Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan penerus generasi keluarga dan bangsa. Perlu mendapatkan


pendidikan yang baik sehingga potensi-potensi dirinya dapat berkembang pesat, sehingga
akan tumbuh menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang tangguh dan memiliki
berbagai macam kemampuan dan keterampilan yang bermanfaat. Oleh karena itu penting
bagi keluarga lembaga-lembaga pendidikan berperan dan bertanggung jawab dalam
memberikan berbagai macam stimulasi dan bimbingan yang tepat sehingga akan tercipta
generasi penerus yang tangguh.

Akhir-akhir ini berbagai fenomena perilaku negatif sering terlihat dalam kehidupan
sehari-hari pada remaja. Melalui surat kabar atau televisi dijumpai kasus-kasus remaja usia
dini sampai usia remaja seperti pelecehan baik itu pelecehan fisik, verbal, mental bahkan
pelecehan seksualpun sudah menimpa atau remaja. Bentuk pelecehan seperti ini biasanya
dilakukan oleh orang yang telah dikenal remaja, seperti keluarga, tetangga, guru maupun
teman sepermainannya sendiri. Dampak pelecehan seperti ini selain menimbulkan trauma
yang mendalam, juga sering kali menimbulkan luka secara fisik.

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh remaja makin marak
akhir-akhir ini. Pelecehan seksual membawa dampak baik fisik maupun psikologis.
Bahkan dampak psikologis begitu membekas dirasakan korban. Remaja seharusnya
dihargai dan dihormati sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki harga diri, martabat
dan derajat yang setara baik itu yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

Kekerasan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian,
dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak


maupun pada orang dewasa (Faulkner, 2003 dalam Zahra, 2007). Kekerasan seksual yang
menimpa para korban, terutama anak-anak dan wanita, terkadang menjadi stressor

1
yang tidak dapat diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Melalui makalah
ini penulis ingin memaparkan dampak-dampak psikologis yang terjadi pada anak yang
mengalami kekerasan seksual semasa kecilnya.

B. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual
2. Mengetahui masalah remaja terkait kekerasan seksual

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO


(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
hak.

Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect
dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan
kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk
(multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa
mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal
dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999).

Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan


melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan,
melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan
permanen atau kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis
atau fisik (OBarnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan
seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin
atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).

B. Pengertian Tentang Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini
merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian
besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun

3
dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004)
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat
terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun,
yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan berbagai
kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:

1) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila seorang
anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak laki- laki.

2) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja


adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai


umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal.

4) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah remaja
apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk anak-
anak laki-laki.

5) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah berumur 18
tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.

6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun. (Soetjiningsih,
2004).

Remaja adalah periode perkembangan selama individu mengalami perubahan


dari masa anak-anak menuju dewasa biasanya antara usia 13-20 tahun (Potter & Perry,
2005). Remaja terdiri dari tiga periode yakni remaja awal, remaja tengah dan remaja
akhir dan ditandai dengan masing-masing karakteristik dari biologis, psikososial dan
isu sosial (Kliegman et al, 2011).

Perkembangan remaja menurut Kliegman dan koleganya (2011) :

1) Remaja awal

a. Perkembangan biologis

Remaja didefinisikan sebagai periode perkembangan, pubertas adalah proses


biologis yang mana terjadi perubahan anak-anak menjadi orang dewasa.
Perubahan biologis mencakup perubahan dari karakteristik seksual sekunder,
perubahan ukuran tubuh, perkembangan kapasitas reproduksi. Perubahan yang

4
pertama sekali tampak pada remaja putri pada masa pubertas adalah
pertumbuhan payudara antara usia 8 sampai 12 tahun. Menstruasi dimulai 2
sampai 2,5 tahun setelah masa pubertas dimulai.

b. Perkembangan kognitif dan moral.

Remaja awal digambarkan sebagai masa transisi dari pemikiran konkret


operasional menjadi pemikiran logika formal atau pemikiran abstrak, proses
lain yang penting tetapi memiliki kontribusi berbeda adalah kemampuan
kognitif yakni alasan dan pendapat (proses berfikir tentang konsekuensi dari
sebuah keputusan atau tindakan). Proses ini mungkin berkembang berbeda
pada setiap remaja, remaja awal biasanya mengaplikasikan pada tugas sekolah,
tapi tidak pada dilema pribadi. Perkembangan moral masih mengikuti adat
istiadat yang berlaku pada lingkungan remaja dan belum sempurna.

c. Konsep diri

Kesadaran diri meningkat secara bertahap dalam menanggapi perubahan


somatik pubertas. Kesadaran diri pada usia ini berpusat pada karakteristik
eksternal, bagi remaja awal normal jika senang memperhatikan perubahan
tubuh, perubahan wajah, dan merasa bahwa semua orang memperhatikannya.

d. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat.

