Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

ESSAY ANALISIS DIRI

KELAS D2
DIADJENG BERLIANA OCTAVIANI (205120301111043)

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
TEMA: POLA HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA

Masa Kanak-Kanak
Pada masa anak-anak awal, pola hubungan saya dengan orang tua saya, terutama
Ibu saya bersifat sangat lekat. Saya merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Saat saya
masih kecil, kakak saya diasuh oleh nenek dari keluarga ayah. Oleh karena itu, saat masih
masa prasekolah dulu, saya tidak punya teman bermain. Lingkungan tempat tinggal saya
dulu merupakan kawasan Rumah Sakit Tentara yang disekitarnya adalah perumahan militer
yang sunyi. Masa itu, jarang sekali ada teman yang umurnya sebaya dengan saya. Sehingga,
dulu saya seringnya bermain di dalam rumah saja dan jarang bersosialisasi di luar. Sesekali,
ada anak dari dokter atau perawat berkunjung dan bermain bersama dengan saya. Karena
tidak terbiasa bergaul dan bersosialisasi, dampaknya adalah saya menjadi pribadi yang
pemalu dan sangat menempel pada Ibu saya.
Pada masa anak-anak akhir, saat saya masih kelas 1 hingga 3 SD, hubungan saya
dengan orang tua saya (terutama Ibu) masih lekat. Saya masih sangat ketergantungan
kepada orang tua, terutama Ibu saya. Pernah dulu, sekitar umur 8 tahun, saya berniat
menginap di rumah nenek. Namun belum semalam, saya tidak bisa tidur karena saya sudah
rindu dengan Ibu saya. Hal ini terulang ketika saya mengikuti PERSAMI (Perkemahan Sabtu
Minggu), kira-kira saat itu saya masih kelas 3 SD. Sewaktu mengikuti kegiatan PERSAMI, dari
pagi hingga sore saya masih baik-baik saja dengan teman-teman saya. Namun ketika sudah
malan dan waktunya tidur di tenda, saya tidak bisa tidur karena tidak ada Ibu disisi saya.
Lalu, terpaksa saya pulang dengan alasan sakit. Dari uraian yang telah di paparkan, situasi
yang saya alami berkaitan dengan Teori Kelekatan Bowlby dan Ainswort. Ainswort
menyatakan bahwa bayi/anak-anak cenderung menganggap pengasuh mereka sebagai
tempat paling aman/ secure base bagi mereka. Dalam hal ini saya mengganggap Ibu sebagai
secure base saya, dan ketika Ibu saya tidak ada disekitar saya, saya cemas dan merasa tidak
aman.
Saya menyadari bahwa ada perbedaan sifat antara saya (yang diasuh oleh orang tua)
dan kakak saya (yang diasuh oleh kakek nenek). Saya adalah orang yang pendiam, pemalu,
dan kurang baik dalam bersosialisasi. Sedangkan kakak saya adalah orang yang humble,
ceria, komunikatif dan mampu membangun pertemanan dalam waktu yang singkat.
Menurut saya hal tersebut mungkin dikarenakan perbedaan pola asuh antara orang tua dan
kakek-nenek saya. Kakek-nenek saya mungkin menerapkan Gaya Pengasuhan Baumrind tipe
otoritatif (authoritative parenting), dimana mereka memberikan kebebasan pada anak
untuk mandiri, namun masih memberikan batasan dan kendali atas tindakan anak. Kakak
saya dibebaskan untuk bermain bersama dengan teman-teman di kampung, mau kemana
saja terserah asal tidak sampai larut malam dan tidak membahayakan. Nenek saya juga
cukup terbuka dan komunikatif sehingga kakak saya dari kecil terbiasa jujur akan
perasaannya.
Masa Remaja
Di masa remaja, yakni saat saya memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya
menjadi pribadi yang tertutup dengan pola hubungan yang menghindar (avoidant) kepada
orang tua. Sebenarnya, kecenderungan saya menutup diri kira-kira mulai dari kelas 4 SD.
Saat itu, saya sudah dibelikan handphone yang dapat dipakai untuk internet. Masa itu pula
booming sosial media Facebook. Semenjak itu, saya lebih sering bermain dan curhat di
media sosial daripada bercerita ke orang tua. Di awal masuk SMP, saya sangat pendiam, dan
hanya berkutat dengan ponsel saya saja. Tidak seperti teman-teman lainnya yang mudah
sekali bergaul dan memulai pertemanan, saya butuh waktu lebih lama dekat dengan
seseorang. Hal ini karena sewaktu saya SD, saya pernah ditinggalkan teman saya secara tiba-
tiba tanpa alasan yang jelas, sehingga saya menghabiskan tahun terakhir saya di SD
sendirian, tanpa teman dekat. Hal itu sedikit menimbulkan trauma bagi saya sehingga saya
enggan menjalin hubungan dengan orang baru.
Hubungan komunikasi saya dengan orang tua juga semakin buruk. Orang tua saya
sangat sibuk bekerja dan jadwal saya di SMP sangat padat, sehingga kadang pulang sampai
larut malam karena kegiatan ekstrakurikuler dan sampai dirumah langsung tertidur. Hal ini
menjadikan waktu saya bersama orang tua lebih sedikit, sehingga dampaknya self-disclosure
yang saya lakukan lebih banyak kepada teman sebaya daripada orang tua. Dulu saya merasa
teman lebih mengerti keadaan dan perasaan yang saya alami daripada orang tua saya. Saat
remaja, emosi saya sangat tidak stabil. Saya mudah marah dan jengkel ketika sesuatu tidak
sesuai dengan keinginan saya. Ayah saya yang sedikit keras dan otoriter waktu itu makin
membuat saya malas untuk berada di rumah. Berkali-kali waktu itu saya berpikir untuk
kedepannya saat kuliah saya ingin kos saja. Saya bersikap tertutup dan menghindari
percakapan dengan orang tua saya.
Berkaitan dengan Gaya Pengasuhan Baumrind, orang tua saya cenderung abai
karena kesibukan pekerjaan mereka (neglectful parenting). Menurut saya, sewaktu itu,
orang tua saya kurang mengarahkan saya sehingga saya kurang sekali dalam hal
kedisiplinan. Sewaktu SMP, saya pernah bolak-balik masuk ruang BK karena seringnya
terlambat, hingga dulu pernah mendapat surat peringatan dan konseling. Saat itu saya
merasa malu, emosi tidak stabil, terombang ambing sehingga saya melimpahkan rasa kesal
kepada orang tua saya. Akibat perasaan terabaikan tersebut, saya memandang rendah diri
saya sendiri, emosi yang sering berubah-ubah dan kurang terampil dalam kehidupan sosial
dan menjalin relasi dengan orang lain.

