Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan penerus generasi keluarga dan bangsa. Perlu mendapatkan


pendidikan yang baik sehingga potensi-potensi dirinya dapat berkembang pesat, sehingga akan
tumbuh menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang tangguh dan memiliki berbagai
macam kemampuan dan keterampilan yang bermanfaat. Oleh karena itu penting bagi keluarga
lembaga-lembaga pendidikan berperan dan bertanggung jawab dalam memberikan berbagai
macam stimulasi dan bimbingan yang tepat sehingga akan tercipta generasi penerus yang
tangguh.

Akhir-akhir ini berbagai fenomena perilaku negatif sering terlihat dalam kehidupan
sehari-hari pada remaja. Melalui surat kabar atau televisi dijumpai kasus-kasus remaja usia dini
sampai usia remaja seperti pelecehan baik itu pelecehan fisik, verbal, mental bahkan pelecehan
seksualpun sudah menimpa atau remaja. Bentuk pelecehan seperti ini biasanya dilakukan oleh
orang yang telah dikenal remaja, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Dampak pelecehan seperti ini selain menimbulkan trauma yang
mendalam, juga sering kali menimbulkan luka secara fisik.

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh remaja makin marak akhir-
akhir ini. Pelecehan seksual membawa dampak baik fisik maupun psikologis. Bahkan dampak
psikologis begitu membekas dirasakan korban. Remaja seharusnya dihargai dan dihormati
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki harga diri, martabat dan derajat yang setara baik
itu yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

Kekerasan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun
pada orang dewasa (Faulkner, 2003 dalam Zahra, 2007). Kekerasan seksual yang menimpa
para korban, terutama anak-anak dan wanita, terkadang menjadi stressor yang tidak dapat
diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Melalui makalah ini penulis ingin
memaparkan dampak-dampak psikologis yang terjadi pada anak yang mengalami kekerasan
seksual semasa kecilnya.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kekerasan

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut

WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan

kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok

orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan

memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau

perampasan hak.
2.
Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect

dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist

melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang

yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan

subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran,

istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999).


3.
Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan

tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang

ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi

dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.


4.
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang

tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan

psikologis atau fisik (OBarnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis

kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi


seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk

dalam Matlin, 2008).

2. Pengertian Tentang Remaja


Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini
merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian
besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun
dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004)
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat
terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun,
yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan berbagai
kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:

1) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila seorang
anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak laki- laki.

2) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja


adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai


umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal.

4) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah remaja
apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk anak-
anak laki-laki.

5) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah berumur 18
tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.

6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun. (Soetjiningsih,
2004).
Remaja adalah periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari

masa anak-anak menuju dewasa biasanya antara usia 13-20 tahun (Potter & Perry,

2005). Remaja terdiri dari tiga periode yakni remaja awal, remaja tengah dan remaja

akhir dan ditandai dengan masing-masing karakteristik dari biologis, psikososial dan

isu sosial (Kliegman et al, 2011).

1) Remaja awal

Perkembangan remaja awal menurut Kliegman dan koleganya

(2011).

a. Perkembangan biologis

Remaja didefinisikan sebagai periode perkembangan,

pubertas adalah proses biologis yang mana terjadi perubahan anak-

anak menjadi orang dewasa. Perubahan biologis mencakup

perubahan dari karakteristik seksual sekunder, perubahan ukuran

tubuh, perkembangan kapasitas reproduksi. Perubahan yang pertama

sekali tampak pada remaja putri pada masa pubertas adalah

pertumbuhan payudara antara usia 8 sampai 12 tahun. Menstruasi

dimulai 2 sampai 2,5 tahun setelah masa pubertas dimulai.

b. Perkembangan kognitif dan moral.

Remaja awal digambarkan sebagai masa transisi dari pemikiran

konkret operasional menjadi pemikiran logika formal atau pemikiran

abstrak, proses lain yang penting tetapi memiliki kontribusi berbeda

adalah kemampuan kognitif yakni alasan dan pendapat (proses berfikir

tentang konsekuensi dari sebuah keputusan atau tindakan). Proses ini


mungkin berkembang berbeda pada setiap remaja, remaja awal

biasanya mengaplikasikan pada tugas sekolah, tapi tidak pada dilema

pribadi. Perkembangan moral masih mengikuti adat istiadat yang

berlaku pada lingkungan remaja dan belum sempurna.

iii. Konsep diri

Kesadaran diri meningkat secara bertahap dalam menanggapi

perubahan somatik pubertas. Kesadaran diri pada usia ini berpusat pada

karakteristik eksternal, bagi remaja awal normal jika senang

memperhatikan perubahan tubuh, perubahan wajah, dan merasa bahwa

semua orang memperhatikannya.

iv. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat.