Pada remaja awal, aktivitas orang tua menjadi kurang menarik bagi remaja dan
lebih tertarik pada hubungan sebaya terutama dengan teman sebaya yang
memiliki jenis kelamin yang sama. Memperdalam hubungan dengan teman
sebaya berkontribusi untuk memandirikan anak dari orang tua.

e. Seksualitas

Kecemasan dan ketertarikan pada seks dan anatomi seksual meningkat selama
masa awal pubertas. Remaja awal sangat normal jika membandingkan dirinya
dengan orang lain. Remaja awal kadang-kadang melakukan masturbasi.

2) Remaja tengah

a. Perkembangan biologis

Kecepatan pertumbuhan sebelum masa pubertas adalah 6-7cm per tahun selama
masa remaja tengah. Rata-rata puncak pertumbuhan remaja putri pada usia 11,5

5
tahun yakni pada pertumbuhan 8,3cm per tahun kemudian melambat dan berhenti
pada usia 16 tahun. Menarche 95% terjadi pada remaja putri saat usia 10,5-14,,5
tahun. Pada umumnya terjadi siklus anovulatory selama 1-2 tahun setelah
menarche. Waktu menarche sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab adalah faktor genetik, status
nutrisi, tipe dan jumlah dari kegiatan fisik yang dilakukan, penyakit kronis, dan
kesehatan emosional.

b. Perkembangan kognitif dan moral

Remaja tengah menjadi transisi perubahan pola fikir menjadi berfikir logis,
pada masa ini remaja mulai bertanya dan menganalisa secara ekstensif. Remaja
saat ini memiliki kemampuan kognitif untuk memahami keruwetan dunia yang
mereka jalani, refleksi diri, melihat ke dalam diri mereka sendiri, dan mulai
memahami tentang tindakan dalam konteks moral dan legal. Kebiasaan moral
akan sama atau berbeda dari orang tua remaja.

c. Konsep diri

Remaja tengah lebih menerima perubahan tubuhnya dan menjadi lebih


menyenangkan dengan idealisme dalam eksplorasi pilihan masa depan.
Hubungan dengan teman sebaya adalah hal yang penting pada tahap ini untuk
menjelaskan identitas dan gambaran diri remaja. Remaja tengah sangat normal
bereksperimen dengan orang yang berbeda, merubah cara berpakaian, dan
merubah teman sekelompok yang berbeda-beda dari bulan ke bulan.

d. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat

Masa remaja tengah sangat identik dengan remaja yang mempunyai tipikal
meniru. Hubungan dengan orang tua menjadi lebih tegang dan jauh
dibandingkan hubungan remaja dengan teman sebaya. Remaja yang
berpacaran akan menjadi penyebab pertengkaran antara remaja dan orang tua.

e. Seksualitas

Berpacaran menjadi aktivitas yang sesuai norma sebagai remaja tengah untuk
melihat kemampuan remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Tingkat
aktivitas seksual sangat luas dan berbeda tergantung dari ras, budaya dan
negara. Aspek orientasi seksual remaja tengah yang sangat penting adalah

6
identitas seksual meliputi keyakinan mengenai cinta, kejujuran dan dalam hal
pelanggaran susila. Hubungan pada usia ini biasanya sangat dangkal dan
menekankan pada kecantikan/ketampanan dan percobaan seksual lebih
daripada keintiman. Remaja cenderung mengikuti beberapa karakteristik dari
pola perilaku seksual. Remaja pada umumnya sudah mengetahui tentang risiko
kehamilan, HIV, penyakit menular seksual, tetapi pengetahuan tidak konsisten
dengan perilaku yang terkontrol.

3) Remaja akhir

a. Perkembangan biologis

Perubahan somatik pada periode ini sederhana jika dibandingkan dengan


periode sebelumnya. Tahap akhir dari perkembangan payudara dan rambut
pubis pada usia 17-18 tahun.

b. Perkembangan psikososial

Perubahan pada fisik yang lambat menyebabkan timbulnya stabilitas dari


gambaran tubuh. Perkembangan kognitif yang berpusat pada diri sendiri
menjadi berkurang, pemikiran tentang keadilan patroitisme, dan sejarah
meningkat. Remaja akhir menjadi berorientasi pada masa depan, mampu
bertindak sesuai rencana masa depan, menunda gratifikasi, berkompromi,
menetapkan batas dan berfikir bebas. Remaja akhir bersikap konstan dengan
emosinya.

C. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang


merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu
emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse).

1) Kekerasan secara Fisik (physical abuse)

Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul
anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu
jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan
seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.

7
2) Kekerasan Emosional (emotional abuse)

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-
menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

3) Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi


yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya
melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga
mengkambinghitamkan.

4) Kekerasan Seksual (sexual abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap


orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan
pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual
dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:

a. Kekerasan Anak Secara Fisik

Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan


terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet
atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan,
cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas
atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada
daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong.
Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku
anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus,

8
minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang
berharga.

b. Kekerasan Anak Secara Psikis

Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar


dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang
mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif,
seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut
bertemu dengan orang lain.

c. Kekerasan Anak Secara Seksual

Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara


anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,
exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Kekerasan Anak Secara Sosial

Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi


anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak
dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan
kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau
perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat.
Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi,
sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan
perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya.
Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan
(pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang
memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-
pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

D. Faktor-fakor Penyebab Kekerasan terhadap Anak

Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child


abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:

9
a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh
menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan
demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-
studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan
kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara
itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang
memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami
perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku
mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan
dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan
kepada anak-anaknya.

b. Stres Sosial (social stress)

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko


kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor
housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family
size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person)
di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus
dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup
dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga
kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara
keluarga miskin karena beberapa alasan.

c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan


terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang
bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan
mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan


tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan
10
orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri
mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat
tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa
keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung
jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

E. Kekerasan Seksual

Menurut kamus besar Indonesia (1990) pengertian pelecehan seksual adalah


pelecehan yang berupa bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti
menghinakan, memandang rendah dan mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal
yang berkenan dengan seks atau jenis kelamin, hak yang berkenan dengan perkara
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pengertiaan tersebut maka
pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang
karena hal-hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki-
laki dan perempuan.

Kekerasan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian,
dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).

Dalam pelecehan seksual terdapat unsur-unsur yang meliputi :

1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual.


2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan.
3. Wujud perbuatan berupa fisik dan nonfisik.
4. Tidak ada kesukarelaan.

Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan (misalnya secara verbal)
maupun yang berat (seperti perkosaan) merupakan tindakan menyerang dan merugikan
individu, yang berupa hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga,
hal itu menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang harus dihormati
secara kolektif.

11
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya
dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:

a. Familial Abuse Incest

Merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian
dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri,
atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.

Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan
mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation
(penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism,
dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual.
Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat
kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi
oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan
secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi
sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir
yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban
sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma
tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang
sangat berbeda. Survivor yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang
berbeda dibanding korban yang diperkosa secara paksa.

b. Extrafamilial Abuse

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan
hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan
oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-
anak. Pedophilia diartikan menyukai anak-anak (deYong dalam Tower, 2002).
Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki
(Struve & Rush dalam Tower, 2002).

Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan


gambar, foto, slide, majalah, dan buku (OBrien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam
Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan
seksual. Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan
korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa:

12
1. Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).
2. Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
3. Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
4. Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).
5. Mencium anak yang memakai pakaian dalam.
6. Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
7. Masturbasi
8. Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku).
10. Digital penetration (pada anus atau rectum).
11. Penile penetration (pada vagina).
12. Digital penetration (pada vagina).
13. Penile penetration (pada anus atau rectum).
14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha,
atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).

F. Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Remaja

Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan klasifikasi kekerasan


seksual pada remaja menjadi 6 tipe pemerkosaan, yakni:

1) Acquaintance rape

Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang dikenal oleh remaja merupakan
jenis pemerkosaaan yang paling banyak terjadi pada usia 16-24 tahun. Pelaku bisa
merupakan tetangga, teman sekelas, atau teman dari angota keluarga yang lain.
Hubungan pelaku dengan korban mungkin akan menyebabkan masalah pada
keluarga, pengaduan remaja juga mungkin tidak dipercaya dan menimbulkan
keraguan pada keluarga. Korban pemerkosaan oleh orang yang dekat ini juga sering
menunda mencari bantuan medis, mungkin tidak melaporkan kejadian (lebih
banyak padapria daripada perempuan), dan sangat sedikit yang mau melakukan
penuntutan kriminal pada jalur hukum walaupun setelah melaporkannya kejadian.

