Anda di halaman 1dari 8

Stabilitas dan Perubahan yang Berlangsung dari Masa Kanak-kanak Hingga Masa

Dewasa
Bagi orang dewasa, perkembangan sosioemosi berkisar sekitar integrase yag adaptif
dari pengalaman emosional ke dalam hidup sehari-hari yang memuaskan serta relasi yang
brhasil dengan orang lain (Duck,2011) Hasil penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa 20
tahun pertama dalam kehidupan bias memprediksi kehidupan sosioemosi pada usia dewasa
(McAdams & Olsen, 2010; Stroufe, Coffino, & Carlson, 2010) Hasil temuan yang cukup umum
menyatakan bahwa semakin pendek interval waktu yang diadakan untuk mengukur
karakteristik sosioemosi, maka semakin besar kemiripan hasil riset yang diperoleh. Apabila
kita mengukur konsep diri individu pada usi 20 tahun kemudian mengukurnya lagi pada usia
30 tahun maka kemungkinan ditemukan stabilitas yang lebih besar disbanding apabila
mengukur konsep diri individu di usia 10 tahun dan mengukurnya kembali di usia 30 tahun.
A. Temperamen
Temperamen adalah gaya perilaku dan karakteristik respons emosional yang sifatnya
individual . Di masa dewasa awal, sebagian besar individu memperlihatkan lebih sedikit
perubahan sasana hati dibandingkan ketika remaja; mereka juga lebih bertanggungjawab dan
lebih jarang berperilaku yang mengandung resiko (Caspi, 1998) Para peneliti menemukan
kaitan antara beberapa dimensi dari temperamen masa kanak-kanak dengan kepribadian orang
dewasa. Riset telah mengaitkan beberapa tipe dan dimensi ini yang terdapat di masa kanak-
kanak dengan karakteristik kepribadian orang dewasa, sebagai contoh :
1. Temperamen yang mudah dan temperamen yang sulit. Sebuah studi menemukan
bahwa anak-anak yang memiliki temperamen mudah di usia 3-5 tahun, cenderung
lebih mudah menyesuaikan diri ketika menjadi orang dewasa muda, dan sebaliknya
(Chess & Thomas, 1987) Anak laki-laki yang ketika kanak-kanak memiliki
temperamen sulit, ketika dewasa cenderung tidak melanjutkan Pendidikan
formalnya, sedangkan anak perempuan yang berptemperamen sulit cenderung
memiliki konflik perkawinan (Wachs, 2000)
2. Kekangan (Inhibition). Individu yang memiliki temperamen terkekang di masa
kanak-kanak, ketika dewasa cenderung kurang bersikap asertif atau memperoleh
dukkungan social, dan cenderung terlambat memasuki jalur kerja yang stabil
dibandingkan orang dewasa lainnya (Wasch, 2000)
3. Kenampuan mengendalikan emosi. Sebuah studi longitudinal menemukan bahwa
anak-anak berusia 3 tahun dan memperlihatkan control emosi yang baik dan tabah
ketika menghadapi stress, mereka cenderung mampu mengatasi emosinya secara
efektif saat dewasa (Block, 1993)

B. Kelekatan
Kelekatan mencul dimasa bayi dan turut memainkan peran penting dalam
perkembangan sosioemosi seseorang (Sroufe, Coffino, &Carlson, 2010)Meskipun relasi
dengan pasangan berbeda dari relasi dengan orang tua, pasangan memenuhi sejumlah
kebutuhan yang sama seperti yang dipenuhi orangtua pada anak-anaknya. (Campa, Hazan, &
Wolfe, 2009; Shaver & Mikulincer, 2011) Orang dewasa dapat mengandalkan pasangannya
untuk menjadi basis yang aman dimana mereka dapat kembali dan memperoleh kenyamanan
dan keamanan dalam kondisi penuh tekanan (Feenery, 2008). Sebuah studi retrospektif, Cindy
Hazen dan Pphilip Shaver (1987) mengungkapkan bahwa orang dewasa yang menunjukkan
kelekatan yang aman dalam relasi romantisnya cenderung ,emiliki kelekatan yang aman
dengan orangtuanya di masa kanak-kanak. Terdapat 3 gaya kelekatan :
1. Gaya Kelekatan yang Aman. Memiliki pandangan positif erhadap relasi, mudah
dekat dengan orang lain, dan tidak khawatir serta stress berlebihan tentang relasi
romantic mereka. Lebih jarang melakukan seks dalam hubungan singkat.
Cenderung diwarnai oleh kepercayaan, komitmen, dan usia yang panjang (Feenery,
2008). Cenderung lebih menerima dukungan jika sedang tertekan dan memberi
dukungan pada pasangan jika tertekan 9Simpson & Rholes, 2007). Keuntungan
menurut Mkulincer dan Shaver (2207) adalah adanya penerimaan dan penghargaan
terhadap diri serta self-efficacy, lebih optimis.
2. Gaya Kelekatan yang Menghindar. Individu yang menghindar merasa ragu-ragu
terlibat dalam relasi romantic dan sering mengambil jarak dari pasangan mereka
dalam relasi.
3. Gaya Kwlekatan yang Cemas. Individu ini menuntut kedekatan, kurang bias
memercayai orang lain, dan lebih e,osional, pencemburu serta posesif. Dapat
menciptakan ketidakpuasan perkawinan dan bias mengarah pada saling menyerang
dan mengancam dalam relasi mereka jika kedua orang dalam pasangan adalah
pencemas (Feenery, 2008). Merasa ditolak dan disalahpahami, berkubang dalam
rasa tidak aman dan berusaha mengontrol perilaku pasangan (Shaver & Mikulincer,
2011)

Ketertarikan, Cinta, dan Relasi yang Akrab


A. Ketertarikan
Ada dua hal yang mendasari ketertarikan yaitu :
1. Keterbiasaan dan Kesamaan. Keterbiasaan adalah hal yang dibutuhkan agar relasi
yang akrab dapat berkembang. Pepatah lama yang mengatakan Burung-burung
yang berbulu sama menggerombol Bersama dapat sedikit memberi gambaran
tentang ketertarikan. Secara keseluruhan, kawan-kawan dan jekasih kita memiliki
lebih banyak kesamaan dengan kita disbanding ketidaksamaan (Guerrero,
Andersen, & Afifi, 2011; Qian, 2009). Kawan dan kekasi denderung sama dalam
hal nilai, gaya hidup dan sikap, bahkan daya Tarik fisik yang saling menyerupai,
meskipun kadang ketidaksamaan juga menjadi daya tarik. Kita cenderung mendekat
ke orang-orang yang memiliki kesamaan karena kita merasa mendapat dukungan
dan kita merasa dapat memprediksikan sikapnya. Baru-baru ini ketertarikan dapat
terjadi tanpa interaksi langsung, maraknya social media online dan menimbulkan
pro dan kontra dikalangan peneliti tentang manfaat dan kerugiannya. Salah satu
masalahnya adalah, di social media banyak orang memanipulasi karakter mereka.
2. Ketertarikan Fisik. Meskipun kesamaan dan perbedaan adalah hal yang penting
namun ketertarikan atau daya Tarik fisik tetap berpengaruh. Penelitian yang
kompleks mengenai peran ketertarikan fisik menemukan adanya perubahan standar
mengenai apa yang dianggap menarik . Kriteria kecantikan berbeda beda disetiap
budaya bahkan dibudaya yang sama dalam waktu yang berbeda. Kita biasanya akan
mencari seseorang yang memiliki level yang sama dalam ketertarikan terhadap
karakteristik fisik maupun atribut social.