Pada remaja awal, aktivitas orang tua menjadi kurang menarik

bagi remaja dan lebih tertarik pada hubungan sebaya terutama dengan

teman sebaya yang memiliki jenis kelamin yang sama. Memperdalam

hubungan dengan teman sebaya berkontribusi untuk memandirikan

anak dari orang tua.

5. Seksualitas

Kecemasan dan ketertarikan pada seks dan anatomi seksual

meningkat selama masa awal pubertas. Remaja awal sangat normal jika

membandingkan dirinya dengan orang lain. Remaja awal kadang-

kadang melakukan masturbasi.

2) Remaja tengah
Kliegman dan koleganya (2011) menjelaskan tentang perkembangan

anak usia remaja tengah

1. Perkembangan biologis

Kecepatan pertumbuhan sebelum masa pubertas adalah 6-7cm

per tahun selama masa remaja tengah. Rata-rata puncak pertumbuhan

remaja putri pada usia 11,5 tahun yakni pada pertumbuhan 8,3cm per

tahun kemudian melambat dan berhenti pada usia 16 tahun. Menarche

95% terjadi pada remaja putri saat usia 10,5-14,,5 tahun. Pada

umumnya terjadi siklus anovulatory selama 1-2 tahun setelah

menarche. Waktu menarche sampai saat ini belum diketahui secara

pasti, beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab adalah

faktor genetik, status nutrisi, tipe dan jumlah dari kegiatan fisik yang

dilakukan, penyakit kronis, dan kesehatan emosional.

b. Perkembangan kognitif dan moral

Remaja tengah menjadi transisi perubahan pola fikir menjadi

berfikir logis, pada masa ini remaja mulai bertanya dan menganalisa

secara ekstensif. Remaja saat ini memiliki kemampuan kognitif untuk

memahami keruwetan dunia yang mereka jalani, refleksi diri, melihat

ke dalam diri mereka sendiri, dan mulai memahami tentang tindakan

dalam konteks moral dan legal. Kebiasaan moral akan sama atau

berbeda dari orang tua remaja.

c. Konsep diri

Remaja tengah lebih menerima perubahan tubuhnya dan

menjadi lebih menyenangkan dengan idealisme dalam eksplorasi


pilihan masa depan. Hubungan dengan teman sebaya adalah hal yang

penting pada tahap ini untuk menjelaskan identitas dan gambaran diri

remaja. Remaja tengah sangat normal bereksperimen dengan orang

yang berbeda, merubah cara berpakaian, dan merubah teman

sekelompok yang berbeda-beda dari bulan ke bulan.

d. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat

Masa remaja tengah sangat identik dengan remaja yang

mempunyai tipikal meniru. Hubungan dengan orang tua menjadi lebih

tegang dan jauh dibandingkan hubungan remaja dengan teman sebaya.

Remaja yang berpacaran akan menjadi penyebab pertengkaran antara

remaja dan orang tua.

e. Seksualitas

Berpacaran menjadi aktivitas yang sesuai norma sebagai remaja

tengah untuk melihat kemampuan remaja dalam berhubungan dengan

orang lain. Tingkat aktivitas seksual sangat luas dan berbeda tergantung

dari ras, budaya dan negara. Aspek orientasi seksual remaja tengah

yang sangat penting adalah identitas seksual meliputi keyakinan

mengenai cinta, kejujuran dan dalam hal pelanggaran susila. Hubungan

pada usia ini biasanya sangat dangkal dan menekankan pada

kecantikan/ketampanan dan percobaan seksual lebih daripada

keintiman. Remaja cenderung mengikuti beberapa karakteristik dari

pola perilaku seksual. Remaja pada umumnya sudah mengetahui

tentang risiko kehamilan, HIV, penyakit menular seksual, tetapi

pengetahuan tidak konsisten dengan perilaku yang terkontrol.