2) Date rape

Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang berkencan/ berpacaran dengan


korban. Korban pemerkosaan pada saat berkencan biasanya merupakan orang yang
13
barupada lingkungan tertentu (mahasiswa baru, orang yang baru datang ke kota)
dan orang yang kekurangan dukungan sosial. Korban mungkin tidak menetapkan
batasan-batasan asertif atau batas pada hubungan mereka dan mungkin akan
memabukkan saat kejadian itu terjadi. Korban pemerkosaan saat berkencan
kerapkali mengalami masa yang panjang tentang kepercayaan dan menyalahkan
diri sendiri. Korban mungkin kehilangan kepercayaan diri pada pendapatnya
mengenai seorang pria di kemudian hari. Remaja akan malu untuk membicarakan
tentang kejadian tersebut kepada keluarga, teman, atau konselor dan mungkin tidak
akan pernah pulih dari luka psikologis.

3) Male rape

Pemerkosaan yang dilakukan pada remaja laki-laki oleh laki-laki lain.


Korban kekerasan pada laki-laki ini sering kali mengalami mengalami masalah
identitas seksual, remaja memikirkan apakah mereka homoseksual atau tidak.
Korban seringkali mengalami masalah tidur, ketidakberdayaan, kecemasan, depresi
bahkan ide bunuh diri.

4. Gang rape

Pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki pada seorang


perempuan. Permpan korban pemerkosaan menemukan kesulitan untuk kembali ke
lingkungan dimana pemerkosaan terjadi.

5. Statutory rape

Aktivitas seksual antara orang dewasa dengan remaja yang dibawah umur
legal suatu hukum negara. Hal ini didasarkan pada belum mampunya seorang
individu untuk memberikan persetujuan untuk mengikutsertakan dalam aktivitas
seksual.

6. Stranger rape

Frekuensi terjadinya pemerkosaan ini pada remaja sangat jarang,


pemerkosaan ini lebih sering terjadi pada orang dewasa.

14
G. Tanda dan gejala kekerasan seksual

Remaja yang mengalami kekerasan seksual pada fase akut menunjukkan hal
yang sangat berbeda-beda, mulai dari yang sangat menutupi hal tersebut sampai yang
agak sedikit terbuka atas kejadian. Kadang kala remaja tidak kelihatan ketakutan
walaupun remaja tidak kelihatan ketakutan, kebanyakan dari korban mengalami
ketakutan yang luar biasa dan sangat cemas tentang kejadian yang terjadi, perihal
laporan tentang pemerkosaan, pemeriksaan, keseluruhan proses termasuk kemungkinan
akibat yang akan timbul (Kliegman et al, 2011)

Adanya temuan semen di mulut, rectum/anal atau pada pakaian, ada luka pada
penis, rektum atau skrotum, luka memar, perubahan pada rektum, berdarah atau luka
pada area mulut/tenggorokan, tanda dari kekerasan fisik mungkin ada, darah pada
pakaian.

Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat dilihat dari perubahan


perilakunya, beberapa perubahan perubahan perilaku termasuk perilaku seksual adaah
perilaku seksual yang diluar norma dan level perkembangan anak. Remaja yang
megalami kekerasan seksual mungkin akan melakukan aktivitas seksual dengan
beberapa orang tanpa memilih bahkan remaja mungkin menyewa jasa di tempat
prostitusi, anak yang lebih tua dan remaja juga dapat berespon dengan melakukan
kekerasan seksual dengan anak yang usianya lebih muda.

H. Dampak Kekerasan Seksual

Dampak kekerasan seksual pada remaja yaitu, depresi (kesedihan yang


berkepanjangan), menangis dan mati rasa, mimpi buruk dan gangguan tidur, memiliki
masalah di sekolah atau menghindari sekolah, menunjukkan kemarahan atau kesulitan
berhubungan dengan orang tua, bertengkar, tidak mematuhi perintah, menunjukkan sikap
menarik diri termasuk dari keluarga dan teman, sikap merusak diri sendiri (memakai obat-
obatan, alkohol), menunjukkan masalah makan, yakni tidak mau makan atau makan
sepanjang waktu, fikiran untuk bunuh diri, membicarakan tentang kekerasan dan
memikirkan kembali tentang kekerasan (UNICEF-International Rescue Committee,
2012). Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan dampak pada remaja akibat
kekerasan seksual yang dialami oleh remaja, yakni remaja mungkin berespon menjadi
depresi, mencoba menggunakan obat-obatan atau alkohol, melarikan diri dari rumah.

