikmati
berbagai macam nilai.Pola ketiga ialah pola protektif, di mana komunikasi antara orang tua dengan anak
sangat minim karena orang tua jarang meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan anak. Komunikasi
pada pola ini menuntut anak untuk patuh pada aturan yang ketat yang dibuat orang tua. Anak yang lahir
dan dididik dari pola komunikasi seperti ini memiliki intensi melukai diri yang tinggi karena komunikasi
yang tertutup. Begitu pula pada pola komunikasi yang keempat, yaitu Laissez-faire, di mana orang tua
memiliki minat yang sedikit bahkan tidak memiliki minat sama sekali pada kehidupan anak. Sehingga,
anak mengalami pengabaian, penolakan, dan perhatian yang kurang dari orang tua.”

Tarigan, T., & Apsari, N. C. (2021). PERILAKU SELF-HARM ATAU MELUKAI DIRI SENDIRI YANG
DILAKUKAN OLEH REMAJA (SELF-HARM OR SELF-INJURING BEHAVIOR BY
ADOLESCENTS). Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 213-224.

“Pola asuh yang permissive diduga berperan menimbulkan perilaku self injury.”

“Semakin banyak seseorang melakukan interaksi dengan orang lain, maka semakin banyak pula
informasi yang diterimanya, yang kemudian akan terangkai menjadi pengalaman hidup.”

“Emosi itu juga akan mempengaruhi kehidupan seseorang, karena pada saat seseorang merasakan
emosi positif maupun negatif hal ini akan membawa perubahan secara fisik maupun psikologisnya.”

“Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan problematika. Seperti yang dikatakan oleh Hall
(Santrock, 2007) masa remaja yang usianya berkisar antara 12-23 tahun diwarnai oleh pergolakan.
Pandangan badai dan stres (storm-and-stres view) adalah konsep dari Hall (Santrock, 2007) yang
menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan
suasana hati.”

“Perilaku self injury ini tidak terjadi secara spontan begitu saja. Perilaku self injury berawal dari latar
belakang keluarga subjek yang menerapkan sistem pola asuh permissive. Pola asuh permissive(bebas)
yang diterapkan oleh orang tua F, membuat orang tua F tidak memberlakukan aturan-aturan yang tegas
mengenai batasan-batasan dalam pergaulan. Dari pola asuh ini, subjek terbentuk menjadi seseorang
yang tidak mempunyai kontrol diri hingga akhirnya ia memperoleh banyak pengalaman tidak
menyenangkan di lingkungan pergaulannya dengan lawan jenis”
Estefan, G., & Wijaya, Y. D. (2014). Gambaran proses regulasi emosi pada pelaku self injury. Jurnal
Psikologi Esa Unggul, 12(01), 126410.

Broken home dapat diartikan sebagai keluarga yang retak yaitu hilangnya perhatian keluarga atau
kurangnya kasih saying dari orang tua yang disebabkan beberapa hal (Willis, 2015)

“Ketika peran yang seharusnya dilakukan oleh orang tua tidak sesuai dengan semestinya, maka
permasalahan akan bermunculan. Permasalahan dapat menyebabkan pertengkaran baik antar orang
tua, maupun antara orang tua dan anak”

Wu dan Zhang (2017) menemukan ketidakhadiran orang tua terutama saat perkembangan anak usia
dini, menimbulkan efek negative pada prestasi akademik dan perkembangan non-kognitif anak.

Fu dan kawan-kawan (2017) menemukan ketidakhadiran kedua orang tua secara signifikan dikaitkan
dengan hasil emosional negative, diikuti dengan depress, kecemasan sosial, dan kecemasan fisik yang
terbukti menjadi mediator yang signifikan dalam hubungan ketidakhadiran orang tua dan ide bunuh diri
anak.

Anak yang berasal dari keluarga yang masih utuh, permasalahannya berbeda dengan anak broken home,
mereka lebih merasa tersisihkan dan tidak ada yang peduli dengannya, sehingga memunculkan perilaku
berbeda (Alfauziyah,2020)

Martin and White (1994) menemukan bahwa kombinasi dari control tinggi dan dukungan rendah
(control tanpa kasih saying) merupakan faktor risiko pengasuhan yang signifikan untuk depresi dan bnuh
diri remaja (Baetens dkk, 2013)

Remaja yang melukai diri sendiri menunjukkan self-esteem yang jauh lebih rendah daripada mereka
yang tidak (Brausch & Gutierrez, 2010)
Dewi, D. S. C. (2020). Pengaruh Kepribadian Narsistik Terhadap Perilaku Nonsuicidal Self-Injury Pada
Remaja Broken Home (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Peralihan dari masa remaja ke masa dewasa kerap menjadi salah satu periode kehidupan yang
berpotensi membuat individu mengalami stres (Mahtani dkk., 2017).