B. Bentuk-Bentuk Cinta
Jika ketertarikan itu mengawali sebuah hubungan maka timbullah kemungkinan untuk
memperdalam hubungan cinta. Cinta melibatkan wilayah perilaku manusia yang luas dan
kompleks, menjangkau berbagai relasi yang mencakup persahabatan, cinta romantic, cinta
afektif dan bahkan melibatkan altruism consummate love (Berscheid, 2010). Tema-tema dalam
cinta :
1. Keintiman. Keterbukaan diri (self-disclossure)dan berbagi pikiran-pikiran personal
merupakan tanda keintiman. Erikson mendeskripsikan keintiman sebagai proses
menemukan diri sendiri sekaligus peleburan diri sendiri dalam diri orang lain.
Kentiman membutuhkan komitmen terhadap orang lain. Ketidakmampuan
mengembangan relasi yang bermakna dengan orang lain dapat melukai kepribadian
individu, hal ini menggiring individu untuk tidak mengaui, mengabaikan bahkan
menyerang orang yang dianggap menimbulkan frustrasi. Orang dewasa yang belum
cukup terlepas dari ikatan orang tua dapat mengalami kesulitan dalam relasi
interpersonal dan karier. Keseimbbangan antara keintiman dan komitmen di satu
sisi serta kemandirian dan kebebasan di sisi lain, merupakan hal yang sulit dan tetap
harus diolah sepanjang masa usia dewasa.
2. Persahabatan. Persahabatan memiliki peran petin dalam perkembangan sepanjang
hidup (Rawlins, 2009). Seperti saat kanak-kanak, persahabatan orang dewasa uga
mengenal perbedaan gender. Dibanding pria, wanita lebih banyak membuka diri
dan saling memberi dukungan dalam persahabatan (Dow & Wood, 2006). Wanita
dijuluki teman bicara karena memang bicara adalah hal yang penting dalam relasi
mereka. (Gouldner & Strong, 1987). Persahabatan wanita tidak luas namun dalam,
wanita menceritakan pengalaman, pikiran dan perasaan mereka (Woood, 2001).
Persahabatan pria lebih karena melakukan aktivitas bersama. Mereka melibatkan
unsur menjaga jarak sambal membagi informasi yang berguna. Pria lebih menyukai
solusi praktis terhadap masalah yang mereka hadapi disbanding simpati (Tannen,
1990). Persahabatan pria cenderung lebih kompetitif disbanding wanita (Wood,
2001).Keuntungan persahabatan antargender adalah lebih banyak kesempatan
mempelajari berbagai perasaan dan minat umum serta karakteristik yang dimiliki
bersama. Namun hal tersebut juga dapat menimbulkan masalah yaitu terdapat
perbedaan ekspektasi., adanya jetidakjelasan sehubungan engan Batasan-batasan
seksual, hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan kebingungan.
3. Cinta Romantis. Beberapa persahabaatan dapat berkembang menjadi cinta
romantic, yang disebut juga cinta bergairah atau eros. Cinta romntis memiliki
komponen seksualitas dan gairah yang kuat dimana kedua hal ini seringkali
menonjol di awal relasi cinta (Brscheid, 2010; Regan, 2008). Cinta romantic
mengandung berbagai emosi yang saling bercampur-campur secara kompleks-
contohnya ketakutan, kemarahan, legembiraan, hasrat seksual dan cemburu.
(Regan, 2008). Hasrat seksual adalah hal terpenting dalam cinta ini (Berscheid,
2010). Emosi-emosi ini meupakan sumber dari kesedihan yang mendalam.
4. Cinta Afektif. Disebut juga cinta karena kedekatan (companionate) adalah tipe cinta
yang terjadi ketika seseorang menginginkan seseorang berada di dekatnya dan
memiliki afeksi yang mendalam serta perhatian terhadap orang itu. Apabila cinta
menjadi lebih matang, gelora awal yang bernuansa romantic akan menjadi bersifat
lebih akeftif.
5. Cinta yang Sempurna. Bentuk cinta yang paling utuh dan kuat menurut teori
Stenberg. Cinta ini melibatkan 3 dimensi yaitu intim-gairah-komitmen. Relasi yang
hanya mengandung unsur gairang dan sangat minim komitmen disebut birahi atau
infantuated. Cinta yang mengandung komitmen dan keintiman namun kurang
dalam gairah disebut cinta afektif. Jika gairah dan komitmen ada namun keintiman
tidak itu berarti cinta buta (fatuous).