15
Martin dan koleganya (2004 dalam Mullers dan Dowling, 2008) menjelaskan
bahwa dampak personal yang terjadi pada remaja yang mengalami kekerasan seksual
adalah 86,2% mengalami stress tingkat tinggi, 73% memiliki fikiran untuk bunuh diri, dan
45% melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini menggambarkan bahwa kekerasan seksual
sangat erat kaitannya dengan ide bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan dengan sengaja
melukai diri sendiri. Remaja juga merasakan ketidakberdayaan, remaja perempuan
memiliki risiko tinggi untuk mengalami level depresi yang lebih tinggi (Ruffolo et al 2004
dalam Muller dan Dowling, 2008). Chen dan koleganya (2004 dalam Mullers dan
Dowling, 2008) juga menyatakan bahwa dampak remaja yang mengalami kekerasan
seksual adalah penyalahgunaan obat-obatan, pengguna alkohol, dan sangat sedikit
ditemukan memiliki perilaku kasar.

Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang


disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang
intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis.

Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan


membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan
Browne (dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan
seksual, yaitu:

1) Betrayal (penghianatan)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai


anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami.
Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.

2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)

Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami


kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai
konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor
(dalam Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis
karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.

3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan
dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan

16
individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam
bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban
lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan
Browne, Briere dalam Tower, 2002).

4) Stigmatization

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri


yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa
bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering
merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat
penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman
alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).

Dampak kekerasan seksual menurut (Cruise, 2004)

a. Kesehatan dan fisik

Penyakit menular seksual, kesulitan untuk berjalan, duduk atau berdiri,


nyeri saat berkemih atau infeksi saluran kemih, gangguan tidur (kesulitan tidur atau
mimpi buruk), enuresis atau encopresis, perilaku melukai diri sendiri.

b. Perkembangan kognitif dan pencapaian akademik

Perubahan performa secara tiba-tiba, kesulitan konsentrasi. Kliegman dan


koleganya (2011) juga menambahkan remaja adalah tahap peralihan dari anak-anak
menuju dewasa, respon remaja pada pemerkosaan yang terjadi padanya sesuai
dengan elemen antara anak-anak dan remaja, kebanyakan remaja khususnya remaja
awal, mungkin mengalami beberapa level dari disorganisasi kognitif.

c. Perkembangan emosional, psikososial dan perilaku

Frekuensi menyentuh genitalia atau masturbasi, ekspresi seksual yang tidak


tepat, perilaku seksual yang agresif dengan menggunakan kekerasan atau ancaman,
isolasi sosial, ekspresi ketakutan yang ekstrim, perilaku ketergantungan, tidak
mampu bersosialisasi, perilaku menyakiti orang lain, khususnya pada remaja,
kesulitan mempercayai orang lain, kejam kepada binatang.

17
I. Faktor Resiko

Faktor resiko untuk kekerasan pada masa anak-anak, yakni anak yang tinggal
dengan orang tua tunggal, tinggal di rumah tidak dengan orang tua kandung, sosial
ekonomi rendah, dan ras minoritas.

Faktor resiko menjadi pelaku kekerasan seksual adalah pernah mengalami


kekerasan seksual pada masa anak-anak, gangguan mental, pernah terlibat aktivitas
kriminal, status pendidikan rendah (International Rescue Committe, 2012).

J. Pelaku kekerasan seksual

Pada setiap negara di dunia akan ada perbedaan karakteristik dari pelaku
kekerasan seksual, walaupun secara umum pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki.
(International Rescue Committe, 2012) menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual
bisa berasal dari anggota keluarga (ayah, kakek, saudara kandung, tante, keponakan dan
lain-lain). Pelaku juga bisa tetangga, pemimpin agama, guru, pemberi layanan
kesehatan atau orang lain yang mungkin kontak langsung dengan anak. Anak juga dapat
mengalami kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal, meskipun hal ini sangat
jarang. Hal ini menyebabkan anak bisa mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali.

K. Alasan umum kenapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual.

UNICEF-International Rescue Committee (2012) menjelaskan beberapa hal


mengapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya

a. Takut terhadap konsekuensi

Banyak anak takut menceritakan tentang kejadian kekerasan seksual yang


dialaminya karena merasa terancam secara fisik atau karena mereka percaya.

b. Takut ditolak

Anak sering merasa takut bahwa orang dewasa tidak akan mempercayainya.
Mereka tahu bahwa orang tua, pemimpin komunitas, pemimpin agama atau orang lain
akan menolak tuntutannya dan menolak memberi bantuan.

18
c. Manipulasi

Pelaku dapat membuat trik atau menyongok anak dengan cara memberikannya
hadiah atau uang agar tidak memberi tahu pada orang lain. Tersangka sering membuat
anak merasa malu atau membuat anak merasa bersalah tentang kekerasan yang
dialaminya. Kadang tersangka akan menyalahkan anak dan mengatakan anak yang
mengundang kekerasan itu terjadi.

d. Menyalahkan diri sendiri

Anak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut merupakan kesalahannya atau


mereka berfikir bahwa dia pantas mendapatkan hal tersebut

e. Melindungi

Anak mungkin ingin melindungi pelaku dan atau keluarga khususnya jika
pelaku mempunyai hubungan yang dekat dengan dirinya atau keluarga anak.

f. Usia

Anak yang lebih muda mungkin tidak menyadari telah mengalami


kekerasan seksual. Mereka mungkin merasa tindakan tersebut adalah normal,
terutama jika yang melakukan adalah orang yang dikenal atau dipercaya. Anak
yang lebih kecil mungkin juga memiliki keterbatasan dalam bicara yang
menyebabkan anak tidak memberitahukan kejadian.

g. Cacat fisik atau mental

Anak tidak dapat memberitahu tentang kekerasan yang dialaminya karena


tidak mampu bicara pada orang atau orang tidak memahami apa yang dikatakannya
atau tidak mampu mencapai penyedia jasa layanan.

Anak yang mengalami kekerasan seksual mungkin akan ditolak oleh keluarga
dan komunitasnya, mengalami sosial stigma yang ekstrim dan atau kehilanganan
kesempatan untuk mendapat pendidikan dan kesempatan untuk bekerja. ( UNICEF-
International Rescue Committee, 2012)

L. Kebutuhan anak setelah kekerasan seksual

Setelah kejadian kekerasan seksual anak memerlukan beberapa hal yang harus
kita perhatikan (UNICEF-International Rescue Committee, 2012)

19
a. Kebutuhan psikologis.

Anak akan memerlukan dukungan untuk merasa aman dan mempercayai orang
dewasa kembali; memahami perasaannya setelah kekerasan seksual, dan untuk
membantu membuat koping yang baik untuk tanda post traumatic stress disorder
yang muncul (seperti terus mengingat kembali kejadian kekerasan seksual,
obsessive thought of abuse dan masalah dengan penghargaan terhadap dirinya
sendiri)

b. Kebutuhan sosial.

Anak dan keluarga memerlukan bantuan untuk memulihkan dari dampak kekerasan
seksual dalam keluarga dan hubungan keluarga, memastikan anak mampu kembali
ke sekolah dan memastikan mereka mapu berpartisipasi kembali dalam
masyarakat.

c. Rencana perawatan.

Anak memerlukan tempat yang aman untuk pemulihan jika kekerasan terjadi di
dalam rumah.

d. Kebutuhan hukum/ keadilan.

Anak memiliki hak untuk memperoleh keadilan dan membutuhkan dukungan


ketika dilakukan investigasi hukum dan ketika anak dan keluarga melakukan
penuntutan terhadap kejadian yang telah terjadi.

20
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa
ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa
traumatis.

Dampak kekerasan seksual pada remaja yaitu, depresi (kesedihan yang


berkepanjangan), menangis dan mati rasa, mimpi buruk dan gangguan tidur, memiliki masalah
di sekolah atau menghindari sekolah, menunjukkan kemarahan atau kesulitan berhubungan
dengan orang tua, bertengkar, tidak mematuhi perintah, menunjukkan sikap menarik diri
termasuk dari keluarga dan teman, sikap merusak diri sendiri (memakai obat-obatan, alkohol),
menunjukkan masalah makan, yakni tidak mau makan atau makan sepanjang waktu, fikiran
untuk bunuh diri, membicarakan tentang kekerasan dan memikirkan kembali tentang kekerasan

Faktor resiko untuk kekerasan pada masa anak-anak, yakni anak yang tinggal dengan
orang tua tunggal, tinggal di rumah tidak dengan orang tua kandung, sosial ekonomi rendah,
dan ras minoritas.

Pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari anggota keluarga (Familial Abuse Incest)
sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Pelaku
juga bisa dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban (Extrafamilial Abuse).

Beberapa hal mengapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya
yaitu, takut terhadap konsekuensi, takut ditolak, manipulasi, menyalahkan diri sendiri,
melindungi, usia, cacat fisik atau mental.

21

Anda mungkin juga menyukai