NSSI termasuk ke dalam perilaku self-injurious behavior, yang merujuk secara luas pada setiap perilaku
seseorang yang dengan sengaja melukai diri sendiri secara langsung, baik dengan niat bunuh diri atau
tanpa ada niat bunuh diri (Nock, 2008).

Manifestasi NSSI dapat berupa memotong, membakar, memukul diri sendiri, membenturkan kepala
sendiri, mencabut rambut sendiri, terus-menerus menggaruk dirinya sendiri, mengelupas atau
mengganggu penyembuhan luka, dan mematahkan tulang (Brown & Kimball, 2012).
NSSI terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu patologis dan non patologis (Favazza, 2012). NSSI yang bersifat
non patologis termasuk modifikasi tubuh, seperti tato tubuh atau tindik tubuh. Perilaku modifikasi tubuh
dapat dikatakan sebagai sublimasi dari NSSI patologis. Sementara itu,NSSI yang bersifat patologis
merupakan salah satu cara dalam meregulasi emosi (Favazza, 2012).Menurut Favazza (2012), NSSI yang
bersifat patologis digolongkan ke dalam empat kategori deskriptif, yaitu NSSI mayor, NSSI stereotipik,
NSSI kompulsif, dan NSSI impulsif.Perilaku NSSI mayor merupakan tindakan yang tidak menetap yang
merusak jaringan tubuh sendiri, sebagai akibat dari kondisi psikotik. Sementara itu, perilaku NSSI
stereotipik umumnya diasosiasikan dengan kondisi retardasi mental yang parah dan mendalam,
dilakukan berulang secara monoton, dengan pola ritmis, dan ditunjukkan tanpa ada perasaan malu atau
bersalah di depan umum, seperti memukul dan menampar diri. Perilaku NSSI kompulsif meliputi
perilaku berulang,seperti mencaar kulit dan menggigit kuku, menjambak rambut (trichotillomania),
sertamencongkel kulit (delusional parasitosis). Perilaku NSSI impulsif terdiri dari berbagai
perilaku,seperti menyayat kulit, membakar, dan mengukir kulit; menusukkan benda tajam di bawah kulit
atau di dada atau perut; mengelupas bekas luka; dan membenturkan tulang-tulang tangan atau kaki.
Perilaku-perilaku ini biasanya terjadi secara episodik dan lebih sering dilakukan oleh perempuan.
Perilaku NSSI impulsif menjadi berbahaya ketika perilaku ini dilakukan berulang dan bersifat adiktif.
Sebenarnya ada banyak cara yang dilakukan orang dengan NSSI impulsif, namun yang paling banyak
dilaporkan adalah menyayat tangan.

Arinda, O. D., & Mansoer, W. W. D. (2021). NSSI (Nonsuicidal Self-Injury) pada Dewasa Muda di Jakarta:
Studi fenomenologi interpretatif. Jurnal Psikologi Ulayat, 8(1), 123-147.

Elvira, S. R., & Sakti, H. (2021). EKSPLORASI PENGALAMAN NONSUICIDAL SELF-INJURY (NSSI)
PADA WANITA DEWASA AWAL: SEBUAH INTERPRETATIVE PHENOMENOLOGICAL
ANALYSIS. Jurnal EMPATI, 10(05), 319-327.

Ragam tipe pola asuh orangtua yang terdiri dari empat macam, diantaranya yaitu Pertama, otoritatif;
Kedua, otoritarian; dan Ketiga, permisif; serta yang keempat, acuh tak acuh. Masing-masing pola asuh ini
mempunyai dampak bagi perkembangan anak. Adapun pola asuh yang terbaik dalam pembentukan
karakter anak adalah tipe pola asuh otoritatif. Hal ini, disebabkan bahwa dalam pola asuh tipe otoritatif ini
bercirikan orang tua yang cenderung menganggap sederajat hak dan kewajiban anak dibanding dirinya
karena pada prakteknya tipe pola asuh otoritatif ini, para orang tua memberi kebebasan dan bimbingan
kepada anak.

Hasanah, U. (2016). Pola asuh orangtua dalam membentuk karakter anak. Jurnal Elementary, 2(2), 72-
82.
Fox, K. R., Franklin, J. C., Ribeiro, J. D., Kleiman, E. M., Bentley, K. H., & Nock, M. K. (2015). Meta-
analysis of risk factors for nonsuicidal self-injury. Clinical Psychology Review, 42, 156–167.
doi:10.1016/j.cpr.2015.09.002

Baetens, I., Claes, L., Onghena, P., Grietens, H., Van Leeuwen, K., Pieters, C., … Griffith, J. W. (2014).
Non-suicidal self-injury in adolescence: A longitudinal study of the relationship between NSSI,
psychological distress and perceived parenting. Journal of Adolescence, 37(6),
817–826.doi:10.1016/j.adolescence.2014.05.010

Baetens, I., Claes, L., Martin, G., Onghena, P., Grietens, H., Van Leeuwen, K., … Griffith, J. W. (2013). Is
Nonsuicidal Self-Injury Associated With Parenting and Family Factors? The Journal of Early Adolescence,
34(3), 387–405. doi:10.1177/0272431613494006

Victor, S. E., Hipwell, A. E., Stepp, S. D., & Scott, L. N. (2019). Parent and peer relationships as
longitudinal predictors of adolescent non-suicidal self-injury onset. Child and Adolescent Psychiatry and
Mental Health, 13(1). doi:10.1186/s13034-018-0261-0

Ying, J., You, J., Liu, S., & Wu, R. (2021). The relations between childhood experience of negative
parenting practices and nonsuicidal self-injury in Chinese adolescents: The mediating roles of
maladaptive perfectionism and rumination. Child Abuse & Neglect, 115, 104992.
doi:10.1016/j.chiabu.2021.104992
Pengantar

- Perkenalan Self Injury


Perilaku melukai dan menyakiti diri sendiri yang bertujuan untuk mengatasi dan melampiaskan
emosi yang menimbulkan rasa sakit emosional, perilaku ini disebut self injury. Menurut Estefan
dkk. (2014) self injury adalah perilaku melukai diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja dan
tidak bermaksud untuk bunuh diri. Istilah ini juga disebut sebagai Nonsuicidal Self-Injury (NSSI),
NSSI adalah istilah yang digunakan yang mengacu pada semua tindakan kerusakan diri yang
diakibatkan oleh diri sendiri, seperti merusak jaringan kulit, seperti penggoresan dengan benda
tajam, pembakaran, termasuk juga kegiatan overdosis obat yang disengaja tanpa ada niat untuk
bunuh diri (Klonsky & Glenn dalam Long, 2018; Elvira, S. R., & Sakti, H., 2021). Menurut Nock
(2008; Arinda, O. D., & Mansoer, W. W. D., 2021) NSSI ini termasuk ke dalam perilaku self-
injurious behavior, yaitu perilaku individu untuk melukai diri sendiri dengan sengaja, dengan
adanya niat untuk bunuh diri atau tanpa niatan untuk bunuh diri. Perilaku NSSI ini bukan hanya
terjadi dan dilakukan oleh individu normal, tetapi individu yang memiliki gangguan kejiwaan
juga melakukan NSSI, seperti bipolar disorder, depresi, skizofrenia dan borderline personality
disorder (Kusumadewi dkk., 2020; Elvira, S. R., & Sakti, H., 2021).

Bentuk dari perilaku NSSI ini sangat beragam, seperti memotong, membakar, memukul diri
sendiri atau memukul benda, membenturkan kepala ke dinding atau lantai, menarik rambut,
mengiris lengan, menggaruk dengan keras, hingga mematahkan tulang. Mereka melakukan ini
semua untuk melampiaskan rasa sakit mereka secara psikologis, dan menurutnya rasa sakit yang
mereka lakukan secara fisik ini tidak lebih menyakitkan dari pada rasa sakit psikologis yang
mereka rasakan. Justru menurut mereka dengan cara mereka menyakiti diri mereka sendiri, hal
tersebut dapat memberikan ketenangan sesaat pada mereka dan untuk mengurangi hingga
menghilangkan perasaan mati rasa atau kekosongan (Peterson et al., 2008; Fox, K. R., et al.,
2015).

Menurut Favazza (2012; Arinda, O. D., & Mansoer, W. W. D., 2021) NSSI dikelompokkan menjadi
dua, yaitu yang pertama, non patologis, perilaku NSSI yang bersifat non patologis adalah
modifikasi tubuh, seperti membuat tato, tindik tubuh/piercing, memotong dan mewarnai
rambut. Kedua adalah NSSI yang bersifat patologis, NSSI ini digolongkan lagi ke dalam empat
kategori, yaitu NSSI mayor, yaitu berupa tindakan yang tidak menetap yang merusak jaringan
tubuh, akibat dari kondisi psikotik. Selanjutnya NSSI stereotipik yang biasanya diasosiasikan
dengan kondisi retardasi mental yang parah, hal ini dilakukan berulang ulang,dengan pola ritmis
dan biasanya tidak ada perasaan malu atau bersalah didepan umum, seperti memukul,
mencubit dan menampar diri. Perilaku NSSI kompulsif yaitu seperti perilaku mencakar kulit,
menggigit kuku, menarik-narik rambut dan hal ini dilakukan secara berulang-ulang. Yang terakhir
perilaku NSSI impulsif, ini merupakan perilaku yang paling merusak, yaitu seperti menyayat kulit,
membakar kulit serta mengukir kulit, menusukkan benda tajam, membenturkan tangan atau
kaki. Perilaku NSSI impulsive ini biasanya terjadi secara episodic, dan pelakunya sering kali
perempuan, perilaku ini menjadi sangat berbahaya ketika sudah menimbulkan sifat adiktif.
Pada saat ini banyak individu yang melakukan NSSI mulai dari periode remaja hingga dewasa
awal dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya yang menyebabkan mereka melakukan
self injury tersebut, salah satunya penyebab dari individu melakukan NSSI adalah karena
komunikasi yang buruk terhadap orang-orang disekitar individu tersebut atau orang terdekat
seperti keluarga. Salah satu peristiwa yang memiliki pengaruh besar dalam memberi tekanan
hidup pada umumnya berhubungan dengan relasi dengan anggota keluarga, terutama orang
tua. Terdapat beberapa studi yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dari perilaku NSSI
ini, Seperti menurut Mars dkk. (2014; Arinda, O. D., & Mansoer, W. W. D., 2021) faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku NSSI adalah Kondisi kesehatan mental, status sosial ekonomi,
pengalaman kekerasan, dan gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini selaras dengan yang
disampaikan oleh hasil penelitian Swahn dkk. (2012; Arinda, O. D., & Mansoer, W. W. D., 2021)
bahwa faktor dari perilaku NSSI adalah status sosial dan ekonomi yang rendah, masalah
perilaku, gangguan somatic, gangguan makan, masalah pikiran, regulasi emosi yang buruk,
komunikasi yang buruk dengan orang sekitar, korban penganiayaan anak, perilaku berisiko dan
agresif, serta menggunakan obat-obatan terlarang yang seringkali dikatikan dengan ide bunuh
diri atau perilaku menyakiti diri sendiri

Isi

- Permasalahan remaja (pubertas) hingga dewasa awal


Manusia akan mengalami perkembangan selama masa hidupnya, dan permasalahan pada setiap
fase berbeda-beda. Pada setiap fase perkembangan setiap individu akan melakukan
penyesuaian diri pada setiap perubahan yang terjadi seperti perubahan tugas atau tantangan
perkembangan yang dihadapi, terutama pada fase perkembangan dewasa awal yang menjadi
puncak dari perkembangan manusia (Putri, 2018; Elvira, S. R., & Sakti, H., 2021). Maka dari itu
jika individu pada fase dewasa awal tidak mampu beradaptasi atas perubahan dan
permasalahan yang dihadapi, individu tersebut akan merusak kesehatan mentalnya yang akan
menimbulkan depresi yang merupakan salah satu dasar seseorang melakukan self injury. Dari
kegiatan melukai diri sendiri tersebut individu tersebut berharap dapat membantu mengurangi
pengaruh negative atau perasaan emosi negative tersebut.

Muehlenkap dkk. (2013; Elvira, S. R., & Sakti, H., 2021). Mengatakan pada umumnya individu
melakukan tindakan melukai diri sendiri tersebut pada kisaran usia 12 sampai 16 tahun yaitu
pada masa remaja awal hingga pertengahan masa remaja. Hal ini juga didorong oleh pengaruh
dari tahapan pubertas yang berlangsung pada usia 8 hingga 14 tahun. Hall menyatakan bahwa
remaja akan melalui yang namanya storm-and stress view yaitu dimana remaja akan melalui
masa pergolakan yang penuh akan permasalahan dan perubahan suasana hati (Santrock, 2007;
Estefan, G., & Wijaya, Y. D. 2014). Maka dari itu masa remaja akan banyak diwarnai oleh
problematika kehidupan, permasalahan yang dihadapi akan sangat beragam, mulai dari
permasalahan dengan diri sendiri, permasalahan dengan teman, permasalahan dengan orang
tua yang seringkali berbeda pandangan.

Masa dewasa muda, merupakan masa-masa peralihan dari masa remaja akhir menuju dewasa,
dimana individu dihadapkan kembali dengan problematika baru. Karena pada masa dewasa
awal, ia sudah termasuk individu yang bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Ia sudah
dituntut untuk mandiri secara ekonomi, sosial, dan juga secara psikologis, tidak lagi bergantung
dengan orang tua. Segala urusan dan permasalahan akan diselesaikan sendiri tanpa bantuan
orang lain. Karena berbagai urusan dan permasalahan yang terjadi pada individu ini, tidak heran
jika seorang individu akan berusaha untuk mengekspresikan emosi yang dirasakannya, jika
individu tidak tepat dalam mengekspresikan emosinya, maka individu tersebut bisa saja akan
melakukan self injury. Seperti yang dikatakan tadi, mereka melakukan hal tersebut untuk
membantu mereka dalam pengaruh rasa sakit psikologis dari perasaan emosi negatifnya.

- Pola asuh orang tua dan komunikasi keluarga


Pola asuh orang tua sangat berkaitan erat dengan tumbuh kembang anak dimasa depan
nantinya, melalui pola asuh ini orang tua dapat membentuk kebiasaan, karakteristik, dan sikap
anak dalam menghadapi berbagai permasalahan selama masa pertumbuhannya. Praktik
pengasuhan negative dari orang tua dapat menyebabkan anaknya berperilaku maladaptive
seperti NSSI (Donath, Graessel, Baler, Blech, & Hillemacher, 2014; Zhang, lagu, & Wang, 2016;
Ying et al., 2021). Dengan pola pengasuhan yang tepat, anak bisa menjadi pribadi yang baik, bisa
menjadi individu yang dapat berdiri sendiri, dapat menentukan masa depannya dengan tepat,
dapat menyalurkan emosinya kepada arah yang positif, dan banyak hal lainnya. Hal ini sejalan
dengan pengertian pola asuh menurut hasanah (2016) yaitu suatu kegiatan atau bentuk upaya
dalam menjaga, merawat, mendidik, dan memberikanbimbingan supaya dimasa depan nanti
anak dapat mandiri dalam berbagai aspek kehidupan.

Menurut Jeanne Ellis Ormrod (Hasanah, U., 2016) terdapat 4 pola asuh yang umum dalam
keluarga, yaitu: (1) Otoritatif, Pola asuh ini menerapkan lingkungan keluarga yang penuh kasih
saying, dukungan dari orang tua, dengan menerapkan aturan-aturan keluarga yang konsisten,
yang nantinya diharapkan terbentuk standar perilaku yang tinggi, dan orang tua memberikan
penjelasan mengenai mengapa suatu perilaku boleh dan tidak boleh untuk dilakukan, didalam
peraturan tersebut orang tua memberikan kebebasan berperilaku sesuai dengan usianya, dan
juga mengikut sertakan anak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Pola asuh ini akan
membentuk anak yang percaya diri, gembira, rasa ingin tahu yang sehat, mandiri, memiliki
kontrol diri yang baik, disukai banyak orang, memiliki keterampilan sosial yang baik. (2)
Otoritarian, Pola asuh ini biasanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang kurang baik, pada
pola asuh ini orang tua cenderung tidak menunjukkan kehangatan emosional kepada anak, tetap
menerapkan standar yang tinggi terhadap perilaku, membentuk aturan tanpa memikirkan
kebutuhan anak, dan anak harus mematuhi peraturan tersebut tanpa bertanya, sehingga
semakin kecilnya ruang anak untuk berkomunikasi timbal-balik dengan orang tua. Dengan pola
pengasuhan seperti ini, anak akan memiliki kepercayaan diri yang rendah, cenderung tidak
bahagia, bergantung dengan orang lain, berkurangnya sikap inisiatif anak, kurang memiliki
keterampilan sosial, memiliki gaya komunikasi yang koersif, dan memiliki sifat pembangkang.
Pola asuh ini dapat membuat anak menjadi depresi dan stress dengan tekanan dan paksaan dari
orang tua.