C. Kegagalan Dalam Cinta


Kegagalan dalam relasi yang akrab dapat menimbulkan perasaan yang tragis. Namun,
secara khusus kegagalan cinta dapat menjadi hal yang bijaksana jika memang seseorang
tersebut telah berulang kalu mengkhianati kepercayaan kita, hubungan yang terjalin menguras
emosional dan finansial, ataupun karena orang tersebut tidak membalas rasa cinta yang kita
miliki. Sehingga kegagalan dalam cinta dapat memiliki dampak positif bagi ke[ribadian dan
sikap individu jika ditanggapi dengan baik, namun jika terus diratapi dapat membuat depresi ,
ketidakmampuan bekerja secara efektif,kesulitan menjalin relasi dengan orang baru, pikiran
obsesif,menghukum diri sendiri bahkan disfungsi seksual.

Gaya Hidup Orang Dewasa


1. Orang Dewasa yang Hidup Sendiri
Keuntungan dari hidup sendir adalah memiliki waktu untuk membuat keputusan
mengenai perkalanan hidupnya, memiliki kemmapuan untuk mengembangkan
sumberdaya pribadi untuk memnuhi tujuan-tujuanny, memiliki kebebasan untuk
menjelajahi berbagai tempat baru, memiliki kebebasan untuk membuat keputusan
secara otonom dan mengejar minatnya, serta memiliki privasi. Namun masalah yang
mungkin dihadapi adalah kesepian, dan menemukan posisi yang sesuai di masyarakat
yang berorientasi pada pernikahan (Koropeckjy-Cox, 2009)
2. Kohabitasi pada Orang Dewasa
Kohabitasi mengacu pada hidup bersama dan melakukan hubungan seksual meskipun
tidak menikah. Sejumlah pasangan memandang kohabitasi bukan sebagai pendahuluan
pra-nikah. Namun sebagai sebuah gaya hidup. (Wilson & Stuchburry, 2010). Pasangan
ini mengahadapi masalah-masalah tertentu seperti ketidaksetujuan dari orang tua atau
anggota keluarga lain yang dapat menimbulkan ketegangan emosional pada pasangan
ini. Pasangan ini juga kesulitan memiliki hak milik besama, hal ini berkaitan dengan
saat putus hubungan tidak terlalu jelas seperti perceraian. Penelitian dan mayoritas studi
menemukan bahwa kepuasaan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang
sebelumnya telah hidup bersama sebelum menikah, cenderung lebih rendah dan tingkat
perceraiannya juga tinggi (Whitehead & Popenoe, 2003)
3. Orang Dewasa yang Menikah
Perubahan norma yang menyangkut kesetaraan pria-wanita didalam pernikahan
menyebabkan relasi pernikahan menjadi lebih rapuh dan intens disbanding pernikahan
dimasa sebelumnya yaitu abad ke-20 (Hoelter, 2009). Pernikahan dimasa remaja
cenderunh berakhir dengn perceraian disbanding pernikahan yang dilakukan di masa
dewasa (Waite, 2009), namun belum ditemukan rentang usia unttuk menikah dengan
kemungkinan berhasil yang besar. Aspek pernikahan berbea-beda di setiap budaya.
Sifat yang dicari orang dalam diri pasangan dalam pernikahan sengatlah beraneka
ragam (Hamon & Ingoldsby, 2003). Hidup berumah tanggga dihargai di sejumlah
budaya namun tidak di sejumlah budaya lainnya. Di banyak budaya, agama juga
memainkan peran penting dalam memilih pasangan pernikahan. Pendidikan pranikah
juga mengambil peran penting dalam kepuasan pernikahan, sebuah survei yang
melibatkan 3000 orang dewasa mengungkapkan bahwa Pendidikan pranikah berkaitan
dengan kepuasan pernikahan dan komitmen terhadap pasangan, menurunnya level
konflik pernikahan yang bersifat destruktif, dan penurunan angka perceraian sebesar
31% (Stanley & lain-lain, 2006). Individu yang memiliki pernikahan yang bahagia
umumnya hidup lebih lama, lebih sehat, dibandingkan individu yang bercerai atau
pernikahannya tidak bahagia (Waite, 2009; Wilson & Smallwood, 2008). Pernikahan
yang tidak bahagia meningkatkan resiko penyakit yang diderita oleh hamper sepertiga
dari jumlah pasangan dan bahan memperpendek masa hidupnya rata-rata empat tahun
(Gove, Style, & Hughes, 1990). Studi terbaru lainnya mengindikasikan bahwa semakin
laa wanita menikah semakin kecil kemungkinan mereka terkena penyakit kronis dan
semakin lama pria menikah semakin rendah resiko mereka untuk terkena penyakit
(Dupre & Meadows, 2007)
4. Orang Dewasa yang Bercerai
Menikah diusia muda, tingkat Pendidikan rendah, tingkat penghasilan rendah, tidak
memiliki afiliasi religious, memiliki orang tua yang bercerai dan memiliki bayi sebelum
menikah, berkaitan dengan tingginya jumlah kasus perceraian (Hoelter, 2009).
Karakteristik-karakteristik tertentu yang bias meningkatkan perceraian yaitu,
alkoholisme, masalah psikologis, kekerasan domestic, ketidaksetiaan, dan pembagian
tugas rumah tangga yang tidak adil (Hoelter, 2009). Perceraian biasanya terjadi di awal
usia pernikahan yakni 5-10 tahun. Tantangan setelah bercerai baik pria maupun wanita
mengeluh kesepian, kehilangan harga diri, cemas dengan ketidaktahuan akan
kehidupan selanjutnya, dan kesulitan menjalin relasi akrab yang baru (Hetherington,
2006). Sebuah studi mengungkapkann bhwa pria ataupun wanita yang bercerai
memiliki kemungkinan besar mengalami episode deoresi disbanding individu yang
mempertahankan pernikahannya dalam peroide dua tahun (Rotterman, 2007)
5. Orang Dewasa yang Menikah Kembali
Orang dewasa yang menikah lagi biasanya memutuskan lebih cepat untuk melakukan
pernikahan dengan rat-rata 50% dari mereka kembali menikah dalma waktu 3 tahun
setelah bercerai (Sweenery, 2009, 2010). Pria lebih cenderung menikah kembali
dibanding wanita. Pasangan yang menikah lagi lebih tidak stabil dibandingkan
pernikahan pertama dan lebih besar kemungkinannya untuk bercerai, khususnya di
tahun-tahun pertama setelah menikah lagi,dibandingkan pernikahan pertama (Waite,
2009). Orang dewasa yang menikah lagi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih
rendah disbanding orang dewasa dalam pernikahan pertama(Waite, 2009). Relasi
pernikahan orang dewasa yang menikah lagi cenderung lebih egaliterdan lebih dicirikan
oleh pengambilan keputusan secara bersama disbanding pernikahan sebelumnya.
(Waite, 2009) Pernikahan yang baru cenderung lebih sulit dipertahankan karena saat
menikah kembali tidak didasari oleh cinta namun alasan finansial, meperoleh bantuan
dalam mengasuh anak dan mengurangi kesepian. Mereka jugamembawa pola negative
yang sebelumnya menyebabkan kegagalan. Pasangan yang menikah lagi juga
mengalami stress dalam mengasuh anak dibandingkan orang tua yang tidak pernah
bercerai (Ganong, Coleman, & Hans, 2006)
6. Gay dan Lesbian Dewasa
Konteks social dan hokum yang terkait dengan pernikahan, menciptakan halangan
untuk memutuskan hubungan atau menceraikan pasangan berjenis kelamin sama
(Biblarz & Savci, 2010; Green & Mitchell, 2009). Para peneliti menemukan bahwa
relasi antara gay dan lesbian itu serupa dengan pasangan heteroseksual dalam hal
kepuasan, cinta, kegembiraan dan konflik yang mereka alami. (Mohr, 2008). Beberapa
peneliti menemukan bahwa pasangan gay dan lesbian umumnya lebih fleksibel dalam
menentukan peran gender dibandingkan pasangan heteroseksual (Marecek, Finn &
Cardell, 1988). Relasi pasangan gay dan lesbian menunjukkan tingkat rata-rata kualitas
relasi yang lebih tinggi dibandingkan pasangan heteroseksual (Kurdek, 2007).

Pernikahan dan Keluarga


1. Melestarikan Pernikahan
Gottman berpendapat bahwa penting untuk menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu
yang magis dan bahwa melalui pengetahuan dan usaha pasangan bias memperbaiki dan
mengembangkan relasi mereka. Dalam risetnya, Gottman telah menemukan tujuh
prinsip yang menetukan lestarinya pernikahan
a. Membuat peta cinta. Individu yang berhasil dalam penikahannya memiliki
pandangan personal dan peta yang mendetail mengenai kehidupan dan dunia satu
sama lain.
b. Memelihara kasih sayang dan kekaguman. Pernikahan yang berhasil pasangan akan
saling memberikan pujian.
c. Mengarahkan diri pada pasangan, bukan berpaling darinya. Pernikahan yang baik,
mereka akan mahir mngarakan satu sama lain secara teratur, mereka melihat stu
sama lain sebagi teman. Pasangan saling menghormati dan menghargai pandangan
satu sama lain meskipun terjadi perbedaan pendapat.
d. Membiarkan pasangan memengaruhi Anda. Dalam pernikahan yang buruk
seringkali ditemu individu yang tidak bersedia membagikan kekuasaannya pada
pasangannya, baik pria maupun wanita. Kesetaraan dalam pengambilan keputusan
adalah sakah satu factor yang memprediksi kualitas pernikahan yang positif
(Amato, 2007)
e. Memecahkan konflik yang dapat dipecahkan. Masalah atau konflik yang dimaksud
disini bukanlah masalah yang selalu ada , namun masalah yang dapat selesai dan
diselesaikan. Gottman mengatakan bahwa agar konflik dapat diselesaikan pasangan
harus mengawalinya dengan melakukan pendekatan yang lunak dan bukan
pendekatan yang bersifat memaksa, mencoba untuk membuat dan menerima upaya
perbaikan, meregulasi emosi masing-masing, melakukan kompromi, dan bersikap
toleran terhadap kekurangan satu sama lain.
f. Mengatasi jalan buntu (gridlock). Menurut Gottman cara yang perlu dilakukan
ngatasi jalan buntu tidak dengan memecahkan masalah namun dengan beralih dari
jalan buntu menuju dialog dan bersikap sabar.
g. Menciptakan kesempatan untuk berbagi rasa. Pasangan yang semakin dapat
berbicara secara lebih terus terang dan menghormati satu sama lain, maka merek
menciptakan kesempatan untuk berbagi rasa. Hal ini juga mencakup menceritakan
tujuan-tujuan mereka kepada pasangan dan bekerja sama meraih tujuan satu sama
lain.