3) Remaja akhir
Perkembangan remaja akhir menurut Kliegman dan koleganya (2011)

1. Perkembangan biologis

Perubahan somatik pada periode ini sederhana jika dibandingkan

dengan periode sebelumnya. Tahap akhir dari perkembangan payudara

dan rambut pubis pada usia 17-18 tahun.

2. Perkembangan psikososial

Perubahan pada fisik yang lambat menyebabkan timbulnya

stabilitas dari gambaran tubuh. Perkembangan kognitif yang berpusat

pada diri sendiri menjadi berkurang, pemikiran tentang keadilan

patroitisme, dan sejarah meningkat. Remaja akhir menjadi berorientasi

pada masa depan, mampu bertindak sesuai rencana masa depan,

menunda gratifikasi, berkompromi, menetapkan batas dan berfikir

bebas. Remaja akhir bersikap konstan dengan emosinya.

3. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan

definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal

abuse, physical abuse, dan sexual abuse).

b. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)

Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak

(ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika
kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan

seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.

c. Kekerasan Emosional (emotional abuse)

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui

anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar

karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi

mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua

kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang

secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama

sepanjang kehidupan anak itu.

d. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi

penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan

tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.

d. Kekerasan Seksual (sexual abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah

tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa

pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan

atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil

dan atau tujuan tertentu.

4. Kekerasan Seksual
Menurut kamus besar Indonesia (1990) pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan
yang berupa bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan,
memandang rendah dan mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenan
dengan seks atau jenis kelamin, hak yang berkenan dengan perkara persetubuhan antara laki-
laki dan perempuan. Berdasarkan pengertiaan tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu
bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenan dengan
seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan.

Kekerasan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).

Dalam pelecehan seksual terdapat unsur-unsur yang meliputi :

1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual.

2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan.

3. Wujud perbuatan berupa fisik dan nonfisik.

4. Tidak ada kesukarelaan.

Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan (misalnya secara verbal) maupun yang
berat (seperti perkosaan) merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa
hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga, hal itu menyerang
kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang harus dihormati secara kolektif.

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi

dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:

i. Familial Abuse

Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian
dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau

kekasih, termasuk dalam pengertian incest.

Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan

mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation

(penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan

voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori

kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin,

masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada

klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa),

meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban.

Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan

trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan

demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual,

korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami

perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa secara

paksa.

ii. Extrafamilial Abuse

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya

40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang

dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia

diartikan menyukai anak-anak (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan

hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower,

2002).
Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar,

foto, slide, majalah, dan buku (OBrien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002).

Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan

pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti,

kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa:

1. Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).

2. Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).

3. Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).

4. Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).

5. Mencium anak yang memakai pakaian dalam.

6. Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).

7. Masturbasi

8. Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).

9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku).

10. Digital penetration (pada anus atau rectum).

11. Penile penetration (pada vagina).

12. Digital penetration (pada vagina).

13. Penile penetration (pada anus atau rectum).

14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau

bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).

Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:


a. Kekerasan Anak Secara Fisik

Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak,

dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik

atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan

atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan.

Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau

setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut,

punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya

dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau

rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat,

memecahkn barang berharga.

b. Kekerasan Anak Secara Psikis

kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor,

memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan

perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri,

pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

c. Kekerasan Anak Secara Seksual

Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan

orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun

perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest,

perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Kekerasan Anak Secara Sosial


Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.

Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian

yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan

dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.

Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang

terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak

untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa

memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan

perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja

di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah

rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa

melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

3. Faktor-fakor Penyebab Kekerasan terhadap Anak

Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse)

terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:

a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi

dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian,

perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi

menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan

menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2
sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan

kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin

menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi,

sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa

yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.

b. Stres Sosial (social stress)

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan

terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran

(unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions),

ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru

(the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the

death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan

kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan

kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi

tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.

c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak

cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta

dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit

dengan teman atau kerabat.

d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan

kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan

melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain

itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat

keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil,

bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan

terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri

sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

4. Efek Kekerasan Seksual

Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang disebut

post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang intens

terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis.

Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan membutuhkan

waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam

Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:

1) Betrayal (penghianatan)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak

individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami.

Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)

Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami

kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya

menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower,

2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena

menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.

3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami

oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu

merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.

Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban

lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan

Browne, Briere dalam Tower, 2002).

4) Stigmatization

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk.

Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka

tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda

dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan

yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk

menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori

kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).

5. Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Remaja


Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan klasifikasi

kekerasan seksual pada remaja menjadi 6 tipe pemerkosaan, yakni:

1) Acquaintance rape

Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang dikenal oleh remaja

merupakan jenis pemerkosaaan yang paling banyak terjadi pada

usia 16-24 tahun. Pelaku bisa merupakan tetangga, teman sekelas,

atau teman dari angota keluarga yang lain. Hubungan pelaku

dengan korban mungkin akan menyebabkan masalah pada

keluarga, pengaduan remaja juga mungkin tidak dipercaya dan

menimbulkan keraguan pada keluarga. Korban pemerkosaan oleh

orang yang dekat ini juga sering menunda mencari bantuan medis,

mungkin tidak melaporkan kejadian (lebih banyak padapria

daripada perempuan), dan sangat sedikit yang mau melakukan

penuntutan kriminal pada jalur hukum walaupun setelah

melaporkannya kejadian.

2) Date rape

Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang berkencan/

berpacaran dengan korban. Korban pemerkosaan pada saat

berkencan biasanya merupakan orang yang barupada lingkungan

tertentu (mahasiswa baru, orang yang baru datang ke kota) dan

orang yang kekurangan dukungan sosial. Korban mungkin tidak

menetapkan batasan-batasan asertif atau batas pada hubungan

mereka dan mungkin akan memabukkan saat kejadian itu terjadi.

Korban pemerkosaan saat berkencan kerapkali mengalami masa


yang panjang tentang kepercayaan dan menyalahkan diri sendiri.

Korban mungkin kehilangan kepercayaan diri pada pendapatnya

mengenai seorang pria di kemudian hari. Remaja akan malu untuk

membicarakan tentang kejadian tersebut kepada keluarga, teman,

atau konselor dan mungkin tidak akan pernah pulih dari luka

psikologis.

3) Male rape

Pemerkosaan yang dilakukan pada remaja laki-laki oleh laki-laki

lain. Korban kekerasan pada laki-laki ini sering kali mengalami

mengalami masalah identitas seksual, remaja memikirkan apakah

mereka homoseksual atau tidak. Korban seringkali mengalami

masalah tidur, ketidakberdayaan, kecemasan, depresi bahkan ide

bunuh diri.

4. Gang rape

Pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki pada

seorang perempuan. Permpan korban pemerkosaan menemukan

kesulitan untuk kembali ke lingkungan dimana pemerkosaan

terjadi.

5. Statutory rape

Aktivitas seksual antara orang dewasa dengan remaja yang

dibawah umur legal suatu hukum negara. Hal ini didasarkan pada

belum mampunya seorang individu untuk memberikan

persetujuan untuk mengikutsertakan dalam aktivitas seksual.


6. Stranger rape

Frekuensi terjadinya pemerkosaan ini pada remaja sangat jarang,

pemerkosaan ini lebih sering terjadi pada orang dewasa.

6. Tanda dan gejala kekerasan seksual

Remaja yang mengalami kekerasan seksual pada fase akut

menunjukkan hal yang sangat berbeda-beda, mulai dari yang sangat menutupi

hal tersebut sampai yang agak sedikit terbuka atas kejadian. Kadang kala

remaja tidak kelihatan ketakutan walaupun remaja tidak kelihatan ketakutan,

kebanyakan dari korban mengalami ketakutan yang luar biasa dan sangat

cemas tentang kejadian yang terjadi, perihal laporan tentang pemerkosaan,

pemeriksaan, keseluruhan proses termasuk kemungkinan akibat yang akan

timbul (Kliegman et al, 2011)

Adanya temuan semen di mulut, rectum/anal atau pada pakaian, ada

luka pada penis, rektum atau skrotum, luka memar, perubahan pada rektum,

berdarah atau luka pada area mulut/tenggorokan, tanda dari kekerasan fisik

mungkin ada, darah pada pakaian.

Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat dilihat dari perubahan

perilakunya, beberapa perubahan perubahan perilaku termasuk perilaku

seksual adaah perilaku seksual yang diluar norma dan level perkembangan

anak. Remaja yang megalami kekerasan seksual mungkin akan melakukan

aktivitas seksual dengan beberapa orang tanpa memilih bahkan remaja

mungkin menyewa jasa di tempat prostitusi, anak yang lebih tua dan remaja
juga dapat berespon dengan melakukan kekerasan seksual dengan anak yang

usianya lebih muda.

7. Dampak Kekerasan Seksual

Dampak kekerasan seksual pada remaja:

Depresi (kesedihan yang berkepanjangan), menangis dan mati rasa,

mimpi buruk dan gangguan tidur, memiliki masalah di sekolah atau

menghindari sekolah, menunjukkan kemarahan atau kesulitan

berhubungan dengan orang tua, bertengkar, tidak mematuhi perintah,

menunjukkan sikap menarik diri termasuk dari keluarga dan teman, sikap

merusak diri sendiri (memakai obat-obatan, alkohol), menunjukkan

masalah makan, yakni tidak mau makan atau makan sepanjang waktu,

fikiran untuk bunuh diri, membicarakan tentang kekerasan dan

memikirkan kembali tentang kekerasan (UNICEF-International Rescue

Committee, 2012). Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan

dampak pada remaja akibat kekerasan seksual yang dialami oleh remaja,

yakni remaja mungkin berespon menjadi depresi, mencoba

menggunakan obat-obatan atau alkohol, melarikan diri dari rumah.

Dampak kekerasan seksual menurut (Cruise, 2004)

a. Kesehatan dan fisik

Penyakit menular seksual, kesulitan untuk berjalan, duduk atau

berdiri, nyeri saat berkemih atau infeksi saluran kemih, gangguan tidur
(kesulitan tidur atau mimpi buruk), enuresis atau encopresis, perilaku

melukai diri sendiri.

b. Perkembangan kognitif dan pencapaian akademik

Perubahan performa secara tiba-tiba, kesulitan konsentrasi.

Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan remaja adalah tahap

peralihan dari anak-anak menuju dewasa, respon remaja pada pemerkosaan

yang terjadi padanya sesuai dengan elemen antara anak-anak dan remaja,

kebanyakan remaja khususnya remaja awal, mungkin mengalami beberapa

level dari disorganisasi kognitif.

c. Perkembangan emosional, psikososial dan perilaku

Frekuensi menyentuh genitalia atau masturbasi, ekspresi seksual yang

tidak tepat, perilaku seksual yang agresif dengan menggunakan kekerasan

atau ancaman, isolasi sosial, ekspresi ketakutan yang ekstrim, perilaku

ketergantungan, tidak mampu bersosialisasi, perilaku menyakiti orang lain,

khususnya pada remaja, kesulitan mempercayai orang lain, kejam kepada

binatang.

Akibat bagi kesehatan mental

Martin dan koleganya (2004 dalam Mullers dan Dowling, 2008)

menjelaskan bahwa dampak personal yang terjadi pada remaja yang mengalami

kekerasan seksual adalah 86,2% mengalami stress tingkat tinggi, 73% memiliki

fikiran untuk bunuh diri, dan 45% melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini

menggambarkan bahwa kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan ide


bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan dengan sengaja melukai diri sendiri.

Remaja juga merasakan ketidakberdayaan, remaja perempuan memiliki risiko

tinggi untuk mengalami level depresi yang lebih tinggi Ruffolo et al (2004

dalam Muller dan Dowling, 2008). Chen dan koleganya (2004 dalam Mullers

dan Dowling, 2008) juga menyatakan bahwa dampak remaja yang mengalami

kekerasan seksual adalah penyalahgunaan obat-obatan, pengguna alkohol, dan

sangat sedikit ditemukan memiliki perilaku kasar.

8. Faktor Resiko

Faktor resiko untuk kekerasan pada masa anak-anak, yakni anak yang

tinggal dengan orang tua tunggal, tinggal di rumah tidak dengan orang tua kandung,

sosial ekonomi rendah, dan ras minoritas. Faktor resiko menjadi pelaku kekerasan

seksual adalah pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak,

gangguan mental, pernah terlibat aktivitas kriminal, status pendidikan rendah

(International Rescue Committe, 2012).

9. Pelaku kekerasan seksual

Pada setiap negara di dunia akan ada perbedaan karakteristik dari pelaku

kekerasan seksual, walaupun secara umum pelaku kekerasan seksual adalah laki-

laki. (International Rescue Committe, 2012) menyatakan bahwa pelaku kekerasan

seksual bisa berasal dari anggota keluarga (ayah, kakek, saudara kandung, tante,

keponakan dan lain-lain). Pelaku juga bisa tetangga, pemimpin agama, guru,

pemberi layanan kesehatan atau orang lain yang mungkin kontak langsung dengan

anak. Anak juga dapat mengalami kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal,
meskipun hal ini sangat jarang. Hal ini menyebabkan anak bisa mengalami

kekerasan seksual lebih dari sekali.

10. Alasan umum kenapa anak tidak mengungkapkan kekerasan

seksual.

UNICEF-International Rescue Committee (2012) menjelaskan beberapa

hal mengapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya

a. Takut terhadap konsekuensi

Banyak anak takut menceritakan tentang kejadian kekerasan seksual

yang dialaminya karena merasa terancam secara fisik atau karena mereka

percaya.

b. Takut ditolak

Anak sering merasa takut bahwa orang dewasa tidak akan

mempercayainya. Mereka tahu bahwa orang tua, pemimpin komunitas,

pemimpin agama atau orang lain akan menolak tuntutannya dan menolak

memberi bantuan.

c. Manipulasi

Pelaku dapat membuat trik atau menyongok anak dengan cara

memberikannya hadiah atau uang agar tidak memberi tahu pada orang lain.
Tersangka sering membuat anak merasa malu atau membuat anak merasa

bersalah tentang kekerasan yang dialaminya. Kadang tersangka akan

menyalahkan anak dan mengatakan anak yang mengundang kekerasan itu

terjadi.

d. Menyalahkan diri sendiri

Anak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut merupakan

kesalahannya atau mereka berfikir bahwa dia pantas mendapatkan hal

tersebut

e. Melindungi

Anak mungkin ingin melindungi pelaku dan atau keluarga

khususnya jika pelaku mempunyai hubungan yang dekat dengan

dirinya atau keluarga anak.

f. Usia

Anak yang lebih muda mungkin tidak menyadari telah mengalami

kekerasan seksual. Mereka mungkin merasa tindakan tersebut adalah

normal, terutama jika yang melakukan adalah orang yang dikenal atau

dipercaya. Anak yang lebih kecil mungkin juga memiliki keterbatasan

dalam bicara yang menyebabkan anak tidak memberitahukan kejadian.

g. Cacat fisik atau mental

Anak tidak dapat memberitahu tentang kekerasan yang dialaminya


karena tidak mampu bicara pada orang atau orang tidak memahami apa

yang dikatakannya atau tidak mampu mencapai penyedia jasa layanan.


Anak yang mengalami kekerasan seksual mungkin akan ditolak oleh

keluarga dan komunitasnya, mengalami sosial stigma yang ekstrim dan atau

kehilanganan kesempatan untuk mendapat pendidikan dan kesempatan untuk

bekerja. ( UNICEF-International Rescue Committee, 2012)

11. Kebutuhan anak setelah kekerasan seksual

Setelah kejadian kekerasan seksual anak memerlukan beberapa hal yang

harus kita perhatikan (UNICEF-International Rescue Committee, 2012)

a. Kebutuhan psikologis. Anak akan memerlukan dukungan untuk merasa

aman dan mempercayai orang dewasa kembali; memahami perasaannya

setelah kekerasan seksual, dan untuk membantu membuat koping yang baik

untuk tanda post traumatic stress disorder yang muncul (seperti terus

mengingat kembali kejadian kekerasan seksual, obsessive thought of abuse

dan masalah dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri)

b. Kebutuhan sosial. Anak dan keluarga memerlukan bantuan untuk

memulihkan dari dampak kekerasan seksual dalam keluarga dan hubungan

keluarga, memastikan anak mampu kembali ke sekolah dan memastikan

mereka mapu berpartisipasi kembali dalam masyarakat.

c. Rencana perawatan. Anak memerlukan tempat yang aman untuk

pemulihan jika kekerasan terjadi di dalam rumah.

d. Kebutuhan hukum/ keadilan. Anak memiliki hak untuk memperoleh

keadilan dan membutuhkan dukungan ketika dilakukan investigasi hukum


dan ketika anak dan keluarga melakukan penuntutan terhadap kejadian yang

telah terjadi.

Anda mungkin juga menyukai