Pola asuh orang tua yang berikutnya yaitu (3) Permisif, pada pola asuh permisif ini orang tua
tidak mau terlibat dan tidak peduli dengan kehidupan anaknya, bahkan walaupun tinggal satu
atap dengan anaknya, ada kemungkinan orang tua tidak mengetahui perkembangan dari
anaknya. Maka dengan pola asuh ini akan menghasilkan anak yang bersikap egois,
membangkang terhadap orang tuanya, bergantung terhadap orang lain, mencari-cari perhatian
orang lain, tidak memiliki control diri yang baik, memiliki kemampuan sosial yang buruk. Hal ini
akan memberikan serangkaian dampak buruk bagi anak sampai ia dewasa nanti. (4) Acuh tak
acuh, Pola asuh seperti ini akan menghadirkan orang tua yang hanya memberikan sedikit
dukungan sosial kepada anaknya, menunjukkan hanya sedikit kepedulian. Pola asuh ini akan
berdampak negative bagi anak, anak akan cenderung bersikap membangkang, banyak
menuntut, memiliki control diri yang rendah, kesulitan untuk coping stress, hingga tidak
memiliki target jangka panjang.
- Pengaruh pola asuh orang tua dan komunikasi dalam perilaku self injury
Perilaku self injury tidak akan terjadi tanpa sebab, Perilaku self injury dapat berawal dari latar
belakang keluarga. Berdasarkan penelitian longitudinal yang dilakukan di Inggris, menunjukkan
seorang remaja kemungkinan melakukan NSSI dikarenakan fungsi keluarga yang buruk(Victor et
al., 2019). Polk dan Liss (2009; Tarigan, T., & Apsari, N. C. 2021) berpendapat bahwa minimnya
komunikasi antara orang tua dan anak serta aturan yang ketat akan menimbulkan perilaku
melukai diri pada anak. Hal ini sesuai dengan kriteria pola asuh otoritarian dimana orang tua tidak
menunjukkan kehangatan dalam hubungannya dengan anaknya dan orang tua menetapkan
peraturan tanpa melibatkan dan memikirkan kebutuhan anak dalam proses diskusinya. Pola asuh
seperti ini akan membuat anak merasa tertekan dan akan menimbulkan depresi pada anak yang
berujung kepada self injury. Hal ini sejalan dengan penemuan dari Martin dan Waite (1994;
Baetens et al., 2013) bahwasannya gabungan antara control yang tinggi dari orang tua tanpa
dibarengi dengan kasih saying akan memiliki dampak yang besar terhadap remaja menjadi
depresi dan bunuh diri.

Menurut penelitian yang dilakukan Estefan dkk. (2014) Pola asuh permisif juga dapat
menimbulkan perilaku self injury, karena orang tua tidak memberlakukan aturan untuk
memberikan batasan pada anak, akan menghasilkan seseorang yang tidak mampu mengontrol
dirinya sendiri, dari tidak adanya control diri ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan
remaja terutama pada pergaulan dengan teman-temannya, yang dapat menjadi penyebab dari
perilaku self injury. Biasanya remaja yang melakukan self injury, mereka cenderung merasa
bahwa mereka tidak diperhatikan lagi karena berkurangnya perhatian orang tua terhadap
peraturan yang ditetapkan (Baetens et al., 2014).

- Kesimpulan
.Dengan semakin banyaknya kasus self injury atau NSSI ini, maka diharapkan kepada kita
semua untuk mulai memperhatikan hal ini, karena perilaku seperti ini banyak dijumpai pada
remaja dan dewasa awal yang pada umumnya merupakan masa peralihan yang melalui banyak
permasalahan baik itu internal atau eksternal. Terutama orang tua yang sudah atau akan
memiliki anak, untuk memperhatikan pola asuhnya, karena pola asuh dari orang tua akan sangat
berpengaruh kepada masa depan anak, yang dapat membentuk kebiasaan, perilaku. Dan sikap
anak dalam menghadapi masalah nantinya. Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang ideal
untuk membentuk anak yang percaya diri, gembira, rasa ingin tahu yang sehat, mandiri, memiliki
kontrol diri yang baik. Jika sudah terbentuk sikap anak yang ideal, maka kecil kemungkinan anak
tersebut akan melakukan NSSI, karena ia mampu menghadapi masalah selama masa
perkembangan nantinya.

Anda mungkin juga menyukai