Aspek penting lainnya yaitu faktor-faktor seperti memberi maaf dan komitmen dapat
membuat pernikahan yang berhasil (Fincham, Stanley, & Beach, 2007). Factor ini
berfungsi sebagai proses perbaikan diri sendiri dalam relasi yang sehat. Pasangan yang
memiliki komitmen kuat satu sama lain mungkin akan sering mengorbankan
kepentingan diri sendiri ketika berkonflik demi kebaikan pernikahan mereka.

Bagi pasangan yang menikah lagi, berikut strategi yang dapat ditempuh untuk
mengatasi stress karena tinggal di kerluarga angkat (Visher & Visher. 1989):

Memiliki harapan yang realistis. Memberi waktu atau kesempatan agar relasi
cinta dapat berkembang dan memandang kepleksitas keluarga angkat sebagi
sebuah tantangan untuk diatasi
Mengembangkan relasi yang positif dalam keluarga. Meluangkan waktu adalah
hal yang sangat penting karena begitu banyak orang yang terlibat. Pasangan
yang menikah kembali perlu memberikan waktu satu sama lain untuk sendirian.

2. Menjadi Orang Tua


a. Mitos dan Realitas Pengasuhan
Menurut DeGenova & Rice, 2008, mitos pengasuhan mencakup:
Kelahiran seorang anak akan menyelamatkan perkawinan yang hendak runtuh
Sebagai milik atau bagian dari orang tua, anak akan berpikir, merasa dan
bertindak seperti orang tua mereka di masa kanak-kanak.
Memiliki anak berarti merupakan kesempatan kedua orang tua untuk
mencapat hal-hal yang seharusnya mereka raih
Kemampuan mengasuh adalah sebuah insting dan tidak membutuhkan
pelatihan.

Pengasuhan menuntut sejumlah ketrampilan interpersonal dan keterlibatan


emosional. Sebagian besar orang tua mempelajari praktik pengasuhan dari orang
tua mereka sendiri. Sayangnya ketika praktik ini diturunkan ke generasi
selanjutnya meskipun baik ataupun tidak masih terus dipertahankan. Suami dan
istri mungkin melakukan pengasuhan yang berbeda ke dalam pernikahan.

b. Kecenderungan dalam Pengasuhan Anak


Ada banyak uindividu yang secara sadar memutuskan kapan mereka akan memiliki
anak dan berapa banyak anak yang hendak meka asuh.
Kecenderungan dalam pengasuhan anak memiliki dampak berikut:
Karena tuntutan melahirkan dan mengasuh anak menjadi lebih kecil, maka
sebagian waktu dari wanita dapat dilakukan untuk hal lain
Jumlah waktu yang digunakan pria untuk bertindak sebagi ayah juga semakin
besar
Pengasuhan orang tua dirumah seringkali dilengkapi dengan pengasuhan
institusi.

Ketika wanita menunjukkan minat yang lebih besar untuk mengembangkan


kariernya, maka bukan hanya usiapernikahan para wanita itu yang mundur, tetapi
juga usia mereka saat memiliki anak. Keuntungan memiliki anak di usia dini (20-
an) adalah orang tua masih memiliki energi yang besar (contoh saat harus bangun
di malam hari ketika bayinya menangis, serta menunggui anak remaja nya yang
pulang malam), ibu juga memiliki lebih sedikit masalah medis yang berkaitan
dengan kehamilan dan melahirkan anak, orang tua telah memiliki harapan-harapan
bagi anak mereka. Keuntungan menunda memiliki anak (hingga 30-an) orang tua
lebih memiliki waktu untuk memikirkan tujuan yang hendak mereka raih dalam
hidup, sepertia apa yang diinginkan dari keluarga dan peran karir, orang tua akan
lebih matang dan lebih berpengalaman untuk mengasuh secara kompeten, serta
memiliki karir dan pendapatan yang lebih mantap untuk membiayai pengasuhan
anak.

Anda mungkin juga menyukai