Masa Dewasa Awal


Pada masa transisi menuju dewasa awal, yakni ketika saya berada di kelas 3 dan
mendekati kelulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), hubungan saya dengan orang tua
mulai mengarah pada hubungan yang positif dan lebih toleran. Konflik-konflik kecil yang
saya alami dulu mulai menurun sehingga relasi saya dengan orang tua mulai membaik.
Apalagi saat libur pandemi, dimana saat itu saya belum masuk kuliah sehingga banyak waktu
yang saya habiskan bersama orang tua dan adik saya. Saya menjadi pribadi yang lebih
terbuka, saya mulai menceritakan pengalaman-pengalaman saya sewaktu SMA yang belum
sempat saya ceritakan. Saya juga mulai berani mengenalkan teman-teman saya di SMA
(karena sewaktu SMP, saya tidak pernah mengenalkan siapa saja teman-teman saya). Ego
dan emosi yang dulu sangat besar, kini mulai saya tekan perlahan-lahan.
Semenjak lulus dan mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, saya tidak lagi
tinggal serumah dengan orang tua saya. Saya tinggal di rumah peninggalan kakek dan
nenek, bersama kakak dan sepupu saya. Kadang, Ayah dan Ibu saya menjenguk keadaan
kami dengan membawa makanan atau camilan. Kadang kala jika tidak bisa mampir maka
Ayah biasanya akan menghubungi saya lewat Whatsapp. Komunikasi saya dengan orang tua
mulai membaik, namun saya belum terbiasa terbuka menceritakan keadaan dan perasaan
saya. Saya masih gengsi dan takut juga akan membebani pikiran mereka.

Kesimpulan
Dari analisis diri yang saya paparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya
pengasuhan berpengaruh terhadap pola hubungan anak dengan orang tua. Dengan pola
pengasuhan yang cenderung lalai dan mengabaikan (neglected parenting), komunikasi antar
anak dengan orang tua tidak dapat terjalin dengan baik sehingga tidak ada kelekatan yang
bersifat aman (secure attachment). Padahal dengan adanya secure attachment, relasi anak
dengan orang tua, teman sebaya maupun lingkungannya dapat terjalin dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai